bab ii kerangka teori, hasil penelitian, dan analisis 1.1

85
13 BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1. Kerangka Teori 1.1.1. Politik Hukum Pidana Perkembangan kebutuhan akan hukum di tengah masyarakat merupakan keniscayaan. Termasuk di dalamnya kebutuhan akan pembaruan hukum pidana. Masyarakat yang dinamis menuntut pembentuk peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana untuk selalu melakukan penginterpretasian hukum yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat tersebut. Peraturan perundang- undangan di bidang hukum pidana yang tidak didasarkan atas kebutuhan hukum masyarakat pada akhirnya hanya akan sekedar menjadi produk politik semata dan kehilangan citranya sebagai hukum. Adanya permasalahan yang ingin ditangani dan/atau tujuan tertentu dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana dapat ditelaah melalui studi tentang politik hukum yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Untuk itu diperlukan suatu tinjauan terhadap politik hukum itu sendiri sebelum masuk pada tinjauan politik hukum pidana. Secara etimologis, istilah politik hukum berasal dari terjemahan Belanda rechpolitiek yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan politiek. 1 Recht yang diterjemahkan sebagai hukum menurut hemat penulis berdasarkan perkuliahan-perkuliahan atau pendidikan hukum yang telah dilalui merupakan norma yang berisi aturan-aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis tentang 1 Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, h. 19.

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

13

BAB II

KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

1.1. Kerangka Teori

1.1.1. Politik Hukum Pidana

Perkembangan kebutuhan akan hukum di tengah masyarakat merupakan

keniscayaan. Termasuk di dalamnya kebutuhan akan pembaruan hukum pidana.

Masyarakat yang dinamis menuntut pembentuk peraturan perundang-undangan di

bidang hukum pidana untuk selalu melakukan penginterpretasian hukum yang

dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat tersebut. Peraturan perundang-

undangan di bidang hukum pidana yang tidak didasarkan atas kebutuhan hukum

masyarakat pada akhirnya hanya akan sekedar menjadi produk politik semata dan

kehilangan citranya sebagai hukum. Adanya permasalahan yang ingin ditangani

dan/atau tujuan tertentu dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan

di bidang hukum pidana dapat ditelaah melalui studi tentang politik hukum yang

digunakan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Untuk itu diperlukan

suatu tinjauan terhadap politik hukum itu sendiri sebelum masuk pada tinjauan

politik hukum pidana.

Secara etimologis, istilah politik hukum berasal dari terjemahan Belanda

rechpolitiek yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan politiek.1 Recht

yang diterjemahkan sebagai hukum menurut hemat penulis berdasarkan

perkuliahan-perkuliahan atau pendidikan hukum yang telah dilalui merupakan

norma yang berisi aturan-aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis tentang

1 Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, h. 19.

Page 2: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

14

sesuatu yang ideal atau yang seharusnya dalam rangka penataan suatu masyarakat

untuk mencapai keadilan dan damai sejahtera. Studi tentang pengertian hukum itu

sendiri dirasa penulis tidak akan dibahas lebih lanjut dalam cakupan penelitian ini

dikarenakan penulis akan lebih memfokuskan secara langsung pada studi tentang

politik hukum. Politik (politiek) itu sendiri bersumber dari bahasa Yunani politika

yang diartikan sebagai yang berhubungan dengan negara.2 Sudarto memaknai

istilah politik dipakai dalam berbagai arti, seperti:

1. Perkataan politiek dalam bahasa Belanda yang berarti

sesuatu yang berhubungan dengan negara;

2. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang

berhubungan dengan negara.

Soedarto juga melakukan penegasan dalam pemaknaan politik sebagai kebijakan

yang merupakan persamaan kata dari policy.3 Mahfud dalam penjelasannya

tentang hubungan antara politik dan hukum menyatakan bahwa hukum

merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable

(variabel terpengaruh dan politik sebagai independent variable (variabel

berpengaruh).4 Penulis memaknai hukum merupakan produk politik yang

demikian tidak dalam tataran hukum yang abstrak melainkan mengamini hal

tersebut dalam tataran penginterpretasian hukum ke dalam bentuk yang konkret.

Mahfud memaknai politik hukum sebagai kebijaksanaan (legal policy) yang

dilaksanakan pemerintah secara nasional.5 Politik hukum diartikan beliau sebagai

arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan

2 Ahmad Muliadi, Politik Hukum, Akademia Permata, Padang, 2013, h. 1. 3 Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap Pembaruan Hukum Pidana,

Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 16, dikutip dari Teguh Prasestyo dan Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit., h.

11. 4 Mahfud, Politik Hukum Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, h. 1-2, dikutip dari Teguh Prasestyo dan

Abdul Halim Barkatulah, Ibid. 5 Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, h. 7.

Page 3: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

15

melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara.6

Pemaknaan oleh Mahfud yang demikian menjadikan politik hukum sebagai upaya

pembentukan hukum dalam peraturan peundang-undangan untuk mencapai tujuan

bangsa dan negara. Pengertian politik hukum yang tidak jauh berbeda

diungkapkan juga oleh Soedarto yang menyatakan politik hukum sebagai

kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang

untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan

untuk mencapai apa yang dicita-citakan.7

Menurut Bellefroid, politik hukum (rechtpolitiek) merupakan bagian dari

ilmu hukum yang meneliti perubahan hukum yang berlaku yang harus dilakukan

untuk memenuhi tuntutan baru kehidupan masyarakat dengan menyatakan:8

Politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apakah yang

harus diadakan pada hukum yang ada sekarang, supaya dapat

memenuhi syarat-syarat baru dari hidup kemasyarakatan. Ia

melanjutkan perkembangan tertib hukum. Karena ia mencoba

menjadikan ius constitutum yang diperkembangkan dari stelsel-

stelsel hukum-hukum yang lama, menjadi ius constituendum

atau hukum untuk masa yang akan datang.

Utrecht juga berpendapat bahwa politik hukum berusaha membuat kaidah-kaidah

yang akan menentukan bagaimana seharusnya manusia bertindak. Politik hukum

menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang

sekarang berlaku supaya menjadi sesuai dengan sociale werkelijkheid (kenyataan

sosial).9 Dalam hal kenyataan sosial, Surojo Wignyodipuro menggunakan istilah

6 Ahmad Muliadi, Op.Cit., h. 3. 7 M. Ali Zaidan, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, h. 62. 8 Bellefroid, Indleiding tot de Rechtswetenschap in Nederlands, Dekker & Van Vegt, Nijmegen Utrecht,

1952, h. 18, dikutip dari Abdul Latif dan Hasbi Ali, Op.Cit., h. 6. 9 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru van Hove, Jakarta, 1996, h. 14, dikutip dari

Ahmad Muladi, Loc.Cit.

Page 4: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

16

perasaan hukum yang ada pada masyarakat. Beliau menyatakan bahwa politik

hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum

sekarang supaya menjadi lebih sesuai dengan perasaan hukum yang ada pada

masyarakat.10

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketika kita berbicara mengenai

politik hukum maka kita membicarakan salah satu bagian dari ilmu hukum.

Pembicaraan mengenai politik hukum berisikan penggambaran usaha penemuan

hukum oleh pembentuk peraturan perundang-undangan yang kemudian dijabarkan

dalam peraturan perundang-undangan yang mereka hasilkan. Politik hukum yang

disebut juga sebagai legal policy merupakan kebijaksanaan dari pembentuk

peraturan perundang-undangan untuk menentukan arah atau tujuan yang dijadikan

sebagai dasar pijak dan cara untuk membentuk serta melaksanakan hukum yang

dikonretkan. Politik hukum menyelidiki keadaan-keadaan di masyarakat yang

menuntut adanya perubahan-perubahan yang harus diadakan dalam hukum positif

atau hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum) agar sesuai dengan kebutuhan

akan hukum masyarakat atau supaya menjadi lebih sesuai dengan perasaan hukum

yang ada pada masyarakat. Dengan kata lain, tuntutan akan perubahan tersebut

dinyatakan sebagai hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) dan politik

hukum ingin menjadikan ius constituendum tersebut tidak lagi sebagai yang

dicita-citakan melainkan menjadikannya sebagai hukum yang berlaku saat ini (ius

constitutum).

10 Surojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, Gunung Agung, Jakarta, 1982, h. 24-25, dikutip dari

Abdul Latif dan Hasbi Ali, Op.Cit., h. 10.

Page 5: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

17

Sebagaimana topik dari sub bahasan ini, pembahasan politik hukum pidana

secara khusus seharusnya tidak jauh berbeda dengan pembahasan politik hukum

yang telah penulis jabarkan di atas. Dalam kepustakaan asing, istilah “politik

hukum pidana” sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”,

“criminal law policy”, atau “strafrechts-politiek”.11 Dalam Blacks Law

Dictionary, Criminal Policy diartikan sebagai cabang Ilmu Hukum Pidana yang

berkaitan dengan usaha pencegahan kejahatan.12 Pengertian yang demikian

menurut penulis merupakan pengertian yang bersifat lebih spesifik pada satu hal

karena memandang politik hukum pidana dari satu sisi yaitu terkait pencegahan

kejahatan. Dalam perspektif yang lebih luas, Barda Nawawi Arief menyatakan

bahwa politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau

membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.13 Politik

hukum pidana dapat dilihat melalui politik kriminal sebagaimana disebutkan

dalam Blacks Law Dictionary. Politik kriminal itu sendiri oleh Soedarto diartikan

dalam 3 (tiga) pengertian yaitu:14

1. Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai

keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi

terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.

2. Dalam arti luas, politik kriminal itu merupakan keseluruhan

fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya

cara kerja dari pengadilan dan polisi.

3. Dalam arti yang paling luas, merupakan keseluruhan

kebijakan yang dilakukan melalui peraturan perundang-

undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk

menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

11 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep

KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2008, h. 26. 12 Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, Eight Edition, Thomson & West, 2004, h. 403, dikutip dari

M. Ali Zaidan, Op.Cit., h. 63. 13 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Op.Cit., h. 26-27. 14 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, h. 113-114, dikutip dari M. Hamdan,

Op.Cit., h. 22-23.

Page 6: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

18

Dari pengertian tersebut, politik kriminal berbicara mengenai penanggulangan

kejahatan melalui pihak-pihak yang memiliki kewenangan. Tentu ketika berbicara

tentang penanggulangan kejahatan, kita tidak hanya membicarakan satu aspek

hukum contohnya hukum pidana saja. Politik kriminal mencakup juga kebijakan

dari bidang hukum yang lain seperti hukum perdata dan hukum administrasi.

Bertolak dari kondisi bahwa politik hukum pidana merupakan bagian dari politik

kriminal, maka politik hukum pidana merupakan usaha untuk membentuk suatu

kebijakan yang baik untuk menanggulangi kejahatan. Pengertian ini penulis

cantumkan tidak untuk membatasi ruang lingkup dari politik hukum pidana

melainkan untuk dapat menggunakan komponen-komponen dalam politik

kriminal untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai politik hukum pidana itu

sendiri. Komponen-komponen yang dimaksud yaitu usaha dari pembentuk

peraturan perundang-undangan, kepolisian, kejaksaan, badan peradilan, dan aparat

eksekusi dalam hukum pidana.

Kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari pengetian “penal

policy” oleh Marc Ancel. Marc Ancel secara singkat menyatakan bahwa penal

policy sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang yang bertujuan untuk

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.15 Atas

dasar pengertian tersebut, Barda Nawawi Arief berkesimpulan bahwa istilah penal

policy oleh Marc Ancel sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana.

Lebih lanjut oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah menyimpulkan

bahwa penal policy atau politik hukum pidana pada intinya berkaitan dengan

bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan

15 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Loc.Cit.

Page 7: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

19

pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan

aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanan hukum pidana (kebijakan

eksekutif).16 Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat penulis katakan

bahwa politik hukum pidana merupakan penjabaran lebih lanjut dari politik

hukum itu sendiri. Hal-hal yang sudah penulis kemukakan dalam penjelasan

tentang politik hukum seperti isi dan tujuannya berlaku juga dalam politik hukum

pidana namun dengan materi yang lebih spesifik pada materi hukum pidana.

Menurut Seodarto yang didasarkan atas pengertian politik hukum yang

beliau kemukakan sebelumnya, melaksanakan politik hukum pidana berarti

mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana paling

baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.17 Lebih lanjut, beliau

menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan

dan situasi pada waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.18 Secara khusus

politik hukum pidana dalam istilah bahasa Belanda “strafrechtspolitiek”, A.

Mudler mendefinikannya sebagai garis kebijakan untuk menentukan:19

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku

perlu diubah atau diperbarui;

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak

pidana;

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan

pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Mulder mendasarkan pengertian tersebut dari “sistem hukum pidana” oleh Marc

Ancel yang menyatakan, bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki

16 Teguh Prasestyo dan Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit., h. 18. 17 Soedarto, Hukum Pidana..., Op.Cit., h. 20, dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Ibid. 18 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Ibid. 19 A. Mulder, Strafrechtspolitiek, Delikt en Delinkwent, 1980, h. 333, dikutip dari Barda Nawawi Arief,

Bunga Rampai..., Ibid.

Page 8: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

20

sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum pidana dan

sanksinya; (b) suatu prosedur hukum pidana; dan (c) suatu mekanisme

pelaksanaan (pidana).20

Dari penjabaran penulis tentang pendapat-pendapat para ahli hukum

mengenai politik hukum pidana di atas, dapat terlihat beberapa kesamaan

karakteristik yang dikemukakan. Bahwa politik hukum pidana disamakan dengan

terminologi kebijakan hukum pidana sebagai usaha untuk membuat dan

melaksanakan peraturan perundang-undangan pidana yang baik. Sejalan dengan

politik hukum sebagaimana telah penulis sampaikan, politik hukum pidana juga

sebagai usaha untuk mengetahui keadaan-keadaan di masyarakat yang menuntut

adanya perubahan-perubahan yang harus diadakan dalam hukum pidananya atau

dengan kata lain sejauh mana ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada perlu

diganti dan/atau diperbarui untuk mecapai tujuan yang dicita-citakan. Tujuan dari

politik hukum pidana tidak hanya berhenti pada ketentuan peraturan perundang-

undangan pidana saja melainkan lebih daripada itu. Tujuan yang lebih besar yaitu

integrasi dari setiap pihak yang berwenang, tidak hanya pada taraf pembuatan

kebijakan melainkan juga hingga pada taraf pelaksanaannya. Tujuan-tujuan

tersebut terkandung di dalam peraturan-peraturan, prosedur, hingga mekanisme

pelaksanaan yang tentunya harus juga dijiwai oleh pembuat dan pelaksananya.

Keadilan dan daya guna yang dicanangkan oleh politik hukum pidana tentu tidak

akan tercapai jika setiap orang di dalamnya hanya menjadi “corong undang-

undang”. Keberadaan politik hukum pidana seharusnya tidak hanya menjadi

pedoman semata melainkan nilai yang terkandung di dalamnya perlu digali sendiri

20 Ibid.

Page 9: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

21

oleh setiap pihak di dalamnya agar tercipta suatu keadaan di mana bukan karena

tertulis demikian melainkan karena hal tersebut adalah yang terbaik dan yang

benar.

Pentingnya studi tentang politik hukum pidana ini dapat dilihat dari tujuan

pengkajian politik hukum oleh Soehitno. Menurut Soehitno, terdapat 3 (tiga)

tujuan pengkajian politik hukum, diantaranya:21

1. Agar orang mampu memahami pemikiran-pemikiran masa lampau,

yang melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum dan atau

ketentuan-ketentuan hukum yang sedang berlaku. Sehingga setiap

orang mampu mengaplikasikan dan menerapkan aturan-aturan serta

ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana mestinya;

2. Agar orang mampu menentukan dan memilih pemikiran-pemikiran

tersebut diatas, yang dapat dipergunakan sebagai atau menjadi dasar

penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum

ius constitutum dari ius constituendum yang berlaku dalam rangka

menghadapi perkembangan, perubahan, atau pertumbuhan

kehidupan bermasyarakat. Sehingga mampu menetapkan aturan-

aturan hukum dan/atau ketentuan-ketentuan hukum baru sesuai

dengan kebutuhan kehidupan bermasyarakat; dan

3. Agar orang mampu memahami kebijakan yang menggariskan

kerangka dan arah tata hukum yang berlaku. Sehingga dapat

menerapkan dan mengembangkan hukum sesuai dengan kebutuhan

hidup bermasyarakat dalam satu sistem.

Dengan demikian, pengkajian politik hukum pidana diperlukan untuk memahami

dasar dari pemikiran-pemikiran yang menjadi latar belakang dari pembentukan

suatu peraturan perundang-undangan baik yang sudah tidak berlaku, yang berlaku

saat ini, hingga yang akan atau perlu diberlakukan kedepannya. Hal ini tentu

bermanfaat untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang sesuai

dengan kebutuhan masyarakat dan juga bermanfaat dalam hal penerapan dan

pengembangan hukumnya.

21 Soehino, Politik Hukum, BPFE, Yogyakarta, 2010, dikutip dari Febry Mardiana Nainggolan,

Perubahan Politik Hukum Dalam Pengaturan Investasi Pada Sektor Pertambangan Di Indonesia,

Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2018, h. 28-29.

Page 10: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

22

1.1.2. Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan

Pembentukan dan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan dengan

politik hukumnya sudah tentu memiliki tujuan. Selain aspek prosedural, tujuan

diperlukan sebagai ukuran dalam aspek materiil agar peraturan perundang-

undangan tersebut dapat diterima serta dapat pula dilaksanakan. Peraturan

perundang-undangan sebagai bentuk dari pengimplementasian atau usaha

mengkonkretkan hukum tentu harus memenuhi tujuan hukum. Hal ini menjadi

beralasan menyusul munculnya sebuah pertanyaan berkaitan dengan apakah

peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan tujuan hukum masih

pantas disebut sebagai hukum. Untuk itu penulis merasa perlu untuk membuat

suatu tinjauan mengenai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan yang dikenal luas

sebagai tujuan dari hukum. Pembahasan ini penulis lakukan tidak untuk

mengkritisi ketiga tujuan hukum tersebut dan menggagaskan suatu tujuan hukum

yang baru melainkan ingin membahas keberadaannya dalam suatu pembentukan

dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

Gustav Radbruch mengemukakan tiga tujuan hukum yaitu keadilan,

kepastian, dan kemanfaatan. Gustav menyatakan bahwa sesuatu yang dibuat pasti

memiliki cita atau tujuan sehingga hukum yang dibuat pun sudah pasti memiliki

tujuannya sendiri. Tujuan tersebut merupakan nilai yang ingin diwujudkan oleh

manusia. Ketiga tujuan hukum tersebut dinyatakan sebagai berikut:22

1. Keadilan untuk keseimbangan;

2. Kepastian untuk ketepatan;

3. Kemanfaatan untuk kebahagiaan.

22 Oleh Gustav Radbruch dalam bukunya Einfuhrung indie Rechtswissenschaft, Stuttgart, 1961, dikutip

dari Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, h.

123.

Page 11: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

23

Untuk mengetahui posisi, kedudukan, atau keberadaannya dalam suatu hukum,

maka ketiga tujuan hukum tersebut perlu dijabarkan, antara lain sebagai berikut:

1. Keadilan

Untuk menentukan takaran pasti sesuatu dikatakan berkeadilan

bukanlah hal yang mudah bahkan terkesan mustahil untuk dilakukan. Hal ini

berkaitan dengan kenyataan bahwa para ahli hukum sudah berusaha untuk

memberikan definisi dan tolak ukur untuk sesuatu disebut berkeadilan namun

tetap saja tidak dapat memberikan sebuah pendapat yang bisa diterima oleh

semua orang. Hal ini menurut penulis tidak perlu dipandang sebagai

ketidakmampuan atau keburukan di bidang ilmu hukum melainkan perlu

dipandang bahwa keberagaman pendapat tersebut sebagai ciri khas dari kajian

ilmu hukum. Atas dasar hal tersebut penulis akan menjabarkan pendapat-

pendapat para ahli hukum tentang konsep keadilan yang sekiranya relevan

dengan penelitian penulis selain dua konsep keadilan yang telah penulis

kemukakan sebelumnya yaitu keadilan retributif (retributive justice) dan

keadilan restoratif (restorative justice).

Ulpianus mendefinisikan keadilan sebagai kehendak yang ajeg/terpola

dan tetap memberikan kepada masing-masing bagian/haknya.23 Plato pun

juga menyatakan bahwa keadilan adalah kemampuan untuk memperlakukan

setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing.24 Aristoteles seorang

filsuf Yunani dalam bukunya Nicomachean Ethics menyatakan keadilan

sebagai kebajikan yang bersangkutan pada perhubungan dengan sesama

23 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum

Indonesia, Gramedia Pustaka, Jakarta, 1995, h. 138, dikutip dari Muhamad Erwin, Op.Cit., h. 219. 24 Margono, Op.Cit., h. 106-107.

Page 12: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

24

manusia.25 Aristoteles kemudian membagi keadilan menjadi menjadi keadilan

distributif (justitia distributiva) dan keadilan komutatif (justitia

commutativa). Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat

apa yang menjadi hak atau jatahnya: suum cuique tribuere (to reach his

own).26 Justitia distributiva merupakan tugas pemerintah terhadap warganya,

menentukan apa yang dituntut oleh warga masyarkat. Sedangkan di sisi lain,

justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya.27 Dalam

pergaulan masyarakat, justitia commutativa merupakan kewajiban orang

terhadap sesamanya. Mengenai justitia distributiva dan justitia commutativa

oleh Aristoteles tersebut, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa justitia

distributiva merupakan urusan pembentuk undang-undang dan justitia

commutativa merupakan urusan hakim.28 Hakim memperhatikan hubungan

perorangan yang mempunyai kedudukan persesuil yang sama tanpa

membedakan orang (equality before the law). Justitia distributiva itu bersifat

proporsional sedangkan justitia commutativa memperhatikan kesamaan.29

Lain halnya dengan Aristoteles, Thomas Aquinas membedakan

keadilan dalam dua macam yaitu keadilan umum dan keadilan khusus.30

Keadilan umum (justitia generalis) atau yang disebutnya sebagai keadilan

legal menuntut perbuatan sesuai dengan undang-undang negara yang harus

ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan legal itu tidak hanya kriteria

bagi kelakuan publik, akan tetapi juga mewujudkan ukuran untuk menimbang

25 O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, 2011, h. 122. 26 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Ilmu Hukum: Suatu Pengantar, edisi revisi, Cahaya Atma Pustaka,

Yogyakarta, 2010, h. 101. 27 Ibid., h. 102. 28 Ibid. 29 Ibid. 30 E. Sumaryono, Etika Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas), Kanisius, Yogyakarta,

2000, h. 160, dikutip dari Muhamad Erwin, Op.Cit., h. 226.

Page 13: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

25

undang-undang negara yang perlu sesuai dengan dan mewujudkan keadilan

legal demi kesejahteraan umum.31 Adapun keadilan khusus itu mewujudkan

kebajikan seperti kebijaksanaan dan keberanian. Keadilan khusus tidak

dikuasai oleh motif sosial, melainkan merupakan ukuran perbuatan dalam

perhubungan dengan sesama manusia lain.32

Terdapat 3 (tiga) bentuk keadilan khusus, di antaranya: (1) justitia

distributiva; (2) justitia commutativa; dan (3) justitia vindivativa.33 Justitia

distributiva adalah keadilan yang menyangkut perhubungan publiekrechtelijk

dalam masyarakat negara. keadilan ini dikenakan dalam pembagian beban-

beban sosial, fungsi-fungsi, dan kehormatan publik. Ukuran untuk

pembagiannya oleh negara kepada negara adalah proporsionalitas yang

berkaitan dengan kepandaian dan kecakapan serta jasanya. Justitia

commutativa ialah keadilan di mana prestasi dinilai sama dengan

kontraprestasi atau dengan kata lain jasa dibalas jasa. Keadilan ini banyak

berlaku dalam perhubungan bidang hukum perdata terutama tentang kontrak

atau perjanjian. Lain halnya dengan justitia vindicativa yang banyak berlaku

pada bidang hukum pidana berkaitan dengan pemberian hukuman dan

kewajiban denda sesuai dengan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan.34

Dalam pendefinisian dan pembagian oleh para filsuf di atas, terlihat

bahwa keadilan sangatlah relatif dalam memahaminya. Pada satu sisi ada

yang memberikan tolak ukur keadilan pada pelaksanaan undang-undang

(dalam arti luas) demi kepentingan umum, namun di sisi yang lain juga

31 O. Notohamidjojo, Op.Cit.., h. 123. 32 Ibid. 33 Muhamad Erwin, Loc.Cit. 34 Ibid. h. 226-227.

Page 14: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

26

memberikan penjelasan bahwa terdapat keadilan yang dihasilkan atas dasar

penilaian perseorangan. Pada akhirnya, penulis mengambil kesimpulan oleh

Sudikno Mertokusumo yang menyimpulkan bahwa hakikat keadilan adalah

penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya pada

suatu norma yang menurut pandangan subjektif (subjektif untuk kepentingan

kelompok, golongannya, dan sebagainya) melebihi norma-norma lain.35 Hal

tersebut berarti bahwa penilaian dilakukan berdasarkan runag lingkup atau

kepada siapa keadilan itu ditujukan. Berkaitan dengan subjektifitas, manusia

hidup dengan rasa yang dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-

keputusan akal agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan

keburukan, karena yang dapat menentukan baik dan buruk adalah rasa.36

Untuk memenuhi keadilan, peristiwanya harus dilihat secara kasuistis.

Menurut penulis, hasil atau buah dari keadilan yang relatif tersebut hanya bisa

ditentukan baik buruknya oleh pribadi yang menyatakannya. Berbicara

mengenai ukuran keadilan, patut diakui bahwa memang terdapat hal-hal yang

secara universal diakui bersifat berkeadilan dan tidak berkeadilan.

Berkeadilan atau tidaknya bukan berdasarkan hukum yang berlaku di tempat

dan waktu tertentu melainkan sifatnya yang sudah melekat pada hal tersebut.

Sebagai contoh terdapat keyakinan bahwa kejahatan adalah sesuau tindakan

yang tidak berkeadilan karena pada dasarnya setiap manusia tidak akan mau

diperlakukan jahat. Perdebatannya bukan lagi pada tataran apakah kejahatan

adalah tindakan yang berkeadilan atau tidak, melainkan pada apakah sebuah

tindakan atau tidak bertindak tersebut merupakan kejahatan atau bukan.

35 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 100 36 M Rasjidi dan H. Cawindu, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat: Buku Daras Pendidikan Agama Islam

pada Perguruan Tinggi Umum, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, h. 17.

Page 15: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

27

Untuk merefleksikan hal tersebut, penulis mengutip sebuah ayat dalam

Alkitab pada Filipi 4:8 yang sekiranya dapat memberikan kita tuntunan dalam

mengambil keputusan untuk bertindak atau tidak mengambil tindakan dengan

menyatakan:

Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua

yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang

manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut

kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.

2. Kepastian

Berangkat dari pemikiran bahwa tindakan kesewenang-wenangan

penguasa atau pemerintah perlu untuk dibatasi, muncul sebuah gagasan

bahwa diperlukan suatu kepastian hukum yang menjamin sebuah tindakan

penguasa atau pemerintah tidak melebihi dari apa yang sudah ditentukan.

Kepastian hukum merupakan perlindungan justitiabeln terhadap tindakan

sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu

yang diharapkan dalam keadaan tertentu.37 Adanya aturan-aturan membatasi

masyarakat secara umum dalam membebani atau melakukan tindakan

terhadap individu. Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa adanya aturan-

aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum dan dengan demikian

mengandung dua pengertian, yaitu: pertama, adanya aturan yang bersifat

umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak

boleh dilakukan; dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari

kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum

37 Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan & Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim, Sinar Grafika,

Jakarta, 2019, h. 114.

Page 16: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

28

itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan

oleh negara terhadap individu.38

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum pada dasarnya yaitu

pelaksanan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat

memastikan bahwa hukum dilaksanakan.39 Dalam pengertian oleh Van

Apeldoorn, kepastian hukum adalah adanya kejelasan skenario perilaku yang

bersifat umum dan mengikat semua warga masyarakat termasuk konsekuensi

hukumnya.40 Roscoe Pound menyebut hal-hal tersebut dengan istilah

predictability, bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan adanya

prediktabilitas.41 Kepastian Hukum sering dikaitkan dengan penyelenggaraan

hukum secara konsisten dalam suatu proses sosial sehingga diperoleh patokan

perilaku sehingga kehidupan masyarakat bisa berlangsung dengan tertib,

damai, dan adil.42 Dengan demikian, kepastian hukum berarti melakukan apa

yang sudah disepakati bersama di dalam suatu masyarakat hukum dengan

harapan bahwa semua sama-sama mengetahui hak dan kewajibannya atau

yang disebut sebagai prediktabilitas sehingga tercipta suatu keamanan bagi

setiap individu.

Permasalahan pada kepastian hukum ini yaitu pada kenyataan bahwa

sering bergesekan dengan keadilan. Bahkan sampai muncul sebuah

pernyataan bahwa sungguh ironi apabila demi menjaga suatu kepastian, nilai

38 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, edisi revisi, Kencana, Jakarta, 2008, h. 137. 39 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 145. 40 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan dari Inleiding Tot De Studie Het Nederlandse

Recht oleh Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, h. 24-25, dikutip dari Margono, Op.Cit., h.

115. 41 Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit. 42 Margono, Op.Cit., h. 117-118.

Page 17: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

29

keadilan harus dikorbankan.43 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya

bahwa untuk terciptanya kepastian hukum diperlukan adanya aturan yang

bersifat umum atau menyamaratakan. Van Apeldoorn mengatakan bahwa

sifat menyamaratakan itu merupakan unsur yang sering dikritisi dalam

keadilan, di mana keadilan justru menuntut kepada setiap orang diberikan

sesuai dengan bagiannya (suum cuique tribuere) atau dengan kata lain tidak

serta merta disamaratakan.44 Di satu sisi bahwa terlalu mementingkan

kepastian hukum akan mengorbankan rasa keadilan dan di sisi lain bahwa

pengutamaan keadilan pun memiliki kelemahan. Hal ini disebabkan karena

sifat dari keduanya yang berbeda di mana kepastian hukum memiliki sifat

yang lebih universal dan keadilan yang bersifat lebih subjektif. Akan tetapi,

ketika kedua hal tersebut mampu diseimbangkan, niscaya akan tercipta suatu

masyarakat hukum yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan

bernegaranya. Artinya, bahwa kepastian hukum saja tidak cukup untuk

menegakkan sistem peradilan tetapi dibutuhkan suatu kepastian hukum yang

adil atau kepastian yang merujuk pada nilai keadilan.45

3. Kemanfaatan

Diberlakukannya suatu hukum tentu memiliki tujuan untuk memberi

manfaat bagi masyarakatnya. Akan menjadi pertanyaan besar jika hukum

yang diterapkan adalah hukum yang tidak memberi manfaat dan justru

memberikan kerugian bagi masyarakatnya. Terdapat adagium hukum yang

menyatakan bahwa: “hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.”

Hal tersebut berawal dari pemikiran Satjipto Rahardjo di mana hukum diberi

43 Tanto Lailam, Teori & Hukum Perundang-Undangan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2017, h. 83. 44 Margono, Op.Cit., h. 114. 45 Tanto Lailam, Loc.Cit.

Page 18: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

30

makna sebagai: “institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada

kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.”46 Bahwa

hukum dilihat berdasarkan sejauh mana kemanfaatannya untuk kebahagiaan

manusia.

Jeremy Bentham menyatakan bahwa negara dan hukum semata-mata

ada hanya untuk mafaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Kemudian

adapun menurut John Rawls dengan teorinya yang disebut Teori Rawls atau

Justice as Fairness (keadilan sebagai kejujuran) menyatakan bahwa hukum

itu haruslah menciptakan suatu masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang

mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan (the

greatest happiness of the greatest number people).47 Sebenarnya terdapat

kritik terhadap pendapat tersebut berkaitan dengan kebahagiaan mayoritas

orang yang berarti mengenyampingkan pihak-pihak minoritas. Hal ini

dadasarkan atas pemikiran bahwa menjadi minoritas tidak menjadikannya

juga untuk selalu dikesampingkan, karena minoritas tidak hanya hanya

sebatas pada apa yang dipikirkan berbeda dengan yang lain, tetapi karena

kebenaran tidak dipandang semata-mata keluar dari siapa tetapi karena

kebenaran harus tetap selalu diuji.

Sebenarnya kita dapat memahami pemikiran-pemikiran di atas sebagai

usaha untuk meminimalisir kerugian yang timbul tanpa bermaksud

mengorbankan pihak-pihak minoritas. Bahwa pada dasarnya nilai

46 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif. Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta,

2009, h. 9, dikutip dari Hyronimus Rhiti, “Landasan Filosofis Hukum Progresif”, Justitia Et Pax: Jurnal

Ilmu Hukum, 32(1), 2016, h. 35. 47 Nur Hasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi Politik,

Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2006, h. 45-46, dikutip dari Margono,

Op.Cit., h. 111.

Page 19: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

31

kemanfaatan muncul dari analisis tentang keadilan.48 Sebagai contoh dalam

putusan pengadilan harus mengandung unsur kemanfaatan, bahwa isi putusan

yang adil itu tidak hanya bermanfaat bagi pihak yang berperkara tapi juga

bagi masyarakat luas begitu pula dalam aspek hukum pada lembaga yang

lain.49 Kemanfaatan itu sendiri dapat diartikan sebagai optimalisasi dari

tujuan sosial hukum, setiap hukum di samping dimaksudkan untuk

mewujudkan ketertiban dan keteraturan sebagai tujuan akhir, tetapi juga

mempunyai tujuan sosial tertentu, yaitu kepentingan yang diinginkan untuk

diwujudkan melalui hukum, baik yang berasal dari orang perseorangan

maupun masyarakat dari negara.50 Berkaitan dengan pertentangan antara

keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, dalam teori hukum disebut

sebagai antinomi yang pada dasarnya mengandung arti bahwa kondisi yang

bertentangan satu sama lain tetapi tidak dapat dipisahkan karena sama-sama

saling membutuhkan.51 Di sinilah kebijaksanaan dan moralitas dari setiap

pemegang kewenangan dibutuhkan untuk mengeluarkan nilai-nilai keadilan,

kepastian, dan kemanfaatan. Bahwa memang pada akhirnya kita tidak dapat

menuntut kesempurnaan dari manusia, tetapi setidaknya dapat diharapkan

bahwa tidak ada kesengajaan untuk membuat sesuatu lebih buruk padahal

telah diketahuinya akan akibat tersebut.

48 Suteki, Budaya Oriental dan Implikasinya Terhadap Cara Berhukum dalam Perspektif Hukum

Progresif, Dina Fedrian, dkk (ed), Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia, Komisi Yudisial RI,

Jakarta, 2012, h. 270-271, dikutip dari Tanto Lailam, Op.Cit., h. 82. 49 Tanto Lailam, Ibid. 50 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Candra Parata, Jakarta,

1996, h. 88, dikutip dari Margono, Loc.Cit. 51 Margono, Ibid., h. 112.

Page 20: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

32

1.1.3. Perlindungan Korban Kejahatan

Perkembangan pembahasan perlindungan korban pada saat ini semakin

terlihat menyusul perubahan paradigma masyarakat tentang bentuk perlindungan

korban yang lebih sesuai. Pentingnya perlindungan korban dilatarbelakangi

adanya pergeseran perspektif dari keadilan retributif kepada keadilan restoratif.52

Seperti yang penulis telah paparkan sebelumnya bahwa keadilan retributif dan

keadilan restoratif memiliki perbedaan dari segi bentuk dan elemen-elemennya.

Siswanto Sunarso menyatakan bahwa elemen-elemen keadilan retributif yaitu

pembalasan, pemidanaan, isolasi, stigmatisasi, dan penjeraan. Berbeda dengan

keadilan restoratif yang memiliki elemen konsensasi, mediasi, rekonsiliasi,

penyembuhan, dan pemaafan.53

Sebelum masuk pada pembahasan mengenai perlindungan korban

kejahatan, diperlukan terlebih dahulu pendefenisian tentang korban itu sendiri

dalam konteks korban dalam tindak pidana. Secara etimologi, korban berasal dari

terjemahan bahasa Latin victima dan dalam bahasa Inggris yaitu victim. 54 Dalam

Crime Dictionary, victim adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau

penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan

atau usaha pelanggaran ringan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan

lainnya.55 Menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang menderita, jasmaniah

dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri

sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang

menderita. Kedua pengertian tersebut mengkonstrusikan korban sebagai pihak

52 Siswanto Sunarso, Op.Cit., h. 47. 53 Ibid., h. 45. 54 Bambang Waluyo, Viktimologi: Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 9. 55 Abdussalam, Victimology, PTIK, Jakarta, 2010, h. 5, dikutip dari Bambang Waluyo, Ibid.

Page 21: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

33

yang mengalami kerugian atas tindakan orang lain baik dari segi lahiriah maupun

batiniah. Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and

Abuse of Power mengartikan:56

“Victims” means persons who, individually or collectively, have

suffered harm, including physical or mental injury, emotional

suffering, economic loss or substantial impairment of their

fundamental rights, through acts or omissions that are in

violation of criminal laws operative within Member States,

including those laws proscribing criminal abuse of power.

Dalam Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Saksi dan Korban, korban adalah orang

yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Dari rumusan tersebut, unsur-unsur dari

korban yaitu:57

1. Setiap orang,

2. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

3. Kerugian ekonomi,

4. Akibat tindak pidana.

Secara lebih spesifik, Abdussalam membagi korban menjadi korban perseorangan,

institusi, lingkungan hidup, serta masyarakat, bangsa, dan negara.58 Dalam

penelitian ini penulis lebih memfokuskan pada pembahasan pada korban

perseorangan. Hal ini dadasarkan atas perbandingan kuantitas yang artinya

berbanding lurus dengan banyaknya permasalahan dan lingkup dampak yang

lebih luas. Arif Gosita dalam pembahasan tentang eksistensi korban dalam

penyelesaian kejahatan salah satunya menyatakan bahwa pemahaman dan

penanggulangan permasalahan kejatahatan tidak didasarkan pada pengertian citra

mengenai manusia yang tepat (tidak melihat dan mengenai manusia pelaku dan

56 Compendium of United Nations standards and norms in crime prevention and criminal justice, h. 303,

https://www.unodc.org/pdf/compendium/compendium_2006_part_03_02.pdf, diakses 3 November 2020. 57 Bambang Waluyo, Ibid., h. 10. 58 Abdussalam, Op.Cit., h. 6-7, dikutip dari Bambang Waluyo, Ibid., h. 11.

Page 22: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

34

manusia korban sebagai manusia sesama kita).59 Dari penjelasan tersebut terlihat

bahwa terdapat kecenderungan untuk melihat korban dari sisi orang perseorangan.

Menurut penulis, hal tersebut tidak berarti bahwa diskursus tentang korban

mengenyampingkan jenis-jenis korban yang lain, melainkan bahwa jika dibahas

dari sisi korban orang perseorangan, secara tidak langsung juga bisa mencakup

jenis-jenis korban yang lain karena dasarnya yaitu manusia itu sendiri.

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa perlindungan korban dapat dilihat

dari dua makna, yaitu:60

1. Dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak

menjadi korban tindak pidana (berarti perlindungan HAM

atau kepentingan hukum seseorang);

2. Dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh

jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang

yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik

dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat

berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan

keseimbangan batin (antara lain, dengan pemaafan),

pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi,

jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian penulis lebih berfokus pada

makna yang kedua di mana membahas perlindungan korban dalam lingkup telah

adanya korban dari suatu tindak pidana. Bahwa penulis membahas perlindungan

korban dalam kerangka kebijakan, tidak berarti bahwa suatu kebijakan selalu

berfungsi untuk mencegah sesuatu. Hal ini didasarkan atas alasan bahwa

kebijakan itu sendiri dapat berupa kebijakan pencegahan maupun kebijakan

penanggulangan.

Mengenai pengkajian perlunya perlindungan terhadap korban kejahatan

dikemukakan oleh Muladi dekemukakan beberapa alasan sebagai berikut:61

59 Bambang Waluyo, Ibid., h. 9. 60 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan..., Loc.Cit.

Page 23: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

35

1. Bahwa pada proses pemidaan terkandung tuntutan moral, dalam wujud

keterkaitan filosofis pada satu pihak, dan keterkaitan sosiologis dalam

kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat. Secara sosiologis,

masyarakat sebagai “system of institutional trust” atau sistem kepercayaan

yang melembaga, dan terpadu melalui norma yang diekspresikan dalam

struktur kelembagaan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga

koreksi. Terjadinya kejahatan atas diri korban bermakna penghancuran sistem

kepercayaan tersebut, pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang

menyangkut masalah korban berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem

kepercayaan tersebut.

2. Adanya argumen kontrak sosial, yaitu negara memonopoli seluruh reaksi

sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan yang bersifat pribadi, dan

argumen solidaritas sosial bahwa negara harus menjaga warga negaranya

dalam memenuhi kebutuhan apabila warga negara mengalami kesulitas,

melalui kerja sama dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana

yang disedikan negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan

pelayanan maupun melalui pengaturan hak.

3. Perlindungan korban dikaitakan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu

penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya

tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai

dalam masyarakat.

Dari alasan-alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perlunya perlindungan

terhadap korban kejahatan merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang diyakini

61 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, 1997, h. 176-

177, dikutip dari C. Maya Indah S., Op.Cit., h. 111-112.

Page 24: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

36

masyarakat ke dalam suatu lembaga tertentu yang dengan demikian memiliki

tugas dan wewenang mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadinya suatu

kejahatan. Berikutnya bahwa negara itu sendiri memiliki kewajiban terhadap

warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dan membantu kesulitan yang

dialami baik memalui peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Dikaitkan

dengan penyelesaian konflik sebagai salah satu tujuan pemidanaan, perlindungan

korban merupakan salah satu komponen yang harus dipenuhi yang didasarkan atas

alasan bahwa korban merupakan akibat dari adanya suatu tindak pidana dan

korban merupakan bagian dari masyarakat yang memerlukan pemulihan

keseimbangan dan rasa damai.

Menurut Muladi, perlindungan bagi korban kejahatan secara teoritik

terdapat dua model pengaturan, yaitu: model hak-hak prosedural (The procedural

rights model) dan model pelayanan (The services model).62

1. Model hak-hak prosedural: korban diberi hak untuk memainkan peranan aktif

dalam proses penyelesaian perkara pidana, seperti hak untuk mengadakan

tuntutan pidana, membantu jaksa atau hak untuk didengarkan pada setiap

tingkatan pemeriksaan perkara di mana kepentingannya terkait di dalamnya

termasuk hak untuk diminta konsultasi sebelum diberikan pelepasan

bersyarat, juga hak untuk mengadakan perdamaian.

2. Model pelayanan: standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan,

yang dapat digunakan oleh polisi misalnya pedoman dalam rangka modifikasi

kepada korban dan atau jaksa dalam rangka penanganan perkaranya,

pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan

62 Muladi, Hak Asasi Manusia..., Ibid., h. 178, dikutip dari Adil Lugianto, “Rekonstruksi Perlindungan

Hak-Hak Korban Tindak Pidana”, MMH, 43(4), 2014, h. 556.

Page 25: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

37

dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Korban

dipandang sebagai sasaran khusus yang harus dilayani dalam kegiatan

penegakan hukum atau penyelesaian perkara pidana.

Dikaitkan dengan bentuk keadilan retributif dan keadilan restoratif yang telah

penulis sebutkan sebelumnya, perlindungan korban kejahatan dengan dua model

tersebut menurut penulis walaupun belum terlalu menunjukkan perbedaan

perlindungan melalui pemidanaan pelaku dan perlindungan lain, tetapi sudah

cukup menggambarkan konsep perlindungan korban secara langsung dan tidak

langsung. Perlindungan tidak langsung yaitu perlindungan lewat pemidanaan

pelaku di mana lebih ditekankan pada hak-hak korban untuk melakukan

penuntutan di pengadilan. Perlindungan tidak langsung tersebut merupakan

perlindungan yang paling umum untuk diberikan kepada korban dalam praktek

peradilan pidana masa lalu bahkan hingga saat ini. Sedangkan perlindungan

secara langsung yaitu perlindungan yang diberikan atas dasar kerugian yang

dialami korban baik kerugian secara materiil maupun imateriil. Bentuk-bentuk

perlindungan korban tersebutlah yang akan dijelaskan lebih lanjut oleh penulis

dalam kerangka ruang lingkup hukum pidana Indonesia pada hasil penelitian dan

analisis.

1.1.4. Hak-Hak Korban

Seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya berkaitan dengan model

hak-hak prosedural dan model pelayanan, pemberian perlindungan korban

kejahatan dapat dilakukan dalam berbagai cara, tergantung pada bentuk kerugian

yang dialami oleh korban. Seperti contoh untuk kerugian secara mental atau psikis

Page 26: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

38

tentunya ganti rugi dilakukan melalui upaya pemulihan mental korban.

Sebaliknya, jika dirasa kerugian yang diderita merupakan kerugian secara

materiil, maka pemberian ganti rugi secara materi sangat diperlukan. Dalam

model hak-hak prosedural korban diberi hak untuk memainkan peranan aktif

dalam proses penyelesaian perkara pidana, seperti hak untuk mengadakan tuntutan

pidana, membantu jaksa atau hak untuk didengarkan pada setiap tingkatan

pemeriksaan perkara di mana kepentingannya terkait di dalamnya termasuk hak

untuk diminta konsultasi sebelum diberikan pelepasan bersyarat, juga hak untuk

mengadakan perdamaian. Lain halnya dengan hak-hak tersebut yang berkaitan

dengan keterlibatan korban dalam proses peradilan, terdapat hak-hak lain berupa

pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi, restitusi dan upaya

pengambilan kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut dan tertekan

akibat kejahatan.

Menurut Van Boven:63

Hak-hak para korban adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan,

dan hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjuk

kepada semua tipe pemulihan baik material maupun nonmaterial

bagi korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak tersebut telah

terdapat dalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia

yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-

komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan

regional hak asasi manusia.

Adapun secara lebih terperinci Stephen Schafer mengemukakan 4 (empat) sistem

pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan sebagai berikut: 64

a. Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan

melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan

ganti rugi korban dari proses pidana.

63 Bambang Waluyo, Op.Cit., h. 43. 64 Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma

dan Realita, PT. RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 167-168.

Page 27: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

39

b. Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui

proses pidana.

c. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat

pidana diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi

di sini tetap bersifat keperdataan, tidak diragukan sifat

pidananya (punitif).

d. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses

pidana, dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan

negara. Di sini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana

apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi,

kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni,

tetapi negaralah yang memenuhi atau menanggung

kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan oleh

pelaku. Hal ini merupakan pengakuan bahwa negara telah

gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal

mencegah terjadinya kejahatan.

Dalam hal bantuan, saat ini dikenal istilah rehabilitasi psikososial yang

merupakan semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang

ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi dan memulihkan kondisi

fisik, psikologis, sosial dan spiritual korban tindak kekerasan sehingga mampu

menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.65 Sehingga dapat dikatakan

bahwa kompensasi, restitusi, dan bantuan merupakan bentuk hak korban dalam

model pelayanan yang dipenuhi baik oleh negara (kompensasi dan bantuan)

maupun yang dibayarkan oleh pelaku terhadap korban.

1.2. Hasil Penelitian

Acuan utama perlindungan korban kejahatan di Indonesia secara umum

merujuk pada KUHP dan KUHAP serta secara khusus dalam UU PSK.

Sedangkan dalam kerangka hukum hak asasi manusia internasional, perlindungan

65 “Standar Rehabilitasi Psikososial Korban Tindak Kekerasan”, (Jakarta: Departemen Sosial RI

Direktorat Jendral Banuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan

Pekerja Migran, 2003), h. 10

Page 28: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

40

korban kejahatan merujuk pada Declaration of Basic Principle of Justice for

Victim and Abuse of Power. Keempat rujukan perlindungan korban tersebut

mengkonstruksikan bentuk perlindungan secara berbeda-berda yang dapat

dicermati sebagai berikut:

Tabel 2.2.1. Perbandingan perlindungan korban KUHP, KUHAP, UU PSK, dan

Declaration of Basic Principle of Justice for Victim and Abuse of Power

Peraturan

Item

KUHP KUHAP UU PSK

Declaration of

Basic Principles of

Justice for Victims

of Crime and Abuse

of Power66

Pengertian

korban

Tidak ada. Tidak ada. Ada.

Korban adalah

orang yang

mengalami

penderitaan fisik,

mental, dan/atau

kerugian ekonomi

yang diakibatkan

oleh suatu tindak

pidana.

Ada.

Victims of Crime

Korban adalah

orang individu atau

kolektif yang

menderita kerugian,

termasuk luka fisik

atau mental,

penderitaan

emosional, kerugian

ekonomi atau

pengurangan hak-

hak dasarnya,

melalui tindakan

atau kelalaian yang

merupakan

pelanggaran hukum

pidana yang berlaku

di beberapa Negara

anggota (PBB),

termasuk hukum-

hukum mengenai

tindak pidana

penyalahgunaan

kekuasaan.

66 Diterjemahkan secara bebas dari: Compendium of United Nations standards and norms in crime

prevention and criminal justice.

https://www.unodc.org/pdf/compendium/compendium_2006_part_03_02.pdf, diakses 4 November 2020,

lihat juga Bambang Widiyantoro.

Page 29: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

41

Victims of abuse of

power

Korban, berarti

orang, individu atau

bersama-sama,

sudah mengalami

penderitaan,

termasuk

penderitaan yang

secara fisik maupun

mental, penderitaan

emosional, kerugian

ekonomi, pelemahan

substansial atas

hakhak asasi,

melalui tindakan-

tindakan yang tidak

termasuk tindak

pidana atau

pelanggaran hukum

nasional tetapi

diakui secara

internasional

merupakan nilai-

nilai yang berkaitan

dengan hak asasi

manusia.

Hak-hak

korban

Secara

materiil.

Kemungkinan

ganti kerugian

dalam Pasal

14c (bersifat

terbatas).

Pasal 14c

KUHP menya-

takan sebagai

berikut:

(1) Dengan

perintah yang

dimaksud

Secara formil.

Dalam

KUHAP,

beberapa pasal

yang mengatur

hak korban

tindak pidana

dalam sistem

peradilan

pidana yaitu: 67

1) Hak

menuntut

penggabungan

perkara

gugatan ganti

Secara materiil

dan formil.

Pasal 5 ayat (1)

UU PSK

Adapun hak-hak

saksi dan korban

tersebut di

antaranya yaitu:

a. memperoleh

perlindungan atas

keamanan

pribadi, Keluarga,

dan harta

bendanya, serta

bebas dari

Secara materiil dan

formil.

Pada Lampiran

Chapter II Victims

bagian Victims of

Crime, deklarasi

tersebut membahas

beberapa hal

berkaitan dengan

perlindungan korban

sebagai berikut:

a. Akses

mendapatkan

keadilan dan

perlakuan adil

(Access to justice

67 C. Maya Indah S., Op.Cit., h. 143.

Page 30: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

42

pasal 14a,

kecuali jika

dijatuhkan

pidana denda,

selain

menetapkan

syarat umum

bahwa

terpidana tidak

akan

melakukan

tindak pidana,

hakim dapat

menetapkan

syarat khusus

bahwa

terpidana

tindak pidana,

hakim dapat

menerapkan

syarat khusus

bahwa

terpidana

dalam waktu

tertentu, yang

lebih pendek

daripada masa

percobaannya,

harus

mengganti

segala atau

sebagian

kerugian yang

ditimbulkan

oleh tindak

pidana tadi.

(2) Apabila

hakim

menjatuhkan

pidana penjara

lebih dari tiga

bulan atau

pidana

kurungan atas

salah satu

pelanggaran

berdasarkan

kerugian dalam

perkara pidana

(Pasal 98-101).

2) Hak

atas

pengembalian

barang milik

korban yang

disita (Pasal 46

ayat (1)).

3) Hak

pengajuan

laporan atau

pengaduan

(Pasal 108 ayat

(1)).

4) Hak

mengajukan

upaya hukum

banding (Pasal

233) dan

kasasi (Pasal

244).

5) Hak

untuk

mengundurkan

diri sebagai

saksi (Pasal

168).

6) Hak

untuk

didampingi

juru bahasa

(Pasal 177 ayat

(1)).

7) Hak

untuk

didampingi

penerjemah

(Pasal 178 ayat

(1)).

Ancaman yang

berkenaan dengan

kesaksian yang

akan, sedang, atau

telah

diberikannya;

b. ikut serta

dalam proses

memilih dan

menentukan

bentuk

perlindungan dan

dukungan

keamanan;

c. memberikan

keterangan tanpa

tekanan;

d. mendapat

penerjemah;

e. bebas dari

pertanyaan yang

menjerat;

f. mendapat

informasi

mengenai

perkembangan

kasus;

g. mendapat

informasi

mengenai putusan

pengadilan;

h. mendapat

informasi dalam

hal terpidana

dibebaskan;

i. dirahasiakan

identitasnya;

j. mendapat

identitas baru;

k. mendapat

tempat kediaman

sementara;

l. mendapat

tempat kediaman

baru;

m. memperoleh

penggantian biaya

transportasi

and fair

treatment);

b. Restitusi

(Restitution) bagi

korban tindak

pidana;

c. Kompensasi

(Compensation)

bagi korban

tindak pidana;

d. Bantuan

(Assistance) bagi

korban tindak

pidana.

Bagian Victims of

abuse of power:

Negara perlu

mempertimbangkan

penambahan

hukum-hukum yang

melarang

penyalahgunaan

kekuasaan, berikut

penyediaan fasilitas-

fasilitas pemulihan

bagi para korban

penyalahgunaan

tersebut, khususnya

yang meliputi

restitusi dan/atau

ganti rugi dan

kelengkapan-

kelengkapan yang

diperlukan, bantuan

medis, sosial dan

psikologis serta

dukungan.

Page 31: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

43

pasal-pasal

492, 504, 505,

506, dan 536,

maka boleh

diterapkan

syarat-syarat

khusus lainnya

mengenai

tingkah laku

terpidana yang

harus dipenuhi

selama masa

percobaan atau

selama

sebagian dari

masa

percobaan.

(3) Syarat-

syarat tersebut

di atas tidak

boleh

mengurangi

kemerdekaan

beragama atau

kemerdekaan

berpolitik

terpidana.

8) Hak

untuk

mendapatkan

penggantian

biaya sebagai

saksi (Pasal

229 ayat (1)).

sesuai dengan

kebutuhan;

n. mendapat

nasihat hukum;

o. memperoleh

bantuan biaya

hidup sementara

sampai batas

waktu Perlindu-

ngan berakhir;

dan/atau

p. mendapat

pendampingan.

Hak-hak lain:

- Kompensasi,

Pasal 7 (1).

- Restitusi,

Pasal 7A (1).

- Bantuan,

Pasal 6 ayat

(1).

Access to

justice and

fair

treatment

Tidak ada. Secara

eksplisit hanya

diatur hak

tersangka/

terdakwa.

Hak untuk

mendapatkan

bantuan hukum

bagi tersangka/

terdakwa

(Pasal 56 ayat

(1)).

Ada (melalui

LPSK).

Pasal 5 UU PSK

Pasal 6 ayat (1)

UU PSK:

Korban pelangga-

ran hak asasi

manusia yang

berat, korban

tindak pidana

terorisme, korban

tindak pidana

perdagangan

orang, korban

tindak pidana

penyiksaan,

Ada.

Bagian Access to

justice and fair

treatment

1. Korban

harus diperlakukan

dengan belas kasih

dan penghormatan

atas martabatnya.

Mereka berhak

untuk mengakses

mekanisme

peradilan dan

meminta ganti rugi,

sebagaimana diatur

oleh perundang-

undangan nasional,

Page 32: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

44

korban tindak

pidana kekerasan

seksual, dan

korban pengania-

yaan berat, selain

berhak sebagai-

mana dimaksud

dalam Pasal 5,

juga berhak

mendapatkan:

a. bantuan medis;

dan

b. bantuan

rehabilitasi

psikososial dan

psikologis.

atas kerugian yang

mereka derita.

2. Mekanisme

peradilan dan

administrasi harus

dibentuk dan

diperkuat jika

diperlukan untuk

memungkinkan

korban

mendapatkan ganti

rugi melalui

prosedur formal

ataupun informal

yang cepat, adil,

murah dan mudah

diakses. Para

korban harus diberi

tahu tentang hak

mereka dalam

mencari ganti rugi

melalui mekanisme

semacam itu.

3. Tingkat

responsif proses

peradilan dan

administrasi

terhadap kebutuhan

korban harus

dilakukan dengan:

1) Memberi tahu

korban tentang

peran mereka

dan ruang

lingkupnya,

waktu dan

kemajuan proses

persidangan dan

penanganan

kasus mereka,

terutama jika

terkait dengan

tindak pidana

berat dan ketika

mereka meminta

informasi

tersebut;

2) Mengizinkan

Page 33: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

45

pandangan dan

keprihatinan

terhadap korban

untuk

ditunjukkan dan

dipertimbangkan

pada tahap yang

tepat dari proses

persidangan di

mana

kepentingan

pribadi mereka

terpengaruh,

tanpa merugikan

terdakwa dan

tetap konsisten

dengan sistem

peradilan pidana

nasional yang

ada;

3) Memberikan

bantuan

pendampingan

yang tepat

kepada korban

selama proses

hukum;

4) Mengambil

tindakan untuk

meminimalkan

ketidaknyamana

n bagi korban,

melindungi

privasi mereka

dalam hal

diperlukan, dan

memastikan

keselamatan

mereka, serta

keluarga dan

saksi atas nama

mereka, dari

intimidasi dan

pembalasan

dendam;

5) Menghindari

penundaan yang

tidak perlu dalam

Page 34: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

46

penanganan

kasus dan

pelaksanaan

perintah eksekusi

atau keputusan

penghargaan

terhadap korban.

4. Mekanisme

informal untuk

penyelesaian

sengketa, termasuk

mediasi, arbitrase

atau pengadilan

adat istiadat harus

digunakan, mana

yang tepat untuk

memfasilitasi

konsiliasi dan ganti

rugi bagi korban.

Kompensa-

si

Tidak ada. Tidak ada. Ada (melalui

LPSK).

Kompensasi

secara khusus

diberikan kepada

korban

pelanggaran hak

asasi manusia

berat

sebagaimana

yang disebutkan

dalam Pasal 7

ayat (1) UU PSK

dan Pasal 2 ayat

(1) PP No. 35

Tahun 2020.

Ada.

Dalam deklarasi

tersebut, mengenai

compensation, bila

kompensasi tidak

sepenuhnya tersedia

dari pelaku atau

sumber lain, negara

harus berusaha

untuk memberikan

kompensasi

keuangan bagi:

a) Korban yang

mengalami cedera

tubuh yang

signifikan atau

gangguan kesehatan

fisik atau mental

sebagai akibat dari

tindak pidana berat;

b) Keluarga,

yang berada dalam

tanggungannya,

secara khusus bagi

orang yang telah

meninggal atau

menjadi secara fisik

Page 35: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

47

atau mental tidak

lagi mampu sebagai

akibat dari tindak

pidana tersebut.

Restitusi Tidak ada. Tidak ada. Ada (melalui

LPSK).

Pasal 7A (1) yang

menyatakan:

Korban tindak

pidana berhak

memperoleh

Restitusi berupa:

a. ganti kerugian

atas kehilangan

kekayaan atau

penghasilan;

b. ganti kerugian

yang ditimbulkan

akibat

penderitaan yang

berkaitan

langsung sebagai

akibat tindak

pidana; dan/atau

c. penggantian

biaya perawatan

medis dan/atau

psikologis.

Ada.

Pada bagian

Restitution

dinyatakan:

Pelaku atau pihak

ketiga yang

bertanggung jawab

atas perilakunya

harus memberi

restitusi yang adil

bagi korban,

keluarga atau

tanggungan mereka.

- Restitusi

tersebut harus

mencakup

pengembalian harta

atau pembayaran

untuk kerusakan

atau kerugian yang

diderita;

- Penggantian

biaya yang

dikeluarkan sebagai

akibat dari tindak

pidana;

- penyediaan

layanan dan

pemulihan hak.

Bantuan Tidak ada. Ada (bantuan

prosedural).

Hak untuk

didampingi

juru bahasa

(Pasal 177 ayat

(1)).

Hak untuk

Ada (melalui

LPSK).

Pasal 6 ayat (1),

korban-korban

tersebut berhak

juga

mendapatkan:

a. bantuan medis;

dan

Ada.

Dalam bagian

assistance

dinyatakan:

- korban harus

menerima materi

yang memang

diperlukan, medis,

psikologis, dan

Page 36: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

48

didampingi

penerjemah

(Pasal 178 ayat

(1)).

b. bantuan reha-

bilitasi psiko-

sosial dan

psikologis.

bantuan sosial lain

baik melalui instansi

pemerintah,

sukarelawan,

komunitas dan

masyarakat adat.

- Korban harus

diberitahu tentang

ketersediaan

layanan kesehatan

dan sosial serta

bantuan lain yang

relevan dan yang

mudah diberikan

akses kepada

mereka.

- Kepolisian,

lembaga peradilan,

kesehatan, layanan

sosial dan aparat

lain yang terkait

harus menerima

pelatihan untuk

membuat mereka

peka terhadap

kebutuhan korban,

dan pedoman untuk

memastikan bantuan

yang tepat dan

cepat.

- Dalam

memberikan

pelayanan dan

bantuan kepada

korban, perhatian

harus diberikan

kepada mereka yang

berkebutuhan

khusus karena sifat

kerugian yang

ditimbulkan atau

karena faktor-faktor

lain yang memang

membutuhkan

perlakuan khusus.

Perlindung

-an korban

Tidak ada. Kemungkinan

terbatas

Tidak ada. Ada.

Page 37: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

49

penyalah-

gunaan

kekuasaan

praperadilan.

Pasal 1 angka

10 KUHAP:

Praperadilan

adalah

wewenang

pengadilan

negeri untuk

memeriksa dan

memutus

menurut cara

yang diatur

dalam undang-

undang ini,

tentang:

a. sah atau

tidaknya suatu

penangkapan

dan atau

penahanan atas

permintaan

tersangka atau

keluarganya

atau pihak lain

atas kuasa

tersangka;

b. sah atau

tidaknya

penghentian

penyidikan

atau

penghentian

penuntutan

atas

permintaan

demi tegaknya

hukum dan

keadilan;

c. permintaan

ganti kerugian

atau

rehabilitasi

oleh tersangka

atau

keluarganya

atau pihak lain

Bagian Victims of

abuse of power:

1. Negara perlu

mempertimbangkan

penambahan

hukum-hukum yang

melarang

penyalahgunaan

kekuasaan, berikut

penyediaan

fasilitas-fasilitas pemulihan bagi para

korban

penyalahgunaan

tersebut, khususnya

yang meliputi

restitusi dan/atau

ganti rugi dan

kelengkapan-

kelengkapan yang

diperlukan, bantuan

medis, sosial dan

psikologis serta

dukungan;

2. Negara perlu

mempertimbangkan

penyusunan

kesepakatan

perjanjian

internasional

multilateral yang

berkenaan dengan

penanganan korban;

3. Negara perlu

meninjau ulang

perundang-

undangan yang ada

dan

pelaksanaannya,

untuk memastikan

reaksi akan

perubahan situasi,

jika diperlukan,

adanya aturan-

aturan yang

melarang tindakan-

tindakan

Page 38: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

50

atas kuasanya

yang

perkaranya

tidak diajukan

ke pengadilan.

Pasal 95

KUHAP - PP

No. 92 Tahun

2015:

Tuntutan ganti

kerugian

merupakan hak

yang diberikan

oleh negara

kepada korban

yang merasa

dirugikan

karena

ditangkap,

ditahan,

dituntut, dan

diadili atau

dikarenakan

tindakan lain,

tanpa alasan

yang

berdasarkan

undang-

undang atau

karena

kekeliruan

mengenai

orangnya atau

hukum yang

diterapkan oleh

penegak

hukum.

penyalahgunaan

ekonomi atau

politik, seperti

halnya

mempromosikan

kebijakan-kebijakan

dan mekanisme

pencegahannya

serta

mengembangkan

dan menyiapkan

hak-hak dan

pemulihan bagi

korban atas

pelanggaran-

pelanggaran

tersebut.

1.2.1. Perlindungan Korban dalam KUHP dan KUHAP

KUHP dan KUHAP merupakan gambaran umum mengenai sistem hukum

pidana yang berlaku di Indonesia di samping terdapat ketentuan pidana dan

Page 39: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

51

hukum acara di luar KUHP dan KUHAP yang bersifat khusus. Dalam konteks

perlindungan korban, kita pun dapat melihat bagaimana KUHP dan KUHAP

mengkonstrikan pemberian perlindungan terhadap korban kejahatan. Adapun

penjelasannya yaitu sebagai berikut:

1. KUHP

Sebelum masuk pada kesimpulan tentang bagaimana KUHP

mengkonstruksikan perlindungan korban kejahatan, kita perlu untuk terlebih

dahulu melihat ketentuan dalam KUHP yang mengatur atau berkaitan dengan

perlindungan korban kejahatan. Dalam pembahasan mengenai perlindungan

korban, sebelumnya penulis telah mengemukakan bahwa terdapat perlindungan

yang bersifat langsung dan yang bersifat tidak langsung. Bahwa dalam KUHP,

bentuk perlindungan langsung yang dapat ditemui yaitu kemungkinan adanya

ganti kerugian dalam Pasal 14c sebagaimana tertulis dalam tabel sebelumnya. Hal

yang perlu untuk dicermati di sini yaitu berkaitan dengan kapan keharusan

mengganti kerugian ini timbul yang mana terbuka bila pidana yang dijatuhkan

merupakan pidana percobaan. Selain penetapan syarat umum bahwa terpidana

tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat pula menetapkan syarat khusus

bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari masa

percobaannya, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan

oleh tindak pidana tersebut. Penggantian kerugian baik seluruh maupun sebagian

oleh terpidana kepada korbannya belumlah dapat dikatakan sebagai bentuk sanksi

pidana, namun seolah-olah hanya merupakan pengganti pidana pokok saja.68

68 Cahyono, Kebijakan Pemberian Ganti Kerugian Terhadap Korban Kejahatan dalam Perkara Pidana

di Masa Mendatang, Varia Peradilan, No. 282 Mei 2009, h. 49, dikutip dari Reni Yulia, Melihat

Keberadaan Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana (Sebuah Upaya Pemenuhan Hak Korban

Page 40: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

52

Barda Nawawi Arief bahkan menyatakan bahwa dalam aturan umum KUHP tidak

dikenal jenis pidana ganti rugi. Ganti rugi bukan sebagai salah satu bentuk/jenis

pidana, tetapi justru hanya sebagai syarat bagi terpidana untuk tidak menjalani

pidana pokok atau dengan kata lain bahwa ide dasar pidana bersyarat dalam

KUHP tetap berorientasi pada pelaku tindak pidana dan tidak berorientasi pada

korban tindak pidana.69 Sehingga dapat dikatakan bahwa ganti rugi dalam KUHP

bukan merupakan sanksi pidana yang bisa berdiri sendiri dikarenakan tidak dapat

dijatuhkan apabila hakim tidak terlebih dahulu menjatuhkan pidana bersyarat.

Jika tetap melihat perundang-undangan di luar KUHP, sanksi semacam

pidana ganti rugi hanya dapat diberikan untuk tindak pidana tertentu saja,

seperti:70

1) untuk tindak pidana ekonomi (sebagai “tindakan tata tertib”

berdasarkan Pasal 8msub d UU No. 7 Drt. 1955 yang berupa

kewajiban “memperbaiki akibat-akibat atas biaya si

terhukum”);

2) untuk tindak pidana korupsi (sebagai “pidana tambahan”

berupa pembayaran uang pengganti” berdasarkan Pasal 34

sub c UU No. 3/1971 yang telah diubah menjadi Pasal 18 UU

31/1999);

3) untuk tindak pidana lingkungan hidup (sebagai “tindakan tata

tertib” berdasarkan Pasal 47 sub c,d,e UU No 23/1997 berupa

“perbaikan akibat tindak pidana”, “mewajibkan mengerjakan

apa yang dilakukan tanpa hak”, dan/atau meniadakan apa

yang dilalaikan tanpa hak”);

4) untuk tindak pidana perlindungan konsumen (sebagai pidana

tambahan berupa “pembayaran ganti rugi”, Pasal 63 UU No.

8/1999.

Oleh Maya Indah, ganti rugi dalam hal-hal tertentu tersebut di atas merupakan

bentuk perlindungan korban secara langsung namun bersifat kolektif karena

oleh Jaksa Penuntut Umum), dalam Syaiful Bakhri dkk., Hukum Pidana Masa Kini, Total Media,

Yogyakarta, 2014, h. 175. 69 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan..., Loc.Cit., h. 62. 70 Ibid., h. 63.

Page 41: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

53

mencakup kepentingan orang banyak bukan secara orang perseorangan.71

Dikatakan bahwa hukum pidana positif lebih mengasumsikan pada pelaku tindak

pidana yang dianggap mengganggu ketertiban dalam masyarakat daripada

mengganggu kepentingan hukum korban.

Angkasa dalam disertasinya mengungkapkan dua alasan mengapa

kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia belum optimal jika

dibandingkan dengan dengan kedudukan pelaku.72 Pertama, KUHP belum secara

tegas merumuskan ketentuan yang secara konkret atau langsung memberikan

perlindungan hukum terhadap korban, misalnya dalam hal penjatuhan pidana

wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga

korban. KUHP juga tidak merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) yang

sebenarnya bermanfaat bagi korban dan/atau keluarga korban.

Rumusan pasal-pasal dalam KUHP cenderung berkutat pada rumusan tindak

pidana, pertanggungjawaban, dan ancaman pidana. Hal ini tidak terlepas pula dari

doktrin hukum pidana yang melatarbelakangi sebagaimana dikatakan oleh Herbert

Parker dan Muladi bahwa masalah hukum pidana meliputi perbuatan yang

dilarang atau kejahatan (offence), orang yang melakukan perbuatan terlarang dan

mempunyai aspek kesalahan (guilt), serta ancaman pidana (punishment).

Kedua, KUHP menganut aliran neoklasik yang antara lain menerima

berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang

menyangkut fisik, lingkungan, serta mental. Demikian pula dimungkinkannya

aspek-aspek yang meringankan pidana bagi pelaku tindak pidana dengan

pertanggungjawaban sebagian, di dalam hal-hal yang khusus, misalnya jiwanya

71 C. Maya Indah S., Op.Cit., h. 137. 72 Angkasa, Kedudukan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Universitas Diponegoro,

Semarang, 2004, h. 169-172, dikutip dari Siswanto Sunarso, Op.Cit., h. 49-50.

Page 42: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

54

cacat (gila), di bawah umur, dan sebagainya. Bahwa pengaturan KUHP

berorientasi pada pelaku bahkan korban cenderung dilupakan.73

2. KUHAP

Ketika para pencari keadilan telah memilih jalur hukum pidana sebagai jalur

yang di tempuh untuk mendapat keadilan yang mereka maksud, sudah barang

tentu sebagai negara hukum Indonesia memiliki prosedur-prosedur hukum yang

perlu untuk dilalui baik untuk tujuan ketertiban maupun untuk kepentingan para

pihak yang berperkara. Bahwa di samping KUHP sebagai hukum materiil di

Indonesia, terdapat KUHAP sebagai hukum formil untuk menegakkan hukum

materiil. Tujuan dari KUHAP adalah untuk menegakkan norma hukum (pidana

materiil), dengan mencari dan menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya

(materiil).74 Secara umum KUHAP memang bertujuan untuk menegakkan hukum

materiil. Tetapi dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP lebih dipertegas mengenai

tujuan KUHAP dengan menyatakan bahwa:75 “... dengan tujuan untuk mencari

siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum,

...”. Dari sini dapat diperkirakan kemana arah KUHAP ini difungsikan. Sehingga

yang menjadi pertanyaan penulis yaitu apakah dengan adanya tujuan dan

pengimplementasiannya dalam pasal-pasal, KUHAP sudah dapat memberikan

perlindungan yang setidak-tidaknya seimbang dengan yang didapatkan oleh

pelaku atau masih belum memberikan perlindungan yang maksimal terhadap

korban. Hal tersebutlah yang akan penulis jabarkan lebih lanjut dalam sub

bahasan ini.

73 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta,

2010, h. 181-182, dikutip dari Siswanto Sunarso, Loc.Cit. 74 M. Haryanto, Loc.Cit., h. 3. 75 Andi Hamzah, Loc.Cit., h. 7-8.

Page 43: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

55

Pengaturan tentang hak korban dalam KUHAP sebagaimana tertera pada

tabel sebelumnya didominasi oleh hak korban dalam kaitannya dengan proses

persidangan. Hal ini menurut penulis bukan terjadi tanpa alasan melainkan

didasarkan atas konstruksi dari peraturan itu sendiri. Seperti contoh pada hak

korban yang dapat mengundurkan diri untuk memberi kesaksian. Rasanya sangat

sulit bagi korban untuk melakukan hal tersebut dikarenakan kontruksi KUHAP

yang memang diperuntukan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat

didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum. Jika dikaitkan dengan Pasal

159 ayat (2) KUHAP yang mengatur tentang menjadi saksi yang merupakan salah

satu kewajiban setiap orang, semakin jelas bahwa perlindungan korban diberikan

dengan cara memastikan setiap unsur delik terpenuhi dilihat dari keterlibatan

saksi-saksi termasuk korban. Perlindungan yang demikian dalam pembahasan

penulis tentang perlindungan korban merupakan bentuk perlindungan yang

bersifat tidak langsung.

Dalam KUHAP sebenarnya terdapat pengaturan tentang prosedur tuntutan

ganti kerugian yaitu pada Pasal 1 angka 10 KUHAP tentang praperadilan serta

ganti kerugian dalam Pasal 95 KUHAP dan Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan

oleh penegak hukum. Akan tetapi, ganti rugi yang diberikan tidak dalam

konstruksi korban yang dikorbankan lagi dalam proses peradilan melainkan dalam

kerangka pelaku kejahatan yaitu yang berkaitan dengan penangkapan, penahanan,

penuntutan, dan eksekusi. Hak penggabungan perkara gugatan ganti kerugian

Page 44: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

56

dalam perkara pidana merupakan satu-satunya kemungkinan lain perlindungan

korban secara langsung yang diatur. Perlindungan korban dalam bentuk

penggabungan perkara sebagaimana diatur pada Pasal 98-101 KUHAP, dapat

dijabarkan sebagai berikut:76

1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam

suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri

menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua

sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk

menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada

perkara pidana itu.

2) Permintaan tersebut hanya dapat diajukan selambat-

lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan

pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan

diajukan selambat-lambatnya sebelum menjatuhkan putusan.

3) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara

gugatannya pada perkara pidana, maka pengadilan negeri

menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan

tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang

hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh

pihak yang dirugikan.

4) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak

berwenang mengadili gugatan atau gugatan dinyatakan tidak

dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang

penetapan hukuman penggantian biaya yang telah

dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.

5) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya

mendapatkan kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga

mendapat kekuatan hukum tetap.

Berkaitan dengan pengajuan tuntutan ganti kerugian di atas, Muhadar

menjelaskan bahwa pihak-pihak perlu memperhatikan beberapa hal sebagai

berikut:77

1) Kerugian yang terjadi harus ditimbulkan oleh tindak pidana

itu sendiri.

2) Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana atau orang

lain yang menderita kerugian (korban) sebagai akibat

langsung dari tindak pidana tersebut.

76 Bambang Waluyo, Op.Cit., h. 57. 77 Ibid., h. 58.

Page 45: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

57

3) Gugatan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana tadi

diajukan kepada “si pelaku tindak pidana” (terdakwa).

4) Tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa tadi

digabungkan atau diperiksa dan diputus sekaligus bersamaan

pada pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang

didakwakan kepada terdakwa dan dalam bentuk satu putusan.

Terlihat bahwa sekalipun diatur tentang prosedur penggabungan perkara untuk

mendapatkan ganti kerugian, terdapat hal-hal yang memerlukan usaha lebih untuk

bisa terwujud. Dalam prakteknya, tidak jarang bahwa prosedur atau kemungkinan

adanya ganti kerugian terhadap korban tersebut tidak diberitahukan kepada korban

baik oleh penuntut umum maupun oleh penasehat hukum korban itu sendiri atas

dasar bertambahnya kompleksitas perkara yang ditangani. Dalam proses proses

persidangan pun hakim dirasa tidak pernah memberikan pilihan atau menawarkan

prosedur ganti kerugian melalui penggabungan perkara. Terdapat banyak

kemungkinan yang menyebabkan hal itu terjadi. Tetapi menurut penulis, hak-hak

korban yang sudah terbatas tersebut seharusnya patut diperjuangkan agar

terpenuhinya hasrat akan pemberian perlindungan terhadap korban.

Mengenai kelemahan-kelemahan dalam prosedur ganti kerugian terhadap

korban, R. Soeparmono berpendapat sebagai berikut:

1) Sistem penggabungan tersebut dirasakan belum mendekati

hakekat tujuan ganti kerugian itu sendiri.

2) Tuntutan ganti kerugian oleh orang lain yang menderita

langsung kerugian atau pihak korban untuk memperoleh

jumlah besarnya ganti kerugian dibatasi hanya pada kerugian

materiil yang nyata-nyata dikeluarkan oleh orang yang

dirugikan tersebut. jadi, KUHAP dalam ketentuan-

ketentuannya membatasi hak.

3) Untuk kerugian imateriil terpaksa harus mengajukan lagi

dengan gugatan perdata biasa tersendiri, yang mungkin

memakan waktu lama.

4) Kondisi seperti ini berarti mengaburkan maksud semula dari

penggabungan itu sendiri, yang bertujuan menyederhanakan

proses.

Page 46: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

58

5) Adanya kendala dalam pelaksanaan masalah pembayaran

ganti kerugian tersebut.

6) Apabila pihak korban tetap menuntut ganti kerugian yang

bersifat imateriil juga hasilnya akan nihil, karena putusan

selalu menyatakan gugatan ganti kerugian imateriil tersebut

dinyatakan tidak dapat diterima, karena tidak berdasarkan

hukum.

7) Majelis hakim harus cermat, sebab selalu harus memisahkan

antara kerugian materiil dengan kerugian imateriil, sehingga

tidak efisien.

8) Gugatan ganti rugi kerugian pada perkara pidana hanya

bersifat assesor.

9) Pada setiap putusan perdatanya, pihak korban/penggugat

dalam penggabungan perkara ganti kerugian tersebut selalu

menggantungkan pihak terdakwa atau jaksa penuntut umum,

jika mau banding, sehingga melenyapkan hak bandingnya

sebagai upaya hukum.

Adanya prosedur ganti kerugian bagi korban pada KUHAP memang dapat

dimaknai sebagai bentuk perlindungan bagi korban kejahatan tetapi di lain sisi

menjadi sia-sia karena tidak dilaksanakan karena berbagai kelemahannya.

Perlindungan korban dalam KUHAP diatur secara terbatas dan tidak memiliki

daya eksekusi yang kuat. KUHAP dalam hal perlindungan korban bahkan belum

bisa dikritik dengan ungkapan “sebagus-bagusnya suatu peraturan akan percuma

jika tidak dapat dilaksanakan” dikarenakan pengaturannya yang masih terbatas

sehingga belum dapat dikategorikan sudah memberikan perlindungan yang cukup

bagi korban kejahatan. KUHAP tidak hanya memiliki kelemahan dari segi

implementasi tetapi dari hulu atau pengaturannya masih memerlukan pembaruan.

Terhadap pengaturan hak-hak korban ini juga, Maya Indah menyatakan

bahwa pembedaan perlindungan hak-hak korban masih disubordinasikan daripada

pelaku dalam bebera hal.78 Pertama, hak untuk mendapatkan mendapatkan

bantuan hukum tidak diakomodasi bagi korban. Korban harus berhadapan dengan

78 C. Maya Indah S., Op.Cit., h. 144.

Page 47: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

59

perilaku aparat penegak hukum dan pelaku sendiri. Diasumsikan bahwa korban

seakan sudah diwakili oleh negara dalam hal ini aparat penegak hukumnya.

Kedua, hak lain yang spesifik bagi korban dalam proses peradilan pidana yakni

apabila dikedepankan kacamata korban, maka korban pun seharusnya

memperoleh hak untuk memilih penyelesaian kasus yang dihadapinya. Berbagai

penyelesaian hukum tidak menutup kemungkinan merupakan hasil konfirmasi

antara penegak hukum dan pelaku tanpa melibatkan korban. Ketiga, hak yang

kurang diperhatikan dalam kebijakan formulasi terhadap korban adalah hak

korban untuk mengetahui sejauh mana proses peradilan pidana, dalam arti hak

untuk “to acces for justice”. Keempat, hak korban untuk mendapat perlindungan

atau hak korban untuk mendapat jaminan keamanan merupakan hak yang harus

diwadahi dalam ketentuan normatif. Kelima, hak korban untuk memperoleh

pendampingan dalam mengurangi penderitaan yang dialaminya, baik secara moral

psikologis maupun sosial.

Dengan demikian, dapat penulis katakan bahwa perlindungan korban yang

diberikan baik dalam KUHP maupun KUHAP masih merupakan perlindungan

yang terbatas. Secara konkret, korban belum mandapatkan perhatian secara

proporsional,79 bahkan jika dibandingkan dengan perlindungan yang didapatkan

oleh pelaku. Di sisi lain, perlindungan korban lebih banyak merupakan

perlindungan yang tidak langsung80 di mana perlindungan diberikan melalui

pemidanaan pelaku yang lebih ditekankan pada hak-hak korban untuk melakukan

penuntutan di pengadilan. Sedangkan perlindungan secara langsung yang

79 J.E. Sahetapi, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, h. 39. 80 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Cipta

Aditya Bakti, Bandung, 1998, h. 58.

Page 48: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

60

merupakan perlindungan yang diberikan atas dasar kerugian yang dialami korban

baik kerugian secara materiil maupun imateriil, bukan merupakan hal utama

bahkan cenderung terlupakan dalam proses peradilan.

1.2.2. Perlindungan Korban dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Perkembangan perlindungan korban kejahatan di Indonesia akhirnya

mendapatkan angin segar menyusul kesadaran akan perlindungan korban yang

ada selama ini belum maksimal. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya

disebut UU PSK 2006), disebutkan bahwa:

Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana

di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai

dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap

tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari

berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh

karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban

diatur dengan undang-undang tersendiri.

Hal tersebut menunjukkan bahwa sejatinya sudah terjadi ketimpangan antara

perlindungan terhadap pelaku dan perlindungan terhadap korban kejahatan dalam

perundang-undangan yang berlaku. Permasalahannya tidak pada ingin

menyamaratakan perlindungan keduanya melainkan pada kurangnya perhatian

yang diberikan terhadap korban sebagai pihak yang dirugikan dalam suatu

peristiwa pidana.

Dalam penjelasan lain UU PSK 2006 dinyatakan juga bahwa keberhasilan

suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil

Page 49: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

61

diungkap atau ditemukan. Sehingga dibentuklah undang-undang tersebut dalam

rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana

dengan menciptakan iklim yang kondusif melalui pemberian perlindungan hukum

dan keamanan bagi setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang

dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal

tersebut kepada penegak hukum. Dalam Pasal 4 UU PSK dinyatakan bahwa:

“Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi

dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan

pidana.” Walaupun terlihat seperti permasalahan redaksional biasa, Penjelasan

Umum dan pasal dalam UU PSK 2006 tersebut menurut penulis masih tetap

membawa politik hukum yang dibangun dalam KUHP dan KUHAP yang

berfokus pada perlindungan melalui pemidanaan pelaku dengan lebih

menekankan pada keterangan saksi korban daripada kesadaran akan kerugian-

kerugian yang dialami korban. Akan tetapi, pendapat penulis belum bersifat

komprehensif karena belum didasarkan atas pembahasan keseluruhan isi undang-

undang. Bagaimanapun juga, penjelasan umum dan satu pasal saja tidak cukup

menjelaskan dan menggambarkan kualitas perlindungan korban yang diberikan

dalam undang-undang tersebut secara keseluruhan. Salah satu contoh yaitu

munculnya suatu lembaga khusus yang disebut sebagai Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban (selanjutnya disebut LPSK) yang baru muncul setelah adanya

undang-undang tersebut. Tentu itu merupakan suatu kemajuan pada aspek

perlindungan korban di Indonesia.

Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam UU PSK 2006 meliputi: 1)

Perlindungan dan hak Saksi dan Korban; 2) Lembaga Perlindungan Saksi dan

Page 50: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

62

Korban; 3) Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan 4)

Ketentuan pidana. Dari pengaturan yang ada dalam UU PSK 2006, terdapat hal-

hal yang dirasa belum maksimal sehingga dilakukan perubahan melalui Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut UU

PSK). Kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan UU PSK 2006 yang menjadi

dasar dilakukan perubahan sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Umum UU

PSK secara khusus yaitu mengenai:

a. kelembagaan yang belum memadai untuk mendukung tugas

dan fungsi LPSK dalam memberikan Perlindungan terhadap

Saksi dan Korban;

b. keterbatasan kewenangan yang menyangkut substansi

penjabaran dari tugas dan fungsi LPSK yang berimplikasi

pada kualitas pemberian layanan Perlindungan Saksi,

Korban, Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli;

c. koordinasi antarlembaga dalam pelaksanaan pemberian

Kompensasi dan Restitusi; dan

d. Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

LPSK yang dibentuk berdasarkan UU PSK 2006 memiliki peranan yang

sangat penting dalam rangka perlindungan korban. Perkembangan sistem

peradilan pidana saat ini, tidak saja berorientasi kepada pelaku, tetapi juga harus

berorientasi kepada kepentingan pihak korban. Oleh karena itu, kelembagaan

LPSK harus dikembangkan dan diperkuat agar dalam menjalankan tugas, fungsi,

dan kewenangannya dapat sinergis dengan tugas, fungsi, dan kewenangan

lembaga penegak hukum yang berada dalam sistem peradilan pidana. Selain

mengatur tentang LPSK, terdapat juga pengembangan perlindungan korban

melalui pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan lainnya yang prosedurnya

diatur melalui UU PSK dan peraturan pelaksananya.

Page 51: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

63

Pasal 1 angka 8 UU PSK menyatakan bahwa: “Perlindungan adalah segala

upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman

kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga

lainnya sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini.” Sebagaimana termuat dalam

Pasal 3 UU PSK, perlindungan dilakukan dengan berasaskan pada: a.

penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b. rasa aman; c. keadilan; d. tidak

diskriminatif; dan e. kepastian hukum. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU PSK setelah

perubahan, terdapat perluasan hak-hak saksi dan korban menimbang undang-

undang tersebut diubah untuk menciptakan iklim yang kondusif demi

mengungkap suatu tindak pidana.

UU PSK dan aturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35

Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018

Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan

Korban (selanjutnya disebut PP No. 35 Tahun 2020) mengatur perlindungan

korban dengan cara memberikan kompensasi, restitusi, dan bantuan. Pasal 1 angka

10 UU PSK mengartikan kompensasi sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh

negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang

menjadi tanggung jawabnya kepada korban atau keluarganya. Restitusi itu sendiri

menurut Pasal 1 angka 11 UU PSK merupakan ganti kerugian yang diberikan

kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Sedangkan

bantuan, Pasal 1 angka 7 PP No. 35 Tahun 2020 mengartikan: “Bantuan adalah

layanan yang diberikan kepada Saksi dan/atau Korban oleh LPSK dalam bentuk

bantuan medis serta bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.”

Page 52: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

64

Kompensasi secara khusus hanya diberikan kepada korban pelanggaran hak

asasi manusia berat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU PSK

dan Pasal 2 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2020. Mengenai restitusi memang

disebutkan bahwa “korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi”. Akan

tetapi, dalam Pasal 7A ayat (2) UU PSK disebutkan bahwa: “Tindak pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK.” Hal

tersebut berarti bahwa tidak semua tindak pidana dapat mendapatkan restitusi.

Ayat (2) tersebut tidak memberikan kejelasan atau bahkan dapat dikatakan tetap

memberikan batasan peluang pemberian restitusi pada korban suatu tindak pidana

karena hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu saja. Faktanya,

kerugian pasti akan selalu ada dan melekat pada korban tindak pidana manapun.

Pembedanya yaitu pada tingkat kerugiannya yang artinya bahwa seharusnya opsi

untuk menuntut ganti kerugian tetap harus dibuka untuk setiap korban tindak

pidana.

Pada Pasal 6 ayat (1), terdapat pengaturan khusus bagi korban pelanggaran

hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak

pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak

pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat. Bahwa selain

mendapatkan hak-hak yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1), korban-korban

tersebut berhak juga mendapatkan: a. bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi

psikososial dan psikologis. Adapun yang dimaksud dengan “bantuan medis”

menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a yaitu bantuan yang diberikan untuk

memulihkan kesehatan fisik korban, termasuk melakukan pengurusan dalam hal

korban meninggal dunia misalnya pengurusan jenazah hingga pemakaman. Untuk

Page 53: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

65

“rehabilitasi psikososial”, penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b mengartikannya

sebagai semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang

ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi

fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi

sosialnya kembali secara wajar, antara lain LPSK berupaya melakukan

peningkatan kualitas hidup korban dengan melakukan kerja sama dengan instansi

terkait yang berwenang berupa bantuan pemenuhan sandang, pangan, papan,

bantuan memperoleh pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan.

Sedangkan yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikologis” adalah bantuan yang

diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah

kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban. Dalam hal

ini juga terjadi perluasan makna di mana sebelumnya hanya dimaknai untuk

memulihkan kondisi kejiwaan korban tetapi sekarang juga terdapat usaha untuk

memulihkan kembali keadaan korban di dalam masyarakat atau dengan kata lain

membuat korban tetap mampu menjalani kehidupan sosialnya yang telah

terganggu akibat menjadi korban.

Mengenai pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan, UU PSK mengatur

bahwa hal-hal tersebut diberikan melalui proses pada LPSK terlebih dahulu. Pasal

7 ayat (2) menyatakan: “Kompensasi bagi Korban pelanggaran hak asasi manusia

yang berat diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan

Hak Asasi Manusia melalui LPSK.” Pasal 7A ayat (3): “Pengajuan permohonan

Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK.” Pasal 6 ayat (2): “Bantuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan Keputusan LPSK.”

Page 54: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

66

Dengan demikian, hal lain yang perlu diperhatikan yaitu mengenai keberadaan

dari LPSK sebagai ujung tombak dari diadakannya peraturan-peraturan atau

kebijakan-kebijakan yang dipercaya dapat memaksimalkan perlindungan korban

tindak pidana. LPSK memegang peran kunci keberhasilan pelaksanaan

perlindungan korban yang lebih maksimal. Hal ini didasarkan atas bukti pasal-

pasal yang mengamanatkan sebagian besar keputusan perlindungan korban

kepada LPSK. Di samping itu, agar korban dapat memperoleh perlindungan,

kompensasi, restitusi, dan bantuan, terdapat mekanisme yang harus dilalui terlebih

dahulu yaitu melalui LPSK atau bahkan ada yang dapat dilakukan dengan inisiatif

LPSK itu sendiri.

Pasal 28 ayat (1) UU PSK menyatakan bahwa:

Perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban diberikan

dengan syarat sebagai berikut:

a. sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;

b. tingkat Ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau

Korban;

c. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi

dan/atau Korban; dan

d. rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh Saksi

dan/atau Korban.

Sedangkan prosesnya, secara garis besar yang harus ditempuh oleh korban

sebelum memperoleh perlindungan korban tersebut yaitu:

1) Permohonan, diajukan secara tertulis kepada LPSK (baik

atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang

berwenang);

2) Pemeriksaan, permohonan akan diperiksa dari segi

kelengkapan berkas dan dilanjutkan dengan pemeriksaan

substantif;

3) Keputusan LPSK, di mana hasil pemeriksaan ditetapkan

dengan Keputusan LPSK yang disertai dengan

pertimbangan dan rekomendasi;

4) Keputusan LPSK tersebut dilimpahkan ke pengadilan; dan

5) Setalah mendapatkan penetapan pengadilan, pelaksanaan

pemberian perlindungan korban akan dilakukan baik oleh

Page 55: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

67

LPSK atau bersama dengan instansi terkait maupun yang

pemenuhannya melalui pelaku.

Berkaitan dengan syarat yang harus dipertimbangkan sebagaimana termuat

dalam Pasal 28 ayat (1) UU PSK khususnya mengenai sifat pentingnya

keterangan, hal tersebut dapat dipahami sebagai timbal balik yang berasal dari

korban atas perlindungan yang diberikan. Sehingga yang menjadi pertanyaan

besar yaitu bagaimana jika keterangan yang diberikan korban tidak dapat

memenuhi ekspektasi. Sedangkan pada sisi lain juga, takaran atau ukuran sifat

pentingnya keterangan masih bisa dapat dimaknai bermacam-macam. Selain

mengenai pemberian perlindungan korban yang masih diatur terbatas pada tindak

pidana tertentu saja dan belum adanya mekanisme bagi tindak pidana lain, syarat

dan proses yang ada juga memiliki tantangan dan permasalahan untuk dihadapi.

1.2.3. Perlindungan Korban dalam Declaration of Basic Principles of Justice

for Victims of Crime and Abuse of Power

Kejahatan menimbulkan kerugian fisik, finansial dan emosional yang sangat

besar bagi para korbannya. Pada tanggal 29 November 1985, Sidang Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Declaration of Basic Principles of

Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (Lampiran Resolusi Majelis

Umum 40/34) berdasarkan keyakinan bahwa para korban harus diperlakukan

dengan belas kasih dan menghormati martabat mereka dan bahwa mereka berhak

untuk segera mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang mereka derita, melalui

akses kepada sistem peradilan pidana, perbaikan dan layanan untuk membantu

pemulihan mereka. Deklarasi tersebut merekomendasikan tindakan yang harus

diambil atas nama korban kejahatan di tingkat internasional, regional dan nasional

Page 56: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

68

untuk meningkatkan akses terhadap keadilan dan perlakuan yang adil, restitusi,

kompensasi dan bantuan. Pengalaman banyak negara di dunia telah menunjukkan

bahwa salah satu cara efektif untuk menangani banyak kebutuhan korban

kejahatan adalah dengan membangun program yang memberikan dukungan

sosial, psikologis, emosional dan keuangan, dan secara efektif membantu korban

dalam lembaga peradilan pidana dan sosial. 81

Pada Lampiran Chapter II Victims bagian Victims of Crime, deklarasi

tersebut membahas beberapa hal berkaitan dengan perlindungan korban sebagai

berikut:82

1) Victims of crime (Korban kejahatan):

a. Access to justice and fair treatment (Akses utnuk

mendapatkan keadilan dan perlakuan adil);

b. Restitution (Restitusi);

c. Compensation (Kompensasi); dan

d. Assistance (Bantuan).

2) Victims of abuse of power (Korban penyalahgunaan

kekuasaan).

Pada bagian Access to justice and fair treatment dalam deklarasi,

perlindungan korban yang diberikan yaitu berkaitan dengan perlakuan yang

didapatkan oleh korban. Pada tabel sebelumnya dijelaskan bahwa sikap aparat

penegak hukum yang responsif dan kemudahan akses baik secara informasi

maupun proses merupakan hak korban yang harus dipenuhi. Tidak hanya itu, hak

korban untuk lebih didengar atau terlibat dalam proses peradilan lebih ditekankan

dan di sisi lain juga menjamin bahwa korban mendapatkan bantuan hukum serta

yang tidak kalah penting yaitu memastikan bahwa korban mengetahui hak-

81 Diterjemahkan secara bebas dari: United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention,

Handbook on Justice for Victims: On the use and application of the Declaration of Basic Principle of

Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, United States Department of Justice, New York, 1999,

h. iv. 82 Bambang Widiyantoro, Op.Cit., h. 7.

Page 57: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

69

haknya. Dapat dikatakan bahwa tidak hanya dalam tataran mengatur hak-hak

korban berkaitan dengan haknya menempuh mekanisme peradilan dan perlakuan

yang sama, tetapi terdapat langkah selanjutnya yang tidak kalah penting yaitu

memastikan bahwa hak-hak tersebut diketahui oleh korban dan memastikan

korban dapat menggunakan haknya untuk mendapatkan keadilan.

Berkaitan dengan restitution deklarasi tersebut, dalam Handbook on Justice

for Victims: On the use and application of the Declaration of Basic Principle of

Justice for Victims of Crime and Abuse of Power atau petunjuk pelaksana

deklarasi tersebut, restitusi harus digunakan sebagai cara untuk menanggulangi

beberapa kerugian yang terjadi pada korban dan untuk memberikan cara yang

konstruktif secara sosial bagi pelaku untuk dimintai pertanggungjawaban, dan di

sisi lain sambil menawarkan kemungkinan rehabilitasi seluas-luasnya.83 Bahwa

restitusi tidak hanya dipandang sebagai mekanisme untuk mengganti kerugian

korban melainkan juga digunakan sebagai jalan untuk memperbaiki hubungan

korban dengan pelaku dalam konstruksi sosial di mana pelaku diberikan

kesempatan untuk mempertanggungjawabkan kejahatannya secara langsung yang

diharapkan dapat membuat korban membuka jalan rehabilitasi bagi pelaku.

Dengan kata lain, kemungkinan akan mekanisme restitusi harus disediakan pada

setiap peristiwa pidana.

Kompensasi korban kejahatan merupakan salah satu pilar pendampingan

korban. Bagi banyak korban di seluruh dunia, ini berfungsi sebagai alat utama

bantuan keuangan akibat tindak pidana. Ada satu perbedaan penting antara

restitusi dan kompensasi sebagai dua sumber bantuan keuangan bagi korban

83 United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention, Op.Cit., h. 47

Page 58: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

70

kejahatan yaitu: kompensasi tidak memerlukan pemahaman dan keyakinan pelaku

untuk memberikan bantuan keuangan kepada korban. Meskipun dampak fisik dan

psikologis dari kejahatan mungkin merupakan akibat kejahatan yang paling nyata

dan serius, dampak keuangannya juga dapat berbahaya bagi korban.84 Dalam

deklarasi tersebut dikatakan bahwa kompensasi berkaitan dengan kewajiban

negara sebagaimana tertulis pada tabel sebelumnya. Terlihat bahwa deklarasi

tersebut ingin menyatakan bahwa kompensasi merupakan salah satu bentuk

kewajiban negara yang diusuahakan semaksimal mungkin untuk memberikan

perlindungan kepada warga negaranya terutama bagi korban tindak pidana berat

dan keluarganya yang terdampak.

Langkah pertama untuk memberikan bantuan kepada korban yaitu

pemerintah dan/atau lembaga masyarakat harus membuat program layanan korban

yang tepat, yang didedikasikan untuk memberikan layanan kepada korban dan

membantu mereka mengatasi efek traumatis dari suatu tindak pidana dan

akibatnya. Bantuan yang dimaksud dalam deklarasi tidak berbeda jauh dengan

bantuan yang sudah kita kenal selama ini. Akan tetapi, assistance dalam deklarasi

tersebut lebih menekankan pada bagaimana pemberian bantuan itu dilakukan.

Artinya bahwa pemberian bantuan terhadap korban harus dibekali dengan

program yang tepat dan jelas agar dapat diakses oleh korban serta harus didukung

dengan kepekaan aparat penegak hukum untuk mengedapankan hak-hak yang

harus dipenuhi bagi korban.

Perlindungan korban penyalahgunaan kekuasaan juga menjadi bagian

penting dalam deklarasi ini. Hal ini berkaitan dengan “secondary victimization

84 Ibid., h. 44.

Page 59: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

71

from the criminal justice system and society” di mana korban yang mengalami

kerugian kembali dikorbankan dalam proses peradilan bahkan saat kemabali ke

masyarakat. Secondary victimization mengacu pada viktimisasi yang terjadi bukan

sebagai akibat langsung dari tindak pidana tetapi melalui tanggapan lembaga dan

individu kepada korban.85 Secondary victimization yang berasal dari institusi

paling terlihat dalam sistem peradilan pidana. Secara sederhana, seluruh proses

investigasi kriminal dan persidangan dapat menyebabkan secondary victimization,

mulai dari penyidikan, melalui keputusan apakah akan menuntut atau tidak,

persidangan itu sendiri dan pemidanaan pelaku, hingga pembebasannya pada

akhirnya. Secondary victimization melalui proses peradilan pidana dapat terjadi

karena kesulitan dalam menyeimbangkan hak-hak korban dengan hak-hak

terdakwa atau pelaku. Lazimnya, ini terjadi karena mereka yang bertanggung

jawab untuk menjalankan proses dan prosedur peradilan pidana melakukannya

tanpa mempertimbangkan perspektif korban.86

Sikap individu terhadap korban juga merupakan hal yang penting. Beberapa

orang yang berhubungan dengan korban (misalnya keluarga, teman, dan kolega)

mungkin ingin menjauhkan diri dari dampak kejahatan dengan menyalahkan

korban atas apa yang telah terjadi. Mereka mungkin memandang perilaku korban

sebagai penyebab, atau bahkan menyebabkan, timbulnya korban. Mereka

mungkin menyangkal dampak kejahatan terhadap korban dengan mendesaknya

untuk melupakan kejahatan tersebut dan melanjutkan hidupnya. Keluarga bisa

menjadi pengaruh yang sangat kuat dalam hal ini.87 Para korban penyalahgunaan

85 Ibid., h. 9. 86 Ibid. 87 Ibid.

Page 60: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

72

kekuasaan mengalami kesulitan khusus untuk mendapatkan pengakuan atas fakta

bahwa mereka telah menjadi korban. Inti dari penyalahgunaan kekuasaan adalah

bahwa hal itu dilakukan oleh mereka yang diharapkan dapat melindungi korban

tersebut.88

1.3. Analisis

1.3.1. Perubahan Politik Hukum Pidana Indonesia dalam Perlindungan

Korban

Indonesia dalam Pasal 1 ayat (3) menyebut dirinya sebagai negara hukum.

Hal tersebut berarti bahwa Indonesia mengusahakan perlindungan dan pengakuan

terhadap hak asasi manusia sebagai salah satu ciri negara hukum. Perlindungan

terhadap korban kejahatan pun demikian, bahwa pada dasarnya perlindungan

korban merupakan pengejawantahan dari perlindungan hak asasi manusia itu

sendiri. Dalam melakukan kewajibannya untuk melindungi warga negara, salah

satu mekanisme yang dilakukan oleh negara yaitu melalui pembentukan peraturan

perundang-undangan. Dalam konteks perlindungan korban berarti negara

mengusahakan perlindungan melalui kebijakan hukum pidana yang

mengedapankan pemenuhan terhadap hak-hak korban.

Arah dari pengaturan perlindungan terhadap korban kejahatan dapat dilihat

dari politik hukum yang digunakan. Seperti yang telah dijelaskan oleh penulis

dalam kajian teori sebelumnya, pembicaraan mengenai politik hukum berisikan

penggambaran usaha penemuan hukum oleh pembentuk peraturan perundang-

88 Ibid.

Page 61: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

73

undangan yang kemudian dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang

mereka hasilkan. Politik hukum yang disebut juga sebagai legal policy merupakan

kebijaksanaan dari pembentuk peraturan perundang-undangan untuk menentukan

arah atau tujuan yang dijadikan sebagai dasar pijak dan cara untuk membentuk

serta melaksanakan hukum yang dikonretkan. Bahwa dalam hal politik hukum

pidana (penal policy) yang disamakan dengan terminologi kebijakan hukum

pidana merupakan usaha untuk membuat dan melaksanakan peraturan perundang-

undangan pidana yang baik. Tujuan dari politik hukum pidana tidak hanya

berhenti pada ketentuan peraturan perundang-undangan pidana saja melainkan

lebih daripada itu. Tujuan yang lebih besar yaitu integrasi dari setiap pihak yang

berwenang, tidak hanya pada taraf pembuatan kebijakan melainkan juga hingga

pada taraf pelaksanaannya. Tujuan-tujuan tersebut terkandung di dalam peraturan-

peraturan, prosedur, hingga mekanisme pelaksanaan yang tentunya harus juga

dijiwai oleh pembuat dan pelaksananya.

Perkembangan politik hukum pidana perlindungan korban kejahatan dapat

dilihat dari adanya perubahan bentuk perlindungan atau dari bentuk keadilan yang

ditekankan. Telah penulis kemukakan bahwa terdapat bentuk perlindungan korban

secara langsung dan tidak langsung serta bentuk keadilan retributif dan restoratif.

Adapun terdapat perbedaan yang mendasar antara perlindungan korban secara

langsung dan tidak langsung di mana perlindungan secara langsung merupakan

perlindungan yang diberikan atas dasar kerugian yang dialami korban baik

kerugian secara materiil maupun imateriil sedangkan yang bersifat tidak langsung

diberikan melalui pemidanaan pelaku. Dari dari segi konsep keadilan pun

demikian, elemen-elemen keadilan retributif yaitu pembalasan, pemidanaan,

Page 62: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

74

isolasi, stigmatisasi, dan penjeraan sedangkan keadilan restoratif memiliki elemen

konsensasi, mediasi, rekonsiliasi, penyembuhan, dan pemaafan.

Bentuk perlindungan dan keadilan terhadap korban tersebut di atas dapat

kita lihat pengaturannya dalam KUHP dan KUHAP. KUHP sebagai hukum

materiil dan lex generalis secara umum hanya berfokus pada unsur-unsur tindak

pidana, pertanggungjawaban pelaku kejahatan, dan ancaman pidananya yang

dalam proses penegakkannya juga berlaku keadaan-keadaan yang meringankan

pelaku. Hal ini didasarkan atas pengaturan perlindungan korban yang masih

terbatas dan minim yang dapat dilihat dalam pasal 14c KUHP bahwa pelaku

memberikan ganti kerugian yang mana terbuka bila pidana yang dijatuhkan

merupakan pidana percobaan. Barda Nawawi Arief bahkan menyatakan bahwa

dalam aturan umum KUHP tidak dikenal jenis pidana ganti rugi. Ganti rugi bukan

sebagai salah satu bentuk/jenis pidana, tetapi justru hanya sebagai syarat bagi

terpidana untuk tidak menjalani pidana pokok atau dengan kata lain bahwa ide

dasar pidana bersyarat dalam KUHP tetap berorientasi pada pelaku tindak pidana

dan tidak berorientasi pada korban tindak pidana.89 Sehingga dapat dikatakan

bahwa ganti rugi dalam KUHP bukan merupakan sanksi pidana yang bisa berdiri

sendiri dikarenakan tidak dapat dijatuhkan apabila hakim tidak terlebih dahulu

menjatuhkan pidana bersyarat. Hal tersebut juga menunjukkan adanya

ketimpangan pengaturan perlindungan antara pelaku dan korban di mana

pengaturannya tidak didasarkan atas adanya kerugian korban melainkan

menitikberatkan pada syarat bagi terpidana untuk tidak menjalani pidana pokok.

89 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan..., Loc.Cit., h. 62.

Page 63: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

75

Dikaitkan dengan politik hukum pidana, Soedarto mengungkapkan bahwa

melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan pidana paling baik dalam arti memenuhi

syarat keadilan dan daya guna.90 Bahwa kebutuhan hukum masyarakat akan

pentingnya perlindungan korban telah mengalami pergeseran perspektif dari

keadilan retributif kepada keadilan restoratif yang artinya dibutuhkan mekanisme

selain yang diatur dalam Pasal 14c KUHP yang lebih mengakomodir kepentingan

korban. Bahwa dari segi daya guna atau kemanfaatan, tidak ada manfaat nyata

yang didapatkan oleh korban selain dari terpenuhinya rasa batiniah di mana

pelaku dijatuhkan pidana sebagaimana diatur dalam KUHP. Dengan demikian

dapat dikatan bahwa KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang

secara konkret atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban,

misalnya dalam hal penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak

pidana terhadap korban atau keluarga korban. KUHP juga tidak merumuskan jenis

pidana restitusi (ganti rugi) yang sebenarnya bermanfaat bagi korban dan/atau

keluarga korban. Bahwa keterlibatan korban sebagian besar hanya untuk

pengungkapan suatu tindak pidana karena politik hukum dari KUHP cenderung

berkutat pada rumusan tindak pidana, pertanggungjawaban, dan ancaman pidana

dan di sisi lain menganut aliran neoklasik yang antara lain menerima berlakunya

keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang menyangkut

fisik, lingkungan, serta mental.

Sebagai bagian yang terintegrasi dengan KUHP, KUHAP sebagai hukum

formil yang berfungsi menegakkan hukum materiil tidak terlalu menunjukkan

90 Soedarto, Hukum Pidana..., Loc.Cit., dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Loc.Cit., h.

26-27.

Page 64: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

76

perbedaan yang signifikan dengan KUHP dalam hal perlindungan korban selain

daripada hak-hak prosedural korban. Terlihat dalam Pedoman Pelaksanaan

KUHAP lebih dipertegas mengenai tujuan KUHAP dengan menyatakan bahwa:91

“... dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan

melakukan suatu pelanggaran hukum, ...” dengan jelas menunjukkan bahwa

bentuk perlindungan terhadap korban yang diberikan yaitu melalui pemidanaan

pelaku sebagaimana salah satu elemen dalam keadilan retributif. Hal ini

disebabkan karena hukum pidana positif lebih mengasumsikan pada pelaku tindak

pidana yang dianggap mengganggu ketertiban dalam masyarakat daripada

mengganggu kepentingan hukum korban.

Sebenarnya selain mengatur hak-hak korban baik sebagai pihak yang

melakukan penuntutan ataupun sebagai saksi dalam suatu proses peradilan

pidana,92 KUHAP juga mengatur tentang perlindungan korban dalam hal ganti

kerugian pada Pasal 95 KUHAP dan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015

Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983

Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (PP No. 92

Tahun 2015) berkaitan dengan penangkapan, penahanan, penuntutan, dan

eksekusi yang artinya hanya berkiatan dengan kekeliruan mengenai orang atau

hukum yang diterapkan oleh penegak hukum bukan pada korban yang

dikorbankan lagi dalam proses peradilan. Selain itu, KUHAP juga menhatur

penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana pada Pasal

98-101. Akan tetapi, prosedur tersebut merupakan satu-satunya kemungkinan lain

perlindungan korban secara langsung yang diatur dalam KUHAP. Telah penulis

91 Andi Hamzah, Loc.Cit., h. 7-8. 92 Pasal 98-101, Pasal 46 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 233, Pasal 244, Pasal 168, Pasal 177 ayat (1),

Pasal 178 ayat (1), Pasal 229 ayat (1).

Page 65: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

77

kemukakan sebelumnya bahwa dalam prakteknya, tidak jarang bahwa prosedur

atau kemungkinan adanya ganti kerugian terhadap korban tersebut tidak

diberitahukan kepada korban baik oleh penuntut umum maupun oleh penasehat

hukum korban itu sendiri atas dasar bertambahnya kompleksitas perkara yang

ditangani. Sistem penggabungan perkara ganti kerugian tersebut dirasakan masih

belum menunjukkan hakekat dari tujuan ganti kerugian itu sendiri. Ganti kerugian

yang diakomodir dalam penggabungan perkara tersebut masih terbatas hanya

untuk kerugian materiil yang memang secara nyata dikeluarkan oleh korban yang

dirugikan. Hal tersebut berarti bahwa bagi kerugian imateriil korban terpaksa

harus mengajukan gugatan perdata lain secara terpisah dan kemungkinan besar

akan memakan waktu lama. Keadaan yang demikian justru mengaburkan hakekat

dari penggabungan perkara itu sendiri yang ditujukan untuk menyederhanakan

proses.

Dalam dalam peraturan perundang-undangan perlu termuat keadilan untuk

keseimbangan, kepastian untuk ketepatan, dan kemanfaatan untuk kebahagiaan

secara proporsional sebagai tujuan dari hukum begitu pun dengan KUHP dan

KUHAP. Dalam kaitannya dengan keadilan, sudah terlihat jelas bahwa

perkembangan perlindungan ke arah perspektif korban merupakan hal yang

dibutuhkan saat ini dilatarbelakangi adanya pergeseran perspektif dari keadilan

retributif kepada keadilan restoratif. Kemanfaatan itu sendiri dapat diartikan

sebagai optimalisasi dari tujuan sosial hukum, setiap hukum di samping

dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan sebagai tujuan akhir,

tetapi juga mempunyai tujuan sosial tertentu, yaitu kepentingan yang diinginkan

untuk diwujudkan melalui hukum, baik yang berasal dari orang perseorangan

Page 66: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

78

maupun masyarakat dari negara.93 Dengan dasar kepentingan korban yang harus

lebih diperhatikan untuk saat ini, maka kemanfaatan yang dihasilkan melalui

KUHP dan KUHAP berkaitan dengan perlindungan korban sudah tidak sesuai

dengan kebutuhan hukum saat ini atau belum memberikan manfaat perlindungan

yang proporsional. Berkaitan dengan pertentangan antara keadilan, kepastian, dan

kemanfaatan hukum, dalam teori hukum disebut sebagai antinomi yang pada

dasarnya mengandung arti bahwa kondisi yang bertentangan satu sama lain tetapi

tidak dapat dipisahkan karena sama-sama saling membutuhkan.94 Di sinilah

kebijaksanaan dan moralitas dari setiap pemegang kewenangan dibutuhkan untuk

mengeluarkan nilai-nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Bahwa memang

pada akhirnya kita tidak dapat menuntut kesempurnaan dari manusia, tetapi

setidaknya dapat diharapkan bahwa tidak ada kesengajaan untuk membuat sesuatu

lebih buruk padahal telah diketahuinya akan akibat tersebut. Berkaitan dengan

jenis hak-hak korban yang didapatkan oleh korban tersebut, KUHP dan KUHAP

berfokus pada model hak-hak prosedural yang didominasi oleh perlindungan

korban tidak langsung yang berarti juga bahwa perlindungan tersebut membawa

elemen-elemen keadilan retributif seperti pembalasan, pemidanaan, isolasi,

stigmatisasi, dan penjeraan.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat penulis katakan bahwa

perlindungan korban yang diberikan baik dalam KUHP maupun KUHAP masih

merupakan perlindungan yang bersifat terbatas. Perlindungan bagi korban belum

bersifat proporsional dibandingkan dengan perlindungan yang didapatkan oleh

pelaku. Perlindungan yang diberikan bagi korban merupakan perlindungan yang

93 Achmad Ali, Loc.Cit., dikutip dari Margono, Loc.Cit. 94 Margono, Ibid., h. 112.

Page 67: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

79

tidak langsung di mana perlindungan diberikan melalui pemidanaan pelaku yang

lebih ditekankan pada hak-hak korban untuk melakukan penuntutan di pengadilan

dan juga pada keterlibatan korban sebagai saksi. Sedangkan perlindungan secara

langsung yang disediakan bagi korban yaitu melalui penggabungan perkara ganti

kerugian yang ternyata masih memiliki kelemahan baik dari segi pengaturan dan

pelaksanaannya sehingga belum menggambarkan ganti kerugian yang

sebagaimana mestinya. Semakin jelas bahwa perlindungan korban yang diberikan

dalam KUHP dan KUHAP yaitu dengan cara memastikan setiap unsur delik

melalui keterlibatan saksi-saksi termasuk korban. Perlindungan yang demikian

berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan penulis merupakan politik hukum

perlindungan korban yang masih berpespektif pelaku yang mengusahakan atau

membuat dan merumuskan suatu perlindungan korban melalui pemidanaan pelaku

atau perlindungan tidak langsung. Atas dasar tersebut, maka diperlukan suatu

gagasan baru melalui peraturan perundang-undangan yang lebih mengakomodir

kepentingan korban atau dengan kata lain dengan politik hukum perlindungan

korban yang bersifat langsung.

Atas dasar pertimbangan perlindungan korban dalam KUHP dan KUHAP

yang masih berperspektif pelaku, dibentuklah peraturan perundang-undangan baru

yang diharapkan dapat memberikan perlindungan korban yang lebih baik.

Berkaitan perlindungan yang ada dalam KUHP dan KUHAP tersebut, dalam

Penjelasan Umum UU PSK 2006 sendiri sudah menyatakan bahwa: “... hanya

mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat

perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh

karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-

Page 68: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

80

undang tersendiri.” Perkembangan yang paling mencolok berkaitan dengan

perlindungan korban dari adanya undang-undang ini yaitu munculnya pemberian

kompensasi, restitusi, dan bantuan yang prosesnya dilakukan melalui LPSK.

Tentu hal tersebut merupakan perubahan yang signifikan di mana lebih banyak

bentuk dan peluang perlindungan secara langsung yang dapat diberikan kepada

korban. Akan tetapi, UU PSK 2006 tersebut juga masih memiliki kendala dari

segi kelembagaan dan pelaksanaannya sehingga tidak menghasilkan perlindungan

korban yang maksimal.

Menanggapi hal tersebut, UU PSK 2006 diamandemen hingga menjadi UU

PSK yang sekarang berlaku dikarenakan LPSK harus dikembangkan dan

diperkuat agar dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya dapat

sinergis dengan tugas, fungsi, dan kewenangan lembaga penegak hukum yang

berada dalam sistem peradilan pidana. Berkaitan dengan perlindungan korban,

dalam penjelasan umumnya dengan tegas menyatakan bahwa sejatinya peraturan

perundang-undangan tidak saja berorientasi kepada pelaku, tetapi juga

berorientasi kepada kepentingan saksi dan korban. Dalam UU PSK terbaru ini,

dilakukan penyempurnaan tidak hanya pada kelembagaan LPSK melainkan juga

berkaitan dengan restitusi, kompensasi, dan bantuan yang diberikan kepada

korban. Bantuan sebagai layanan yang diberikan oleh LPSK dalam bentuk

bantuan medis serta bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis mengalami

perkembangan. Pada Pasal 6 ayat (1) terjadi perluasan pemberian bantuan yang

diberikan kepada korban di mana sebelumnya hanya dimaknai untuk memulihkan

kondisi kejiwaan korban tetapi sekarang juga terdapat usaha untuk memulihkan

kembali keadaan korban di dalam masyarakat atau dengan kata lain membuat

Page 69: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

81

korban tetap mampu menjalani kehidupan sosialnya yang telah terganggu akibat

menjadi korban. Peran korban dalam perkaranya pun lebih dikembangkan

sebagaimana termuat dalam Pasal 5 ayat (1):

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga,

dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang

berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah

diberikannya;

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk

perlindungan dan dukungan keamanan;

c. memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

i. dirahasiakan identitasnya;

j. mendapat identitas baru;

k. mendapat tempat kediaman sementara;

l. mendapat tempat kediaman baru;

m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan

kebutuhan;

n. mendapat nasihat hukum;

o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas

waktu Perlindungan berakhir; dan/atau

p. mendapat pendampingan.

Namun, perlu penulis tegaskan bahwa tidak semua hak tersebut diberikan kepada

korban di mana tetap harus memperhatikan jenis korban dan tingkat ancaman

yang kemungkinan akan dihadapi korban terkait informasi yang dimilikinya

sebagai korban.

Berkaitan dengan kompensasi dan restitusi, Pasal 7 (1) UU PSK

menyatakan bahwa hak kompensasi diberikan kepada korban pelanggaran hak

asasi manusia berat, dan Pasal 7A (1) menyatakan bahwa korban tindak pidana

berhak memperoleh restitusi. Terdapat perbedaan mendasar terkait pemberian

kompensasi dan restitusi ini. Kompensasi diberikan oleh negara sebagai ganti

kerugian karena pelaku tidak marnpu memberikan ganti kerugian sepenuhnya

Page 70: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

82

yang menjadi tanggung jawabnya kepada korban melalui LPSK dan menggunakan

anggaran LPSK, sedangkan restitusi dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga.

Hal yang menjadi perhatian penulis yaitu terletak pada perubahan ketentuan

restitusi pada UU PSK terbaru dan peraturan pelaksananya PP No. 35 Tahun

2020. Mengenai restitusi memang disebutkan bahwa “korban tindak pidana

berhak memperoleh restitusi”. Akan tetapi, dalam Pasal 7A ayat (2) UU PSK

disebutkan bahwa: “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan dengan Keputusan LPSK.” Hal tersebut berarti bahwa tidak semua

tindak pidana dapat mendapatkan restitusi. Ayat (2) tersebut tidak memberikan

kejelasan atau bahkan dapat dikatakan tetap memberikan batasan peluang

pemberian restitusi pada korban suatu tindak pidana karena hanya terbatas pada

tindak pidana-tindak pidana tertentu saja. Padahal, pada pengaturan sebelumnya

hanya diatur bahwa korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi tanpa

memberikan batasan pada tindak pidana tertentu.

Berkaitan dengan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, UU PSK dan

peraturan pelaksananya sudah menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam

perlindungan korban dibandingkan dengan yang diatur dalam KUHP dan

KUHAP. Bahwa perkembangan perlindungan ke arah perspektif korban

merupakan sudah terjadi melalui pergeseran perspektif dari keadilan retributif

kepada keadilan restoratif. Tanpa meninggalkan elemen atau esensi dari

pemidanaan yang ada dalam keadilan retributif, elemen keadilan restoratif seperti

konsensasi, mediasi, rekonsiliasi, penyembuhan, dan pemaafan lebih terbuka

peluangnya karena pertanggungjawaban pelaku, keterlibatan negara, dan

pemulihan keadaan korban sudah diatur secara eksplisit dalam perundang-

Page 71: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

83

undangan yang baru. Bahwa dengan adanya pertanggungjawaban yang jelas bagi

pelaku sudah menjamin kepastian kedua belah pihak yang berperkara. Di satu sisi

pemberian ganti kerugian kepada korban harus melalui proses LPSK dan di lain

sisi pertimbangan hukum untuk menjatuhkan putusan bagi pelaku menjadi lebih

luas dan memiliki dasar hukum karena hakim dapat mempertimbangkan ganti

kerugian yang sudah diberikan oleh pelaku terhadap korban. Dari segi

kemanfaatan, perlindungan korban seperti membantu meringankan, melindungi,

dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga

mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar sangat menunjukkan

komitmen perlindungan korban yang tidak hanya melalui pemidanaan pelaku

tetapi memperhatikan keadaan korban ketika kembali ke masyarakat. Bahwa

berdasarkan pengaturan mengenai hak-hak korban tersebut, maka pada dasarnya

UU PSK telah mengakomodir lebih banyak hak-hak korban daripada sebelumnya.

UU PSK mengatur tentang prosedur ganti kerugian dalam bentuk kompensasi dan

restitusi yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP dan KUHAP. Artinya, hak-

hak korban tidak lagi hanya terbatas pada hak-hak prosedural dalam kaitannya

dengan perlindungan tidak langsung melainkan sudah mengakomodir penggantian

kerugian-kerugian baik yang bersifat fisik maupun psikis.

Perkembangan politik hukum perlindungan korban tindak pidana yang

dimulai sejak adanya KUHP dan KUHAP hingga UU PSK dan peraturan

pelaksananya terjadi dikarenakan kesadaran akan kebutuhan hukum di masyarakat

yang makin berkembang sehingga menuntut adanya perubahan. Penggambaran

perlindungan pada KUHP dan KUHAP merupakan penggambaran perlindungan

korban melalui pemidanaan pelaku atau merupakan perlindungan korban tidak

Page 72: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

84

langsung yang lebih condong pada pemenuhan elemen-elemen keadilan retributif.

Sekalipun disediakan prosedur ganti kerugian, prosedur tersebut masih jauh dari

esensinya sebagai ganti kerugian dan juga terhalang oleh proses yang tidak efektif

yang cenderung dihindari dan tidak dilaksanakan dalam proses peradilan.

Sehingga dapat penulis katakan bahwa politik hukum yang dipakai dalam KUHP

dan KUHAP merupakan politik hukum yang berorientasi pada pelaku karena di

samping tujuan diadakannya perundang-undangan tersebut yang digunakan untuk

memidanakan pelaku dan pengaturan tentang hak-hak pelaku dalam persidangan

yang dominan, KUHP dan KUHAP melakukan pengaturan perlindungan korban

masih dalam lingkup yang terbatas pada perannya sebagai saksi korban.

Pada perundang-undangan yang baru (UU PSK dan peraturan

pelaksananya), terjadi perkembangan perlindungan korban ke arah keadilan

restoratif yang signifikan di mana elemen-elemennya mengandung perlindungan

korban secara langsung. Perlindungan korbannya yaitu melalui penegasan hak-hak

korban baik yang sudah maupun yang belum diatur sebelumnya serta hak-hak

khusus seperti kompensasi, restitusi, dan bantuan yang mana meningkatkan

partisipasi korban dalam perkaranya serta dapat menanggulangi kerugian-kerugian

yang secara nyata dialami sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari

suatu tindak pidana, baik materiil maupun imateriil. Tersedianya prosedur-

prosedur ganti kerugian dan pemberian layanan ini tidak hanya menunjukkan

orientasi terhadap korban tetapi juga sebenarnya memberikan peluang bagi pelaku

untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang kemudian diharapkan dapat

menjadi usaha untuk memperbaiki hubungan dengan pihak korban dan menjadi

pertimbangan hakim dalam proses persidangan. Akan tetapi, prosedur ganti

Page 73: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

85

kerugian yang harus melewati LPSK terlebih dahulu bisa menjadi kelemahan

karena hal itu berarti bahwa ganti kerugian tidak terikat secara langsung dalam

proses peradilan melainkan membutuhkan keputusan dari pihak lain di luar proses

peradilan yaitu melalui keputusan LPSK. Namun, berkaitan dengan politik hukum

pidana sebagai usaha untuk mengetahui keadaan-keadaan di masyarakat yang

menuntut adanya perubahan-perubahan yang harus diadakan dalam hukum

pidananya untuk mecapai tujuan yang dicita-citakan, maka politik hukum

perlindungan korban kejahatan melalui perundang-undangan ini sudah lebih

menggambarkan politik hukum pidana yang berorientasi pada pelaku jika

dibandingan dengan pengaturan dalam KUHP dan KUHAP. Sebagaimana tujuan

dari politik hukum pidana tidak hanya berhenti pada ketentuan peraturan

perundang-undangan pidana saja melainkan lebih daripada itu, integrasi dari

setiap pihak yang berwenang, baik pada taraf pembuatan kebijakan hingga pada

taraf pelaksanaannya diharapkan dapat terjadi menyusul adanya perundang-

perundangan yang lebih baik.

1.3.2. Perlindungan Korban di Indonesia Dibandingkan dengan Declaration

of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power

Perlunya kepentingan korban kejahatan memperoleh perhatian yang lebih

dapat di lihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power oleh PBB, sebagai hasil dari Kongres ke-7

(tujuh) PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Pelaku Kejahatan (The

Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of

Page 74: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

86

Offenders), di Milan, Italia, bulan September tahun 1985.95 Telah penulis

kemukakan sebelumnya bahwa deklarasi tersebut dibentuk berdasarkan keyakinan

bahwa para korban harus diperlakukan dengan belas kasih dan dihormati

martabatnya dan bahwa mereka berhak untuk segera mendapatkan ganti rugi atas

kerugian yang mereka derita, melalui akses kepada sistem peradilan pidana,

perbaikan dan layanan untuk membantu pemulihan mereka. Deklarasi tersebut

merekomendasikan tindakan yang harus diambil atas nama korban kejahatan di

tingkat internasional, regional dan nasional untuk meningkatkan akses terhadap

keadilan dan perlakuan yang adil, restitusi, kompensasi dan bantuan.

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia dan bahwa korban juga

merupakan warga negaranya memiliki kewajiban untuk memenuhi perlindungan

korban yang sebagaimana mestinya. Perlindungan yang dapat diberikan dalam

kaitannya dengan politik hukum yaitu dengan membuat kebijakan yang tidak

hanya berfokus pada pelaku kejahatan melainkan juga harus berorientasi pada

korban serta memastikan bahwa kebijakan perlindungan korban tersebut

dijalankan melalui instansi-instansi yang berkaitan dengan perlindungan korban.

Untuk itu, diperlukan suatu pembanding atau tolak ukur bagi perlindungan korban

kejahatan di Indonesia yang dapat menyatakan bahwa perlindungan korbannya

sudah terpenuhi atau setidak-tidaknya memiliki tolak ukur yang jelas mengenai

bentuk perlindungan korban yang ada. Instrumen pembanding tersebut yaitu

Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of

Power. Di samping merupakan hasil pembahasan pada tingkat internasional,

perlindungan korban yang dimuat dalam deklarasi tersebut juga merupakan hasil

95 Bambang Widiyantoro, Op.Cit., h. 3.

Page 75: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

87

kajian dari praktek-praktek negara lain yang melaksanakan perlindungan korban

kejahatan baik praktek yang menghasilkan perlindungan korban yang efektif

maupun praktek yang dianggap sudah tidak atau kurang efektif bagi korban.

Seperti contoh yang disebutkan dalam Handbook on Justice for Victims: On the

use and application of the Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of

Crime and Abuse of Power bahwa berbagai yurisdiksi telah mencoba menjawab

tantangan perlindungan korban dan memperkuat posisi korban, serta memastikan

akses pada layanan yang sesuai. Salah satu seruan paling awal untuk reformasi

datang dari Margery Fry di Inggris Raya dan Irlandia Utara, yang selama awal

1950-an memperjuangkan tempat penampungan bagi wanita yang korban

kekerasan, skema kompensasi negara bagi korban kejahatan, dan juga

mendamaikan korban dengan pelaku. Skema kompensasi negara pertama untuk

korban kejahatan kekerasan diadopsi di Selandia Baru pada tahun 1963. Contoh

lain dari reformasi awal termasuk undang-undang perlindungan anak tahun 1955

di Israel, dan pendirian tempat penampungan bagi korban kekerasan dalam rumah

tangga dan pusat krisis bagi korban kekerasan seksual di Inggris Raya pada awal

tahun 1970-an.96

Dalam hasil penelitian penulis, pengaturan perlindungan korban kejahatan

di Indonesia sebagian besar diatur di dalam UU PSK sebagai lex specialis yaitu

undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perlindungan korban (dan

juga saksi) serta peraturan pelaksananya. Pada UU PSK tersebut, perlindungan

korban diberikan melalui pemenuhan hak-hak korban baik yang sebelumnya

belum diatur ataupun yang sudah diatur kemudian lebih disempurnakan. Aspek

96 United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention, Op.Cit., h. 2.

Page 76: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

88

perlindungan pada UU PSK yang menjadi fokus analisis penulis yaitu pada

keberadaan kompensasi, restitusi, dan bantuan yang diberikan kepada korban

sebagai bentuk perlindungan langsung. Bahwa dalam Declaration of Basic

Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power pun sudah

dijelaskan mengenai kompensasi, restitusi, dan bantuan tersebut serta alasan

dibalik diadakannya ketiga hal itu sebagai bentuk penguatan dari perlindungan

korban yang ada selama ini.

Dalam deklarasi tersebut, tujuan dari diadakannya kompensasi yaitu sebagai

bantuan keuangan utama yang berasal dari negara untuk memperbaiki kerugian

keuangan yang bisa mengakibatkan terganggunya stabilitas keuangan yang timbul

setelah menjadi korban tindak pidana. Secara umum, syarat untuk mendapatkan

kompensasi yaitu korban harus tidak bersalah atas tindak pidana tersebut dan

berkontribusi untuk kejahatan itu, melaporkan kejahatan tersebut segera ke polisi,

bekerja sama dengan sistem peradilan pidana dan menyerahkan dokumentasi

kerugian pada program kompensasi. Syarat khususnya yaitu korban yang

mengalami cedera tubuh yang signifikan atau gangguan kesehatan fisik atau

mental sebagai akibat dari tindak pidana berat atau keluarga yang berada dalam

tanggungannya, secara khusus bagi orang yang telah meninggal atau menjadi

secara fisik atau mental tidak lagi mampu sebagai akibat dari tindak pidana

tersebut. dalam buku pedomannya, dinyatakan bahwa sebagai hak yang esensial

dan fundamental dari semua korban kejahatan, informasi tentang ketersediaan

manfaat, proses pengajuan dan persyaratan program kompensasi harus

dipublikasikan secara luas. Informasi tentang keberadaan kompensasi oleh negara

perlu untuk disebarluaskan. Namun, penelitian menunjukkan bahwa ini adalah

Page 77: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

89

bagian di mana diperlukan sebuah kerja keras karena banyak program kompensasi

oleh negara tidak diajukan sampai pada tenggat waktu pengajuan. Bahwa sangat

penting bagi semua orang yang berhubungan dengan korban diberikan informasi

tentang kemungkinan pengajuan kompensasi.97

Meskipun tidak ada jumlah uang yang dapat menghapus trauma dan

kesedihan yang diderita oleh para korban kejahatan, bantuan keuangan dapat

menjadi sangat penting dalam membantu banyak orang melalui proses pemulihan.

Bagi sebagian korban, dana ini dapat membantu menjaga stabilitas dan martabat

hidup mereka. Untuk dipertimbangkan sebagai pihak yang berhak untuk

mendapatkan kompensasi, korban atau anggota keluarga yang masih hidup harus

terlebih dahulu mengajukan formulir permohonan kompensasi. Biasanya, korban

dapat belajar tentang ketersediaan manfaat kompensasi dan menerima formulir

aplikasi dari polisi, penyedia bantuan korban, jaksa penuntut, atau tenaga medis

dan kesehatan mental profesional. Bagi banyak korban kejahatan, melewatkan

tenggat waktu pengajuan aplikasi adalah salah satu bentuk paling menyakitkan

dari “secondary victimization” setelah menjadi korban.98 Hal ini dikarenakan

pihak korban tidak mengetahui dan tidak diberitahu tentang keberadaan

kompensasi tersebut padahal ketentuan tersebut sudah diatur dan sepatutnya

menjadi haknya untuk memulihkan keadaan akibat dampat suatu tindak pidana.

Pada UU PSK sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan

deklarasi tersebut mengenai kompensasi. Ketentuan di mana kompensasi

diberikan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia berat juga termuat di

97 Ibid., h. 45. 98 Ibid.

Page 78: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

90

dalam UU PSK serta telah diatur mengenai mekanisme untuk mendapatkannya.

Mengenai pengecualian bagi korban-korban tertentu untuk mendapatkan

kompensasi tanpa melalui proses pengajuan juga sudah diatur dalam UU PSK.

Catatan penting dari dari deklarasi tersebut yaitu pada peran aparat penegak

hukum dan juga instansi-instansi terkait dalam memperjuangkan hak kompensasi

bagi korban. Dinyatakan bahwa strategi pemberitahuan yang efektif dan kegiatan

penyadaran publik tentang mekanisme kompensasi harus melibatkan pelatihan

untuk aparat kepolisian, penasehat hukum, pekerja sosial dan semua profesional

terkait lainnya, dan pengumuman layanan publik melalui berbagai media seperti

radio, televisi, brosur informasi, baliho dan poster.99 Seperti yang telah penulis

paparkan mengenai penguatan LPSK sebagai salah satu alasan perubahan UUU

PSK 2016 yang menjadi ujung tombak perlindungan korban, bahwa kinerja LPSK

sebelumnya kurang maksimal di samping keterbatasan wewenang, faktor

ketidaktahuan korban dan pemberitahuan informasi yang terbatas bagi korban

juga menjadi alasan. Keberadaan LPSK ini juga bisa menjadi kelemahan dari

sistem pemberian perlindungan secara langsung kepada korban di Indonesia

karena diajukan secara terpisah di luar proses peradilan pidana. Jika demikian,

maka ha tersebut tidak memenuhi perlindungan korban sebagaimana yang

diharapkan dalam deklarasi ini yaitu perlindungan korban yang dapat secara cepat,

adil, murah dan mudah diakses.

Bentuk perlindungan yang kedua yaitu restitusi. Dalam deklarasi tersebut,

tujuan dari diadakannya restitusi yaitu sebagai cara untuk menanggulangi

beberapa kerugian yang terjadi pada korban dan untuk memberikan cara yang

99 Ibid.

Page 79: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

91

konstruktif secara sosial bagi pelaku untuk dimintai pertanggungjawaban, dan di

sisi lain sambil menawarkan kemungkinan rehabilitasi seluas-luasnya.100 Restitusi

adalah alat penting dalam peradilan pidana. Oleh karena itu, sangat penting bagi

para korban dan untuk tujuan keadilan bahwa model yang efektif dikembangkan

untuk memungkinkan banyak profesional yang terlibat dalam proses peradilan

agar menjalankan tanggung jawab mereka secara efektif. Nilai yang dibangun

dalam restitusi ini menurut deklarasi tersebut yaitu untuk berusaha menjalin

hubungan antara korban dan pelaku dalam upaya meningkatkan rasa tanggung

jawab pelaku kepada korban dan masyarakat. Dalam deklarasi tersebut, restitusi

dapat diterapkan dengan berbagai cara di berbagai titik di seluruh proses peradilan

pidana: sebagai syarat masa percobaan, sebagai sanksi itu sendiri atau sebagai

hukuman tambahan. Meskipun restitusi sering diberlakukan secara wajib, hal itu

dapat dilakukan secara sukarela oleh pelakunya juga. Ganti rugi kepada korban

cedera bisa efektif sebagai tindakan hukuman dan juga ganti rugi finansial. Jika

digunakan sebagai hukuman, restitusi harus berasal dari sumber pelanggar sendiri

(baik sebagai uang atau sebagai layanan) dan harus menjadi bagian dari hukuman

pengadilan pidana yang terkait dengan disposisi kasus.101

Penilaian korban jiwa merupakan proses kompleks yang dapat berlangsung

dalam berbagai cara. Di beberapa yurisdiksi, jaksa bernegosiasi langsung dengan

pembela, setelah membuktikan semua kerugian dengan korban. Dalam kasus lain,

penilaian kerugian dapat dilakukan hanya oleh petugas percobaan sebagai bagian

dari penyelidikan hukuman pra-sidang. Tidak peduli bagaimana prosesnya,

korban pada umumnya diharuskan untuk menunjukkan tanda terima atau bukti

100 Ibid., h. 47. 101 Ibid.

Page 80: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

92

lain untuk mendukung kerugian yang sebenarnya diderita. Di Kanada, KUHP-nya

menetapkan bahwa restitusi dapat diperintahkan sebagai hukuman tambahan

untuk menutupi kerugian yang “dapat dipastikan”. Beberapa yurisdiksi telah

membuat pengaturan khusus untuk mendorong restitusi dini oleh pelaku,

misalnya, dengan mengesampingkan tindakan lebih lanjut jika restitusi

dibayarkan.102

Berkaitan dengan restitusi dalam UU PSK, perbedaan mendasar yaitu pada

kemungkinan adanya pembatasan bentuk tindak pidana yang boleh menerapkan

restitusi. Dalam Pasal 7A ayat (2) UU PSK berkaitan dengan korban tindak

pidana yang mendapatkan restitusi, disebutkan bahwa: “Tindak pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK.” Hal

tersebut berarti bahwa tidak semua tindak pidana dapat mendapatkan restitusi.

Ayat (2) tersebut tidak memberikan kejelasan atau bahkan dapat dikatakan tetap

memberikan batasan peluang pemberian restitusi pada korban suatu tindak pidana

karena hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu saja. Jika

dibandingkan dengan restitusi yang ada pada Declaration of Basic Principle of

Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, justru terlihat lebih fleksibel di

mana restitusi diadakan untuk berusaha menjalin hubungan antara korban dan

pelaku dalam upaya meningkatkan rasa tanggung jawab pelaku kepada korban

dan masyarakat. Sepanjang ada kesalahan yang perlu dipertanggungjawabkan oleh

pelaku kepada korban, berarti restitusi tidak dibatasi pada tindak pidana tertentu

saja. Di sinilah letak keunggulan dari restitusi di mana memberikan cara yang

konstruktif secara sosial bagi pelaku untuk dimintai pertanggungjawaban. Namun,

102 Ibid.

Page 81: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

93

rasanya hal ini belum terlihat dalam restitusi yang diatur dalam UU PSK

walaupun sudah diatur bahwa restitusi itu berasal dari pelaku.

Bentuk yang ketiga yaitu bantuan yang termasuk juga di dalamnya yaitu

layanan. Berdasarkan buku panduan deklarasi tersebut, langkah pertama untuk

memberikan bantuan kepada korban yaitu pemerintah dan/atau lembaga

masyarakat harus membuat program layanan korban yang tepat, yang

didedikasikan untuk memberikan layanan kepada korban dan membantu mereka

mengatasi efek traumatis dari suatu tindak pidana dan akibatnya. Program harus

memiliki kemampuan menyediakan sistem layanan yang komprehensif kepada

korban. Jika mereka menawarkan layanan yang lebih terbatas, layanan tersebut

harus dikoordinasikan dengan layanan lain untuk memastikan kesinambungan

dukungan bagi para korban. Selain itu, program bantuan bagi korban harus

mengupayakan untuk mempromosikan kesadaran publik yang luas tentang

masalah korban. Mereka juga harus mengembangkan dan menyebarluaskan

standar praktik yang dapat diterima (kode etik) untuk melindungi korban dari

sensasionalisme dan publisitas, yang kemungkinan akan menambah viktimisasi

mereka. Idealnya, layanan korban harus disiapkan untuk membantu semua

korban. Namun, berdasarkan sumber daya, keahlian staf program, lembaga yang

ada, dan analisis kebutuhan yurisdiksi, program didesak untuk memprioritaskan

pelaksanaan layanan dan secara bertahap dalam layanan penuh bagi korban

selama periode waktu tertentu. Dalam menetapkan prioritas, program didorong

untuk menggunakan pendekatan sistematis untuk memperhitungkan tingkat

keparahan peristiwa dan dampaknya pada korban. Korban harus diberitahu

tentang ketersediaan layanan kesehatan dan sosial serta bantuan lain yang relevan

Page 82: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

94

dan yang mudah diberikan akses kepada mereka.103 Kepolisian, lembaga

peradilan, kesehatan, layanan sosial dan aparat lain yang terkait harus menerima

pelatihan untuk membuat mereka peka terhadap kebutuhan korban, dan pedoman

untuk memastikan bantuan yang tepat dan cepat.

Tampaknya, bantuan yang dikehendaki dalam deklarasi tersebut sudah

cukup tergambarkan dalam UU PSK terbaru di mana terdapat pembaruan dan

pengembangan layanan dan bantuan terhadap korban. Hal ini terlihat dalam

pemberian bantuan yang diberikan kepada korban kejahatan yang mengalami

peningkatan dari yang sebelumnya hanya berupa bantuan medis dan psikologis

ditambahkan lagi satu bentuk bantuan yaitu rehabilitasi psikososial yang dalam

penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b mengartikannya sebagai semua bentuk

pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu

meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan

spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara

wajar, antara lain LPSK berupaya melakukan peningkatan kualitas hidup korban

dengan melakukan kerja sama dengan instansi terkait yang berwenang berupa

bantuan pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan memperoleh pekerjaan, atau

bantuan kelangsungan pendidikan. Bahwa bantuan dalam deklarasi tersebut

melindungi korban dari sensasionalisme atau diperlakukan secara berlebihan oleh

masyarakat dan publisitas, yang dikhawatirkan dapat menjadi reviktimisasi bagi

korban.

Perbedaan perlindungan korban yang ada di antara Declaration of Basic

Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power dan UU PSK

103 Ibid., h. 15.

Page 83: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

95

menurut penulis bukanlah perbedaan yang menunjukkan perbedaan nilai

perlindungan korban yang signifikan. Pada satu sisi deklarasi tersebut

mengharapkan perlindungan korban yang lebih maksimal dan di sisi lain UU PSK

sudah ada dalam jalur tersebut tetapi masih membutuhkan beberapa

pengembangan baik pada pengaturan dan juga pelaksanaannya. Secara struktur,

UU PSK sudah memiliki tiga bentuk atau mekanisme perlindungan korban yang

terdapat di dalam deklarsi tersebut yaitu kompensasi, restitusi, dan bantuan. Akan

tetapi, UU PSK kurang memiliki fleksibilitas dari segi pelaksanaannya. Di satu

sisi keberadaan LPSK merupakan angin segar perlindungan korban di Indonesia

namun di sisi lain bisa berpeluang menjadi penghambat proses perlindungan

korban karena alasan prosedural. Dalam hal lain, penerapan khususnya berkaitan

dengan restitusi juga bersifat terbatas. Bahwa kompensasi dan bantuan diberikan

pada korban kejahatan tertentu dapat dipahami karena adanya skala priositas dan

menggunakan anggaran negara. Namun, restitusi dalam UU PSK juga hanya

untuk tindak pidana tertentu saja yang berarti bahwa ketiga mekanisme yang

semuanya bersifat terbatas. Faktanya, kerugian pasti akan selalu ada dan melekat

pada korban tindak pidana manapun. Pembedanya yaitu pada tingkat kerugiannya

yang artinya bahwa seharusnya opsi untuk menuntut ganti kerugian tetap harus

dibuka untuk setiap korban tindak pidana. Tujuan itulah yang ada dalam

Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of

Power mengenai restitusi, di samping memberikan ganti kerugian kepada korban,

restitusi juga merupakan juga cara yang konstruktif secara sosial bagi pelaku dan

korban. Bahwa dengan pelaksanaan kewajiban memberikan restitusi oleh pelaku,

telah terdapat keinginan pelaku untuk bertanggung jawab yang memungkinkan

Page 84: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

96

dapat terjadinya penangguhan tindak pidana yang mana berarti juga sudah

memenuhi salah satu asas hukum pidana yaitu ultimum remidium atau sebagai

upaya terakhir.

Hal lain dalam deklarasi yang belum sepenuhnya diatur dalam perundang-

undangan Indonesia yaitu berkaitan dengan perlindungan korban penyalahgunaan

kekuasaan. Bahwa korban masih tetap berpotensi dikorbankan kembali dalam

proses peradilan pidana maupun saat kembali ke masyarakat. Dalam konteks

Indonesia, tindakan untuk menghadapi kemungkinan tersebut belum memiliki

standar baku yang harus dijalankan oleh aparat penegak hukum maupun

masyarakat. Esensi dari adanya perlindungan korban penyalahgunaan kekuasaan

ini sebenarnya yaitu untuk melindungi korban karena tidak mendapatkan

perlindungan dari pihak-pihak yang seharusnya diharapkan dapat melindungi

korban tersebut. Di mana alasan terbesar dari hal tersebut yaitu bahwa mereka

yang bertanggung jawab untuk menjalankan proses dan prosedur peradilan pidana

melakukannya tanpa mempertimbangkan perspektif korban.104 Dengan demikian,

dapat penulis katakan bahwa perlindungan korban kejahatan di Indonesia pada

dasarnya sudah berada pada politik hukum yang sudah lebih berorientasi pada

korban daripada sebelumnya namun belum sepenuhnya menjangkau

perkembangan hukum hak asasi manusia internasional terutama dalam hal

perlindungan korban kejahatan.

Hal lain yang menjadi catatatan penting dari deklarasi tersebut yang patut

untuk diperhatikan dalam pelaksanaan perlindungan korban di Indonesia yaitu

ketersediaan informasi terkait dengan mekanisme perlindungan korban yang ada.

104 Ibid., h. 9.

Page 85: BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS 1.1

97

Akan menjadi sia-sia jika pihak korban tidak mengetahui dan tidak diberitahu

tentang keberadaan kompensasi tersebut padahal ketentuan tersebut sudah diatur

dan sepatutnya menjadi haknya untuk memulihkan keadaan akibat dampat suatu

tindak pidana. Bahwa memang keberadaan pembaruan perlindungan korban

kejahatan ini menambah kompleksitas perkara pidana, tetapi menurut penulis hak-

hak korban yang baru saja ditingkatkan seharusnya patut diperjuangkan agar

terpenuhinya hasrat akan pemberian perlindungan terhadap korban. Keberadaan

sumber daya manusia yang mendukung juga disebutkan oleh deklarasi tersebut di

mana kebijakan sebaik apapun tidak akan berjalan maksimal jika pelaksananya

tidak memiliki kemampuan tersebut. Adanya pergeseran perspektif perlindungan

korban yang sudah mengalami pembaruan ke arah yang lebih berorientasi pada

korban ini sudah sepatutnya menjadi momentum untuk semakin memperbaiki

tatanan hukum pidana Indonesia baik dari segi kebijakannya maupun aparat

penegak hukum dan instansi-instansi terkait.