10 bab ii tinjauan pustaka 2.1 pajak 2.1.1 pengertian pajak
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pajak
2.1.1 Pengertian Pajak
Definisi pajak yang dikemukakan oleh Prof. DR. P.J.A. Adriani yang
mewakili Eropa, memberikan pengertian pajak sebagai berikut :
“Pajak ialah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh wajib pajak yang membayarnya menurut peraturan-peraturan umum
(Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat
ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubungan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah.” (dikutip
dari buku Mohamad Zain. 2008. Manajemen Pajak)
Definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. yang mewakili
Indonesia, menyatakan bahwa :
“pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang
langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.”
Definisi tersebut kemudian dikoreksi sebagai berikut :
Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang
11
merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. (dikutip dari buku
Mohamad Zain. 2008. Manajemen Pajak)
Definisi Pajak menurut Sommaerfeld Ray M, Andreson Herschel M dan
Brock Horace R. yang mewakili Amerika Serikat adalah sebagai berikut :
“Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor
pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun Wajib dilaksanakan,
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang
langsung dan proposional, agar pemerintah dapat menjalankan tugas-tugasnya
untuk menjalankan pemerintah.” (dikutip dari buku Mohamad Zain. 2008.
Manajemen Pajak)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan iuran wajib
kepada Warga Negara yang aturan pelaksaanya harus berdasarkan ketentuan
Undang-Undang, bersifat dapat dipaksakan dan diperuntukan bagi pengeluaran –
pengeluaran pemerintah dan pembangunan.
2.1.2 Fungsi Pajak
Pajak memiliki fungsi dalam meningkatkan kesejahteraan umum.
Umumnya dikenal dengan dua macam fungsi pajak, yaitu fungsi Budgetair dan
fungsi regular (Soemarso, 2007:3):
1. Fungsi penerimaan (budgetair)
Fungsi budgetair ini merupakan fungsi utama pajak, atau fungsi fiskal
(fiscal function), yaitu suatu fungsi dimana pajak digunakan sebagai alat
untuk memasukan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-
undang perpajakan yang berlaku.
2. Fungsi mengatur (reguler)
12
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
dibidang sosial dan ekonomi, politik, dan tujuan tertentu. Disamping usaha
untuk memasukan uang untuk kegunaan kas negara, pajak dimaksudkan
pula sebagai usaha pemerintah untuk ikut andil dalam hal mengatur dan
bilamana perlu mengubah susunan pendapatan dan kekayaan dalam sektor
swasta atau di luar bidang –bidang keuangan lainnya.
Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur yang dikutip dari
buku Siti Resmi Perpajakan, Teori dan Kasus edisi 4 antara lain:
1. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak
penjualan atas barang mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi
transaksi jual beli barang mewah. semakin mewah suatu barang maka tarif
pajak akan semakin tinggi sehingga barang tersebut akan semakin mahal
harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-
lomba untuk mengonsumsi barang-barang mewah (mengurangi gaya hidup
mewah).
2. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan dimaksudkan agar pihak
yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar
pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan yang tinggi pula.
3. Tarif pajak ekspor 0% dimaksudkan agar pengusaha terdorong mengekspor
hasil produknya dipasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa negara.
4. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu
seperti industri semen, industri rokok, industri baja dan lain-lain. ini
dimaksudkan agar terdapat penekanan produksi terhadap industri tersebut
karena dapat menggangu lingkungan atau polusi (membahayakan
kesehatan).
5. Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi, dimaksudkan
untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia.
6. Pemberlakuan tax holiday, dimaksudkan untuk menarik investor asing agar
menanamkan modalnya di Indonesia.
2.1.3 Asas dan Sistem Pemungutan
2.1.3.1 Asas Pemungutan Pajak
Menurut Adam Smith yang dikutip oleh Waluyo (2007:6), pemungutan
pajak hendaknya didasarkan atas empat asas, yaitu:
13
1. Equity atau Equality
Keadilan merupakan pertimbangan penting dalam membangun
sistem perpajakan. Dalam hal ini, pemungutan pajak hendaknya
dilakukan seimbang dengan kemampuannya. Negara tidak boleh
melakukan diskriminasi diantara sesama pembayar pajak.
2. Certainty
Di sini, pajak yang harus dibayar haruslah terang (certain) dan tidak
mengenal kompromis (not arbitrary). Kepastian hukum harus
tercermin mengenai subyek, obyek, besarnya pajak dan juga
ketentuan mengenai pembayaran.
3. Convenience
Pajak harus dipungut pada saat yang paling baik bagi pembayar
pajak, yaitu saat diterimanya penghasilan.
4. Economy
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya. Biaya
pemungutan hendaknya tidak melebihi pemasukan pajaknya.
2.1.3.2 Sistem pemungutan Pajak
Menurut Soemarso (2007: 5), sistem pemungutan pajak dapat dibagi
menjadi :
1. Official Assessment System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada Pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang. Ciri-ciri official assessment system adalah :
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada
pada Fiskus.
b. Wajib pajak bersifat pasif.
14
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak
oleh Fiskus.
2. Self Assessment System
Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memeberi wewenang,
kepercayaan, tangggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak
yang harus dibayar.
3. Witholding System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak memberi wewenang
kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak
yang terutang oleh Wajib Pajak. Penunjukan pihak ketiga ini dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan
Presiden, dan peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak,
menyetor, dan memepertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan
yang tersedia.
2.1.4 Jenis Pajak
Menurut Siti Resmi (2008:7), pengelompokan pajak dapat dilakukan
berdasarkan golongan, wewenang pemungut, maupun sifatnya, dijelaskan sebagai
berikut:
A. Berdasarkan golongan, pajak dapat dikelompokan menjadi dua:
a. Pajak langsung
Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung
sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat
dialihkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
b. Pajak tidak langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat
dialihkan atau digeserkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak
Tambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM).
B. Berdasarkan wewenang pemungutannya, pajak dapat dibagi
menjadi dua yaitu:
a. Pajak Pusat atau Pajak Negara
Pajak Pusat atau Pajak Negara adalah pajak yang wewenang
pemungutannya ada pada Pemerintah Pusat yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui
Direktorat Jendaral Pajak dan digunakan untuk membiayai
rumah tangga Negara pada umumnya. Pajak Pusat diatur dalam
Undang-Undang dan hasilnya akan masuk ke APBN. contoh:
PPh, PPN, dan PPnBM, serta BPHTB.
15
b. Pajak daerah
Pajak daerah yang wewenang pemungutannya ada pada
Pemerintah yang pelaksanaanya dilakukan oleh Dinas
Pendapatan Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah
tangga daerah masing-masing. Pajak Daerah diatur dalam
Undang-Undang dan hasilnya akan masuk ke APBD. Contoh:
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak
Restoran, dan sebagainya.
C. Berdasarkan sifatnya, pajak dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Pajak subjektif
Pajak Subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi atau
keadaan Wajib Pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada
alasan-alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan
materialnya, yaitu Gaya Pikul. Gaya Pikul adalah kemampuan
Wajib Pajak setelah dikurangi biaya hidup minimum.
b. Pajak objektif
Pajak objektif adalah pajak yang pada awalnya memperhatikan
objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar,
kemudian baru dicari subjeknya baik orang pribadi maupun
badan. Jadi dengan kata lain pajak objektif adalah pengenaan
pajak yang hanya memperhatikan kondisi saja.
2.1.5 Kewajiban dan Utang Pajak
2.1.5.1 Kewajiban pajak
Menurut Siti Resmi (2008:9), kewajiban pajak dapat dibedakan menjadi dua
yaitu:
a. Kewajiban pajak subjektif
Kewajiban Subjektif adalah kewajiban yang melekat pada diri
seseorang atau badan. Kewajiban subjektif muncuk karena yang
bersangkutan tercakup dalam pihak-pihak yang akan dikenai pajak,
sesuai dengan asas pemungutan pajak yang dianut.
b. Kewajiban pajak objektif
Kewajiban pajak objektif adalah kewajiban yang melekat pada objek.
Kewajiban pajak objektif timbul pada saat dipenuhinya objek kena
pajak. Pajak dikatakan terutang jika dipenuhi syarat kewajiban subjektif
dan objektif sekaligus.
16
2.1.5.2 Utang Pajak
Utang Pajak timbul karena ada Undang-Undang tentang pemungutan pajak.
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar timbul suatu utang pajak (Waluyo,
2007:19) yaitu:
1. Adanya Undang-Undang yang menetapkan pemungutan pajak.
2. Dipenuhinya syarat subjektif dan objektif
3. Dipenuhinya saat terutang pajak menurut ketentuan Undang-
Undang
Sedangkan utang pajak akan berakhir atau terhapus jika terjadi hal-hal
berikut:
a. Pembayaran atau pelunasan
Pembayaran dapat dilakukan dengan pemotongan atau
pemungutan oleh pihak lain, pengkreditan pajak Luar Negeri,
maupun pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak ke Kantor
Penerima Pajak.
b. Kompensasi pajak
Kompensasi berupa keputusaan yang ditujukan kepada
kompensasi utang pajak dengan tagihan seseorang diluar pajak
tidak diperkenankan. Oleh karena itu, kompensasi terjadi bila
Wajib Pajak mempunyai tagihan beberapa kelebihan
pembayaran pajak, jumlah kelebihan Wajib Pajak sebelumnya
harus dikompensasi dengan pajak lain yang terutang.
c. Pembebasan
Pembebasan utang, sesuai dengan sebab-sebabnya, dapat
dibedakan menjadi dua golongan yaitu pembebasan karena
terhadap utang pajak yang bersangkutan seharunya tidak
dikenakan pajak dan pembebasan karena dipenuhinya syarat
material bahwa yang bersangkutan seharusnya tidak kena pajak.
d. Penghapusan
Penghapusan Pajak disebabkan karena keadaan Wajib Pajak.
Dalam kaitan ini, keadaan Wajib pajak memang tidak
memungkinkan untuk dapat diterimanya utang pajak oleh
negara. keadaan yang memungkinkan tindakan penghapusan
pajak adalah musibah yang diderita Wajib Pajak.
e. Daluwarsa
Daluwarsa berarti telah lewat batas waktu tertentu. Jika dalam
jangka waktu tertentu, suatu utang pajak tidak ditagih oleh
pemungutnya maka utang pajak tersebut dianggap lunas atau
dihapus atau berakhir dan tidak dapat ditagih lagi.
17
2.2 Nomor Pokok Wajib Pajak
Dalam pasal 1 Undang-Undang no. 28 tahun 2007 disebutkan bahwa Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak
sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya, yang wajib untuk memiki NPWP adalah:
A. Wajib Pajak Orang Pribadi
Yang termasuk kedalam Wajib Pajak Orang Pribadi adalah:
a. Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
b. Wajib Pajak yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas,
apabila sampai dengan satu bulan memproleh penghasilan yang
jumlahnya telah melebihi PTKP setahun.
c. Wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena hidup
terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara
tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
B. Wajib Pajak Badan
C. Wajib Pajak sebagai pemotong atau pemungut pajak
2.2.1 Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak
Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak, sebagai berikut:
1. Sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak, oleh karena itu
kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib
Pajak.
2. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam
pengawasan administrasi perpajakan.
3. Untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan, semua
yang berhubungan dengan dokumen perpajakan harus mencantumkan
NPWP.
4. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang
mewajibkan mencantumkan NPWP dalam dokumen-dokumen yang
diwajibkan. contoh: pada dokumen impor (pemberitahuan impor barang/
PIB)
5. Untuk keperluan pelaporan Surat Pemberitahuan Masa dan Surat
Pemberitahuan Tahunan.
18
2.2.2 Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak
Sesuai dengan KEP-161/PJ/2001, penghapusan NPWP dapat dilakukan
dalam hal:
a. Wajib Pajak meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
b. Warisan yang belum terbagi (dalam kedudukan subjek pajak) sudah selesai
dibagi;
c. Wajib Pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku; dan
d. Wajib Pajak BUT yang kehilangan statusnya sebagai BUT
Penghapusan NPWP dapat dilakukan apabila utang pajak telah dilunasi.
kecuali dari hasil pemeriksaan pajak diketahui bahwa utang pajak tersebut tidak
dapat atau tidak mungkin ditagih lagi karena :
a. Wajib Pajak Orang Pribadi meninggal dunia tanpa meninggalkan warisan;
b. Wajib Pajak tidak dapat ditemukan lagi;
c. Wajib pajak tidak mempunyai kekayaan lagi.
2.3 Surat Pemberitahuan (SPT)
Berdasarkan Pasal 1, angka 11 Undang-undang No.28 tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan:
Surat pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan
objek pajak, dan/atau bukan objek pajak, dan/atau hrta kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 menyebutkan
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah
akhir Masa Pajak.
b. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Orang Pribadi, Paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak,
19
c. Untuk surat pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah Akhir Tahun Pajak
2.3.1 Fungsi SPT
Fungsi SPT dapat dilihat dari wajib pajak, Pengusaha kena Pajak atau
pemotong atau pemungut pajak sebagai berikut:
1. Fungsi SPT bagi Wajib Pajak adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
memepertanggungjawabkan perhitungan jumlah Wajib Pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan
atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu )
tahu pajak atau bagian tahun pajak;
b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak
c. Harta dan kewajiban
d. Pembayaran dari pemotongan atau pemungut tentang pemotongan pajak
orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Fungsi SPT bagi pengusaha Kena Pajak adalah sebagai sarana untuk
melaprokan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang dilaksanakan sendiri oleh
Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam 1(satu) Masa
20
Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan
perpajakan.
3. Fungsi SPT bagi pemotong atau pemungut pajak adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan memepertanggungjawabkan pajak yang dipotong
atau dipungut dan disetorkan.
2.3.2 Ketentuan penyampaian SPT
1. SPT harus diisi dengan benar, lengkap, jelas, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, kemudian
ditandatangani dan disampaikan ke KPP atau tempat lain yang ditentukan
oleh DJP sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan;
2. SPT dapat diambil pada tempat Wajib Pajak terdaftar atau dicetak sendiri
oleh Wajib pajak, namun harus sesuai dengan format yang baku;
3. Apabila yang mengisi dan menandatangani SPT orang lain, harus
melampirkan surat kuasa khusus;
4. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan
(PPh Pasal 29) harus dibayar lunas paling lambat sebelum SPT Tahunan ini
disampaikan dengan munggunakan SSP (Pasal 9 UU KUP);
5. SPT wajib dilengkapi dengan lampiran.
2.4 Sanksi Administrasi
Menurut Devano dan Rahayu (2006:198), pengertian sanksi administrasi
dapat berupa:
a. Denda adalah sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran
yang berkaitan dengan kewajiban pelaporan;
21
b. Bunga adalah sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran
yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran pajak;
c. Kenaikan adalah sanksi administrasi yang berupa kenaikan jumlah pajak
yang harus dibayar, terhadap pelanggaran berkaitan dengan kewajiban
yang diatur dalam ketentuan material.
Kelompok sanksi administrasi berupa denda:
a. Pasal 7
Besarnya denda sebesar Rp 500.000 untuk SPT Masa PPN, Rp 100.000
untuk SPT Masa lainnya, untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan Rp
1.000.000 dan Rp 100.000 untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang
Pribadi atas keterlambatan penyampaian SPT Masa dan SPT Tahunan yang
tidak sesuai dengan batas waktu yang ditentukan.
b. Pasal 8 ayat 2
Sanksi bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) Undang – Undang
KUP, Jika Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh sehingga
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang
kurang dibayar.
c. Pasal 8 ayat (2a)
Jika wajib pajak melakukan pembayaran atau penyetoran pajak setelah
tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Masa, dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan.
d. Pasal 9 ayat (2a)
Pembayaran pajak untuk Masa Pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenakan sanksi administrasi
22
berupa bunga 2% sebulan dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai
dengan tanggal pembayaran.
e. Pasal 9 ayat (2b)
Jika Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran pajak setelah
tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan PPh, dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan.
2.5 Ekstensifikasi dan Instesifikasi pajak
2.5.1 Pengertian Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak
Berdasarkan SE-06/PJ.09/2001, Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan
yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan
objek pajak dalam administrasi Direktorat Jendral Pajak (DJP). Intensifikasi Pajak
adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek pajak
yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan
ekstensifikasi wajib pajak.
Ekstensifikasi pajak ditujukan bagi wajib pajak baik orang pribadi maupun
badan yang telah memenuhi syarat untuk memiliki NPWP. sedangkan intensiifikasi
pajak dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan, pencairan, tunggakan,
penagihan,dan penerapan sanksi yang tegas
2.5.2 Ruang Lingkup Ekstensifikasi dan intensifikasi Pajak
Berdasarkan SE-06/PJ.09/2001, ruang lingkup pelaksanaan kegiatan
ekstensifikasi wajib pajak dan intensifikasi wajib pajak, meliputi:
23
a. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP, termasuk pemberian
NPWP secara jabatan terhadap Wajib Pajak PPh orang Pribadi yang
berstatus sebagai karyawan perusahaan, orang pribadi yang bertempat
tinggal diwilayah atau lokasi pemukiman atau perumahan, dan orang
pribadi lainnya (termasuk orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia
atau Orang Pribadi berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan), yang menerima atau memeperoleh penghasilan melebihi
batas penghasilan tidak kena paajak (PTKP);
b. Pemberian NPWP dilokasi usaha, termasuk pengukuhan sebagai PKP,
terhadap orang pribadi pengusaha tertentu yang mempunyai lokasi usaha di
sentra berdagang atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau
mal atau plaza atau kawasan indutri atau sentra ekonomi lainnya;
c. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP terhadap Wajib Pajak
badan yang berdasarkan data yang dimiliki atau diperoleh ternyata belum
terdaftar sebagai Wajib Pajak dan atau PKP baik di domisili atau lokasi;
d. Penetuan jumlah angsuran PPh Pasal 25 dan atau jumlah PPN yang harus
disetor dalam tahun berjalan, dimulai sejak bulan januari tahun yang
bersangkutan; dan
e. Penetuan jumlah PPN yang terutang atas transaksi penjualan dalam tahun
berjalan khususnya untuk PKP pedagang eceran, yang mempunyai usaha di
sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau
mal atau plaza atau sentra ekonomi lainnya.
24
2.6 Tax Amnesty
Definisi Tax Amnesty menurut James, Tax Amnesty adalah the opportunity to
disclose to the authorities previously unpaid tax liability without attracting
penalties. sementara fisher memberikan pemahaman bahwa Tax Amnesty adalah
program offering reduced financial and/or legal penalties to taxpayers who
voluntarily agree to pay outstanding past tax liabilities. (dikutip dari Inside Tax.
2015. Manfaatkan Pengampunan Pajak)
Menurut Devano dan Rahayu (2006), pengampunan pajak (tax amnesty)
merupakan kebijakan Pemerintah dibidang perpajakan yang memberikan
penghapusan pajak yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan dalam
jumlah tertentu yang bertujuan untuk memberikan tambahan penerimaan pajak dan
kesempatan bagi Wajib pajak yang tidak patuhmenjadi Wajib Pajak yang patuh.
Tax amnesty di Indonesia pernah berlaku pada pertengahan tahun 1984, pada
awal tax reform di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No.26
Tahun 1984 yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun
1984 yang berisikan kebijakan pemberian pengampunan pajak. Penggertian tax
amnesty didefinisikan oleh Zainal Muttaqin, S.H.,MH. sebagai berikut :
“Suatu kebijakan Pemerintah yang esensinya menghapus hutang-hutang pajak
yang sebelumnya tidak atau kurang dibayar, termasuk sanksi administrasi dan
sanksi pidana dengan kewajiban membayar % (persen) tertentu dari jumlah yang
dijadikan dasar perhitungan pajak.”
Dari definisi tersebut dapat disimpulakan bahwa tax amnesty (pengampunan
pajak) adalah program kebijakan Pemerintah yang memberikan kesempatan kepada
25
wajib pajak untuk melunasi tunggakan pajaknya tanpa adanya sanksi administrasi
guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan penerimaan negara.
2.6.1 Tujuan Tax Amnesty
Tujuan tax amnesty pada umunya tujuan tax amnesty adalah untuk (Darusalam,
“Manfaatkan Pengampunan Sanksi,” Inside Tax Edisi 31):
1. Meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek;
2. Meningkatkan kepatuhan pajak dimasa mendatang;
3. Mendorong repatriasi modal dan aset;
4. Transisi ke sistem perpajakan yang baru.
Dijabarkan sebagai berikut :
1. Meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek
Permasalahan penerimaan pajak yang stagnan atau cenderung menurun
seringkali menjadi alasan pembenar diberikannya tax amnesty. Hal ini akan
berdampak pada keinginan pemerintah untuk memberikan tax amnesty dengan
harapan pajak yang dibayar oleh wajib pajak selama program tax amnesty akan
meningkatkan penerimaan pajak. Meski demikian, peningkatan pajak dari
program tax amnesty ini mungkin saja hanya terjadi selama program tax
amnesty dilaksanakan mengingat wajib pajak bisa saja kembali pada prilaku
ketidakpatuhannya setelah program tax amnesty berakhir. Dalam jangka
panjang, pemberian tax amnesty tidak akan memberikan banyak pengaruh jika
tidak dilengkapi dengan program peningkatan kepatuhan dan pengawasan
kewajiban perpajakan.
26
2. Meningkatkan kepatuhan pajak dimasa yang akan datang
Kepatuhan pajak merupakan salah satu penyebab pemberian tax amnesty. Para
pendukung tax amnesty umumnya berpendapat bahwa kepatuhan sukarela akan
meningkat setelah program tax amnesty dilakukan. Hal ini didasari pada
harapan bahwa setelah program tax amnesty dilakukan Wajib Pajak yang
sebelumnya menjadi bagian dari sistem administrasi perpajakan, maka Wajib
Pajak tersebut tidak akan bisa mengelak dan menghindar dari kewajiban
perpajakannya.
3. Mendorong repatriasi modal atau aset
Kejujuran dalam pelaporan sukarela atas data harta kekayaan setelah program
tax amnesty merupakan salah satu tujuan pemberian tax amnety. Dalam kontek
pelaporan, data harta kekayaan tersebut, pemberian tax amnesty juga bertujuan
untuk mengembalikan modal yang parkir diluar negeri tanpa perlu membayar
pajak atas modal yang di parkir di luar negeri tersebut. Pemberian tax amnesty
atas pengembalian modal yang di parkir di luar negeri ke bank didalam negeri
dipandang perlu karena akan memudahkan otoritas pajak dala meminta
informasi tentang data kekayaan wajib pajak kepada bank di dalam negeri.
4. Transisi ke sistem perpajakan yang baru
Tax amnesty dapat di justifikasi ketika tax amnesty digunakan sebagai alat
transisi menuju sistem perpajakan yang baru.
27
2.6.2 Karakteristik Tax Amnesty
Gambaran tentang karakteristik dari tax amnesty sebagai berikut (Darusalam,
“Manfaatkan Pengampunan Sanksi,” Inside Tax Edisi 31):
1. Durasi;
2. Kelompok Wajib Pajak;
3. Jenis Pajak dan Jumlah Pajak atau sanksi administarasi yang diberikan
ampunan.
Gambaran karakteristik tax amnesty diuraikan sebagai berikut :
1. Durasi
Secara umum, program Tax Amnesty berlangsung dalam satu kurun waktu
tertentu, dan umumnya berjalan selama 2 (dua) bulan hinga 1 (satu) tahun.
Untuk mendukung berhasilnya program Tax Amnesty, hal yang perlu
ditekankan adalah luasnya publisitas dan promosi program Tax Amnesty serta
tersampaikannya esan bahwa wajib pajak hanya memiliki kesempatan sekali
ini saja untuk memperoleh pengampunan atas pajak yang terutang, bunga dan
sanksi administrasi.
Menurut Benno Torgler dan Christoph A. Schaltegger, pengampunan pajak
sebaiknya diberikan hanya sekali saja dalam suatu generasi (once per
generation). Pengampunan pajak yang diberikan berkali-kali akan
menyebabkan wajib pajak akan selalu menunggu program pengampunan pajak
berikutnya dan ini akan mendorong wajib pajak untuk tidak menjalankan
kewajiban pajaknya dengan benar. Oleh karena itu apabila pemerintah akan
28
memberikan tax amnesty maka tidak boleh ada isu tentang program
pengampunan pajak jilid berikutnya.
2. Kelompok Wajib Pajak
Secara umum, setiap wajib pajak yang belum menunaikan kewajiban
perpajakannya diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam program Tax
Amnesty. Artinya, program tax amnesty ini ditujukan kepada wajib pajak yang
telah berada dalam sistem administrasi perpajakan dan wajib pajak yang belum
masuk dalam sistem administrasi perpajakan.
Perlakuan yang berbeda dimungkinkan ketika Wajib Pajak yang hendak
berpartisipasi dalam program tax amnesty telah diperiksa atau sedang dalam
proses pemeriksaan. Dalam hal ini, Wajib Pajak yang telah diperiksa atau
sedang dalam proses pemeriksaan tersebut tidak diperbolehkan berpartisipasi
dalam program tax amnesty karena jumlah tunggakan pajaknya telah diketahui
otoritas pajak. Wajib Pajak juga dapat disebut diberikan pengampunan jika
ketentuan peraturan perundang-undangan menyatakan Wajib Pajak yang
mengungkapkan kewajiban perpajakan atau harta kekayaan secara sukarela
berhak mendapatkan penurunan atau penghapusan sanksi administrasi.
3. Jenis Pajak dan Jumlah Pajak atau sanksi administarasi yang diberiksan
ampunan
Tentang Tax Amnesty harus menspesifikasi pajak apa saja yang diberikan
ampunan. Pada umumnya, pajak yang diberikan ampunan hanya bersumber dari
satu jenis pajak atau satu kategori subjek pajak saja, misalnya Tax Amnesty
29
hanya diberikan pada pajak penghasilan badan, atau program Tax Amnesty
hanya dikhususkan kepada pajak bumi dan bangunan saja.
Perkembangan terkini di beberapa negara menunjukan program Tax Amnesty
juga diberikan secara spesifik kepada harta kekayaan yang ditempatkan di luar
negeri yang belum dilaporkan oleh Wajib Pajak, termasuk harta kekayaan yang
direpartriasi ke dalam negeri.
Program Tax Amnesty yang diberikan secara khusus ini umumnya disertai
dengan pembebasan atau pengurangan pajak atas penghasilan yang belum
dilaporkan yang bersumber dari harta kekayaan di luar negeri tersebut.
Selain itu, jumlah pajak yang belum dibayar dan sanksi administrasi yang
diberikan ampunan harus ditentukan dalam ketentuan Tax Amnesty. Pada
Umumnya, jumlah yang diberikan ampunan dapat berupa :
a. Seluruh atau sebagian dari jumlah pajak yang terutang
b. Seluruh atau sebagian dari jumlah sanksi administrasi
c. Pembebasan dari sanksi pidana
d. Pemberian fasilitas angsuran.
Secara umum, Tax Amnesty mensyaratkan Wajib Pajak untuk tetap membayar
seluruh pajak yang terutang. Walau demikian, perhitungan pajak yang terutang
tersebut dapat saja didasarkan pada ketentuan peraturan perundang- undangan
perpajakan yang berlaku pada saat program tax amnesty dilaksanakan.
Sementara pemberian ampunan atas sanksi administrasi dan pembebasan dari
sanksi pidana merupakan hal yang umum diberikan di banyak program tax
amnesty.
30
2.6.3 Jenis Pengampunan Pajak
Menurut Erwin Silitonga, dalam literatur sekurang-kurangnya terdapat 4 jenis
pengampunan pajak, jenis yang dimaksud adalah sebgai berikut :
1. Pengampunan hanya diberikan terhadap sanksi pidana perpajakan saja
sedangkan kewajiban untuk membayar pokok pajak termasuk pengenaan
sanksi administrasi seperti bunga dan denda tetap ada.
Tujuan pengampunan ini adalah memungut dan menagih utang pajak tahun
– tahun sebelumnya yang tidak dibayar atau dibayar tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, sehingga penerimaan negara meningkat
sekaligus jumlah wajib pajak bertambah.
2. Pengampunan pajak yang diberikan tidak hanya berupa penghapusan sanksi
pidana, tetapi juga sanksi administrasi berupa denda.
Tujuan dari pengampunan ini adalah dasarnya sama dengan jenis 1
(pertama), yang berbeda adalah jenis sanksi administrasi yang dikenakan
oleh fiskus hanya sebatas bunga atas kekurangan pajak. Dengan demikian,
model ini tetap harus membayar pokok pajak ditambah dengan bunga atas
kekurangan pokok tersebut.
3. Pengampunan pajak diberikan atas seluruh sanksi, baik sanksi administrasi
maupun sanksi pidana.
Konsekuensi dari pengampunan jenis ini adalah wajib pajak hanya
dikenakan kewajiban sebatas melunasi utang pokok untuk tahun-tahun
sebelumnya tanpa dikenakan pidana. Dengan demikian pengampunan
31
diberikan terhadap semua perbuatan yang dilakukan sebelum pemberian
pengampunan pajak baik terhadap pelanggaran, yang bersifat adminitratif
maupun pidana.
4. Pengampunan diberikan terhadap seluruh utang pajak untuk tahun-tahun
sebelumnya dan juga atas seluruh sanksi baik yang bersifat administratif
maupun pidana.
Dalam pengampunan pajak jenis ini, negara melepaskan hak untuk
melakukan penagihan atas seluruh hutang pajak yang harus dibayar. Dengan
demikian, tidak ada uang pajak yang masuk kedalam negara sehingga tidak ada
peningkatan atau penambahan negara pada saat diterapkannya pengampunan. Hal
ini disebabkan hak negara untuk memperoleh penerimaan pajak dari tahun-tahun
sebelumnya dilepaskan atau dibebaskan.
2.7 Reinventing Policy (PMK 91)
2.7.1 Pengertian Reinventing Policy
Berangkat dari konsep pengampunan pajak (tax amnesty), reinventing
policy merupakan upaya transisi menuju babak baru hubungan antara Wajib Pajak
dengan Otoritas Pajak yang berlandaskan cooperative compliance. Cooperative
compliance akan didasarkan pada rasa saling percaya, saling memahami, dan
terbuka (Darussalam,”Manfaatkan Pengampunan Sanksi”, InsideTax Edisi 31).
Peraturan Mentri Keuangan Nomor 91 Tahun 2015 yang selanjutnya disebut
sebagai PMK 91 merupakan instrumen legal yang dipakai oleh Ditjen Pajak dalam
32
reinventing policy mengatur tentang pengurangan atau penghapusan sanksi yang
dikarenakan kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya. Sedangkan,
Landasan yuridis yang mengatur tentang reinventing policy adalah pasal 36 ayat
(1) huruf a Undang- Undang KUP, dimana dalam pasal 36 Undang-Undang KUP
ayat (1) huruf a disebutkan bahwa Direktur Jendral pajak, karena jabatan atau
permohonan wajib pajak, dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan – undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.
Penjelasannya “dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan
kepada wajib pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat
membebani wajib pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan
perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga dan denda dan
kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur
Jendral Pajak” (Direktorat Jendral Pajak, dalam slide Sosialisasi Internal).
2.7.2 Perbedaan antara Sunset Policy dan Reinventing Policy
Pada dasarnya kebijakan Sunset Policy dan Reinventing Policy hampir
sama, hanya yang membedakannya akan dipaparkan pada Tabel 2.1 berikut :
33
Tabel 2.1
Perbedaan Sunset Policy dan Reinventing Policy
Sunset Policy Reinventing Policy
Dasar Hukum Pasal 37 A Undang-undang KUP Pasal 36 ayat (1) huruf a KUP
Fasilitas
Perpajakan
yang Diberikan
Pengurangan atau penghapusan
sanksi bunga karena melakukan
pembetulan atau pelaporan SPT
Tahunan PPh (cakupan
pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi lebih sempit
dari pada Reinventing Policy)
1. Pengurangan atau
penghapusan sanksi denda
karena terlambat lapor SPT;
2. Pengurangan atau
penghapusan sanksi bunga
karena melakukan
pembetulan SPT Tahunan
PPh;
3. Pengurangan atau
penghapusan sanksi bunga
karena melakukan
pembetulan SPT masa.
Sifat pemberian
fasilitas
Otomatis diberikan pemerintah
tanpa permohonan tertulis
Diberikan oleh pemerintah dengan
didahului adanya permohonan
tertulis oleh Wajib Pajak.
Pemeriksaan
pajak bagi
Wajib Pajak
yang mengikuti
Dijamin tidak dilakukan
pemeriksaan sepanjang data dan
informasi yang disampaikan
adalah benar
Dapat dilakukan pemeriksaan pajak
(tidak ada jaminan seperti Sunset
Policy)
Jangka waktu 14 bulan (1 Januari 2008 – 28
Februari 2009)
12 bulan (1 Januari 2015 – 31
Desember 2015)
Keberadaan Berdiri Sendiri Sebagai salah satu pendukung
Program Lima Tahunan Perpajakan
yang pertama Jokowi-JK yaitu
“Tahun Pembinaan Wajib Pajak”
Program
Lanjutan
Tidak ada Penegakan Hukum Pajak (law
Enforcement)
(sumber: Indonesia Tax Review, 2015)
2.7.3 Tema dan Konsep Pelaksanaan Reinvanting Policy
Tahun 2015 adalah tahun pembinaan Wajib Pajak, tema dan konsep
Direktorat Jendral Pajak Tahun 2015 adalah:
a. Optimalisasi pemanfaatan data berbasis IT;
34
b. Wajib pajak diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan
pembetulan SPT (5 tahun ke belakang) dengan pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi;
c. Penegakan hukum secara selektif untuk memberikan efek jera kepada wajib
pajak (blokir rekening, pencegahan ke luar negeri, penyanderaan atau gijzeling,
dan penyidikan).
2.7.4 Ruang Lingkup Reinventing Policy
Ruang lingkup pengahapusan sanksi administrasi tahun 2015 adalah :
1. Penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan
sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014;
2. Keterlambatan pembayaran atau penyetoran atas kekurangan pembayaran
pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun
Pajak 2014 dan sebelumnya;
3. Keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang untuk suatu
saat atau masa pajak sebagaimana tercantum dalam SPT Masa untuk Masa
Pajak Desember 2014 dan/atau sebelumnya;
4. Pembetulan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan kemauan sendiri atas
SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Masa Pajak Desember 2014 dan
sebelumnya yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar.
2.7.5 Sasaran Kebijakan Reinventing Policy
Sasaran kebijakan tahun pembinaan pajak 2015 adalah:
1. Wajib pajak yang belum terdaftar;
35
2. Wajib pajak terdaftar tetapi belum menyampaikan SPT;
3. Wajib pajak terdaftar dan telah menyampaikan SPT.
Perlakuan yang akan diberikan kepada wajib pajak:
1. Penghapusan Sanksi Bunga atas pembetulan SPT (2% perbulan) dan denda
akibat tidak menerbitkan Faktur Pajak untuk SPT PPN (2%xDPP);
2. Penghapusan sanksi denda atas keterlambatan penyampaian SPT (Rp 1 (satu)
juta PPh Badan, Rp 100 (seratus) ribu PPh OP dan Rp 500 (lima ratus) ribu
SPT Masa PPN) dan sanksi bunga ketelambatan pembayaran pajak (2%
perbulan).
2.7.6 Persyaratan Kebijakan Reinventing Policy
Dalam rangka mendapatkan pengurangan atau penghapusan Sanksi
Administrasi, permohonan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Surat Tagihan Pajak;
b. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
c. Ditandatangani oleh wajib pajak dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi atau
wakil Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak Badan, dan tidak dapat dikuasakan;
dan
d. Disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Dokumen yang harus dilampirkan oleh Wajib Pajak :
a. Surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak di atas meterai Rp 6.000,
dan tidak dapat dikuasakan;
b. Fotokopi SPT atau SPT pembetulan atau print out SPT atau SPT embetulan
berbentuk dokumen elektronik;
36
c. Fotokopi bukti penerimaan atau bukti pengiriman surat sebagai bukti
penerimaan penyampaian SPT atau SPT pembetulan;
d. Fotokopi SSP atau sarana administrasi lain sebgai bukti pelunasan kurang
bayar dalam SPT atau SPT pembetulan; dan
e. Fotokopi STP.
Syarat lain yang masih harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonan
pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi ini adalah:
a. Sanksi Administrasi dalam STP belum dibayar oleh Wajib Pajak; atau
b. Sanksi Administrasi dalam STP sudah dibayar sebagaian oleh Wajib Pajak
Dalam hal Sanksi Administrasi dalam STP telah diperhitungkan dengan
kelebihan pembayaran pajak, yang diperhitungkan dengan kelebihan pembayaran
pajak, yang dilakukan melalui potongan SPT dan/atau transfer pembayaran, Sanksi
Administrasi dalam STP dianggap belum dibayar oleh Wajib Pajak.
2.7.7 Proses Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
Proses pengurangan atau penghapusan sanksi yang dilakukan oleh seorang
Wajib Pajak sebagai berikut :
1. Wajib Pajak melaporkan SPT atau pembetulan SPT (Tahunan dan/masa)
Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dimulai ketika Wajib Pajak
melakukan pembetulan, pembayaran, dan/atau pelaporan di tahun 2015 atas
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau
SPT Masa Desember 2014 dan sebelumnya.
2. Diterbitkan STP oleh Direktorat Jendral Pajak
37
Selanjutnya Kantor Pajak akan menerbitkan STP pengenaan sanksi
administrasi. Sanksi administrasi yang mungkin akan dikenakan kepada Wajib
Pajak adalah:
a. Denda karena keterlambatan penyampaian SPT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 Undang-Undang KUP;
b. Bunga karena pembetulan SPT Tahuanan yang mengakibatkan utang
pajak menjadi lebih besar sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2)
Undang-Undang KUP;
c. Bunga karena pembetulan SPT masa yang mengakibatkan utang pajak
menjadi lebih besar sebagaimana dimaksud dalam dalam pasal 8 ayat (2a)
Undang-Undang KUP;
d. Bunga karena keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang
terutang dalam SPT masa sebagaiman dimaksud dalam Pasal 9 ayat 2(a)
Undang-Undang KUP;
e. Bunga karena keterlambatan pembayaran atau penyetoran kekurangan
pajak yang tercantum dalam SPT Tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2b) Undang-Undang KUP;
3. Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
Setelah menerima STP, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
pengurangan sanksi yang ke Kantor Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, surat
permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dapat
dilakukan maksimal 2 (dua) kali oleh Wajib Pajak.
4. Tindak lanjut dari permohonan Wajib Pajak
38
a. Jika permohonan kepada DJP memenuhi persyaratan dan ketentuan DJP
akan menerbitkan surat keputusan pengahapusan atau pengurangan sanksi
administrasi
b. Jika permohonan kepada DJP tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan
DJP akan mengembalikan permohonan kepada Wajib Pajak dan Wajib
Pajak bisa mengajukan kembali permohonan atau pengurangan sanksi, jika
tidak memenuhi persyartan Wajib pajak dapat mengajukan kembali,
sedangkan jika tidak memenuhi ketentuan Wajib Pajak tidak dapat
mengajukan kembali.
2.8 Kepatuhan Wajib Pajak
2.8.1 Pengertian Kepatuhan
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah kepatuhan adalah tunduk
atau patuh pada ajaran. Menurut Safri Nurmantu (2005:148) kepatuhan perpajakan
dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua
kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.
Menurut Safri Nurmantu (2005:148) dijelaskan terdapat 2 (dua) macam
kepatuhan yaitu:
1. Kepatuhan Formal
Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi
kewajiban perpajakannya secara formal sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang perpajakan. Dalam hal ini kepatuhan memenuhi:
a. Wajib pajak membayar pajak dengan tepat waktu
39
b. Wajib pajak membayar dengan tepat jumlah
c. Wajib pajak tidak memiliki tanggungan Pajak Bumi dan Bangunan.
2. Kepatuhan Material
Kepatuhan material adalah dimana suatu keadaan dimana wajib pajak secara
substansi atau hakakat memenuhi semua ketentuan perpajakan, yakni sesuai
dengan isi dan jiwa Undang-Undang perpajakan. Dalam hal ini kepatuhan
memenuhi :
a. Wajib Pajak bersedia melaporkan informasi tentang pajak apabila petugas
membutuhkan informasi.
b. Wajib pajak bersifat kooperatif (tidak menyusahkan) petugas pajak dalam
pelaksanaan proses administrasi perpajakan, wajib pajak berkeyakinan
bahwa melaksanakan kewajiban perpajakan merupakan tindakan sebagai
warga negara yang baik.
2.8.2 Pengertian Wajib Pajak
Dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (2) Undang-
undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), disebutkan bahwa
Wajib Pajak adalah Orang Pribadi atau Badan meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Ada beberapa istilah dalam wajib pajak terkait dengan pelaksanan kewajiban
perpajakannya yaitu wajib pajak efektif dan wajib pajak non efektif. Wajib pajak
efektif adalah wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya, berupa
40
memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) masa dan atau
Tahunan sebagaimana mestinya. Sedangkan Wajib Pajak non efektif adalah wajib
pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Berdasarkan surat edaran
SE-01/PJ.9/20 tentang pengawasan penyampaian SPT Tahunan disebutkan bahwa
jumlah Wajib Pajak efektif adalah selisih antara jumlah Wajib pajak terdaftar
dengan jumlah Wajib Pajak non efektif.
Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dikategorikan menjadi orang pribadi
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu (WP OPPT) serta orang pribadi yang tidak menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas seperti karyawan atau pegawai yang hanya memperoleh
passive income.
2.8.3 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Nowak (Zain: 2004), kepatuhan Wajib Pajak memiliki pengertian
“suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin
dalam situasi dimana:
1. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan;
2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas;
3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar; dan
4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.”
Menurut Nurmantu dalam Rahayu (2010:138) mengatakan bahwa
kepatuhan perpajakan dapat didefenisikan sebagai keadaan dimana Wajib Pajak
memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.
Sedangkan menurut Santoso (2008) kepatuhan Wajib Pajak adalah Wajib
Pajak yang mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya
sesuai dengan peraturan yang berlaku tanpa perlu diadakannnya pemeriksaan,
41
investigasi seksama, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik
hukum maupun administrasi.
Menurut Nasucha (Devano dan Rahayu,2006 :111), kepatuhan Wajib pajak
dapat didefinisikan dari:
1. Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri;
2. Kepatuhan untuk melaporkan kembali surat pemberitahuan (SPT);
3. Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang; dan
4. Kepatuhan dalam membayar tunggakan.
Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa Kepatuhan
Wajib Pajak adalah sikap Wajib Pajak yang taat, tunduk dan patuh untuk memenuhi
serta melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Kepatuhan Wajib Pajak dalam konsep kemauan membayar pajak (Willingness to
Pay Tax) dikembangkan melalui 2 (dua) subkonsep yaitu konsep kemauan
membayar pajak dan konsep pajak, yang dijabarkan sebagai berikut :
1. Konsep kemauan membayar (Willingness to Pay Tax)
Kemauan membayar merupakan suatu nilai dimana seseorang rela untuk
membayar, mengorbankan atau menukarkan sesuatu untuk memperoleh barang
atau jasa (Widaningrum, 2007). Kemauan membayar pajak dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara,
pelayanan pada Wajib Pajak, penegakan hukum perpajakan dan tarif pajak
(Devano dan Rahayu,2006). Faktor- faktor pendorong kemauan membayar
pajak:
a. Kesadaran membayar pajak
42
Indikator pertama adalah adanya kesadaran membayar pajak oleh Wajib
Pajak. Irianto (2005) dikutip dalam Vanesa (2009) menguraikan beberapa
bentuk kesadaran membayar pajak yang mendorong Wajib Pajak untuk
membayar pajak, terdapat tiga bentuk kesadaran utama terkait pembayaran
pajak. Pertama, kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam
menunjang pembangunan negara. Kedua, kesadaran bahwa penundaan
pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara.
Ketiga, kesadaran bahwa pajak ditetapkan dengan Undang-Undang.
2. Konsep Pajak
Di dalam konsep ini menurut Mr. Dr. NJ. Taylor dikutip dalam Vanesa
(2009) pajak adalah prestasi sepihak oleh negara dan terutang kepada
pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa
adanya kontarsepsi, dan semata-mata digunakan untuk menutup
pengeluaran-pengeluaran umum. ada 2 (dua) indikator, yaitu:
1. Pengetahuan dan pemahaman terhadap peraturan perpajakan
Indikator ini terkait adanya pengetahuan dan pemahaman akan
peraturan perpajakan (syarat-syarat) terkait pembayaran pajak. Syarat
– syarat untuk melakukan pembayaran pajak adalah:
a. Wajib Pajak harus memiliki NPWP; dan
b. Wajib Pajak harus melaporkan SPT.
Syarat-syarat tersebut dapat dijadikan indikator kemauan membayar
pajak oleh Wajib Pajak dengan dua alasan, pertama Wajib Pajak yang
mau membayar pajak akan mendaftarkan diri untuk memperoleh
43
NPWP mau membayar pajak karena kepemilikian tersebut
mewajibkan wajib pajak untuk membayar pajak secara berkelanjutan.
Kedua, kepemilikan NPWP selanjutnya harus ditindaklanjuti dengan
pelaporan SPT oleh Wajib Pajak.
2. Persepsi yang baik atas efektifitas perpajakan
Indikator ini adalah adanya persepsi yang baik oleh Wajib Pajak
terhadap efektifitas perpajakan. Anu (2004) dikutip dalam Vanesa
(2009) dalam penelitiannya menguraikan bentuk-bentuk persepsi dan
alasan persepsi tersebut dapat mengindikasikan kemauan membayar
pajak oleh Wajib Pajak. Pertama, Wajib Pajak merasa jumlah pajak
yang harus dibayar tidak memberatkan, atau paling tidak sesuai
dengan penghasilan yang diperoleh. Wajib Pajak mau membayar
pajak apabila beban pajak yang dipikul tidak mempengaruhi
kemampuan ekonomis secara signifikan. Kedua, Wajib Pajak menilai
sanksi- sanksi perpajakan dilaksanakan dengan adil. Dengan
penilaian ini Wajib Pajak akan membayar pajak, didasarkan pada
kepercayaan bahwa Wajib Pajak yang tidak memayar pajak akan
deikenakan sanksi. Ketiga, Wajib Pajak menilai pemanfaatan pajak
sudah tepat, salah satu pemanfaatan pajak adalah pembangunan
fasilitas umum.
44
2.9 Kerangka Pemikiran
Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang paling potensial. Untuk
meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan pemerintah mengeluarkan
program tax amnesty (pengampunan pajak). Menurut Devano dan Rahayu (2006),
pengampunan pajak (tax amnesty) merupakan kebijakan pemerintah dibidang
perpajakan yang memberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang dengan
membayar tebusan dalam jumlah tertentu yang bertujuan untuk memberikan
tambahan penerimaan pajak dan kesempatan bagi Wajib pajak yang tidak patuh
menjadi Wajib Pajak yang patuh.
Yang menjadi bagian dari Tax Amnesty adalah Sunset Policy dan Reinventing
Policy. Sunset Policy adalah program penghapusan sanksi administrasi pajak
penghasilan. Kebijakan Sunset Policy di negara Indonesia telah dilaksanakan pada
tahun 2008. Sunset Policy merupakan fasilitas perpajakan yang diatur berdasarkan
pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
Wajib pajak yang dapat menikmati fasilitas kebijakan Sunset Policy adalah
wajib pajak yang secara sukarela mendaftarkan dirinya untuk memperoleh NPWP
dalam tahun 2008 dan menyampaikan SPT Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 dan
sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak
yang tidak atau kurang dibayar dan Wajib Pajak yang dalam tahun 2008
menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan sebelum Tahun
Pajak 2007 yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih
45
besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan
pelunasan kekurangan pembayaran pajak.
Pemerintah mengakui bahwa penerapan Sunset Policy untuk pertama
kalinya terbilang sukses karena berhasil memperoleh tambahan penerimaan pajak
tahun 2008 sebesr Rp 7,46 triliun. Melalui Sunset Policy juga diperoleh
penambahan Wajib Pajak sebesar 5,5 juta (Darussalam,”Manfaatkan Pengampunan
Sanksi”, InsideTax Edisi 31). Namun setelah fasilitas pengampunan diberikan,
kinerja penerimaan malah menunjukan penurunan dan tingkat kepatuhan Wajib
Pajak yang cendrung stagnan. Maka dari itu Pada Tahun 2015, tepatnya dibulan
mei pemerintah mengeluarkan PMK 91 kebijakan yang dinamakan Reinventing
Policy atau yang biasa dikenal dengan istilah Sunset Policy Jilid II. Reinventing
Policy merupakan program kebijakan pemerintah yang diatur dalam pasal 36 ayat
(1) huruf a Undang- Undang KUP, dimana dalam pasal 36 Undang-Undang KUP
ayat (1) huruf a disebutkan bahwa Direktur Jendral pajak, karena jabatan atau
permohonan Wajib Pajak, dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan – undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.
Alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan reinventing policy karena tax
ratio pada tahun 2013 yang masih rendah yaitu 11,89% (sumber:website Direktorat
Jendral Pajak) dan tingkat kepatuhan wajib pajak yang dinilai masih rendah.
Biasanya permasalahan kepatuhan perpajakan timbul karena kurangnya kesadaran
Wajib Pajak dalam membayar pajak, rendahnya pengetahuan dan pemahaman
46
wajib pajak akan peraturan perpajakan serta kurangnya persepsi yang baik atas
efektifitas sistem perpajakan. Menurut Nowak (Zain: 2004), kepatuhan Wajib Pajak
memiliki pengertian “suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban
perpajakan, tercermin dalam situasi dimana:
1. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas;
3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar;
4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.”
Kebijakan Reinventing Policy bertujuan untuk mendorong Wajib Pajak agar
lebih jujur, konsisten dan sukarela dalam melaksanakan kewajiban pajaknya.
Pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak to become the honest tax payer melalui
pengampunan perpajakan diharapkan akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak
dimasa yang akan datang.
Penelitian terkait pengampunan pajak yang dilakukan oleh Alm dan Beck
(1993) sebagaimana dikutip dalam dikutip dalam Vanesa (2009) yang menunjukan
bahwa pengampunan pajak selalu mempengaruhi kepatuhan pajak (tax compliance)
oleh wajib pajak dimana konsep kemauan membayar pajak (willingness to pay tax)
termasuk didalamnya.
Vanessa dan priyo (2009) dalam penelitiannya tentang “Dampak Program
Sunset Policy Terhadap Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kemauan Membayar
Pajak” menunjukan bahwa adanya pengaruh positif terhadap ketiga faktor yang
mempengaruhi kemauan membayar pajak.
47
Monica Dian Anggraeni dan Endang Kiswara (2011) dalam penelitiannya
mengenai “Pengaruh Pemanfaatan Fasilitas Perpajakan Sunset Policy terhadap
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak,” menunjukan bahwa program Sunset Policy
berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang dilihat dari
konsep Willingness to Pay Tax.
Bintaro Wardiyanto (2007) melakukan penelitian mengenai “Tax Amnesty
Policy (The Framework Prospective of Sunset Policy Implementation Based on the
Act no.28 of 2007).” Hasil dari penelitian menunjukan bahwa kontak psikologis
yang dibangun oleh aparatur pajak dan Wajb Pajak akan berdampak pada
terbentuknya moral pajak yang berpengaruh secara signifikan terhadap kemauan
membayar pajak.
Sunset Policy berangkat dari konsep pengampunan pajak (Tax Amnesty),
Jams Alm (1998) dalam studinya memaparkan beberapa hasil pengampunan pajak
di beberapa negara, yakni india, irlandia, colombia, dan bagian colorado amerika
serikat. Hasil penerapan program tersebut secara ringkas disajikan dalam tabel
dibawah ini.
48
Tabel 2.2
Hasil Praktik Program Pengampunan Pajak Beberapa Negara
Negara Tahun Bentuk Pengampunan
Pajak
Implikasi
India 1997 Pengampunan pajak berupa
penghaspusan sanksi administrasi
Jenis pajak yang dilibatkan adalah
pajak penghasilan
Peningkatan penerimaan pajak
tiga kali lipat dari jumlah yang
diperoleh dalam pemberian
pengampunan pajak sebelumnya
dan meningkatkan kepatuhan
wajib pajak dalam jangka panjang.
Irlandia 1988 Pengampunan pajak berupa
pengahapusan sanksi administrasi
dalam waktu 10 (sepeuluh) bulan.
Jenis pajak yang dilibatkan adalah
pajak penghasilan
Penerimaan pajak aktual (750 juta
dolar) 15 kali lipat dari
penerimaan pajak yang diestimasi
(50 juta dolar).
Colombia 1987 Pengampunan pajak berupa
penghapusan sanksi administrasi
dengan syarat pembayar pajak
telah melaporkan penghasilan
tahun sebelumnya.
Jenis pajak yang dilibatkan adalah
pajak yang terkait kepemilikan
aset.
Pendapatan pajak yang meningkat
menjadi 100 juta dollar dan
memberi kesempatan kontribusi
sebesar 0,3% dari Gross Dosmetic
Product
Colorando 1985 Pengampunan pajak terhadap
sanksi administrasi dan sanksi
pidana dalam waktu dua bulan
Jenis pajak yang dilibatkan adalah
pajak penjualan, pajak
rokok, dan pajak untuk bahan
bakar.
Pendapatan pajak aktual (6,3 juta
dolar) melebihi pendapatan pajak
yang diestimasi (5 juta dolar).
(Sumber: Alm, James 1998)
50
Didasarkan pada fakta diatas, dapat dilihat bahwa program pengampunan
pajak dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang berdampak terhadap
peningkatan penerimaan negara. Penghapusan sanksi diharapkan dapat
meningkatkan kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajak baik atas kekurangan
pembayaran dimasa lalu maupun untuk pembayaran pajak selanjutnya.
Penelitian yang akan dilakukan dalam skripsi ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana peranan program kebijakan pemerintah terkait dengan
kebijakan Reinventing Policy terhadap kepatuhan wajib pajak. Dimensinya dapat
dilihat dari konsep kemauan membayar pajak (Willingness to Pay tax) yaitu
kesadaran membayar pajak, pengetahuan dan pemahaman terhadap peraturan
perpajakan dan persepsi yang baik atas efektivitas sistem perpajakan.
51
Reinventing PolicyKepatuhan Wajib
Pajak
Indikator:
1.Kesadaran Membayar
Pajak;
2.Pengetahuan dan
Pemahaman Terhadap
PeRaturan Perpajakan;
3. Persepsi yang Baik
atas Efektifitas
Perpajakan .
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
2.10 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan
penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2008:8).
Berdaasarkan seluruh uraian diatas maka penulis mengajukan hipotesis sebagai
berikut:
H0 : β = 0 Reinventing Policy tidak mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kepatuhan wajib pajak.
52
Ha : β ≠ 0 Reinventing policy mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak.
10
10