bab ii landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/tsa-2013-0054 bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
5
BAB II
Landasan Teori
2.1 Model Bisnis Osterwalder dan Pigneur (2010, PP 14) mengatakan “a business model describes
the rationale of how an organization creates, delivers, and captures value”. Jadi
proses bisnis mengenai bagaimana sebuah perusahaan menciptakan, menyampaikan,
dan menangkap nilai perusahaan bagi pelanggan sehingga pada akhirnya akan
ningkatkan nilai perusahaan dari perspektif pelanggan.
Dalam buku yang sama, Osterwalder dan Pigneur (2010, PP 16-47) menyebutkan
bahwa model bisnis model paling tepat di deskripsikan melalui sembilan faktor yang
menggambarkan logika yang digunakan oleh perusahaan untuk menghasilkan
pendapatan. Sembilan fakor tersebut antara lain: customer segments, value
propositions, channels, customer relationship, revenue streams, key resources, key
activity, key partnerships, dan cost structure. Faktor-faktor ini melingkupi empat area
utama dalam bisnis: customer, offer, infratrusture, dan financial viability. Bisnis
model seperti cetak biru dari sebuah strategi untuk diimplementasikan melalui
struktur organisasi, proses, dan sistem. Harmon (2009) mengatakan bisnis model
yang terbaik akan gagal jika perusahaan gagal melaksanakannya. Rantai nilai atau
proses yang baik akan gagal jika menghasilkan produk atau servis yang tidak pantas
untuk pasar. Antara keduanya terdapat tugas untuk menyamakan bisnis model (dan
tujuan serta strategi) perusahaan dengan proses pada perusahaan. Pada saat ini, proses
dan model bisnis harus dinamis. Seorang eksekutif senior perusahaan harus secara
konstan memperhatikan bisnis model organisasi, dan orang-orang proses juga secara
konstan memikirkan cara untuk meningkatkan proses bisnis. Dan keduanya perlu
memperhatikan bagaimana untuk mengganti model perspektif mereka untuk
mengakomodasi kebutuhan dan keterbatasan yang lainnya.
6
2.2 Proses Bisnis Seperti yang di tulis oleh Al-Mudimigh (2007) dalam jurnal manajemen proses
bisnis, “A business process is set of interrelated activities which have definable inputs
and, when executed, result int an output that adds value form a customer
perscextive”, sebuah proses bisnis adalah sekumpulan aktivitas yang saling
berhubungan yang memiliki input yang dapat dijabarkan dan saat dijalankan, hasilnya
adalah pada output yang menambahkan nilai dari perspektif pelanggan. Proses bisnis
secara sederhananya adalah cara menyelesaikan pekerjaan di dalam sebuah
perusahaan. Mereka saling bersilang-fungsi (cross-functional) dan melewati fungsi
organisasi. Seperti sebuah pemenuhan pesanan yang terbentang pada seluruh fungsi
organisasi dari pelanggan hingga pengiriman akhir.
De Bruin dan Roseman (2005) mengatakan mengenai factor yang berpengaruh
terhadap suksesnya proses bisnis, “…. The underliying assumption of theoretical
model is that the factors (based on identified BPM critical success factors) represent
independent variables and the dependent variable is BPM success…. A further
assumption is that higher maturity in each of this factors will be reflected in higher
levels of success in the BPM initiative”. De Bruin dan Roseman menggambarkan
bahwa untuk mencapai kesuksesan suatu proses dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu: strategic alignment, culture, people, governance, methods, dan IT. Untuk itu
dalam pengembangan suatu proses bisnis, faktor-faktor ini perlu diperhatikan karena
pada akhirnya kesuksesan bisnis dapat dicapai.
Pada penelitian ini, keselarasan strategi didapatkan dengan memperhatikan antara
visi, misi, nilai-nilai, dan strategi perusahaan saling mendukung. Strategi perusahaan
dijadikan rambu-rambu pada saat membuat CSF dan KPI sehingga CSF dan KPI
tetap selaras dengan strategi perusahaan. Budaya perusahaan identik dengan nilai-
nilai yang dijalankan oleh perusahaan. Faktor orang pada penelitian diwujudkan
dengan pengembangan dan pembelajaran pegawai perusahaan. tata kelola perusahaan
dalam penelitian ini diwujudkan dengan peraturan dan kedisiplinan untuk
menjalankan aturan tesrsebut. Metode pelaksanaan proses digambarkan dengan jelas
sehingga pegawai mengerti apa yang harus mereka kerjakan. Dan terakhir adalah
p
p
m
2
B
m
p
l
pemanfaatan
perusahaan.
mendukung
2.3 ManAl-Mudim
BPM (busin
mengertikan
proses funda
lain dalam
n TI yang
keenam k
kesuksesan
najemen migh (2007)
ness process
n, menganal
amental sepe
operasi sebu
memberika
konteks ter
proses bisni
Gambar 3
Proses B) juga men
s manageme
lisis, mendu
erti manufak
uah perusah
an kemudah
rsebut diter
is perusahaa
3.1 The Und
Bisnis nuliskan dala
ent) adalah
ukung, dan
ktur, pemasa
haan. BPM
han-kemudah
rapkan dala
n.
derlying Mo
am jurnal m
sebuah pen
secara ber
aran, komuni
adalah sebu
han dalam
am penelitia
odel
manajemen
ndekatan str
rkelanjutan
ikasi, dan ele
uah sistem y
proses bisn
an ini unt
proses bisn
ruktural unt
meningkatk
emen domin
yang luas d
7
nis
tuk
nis,
tuk
kan
nan
dan
8
melingkupi (encompassing) yang dimulai dari keikutsertaan dan komitmen dari
manajemen puncak, berfokus pada peningkatan proses pada supply chain,
menanamkan secara perlahan-lahan sebuah pendekatan terstruktur pada change
management, dan menekankan manajemen dan pengembangan manusia. Ryan (2009,
Pp 12) mempersingkat pernyataan mengenai BPM ini menjadi “a series or network of
value-added activities, performed by their relevant roles or collaborators, to
pruposefully achieve the common business goal”.
Selanjutnya Al-Mudimigh (2007) menyebutkan “It (BPM) is widely recognized as
a foundation for contemporary management approaches as it goes via the analysis of
business processes to the roots of an organization”, BPM disukai karena menganalisa
proses bisnis organisasi hingga keakarnya.
Owen dan Raj (2006) dari Telelogic mengatakan, “The fact that business process
management is a new initiative might lead you to believe that business processes
have not been managed previously. This is of course not true – many organization
have modeled and managed their business processes for years, using an eclectic
mixture of tools and techniques”, walaupun BPM merupakan hal yang baru, namun
bukan berarti bahwa perusahaan tidak mengelola mengenai proses bisnis mereka
sebelumnya. Banyak organisasi telah memodelkan dan mengelola proses bisnis
mereka bertahun-tahun, hanya saja menggunakan gabungan dari berbagai berbagai
alat dan teknik terpisah. Untuk itu diperlukan sebuah kerangka kerja yang jelas dan
notasi yang terstandar untuk membantu manajemen melakukan pengelolaan terhadap
proses bisnis organisasi.
Bandara (2007) menyebutkan,
“From the BPM perspective, the strategic level, which is at the top level of
categorization, relates to top management support, business and IT alignment,
process organization and governance issues. The tactical level encompasses
challenges in efforts such as process modeling, process performance
measurement and BPM methodologies. The operational level relates to
technological issues in BPM adoption such as technology capability, SOA
9
(Service Oriented Architectures) maturity in the technology landscape, use of
CML standards and so on.”
Hasil penelitian Bandara (2007) mendapatkan isu dari BPM, dalam level strategis,
taktis, dan operasional. Isu BPM pada level strategis adalah: lack of governance, lack
of employee buy-in, lack of common mind share of BPM, dan Broken link between
BPM efforts and organizational strategy. Kemudian isu pada level taktis adalah: lack
of standards, weaknesses in process specification, lack of BPM education, dan lack of
methodology. Terakhir, isu BPM pada level operasional adalah: lack of tool support
for process visualization, perceived gaps between processes design and process
execution, dan miscommunication of tool capabilities. Pernyataan Bandara di atas
memperkuat apa yang disebutkan oleh Al-Mudimigh (2007) sebagai berikut, “A
comprehensive BPM approach requires alignment to corporate objective, adequate
governance and an employees’ customer focus and involves, besides a
crossfunctional viewpoint, strategy, operations, techniques and people”. Jika hal-hal
tersebut diabaikan maka akibatnya seperti yang dikutip dari Bandara di atas. Untuk
menanggulangi isu-isu yang disebutkan sebelumnya, maka diperlukan kerangka kerja
BPM oleh burlton sebagai penuntun yang didalamnya menjawab sebagian besar
tantangan dari isu BPM yang disebutkan oleh Wasana Bandara. Serta dibutuhkan
juga notasi yang terstandarisasi untuk memvisualisasikan proses bisnis sehingga
dapat dibaca oleh setiap pengguna yang berkepentingan terhadap proses bisnis.
2.4 Daur Hidup Manajemen Proses Bisnis Wetzstein et al (2007) membagi daur hidup manajemen proses bisnis menjadi
empat tahap yaitu: process modeling, process implementation, process execution, dan
process analysis. Berikut penjabaran keempat tahap tersebut menurut Wetzstein et al
(2007):
• Process Modelling. Pada tahap ini, business analyst membuat proses model
analitis dengan bantuan dari perangkat model dengan menspesifikasikan urutan
dari tugas-tugas dalam proses bisnis. Business analyst juga dapat menambahkan
10
informasi mengenai bagaimana tugas tersebut harusnya dikerjakan dan siapa yang
mengerjakannya.
• Process Implementation. Model proses yang dibuat pada tahap sebelumnya
diubah dan diperkaya oleh IT engineers menjadi model proses yang dapat
dieksekusi pada sebuah process engine.
• Process execution. Setelah penyebaran proses, process engine mengeksekusi
process instances dengan menavigasikannya melalui alur kontrol dari model
proses.
• Process analysis. Analisis proses terdiri dari memantau proses yang berjalan dan
process mining. Memantau proses mengungkapkan informasi dari proses yang
sedang berjalan. Beberapa BPMS mendukung pemantauan pada tingkat bisnis,
dimana business analyst dapat menspesifikasi key performance indicator (KPI)
dari proses saat memodelkan proses kemudian mengevaluasi dan menyajikan
evaluasi proses tersebut dalam bentuk dashboard pada saat eksekusi proses
Ryan (2009) megutip dari Van der Aalst et al (2003) mengenai daur hidup BPM
dan perbandingannya dengan workflow management system (WfMS). Di jelaskan
bahwa WfMS merupakan bagian dari BPM. Menurut Vander Aalst, WfMS
merupakan versi BPM yang belum dewasa. WfMS tidak mendukung diagnosis
seperti pada BPM. Maka pada penelitian ini, diusulkan sarana untuk mendiagnosis
proses bisnis perusahaan sekaligus membuat pelaporannya. Alat diagnosa yang
digunakan berupa dashboard KPI dari setiap divisi yang termasuk dalam lingkup
penelitian. Gambar perbandingan WfMS dan BPM adalah seperti di bawah ini:
11
Gambar 2.2 BPM life cycle to compare WfMS and BPM
Pyke (2006, Pp 39) menyebutkan, “Applying IT to process technology is going to
give you that competitive advantage….” Dapat disimpulkan bahwa dalam BPM
diperlukan juga pemanfaatan teknologi yang tepat agar perusahaan dapat
mengembangkan atau mempertahankan keunggulan kompetitif perusahaan. Selain
pemanfaatan teknologi, proses analisis (diagnosis) juga diperlukan agar manajer
dapat memantau pengukuran kinerja secara realtime agar para manajer mendapat
gambaran mengenai bagaimana perusahaan beroperasi setiap saat. Hal ini didukung
oleh kesimpulan Pyke (2006) yang menyebutkan, “Analytics give business managers
and executives the ability to track and measure performance based on real time
feedback on their processes which gives them real insight into how the organization
is operating.”
2.5 Kerangka Kerja Manajemen Proses Bisnis Kerangka kerja Burlton (2001) yang dikutip oleh Sugiarto (2005) memiliki
delapan aktivitas utama yang di tujukan kepada peningkatan kinerja bisnis.
Pengelompokan aktivitas akan disebut sebagai fase dari kerangka kerja. Fase tersebut
Diagnosis
Process Design
System configuration
Process enhancment
WfMS
BPM
12
tergabung menjadi empat mode yaitu: Strategy mode, design mode, realization mode,
dan operational mode. Delapan aktivitas utama menurut burtlon (2001), adalah
sebagai berikut:
Gambar 2.3 Kerangka Kerja Manajemen Proses Bisnis Burlton
1. Defining the Business Context for Change
Tujuan dari fase ini adalah untuk memastikan sebuah pengertian bersama area
bisnis yang dikuasai oleh semua pembuat keputusan kunci. Hal ini memberikan
sebuah keseimbangan pada kriteria pembuatan keputusan yang diterima bersama
untuk membuat perubahan berdasarkan kebutuhan bisnis dan kebutuhan pemegang
kepentingan. Hal ini untuk memastikan bahwa anggota organisasi mengetahui
mengenai pemegang kepentingan yang paling berpengaruh terhadap sukses masa
depan organisasi.
Business Context
Architect and Align
Vision Understand Renew
Develoop ImplementNurture and Continualy Improve
13
2. Architect and Align
Tujuan dari fase ini adalah untuk mengidentifikasikan hubungan antara proses
bisnis, teknologi, fasilitas, sumber daya manusia, dan strategi bisnis. Sebuah
organisasi memetakan informasi ini sebagai hasil dari fase pertama untuk
menghasilkan prioritas dari program perubahan. Proses di definisakan
berdasarkan dari pelayanan dan garis interaksi antara pemangku kepentingan.
Dam program perubahan dipasangkan dengan strategi bisnis dan seluruh
komponen arsitektur.
3. Creating the Vision for Change
Tujuan dari fase ini adalah untuk menentukan dan menetapkan kebutuhan kinerja
masa depan dari proses yang akan diperbaharui dan untuk memastikan lingkup
dari proses dan karakteristik lain dari variabel yang akan dianalisis sebagai bagian
dari proyek. Organisasi memastikan proyek yang tepat dijalankan dan semua
pihak yang berhubungan dengannya mengetahui kriteria untuk sukses dan
menyetujuinya. Berdasarkan dari kesepakatan bersama, tim perbaharuan proses
mendapatkan komitmen sumber daya dan persetujuan untuk proses dengan
perwakilan dari proses yang terpilih. Fase ini dapat menjadi titik awal dari
kerangka kerja dimana organisasi memilih untuk menerima resiko dari tidak
dilakukannya konteks bisnis atau aktivitas menyelaraskan dan arsitektur.
4. Understand the Existing Process
Tujuan fase ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang cukup dari situasi
saat ini sehingga perubahan mendasar dapat dilakukan. Pada fase ini, dokumen
sebuah perusahaan dianalisa dan divalidasi mengenai kenyataan saat ini kemudian
mendefinisikan prioritas peningkatan. Bukan tujuan dari fase ini untuk
menghasilkan pengetahuan yang detail dan sempurna, tetapi cukup untuk
mendapatkan kepastian dan bergerak kepada penciptaan solusi.
5. Renewing the Process Design
Tujuan dari fase ini adalah untuk mendesain atau mendesain ulang proses,
panduan, dan enabler untuk memenuhi kebutuhan visioner pemegang
14
kepentingan. Fase ini juga memastikan bahwa solusi akan berhasil dan sesuai
dengan perspektif bisnis.
6. Developing Enablers and Support Mechanism
Tujuan dari fase ini adalah untuk mengembangkan detail dari setiap komponen
untuk seluruh solusi dari proses bisnis yang dirancangkan. Dalam fase ini, sebuah
organisasi akan membangun atau merubah seluruh mekanisme pembantu yang
dibutuhkan agar proses baru bekerja seperti kebutuhan pemegang kepentingan.
7. Implementing the Change
Fase ini mempersiapkan seluruh pemegang kepentingan yang akan terkena
dampak dengan mengimplemenatasikan solusi. Fase ini juga menghasilkan versi
terintegrasi dari solusi sesuai dengan strategi perubahan.
8. Operating the Process and Continuing to Improve
Tujuan dari fase ini adalah untuk melanjutkan mencari kesempatan untuk
berkembang berdasarkan dari pengalaman, new enablers, dan pengeahuan
tambahan. Pada fase ini, perusahaan dapat memastikan bahwa proses baru
dioperasikan dan ditingkatkann sebagai kesatuan proses tanpa memandang
struktur organisasi.
2.6 BPMN (Business Process Management Notation) Memetakan suatu proses bisnis diperlukan sebuah standar agar setiap orang dapat
membaca dan mengerti hasil dari pemetaan tersebut. BPMN merupakan sebuah
model standar yang di usulkan oleh business process management initiative (BPMI)
sebagai solusi agar setiap orang dapat membaca pemetaan model bisnis tersebut.
Owen dan Raj (2006) menyebutkan, “…. The first goal of BPMN is to provide a
notation that is readily understandable by all business users…. Second, equally
important goal is to ensure that XML languages designed for the execution of
business process, such as BPEL4WS (Business Process Execution Language for Web
Services) and BPML (Business Process Modeling Language), can be visually
expressed with a common notation”, ada dua tujuan dari BPMN, yaitu: pertama,
untuk menyediakan notasi yang siap digunakan dan mudah dimengerti oleh setiap
15
pengguna bisnis. Tujuan kedua BPMN, adalah untuk memastikan bahwa desain
bahasa XML untuk mengeksekusi proses bisnis dapat diekspresikan secara visual
dengan sebuah notasi umum.
Selanjutnya Owen dan Raj (2006) mengatakan bahwa, “BPMN is a core enabler
for a new initiative in the Enterprise Architecture World….These techniques have
only been partially successful, or failed outright because there has been a lack of
standards and a complete lifecycle to control and guide the design and execution of
business processes”, BPMN merupakan elemen inti bagi dunia arsitektur bisnis, yaitu
manajemen proses bisnis. BPM sering hanya berhasil sebagian, atau tidak berhasil
sama sekali dikarenakan kurangnya standar dan daur hidup yang lengkap untuk
mengontrol dan memandu desain serta eksekusi dari proses bisnis. Mengatur
perubahan proses tidak cukup hanya berfokus pada perubahan itu saja, namun perlu
diperhatikan juga mengenai penemuan kelemahan, arsitektur, desain, dan proses
pengerjaannya secara keseluruhan. Agar manajemen mengerti mengenai hal tersebut,
maka diperlukan sebuah standar untuk memodelkan proses bisnis.
Pada penelitian ini, digunakan BPMN sebagai acuan dalam melakukan pemetaan
proses bisnis saat ini dan proses bisnis sebagai solusi perbaikan. Dengan
menggunakan notasi yang mudah dimengerti oleh orang-orang bisnis, maka
diharapkan dapat memperlancar proses pengerjaan solusi proses bisnis. Namun
pengerjaannya dengan menggunakan visio karena penulis tidak mendapatkan tools
untuk membuat BPMN tersebut.
2.7 Persediaan Barang Persediaan merupakan segala sesuatu yang disimpan dengan tujuan akan
dipergunakan untuk mendapatkan suatu keuntungan atau manfaat di masa yang akan
datang. Persediaan merupakan sumber dana yang menganggur dalam suatu organisasi
karena manfaat yang diharapkan belum diperoleh. Ada beberapa jenis persediaan,
yaitu: bahan baku, bahan pembantu, barang setengah jadi, barang jadi, dan spare
16
part. Namun dalam penelitian ini jenis persediaan yang dimiliki oleh organisasi
hanya barang jadi.
Sistem pengendalian persediaan merupakan serangkaian kebijakan pengendalian
untuk menentukan tingkat minimal dan maksimal jumlah persediaan yg harus dijaga,
titik saat pesanan harus dilakukan untuk menjaga ketersediaan, dan berapa seberapa
besar jumlah pesanan yang diperlukan. Dengan kata lain sistem ini bertujuan untuk
menentukan dan menjamin tersedianya persediaan yg tepat dalam kuantitas serta
waktu.
Berikut ini merupakan beberapa kegunaan dari manajemen persediaan, yaitu:
1. Menghilangkan resiko keterlambatan pengiriman.
2. Menghilangkan resiko jika material yg dipesan rusak, sehingga harus
dikembalikan.
3. Menghilangkan resiko jika terjadi kenaikan harga atau inflasi.
4. Untuk menyimpan bahan baku yg bersifat musiman.
5. Mendapatkan keuntungan karena adanya discount.
6. Memberikan pelayanan kepada pelanggan (customer satisfaction).
Seperti yang disebutkan diatas, proses manajemen persediaan dapat sangat membantu
pihak manajemen dalam mengatur persediaannya dalam usahanya meningkatkan
customer value. Dan juga manfaat lainnya adalah peningkatan keuntungan dengan
menekan biaya atas pengendalian resiko dari manajemen persediaan perusahaan.
Dibawah ini merupakan kelompok-kelompok persediaan dijabarkan oleh
Stevenson (2009, Pp. 551) sebagai berikut:
1. Raw material dan purchased parts.
2. Partially completed goods, called work-in-process (WIP)
3. Finished-goods inventory (manufacturing firms) atau merchandise (retail stores)
4. Tools dan supplies.
5. Maintenance and repairs (MRO) inventory.
6. Goods-in-transit to warehouses, distributors, atau customers (pipelines inventory)
17
Jadi persediaan didalam perusahaan dapat dimasukkan ke dalam enam kelompok di
atas sehingga akan mempermudah pengaturannya. Pengelompokan persediaan ini
akan sangat berguna saat organisasi memiliki banyak jenis persediaan dengan
kuantitas serta perputaran yang tinggi.
Sebuah manajemen persediaan yang efektif menurut Stevenson (2009, Pp. 553)
perlu dapat memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
1. A system to keep track of the inventory on hand and on order
2. A realiable forecast of demand that includes an indication of possible forecast
error
3. Knowledge of lead times and lead time variability
4. Reasonable estimates of inventory holding cost, ordering cost, and shortage cost.
5. A Classification system for inventory items.
Dengan kelima persayaratan ini dipenuhi, sebuah manajemen persediaan dapat
dikatakan telah efektif. Dalam perancangan sistem manajemen persediaan PT. TPS
akan melihat pemenuhan terhadap persyaratan ini.
2.8 Visi, Misi, Nilai-Nilai, dan Strategi Perusahaan
Seperti yang disebutkan dalam buku Parmenter (2011, Pp. 38) bahwa pemahaman
akan perbedaan misi, visi, nilai-nilai, dan strategi merupakan hal yang vital untuk
menghasilkan para staf yang cepat, fokus, dan fleksibel. Agar CSF dan KPI dapat
benar-benar mendukung kemajuan perusahaan, pembentukan CSF dan KPI tersebut
perlu berpegangan pada visi, misi, nilai-nilai, dan strategi perusahaan. Maka dari itu
yang pertama kali dilakukan dalam penelitian ini adalah mencari dan menjabarkan
misi, visi, strategi, dan nilai perusahaan.
Misi seperti rambu abadi yang mungkin tidak akan pernah di capai oleh
perusahaan. Suatu pernyataan misi yang baik akan tidak berubah selama beberapa
dekade. (misalnya sebuah perusahaan multinasional di bidang hiburan mempunyai
18
misi “membahagiakan orang”, sementara misi 3M adalah “untuk secara inovatif
menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan”)
Visi meringkas apa yang diinginkan perusahaan dalam jangka waktu tertentu.
Suatu visi menjelaskan apa yang akan di capai jika perusahaan tersebut berhasil. Bisi
dapat membangkitkan perusahaan jika dinyatakan dengan cukup jelas, terikat waktu,
dan didukung secara terus menerus oleh tim manajemen senior. (Contoh: Visi John F.
Kennedy sewaktu ia berkata, “Saya yakin bahwa bangsa ini harus melibatkan diri
secara aktif mencapai tujuan, sebelum decade ini berakhir, mendaratkan seorang di
bulan dan membawanya pulang ke bumi dengan selamat.” Pernyataan sedarhana
tersebut membangkitkan dan menyatupadukan masyarakat ilmiah AS, serta
manajemen dan staf dari berbagai perusahaan dalam usaha besar mencapai visi ini
dari semenjak hal tersebut diutarakan, para ahli NASA mulai merencanakan
bagaimana jutaan blok bangunan esensial yang diperlukan untuk mencapai isi ini
harus diletakkan bersama”).
Nilai adalah apa yang perusahaan Anda perjuangkan: “kami yakin….” (misalnya
sebuah entitas sector public memiliki nilai “mencari inovasi dan keunggulan, terlibat
secara konstruktif, mengajukan pertanyaan, mendukung dan membantu sesame,
memberikan solusi, melihat gambaran lebih besar”).
Strategi adalah cara suatu perusahaan yang bermaksud mencapai visinya. Dalam
lingkungan yang kompetitif, strategi akan membedakan anda dari pesaing. Di sektor
publik, strategi menentukan cara terbaik bagi anda menyesun sumber daya untuk
mencapai hasil yang diinginkan.
Perusahaan saat ini berfokus pada kepuasan pelanggan. Seperti yang disebutkan
oleh Konsta (2012, Pp 142) , “…, companies aim at not just earnings but also
profitability, and not just winning but retaining customers as well. In order to do that,
they must perform satisfactory, making the product or service available on the right
place, right time, and right quantity for the right customer”. Selanjutnya Konsta
(20112, Pp 153 ) menyimpulkan bahwa, “The KPIs must be customer oriented in the
marketing or logistic terms”, dapat dilihat bahwa kesimpulan Konsta mendukung
fokus perusahaan pada kepuasan pelanggan. Penelitian ini fokusnya pada sistem
19
persediaan yang merupakan bagian dari logistic, jadi untuk pemilihan KPI
perusahaan dapat difokuskan pada pelanggan.
2.9 Critical Success Factor (CSF)
critical success factor (CSF) Parmenter (2010, Pp 25) adalah “daftar dari isu atau
aspek-aspek kinerja organisasi ang menentukan kelanjutan kesehatan, vitalitas, dan
kesejahteraan organisasi. Biasanya terdapat lima hingga delapan CSF dalam
organisasi apapun.” KPI yang dirancang harus memiliki pengaruh kepada setidaknya
satu atau lebih CSF. Memastikan CSF merupakan hal yang penting dan perusahaan
sering telah melakukannya secara tidak langsung tanpa dijabarkan dalam bentuk
tulisan. Perusahaan memiliki banyak success factor (SF) namun hanya beberapa saja
yang memiliki pengaruh luas dan member dampak pada banyak SF lainnya. Beberapa
SF yang terpilih inilah yang akan menjadi CSF perusahaan. Dengan mengetahui CSF
maka organisasi memperoleh beberapa keuntungan Parmenter (2010, Pp 194):
1. Mengarahkan pada penemuan KPI.
2. Ukuran yang tidak terkait atau tidak terhubung dengan CSF dapat dieliminasi.
3. Staf mengetahui tindakan prioritas yang harus dilakukan, sehingga tindakan
sehari-hari yang dikerjakan mereka terkait dengan strategi organisasi.
4. Hal ini berarti mengurangi produksi laporan di seluruh organisasi; laporan
yang sekarang dinilai sebagai tidak penting atau tidak relevan, tidak dibuat
lagi
5. Hal ini menciptakan ringkasan yang jelas dari laporan kepada dewan dan
manajemen senior berdasarkan kemajuan dalam CSF
“dalam masa penuh tantangan dan ujian saat ini, pemahaman terhadap CSF dapat
menjadi factor penentu kelangsungan hidup organisasi Anda. Jika organisasi Anda
belum melakukan upaya yang menyeluruh untuk mengetahui CSF, manajemen
kinerja tidak mungkin berfungsi. Pengukuran kinerja begitu banyak ukuran yang
menghasilkan banyak sekali laporan, penuh dengan ukuran yang memonitor
20
perkembangan arah yang sangat jauh dari tujuan strategis organisasi”. Parmenter
(2010, Pp 194)
Sebelum mendapatkan CSF perlu diidentifikasikan SF yang ada pada organisasi.
Setiap SF penting bagi kesuksesan organisasi namun hanya beberapa SF yang benar-
benar penting dan mempengaruhi keberlangsungan hidup organisasi, SF tersebut
merupakan CSF organisasi. Langkah-langkah untuk mengidentifikasi CSF organisasi,
Parmenter (2010, Pp 201-205),adalah sebagai berikut:
1. Menentukan SF yang sudah teridentifikasi. Dengan memeriksa dokumen
strategis dan atau melakukan wawancara dengan orang-orang di organisasi.
2. Menentukan Lokakarya Critical Success Factors. Melakukan lokakarya
dengan orang-orang penting organisasi untuk bersama menyusun SF dan CSF.
3. Menyelesaikan CSF setelah berkonsultasi dengan banyak pihak terkait.
Menyiapkan dan menyampaikan CSF yang diidentifikasi serta mencari
kesepakatan dengan manajemen.
4. Menjelaskan CSF kepada karyawan. Untuk mendapatkan dukungan penuh
dan memastikan berjalannya penerapan CSF maka karyawan harus
mengetahui dan memahami CSF apa saja yang ada pada organisasinya
2.9.1 Pemetaan CSF
Untuk dapat menentukan CSF digunakan ‘pemetaan hubungan CSF’ seperti yang
digunakan oleh Parmenter (2010, Pp 206), “Suatu cara yang baik untuk menentukan
lima hingga delapan critical success factor adalah dengan menggambarkan semua SF
anda pada sebuah papan tulis besar dan menggambarnya dalam hubungan, yang
menunjukkan SF mana yang mempengaruhi SF lainnya”. Pemetaan ini dengan
melihat hubungan antara sesama SF dan mencari SF yang memiliki pengaruh paling
besar terhadap SF lainnya. Beberapa SF dengan pengaruh terbesar digunakan sebagai
CSF.
21
2.10 Key Performance Indicator (KPI)
Empat tipe ukuran kinerja Parmenter (2010, Pp 1):
1. Key Result Indicator (KRI) memberitahu bagaimana kinerja Anda dari satu
perspektif atau factor keberhasilan kritis.
2. Result Indicator (RI) memberitahu apa yang telah anda lakukan.
3. Performance Indicator (PI) memberitahu Anda apa yang harus dilakukan.
4. KPI memberitahu Anda apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan
kinerja secara dramatis.
Karakteristik KRI yaitu KRI adalah hasil dari banyak tindakan. KRI memberi
gambaran nyata apakah organisasi berjalan ke arah yang benar. Namun, ukuran ini
tidak memberitahukan apa yang diperlukan untuk mingkatkan hasil tersebut. KRI
ditinjau menggunakan siklus bulanan atau tiga bulanan, tidak seperti KPI yang
ditinjau secara harian atau mingguan.
PI berada di bawah KRI yang dapat membantu tim organisasi untuk menyelaraskan
mereka dengan strategi organisasi dan merupakan ukuran nonfinansial yang menjadi
pelengkap KPI. Sedangkan RI merupakan hasil dari berbagai aktifitas yang di
wujudkan dalam bentuk ukuran kinerja finansial. Pada saat sebuah ukuran diberi
tanda matauang, maka ukuran tersebut telah berubah menjadi RI.
Popova (2005) menyebutkan bahwa skema PI dapat dibagi menjadi empat untuk
mendapatkan sudut pandang PI yang lebih kaya. Keempat kategori tersebut adalah
sebagai berikut: Efektifitas, efektifitas mengukur kemampuan untuk mendapatkan
hasil yang diinginkan; Efisiensi, efisiensi mengukur bagaimana penggunaan sumber
daya untuk mendapatkan hasil tersebut; Kepuasan, kepuasan mewakili manusia
dalam model dimana pencapaian efektifitas dan efisiensi harus tetap memperhatikan
kepuasan manusia didalam organisasi dalam melakukan pekerjaan mereka; dan TI
dan inovasi, dimana sebuah organisasi perlu memperhatikan kinerja masa depannya.
Sebuah organisasi yang dapat bekerja dengan optimal saat ini mungkin tidak dapat
22
bekerja dengan optimal pada esok hari jika tidak memikirkan kondisi mereka secara
terus menerus. Keempat hal ini sebagai bantuan untuk mengembangkan PI pada saat
proses wawancara pada penelitian.
Parmenter (2010, Pp 4), “KPI merupakan seperangkat ukuran yang fokus terhadap
aspek kinerja organisasi yang paling kritis bagi kesuksesan organisasi saat ini
maupun di masa mendatang”. KPI diukur dalam waktu harian atau mingguan. Jika
sebuah ukuran dapat diukur secara bulanan atau lebih lama maka ukuran tersebut
bukan merupakan kunci keberhasilan bisnis. KPI berorientasi kepada ukuran saat ini
dan masa depan, bukan ukuran masa lalu. Ditekankan bahwa sangat penting untuk
melakukan pengukuran KPI secara tepat waktu karena ukuran harian memerlukan
respon tindakan secepat mungkin, terlambat beberapa hari saja keputusan yang tepat
tidak dapat dilakukan. Untuk lebih memahami KPI (khususnya yang digunakan
dalam penelitian) dapat dibantu dengan mengetahui tujuh karakteristis KPI
(Parmenter (2010, Pp 6-7), yaitu:
1. Adalah ukuran nonfinansial (tidak dinyatakan dalam rupiah, yen, pound, euro,
dll).
2. Frekuensi pengukuran sering (misalnya 24/7 [24 jam sehari, 7 hari sepekan],
harian, atau mingguan).
3. Dilaksanakan oleh CEO dan tim manajemen senior (misalnya CEO
menghubungi staf yang relevan untuk menanyakan apa yang sedang terjadi).
4. Mengindikasikan secara jelas tindakan yang perlu dilakukan oleh staf (staf
memahami ukuran dan mengetahui bagaimana memperbaikinya).
5. Adalah ukuran yang mengikat tanggung jawab tim (Misalnya CEO dapat
memanggil pemimpin tim yang dapat mengambil tindakan yang diperlukan)
6. Memiliki dampak signifikan (misalnya memengaruhi satu atau lebih critical
success factor (CSF) dan lebih dari satu perspektif Balance Scorecard
(BSC)).
23
7. Mereka mendorong tindakan yang tepat (misalnya telah diuji untuk
memastikan bahwa KPI berdampak positif terhadap kinerja, sedangkan
ukuran yang belum teruji dapat meyebabkan perilaku disfungsional).
Ketujuh karakteristik KPI Parmenter ini juga digunakan pada penelitian Konsta
(2012, Pp 146). Pengembangan dan pemanfaatan KPI pada organisasi memerlukan
fondasi agar dapat berhasil. Berikut adalah empat fondasi yang disebutkan oleh
Parmenter (2010, Pp 29):
1. Kemitraan dengan staf, serikat pekerja, pada pemasok utama, dan pelanggan
utama
2. Pemberian wewenang ke garis depan
3. Pengukuran dan pelaporan hal-hal yang penting
keempat fondasi yang disebutkan diatas akan menjadi acuan dalam perancangan dan
penilaian KPI pada organisasi dalam penelitian.
Perbedaan KRI dengan KPI yaitu KRI merupakan sebuah ukuran hasil dari
berbagai kegiatan yang telah dilakukan organisasi. Sedangkan KPI merupakan ukuran
dari kegiatan-kegiatan yang menjadi kunci untuk meningkatkan hasil atau KRI. Lebih
lanjut mengenai perbedaan antara KRI, KPI, RI, dan PI dapat dilihat pada buku David
Parmenter (2010, Pp 10-11).
Parmenter mengemukakan peraturan 10/80/10 dalam menentukan KRI, KPI, RI,
dan PI organisasi. Yaitu sebaiknya terdapat 10 jenis KRI, hingga 80 jenis gabungan
dari RI dan PI, dan 10 jenis KPI. Alasan dari disarankannya untuk membuat KRI dan
KPI masing-masing 10 jenis atau dibawahnya karena jika terlalu banya KRI dan KPI
maka organisasi malah menjadi tidak fokus dalam mengejar peningkatan kinerjanya.
Parmenter juga menyarankan untuk menggunakan model BCS sebagai acuan
dalam menentukan KPI dan sekaligus menambahkan 2 perspektif pada BSC menjadi
6, yaitu: finansial, fokus pelanggan, lingkungan masyarakat , proses internal,
kepuasan pegawai, dan pembelajaran dan pertumbuhan. KPI yang dipilih harus
24
bersinggungan atau memiliki dampak lebih dari satu perspektif BSC ini. (Karena
penelitian tidak menggunakan BSC sebagai alat ukurnya maka BSC tidak dijelaskan
lebih lanjut)
Konsta (2012, Pp 144) menyebutkan contoh-contoh pengukuran pada perusahaan
manufaktur yang bisa di jadikan benchmark untuk pengukuran yang akan digunakan
pada kinerja perusahaan. Tabel measures used in manufacturing, pada bagian
scheduling and delivery yaitu customer delivery performance disebutkan bentuk-
bentuk pengukurannya antara lain: customer service level; On-time shipment %,
average lateness of orders, number of overdue deliveries, order fill %, customer
query time, customer order leadtime, frequency of delivery, lost sales analysis.
Resch (2006, Pp 35) mendukung pernyataan mengenai customer delivery
performance, “transport service levels are typically defined by transportation lead
times and delivery reliability and accuracy”, Resch menyebutkan bahwa biasanya
tingkat jasa pengangkutan bergantung kepada lead time pengangkutan serta
keandalan dan akurasi proses pengantaran. Selanjutnya Resch menyebutkan, “one
solution is to define levels based on incurred cost and diferentatid customer
requirement…. Of course logistics service levels need to be matched against the
customer service model and customer profitability to avoid over- or under-servicing
of customer”. Solusinya adalah dengan mendefinisikan tingkatan pelayanan
berdasarkan biaya yang terjadi dan diferensiasi kebutuhan pelanggan. Dan tingkatan
pelayanan logistic perlu dibandingkan dengan model pelayanan pelanggan dan
tingkat keuntungan pelanggan untuk menghindari kelebihan atau kekurangan
pelayanan pada pelanggan. Maka dari itu perusahaan perlu melakukan segmentasi
pada pelanggannya untuk dapat memberikan pelayanan yang tepat pada setiap
pelanggan dengan tingkat keuntungan yang berbeda.
Pada bagian inventory disebutkan pengukurannya sebagai berikut: total stock
turnover, stores inventory or work progress turns, number of days stock, inventory
record accuracy, proportion of products in stock, % stock outs, average batch size,
25
average safety stock level, material usage (actual and standard), distance the
material is moved, non moving stock, quantity or value of obsolete stock.
2.10.1 Tabel Pemeriksaan KPI KPI ditentukan dengan memastikan bahwa PI telah memenuhi tujuh daru tujuh
karakteristik KPI. Menurut Parmenter (2010, Pp 7) karakteristik tersebut adalah:
Ukuran nonfinansial (tidak dinyatakan dalam satuan mata uang); Frekuensi
pengukuran sering (misalnya dalam waktu 24 jam atau harian, atau mingguan);
Dilaksanakan oleh CEO dan tim manajemen senior (misalkan CEO menghubungi staf
yang relevan untuk menanyakan apa yang sedang terjadi); Mengindikasikan secara
jelas tindakan yang perlu dilakukan oleh staf (staf memahami ukuran dan mengetahui
bagaimana memperbaikinya; Adalah ukuran yang mengikat tanggung jawab tim
(misalnya CEO dapat memanggil emimpin tim yang dapat mengambil tindakan yang
diperlukan); Memiliki dampak signifikan (misalnya memengaruhi satu atau lebih
CSF dan lebih dari satu perspektif BCS (dalam penelitian ini BSC tidak dibahas);
Dan mereka mendorong tindakan yang tepat (misalnya telah diuji untuk memastikan
bahwa KPI berdampak positif terhadap kinerja, sedangkan ukuran yang belum teruji
dapat menyebabkan perilaku disfungsional.
Tabel pemeriksaan KPI seperti pada buku Parmenter (2010, Pp 137) digunakan
pada penelitian ini untuk membantu memilih KPI. Tabel tersebut adalah seperti
berikut:
26
Tabel 2.1 Tabel Daftar Periksa KPI
Daftar Periksa KPI
Daftar Periksan Karakteristik KPI Masukkan Nama KPI Pada
Bagian Atas Setiap Kolom
Ukuran nonkeuangan
Sering diukur
Dilaksanakan oleh CEO dan tim manajemen
senior
Semua staf mengetahui ukurannya dan
tindakan koreksi yang diperlukan
Tanggung jawab dapat diberikan pada suatu
tim
Berdampak signifikan
Mendorong perilaku yang sesuai
2.11 Dashboard Pengukuran KPI
KPI utama dilaporkan setiap saat atau harian, dimana manajemen perlu
melakukan control pada setiap perubahan KPI ini. Dengan pengukuran setiap saat
maka setiap ada kejadian yang tidak diinginkan, manajemen senior dapat secara
langsung turun tangan dan memberikan solusi dari permasalahan tersebut. Sehingga
pelaporan akhir bulan hanya bersifat memperlihatkan tren pada kinerja perusahaan.
Beberapa KPI hanya perlu dilaporkan perminggu karena memang tidak dibutuhkan
atau tidak bisa dilakukan pengukuran setiap hari. Untuk itu pelaporan hanya bersifat
mingguan saja. Contoh dashboard ada di buku Parmenter (2010, Pp 150) digunakan
sebagai benchmark dashboard yang diusulkan pada perusahaan.