bab ii landasan teori a. agresivitas 1. pengertian agresivitasetheses.iainkediri.ac.id/280/3/bab...
TRANSCRIPT
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Agresivitas
1. Pengertian Agresivitas
Definisi agresif menurut pendapat Baron dan Richardson adalah
segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai
makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu.1
Selanjutnya menurut pendapat Mac Neil dan Stewart yang
menjelaskan bahwa perilaku agresif adalah suatu perilaku atau suatu
tindakan yang diniatkan untuk mendominasi atau berperilaku secara
destruktif, melalui kekuatan verbal maupun kekuatan fisik, yang
diarahkan kepada objek sasaran perilaku agresif. Objek sasaran perilaku
meliputi lingkungan fisik, orang lain dan diri sendiri.2
Dalam psikologi dan ilmu sosial lainnya, pengertian agresif
merujuk pada perilaku yang dimaksudkan untuk membuat objeknya
mengalami bahaya atau kesakitan. Motif utama perilaku agresif bisa jadi
adalah keinginan menyakiti orang lain untuk mengekspresikan perasaan-
perasaan negatif, seperti pada agresif permusuhan, atau keinginan
mencapai tujuan yang diinginkan melalui tindakan agresif, seperti dalam
agresif instrumental.3
Menurut pendapat Kartono agresi merupakan suatu ledakan emosi
dan kemarahan-kemarahan hebat, perbuatan-perbuatan yang
1 Barbara krahe, Perilaku agresif (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2001), 16.
2 Fattah hanurawan, Psikologi Sosial (Bandung. PT Remaja Rosdakarya,2010),80.
3Ibid.,17.
18
menimbulkan permusuhan yang ditujukan kepada seseorang atau suatu
benda.4Menurut Buss dan Perry agresi adalah perilaku atau
kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain, baik
secara fisik maupun psikologis.5
Sedangkan menurut Robert Baron dalam buku Psikologi Sosial
yang di kutip oleh Tri Dayakisni dan Hudainah menyatakan bahwa agresi
adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah
laku tersebut. Definisi dari Baron mencakup empat faktor tingkah laku,
yaitu: tujuan untuk melukai atau mencelakakan, individu yang menjadi
pelaku, individu yang menjadi korban dan ketidakinginan sikorban
menerima tingkah laku sipelaku.6
Berdasarkan beberapa definisi yang telah diungkapkan di atas,
dapat disimpulkan bahwa agresif adalah tindakan yang dilakukan untuk
menyakiti atau melukai orang lain atau merusak benda dengan unsur
kesengajaan baik secara fisik maupun psikis.
2. Bentuk-Bentuk dari Perilaku Agresivitas
Banyak ahli yang mengungkapkan tipe agresivitas, diantaranya
menurut Buss sebagaimana yang dikutip oleh Tri Dayakisni dan Hudainah
mengelompokkan agresi dalam delapan jenis, yaitu :
4Kartini Kartono, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa,
1998). 5 A.H Buss, dan M. Perry, “The Aggression Questionnaire”. Journal Of Personality And Social
Psychology, The American Psichological Association, Inc, 1992. 6Tri Dayakisni Hudaniah, Psikologi Sosial (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2006),
231.
19
a. Agresif fisik aktif yang dilakukan secara langsung: tindakan agresi
fisik yang dilakukan individu/kelompok dengan cara berhadapan
secara langsung dengan individu/kelompok lain yang menjadi
targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsug, misalnya memukul,
mendorong, dan menendang.7
b. Agresif fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung:tindakan
agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok lain dengan cara
tidak berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain
yang menjadi targetnya, misalnya mencuri atau merusak barang target,
menghabiskan kebutuhan yang diperlukan target.
c. Agresif fisik pasif yang dilakukan secara langsung: tindakan agresi
fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan
dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya, namun tidak
terjadi kontak fisik secara langsung, misalnyatidak memberi
kesempatan target berkembang,keluar ruang ketika target masuk.
d. Agresif fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung: tindakan
agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara tidak
berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya
dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung, misalnya menolak untuk
mengerjakan perintah orang lain.
e. Agresif verbal aktif yang dilakukan secara langsung: tindakan agresi
verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan
7Ibid., 254.
20
secara langsung dengan individu/kelompok lain, misalnya meneriaki,
menyoraki, mencaci, membentak orang lain.
f. Agresif verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung: tindakan
agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara
tidak berhadapan secara lagsung dengan individu/kelompok lain yang
menjadi targetnya, misalnya menyebar gosip tentang orang lain.
g. Agresif verbal pasif yang dilakukan secara langsung: tindakan agresi
verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan
dengan individu/kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal
secara langsung, misalnya tidak menjawab telepon.
h. Agresif verbal pasif yang dilakukan secara tidak langsung: tindakan
agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dilakukan
dengan cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang
menjadi tergetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung,
misalnya membiarkan rumor mengenai target berkembang, tidak
menyampaikan informasi yang dibutuhkan target.
Menurut Buss dan Perry mengelompokkan agresivitas ke dalam
empat bentuk agresi, yaitu: agresi fisik, agresi verbal, agresi dalam bentuk
kemarahan (anger) dan agresi dalam bentuk kebencian (hostility).
Keempat bentuk agresivitas ini mewakili komponen perilaku manusia,
yaitu komponen motorik, afektif, dan kognitif.8
8A.H Buss, dan M. Perry, “The Aggression Questionnaire”. Journal Of Personality And Social
Psychology, The American Psichological Association, Inc, 1992.
21
1. Agresi fisik
Agresi fisik yaitu tindakan agresi yang bertujuan untuk menyakiti,
mengganggu, atau membahayakan orang lain melalui respon motorik
dalam bentuk fisik. Misalnya,memukul, mendorong, menendang,
merusak barang orang lain.
2. Agresi verbal
Merupakan komponen motorik, seperti melukai dan menyakiti orang
lain melalui verbalis. Misalnya menunjukkan ketidaksukaan atau
ketidaksetujuan, menyebar gosip,mencaci-maki, membentak, dan
mengejek.
3. Agresi marah
Merupakan emosi atau afektif seperti munculnya kesiapan psikologis
untuk bertindak agresif. Misalnya kesal, hilang kesabaran, dan tidak
mampu mengontrol rasa marah.
4. Sikap permusuhan
Sikap permusuhan yaitu tindakan yang mengekspresikan kebencian,
permusuhan, antagonisme, ataupun kemarahan yang sangat kepada
pihak lain. Seperti benci dan curiga pada orang lain, iri hati dan
merasa tidak adil dalam kehidupan.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menggunakan bentuk-
bentuk agresif yang dikemukakan oleh Buss yang nantinya akan
digunakan sebagai acuan dalam pembuatan alat ukur dalam penelitian ini.
22
Bentuk-bentuk agresif yang telah dikemukakan oleh Buss yaitu agresi
fisik, dan agresi verbal.
3. Jenis Agresivitas
Perilaku agresif bisa berupa verbal dan fisik, aktif dan pasif,
langsung dan tidak langsung. Perbedaan antara verbal dan fisik adalah
antara menyakiti secara fisik dan menyerang dengan kata-kata; aktif atau
pasif membedakan antara tindakan yang terlihat dengan kegagalan dalam
bertindak; perilaku agresif langsung berarti melakukan kontak langsung
dengan korban yang diserang, sedangkan perilaku agresif tidak langsung
dilakukan tanpa adanya kontak langsung dengan korban.9
Berikut ini merupakan bentuk agresivitas beserta contoh perilaku
agresif yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari :
Tabel 1
Jenis Agresivitas dan Contoh
Bentuk agresif Contoh
Fisik, aktif, langsung Menikam, memukul, atau menembak orang
lain
Fisik, aktif, tak langsung Membuat perangkap untuk orang lain
Fisik, pasif, langsung Secara fisik mencegah orang lain memperoleh
tujuan atau tindakan yang diinginkan (seperti
aksi duduk dalam demonstrasi)
Fisik, pasif, tak langsung Menolak melakukan tugas-tugas yang
seharusnya
Verbal, aktif, langsung Menghina orang lain
Verbal, aktif, tak langsung Menyebarkan gossip atau rumor jahat tentang
orang lain
9Robert a. Baron dan Donn Byrne, Psikologi Social. Jilid 2. Alih Bahasa: Ratna Djuwita.
(Jakarta:Erlangga,2005),169.
23
Verbal, pasif, langsung Menolak berbicara kepada orang lain,
menolak menjawab pertanyaan, dll.
Verbal, pasif, tak langsung Tidak mau membuat komentar verbal
(misal:menolak berbicara ke orang yang
menyerang dirinya bila dia dikritik secara
tidak fair)
Sumber : Robert a. Baron dan Donn Byrne,2005.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Perilaku Agresivitas
Tri Dayakisni dan Hudainah menjelaskan faktor-faktor mengenai
agresivitas, diantaranya adalah:
a. Provokasi
Bisa mencetuskan agresi karena provokasi itu oleh pelaku agresi
dilihat sebagai ancaman yang harus dihadapi dengan respon agresif
untuk meniadakan bahaya yang diisyaratkan oleh ancaman itu.10
b. Deindividuasi
Mengarahkan sesorang pada keleluasaan dalam melaksanakan
tingkah laku agresi sehingga agresi yang dilakukan lebih
intens.Khususnya efek dari pnggunaan tehnik-tehnik dan senjata
modern yang membuat tindakan agresi sebagai tindakan non-
emosional sehingga agresi yang diakukannya lebih intens.
c. Kekuasaan dan kepatuhan
Peranan kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak
dapat dipisahkan dari salah satu aspek penunjang kekuasaan itu,
yakni kepatuhan.Bahkan kepatuhan itu sndiri diduga memliki
10
Tri Dayakisni Hudaniah, Psikologi Sosial (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2006),
248.
24
pengaruh yang kuat terhadap kecenderungan dan pengaruh agresi
yang kuat.
Menurut Taylor, Peplau & Sears munculnya perilaku agresif
berkaitan erat dengan rasa marah yang terjadi dalam diri seseorang. Rasa
marah dapat muncul dengan sebab-sebab sebagai berikut:11
a. Adanya serangan dari orang lain. Misalnya ketika tiba-tiba seseorang
menyerang dan mengejek dengan perkataan yang menyakitkan. Hal
ini dapat secara refleks menimbulkan sikap agresi terhadap lawan.
b. Terjadinya frustrasi dalam diri seseorang. Frustrasi adalah gangguan
atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Salah satu prinsip dalam
psikologi, orang yang mengalami frustrasi akan cenderung
membangkitkan perasaan agresifnya.
c. Keadaan tersebut bisa saja terjadi karena manusia tidak mampu
menahan suatu penderitaan yang menimpa dirinya.
d. Ekspektasi pembalasan atau motivasi untuk balas dendam. Intinya
jika seseorang yang marah mampu untuk melakukan balas dendam,
maka rasa kemarahan itu akan semakin besar dan kemungkinan
untuk melakukan agresi juga bertambah besar. Kemarahan itu
disebabkan karena kontrol keputusan yang rendah, sehingga
seseorang gagal menafsirkan peristiwa dan tidak mampu
memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.
11
S.E. Taylor, L. A. Peplau, dan D.O. Sears,.Psikologi Sosial. Edisi Keduabelas. Alih Bahasa: Tri
Wibowo, B.S. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2009), 125.
25
e. Kompetensi. Agresi yang tidak berkaitan dengan keadaan emosional,
tetapi mungkin muncul secara tidak sengaja dari situasi yang
melahirkan suatu kompetensi. Secara khusus merujuk pada situasi
kompetitif yang sering memicu pola kemarahan, pembantahan dan
agresi yang tidak jarang bersifat destruktif.
Selain faktor di atas, menurut pendapat Baron dan Byrne
menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan
agresivitas, yaitu:12
a. Faktor-faktor Sosial
Faktor-faktor sosial merupakan faktor-faktor yang terkait
dengan sosial individu yang melakukan perilaku agresif, diantaranya
adalah:
1) Frustasi, yang merupakan suatu pengalaman yang tidak
menyenangkan, dan frustasi dapat menyebabkan agresi.
2) Provokasi langsung, adalah tindakan oleh orang lain yang
cenderung memicu agresi pada diri si penerima, seringkali
karena tindakan tersebut dipersepsikan berasal dari maksud
yang jahat.
3) Agresi yang dipindahkan, bahwa agresi dipindahkan terjadi
karena orang yang melakukannya tidak ingin atau tidak dapat
melakukan agresi terhadap sumber provokasi awal.
12
Robert a. Baron dan Donn Byrne, Psikologi Sosial. Jilid 2. Edisi Kesepuluh. Alih Bahasa: Ratna
Djuwita. (Jakarta: Erlangga,2005), 86.
26
4) Pemaparan terhadap kekerasan di media, dimana dapat
meningkatkan kecenderungan seseorang untuk terlibat dalam
agresi terbuka. Keterangsangan yang meningkat, bahwa agresi
muncul karena adanya emosi dan kognisi yang saling berkaitan
satu sama lain.
5) Keterangsangan seksual dan agresi, dimana keterangsangan
seksual tidak hanya mempengaruhi agresi melalui timbulnya
afek (misalnya mood atau perasaan) positif dan negatif. Tetapi
juga dapat mengaktifkan skema atau kerangka berpikir lainnya
yang kemudian dapat memunculkan perilaku nyata yang
diarahkan pada target spesifik.
b. Faktor-faktor Pribadi
Berikut ini adalah trait atau karakteristik yang memicu
seseorang melakukan perilaku agresif:
1) Pola perilaku Tipe A dan Tipe B. Pola perilaku tipe A memiliki
karakter sangat kompetitif, selalu terburu-buru, dan mudah
tersinggung serta agresif. Sedangkan pola perilaku tipe B
menunjukkan karakteristik seseorang yang sangat tidak
kompetitif, yang tidak selalu melawan waktu, dan yang tidak
mudah kehilangan kendali.
2) Bias Atributional Hostile, merupakan kecenderungan untuk
mempersepsikan maksud atau motif hostile dalam tindakan
orang lain ketika tindakan ini dirasa ambigu.
27
3) Narsisme dan ancaman ego, individu dengan narsisme yang
tinggi memegang pandangan berlebihan akan nilai dirinya
sendiri. Mereka bereaksi dengan tingkat agresi yang sangat
tinggi terhadap umpan balik dari orang lain yang mengancam
ego mereka yang besar.
4) Perbedaan gender, pria umumnya lebih agresif daripada wanita,
tetapi perbedaan ini berkurang dalam konteks adanya provokasi
yang kuat. Pria lebih cenderung untuk menggunakan bentuk
langsung dari agresi, tetapi wanita cenderung menggunakan
bentuk agresi tidak langsung.13
c.Faktor-faktor Situasional
Faktor situasional merupakan faktor yang terkait dengan situasi
atau kontek dimana agresi itu terjadi. Berikut ini adalah faktor
situasional yang mempengaruhi agresi:
1) Suhu udara tinggi. Suhu udara yang tinggi cenderung akan
meningkatkan agresi, tetapi hanya sampai pada titik tertentu.
Diatas tingkat tertentu atau lebih dari 80 derajat fahrenheit
agresi menurun selagi suhu udara meningkat. Hal ini disebabkan
pada saat suhu udara yang tinggi membuat orang-orang menjadi
sangat tidak nyaman sehingga mereka kehilangan energi atau
lelah untuk terlibat agresi atau tindakan kekerasan.
13
Ibid., 89.
28
2) Alkohol. Individu ketika mengonsumsi alkohol memiliki
kecenderungan untuk lebih agresi. Dalam beberapa eksperimen,
partisipan-partisipan yang mengonsumsi alkohol dosis tinggi
serta membuat mereka mabuk ditemukan bertindak lebih agresif
dan merespon provokasi secara lebih kuat, daripada partisipan
yang tidak mengkonsumsi alkohol.14
B. Kontrol Diri
1. Pengertian Kontrol Diri
Kontrol diri seringkali diartikan sebagai kemampuan untuk
menyusun,membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku
yang dapat membawake arah konsekuensi positif. Kontrol diri juga
merupakan salah satu potensi yangdapat dikembangkan dan digunakan
individu selama proses-proses dalamkehidupan, termasuk dalam
menghadapi kondisi yang terdapat di lingkunganyang berada
disekitarnya. Para ahli berpendapat bahwa kontrol diri dapatdigunakan
sebagai suatu intervensi yang bersifat preventif selain dapat mereduksi
efek-efek psikologis yang negatif dari stressor-stressor lingkungan.
Menurut pendapat Chaplin, yang menjelaskan bahwa self control
atau kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku
sendiri; kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau
14
Ibid.,97.
29
tingkah laku impulsif.15
Pendapat lain dikemukakan oleh Thompson yang
mengartikan kontrol diri sebagai suatu keyakinan bahwa seseorang dapat
mencapai hasil-hasil yang diinginkan lewat tindakan diri sendiri. Karena
itulah menurutnya, perasaan dan kontrol dapat dipengaruhi oleh keadaan
situasi, tetapi persepsi kontrol diri terletak pada pribadi orang tersebut,
bukan pada situasi. Akibat dari definisi tersebut adalah bahwa seseorang
merasa memiliki kontrol diri, ketika seseorang tersebut mampu mengenal
apa yang dapat dan tidak dapat dipengaruhi melalui tindakan pribadi dalam
sebuah situasi, ketika memfokuskan pada bagian yang dapat dikontrol
melalui tindakan pribadi dan ketika seseorang tersebut yakin jika memiliki
kemampuan organisasi supaya berperilaku yang sukses.16
Averill berpendapat bahwa kontrol diri merupakan variabel
psikologis yang sederhana karena didalamnya tercakup tiga konsep yang
berbeda tentang kemampuan mengontrol diri yaitu kemampuan individu
untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola
informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi serta
kemampuan individu untuk memilih suatu tindakan berdasarkan suatu
yang diyakini.17
Calhoun dan Acocella dalam M.Nur Ghufron mendefinisikan
bahwa kontrol diri (selfcontrol) sebagai pengaturan proses-proses fisik,
psikologis, dan perilaku seseorang dengan kata lain serangkaian proses
15
J. P Caplin, Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: PT . Raja Grafindo Persada, 1997), 316. 16
Bart Smet, Psikologi Kesehatan (Jakarta: PT. Grasindo, 1994), 38. 17
Averill,J.F. “Personal Control Over Averssive Stimuli and It’s Relationship to
Stress.”Psychological Bulletin, No. 80. 1973.
30
yang membentuk dirinya sendiri. Sementara dalam pandangan Goldfried
dan Merbaum, kontrol diri diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menyusun, mem bimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku
yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. 18
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kontrol diri dapat diartikan
sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku yang mengandung
makna, yaitu untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih
dahulu sebelum memutuskan sesuatu untuk bertindak. Semakin tinggi
kontrol diri seseorang, maka akan semakin intens pula orang
tersebutmengadakan pengendalian terhadap tingkah laku.
2. Dimensi Kontrol Diri
Teori kontrol adalah pendekatan umum untuk memahami self-
control. Teori kontrol menggambarkan model dari self-control individu
dan memudahkan untuk menganalisis perilaku individu.
Menurut Tangney, Baumeister, dan Boone skala kontrol diri (self
control scale) dibagi menjadi lima dimensi, yaitu kedisiplinan diri (self-
discipline), tindakan atau aksi yang tidak impulsif (deliberate/non-
impulsive), pola hidup sehat (healthy habits), etika kerja (work ethic),
reliability.19
Penjabaran dimensi skala kontrol diri sebagai berikut:
18
M.Nur Ghufron, dan Rini Risnawita S, Teori-Teori Psikologi (Jogjakarta: Ar Ruzz Media,2010),
21-22. 19
Nela Regar Ursia, Ide Bagus Siaputra, dan Nadia SutantoTangney, “Prokrastinasi Akademik dan
Self-Control pada Mahasiswa Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Surabaya.” Makara Seri
Sosial Humaniora, 2013, 17(1): 1-18
31
a. Kedisiplinan diri (self-discipline)
Mengacu pada kemampuan individu dalam melakukan disiplin diri.
Hal ini berarti individu mampu memfokuskan diri saat melakukan
tugas. Individu dengan self-discipline mampu menahan dirinya dari
hal-hal lain yang dapat mengganggu konsentrasinya. Menilai tentang
kedisiplinan individu dalam melakukan sesuatu. Terdapat sembilan
items pada dimensi ini. Salah satu item-nya adalah “Saya pandai
melawan godaan”.
b. Tindakan atau aksi yang tidak impulsif (deliberate/non-impulsive)
Kecenderungan individu untuk melakukan sesuatu dengan
pertimbangan tertentu, bersifat hati-hati, dan tidak tergesa-gesa.
Ketika individu sedang bekerja, ia cenderung tidak mudah teralihkan.
Individu yang tergolong nonimpulsive mampu bersifat tenang dalam
mengambil keputusan dan bertindak.20
Menilai tentang
kecenderungan individu untuk melakukan tindakan yang tidak
impulsif (memberikan respon kepada stimulus dengan pemikiran
yang matang). Terdapat sepuluh items pada dimensi ini. Salah satu
item-nya adalah “Orang-orang akan menggambarkan saya sebagai
pribadi yang impulsif”.
c. Pola hidup sehat (healthy habits)
Kemampuan mengatur pola perilaku menjadi kebiasaan yang
menyehatkan bagi individu. Oleh karena itu, individu dengan healthy
20
Tangney, J.P., Baumeister, R.F., & Boone, A.L. (2004). “High self-control predicts good
adjustment, less pathology, better grades, and interpersonal success.”Journal of Personality, 72(2),
271-322.
32
habits akan menolak sesuatu yang dapat menimbulkan dampak buruk
bagi dirinya meskipun hal tersebut menyenangkan. Individu dengan
healthy habits akan mengutamakan hal-hal yang memberikan dampak
positif bagi dirinya meski dampak tersebut tidak diterima secara
langsung. Menilai tentang pola hidup sehat individu. Terdapat tujuh
items pada dimensi ini. Salah satu item-nya adalah “Saya terkadang
minum-minuman keras atau memakai narkoba berlebihan”.
d. Etika kerja (work ethic)
Etika kerja yang berkaitan dengan penilaian individu terhadap
regulasi diri mereka di dalam layanan etika kerja. Individu mampu
menyelesaikan pekerjaan dengan baik tanpa dipengaruhi oleh hal-hal
di luar tugasnya meskipun hal tersebut bersifat menyenangkan.
Individu dengan work ethic mampu memberikan perhatiannya pada
pekerjaan yang sedang dilakukan.21
Menilai regulasi diri pada
pelayanan suatu etika dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Terdapat lima items pada dimensi ini. Salah satu itemnya adalah
“Saya bekerja atau belajar semalaman ketika sudah mendekati batas
waktunya”.
e. Reliability
Dimensi yang terkait dengan penilaian individu terhadap kemampuan
dirinya dalam pelaksanaan rancangan jangka panjang untuk
pencapaian tertentu. Individu ini secara konsisten akan mengatur
21
Ibid.,
33
perilakunya untuk mewujudkan setiap perencanaannya.22
Menilai
kemampuan individu dalam menangani sebuah tugas. Terdapat lima
items pada dimensi ini. Salah satu item-nya adalah “Saya selalu tepat
waktu”.
Dimensi dalam pengendalian diri tidak hanya sebatas dalam
mengendalikan perilaku, memperoleh informasi, menilai informasi dan
mengambil sebuah keputusan. Kontrol diri juga memiliki dimensi lain
yang meliputi emosional, pikiran dan fisik. Ketiga dimensi tersebut saling
berkaitan dan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan. Menurut
pendapat Roy Sembel yang menjelaskan sebagai berikut 23
:
a. Kendali emosi
Seseorang dengan kendali emosi yang baik, cenderung akan
memiliki kendali pikiran dan fisik yang baik pula.
b. Kendali pikiran
Jika belum apa-apa sudah berpikir gagal, maka semua tindakan akan
mengarah pada terjadinya kegagalan. Jika berpikir bahwa sesuatu
pekerjaan tidak mungkin dilakukan, maka akan berhenti berpikir
untuk mencari solusi.
c. Kendali fisik
Kondisi badan yang fit merupakan salah satu faktor kunci dalam
menunjukkan kemampuan kita berfungsi dengan optimal.
22
Ibid., 23
Roy Sembel, “Raih Sukses Dengan Kendali Diri.” Online at www. sinarharapan.com. Diaskes
tanggal 30 Mei 2017.
34
Pendapat lain dijelaskan Rosenbaum dalam Safaria yang
mengembangkan dimensi pengendalian diri bagi orang dewasa ke dalam
tiga tipe kendali diri yaitu redresif,reformatif dan eksperiensial.24
a. Redresif
Pengendalian diri tipe redresif ini berusaha untuk menghilangkan
keadaan mengganggu yang sedang dialami oleh individu. Sebagai
contoh seorang anak yang sedang mengalami kecemasan ketika
menghadapi ujian. Kecemasan tersebut akan mengakibatkan
individu tersebut tidak dapat berkonsentrasi dan tidak mampu
mengerjakan ujian secara optimal. Tugas terapis atau konselor
adalah membantu menghilangkan kecemasan tersebut, sehingga
individu yang bersangkutan mampu mencapai prestasi optimal
dalam mengerjakan ujian. ‟ Metode kognitif untuk kendali diri tipe
redresif adalah selftalk, relaksasi, dan teknikimagery.
b. Reformatif
Pengendalian diri tipe reformatif memiliki fokus pada hasil jangka
panjang, dengan tujuan untuk mencegah timbulnya masalah pada
masa depan klien (preventif). Pengendalian diri reformatif
memberikan tekanan kepada konseli untuk menahan diri dari
kenikmatan sesaat dan ketabahan menghadapi dalam stres.
24
Triantoro Safaria, Terapi Kognitif-Perilaku untuk Anak (Yogyakarta: Graha Ilmu,2004), 115.
35
c. Eksperiensial
Pada tipe pengendalian diri eksperensia, individu diarahkan kepada
penerimaan dan pembukaan dirinya untuk bersedia membuka diri
terhadap pengalaman-pengalaman baru. Penekanan dalam tipe
eksperensial adalah kesediaan individu untuk membuka diri
terhadap pengelaman-pengalaman baru. Dengan kesediannya dalam
membuka diri, individu tersebut akan memperoleh pengalaman-
pengalaman baru yang dijadikannya sebagai tolak ukur terhadap
pengetahuan yang ia miliki sebelumnya. Hal ini akan meningkatkan
keadaan heterostastis dan memperkaya pengalaman yang telah
dimilikinya.
3. Aspek Kontrol Diri
Menurut Averill terdapat tiga aspek kontrol diri, yaitu kontrol
perilaku yang mengacu pada cara melakukan sesuatu, kognitif untuk
serangkaian proses berpikir, dan mengontrol keputusan.25
Penjelasan
aspek kontrol diri menurut Averill sebagai berikut:
a. Kontrol Perilaku (Behavioral Control)
Kontrol perilaku merupakan respon yang dapat secara langsung
mempengaruhi atau mengubah kondisi suatu keadaan yang tidak
menyenangkan yang dapat membawa seseorang kedalam keadaan
stress. Kontrol perilaku juga berkaitan dengan kemampuan individu
untuk mengambil tindakan yang nyata untuk mengurangi dampak
25
M.Nur Ghufron, dan Rini Risnawita S, Teori-Teori Psikologi (Jogjakarta: Ar Ruzz Media,2010),
29-31.
36
yang tidak diinginkan. Kontrol perilaku dibagi menjadi dua
komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration)
dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modification).
Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu
untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan
yang sedang dihadapinya, dirinya sendiri atau sesuatu yang ada di
luar dirinya. Kemampuan memodifikasi stimulus merupakan
kemampuan untuk mengetahu kapan suatu stimulus yang tidak
diharapkan terjadi dan bagaimana cara mengahadapi stimulus
tersebut.26
b. Kontrol Kognitif (cognitive control)
Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah
informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi,
menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka
kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Aspek
ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi
(information gain) dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan
memperoleh informasi dan melakukan penilaian, individu dapat
melakukan pertimbangaan sebelum bertindak dengan terlebih dahulu
memikirkan efek dari tindakan yang akan diambil dan dilakukannya.
Ketika individu mengetahui bahwa terdapat kemungkinan yang tidak
diinginkan, maka individu dapat menghindari tindakan tersebut.
26
Ibid.,
37
Kontrol kognitif akan semakin meningkat ketika individu
meningkatkan pemahaman tentang suatu hal atau peristiwa serta
menyadari resiko-resiko apa saja yang akan terjadi dari tindakan yang
individu lakukan.27
c. Mengontrol Keputusan (decision control)
Mengontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk
memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada apa yang telah
diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan
akan berfungsi, baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan,
atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai
kemungkinan tindakan. Aspek ini terdiri dari 2 komponen juga,
yaitu: mengantisipasi peristiwa dan menafsirkan peristiwa, dimana
individu dapat menahan dirinya. Kemampuan mengontrol diri
tergantung dari ketiga aspek di atas, kontrol diri ditentukan oleh
seberapa jauh aspek itu mendominasi atau terdapat kombinasi dari
beberapa aspek dalam mengontrol diri.
Aspek kontrol diri juga dijelaskan oleh Cormier & Cormier
dalam Bukhori, menyatakan bahwa kontrol diri pada prakteknya
terdiri dari tiga cara yaitu Self monitoring, Self-reward, Stimulus
control.28
Penjelasan ketiga aspek tersebut dijelaskan sebagai berikut:
27
Ibid., 28
Baidi Bukhori. “Toleransi Terhadap Umat Kristiani di Tinjau dari Fundamentalisme Agama dan
Kontrol Diri (Studi pada Jamaah Majelis Taklim di Kota Semarang),” (laporan penelitian, DIPA
IAIN Walisongo Semarang,2012), 39.
38
a. Self monitoring yaitu suatu proses di mana individu mengamati dan
merasa peka terhadap segala sesuatu tentang diri dan lingkungannya.
Self-monitoring dapat diartikan sebagai suatu proses di mana
seseorang merekam atau mencatat penampilan mereka atau
menyimpan sebuah rekaman atau catatan dari apa yang telah mereka
lakukan. Alasan untuk melakukan pencatatan itu adalah pertama,
catatan itu akan memberitahukan apakah kendali diri dapat
memberikan manfaat atau tidak. Kedua, catatan tersebut akan
berguna dalam memberikan balikan yang positif ketika seseorang
mengalami peningkatan.
b. Self-reward, yaitu suatu teknik di mana individu mengatur dan
memperkuat perilakunya dengan memberikan hadiah atau hal-hal
yang menyenangkan jika keinginan yang diharapkannya berhasil.
c. Stimulus control, yaitu suatu teknik yang dapat digunakan untuk
mengurangi ataupun meningkatkan perilaku tertentu. Kontrol
stimulus menekankan pada pengaturan kembali atau modifikasi
lingkungan sebagai isyarat khusus atau anteseden atau respon
tertentu.
Teori dari Averillyang digunakan dalam penelitian ini untuk
mengukur aspek kontrol diri, teori ini menjelaskan bahwa ada tiga
aspek kontrol diri, yaitu kontrol perilaku yang mengacu pada cara
melakukan sesuatu, kontrol kognitif untuk serangkaian proses berpikir,
dan mengontrol keputusan.
39
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri
Sebagaimana faktor biologis lainnya, kontrol diri dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Secara garis besarnya faktor -faktor yang mempengaruhi
kontrol diri ini terdiri dari faktor internal (dari diri individu) dan faktor
ekternal (lingkungan individu).
a. Faktor internal
Faktor internal yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah usia.
Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin baik kemampuan
mengontrol diri seseorang itu.
b. Faktor eksternal
Faktor ekternal ini di antaranya adalah lingkungan keluarga.
Lingkungan keluarga terutama orangtua menentukan bagaimana
kemampuan mengontrol diri seseorang. Hasil penelitian Nasichah
menunjukkan bahwa persepsi remaja terhadap penerapan disiplin
orangtua yang semakin demokratis cenderung diikuti tingginya
kemampuan mengontrol dirinya. Oleh sebab itu, bila orangtua
menerapkan sikap disiplin kepada anaknya secara intens sejak dini,
dan orang tua tetap konsisten terhadap semua konsekuensi yang
dilakukan anak bila ia menyimpang dari yang sudah ditetapkan,
maka sikap kekonsistensian ini akan diinternalisasi anak. Di
lemudian akan menjadi kontrol diri baginya. 29
29
Ibid., 32
40
Pendapat lain dikemukakan oleh Smet yang menjelaskan faktor
kontrol diri, seseorang dipengaruhi beberapa faktor. Faktor yang
mempengaruhi pengendalian diri seseorang tersebut meliputi faktor
dalam diri sendiri dan dari luar diri individu yang bersangkutan.30
a. Faktor dalam diri seperti usia, memberikan pengaruh terhadap
bagaiman individu mengendalikan dirinya. Semakin dewasa usia
seseorang, semakin baik dalam mengendalikan dirinya.
b. Faktor lingkungan juga memberikan peranan penting terhadap
pengendalian diri yang dimiliki oleh individu.
Pendapat ahli lain yang mengungkapkan faktor yang
mempengaruhi kontrol diri. Adapun faktor-faktor internal yang
mempengaruhi kontrol diri menurut Buck, dikatakan bahwa kontrol diri
berkembang secara unik pada masing-masing individu. Dalam hal ini
dikemukakan tiga sistem yang mempengaruhi perkembangan kontrol diri,
yaitu:
a. Hirarki dasar biologi yang telah terorganisasi dan disusun melalui
pengalaman evolusi.
b. Kontrol diri dipengaruhi usia seseorang, kemampuan kontrol diri akan
meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang.
30
B. Smet, Psikologi Kesehatan (Jakarta: Grasindo, 1994),87.
41
c. Kontrol emosi. Kontrol emosi yang sehat dapat diperoleh bila remaja
memiliki kekuatan ego, yaitu sesuatu kemampuan untuk menahan diri
dari tindakan luapan emosi.31
C. Dukungan Sosial Keluarga
1. Pengertian Dukungan Sosial Keluarga
Manusia merupakan makhluk sosial yang mana tidak bisa hidup
tanpa orang lain. Individu juga tidak bisa hidup sendiri meski ia pribadi
yang mandiri. Oleh sebab itu individu memerlukan adanya dukungan
sosial dari orang lain. Dukungan sosial merupakan suatu bentuk
dukungan atau tingkah laku yang menumbuhkan perasaan nyaman dan
lembuat individu percaya bahwa ia dihormati, dihargai, dicintai dan orang
lain bersedia memberikan perhatian dan keamanan.32
Dukungan sosial
juga bisa mencakup pemberian informasi verbal maupun non verbal,
bantuan tingkah laku atau pemberian materi yang membuat individu
merasa disayang, diperhatikan dan bernilai.
Sedangkan Gousmett dalam Taylormendefenisikan dukungan
sosial sebagai informasi dari salah satu atau ketiga dari hal berikut ini: (1)
informasi yang mengarah orang untuk percaya bahwa mereka
diperhatikan dan dicintai, (2) informasi yang mengarah ke orang untuk
percaya bahwa mereka berharga dan dihargai, dan (3) informasi yang
31
N.R. Carlson, The Science of Behavior (Boston: Allyn and Bacon a Division of Simon and
Schusster Inc., 1987),99. 32
Musiatun Wahaningsih, “Hubungan Antara Religiusitas, Konsep Diri Dan Dukungan Sosial
Keluarga Dengan Prestasi Belajar Pada Siswa SMP Muhammadiyah 3 Depok Yogyakarta”, Jurnal
(Yogyakarta : Universitas Ahmad Dahlan), 4.
42
mengarah pada orang untuk percaya bahwa mereka berasal dari jaringan
komunikasi yang sama dengan kewajiban bersama.33
Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang
dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses/diadakan
untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota
keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap
memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial
keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti
dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung atau
dukungan sosial keluarga eksternal.34
Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
dukungan sosial keluarga merupakan suatu konstruksi multidimensi yang
meliputi bantuan fisik dan instrumental, berbagai informasi dan sumber
daya, dan menyediakan dukungan emosional dan psikologis.
2. Jenis atau Bentuk Dukungan Sosial
Bentuk dukungan sosial menurutFriedman dapat dibagi kedalam
empat klasifikasi diantaranya 1) Dukungan praktis (tangible support), 2)
Dukungan informasi (appraisal support), 3) Dukungan harga diri (self
esteem), 4) Dukungan belonging. Keempatnya dijabarkan sebagai berikut:
a. Dukungan praktis (tangible support) atau bantuan-bantuan yang
bersifat pelayanan seperti membantu dalam melakukan kegiatan
33
Taylor, S.E., Peplau, L.A., dan Sears, D.O. 2009. Psikologi Sosial. Edisi Keduabelas. Alih
Bahasa: Tri Wibowo, B.S. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 210. 34
Friedman, H.S., dan Schustack, M.W. Kepribadian. Teori Klasik dan Riset Modern. Edisi
Ketiga. Jilid 1. Alih Bahasa: Fransiska Dian Ikarini, Maria Hany, dan Andreas Provita Prima.
(Jakarta: Erlangga,2006).
43
sehari-hari maupun bantuan secara finansial. Keluarga merupakan
sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit diantaranya: bantuan
langsung dari orang yang diandalkan seperti materi, tenaga dan
sarana. Manfaat dukungan ini adalah mendukung pulihnya energi
atau stamina dan semangat yang menurun selain itu individu merasa
bahwa masih ada perhatian atau kepedulian dari lingkungan terhadap
seseorang yang sedang mengalami kesusahan atau penderitaan.
b. Dukungan informasi (appraisal support) atau suatu bentuk bantuan
yang membantu individu dalam memahami kejadian yang menekan
dengan lebih baik serta memberikan pilihan strategi coping yang
harus dilakukan guna menghadapi kejadian tersebut. Keluarga
berfungsi sebagai kolektor dan diseminator informasi tentang dunia
yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah.
Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu
stresor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi
sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini
adalah nasihat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.
c. Dukungan harga diri (self esteem) atau suatu bentuk bantuan dimana
individu merasakan adanya perasaan positif akan dirinya bila
dibandingkan keadaan yang dimiliki dengan orang lain, yang
membuat individu merasa sejajar dengan orang lain seusianya.
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,
membimbing dan menengahi masalah serta sebagai sumber validator
44
identitas anggota keluarga, diantaranya: memberikan support,
pengakuan, penghargaan dan perhatian.
d. Dukungan belonging, suatu bentuk bantuan dimana individu tahu
bahwa ada orang lain yang dapat diandalkan ketika ia ingin
melakukan suatu kegiatan bersama dengan orang lain. Keluarga
sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Manfaat dari
dukungan ini adalah secara emosional menjamin nilainilai individu
(baik pria maupun wanita) akan selalu terjaga kerahasiaannya dari
keingintahuan orang lain. Aspek-aspek dari dukungan emosional
meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya
kepercayaan, perhatian dan mendengarkan serta didengarkan.35
Sedangkan House membedakan dukungan sosial menjadi 4 jenis,
yaitu :36
a. Dukungan emosional
Dukungan emosional merupakan ekpresi dari afeksi, kepercayaan,
perhatian, dan perasaan di dengarkan. Kesediaan untuk
mendengarkan keluhanseseorang akan memberikan dampak positif
sebagai sarana pelepasan emosi, mengurangi kecemasan, membuat
individu merasa nyaman, tentram, diperhatikan, serta dicintai saat
individu menghadapi berbagai tekanan dalam hidup. Dukungan
35
Ibid., 230. 36
Bart smet, psikologi kesehatan., 136 – 137.
45
emosional mencakup ungkapan empatik, keperdulian dan perhatian
terhadap orang yang bersangkutan.
b. Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan terjadi melalui ungkapan penghargaan yang
positif untuk individu, dorongan maju atau persetujuan dengan
gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif individu
dengan individu, seperti perbandingan orang miskin, atau orang yang
kurang mampu darinya. Hal ini dapat menambah penghargaan pada
diri individu melalui interaksi dengan orang lain individu akan
mampu mengevaluasi dan mempertegas keyakinan dengan
membendingkan pendapat, sikap, keyakinan, dan perilaku orang lain.
Dengan adanyan dukungan ini akan membantu individu merasa
dirinya berharga, mampu dan dihargai.
c. Dukungan intrumental
Dukungan intrumental mencakup bantuan langsung bagi individu
yang dapat berupa jasa, waktu atau uang.misalnya memberikan
pinjaman atau pekerjaan bagi orang yang memerlukan. Dukungan
jenis ini membantu individu dalam melaksanakan aktivitasnya.
d. Dukungan informatif
Dukungan informatif merupakan dukungan yang berupa pemberian
nasehat atau informasi, pengetahuan, dan saran atau umpan balik.
Dukungan ini membantu individu mengatasi masalah dengan
46
caramemperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap
masalah yang dihadapi.
3. Pengaruh Dukungan Sosial
Secara teoritis dapat dijelaskan hubungan dukungan sosial
mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis individu, ada dua model
yang digunakan yaitu:Buffering Hypothesis dan Main Effect
Hypothesis/Direct Effect Hypothesis. Penjelasan dua model tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Buffering Hypothesis
Menurut pendapat Sarafino dalam Hurlockyang mengatakan
bahwa melalui model buffering hypothesis ini, dukungan sosial
mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis individu dengan
melindunginya dari efek negatif yang timbul dari tekanan-tekanan
yang dialaminya dan pada kondisi yang tekanannya lemah atau kecil,
dukungan sosial tidak bermanfaat.37
Selain itu Orford juga
mengatakan bahwa melalui model ini, dukungan sosial bekerja
dengan tujuan untuk memperkecil pengaruh dari tekanan-tekanan
atau stres yang dialami individu, dengan kata lain jika tidak ada
tekanan atau stres, maka dukungan sosial tidak berguna.38
b. Main Effect Hypothesis/Direct Effect Hypothesis
Menurut Banks, Ullah dan Warr dalam Orford, model main
effect hypothesis atau direct effect hypothesis menunjukkan bahwa
37
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Penerbit Erlangga,1999), 67. 38
Orford, J. Community Psychology: theory & practice. (London: John Wiley and Sons.1992)
dalam Friedman, H.S., dan Schustack, M.W. Kepribadian. Teori Klasik dan Riset Modern
47
dukungan sosial dapat meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis
individu dengan adanya ataupun tanpa tekanan, dengan kata lain
seseorang yang menerima dukungan sosial dengan atau tanpa
adanya tekanan ataupun stres akan cenderung lebih sehat. Menurut
Sarafino melalui model ini dukungan sosial memberikan manfaat
yang sama baiknya dalam kondisi yang penuh tekanan maupun yang
tidak ada tekanan.39
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seseorang Mendapatkan
Dukungan Sosial.
Menurut pendapat Sarafino yang menguraikan beberapa faktor
yang mempengaruhi perolehan dukungan sosial dari orang lain yaitu:40
a. Potensi Penerima dukunan (recipient)
Seseorang tidak akan memperoleh dukungan bila mereka tidak
ramah, tidak mau menolong orang lain dan tidak membiarkan orang
lain mengetahui bahwa mereka membutuhkan pertolongan. Ada
orang yang kurang asertif untuk meminta bantuan, atau mereka
berfikir bahwa mereka seharusnya tidak tergantung dan membebani
orang lain, merasa tidak enak mempercayakan sesuatu pada orang
lain atau tidak tahu siapa yang dapat dimintai bantuannya.
b. Potensi Penyedia dukungan
Individu tidak akan memperoleh dukungan jika penyedia tidak
memiliki sumber-sumber yang dibutuhkan oleh individu, penyedia
39
Elizabeth B Hurlock, Psikologi Perkembangan, 87. 40
Yanni Nurmalasari, “Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Harga Diri Pada Remaja
Penderita Penyakit Lupus”, Jurnal Psikologi (Jakarta : Universitas Gunadarma), 06.
48
dukungan sedang berada dalam keadaan stres dan sedang
membutuhkan bantuan, atau mungkin juga mereka tidak cukup
sensitif terhadap kebutuhan orang lain.
c. Komposisi dan struktur jaringan sosial (hubungan individu dengan
keluarga dan masyarakat).
Hubungan ini bervariasi dalam hal ukuran yaitu jumlah orang
yang biasa dihubungi, frekuensi hubungan yaitu seberapa sering
individu bertemu dengan orang tersebut, komposisi yaitu apakah
orang tersebut adalah keluarga, teman, rekan kerja atau lainnya; dan
keintiman yaitu kedekatan hubungan individu dan adanya keinginan
untuk saling mempercayai.
Pendapat lain mengenai faktor yang mempengaruhi dukungan
keluarga menurut Feirig dan Lewis dalam Friedman ada bukti kuat
dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan
keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman-
pengalaman perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga
kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak dari
keluarga besar. Selain itu dukungan yang diberikan oleh seseorang
dipengaruhi oleh usia, menurut Friedman orang yang masih muda
cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali
kebutuhan orang lain dan juga lebih egosentris dibanding orang yang
lebih tua. Faktor lain yang mempengaruhi dukungan sosial adalah
49
kelas sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan,
tingkat pendidikan dan status sosial.41
Pendapat lain mengenai faktor yang mempengaruhi dukungan
sosial keluarga menurut Reis dalam Suhita, ada tiga faktor yang
mempengaruhi penerimaan dukungan sosial pada individu yaitu:42
a. Keintiman
Dukungan sosial lebih banyak diperoleh dari keintiman daripada
aspek-aspek lain dalam interaksi sosial, semakin intim seseorang
maka dukungan yang diperoleh semakin besar.
b. Harga Diri
Individu dengan harga diri memandang bantuan dari orang lain
merupakan suatu bentuk penurunan harga diri karena dengan
menerima bantuan orang lain diartikan bahwa individu yang
bersangkutan tidak mampu lagi berusaha.
c. Keterampilan Sosial
Individu dengan pergaulan yang luas akan memiliki keterampilan
sosial yang tinggi, sehingga akan memiliki jaringan sosial yang
luas pula. Sedangkan individu yang memiliki jaringan individu
yang kurang luas memiliki keterampilan sosial rendah.
41
Friedman, M. Marilyn, Keperawatan Keluarga : Teori dan Praktik. (Jakarta: EGC,1998), 98. 42
Suhita, “Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Minat Berwiraswasta Dengan Kecenderungan
Post-Power Syndrome Pada Purnawirawan TNI Dan POLRI.” Skripsi tidak diterbitkan.
(Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta,2005).
50
D. Hubungan Kontrol Diri dan Dukungan Sosial Keluarga dengan
Agresivitas Siswa
Secara teori terjadinya tindakan agresif karena seseorang tidak bisa
mengendalikan emosi yang ada dalam dirinya, sikap agresif yang dipicu
karena rasa marah dan dendam akan sangat mudah muncul. Studi yang
dilakukan Finkenaurer,dkk yang menyatakan bahwa tinggi kontrol diri sangat
berhubungan dengan penurunan resiko masalah psikososial diantaranya
kenakalan dan sikap agresivitas pada remaja.43
Dalam penelitian DeWall,
Finkel, dan Denson tentang self control inhibits aggression menyatakan
bahwa mekanisme neural otak dalam meregulasi emosi dan kontrol kognitif
pada self kontrol dapat mengurangi agresi seseorang. Dalam penelitiannya
juga disebubkan bahwa faktor-faktor yang dapat menekan self control akan
meningkatkan agresi, sedangkan faktor yang dapat memperkuat self control
akan menurunkan agresi. DeWall, Finkel, dam Denson juga menyatakan
bahwa kegagalan self control dapat memberikan kontribusi untuk tindakan
yang paling agresif yang menyertakan kekerasan. 44Penelitian yang dilakukan
Auliya dan Nurwidawati membuktikan bahwa variabel kontrol diri memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap perilaku agresi. Hubungan variabel kontrol
diri dengan variabel perilaku agresif diketahui negatif, yang bermakna
43
Finkenauer, C., Engels, Rutger.C.M.E., & Baumeister, R.F. “Parenting behavior and adolescent
behavioral and emotional problems: The role of self-control.” International Journal of Behavioral
Development. 29 (1), 58- 69.2005. diakses tanggal 22 Mei 2017. 44
C.Nathan DeWall, Eli J Finkel, & Thomas F. Denson, “Self-Control Inhibits Aggression.” Social
and Personality Psychology Compass 5/7. 458-472 10.1111/j.1751-9004.2011.00363.x.2011.
diakses tanggal 22 Mei 2017.
51
semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki responden maka akan menurunkan
perilaku agresif.45
Secara teoritis remaja yang memiliki pengendalian diri yang rendah
akan mudah memicu kenakalan remaja. Pengendalian diri merupakan
kemampuan mengendalikan tingkah laku, perasaan, emosi, keputusan, dan
tindakan yang muncul karena adanya kemauan sehingga dapat membawa
kearah yang positif. Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai
kegagalan dalam mengembangkan pengendalian diri yang cukup dalam hal
tingkah laku. Beberapa anak gagal mengembangkan pengendalian diri yang
esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan.
Pengendalian diri sangat penting bagi setiap individu terutama bagi remaja
karena remaja masih memiliki emosi yang labil. Maka dengan adanya self
control remaja mampu mengendalikan tingkah lakunya, kognitifnya serta
dalam mengambil keputusan terutama terhadap hal-hal yang berhubungan
dengan tindakan melanggar hukum dan anti sosial.46
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Alfiana Indah Muslimah dan
Nurhalimah yang membuktikan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa
ada hubungan yang berlawanan atau negatif antara locus of control internal
dengan agresivitas pada siswa SMK Negeri 1 Bekasi dan siswa SMK Patriot
1 Bekasi. Hal ini ditunjukan dengan perolehan nilai Locus of control internal
dalam penelitian ini memberikan sumbangan efektif sebesar 34,6% terhadap
45
Miftahul Auliya dan Desi Nurwidawati, “Hubungan Kontrol Diri Dengan Perilaku Agresi Pada
Siswa Sma Negeri 1 Padangan Bojonegoro.” Jurnal Character, Volume 02 Nomor 3 Tahun 2014. 46
Santrock, Adolescene: Perkembangan Remaja Edisi Keenam. Terj. Shinto B Adeler. (Jakarta:
Erlangga, 2003), 456.
52
agresivitas, sehingga masih terdapat 65,4% sumber lain yang mempengaruhi
agresivitas, yang tidak di ukur secara empirik dalam penelitian ini.47
Dari penjelasan teoritis dan uji empiris penelitian di atas dapat
ditemukan konsistensi hasil penelitian baik yang dilakukan DeWall, Finkel,
dan Denson, ataupun Auliya dan Nurwidawati, ataupun Muslimah dan
Nurhalimah yang membuktikan adanya hubungan antara variabel kontrol diri
dengan agresivitas seseorang, semakin baik kontrol diri maka akan
menurunkan tingkat agresivitas seseorang. Namun demikian ada perbedaan
besaran hubungan tersebut, tentu saja faktor lain yang akan mempengaruhi
hasil tersebut. Maka penelitian ini akan menguji konsistensi dengan
menjadikan kontrol diri sebagai variabel yang akan dicari tahu pengaruhnya
terhadap agresivitas dan seberapa besar pengaruhnya.
Dukungan sosial merupakan suatu fungsi penting dari hubungan
sosial. Dukungan sosial keluarga adalah kadar keberfungsian dari hubungan
yang dapat dikategorikan dalam empat hal yaitu dukungan emosional,
dukungan instrumental, dukungan informasi dan dukungan penilaian.
Hughes, dkk dalam Santrock menyatakan bahwa hubungan yang dijalin oleh
individu pada masa remaja memiliki peran penting dalam mempengaruhi
remaja dalam melakukan kekerasan termasuk agresivitas.48
Santrock
menjelaskan faktor keluarga sangat menentukan munculnya kenakalan
remaja. Pemicu kenakalan remaja seringkali berasal dari keluarga seperti
47
Alfiana Indah Muslimah dan Nurhalimah, “Agresifitas Ditinjau dari Locus of Control Internal
pada siswa SMK Negeri 1 Bekasi dan Siswa di SMK Patriot 1 Bekasi.” Jurnal Soul, Vol. 5, No
2,September 2012. 48
John W. Santrock, Adolescene Perkembangan Remaja. terj. Shinto b Adeler dan Sherly Saragih
(Jakarta: Erlangga,2003), 225.
53
orang tua. Orang tua yang jarang mengawasi anak-anak remaja memberikan
sedikit dukungan di setiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan remaja dan
penerapan pola disiplin secara efektif.
Penelitian Mulyono membuktikan bahwa hubungan positif dengan
orang tua dan orang lain menjadi hal penting dalam mengurangi agresivitas
pada remaja. Penelitian Mulyono menyimpulkan bahwa lingkungan
masyarakat dan lingkungan keluarga turut serta mempengaruhi munculnya
agresivitas.49
Penelitian Margiani dan Ekayati melakukan studi untuk menguji
hubungan antara stres dan dukungan keluarga dengan agresivitas pada istri
yang menjalani pernikahan jarak jauh. Secara parsial variabel stres tidak
berkorelasi dengan agresivitas, tetapi variabel dukungan keluarga berkorelasi
negatif sangat signifikan dengan agresivitas. Yang bermakna semakin tinggi
dukungan keluarga yang diberikan akan menurunkan tingkat agresifitas
responden. Namun sebaliknya jika dukungan keluarga semakin menurun
maka akan menyebabkan meningkatnya agresifitas responden.50
Herawaty dan Wulan membutikan sumbangan efektif yang diberikan
variabel keberfungsian keluarga dan daya juang terhadap belajar berdasar
regulasi diri remaja sebesar 29,9%, sedangkan masing-masing sumbangan
efektif yang diberikan keberfungsian keluarga terhadap belajar berdasar
regulasi diri remaja sebesar 12,7%, dan sumbangan yang diberikan daya
juang terhadap belajar berdasar regulasi diri remaja sebesar 17,2%. Hasil
49
Abdurrahman Mulyono, Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar.(Jakarta: Rineka
Cipta,1999), 67. 50
Kristin Margiani dan IGAA Novi Ekayati, “Stres, Dukungan Keluarga Dan Agresivitas Pada Istri
Yang Menjalani Pernikahan Jarak Jauh.” Persona, Jurnal Psikologi Indonesia. Sept. 2013, Vol. 2,
No. 3, hal 191-198.
54
penelitian tersebut bermakna semakin baik keberfungsian keluarga maka akan
meningkatkan kualitas belajar berdasarkan regulasi diri pada remaja.
Selanjutnya semakin baik daya juang yang dilakukan responden maka akan
semakin meningkatkan belajar berdasarkan regulasi diri remaja.51
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Nugroho yang bertujuan
untuk menguji korelasi antara dukungan sosial dan konsep diri dengan
agresifitas remaja. Hasil penelitian menunjukkan dari analisa regresi
menunjukkan ada korelasi yang signifikan antara dukungan sosial dan konsep
diri dengan agresifitas remaja. Pengaruh dukungan sosial terhadap agresifitas
remaja secara parsial menunjukkan pengaruh negatif. Begitu juga pengaruh
konsep diri terhadap agresifitas remaja secara parsial menunjukkan pengaruh
negatif. Hasil tersebut bermakna semakin tinggi dukungan sosial yang
diberikan akan menurunkan agresifitas pada remaja. Begitu juga pada
variabel konsep diri, semakin baik konsep diri yang dimiliki responden maka
akan menurunkan tingkat agresifitas remaja.52
Dari penelitian di atas sudah terbukti bahwa dukungan sosial keluarga
memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak, terutama dalam
mengendalikan agresivitas anak. Namun demikian ada ketidakkonsistenan
hasil penelitian di atas mengingat karakteristik berbeda sampel penelitian dan
latarbelakang desain penelitian yang dipengaruhi faktor lain, untuk itu
penelitian ini akan menguji hubungan dukungan sosial keluarga terhadap
51
Yulia Herawaty dan Ratna Wulan, “Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga dan Daya Juang
Dengan Belajar Berdasar Regulasi Diri Pada Remaja.” Jurnal Psikologi, Volume 9 Nomor 2,
Desember 2013. 52
Isffauzi Hadi Nugroho, “Korelasi Dukungan Sosial dan Konsep Diri Dengan Agresivitas
Remaja.”Nusantara of Research. Volume 02. Nomor 02. Oktober 2015.
55
agresivitas tersebut. Maka peneliti menetapkan dukungan sosial keluarga
merupakan faktor penting dalam mempengaruhi agresivitas remaja, dukungan
sosial keluarga yang baik akan menurunkan agresivitas remaja. Merujuk pada
model socio-ecological diperkenalkan oleh Bronfenbrenner yang kemudian
dilengkapi oleh Rice menjadi socio-ecological model. Model ini menjelaskan
bahwa perkembangan perilaku dan kepribadian individu sangat dipengaruhi
oleh lingkungan dimana individu tersebut tinggal. Individu yang tinggal
bersama dengan lingkungan keluarga harmonis dan memberikan dukungan
positif akan berdampak positif pada perilaku individu tersebut, namun apabila
seorang remaja hidup pada lingkungan keluarga yang bermasalah dan tidak
harmonis maka akan berdampak pada psikologi dan perilaku remaja tersebut.
Pengaruh variabel kontrol diri dan dukungan sosial keluarga terhadap
perilaku agresivitas secara bersama-sama juga sudah terbukti dari penelitian
yang dilakukan Sri Wahida, yang membuktikan bahwa hasil uji koefisien
determinasi R Square menunjukkan bahwa dukungan orang tua dan self
control memberikan sumbangsih sebesar 88,8% terhadap kecenderungan
kenakalan remaja. Sedangkan sisanya sebanyak 11,2% dijelaskan oleh
variabel lain selain dukungan orang tua dan self control. Penelitian tersebut
juga membuktikan nilai signifikansi sebesar 0,000<0,05 sehingga dinyatakan
ada pengaruh yang signifikan dukungan orang tua dan self-control terhadap
kecenderungan kenakalan remaja. Dukungan orang tua dan self control yang
56
tinggi dapat menekan munculnya kecenderungan kenakalan remaja.53
Pendekatan perilaku agresif dapat dipahami bahwa perilaku agresif
merupakan sesuatu yang dipelajari dan bukannya perilaku yang dibawa
individu sejak lahir. Perilaku agresif ini dipelajari dari lingkungan sosial
seperti interaksi dengan keluarga, interaksi dengan rekan sebaya dan media
massa melalui modelling.
Tentu saja munculnya agresifitas pada siswa melibatkan banyak faktor
yang mempengaruhinya. Pembahasan tentang faktor-faktor penyebab
munculnya perilaku agresif juga amat tergantung dari sisi pendekatan yang
digunakan. Setidaknya ada empat pendekatan utama untuk memahami
beberapa penyebab munculnya perilaku agresif ini, yaitu 1) Pendekatan
biologis, 2) Pendekatan psikologis, 3) Pendekatan situasional, dan 4)
Pendekatan sosio-ecological. Penelitian ini menggunakan pendekatan kedua
yaitu pendekatan psikologis dalam memahami agresifitas pada siswa di SMK
YP17 Pare. Atas dasar pemilihan pendekatan psikologis tersebut, maka pada
penelitian ini pemilihan variabel kontrol diri dan variabel dukungan sosial
keluarga bukan didasarkan pada lebih besar mana kedua variabel tersebut
memberikan pengaruh terhadap perilaku agresifitas, namun pemilihan
tersebut didasarkan pada variabel kontrol diri merupakan representasi salah
satu faktor internal sedangkan variabel dukungan sosial keluarga merupakan
representasi faktor eksternal. Tentu saja penelitian ini tidak dalam kapasitas
menguji dan membandingkan lebih dahulu mana antara variabel kontrol diri
53
Sri Wahida, “Pengaruh Dukungan Orang Tua dan Self-Conrol terhadap Kecenderungan
Kenakalan Remaja SMK Bina Potensi Palu-Sulawesi Tengah.” Skripsi tidak diterbitkan. (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2011).
57
dengan variabel dukungan sosial keluarga, namun penelitian akan mampu
menjawab variabel mana yang berkontribusi dominan antara variabel kontrol
diri dengan variabel dukungan sosial keluarga, namun hasil uji pada regresi
linier penelitian ini akan diketahui sumbangsih kedua variabel tersebut
dengan agresifitas di SMK YP 17 Pare. Sebab secara teoritis dan bukti
empiris penelitian sebelumnya kedua variabel tersebut memberikan hubungan
yang signifikan dalam konteks perilaku agresifitas pada remaja. Berdasarkan
uraian teoritis dan hasil penelitian terdahulu di atas, maka penelitian
membangun asumsi bahwa ada hubungan yang signifikan variabel kontrol
diri dan dukungan sosial keluarga secara simultan terhadap perilaku
agresifitas siswa SMK YP17 Pare.