bab ii landasan teori -...

16
4 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Efektivitas dan Evaluasi Program Pemantauan dan evaluasi program sangat penting untuk menentukan apakah suatu program bekerja dengan baik sesuai dengan tujuan yang diharapkan, untuk membantu memperbaiki pelaksanaan program, dan memberikan bukti untuk melanjutkan dukungan program. Evaluasi tidak hanya akan memberikan umpan balik tentang efektivitas program tetapi juga akan membantu untuk menentukan apakah program ini sesuai untuk populasi sasaran, apakah ada masalah dengan implementasi dan dukungan, dan apakah ada suatu permasalahan yang perlu diselesaikan selama program dilaksanakan. Suatu program disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Terdapat banyak beberapa metode dalam menentukan efektivitas suatu program, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dengan cara kuantitatif, dikenal metode Controlled Before-After Study. Metode ini merupakan desain yang paling praktis untuk evaluasi program (Mayne, 2011). Pada dasarnya metode ini membandingkan sebelum dan setelah program atau membandingkan, atau dengan dan tanpa program, juga ditentukan faktor kontribusinya. Dalam konteks penelitian ini, efektivitas dari program CFD dapat dihitung dengan pendekatan rumus sederhana sebagai berikut (Persamaan 2.1): (2.1) Keterangan: E = Effectivity NCFDTAE = Non Car Free Day Total Air Emission CFDTAE = Car Free Day Total Air Emission

Upload: lecong

Post on 05-Jul-2018

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Efektivitas dan Evaluasi Program

Pemantauan dan evaluasi program sangat penting untuk menentukan

apakah suatu program bekerja dengan baik sesuai dengan tujuan yang

diharapkan, untuk membantu memperbaiki pelaksanaan program, dan

memberikan bukti untuk melanjutkan dukungan program. Evaluasi tidak hanya

akan memberikan umpan balik tentang efektivitas program tetapi juga akan

membantu untuk menentukan apakah program ini sesuai untuk populasi sasaran,

apakah ada masalah dengan implementasi dan dukungan, dan apakah ada suatu

permasalahan yang perlu diselesaikan selama program dilaksanakan. Suatu

program disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang

telah ditentukan. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau

sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun

program.

Terdapat banyak beberapa metode dalam menentukan efektivitas suatu

program, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dengan cara kuantitatif,

dikenal metode Controlled Before-After Study. Metode ini merupakan desain

yang paling praktis untuk evaluasi program (Mayne, 2011). Pada dasarnya

metode ini membandingkan sebelum dan setelah program atau membandingkan,

atau dengan dan tanpa program, juga ditentukan faktor kontribusinya. Dalam

konteks penelitian ini, efektivitas dari program CFD dapat dihitung dengan

pendekatan rumus sederhana sebagai berikut (Persamaan 2.1):

(2.1)

Keterangan:

E = Effectivity

NCFDTAE = Non Car Free Day Total Air Emission

CFDTAE = Car Free Day Total Air Emission

5

2. Program CFD

Program CFD merupakan salah satu program untuk mengurangi dan

mengendalikan pencemaran udara. Program CFD pertama kali dilakukan di

negara Belanda dan Belgia dalam rangka mengurangi krisis energi pada 25

November 1956 hingga 20 Januari 1957. Pada 19 April 2001 program Earth

Car Free Day pertama kali diadakan dan serentak di seluruh penjuru dunia.

Lebih dari 300.000 organisasi dan kota di seluruh dunia ikut berpartisipasi

dalam kegiatan yang diadakan oleh The Commons WC/FD program and Earth

Day Network. Pada tanggal 29 September 2009, World Car Free Day dirayakan

di Washington, D.C. Kegiatan yang dilaksanakan di sana antara lain terdiri dari

reparasi kendaraan bermotor gratis, senam yoga dan kegiatan - kegiatan lain

yang dilakukan oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat.

Tanggal 22 September ditetapkan sebagai perayaan CFD Internasional.

Isu mengurangi moda transportasi bermotor dimulai sejak krisis minyak tahun

1977. Tetapi baru pada tahun 1994 isu tersebut mulai digencarkan dan digagas

lebih serius. Pidato Eric Britton, Ilmuwan Politik dan Aktivis Lingkungan pada

Konferensi Internasional Asesibilitas Kota (International Ciudades

Accesibles Conference) di Toledo, Spanyol mengawali gerakan CFD. Baru pada

1995 terbentuklah forum nonformal Word Car free Day Consortium yang

mendukung gerakan CFD di seluruh dunia. Pertama kali hajatan ini digelar di

Inggris pada tahun 1997, selanjutnya di Perancis (1998) dan berkembang secara

masif di Eropa pada tahun-tahun berikutnya hingga pada tahun 2000 menjadi

gerakan global.

Di Indonesia, program CFD pertama kali dikenal dengan program Hari

Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB). Pelaksanaanya pertama kali dilaksanakan

di Jakarta pada tanggal 21 September 2004 di sepanjang ruas Jalan Sudirman -

Thamrin. Pada hari itu seluruh kendaraan bermotor dilarang melintas di jalan

yang telah ditentukan. HBKB bertujuan untuk mensosialisasikan kepada

masyarakat untuk menurunkan ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan

bermotor. Kegiatan tersebut biasanya didorong oleh aktivis yang bergerak

dalam bidang lingkungan dan transportasi. Gagasan utama yang dipromosikan

dalam gerakan CFD adalah mengembangkan transportasi massal, bersepeda dan

6

berjalan kaki. Dasar hukum pelaksanaan CFD diperkuat dengan beredarnya

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 426/296/SJ Tahun 2015 perihal

pelaksanaan Car Free Day dan penyediaan ruang terbuka olahraga.

Di kota Surakarta CFD pertama kali diadakan pada tanggal 30 Mei 2010,

yang dilaksanakan setiap hari Minggu pagi di Jalan Brigjen. Slamet Riyadi Kota

Surakarta mulai pukul 05.00 - 09.00 WIB. Selain bertujuan utama untuk

mengurangi emisi, CFD juga dimanfaatkan sebagai ruang publik untuk aktifitas

olah raga, edukasi, bermain, serta kesenian budaya.

3. Pencemaran Udara

a. Definisi Pencemaran Udara

Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang

mengelilingi bumi. Udara merupakan komponen penunjang kehidupan yang

sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia maupun makhluk hidup

lainnya seperti tumbuhan dan hewan (Nowak, et al., 2014). Tanpa makan

dan minum manusia bisa hidup untuk beberapa hari tetapi tanpa udara

manusia hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja (Keuken, et al.,

2012). Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,

dan komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga

mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara

ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Pencemaran udara pada suatu

tingkat tertentu dapat merupakan campuran dari satu atau lebih bahan

pencemar, baik berupa padatan, cairan, atau gas yang masuk terdispersi ke

udara dan kemudian menyebar ke lingkungan sekitarnya. Kecepatan

penyebaran ini tentu tergantung pada keadaan geografi dan metereologi

setempat (Tanaka, 2015). Kota Surakarta secara geografis berada pada

cekungan di antara dua gunung, yaitu Gunung Lawu dan Gunung Merapi

dan di bagian timur dan selatan dibatasi oleh Sungai Bengawan Solo,

kondisi seperti ini tidak menguntungkan jika dilihat dari sisi pencemaran

udara. Potensi pencemar udara yang masuk dari wilayah sekitar kota

Surakarta sangat besar.

Sebagian besar pencemar udara berasal gas buangan hasil

7

pembakaran bahan bakar fosil. Sumber polusi yang utama berasal dari

kendaraan bermotor. Sumber-sumber polusi lainnya misalnya proses

industri, pembuangan limbah dan lain-lain (Prathipa1, et al., 2015). Udara

di daerah perkotaan yang mempunyai banyak kegiatan industri dan

teknologi serta lalu lintas yang padat, udaranya relatif sudah tidak bersih

lagi. Dari beberapa macam komponen pencemar udara, angka yang paling

banyak berpengaruh dalam pencemaran udara adalah karbon monoksida

(CO), belerang oksida (SOx), nitrogen oksida (NOx), dan partikulat yang

dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Di Indonesia, pertumbuhan jumlah

kendaraan sangat besar (Tabel 2.2).

Tabel 2.1. Jumlah Kendaraan di Indonesia Tahun 2009 - 2013

Tahun Mobil Sepeda Motor

2009 7.910.407 52.767.093

2010 8.891.041 61.078.188

2011 9.548.866 68.839.341

2012 10.432.259 76.381.183

2013 11.484.514 84.732.652

(BPS, 2015)

b. Sumber Pencemar Udara

Bahan pencemar udara dapat dibagi atas dua kelompok

berdasarkan sumbernya dan berdasarkan dampak yang timbul sebagai

berikut :

1) Berdasarkan Sumber

a) Pencemar Primer

Pencemar primer yaitu semua pencemar yang berada di udara

dalam bentuk yang hampir tidak pernah berubah. Pencemar ini sifat

dan komposisi kimianya sama seperti saat ia dibebaskan dari

sumbernya sebagai hasil dari suatu proses tertentu. Pencemar primer

umumnya berasal dari sumber-sumber yang diakibatkan oleh aktifitas

manusia, antara lain yang diakibatkan pada proses pembakaran

batubara di Industri. Contoh untuk pencemar-pencemar primer antara

lain SOX yang dikeluarkan dari cerobong industri peleburan atau

pemurnian logam dan pada pusat-pusat penyulingan minyak. Contoh

lainnya adalah COX, NOX, CH4, yang merupakan bahan/gas buangan

8

dari industri yang menggunakan bahan bakar batu bara (Caiazzo, et

al., 2013).

b) Pencemar Sekunder

Pencemar sekunder yaitu pencemar yang di udara sudah

berubah sifat-sifat dan komposisinya karena hasil reaksi antara dua

kontaminan. Umumnya pencemar sekunder tersebut merupakan hasil

antara pencemar primer dengan kontaminan/polutan lain yang ada di

dalam udara. Reaksi-reaksi yang dimaksud adalah reaksi fotokimia

dan reaksi oksida katalitis. Pencemar sekunder yang terjadi melalui

reaksi fotokimia umumnya diwakili contohnya oleh pembentukan

ozon yang terjadi antara zat-zat hidrokarbon yang ada di udara dengan

NOx melalui sinar ultra violet yang dipancarkan matahari. Sebaliknya

pencemar sekunder yang terjadi melalui reaksi-reaksi oksida

katalitis diwakili oleh pencemar-pencemar berbentuk oksida-oksida

gas, yang terjadi karena adanya partikel-partikel logam di udara

sebagai katalisator. Contoh-contoh pencemar sekunder antara lain

Particulate Matter (PM), ozon dan senyawa-senyawa peroksida.

2) Berdasarkan Perkiraan Dampak yang Timbul

a) Sumber Titik

Sumber titik adalah sumber individu yang tidak bergerak. Suatu

sumber dikategorikan sebagai sumber titik apabila sumber tersebut

mengemisikan pencemar di atas ambang batas yang ditetapkan dalam

inventarisasi. Ambang batas tersebut bisa didasarkan pada potensi

emisinya, jenis sumber, atau toksisitas pencemar. Misalnya, ditetapkan

bahwa sumber yang mengemisikan pencemar udara kriteria sebesar 10

ton per tahun dikategorikan sebagai sumber titik. Tipikal sumber titik

adalah industri manufaktur atau pabrik produksi yang memiliki

cerobong. Di dalam suatu sumber titik, bisa terdapat beberapa unit

pembakaran/boiler atau beberapa unit proses. Untuk kota-kota sedang

dan kecil, sumber titik ini selain industri manufaktur dengan skala

besar, dapat pula mencakup insinerator di rumah sakit, boiler di hotel,

krematorium, dan industri-industri skala menengah dan kecil.

9

b) Sumber Area

Sumber area adalah sumber yang secara individu tidak memenuhi

kualifikasi sebagai sumber titik. Sumber area mewakili berbagai

kegiatan individu yang mengeluarkan sejumlah kecil pencemar,

namun secara kolektif kontribusi emisinya menjadi signifikan.

Misalnya, satu tungku pembakaran di industri rumah tangga di dalam

wilayah inventarisasi tidak memenuhi kualifikasi sebagai sumber titik,

namun secara kolektif emisi dari sejumlah fasilitas yang sama di

wilayah tersebut akan signifikan sehingga sejumlah fasilitas tersebut

harus diinventarisir sebagai sumber area. Yang termasuk sumber area

diantaranya adalah kegiatan memasak di rumah tangga, stasiun

pengisian bahan bakar umum, lokasi konstruksi, bengkel cat, terminal

bis, klenteng, dan sejenisnya.

c) Sumber Bergerak

Sumber bergerak terbagi menjadi dua, yaitu sumber bergerak di

jalan raya (on-road), seperti mobil, truk, bus, sepeda motor; dan bukan

di jalan raya (non-road) seperti pesawat terbang, kapal laut, kereta api,

peralatan pertanian dan konstruksi, dan mesin pemotong rumput.

Lebih lanjut, sumber bergerak on-road dan non-road juga dapat

diwakili oleh sumber bergerak garis dan sumber bergerak area.

Sumber bergerak garis adalah sumber bergerak yang emisinya secara

individu maupun kolektif membentuk garis sepanjang ruas jalan atau

jalur non-jalan di wilayah inventarisasi. Untuk mengetahui emisi

sumber bergerak garis, diperlukan data aktivitas kendaraan/moda

transportasi pada ruas atau jalur tersebut, misalnya volume kendaraan

per hari atau jarak tempuh kereta api per hari. Apabila data aktivitas

pada ruas jalan atau jalur non-jalan tidak diketahui, maka sumber

bergerak dikategorikan sebagai sumber bergerak area, yaitu bahwa

emisi kendaraan secara kolektif membentuk suatu area di wilayah

inventarisasi.

10

4. Emisi

a. Definisi Emisi Udara

Emisi udara adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang dihasilkan

dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkan ke dalam udara

ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur

pencemar (Permen LH, 2012).

b. Regulasi tentang Pencemaran Udara di indonesia

Regulasi mengenai lingkungan hidup di Indonesia berdasar pada

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam regulasi ini

pencemran lingkungan hidup didefinisikan sebagai masuk atau

dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke

dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku

mutu lingkungan yang telah ditetapkan (pasal 1).

Pencemaran udara secara khusus diregulasikan dalam Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Pengendalian Pencemaran Udara. Regulasi tersebut mendeskripsikan

pencemaran udara sebagai masuk atau dimasukkannya zat, energi dan/atau

komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga

mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan

udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (pasal 1 poin 1). Pada pasal

yang sama di PPRI Pengendalian Pencemaran Udara dijelaskan pula

deskripsi emisi (poin 9). Emisi didefinisikan sebagai zat, energi dan/atau

komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau

dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak

mempunyai potensi sebagai unsur ambien.

Melalui regulasi PPRI Nomor 41 Tahun 1999 Pemerintah Indonesia

menegaskan arti penting udara dan pengelolaan bagi kehidupan manusia.

Untuk itu regulasi tersebut juga menegaskan adanya perlindungan atas mutu

udara ambien yang didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu

udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku

tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemaran

11

Udara. Penyusunan baku mutu udara secara nasional dilakukan pemerintah

dan turut dicantumkan dalam PPRI Nomor 41 Tahun 1999 sebagai perisai

utama terhadap potensi pencemaran udara. Secara khusus setiap daerah

diberikan arahan untuk menyusun baku mutunya masing-masing dengan

berdasar pada pertimbangan status mutu udara ambien di daerah masing-

masing. Baku mutu yang diregulasikan pemerintah berupa baku mutu untuk

udara ambien. Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai

batas maksimum kualitas udara ambien nasional yang diperbolehkan untuk

seluruh kawasan Indonesia. Arah dan tujuan penetapan baku mutu ini

adalah mencegah pencemaran uadara dalam rangka pengendalian

pencemaran udara nasional. Penetapan baku mutu udara ambien nasional

melibatkan beragam instansi terkait dan mempertimbangkan standar-standar

internasional.

Status mutu udara ambien daerah adalah mutu udara ambien yang

menggambarkan kualitas udara ambien di suatu lokasi pada waktu tertentu.

Penetapan status mutu udara ambien daerah adalah dengan

mempertimbangkan kondisi-kondisi teknis tertentu saat pengambilan

sampel udara ambien. Penetapan status mutu udara ambien daerah akan

ditentukan oleh kegiatan-kegiatan di bawah ini sesuai dengan Penjelasan

PPRI Nomor 41 Tahun 1999: (1) Inventarisasi data-data indeks standar

pencemaran udara dan ataudata-data kualitas udara ambien daerah; (2)

Inventarisasi sumber-sumber pencemar dan potensinya, dan (3)

Inventarisasi kondisi atmosfer daerah. Indonesia secara khusus di daerah,

mayoritas belum mengenal konsep inventarisasi emisi. Penyebabnya karena

selama ini penentuan status mutu dan penilaiannya masih didasarkan pada

kondisi udara ambien mengikuti baku mutu yang ada secara nasional. Jika

mengikuti regulasi PPRI Nomor 41 Tahun 1999, maka setiap daerah

sebenarnya memiliki kewajiban melakukan inventarisasi emisi untuk

menyusun status mutu udara ambiennya sendiri sesuai karakter wilayahnya.

Secara umum, Indonesia belum meregulasikan baku mutu secara spesifik

dari seluruh kegiatan yang berpotensi menimbulkan emisi. Mayoritas

sumber emisi spesifik masih menggunakan patokan baku mutu udara

12

ambien nasional maupun daerah apabila telah ada sebagai pertimbangan

penentuan status mutunya. Pemerintah Kota Surakarta, secara khusus telah

mengeluarkan regulasi khusus untuk mencegah dan mengendalikan

pencemaran udara yang tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun

2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup. Menurut Perda tersebut,

kegiatan pengendalian pencemaran lingkungan meliputi pencegahan,

penanggulangan, dan pemulihan, sedangkan ruang lingkup kegiatan

pengendalian lingkungan hidup dilakukan secara terpadu meliputi

pencemaran air permukaan, pencemaran tanah dan air tanah, pencemaran

udara, dan limbah padat.

Kegiatan pencegahan pencemaran udara menurut Perda No. 2 Tahun

2006 ini meliputi penentuan status mutu udara, penyusunan data

meteorologis dan geografis yang diperlukan dalam rangka pengendalian

pencemaran udara, inventarisasi sumber-sumber pencemaran, penetapan

baku mutu emisi, baku kebisingan, dan baku kebauan, penetapan

ketatalaksanaan perijinan pembuangan limbah berwujud gas dan atau

partikulat, penetapan persyaratan ijin termasuk persyaratan mengenai

cerobong saluran pembuangan emisi ke udara, pengawasan ketaatan,

penetapan sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran udara.

Melalui Perda No. 2 Tahun 2006 ini diharapkan kualitas udara di Kota

Surakarta dapat dicegah dari pencemaran udara.

c. Inventarisasi Emisi

Inventarisasi Emisi (Emission Inventory) adalah pencatatan secara

komprehensif tentang jumlah pencemar udara dari sumber – sumber

pencemar udara dalam suatu wilayah dan periode waktu tertentu. Dalam

bahasa yang sederhana, inventarisasi emisi adalah menentukan sumber –

sumber pencemar udara, apa yang keluar dari sumber pencemar udara

tersebut dan berapa banyak jumlahnya (Kementerian Lingkungan Hidup RI,

2013). Pendekatan dalam Inventarisasi Emisi secara umum dibagi menjadi 2

(dua), yakni pendekatan Top - Down dan Bottom - Up. Pendekatan Top –

Down dilakukan apabila terdapat keterbatasan operasional baik berupa tidak

adanya personel surveyor maupun keterbatasan pembiayaan dalam

13

pelaksanaan inventarisasi, sehingga dalam pendekatan ini lebih banyak

digunakan data sekunder. Pendekatan Bottom – Up mengutamakan

pengumpulan data primer.

d. Faktor Emisi

Faktor emisi didefinisikan sebagai nilai yang menunjukan jumlah

polutan yang dikeluarkan ke udara yang bersumber dari kegiatan

pembakaran. Setiap jenis kendaraan bermotor menghasilkan emisi yang

berbeda-beda sesuai dengan jenis mesin dan konsumsi bahan bakar yang

digunakan. COx, NOx, SOx dan gas-gas serta pertikulat adalah beberapa

contoh emisi yang dihasilkan oleh berbagai jenis kendaraan bermotor. CO

dihasilkan dari reaksi atom karbon dengan oksigen. Gas CO dihasilkan pada

proses pembakaran tidak sempurna di mana perbandingan udara dengan

bahan bakar tidak seimbang. Udara yang diambil untuk proses pembakaran

terdiri dari 20% O2, 79% N2 dan sisanya berupa gas-gas lainnya. Gas

Nitrogen (N2) merupakan udara pengencer yang tidak ikut dalam proses

pembakaran. Gas N2 bereaksi sendiri membentuk gas NOx (Boedisantoso,

2002). Jumlah emisi CH4, NOx, dan COx berbeda-beda untuk tiap jenis

kendaraan dan juga ditentukan dari bahan bakar yang digunakan.

Faktor emisi menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2013) adalah

suatu rasio yang menghubungkan emisi suatu pencemar dengan suatu

tingkat aktivitas yang dapat diukur, misalnya jumlah materi yang diproses

atau jumlah bahan bakar yang digunakan. Sebagai contoh, pembakaran 1

kiloliter minyak bakar pada tungku di pembangkit listrik akan menghasilkan

1,84 kilogram PM10, dan ini berarti faktor emisi PM10 untuk fasilitas

tersebut adalah 1,84 kg/kL. Apabila faktor emisi dan tingkat aktivitas

diketahui, maka perkalian antara keduanya akan menghasilkan beban emisi.

Faktor-faktor emisi umumnya ditentukan dari data pengukuran pada satu

atau beberapa fasilitas di dalam suatu kategori industri, sehingga faktor

emisi tersebut mewakili nilai yang sejenis untuk suatu industri tetapi tidak

berarti mewakili apa yang sesungguhnya terjadi pada suatu sumber tertentu.

Faktor emisi yang telah dipublikasikan telah tersedia. Faktor emisi

memungkinkan perkiraan beban emisi dari beberapa kategori sumber atau

14

sumber-sumber individu. Untuk menghitung beban emisi dengan

menggunakan faktor emisi, diperlukan 3 data masukan; yaitu informasi

aktivitas, faktor emisi, dan informasi tentang efisiensi peralatan pengendali

emisi (apabila menggunakan faktor emisi yang tidak mempertimbangkan

efisiensi peralatan pengendali). Persamaan dasar perhitungan emisi adalah

(Persamaan 2.2.):

E = AR x EF (2.2)

dimana:

E = Emisi

AR = tingkat aktivitas (misalnya, jumlah materi yang diproses)

EF = faktor emisi, dengan asumsi tanpa pengendalian

Emisi sumber area umumnya sulit dihitung melalui pengukuran

aktivitas secara langsung. Dalam hal ini, digunakan faktor emisi yang

didasarkan pada variabel penentu yang dapat dikaitkan dengan emisi,

misalnya penduduk atau tenaga kerja di dalam industri. Untuk saat ini,

Indonesia belum memiliki dokumen/publikasi yang memuat faktor-faktor

emisi yang berlaku nasional. Beberapa publikasi di luar negeri yang memuat

referensi faktor-faktor emisi untuk berbagai fasilitas dan kategori industri

berdasarkan tingkat aktivitas di negara dimana faktor emisi tersebut disusun

dalam berbagai dokumen, salah satu contohnya adalah EMEP/EEA air

pollutant emission inventory guidebook.

5. Pengelolaan Kualitas Udara

Pengelolaan kualitas udara adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk

menciptakan dan memelihara udara bersih untuk melindungi kesehatan manusia

dan memberikan perlindungan bagi ekosistem. Kegiatan-kegiatan pengelolaan

meliputi: penetapan baku mutu, pemantauan kualitas udara ambien, penyusunan

perijinan, penegakan hukum, dan penetapan insentif ekonomi untuk mengurangi

pencemaran udara. Pengelolaan kualitas udara melalui kebijakan dan peraturan

perundangan menjabarkan tugas dan tanggung jawab serta hubungan antar

institusi pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Kebijakan pemerintah adalah

landasan bagi pengelolaan kualitas udara. Tanpa kebijakan dan peraturan

15

perundangan yang tepat dan memadai, akan sulit memelihara program

pengelolaan kualitas udara yang baik. Strategi pengelolaan kualitas udara

adalah serangkaian cara atau rencana tindak untuk melaksanakan kebijakan dan

peraturan perundangan pengelolaan kualitas udara.

16

B. Penelitian yang Relevan

Tabel 2.2. Penelitian yang Relevan

No Nama

Peneliti Tahun

Lokasi

Penelitian Jenis Judul Penelitian Hasil Penelitian

1 Kanaf dan

Razif, M.

2010 Surabaya Skripsi Efisiensi Program Car Free Day

terhadap Penurunan Emisi Karbon

Penelitian ini menggunakan metode pengukuran

emisi. Dengan adanya program CFD di Jalan Raya

Kertajaya Surabaya terbukti berhasil mereduksi

emisi CO2 sebesar 21,56%.

2 Rini,

F.W.C.

2012 Jakarta Tesis Kajian Pemanfaatan Ruang Jalan sebagai

Ruang Terbuka Publik dengan Studi

Kasus: Car Free Day di Koridor Jalan

M.H. Thamrin – Jenderal Sudirman di

Jakarta

Car Free Day jalan M. H. Thamrin Jakarta

dapat memperbaiki segi fisik, sosial, ekologis

maupun ekonomi dengan indikator terpenuhinya

elemen comfort, relaxation, passive engagement,

active engagement, dan discovery.

3 Arwini,

N.P.D.

2014 Denpasar Tesis Analisis Dampak Pelaksanaan Car Free

Day di Kota Denpasar (Studi Kasus:

Jalan Raya Puputan Niti Mandala Renon

Denpasar)

Pengukuran terhadap tingkat pencemaran udara di

Kota Denpasar memperlihatkan bahwa dari 6

parameter yang diujikan secara keseluruhan masih

berada dibawah baku mutu yang diijinkan dengan

kategori baik dan sedang. Sulfur dioksida (SO2)

menunjukkan peningkatan sebesar 6,87%. Nitrogen

dioksida (NO2) menunjukkan peningkatan sebesar

17

No Nama

Peneliti Tahun

Lokasi

Penelitian Jenis Judul Penelitian Hasil Penelitian

36,35%, Karbon monoksida (CO) menunjukkan

peningkatan sebesar 366,25%, debu total (PM)

mengalami peningkatan terbesar yaitu 599,95%,

sedangkan untuk oksidan menunjukkan peningkatan

sebesar 28,57%. Kebisingan yang terjadi pada saat

pelaksanaan Car Free Day menunjukkan angka

rata-rata 61,65 dB(A) sedangkan tingkat kebisingan

rata-rata pada hari kerja menunjukkan angka 72,77

dB(A). Peningkatan kebisingan yang terjadi antara

dilaksanakannya program Car Free Day dengan

hari biasa adalah sebesar 19,17%.

4 Saputra, I.,

dan

Sutriadi, R.

2014 Bandung Tesis Analisis Car Free Days Berdasarkan

Persepsi Pengunjung dalam Konteks

Perubahan Perilaku Penggunaan

Kendaraan Pribadi. Studi Kasus: Car

Free Days Jalan Ir. H.Juanda (Dago)

Dilihat dari penilaian pengunjung terhadap Car Free

Days dalam mengubah perilaku penggunaan

kendaran pribadi, lebih dari setengah

pengunjung menyatakan bahwa Car Free Days

tidak dapat mengubah perilaku dalam penggunaan

kendaraan pribadi, mayoritas pengunjung masih

menggunakan kendaraan pribadi (Mobil dan Motor)

18

No Nama

Peneliti Tahun

Lokasi

Penelitian Jenis Judul Penelitian Hasil Penelitian

untuk berkunjung ke Car Free Days juga

memperkuat belum dapatnya Car Free Days

mengubah perilaku penggunaan kendaraan pribadi

secara optimal, selain itu hasil observasi

menunjukkan bahwa banyak terjadi kemacetan

dititik-titik jalan sekitar area Car Free Days pada

saat berlangsungnya Car Free Days dan bahkan

terjadi kemacetan yang sangat panjang sesaat

setelah selesainya acara Car Free Days karena

besarnya bangkitan kendaraan pada waktu yang

bersamaan.

19

C. Kerangka Berpikir

Gambar 2.1. Diagram alir kerangka berpikir

D. Hipotesis

1. Terdapat perbedaan jumlah asumsi emisi udara total yang dihasilkan dari

kegiatan di sepanjang Jalan Brigjen. Slamet Riyadi dan Jalan Diponegoro Kota

Surakarta masing – masing pada saat NCFD dan pada saat CFD.

2. Program Car Free Day di Jalan Brigjen. Slamet Riyadi dan Jalan Diponegoro

Kota Surakarta Surakarta tidak efektif dalam menurunkan emisi udara.

Dihitung, dibandingkan, serta

dianalisis Asumsi Emisinya sehingga diperoleh efektivitas

dari program CFD

Kendaraan Bermotor

Hasil penelitian terdahulu

membuktikan program CFD

efektif menurunkan emisi pada

beberapa parameter emisi

Penelitian terdahulu

menggunakan metode

pengukuran emisi dan udara

ambien pada jalur utama CFD

Kategori sumber emisi:

1. Street Food Vendor

2. Non Road Machinery 3. Parking

Parameter emisi:

NOX, NMVOC, PM10, CO, CO2, SOX, dan TSP

Saat NCFD Saat CFD

Emisi udara

Bersifat toksik, berbahaya bagi

kesehatan manusia

Program CFD

Perlu dilakukan penelitian

mengenai emisi udara di

jalur utama CFD ditambah

jalur - jalur pendukungnya

menggunakan metode

perhitungan inventarisasi

emisi dengan pendekatan

bottom-up

Diperlukan upaya pengendalian

emisi udara

Evaluasi Program CFD