bab ii kerangka teori, hasil penelitian, dan analisis 1.1
TRANSCRIPT
13
BAB II
KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS
1.1. Kerangka Teori
1.1.1. Politik Hukum Pidana
Perkembangan kebutuhan akan hukum di tengah masyarakat merupakan
keniscayaan. Termasuk di dalamnya kebutuhan akan pembaruan hukum pidana.
Masyarakat yang dinamis menuntut pembentuk peraturan perundang-undangan di
bidang hukum pidana untuk selalu melakukan penginterpretasian hukum yang
dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat tersebut. Peraturan perundang-
undangan di bidang hukum pidana yang tidak didasarkan atas kebutuhan hukum
masyarakat pada akhirnya hanya akan sekedar menjadi produk politik semata dan
kehilangan citranya sebagai hukum. Adanya permasalahan yang ingin ditangani
dan/atau tujuan tertentu dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan
di bidang hukum pidana dapat ditelaah melalui studi tentang politik hukum yang
digunakan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Untuk itu diperlukan
suatu tinjauan terhadap politik hukum itu sendiri sebelum masuk pada tinjauan
politik hukum pidana.
Secara etimologis, istilah politik hukum berasal dari terjemahan Belanda
rechpolitiek yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan politiek.1 Recht
yang diterjemahkan sebagai hukum menurut hemat penulis berdasarkan
perkuliahan-perkuliahan atau pendidikan hukum yang telah dilalui merupakan
norma yang berisi aturan-aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis tentang
1 Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, h. 19.
14
sesuatu yang ideal atau yang seharusnya dalam rangka penataan suatu masyarakat
untuk mencapai keadilan dan damai sejahtera. Studi tentang pengertian hukum itu
sendiri dirasa penulis tidak akan dibahas lebih lanjut dalam cakupan penelitian ini
dikarenakan penulis akan lebih memfokuskan secara langsung pada studi tentang
politik hukum. Politik (politiek) itu sendiri bersumber dari bahasa Yunani politika
yang diartikan sebagai yang berhubungan dengan negara.2 Sudarto memaknai
istilah politik dipakai dalam berbagai arti, seperti:
1. Perkataan politiek dalam bahasa Belanda yang berarti
sesuatu yang berhubungan dengan negara;
2. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang
berhubungan dengan negara.
Soedarto juga melakukan penegasan dalam pemaknaan politik sebagai kebijakan
yang merupakan persamaan kata dari policy.3 Mahfud dalam penjelasannya
tentang hubungan antara politik dan hukum menyatakan bahwa hukum
merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable
(variabel terpengaruh dan politik sebagai independent variable (variabel
berpengaruh).4 Penulis memaknai hukum merupakan produk politik yang
demikian tidak dalam tataran hukum yang abstrak melainkan mengamini hal
tersebut dalam tataran penginterpretasian hukum ke dalam bentuk yang konkret.
Mahfud memaknai politik hukum sebagai kebijaksanaan (legal policy) yang
dilaksanakan pemerintah secara nasional.5 Politik hukum diartikan beliau sebagai
arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan
2 Ahmad Muliadi, Politik Hukum, Akademia Permata, Padang, 2013, h. 1. 3 Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap Pembaruan Hukum Pidana,
Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 16, dikutip dari Teguh Prasestyo dan Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit., h.
11. 4 Mahfud, Politik Hukum Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, h. 1-2, dikutip dari Teguh Prasestyo dan
Abdul Halim Barkatulah, Ibid. 5 Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, h. 7.
15
melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara.6
Pemaknaan oleh Mahfud yang demikian menjadikan politik hukum sebagai upaya
pembentukan hukum dalam peraturan peundang-undangan untuk mencapai tujuan
bangsa dan negara. Pengertian politik hukum yang tidak jauh berbeda
diungkapkan juga oleh Soedarto yang menyatakan politik hukum sebagai
kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang
untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan
untuk mencapai apa yang dicita-citakan.7
Menurut Bellefroid, politik hukum (rechtpolitiek) merupakan bagian dari
ilmu hukum yang meneliti perubahan hukum yang berlaku yang harus dilakukan
untuk memenuhi tuntutan baru kehidupan masyarakat dengan menyatakan:8
Politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apakah yang
harus diadakan pada hukum yang ada sekarang, supaya dapat
memenuhi syarat-syarat baru dari hidup kemasyarakatan. Ia
melanjutkan perkembangan tertib hukum. Karena ia mencoba
menjadikan ius constitutum yang diperkembangkan dari stelsel-
stelsel hukum-hukum yang lama, menjadi ius constituendum
atau hukum untuk masa yang akan datang.
Utrecht juga berpendapat bahwa politik hukum berusaha membuat kaidah-kaidah
yang akan menentukan bagaimana seharusnya manusia bertindak. Politik hukum
menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang
sekarang berlaku supaya menjadi sesuai dengan sociale werkelijkheid (kenyataan
sosial).9 Dalam hal kenyataan sosial, Surojo Wignyodipuro menggunakan istilah
6 Ahmad Muliadi, Op.Cit., h. 3. 7 M. Ali Zaidan, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, h. 62. 8 Bellefroid, Indleiding tot de Rechtswetenschap in Nederlands, Dekker & Van Vegt, Nijmegen Utrecht,
1952, h. 18, dikutip dari Abdul Latif dan Hasbi Ali, Op.Cit., h. 6. 9 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru van Hove, Jakarta, 1996, h. 14, dikutip dari
Ahmad Muladi, Loc.Cit.
16
perasaan hukum yang ada pada masyarakat. Beliau menyatakan bahwa politik
hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum
sekarang supaya menjadi lebih sesuai dengan perasaan hukum yang ada pada
masyarakat.10
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketika kita berbicara mengenai
politik hukum maka kita membicarakan salah satu bagian dari ilmu hukum.
Pembicaraan mengenai politik hukum berisikan penggambaran usaha penemuan
hukum oleh pembentuk peraturan perundang-undangan yang kemudian dijabarkan
dalam peraturan perundang-undangan yang mereka hasilkan. Politik hukum yang
disebut juga sebagai legal policy merupakan kebijaksanaan dari pembentuk
peraturan perundang-undangan untuk menentukan arah atau tujuan yang dijadikan
sebagai dasar pijak dan cara untuk membentuk serta melaksanakan hukum yang
dikonretkan. Politik hukum menyelidiki keadaan-keadaan di masyarakat yang
menuntut adanya perubahan-perubahan yang harus diadakan dalam hukum positif
atau hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum) agar sesuai dengan kebutuhan
akan hukum masyarakat atau supaya menjadi lebih sesuai dengan perasaan hukum
yang ada pada masyarakat. Dengan kata lain, tuntutan akan perubahan tersebut
dinyatakan sebagai hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) dan politik
hukum ingin menjadikan ius constituendum tersebut tidak lagi sebagai yang
dicita-citakan melainkan menjadikannya sebagai hukum yang berlaku saat ini (ius
constitutum).
10 Surojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, Gunung Agung, Jakarta, 1982, h. 24-25, dikutip dari
Abdul Latif dan Hasbi Ali, Op.Cit., h. 10.
17
Sebagaimana topik dari sub bahasan ini, pembahasan politik hukum pidana
secara khusus seharusnya tidak jauh berbeda dengan pembahasan politik hukum
yang telah penulis jabarkan di atas. Dalam kepustakaan asing, istilah “politik
hukum pidana” sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”,
“criminal law policy”, atau “strafrechts-politiek”.11 Dalam Blacks Law
Dictionary, Criminal Policy diartikan sebagai cabang Ilmu Hukum Pidana yang
berkaitan dengan usaha pencegahan kejahatan.12 Pengertian yang demikian
menurut penulis merupakan pengertian yang bersifat lebih spesifik pada satu hal
karena memandang politik hukum pidana dari satu sisi yaitu terkait pencegahan
kejahatan. Dalam perspektif yang lebih luas, Barda Nawawi Arief menyatakan
bahwa politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau
membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.13 Politik
hukum pidana dapat dilihat melalui politik kriminal sebagaimana disebutkan
dalam Blacks Law Dictionary. Politik kriminal itu sendiri oleh Soedarto diartikan
dalam 3 (tiga) pengertian yaitu:14
1. Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai
keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
2. Dalam arti luas, politik kriminal itu merupakan keseluruhan
fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya
cara kerja dari pengadilan dan polisi.
3. Dalam arti yang paling luas, merupakan keseluruhan
kebijakan yang dilakukan melalui peraturan perundang-
undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
11 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2008, h. 26. 12 Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, Eight Edition, Thomson & West, 2004, h. 403, dikutip dari
M. Ali Zaidan, Op.Cit., h. 63. 13 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Op.Cit., h. 26-27. 14 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, h. 113-114, dikutip dari M. Hamdan,
Op.Cit., h. 22-23.
18
Dari pengertian tersebut, politik kriminal berbicara mengenai penanggulangan
kejahatan melalui pihak-pihak yang memiliki kewenangan. Tentu ketika berbicara
tentang penanggulangan kejahatan, kita tidak hanya membicarakan satu aspek
hukum contohnya hukum pidana saja. Politik kriminal mencakup juga kebijakan
dari bidang hukum yang lain seperti hukum perdata dan hukum administrasi.
Bertolak dari kondisi bahwa politik hukum pidana merupakan bagian dari politik
kriminal, maka politik hukum pidana merupakan usaha untuk membentuk suatu
kebijakan yang baik untuk menanggulangi kejahatan. Pengertian ini penulis
cantumkan tidak untuk membatasi ruang lingkup dari politik hukum pidana
melainkan untuk dapat menggunakan komponen-komponen dalam politik
kriminal untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai politik hukum pidana itu
sendiri. Komponen-komponen yang dimaksud yaitu usaha dari pembentuk
peraturan perundang-undangan, kepolisian, kejaksaan, badan peradilan, dan aparat
eksekusi dalam hukum pidana.
Kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari pengetian “penal
policy” oleh Marc Ancel. Marc Ancel secara singkat menyatakan bahwa penal
policy sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang yang bertujuan untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.15 Atas
dasar pengertian tersebut, Barda Nawawi Arief berkesimpulan bahwa istilah penal
policy oleh Marc Ancel sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana.
Lebih lanjut oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah menyimpulkan
bahwa penal policy atau politik hukum pidana pada intinya berkaitan dengan
bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan
15 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Loc.Cit.
19
pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan
aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanan hukum pidana (kebijakan
eksekutif).16 Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat penulis katakan
bahwa politik hukum pidana merupakan penjabaran lebih lanjut dari politik
hukum itu sendiri. Hal-hal yang sudah penulis kemukakan dalam penjelasan
tentang politik hukum seperti isi dan tujuannya berlaku juga dalam politik hukum
pidana namun dengan materi yang lebih spesifik pada materi hukum pidana.
Menurut Seodarto yang didasarkan atas pengertian politik hukum yang
beliau kemukakan sebelumnya, melaksanakan politik hukum pidana berarti
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana paling
baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.17 Lebih lanjut, beliau
menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.18 Secara khusus
politik hukum pidana dalam istilah bahasa Belanda “strafrechtspolitiek”, A.
Mudler mendefinikannya sebagai garis kebijakan untuk menentukan:19
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku
perlu diubah atau diperbarui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak
pidana;
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan
pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Mulder mendasarkan pengertian tersebut dari “sistem hukum pidana” oleh Marc
Ancel yang menyatakan, bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki
16 Teguh Prasestyo dan Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit., h. 18. 17 Soedarto, Hukum Pidana..., Op.Cit., h. 20, dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Ibid. 18 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Ibid. 19 A. Mulder, Strafrechtspolitiek, Delikt en Delinkwent, 1980, h. 333, dikutip dari Barda Nawawi Arief,
Bunga Rampai..., Ibid.
20
sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum pidana dan
sanksinya; (b) suatu prosedur hukum pidana; dan (c) suatu mekanisme
pelaksanaan (pidana).20
Dari penjabaran penulis tentang pendapat-pendapat para ahli hukum
mengenai politik hukum pidana di atas, dapat terlihat beberapa kesamaan
karakteristik yang dikemukakan. Bahwa politik hukum pidana disamakan dengan
terminologi kebijakan hukum pidana sebagai usaha untuk membuat dan
melaksanakan peraturan perundang-undangan pidana yang baik. Sejalan dengan
politik hukum sebagaimana telah penulis sampaikan, politik hukum pidana juga
sebagai usaha untuk mengetahui keadaan-keadaan di masyarakat yang menuntut
adanya perubahan-perubahan yang harus diadakan dalam hukum pidananya atau
dengan kata lain sejauh mana ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada perlu
diganti dan/atau diperbarui untuk mecapai tujuan yang dicita-citakan. Tujuan dari
politik hukum pidana tidak hanya berhenti pada ketentuan peraturan perundang-
undangan pidana saja melainkan lebih daripada itu. Tujuan yang lebih besar yaitu
integrasi dari setiap pihak yang berwenang, tidak hanya pada taraf pembuatan
kebijakan melainkan juga hingga pada taraf pelaksanaannya. Tujuan-tujuan
tersebut terkandung di dalam peraturan-peraturan, prosedur, hingga mekanisme
pelaksanaan yang tentunya harus juga dijiwai oleh pembuat dan pelaksananya.
Keadilan dan daya guna yang dicanangkan oleh politik hukum pidana tentu tidak
akan tercapai jika setiap orang di dalamnya hanya menjadi “corong undang-
undang”. Keberadaan politik hukum pidana seharusnya tidak hanya menjadi
pedoman semata melainkan nilai yang terkandung di dalamnya perlu digali sendiri
20 Ibid.
21
oleh setiap pihak di dalamnya agar tercipta suatu keadaan di mana bukan karena
tertulis demikian melainkan karena hal tersebut adalah yang terbaik dan yang
benar.
Pentingnya studi tentang politik hukum pidana ini dapat dilihat dari tujuan
pengkajian politik hukum oleh Soehitno. Menurut Soehitno, terdapat 3 (tiga)
tujuan pengkajian politik hukum, diantaranya:21
1. Agar orang mampu memahami pemikiran-pemikiran masa lampau,
yang melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum dan atau
ketentuan-ketentuan hukum yang sedang berlaku. Sehingga setiap
orang mampu mengaplikasikan dan menerapkan aturan-aturan serta
ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana mestinya;
2. Agar orang mampu menentukan dan memilih pemikiran-pemikiran
tersebut diatas, yang dapat dipergunakan sebagai atau menjadi dasar
penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum
ius constitutum dari ius constituendum yang berlaku dalam rangka
menghadapi perkembangan, perubahan, atau pertumbuhan
kehidupan bermasyarakat. Sehingga mampu menetapkan aturan-
aturan hukum dan/atau ketentuan-ketentuan hukum baru sesuai
dengan kebutuhan kehidupan bermasyarakat; dan
3. Agar orang mampu memahami kebijakan yang menggariskan
kerangka dan arah tata hukum yang berlaku. Sehingga dapat
menerapkan dan mengembangkan hukum sesuai dengan kebutuhan
hidup bermasyarakat dalam satu sistem.
Dengan demikian, pengkajian politik hukum pidana diperlukan untuk memahami
dasar dari pemikiran-pemikiran yang menjadi latar belakang dari pembentukan
suatu peraturan perundang-undangan baik yang sudah tidak berlaku, yang berlaku
saat ini, hingga yang akan atau perlu diberlakukan kedepannya. Hal ini tentu
bermanfaat untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan juga bermanfaat dalam hal penerapan dan
pengembangan hukumnya.
21 Soehino, Politik Hukum, BPFE, Yogyakarta, 2010, dikutip dari Febry Mardiana Nainggolan,
Perubahan Politik Hukum Dalam Pengaturan Investasi Pada Sektor Pertambangan Di Indonesia,
Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2018, h. 28-29.
22
1.1.2. Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan
Pembentukan dan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan dengan
politik hukumnya sudah tentu memiliki tujuan. Selain aspek prosedural, tujuan
diperlukan sebagai ukuran dalam aspek materiil agar peraturan perundang-
undangan tersebut dapat diterima serta dapat pula dilaksanakan. Peraturan
perundang-undangan sebagai bentuk dari pengimplementasian atau usaha
mengkonkretkan hukum tentu harus memenuhi tujuan hukum. Hal ini menjadi
beralasan menyusul munculnya sebuah pertanyaan berkaitan dengan apakah
peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan tujuan hukum masih
pantas disebut sebagai hukum. Untuk itu penulis merasa perlu untuk membuat
suatu tinjauan mengenai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan yang dikenal luas
sebagai tujuan dari hukum. Pembahasan ini penulis lakukan tidak untuk
mengkritisi ketiga tujuan hukum tersebut dan menggagaskan suatu tujuan hukum
yang baru melainkan ingin membahas keberadaannya dalam suatu pembentukan
dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
Gustav Radbruch mengemukakan tiga tujuan hukum yaitu keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan. Gustav menyatakan bahwa sesuatu yang dibuat pasti
memiliki cita atau tujuan sehingga hukum yang dibuat pun sudah pasti memiliki
tujuannya sendiri. Tujuan tersebut merupakan nilai yang ingin diwujudkan oleh
manusia. Ketiga tujuan hukum tersebut dinyatakan sebagai berikut:22
1. Keadilan untuk keseimbangan;
2. Kepastian untuk ketepatan;
3. Kemanfaatan untuk kebahagiaan.
22 Oleh Gustav Radbruch dalam bukunya Einfuhrung indie Rechtswissenschaft, Stuttgart, 1961, dikutip
dari Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, h.
123.
23
Untuk mengetahui posisi, kedudukan, atau keberadaannya dalam suatu hukum,
maka ketiga tujuan hukum tersebut perlu dijabarkan, antara lain sebagai berikut:
1. Keadilan
Untuk menentukan takaran pasti sesuatu dikatakan berkeadilan
bukanlah hal yang mudah bahkan terkesan mustahil untuk dilakukan. Hal ini
berkaitan dengan kenyataan bahwa para ahli hukum sudah berusaha untuk
memberikan definisi dan tolak ukur untuk sesuatu disebut berkeadilan namun
tetap saja tidak dapat memberikan sebuah pendapat yang bisa diterima oleh
semua orang. Hal ini menurut penulis tidak perlu dipandang sebagai
ketidakmampuan atau keburukan di bidang ilmu hukum melainkan perlu
dipandang bahwa keberagaman pendapat tersebut sebagai ciri khas dari kajian
ilmu hukum. Atas dasar hal tersebut penulis akan menjabarkan pendapat-
pendapat para ahli hukum tentang konsep keadilan yang sekiranya relevan
dengan penelitian penulis selain dua konsep keadilan yang telah penulis
kemukakan sebelumnya yaitu keadilan retributif (retributive justice) dan
keadilan restoratif (restorative justice).
Ulpianus mendefinisikan keadilan sebagai kehendak yang ajeg/terpola
dan tetap memberikan kepada masing-masing bagian/haknya.23 Plato pun
juga menyatakan bahwa keadilan adalah kemampuan untuk memperlakukan
setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing.24 Aristoteles seorang
filsuf Yunani dalam bukunya Nicomachean Ethics menyatakan keadilan
sebagai kebajikan yang bersangkutan pada perhubungan dengan sesama
23 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, Gramedia Pustaka, Jakarta, 1995, h. 138, dikutip dari Muhamad Erwin, Op.Cit., h. 219. 24 Margono, Op.Cit., h. 106-107.
24
manusia.25 Aristoteles kemudian membagi keadilan menjadi menjadi keadilan
distributif (justitia distributiva) dan keadilan komutatif (justitia
commutativa). Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat
apa yang menjadi hak atau jatahnya: suum cuique tribuere (to reach his
own).26 Justitia distributiva merupakan tugas pemerintah terhadap warganya,
menentukan apa yang dituntut oleh warga masyarkat. Sedangkan di sisi lain,
justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya.27 Dalam
pergaulan masyarakat, justitia commutativa merupakan kewajiban orang
terhadap sesamanya. Mengenai justitia distributiva dan justitia commutativa
oleh Aristoteles tersebut, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa justitia
distributiva merupakan urusan pembentuk undang-undang dan justitia
commutativa merupakan urusan hakim.28 Hakim memperhatikan hubungan
perorangan yang mempunyai kedudukan persesuil yang sama tanpa
membedakan orang (equality before the law). Justitia distributiva itu bersifat
proporsional sedangkan justitia commutativa memperhatikan kesamaan.29
Lain halnya dengan Aristoteles, Thomas Aquinas membedakan
keadilan dalam dua macam yaitu keadilan umum dan keadilan khusus.30
Keadilan umum (justitia generalis) atau yang disebutnya sebagai keadilan
legal menuntut perbuatan sesuai dengan undang-undang negara yang harus
ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan legal itu tidak hanya kriteria
bagi kelakuan publik, akan tetapi juga mewujudkan ukuran untuk menimbang
25 O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, 2011, h. 122. 26 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Ilmu Hukum: Suatu Pengantar, edisi revisi, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2010, h. 101. 27 Ibid., h. 102. 28 Ibid. 29 Ibid. 30 E. Sumaryono, Etika Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas), Kanisius, Yogyakarta,
2000, h. 160, dikutip dari Muhamad Erwin, Op.Cit., h. 226.
25
undang-undang negara yang perlu sesuai dengan dan mewujudkan keadilan
legal demi kesejahteraan umum.31 Adapun keadilan khusus itu mewujudkan
kebajikan seperti kebijaksanaan dan keberanian. Keadilan khusus tidak
dikuasai oleh motif sosial, melainkan merupakan ukuran perbuatan dalam
perhubungan dengan sesama manusia lain.32
Terdapat 3 (tiga) bentuk keadilan khusus, di antaranya: (1) justitia
distributiva; (2) justitia commutativa; dan (3) justitia vindivativa.33 Justitia
distributiva adalah keadilan yang menyangkut perhubungan publiekrechtelijk
dalam masyarakat negara. keadilan ini dikenakan dalam pembagian beban-
beban sosial, fungsi-fungsi, dan kehormatan publik. Ukuran untuk
pembagiannya oleh negara kepada negara adalah proporsionalitas yang
berkaitan dengan kepandaian dan kecakapan serta jasanya. Justitia
commutativa ialah keadilan di mana prestasi dinilai sama dengan
kontraprestasi atau dengan kata lain jasa dibalas jasa. Keadilan ini banyak
berlaku dalam perhubungan bidang hukum perdata terutama tentang kontrak
atau perjanjian. Lain halnya dengan justitia vindicativa yang banyak berlaku
pada bidang hukum pidana berkaitan dengan pemberian hukuman dan
kewajiban denda sesuai dengan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan.34
Dalam pendefinisian dan pembagian oleh para filsuf di atas, terlihat
bahwa keadilan sangatlah relatif dalam memahaminya. Pada satu sisi ada
yang memberikan tolak ukur keadilan pada pelaksanaan undang-undang
(dalam arti luas) demi kepentingan umum, namun di sisi yang lain juga
31 O. Notohamidjojo, Op.Cit.., h. 123. 32 Ibid. 33 Muhamad Erwin, Loc.Cit. 34 Ibid. h. 226-227.
26
memberikan penjelasan bahwa terdapat keadilan yang dihasilkan atas dasar
penilaian perseorangan. Pada akhirnya, penulis mengambil kesimpulan oleh
Sudikno Mertokusumo yang menyimpulkan bahwa hakikat keadilan adalah
penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya pada
suatu norma yang menurut pandangan subjektif (subjektif untuk kepentingan
kelompok, golongannya, dan sebagainya) melebihi norma-norma lain.35 Hal
tersebut berarti bahwa penilaian dilakukan berdasarkan runag lingkup atau
kepada siapa keadilan itu ditujukan. Berkaitan dengan subjektifitas, manusia
hidup dengan rasa yang dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-
keputusan akal agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan
keburukan, karena yang dapat menentukan baik dan buruk adalah rasa.36
Untuk memenuhi keadilan, peristiwanya harus dilihat secara kasuistis.
Menurut penulis, hasil atau buah dari keadilan yang relatif tersebut hanya bisa
ditentukan baik buruknya oleh pribadi yang menyatakannya. Berbicara
mengenai ukuran keadilan, patut diakui bahwa memang terdapat hal-hal yang
secara universal diakui bersifat berkeadilan dan tidak berkeadilan.
Berkeadilan atau tidaknya bukan berdasarkan hukum yang berlaku di tempat
dan waktu tertentu melainkan sifatnya yang sudah melekat pada hal tersebut.
Sebagai contoh terdapat keyakinan bahwa kejahatan adalah sesuau tindakan
yang tidak berkeadilan karena pada dasarnya setiap manusia tidak akan mau
diperlakukan jahat. Perdebatannya bukan lagi pada tataran apakah kejahatan
adalah tindakan yang berkeadilan atau tidak, melainkan pada apakah sebuah
tindakan atau tidak bertindak tersebut merupakan kejahatan atau bukan.
35 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 100 36 M Rasjidi dan H. Cawindu, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat: Buku Daras Pendidikan Agama Islam
pada Perguruan Tinggi Umum, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, h. 17.
27
Untuk merefleksikan hal tersebut, penulis mengutip sebuah ayat dalam
Alkitab pada Filipi 4:8 yang sekiranya dapat memberikan kita tuntunan dalam
mengambil keputusan untuk bertindak atau tidak mengambil tindakan dengan
menyatakan:
Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua
yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang
manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut
kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.
2. Kepastian
Berangkat dari pemikiran bahwa tindakan kesewenang-wenangan
penguasa atau pemerintah perlu untuk dibatasi, muncul sebuah gagasan
bahwa diperlukan suatu kepastian hukum yang menjamin sebuah tindakan
penguasa atau pemerintah tidak melebihi dari apa yang sudah ditentukan.
Kepastian hukum merupakan perlindungan justitiabeln terhadap tindakan
sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu
yang diharapkan dalam keadaan tertentu.37 Adanya aturan-aturan membatasi
masyarakat secara umum dalam membebani atau melakukan tindakan
terhadap individu. Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa adanya aturan-
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum dan dengan demikian
mengandung dua pengertian, yaitu: pertama, adanya aturan yang bersifat
umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan; dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum
37 Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan & Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim, Sinar Grafika,
Jakarta, 2019, h. 114.
28
itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh negara terhadap individu.38
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum pada dasarnya yaitu
pelaksanan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat
memastikan bahwa hukum dilaksanakan.39 Dalam pengertian oleh Van
Apeldoorn, kepastian hukum adalah adanya kejelasan skenario perilaku yang
bersifat umum dan mengikat semua warga masyarakat termasuk konsekuensi
hukumnya.40 Roscoe Pound menyebut hal-hal tersebut dengan istilah
predictability, bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan adanya
prediktabilitas.41 Kepastian Hukum sering dikaitkan dengan penyelenggaraan
hukum secara konsisten dalam suatu proses sosial sehingga diperoleh patokan
perilaku sehingga kehidupan masyarakat bisa berlangsung dengan tertib,
damai, dan adil.42 Dengan demikian, kepastian hukum berarti melakukan apa
yang sudah disepakati bersama di dalam suatu masyarakat hukum dengan
harapan bahwa semua sama-sama mengetahui hak dan kewajibannya atau
yang disebut sebagai prediktabilitas sehingga tercipta suatu keamanan bagi
setiap individu.
Permasalahan pada kepastian hukum ini yaitu pada kenyataan bahwa
sering bergesekan dengan keadilan. Bahkan sampai muncul sebuah
pernyataan bahwa sungguh ironi apabila demi menjaga suatu kepastian, nilai
38 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, edisi revisi, Kencana, Jakarta, 2008, h. 137. 39 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 145. 40 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan dari Inleiding Tot De Studie Het Nederlandse
Recht oleh Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, h. 24-25, dikutip dari Margono, Op.Cit., h.
115. 41 Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit. 42 Margono, Op.Cit., h. 117-118.
29
keadilan harus dikorbankan.43 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya
bahwa untuk terciptanya kepastian hukum diperlukan adanya aturan yang
bersifat umum atau menyamaratakan. Van Apeldoorn mengatakan bahwa
sifat menyamaratakan itu merupakan unsur yang sering dikritisi dalam
keadilan, di mana keadilan justru menuntut kepada setiap orang diberikan
sesuai dengan bagiannya (suum cuique tribuere) atau dengan kata lain tidak
serta merta disamaratakan.44 Di satu sisi bahwa terlalu mementingkan
kepastian hukum akan mengorbankan rasa keadilan dan di sisi lain bahwa
pengutamaan keadilan pun memiliki kelemahan. Hal ini disebabkan karena
sifat dari keduanya yang berbeda di mana kepastian hukum memiliki sifat
yang lebih universal dan keadilan yang bersifat lebih subjektif. Akan tetapi,
ketika kedua hal tersebut mampu diseimbangkan, niscaya akan tercipta suatu
masyarakat hukum yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegaranya. Artinya, bahwa kepastian hukum saja tidak cukup untuk
menegakkan sistem peradilan tetapi dibutuhkan suatu kepastian hukum yang
adil atau kepastian yang merujuk pada nilai keadilan.45
3. Kemanfaatan
Diberlakukannya suatu hukum tentu memiliki tujuan untuk memberi
manfaat bagi masyarakatnya. Akan menjadi pertanyaan besar jika hukum
yang diterapkan adalah hukum yang tidak memberi manfaat dan justru
memberikan kerugian bagi masyarakatnya. Terdapat adagium hukum yang
menyatakan bahwa: “hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.”
Hal tersebut berawal dari pemikiran Satjipto Rahardjo di mana hukum diberi
43 Tanto Lailam, Teori & Hukum Perundang-Undangan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2017, h. 83. 44 Margono, Op.Cit., h. 114. 45 Tanto Lailam, Loc.Cit.
30
makna sebagai: “institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.”46 Bahwa
hukum dilihat berdasarkan sejauh mana kemanfaatannya untuk kebahagiaan
manusia.
Jeremy Bentham menyatakan bahwa negara dan hukum semata-mata
ada hanya untuk mafaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Kemudian
adapun menurut John Rawls dengan teorinya yang disebut Teori Rawls atau
Justice as Fairness (keadilan sebagai kejujuran) menyatakan bahwa hukum
itu haruslah menciptakan suatu masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang
mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan (the
greatest happiness of the greatest number people).47 Sebenarnya terdapat
kritik terhadap pendapat tersebut berkaitan dengan kebahagiaan mayoritas
orang yang berarti mengenyampingkan pihak-pihak minoritas. Hal ini
dadasarkan atas pemikiran bahwa menjadi minoritas tidak menjadikannya
juga untuk selalu dikesampingkan, karena minoritas tidak hanya hanya
sebatas pada apa yang dipikirkan berbeda dengan yang lain, tetapi karena
kebenaran tidak dipandang semata-mata keluar dari siapa tetapi karena
kebenaran harus tetap selalu diuji.
Sebenarnya kita dapat memahami pemikiran-pemikiran di atas sebagai
usaha untuk meminimalisir kerugian yang timbul tanpa bermaksud
mengorbankan pihak-pihak minoritas. Bahwa pada dasarnya nilai
46 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif. Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta,
2009, h. 9, dikutip dari Hyronimus Rhiti, “Landasan Filosofis Hukum Progresif”, Justitia Et Pax: Jurnal
Ilmu Hukum, 32(1), 2016, h. 35. 47 Nur Hasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi Politik,
Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2006, h. 45-46, dikutip dari Margono,
Op.Cit., h. 111.
31
kemanfaatan muncul dari analisis tentang keadilan.48 Sebagai contoh dalam
putusan pengadilan harus mengandung unsur kemanfaatan, bahwa isi putusan
yang adil itu tidak hanya bermanfaat bagi pihak yang berperkara tapi juga
bagi masyarakat luas begitu pula dalam aspek hukum pada lembaga yang
lain.49 Kemanfaatan itu sendiri dapat diartikan sebagai optimalisasi dari
tujuan sosial hukum, setiap hukum di samping dimaksudkan untuk
mewujudkan ketertiban dan keteraturan sebagai tujuan akhir, tetapi juga
mempunyai tujuan sosial tertentu, yaitu kepentingan yang diinginkan untuk
diwujudkan melalui hukum, baik yang berasal dari orang perseorangan
maupun masyarakat dari negara.50 Berkaitan dengan pertentangan antara
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, dalam teori hukum disebut
sebagai antinomi yang pada dasarnya mengandung arti bahwa kondisi yang
bertentangan satu sama lain tetapi tidak dapat dipisahkan karena sama-sama
saling membutuhkan.51 Di sinilah kebijaksanaan dan moralitas dari setiap
pemegang kewenangan dibutuhkan untuk mengeluarkan nilai-nilai keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan. Bahwa memang pada akhirnya kita tidak dapat
menuntut kesempurnaan dari manusia, tetapi setidaknya dapat diharapkan
bahwa tidak ada kesengajaan untuk membuat sesuatu lebih buruk padahal
telah diketahuinya akan akibat tersebut.
48 Suteki, Budaya Oriental dan Implikasinya Terhadap Cara Berhukum dalam Perspektif Hukum
Progresif, Dina Fedrian, dkk (ed), Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia, Komisi Yudisial RI,
Jakarta, 2012, h. 270-271, dikutip dari Tanto Lailam, Op.Cit., h. 82. 49 Tanto Lailam, Ibid. 50 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Candra Parata, Jakarta,
1996, h. 88, dikutip dari Margono, Loc.Cit. 51 Margono, Ibid., h. 112.
32
1.1.3. Perlindungan Korban Kejahatan
Perkembangan pembahasan perlindungan korban pada saat ini semakin
terlihat menyusul perubahan paradigma masyarakat tentang bentuk perlindungan
korban yang lebih sesuai. Pentingnya perlindungan korban dilatarbelakangi
adanya pergeseran perspektif dari keadilan retributif kepada keadilan restoratif.52
Seperti yang penulis telah paparkan sebelumnya bahwa keadilan retributif dan
keadilan restoratif memiliki perbedaan dari segi bentuk dan elemen-elemennya.
Siswanto Sunarso menyatakan bahwa elemen-elemen keadilan retributif yaitu
pembalasan, pemidanaan, isolasi, stigmatisasi, dan penjeraan. Berbeda dengan
keadilan restoratif yang memiliki elemen konsensasi, mediasi, rekonsiliasi,
penyembuhan, dan pemaafan.53
Sebelum masuk pada pembahasan mengenai perlindungan korban
kejahatan, diperlukan terlebih dahulu pendefenisian tentang korban itu sendiri
dalam konteks korban dalam tindak pidana. Secara etimologi, korban berasal dari
terjemahan bahasa Latin victima dan dalam bahasa Inggris yaitu victim. 54 Dalam
Crime Dictionary, victim adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau
penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan
atau usaha pelanggaran ringan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan
lainnya.55 Menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang menderita, jasmaniah
dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang
menderita. Kedua pengertian tersebut mengkonstrusikan korban sebagai pihak
52 Siswanto Sunarso, Op.Cit., h. 47. 53 Ibid., h. 45. 54 Bambang Waluyo, Viktimologi: Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 9. 55 Abdussalam, Victimology, PTIK, Jakarta, 2010, h. 5, dikutip dari Bambang Waluyo, Ibid.
33
yang mengalami kerugian atas tindakan orang lain baik dari segi lahiriah maupun
batiniah. Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and
Abuse of Power mengartikan:56
“Victims” means persons who, individually or collectively, have
suffered harm, including physical or mental injury, emotional
suffering, economic loss or substantial impairment of their
fundamental rights, through acts or omissions that are in
violation of criminal laws operative within Member States,
including those laws proscribing criminal abuse of power.
Dalam Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Saksi dan Korban, korban adalah orang
yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Dari rumusan tersebut, unsur-unsur dari
korban yaitu:57
1. Setiap orang,
2. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
3. Kerugian ekonomi,
4. Akibat tindak pidana.
Secara lebih spesifik, Abdussalam membagi korban menjadi korban perseorangan,
institusi, lingkungan hidup, serta masyarakat, bangsa, dan negara.58 Dalam
penelitian ini penulis lebih memfokuskan pada pembahasan pada korban
perseorangan. Hal ini dadasarkan atas perbandingan kuantitas yang artinya
berbanding lurus dengan banyaknya permasalahan dan lingkup dampak yang
lebih luas. Arif Gosita dalam pembahasan tentang eksistensi korban dalam
penyelesaian kejahatan salah satunya menyatakan bahwa pemahaman dan
penanggulangan permasalahan kejatahatan tidak didasarkan pada pengertian citra
mengenai manusia yang tepat (tidak melihat dan mengenai manusia pelaku dan
56 Compendium of United Nations standards and norms in crime prevention and criminal justice, h. 303,
https://www.unodc.org/pdf/compendium/compendium_2006_part_03_02.pdf, diakses 3 November 2020. 57 Bambang Waluyo, Ibid., h. 10. 58 Abdussalam, Op.Cit., h. 6-7, dikutip dari Bambang Waluyo, Ibid., h. 11.
34
manusia korban sebagai manusia sesama kita).59 Dari penjelasan tersebut terlihat
bahwa terdapat kecenderungan untuk melihat korban dari sisi orang perseorangan.
Menurut penulis, hal tersebut tidak berarti bahwa diskursus tentang korban
mengenyampingkan jenis-jenis korban yang lain, melainkan bahwa jika dibahas
dari sisi korban orang perseorangan, secara tidak langsung juga bisa mencakup
jenis-jenis korban yang lain karena dasarnya yaitu manusia itu sendiri.
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa perlindungan korban dapat dilihat
dari dua makna, yaitu:60
1. Dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak
menjadi korban tindak pidana (berarti perlindungan HAM
atau kepentingan hukum seseorang);
2. Dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh
jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang
yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik
dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat
berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan
keseimbangan batin (antara lain, dengan pemaafan),
pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi,
jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian penulis lebih berfokus pada
makna yang kedua di mana membahas perlindungan korban dalam lingkup telah
adanya korban dari suatu tindak pidana. Bahwa penulis membahas perlindungan
korban dalam kerangka kebijakan, tidak berarti bahwa suatu kebijakan selalu
berfungsi untuk mencegah sesuatu. Hal ini didasarkan atas alasan bahwa
kebijakan itu sendiri dapat berupa kebijakan pencegahan maupun kebijakan
penanggulangan.
Mengenai pengkajian perlunya perlindungan terhadap korban kejahatan
dikemukakan oleh Muladi dekemukakan beberapa alasan sebagai berikut:61
59 Bambang Waluyo, Ibid., h. 9. 60 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan..., Loc.Cit.
35
1. Bahwa pada proses pemidaan terkandung tuntutan moral, dalam wujud
keterkaitan filosofis pada satu pihak, dan keterkaitan sosiologis dalam
kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat. Secara sosiologis,
masyarakat sebagai “system of institutional trust” atau sistem kepercayaan
yang melembaga, dan terpadu melalui norma yang diekspresikan dalam
struktur kelembagaan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
koreksi. Terjadinya kejahatan atas diri korban bermakna penghancuran sistem
kepercayaan tersebut, pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang
menyangkut masalah korban berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem
kepercayaan tersebut.
2. Adanya argumen kontrak sosial, yaitu negara memonopoli seluruh reaksi
sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan yang bersifat pribadi, dan
argumen solidaritas sosial bahwa negara harus menjaga warga negaranya
dalam memenuhi kebutuhan apabila warga negara mengalami kesulitas,
melalui kerja sama dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana
yang disedikan negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan
pelayanan maupun melalui pengaturan hak.
3. Perlindungan korban dikaitakan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu
penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya
tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat.
Dari alasan-alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perlunya perlindungan
terhadap korban kejahatan merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang diyakini
61 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, 1997, h. 176-
177, dikutip dari C. Maya Indah S., Op.Cit., h. 111-112.
36
masyarakat ke dalam suatu lembaga tertentu yang dengan demikian memiliki
tugas dan wewenang mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadinya suatu
kejahatan. Berikutnya bahwa negara itu sendiri memiliki kewajiban terhadap
warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dan membantu kesulitan yang
dialami baik memalui peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Dikaitkan
dengan penyelesaian konflik sebagai salah satu tujuan pemidanaan, perlindungan
korban merupakan salah satu komponen yang harus dipenuhi yang didasarkan atas
alasan bahwa korban merupakan akibat dari adanya suatu tindak pidana dan
korban merupakan bagian dari masyarakat yang memerlukan pemulihan
keseimbangan dan rasa damai.
Menurut Muladi, perlindungan bagi korban kejahatan secara teoritik
terdapat dua model pengaturan, yaitu: model hak-hak prosedural (The procedural
rights model) dan model pelayanan (The services model).62
1. Model hak-hak prosedural: korban diberi hak untuk memainkan peranan aktif
dalam proses penyelesaian perkara pidana, seperti hak untuk mengadakan
tuntutan pidana, membantu jaksa atau hak untuk didengarkan pada setiap
tingkatan pemeriksaan perkara di mana kepentingannya terkait di dalamnya
termasuk hak untuk diminta konsultasi sebelum diberikan pelepasan
bersyarat, juga hak untuk mengadakan perdamaian.
2. Model pelayanan: standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan,
yang dapat digunakan oleh polisi misalnya pedoman dalam rangka modifikasi
kepada korban dan atau jaksa dalam rangka penanganan perkaranya,
pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan
62 Muladi, Hak Asasi Manusia..., Ibid., h. 178, dikutip dari Adil Lugianto, “Rekonstruksi Perlindungan
Hak-Hak Korban Tindak Pidana”, MMH, 43(4), 2014, h. 556.
37
dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Korban
dipandang sebagai sasaran khusus yang harus dilayani dalam kegiatan
penegakan hukum atau penyelesaian perkara pidana.
Dikaitkan dengan bentuk keadilan retributif dan keadilan restoratif yang telah
penulis sebutkan sebelumnya, perlindungan korban kejahatan dengan dua model
tersebut menurut penulis walaupun belum terlalu menunjukkan perbedaan
perlindungan melalui pemidanaan pelaku dan perlindungan lain, tetapi sudah
cukup menggambarkan konsep perlindungan korban secara langsung dan tidak
langsung. Perlindungan tidak langsung yaitu perlindungan lewat pemidanaan
pelaku di mana lebih ditekankan pada hak-hak korban untuk melakukan
penuntutan di pengadilan. Perlindungan tidak langsung tersebut merupakan
perlindungan yang paling umum untuk diberikan kepada korban dalam praktek
peradilan pidana masa lalu bahkan hingga saat ini. Sedangkan perlindungan
secara langsung yaitu perlindungan yang diberikan atas dasar kerugian yang
dialami korban baik kerugian secara materiil maupun imateriil. Bentuk-bentuk
perlindungan korban tersebutlah yang akan dijelaskan lebih lanjut oleh penulis
dalam kerangka ruang lingkup hukum pidana Indonesia pada hasil penelitian dan
analisis.
1.1.4. Hak-Hak Korban
Seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya berkaitan dengan model
hak-hak prosedural dan model pelayanan, pemberian perlindungan korban
kejahatan dapat dilakukan dalam berbagai cara, tergantung pada bentuk kerugian
yang dialami oleh korban. Seperti contoh untuk kerugian secara mental atau psikis
38
tentunya ganti rugi dilakukan melalui upaya pemulihan mental korban.
Sebaliknya, jika dirasa kerugian yang diderita merupakan kerugian secara
materiil, maka pemberian ganti rugi secara materi sangat diperlukan. Dalam
model hak-hak prosedural korban diberi hak untuk memainkan peranan aktif
dalam proses penyelesaian perkara pidana, seperti hak untuk mengadakan tuntutan
pidana, membantu jaksa atau hak untuk didengarkan pada setiap tingkatan
pemeriksaan perkara di mana kepentingannya terkait di dalamnya termasuk hak
untuk diminta konsultasi sebelum diberikan pelepasan bersyarat, juga hak untuk
mengadakan perdamaian. Lain halnya dengan hak-hak tersebut yang berkaitan
dengan keterlibatan korban dalam proses peradilan, terdapat hak-hak lain berupa
pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi, restitusi dan upaya
pengambilan kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut dan tertekan
akibat kejahatan.
Menurut Van Boven:63
Hak-hak para korban adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan,
dan hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjuk
kepada semua tipe pemulihan baik material maupun nonmaterial
bagi korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak tersebut telah
terdapat dalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia
yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-
komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan
regional hak asasi manusia.
Adapun secara lebih terperinci Stephen Schafer mengemukakan 4 (empat) sistem
pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan sebagai berikut: 64
a. Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan
melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan
ganti rugi korban dari proses pidana.
63 Bambang Waluyo, Op.Cit., h. 43. 64 Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma
dan Realita, PT. RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 167-168.
39
b. Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui
proses pidana.
c. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat
pidana diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi
di sini tetap bersifat keperdataan, tidak diragukan sifat
pidananya (punitif).
d. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses
pidana, dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan
negara. Di sini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana
apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi,
kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni,
tetapi negaralah yang memenuhi atau menanggung
kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan oleh
pelaku. Hal ini merupakan pengakuan bahwa negara telah
gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal
mencegah terjadinya kejahatan.
Dalam hal bantuan, saat ini dikenal istilah rehabilitasi psikososial yang
merupakan semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang
ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi dan memulihkan kondisi
fisik, psikologis, sosial dan spiritual korban tindak kekerasan sehingga mampu
menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.65 Sehingga dapat dikatakan
bahwa kompensasi, restitusi, dan bantuan merupakan bentuk hak korban dalam
model pelayanan yang dipenuhi baik oleh negara (kompensasi dan bantuan)
maupun yang dibayarkan oleh pelaku terhadap korban.
1.2. Hasil Penelitian
Acuan utama perlindungan korban kejahatan di Indonesia secara umum
merujuk pada KUHP dan KUHAP serta secara khusus dalam UU PSK.
Sedangkan dalam kerangka hukum hak asasi manusia internasional, perlindungan
65 “Standar Rehabilitasi Psikososial Korban Tindak Kekerasan”, (Jakarta: Departemen Sosial RI
Direktorat Jendral Banuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan
Pekerja Migran, 2003), h. 10
40
korban kejahatan merujuk pada Declaration of Basic Principle of Justice for
Victim and Abuse of Power. Keempat rujukan perlindungan korban tersebut
mengkonstruksikan bentuk perlindungan secara berbeda-berda yang dapat
dicermati sebagai berikut:
Tabel 2.2.1. Perbandingan perlindungan korban KUHP, KUHAP, UU PSK, dan
Declaration of Basic Principle of Justice for Victim and Abuse of Power
Peraturan
Item
KUHP KUHAP UU PSK
Declaration of
Basic Principles of
Justice for Victims
of Crime and Abuse
of Power66
Pengertian
korban
Tidak ada. Tidak ada. Ada.
Korban adalah
orang yang
mengalami
penderitaan fisik,
mental, dan/atau
kerugian ekonomi
yang diakibatkan
oleh suatu tindak
pidana.
Ada.
Victims of Crime
Korban adalah
orang individu atau
kolektif yang
menderita kerugian,
termasuk luka fisik
atau mental,
penderitaan
emosional, kerugian
ekonomi atau
pengurangan hak-
hak dasarnya,
melalui tindakan
atau kelalaian yang
merupakan
pelanggaran hukum
pidana yang berlaku
di beberapa Negara
anggota (PBB),
termasuk hukum-
hukum mengenai
tindak pidana
penyalahgunaan
kekuasaan.
66 Diterjemahkan secara bebas dari: Compendium of United Nations standards and norms in crime
prevention and criminal justice.
https://www.unodc.org/pdf/compendium/compendium_2006_part_03_02.pdf, diakses 4 November 2020,
lihat juga Bambang Widiyantoro.
41
Victims of abuse of
power
Korban, berarti
orang, individu atau
bersama-sama,
sudah mengalami
penderitaan,
termasuk
penderitaan yang
secara fisik maupun
mental, penderitaan
emosional, kerugian
ekonomi, pelemahan
substansial atas
hakhak asasi,
melalui tindakan-
tindakan yang tidak
termasuk tindak
pidana atau
pelanggaran hukum
nasional tetapi
diakui secara
internasional
merupakan nilai-
nilai yang berkaitan
dengan hak asasi
manusia.
Hak-hak
korban
Secara
materiil.
Kemungkinan
ganti kerugian
dalam Pasal
14c (bersifat
terbatas).
Pasal 14c
KUHP menya-
takan sebagai
berikut:
(1) Dengan
perintah yang
dimaksud
Secara formil.
Dalam
KUHAP,
beberapa pasal
yang mengatur
hak korban
tindak pidana
dalam sistem
peradilan
pidana yaitu: 67
1) Hak
menuntut
penggabungan
perkara
gugatan ganti
Secara materiil
dan formil.
Pasal 5 ayat (1)
UU PSK
Adapun hak-hak
saksi dan korban
tersebut di
antaranya yaitu:
a. memperoleh
perlindungan atas
keamanan
pribadi, Keluarga,
dan harta
bendanya, serta
bebas dari
Secara materiil dan
formil.
Pada Lampiran
Chapter II Victims
bagian Victims of
Crime, deklarasi
tersebut membahas
beberapa hal
berkaitan dengan
perlindungan korban
sebagai berikut:
a. Akses
mendapatkan
keadilan dan
perlakuan adil
(Access to justice
67 C. Maya Indah S., Op.Cit., h. 143.
42
pasal 14a,
kecuali jika
dijatuhkan
pidana denda,
selain
menetapkan
syarat umum
bahwa
terpidana tidak
akan
melakukan
tindak pidana,
hakim dapat
menetapkan
syarat khusus
bahwa
terpidana
tindak pidana,
hakim dapat
menerapkan
syarat khusus
bahwa
terpidana
dalam waktu
tertentu, yang
lebih pendek
daripada masa
percobaannya,
harus
mengganti
segala atau
sebagian
kerugian yang
ditimbulkan
oleh tindak
pidana tadi.
(2) Apabila
hakim
menjatuhkan
pidana penjara
lebih dari tiga
bulan atau
pidana
kurungan atas
salah satu
pelanggaran
berdasarkan
kerugian dalam
perkara pidana
(Pasal 98-101).
2) Hak
atas
pengembalian
barang milik
korban yang
disita (Pasal 46
ayat (1)).
3) Hak
pengajuan
laporan atau
pengaduan
(Pasal 108 ayat
(1)).
4) Hak
mengajukan
upaya hukum
banding (Pasal
233) dan
kasasi (Pasal
244).
5) Hak
untuk
mengundurkan
diri sebagai
saksi (Pasal
168).
6) Hak
untuk
didampingi
juru bahasa
(Pasal 177 ayat
(1)).
7) Hak
untuk
didampingi
penerjemah
(Pasal 178 ayat
(1)).
Ancaman yang
berkenaan dengan
kesaksian yang
akan, sedang, atau
telah
diberikannya;
b. ikut serta
dalam proses
memilih dan
menentukan
bentuk
perlindungan dan
dukungan
keamanan;
c. memberikan
keterangan tanpa
tekanan;
d. mendapat
penerjemah;
e. bebas dari
pertanyaan yang
menjerat;
f. mendapat
informasi
mengenai
perkembangan
kasus;
g. mendapat
informasi
mengenai putusan
pengadilan;
h. mendapat
informasi dalam
hal terpidana
dibebaskan;
i. dirahasiakan
identitasnya;
j. mendapat
identitas baru;
k. mendapat
tempat kediaman
sementara;
l. mendapat
tempat kediaman
baru;
m. memperoleh
penggantian biaya
transportasi
and fair
treatment);
b. Restitusi
(Restitution) bagi
korban tindak
pidana;
c. Kompensasi
(Compensation)
bagi korban
tindak pidana;
d. Bantuan
(Assistance) bagi
korban tindak
pidana.
Bagian Victims of
abuse of power:
Negara perlu
mempertimbangkan
penambahan
hukum-hukum yang
melarang
penyalahgunaan
kekuasaan, berikut
penyediaan fasilitas-
fasilitas pemulihan
bagi para korban
penyalahgunaan
tersebut, khususnya
yang meliputi
restitusi dan/atau
ganti rugi dan
kelengkapan-
kelengkapan yang
diperlukan, bantuan
medis, sosial dan
psikologis serta
dukungan.
43
pasal-pasal
492, 504, 505,
506, dan 536,
maka boleh
diterapkan
syarat-syarat
khusus lainnya
mengenai
tingkah laku
terpidana yang
harus dipenuhi
selama masa
percobaan atau
selama
sebagian dari
masa
percobaan.
(3) Syarat-
syarat tersebut
di atas tidak
boleh
mengurangi
kemerdekaan
beragama atau
kemerdekaan
berpolitik
terpidana.
8) Hak
untuk
mendapatkan
penggantian
biaya sebagai
saksi (Pasal
229 ayat (1)).
sesuai dengan
kebutuhan;
n. mendapat
nasihat hukum;
o. memperoleh
bantuan biaya
hidup sementara
sampai batas
waktu Perlindu-
ngan berakhir;
dan/atau
p. mendapat
pendampingan.
Hak-hak lain:
- Kompensasi,
Pasal 7 (1).
- Restitusi,
Pasal 7A (1).
- Bantuan,
Pasal 6 ayat
(1).
Access to
justice and
fair
treatment
Tidak ada. Secara
eksplisit hanya
diatur hak
tersangka/
terdakwa.
Hak untuk
mendapatkan
bantuan hukum
bagi tersangka/
terdakwa
(Pasal 56 ayat
(1)).
Ada (melalui
LPSK).
Pasal 5 UU PSK
Pasal 6 ayat (1)
UU PSK:
Korban pelangga-
ran hak asasi
manusia yang
berat, korban
tindak pidana
terorisme, korban
tindak pidana
perdagangan
orang, korban
tindak pidana
penyiksaan,
Ada.
Bagian Access to
justice and fair
treatment
1. Korban
harus diperlakukan
dengan belas kasih
dan penghormatan
atas martabatnya.
Mereka berhak
untuk mengakses
mekanisme
peradilan dan
meminta ganti rugi,
sebagaimana diatur
oleh perundang-
undangan nasional,
44
korban tindak
pidana kekerasan
seksual, dan
korban pengania-
yaan berat, selain
berhak sebagai-
mana dimaksud
dalam Pasal 5,
juga berhak
mendapatkan:
a. bantuan medis;
dan
b. bantuan
rehabilitasi
psikososial dan
psikologis.
atas kerugian yang
mereka derita.
2. Mekanisme
peradilan dan
administrasi harus
dibentuk dan
diperkuat jika
diperlukan untuk
memungkinkan
korban
mendapatkan ganti
rugi melalui
prosedur formal
ataupun informal
yang cepat, adil,
murah dan mudah
diakses. Para
korban harus diberi
tahu tentang hak
mereka dalam
mencari ganti rugi
melalui mekanisme
semacam itu.
3. Tingkat
responsif proses
peradilan dan
administrasi
terhadap kebutuhan
korban harus
dilakukan dengan:
1) Memberi tahu
korban tentang
peran mereka
dan ruang
lingkupnya,
waktu dan
kemajuan proses
persidangan dan
penanganan
kasus mereka,
terutama jika
terkait dengan
tindak pidana
berat dan ketika
mereka meminta
informasi
tersebut;
2) Mengizinkan
45
pandangan dan
keprihatinan
terhadap korban
untuk
ditunjukkan dan
dipertimbangkan
pada tahap yang
tepat dari proses
persidangan di
mana
kepentingan
pribadi mereka
terpengaruh,
tanpa merugikan
terdakwa dan
tetap konsisten
dengan sistem
peradilan pidana
nasional yang
ada;
3) Memberikan
bantuan
pendampingan
yang tepat
kepada korban
selama proses
hukum;
4) Mengambil
tindakan untuk
meminimalkan
ketidaknyamana
n bagi korban,
melindungi
privasi mereka
dalam hal
diperlukan, dan
memastikan
keselamatan
mereka, serta
keluarga dan
saksi atas nama
mereka, dari
intimidasi dan
pembalasan
dendam;
5) Menghindari
penundaan yang
tidak perlu dalam
46
penanganan
kasus dan
pelaksanaan
perintah eksekusi
atau keputusan
penghargaan
terhadap korban.
4. Mekanisme
informal untuk
penyelesaian
sengketa, termasuk
mediasi, arbitrase
atau pengadilan
adat istiadat harus
digunakan, mana
yang tepat untuk
memfasilitasi
konsiliasi dan ganti
rugi bagi korban.
Kompensa-
si
Tidak ada. Tidak ada. Ada (melalui
LPSK).
Kompensasi
secara khusus
diberikan kepada
korban
pelanggaran hak
asasi manusia
berat
sebagaimana
yang disebutkan
dalam Pasal 7
ayat (1) UU PSK
dan Pasal 2 ayat
(1) PP No. 35
Tahun 2020.
Ada.
Dalam deklarasi
tersebut, mengenai
compensation, bila
kompensasi tidak
sepenuhnya tersedia
dari pelaku atau
sumber lain, negara
harus berusaha
untuk memberikan
kompensasi
keuangan bagi:
a) Korban yang
mengalami cedera
tubuh yang
signifikan atau
gangguan kesehatan
fisik atau mental
sebagai akibat dari
tindak pidana berat;
b) Keluarga,
yang berada dalam
tanggungannya,
secara khusus bagi
orang yang telah
meninggal atau
menjadi secara fisik
47
atau mental tidak
lagi mampu sebagai
akibat dari tindak
pidana tersebut.
Restitusi Tidak ada. Tidak ada. Ada (melalui
LPSK).
Pasal 7A (1) yang
menyatakan:
Korban tindak
pidana berhak
memperoleh
Restitusi berupa:
a. ganti kerugian
atas kehilangan
kekayaan atau
penghasilan;
b. ganti kerugian
yang ditimbulkan
akibat
penderitaan yang
berkaitan
langsung sebagai
akibat tindak
pidana; dan/atau
c. penggantian
biaya perawatan
medis dan/atau
psikologis.
Ada.
Pada bagian
Restitution
dinyatakan:
Pelaku atau pihak
ketiga yang
bertanggung jawab
atas perilakunya
harus memberi
restitusi yang adil
bagi korban,
keluarga atau
tanggungan mereka.
- Restitusi
tersebut harus
mencakup
pengembalian harta
atau pembayaran
untuk kerusakan
atau kerugian yang
diderita;
- Penggantian
biaya yang
dikeluarkan sebagai
akibat dari tindak
pidana;
- penyediaan
layanan dan
pemulihan hak.
Bantuan Tidak ada. Ada (bantuan
prosedural).
Hak untuk
didampingi
juru bahasa
(Pasal 177 ayat
(1)).
Hak untuk
Ada (melalui
LPSK).
Pasal 6 ayat (1),
korban-korban
tersebut berhak
juga
mendapatkan:
a. bantuan medis;
dan
Ada.
Dalam bagian
assistance
dinyatakan:
- korban harus
menerima materi
yang memang
diperlukan, medis,
psikologis, dan
48
didampingi
penerjemah
(Pasal 178 ayat
(1)).
b. bantuan reha-
bilitasi psiko-
sosial dan
psikologis.
bantuan sosial lain
baik melalui instansi
pemerintah,
sukarelawan,
komunitas dan
masyarakat adat.
- Korban harus
diberitahu tentang
ketersediaan
layanan kesehatan
dan sosial serta
bantuan lain yang
relevan dan yang
mudah diberikan
akses kepada
mereka.
- Kepolisian,
lembaga peradilan,
kesehatan, layanan
sosial dan aparat
lain yang terkait
harus menerima
pelatihan untuk
membuat mereka
peka terhadap
kebutuhan korban,
dan pedoman untuk
memastikan bantuan
yang tepat dan
cepat.
- Dalam
memberikan
pelayanan dan
bantuan kepada
korban, perhatian
harus diberikan
kepada mereka yang
berkebutuhan
khusus karena sifat
kerugian yang
ditimbulkan atau
karena faktor-faktor
lain yang memang
membutuhkan
perlakuan khusus.
Perlindung
-an korban
Tidak ada. Kemungkinan
terbatas
Tidak ada. Ada.
49
penyalah-
gunaan
kekuasaan
praperadilan.
Pasal 1 angka
10 KUHAP:
Praperadilan
adalah
wewenang
pengadilan
negeri untuk
memeriksa dan
memutus
menurut cara
yang diatur
dalam undang-
undang ini,
tentang:
a. sah atau
tidaknya suatu
penangkapan
dan atau
penahanan atas
permintaan
tersangka atau
keluarganya
atau pihak lain
atas kuasa
tersangka;
b. sah atau
tidaknya
penghentian
penyidikan
atau
penghentian
penuntutan
atas
permintaan
demi tegaknya
hukum dan
keadilan;
c. permintaan
ganti kerugian
atau
rehabilitasi
oleh tersangka
atau
keluarganya
atau pihak lain
Bagian Victims of
abuse of power:
1. Negara perlu
mempertimbangkan
penambahan
hukum-hukum yang
melarang
penyalahgunaan
kekuasaan, berikut
penyediaan
fasilitas-fasilitas pemulihan bagi para
korban
penyalahgunaan
tersebut, khususnya
yang meliputi
restitusi dan/atau
ganti rugi dan
kelengkapan-
kelengkapan yang
diperlukan, bantuan
medis, sosial dan
psikologis serta
dukungan;
2. Negara perlu
mempertimbangkan
penyusunan
kesepakatan
perjanjian
internasional
multilateral yang
berkenaan dengan
penanganan korban;
3. Negara perlu
meninjau ulang
perundang-
undangan yang ada
dan
pelaksanaannya,
untuk memastikan
reaksi akan
perubahan situasi,
jika diperlukan,
adanya aturan-
aturan yang
melarang tindakan-
tindakan
50
atas kuasanya
yang
perkaranya
tidak diajukan
ke pengadilan.
Pasal 95
KUHAP - PP
No. 92 Tahun
2015:
Tuntutan ganti
kerugian
merupakan hak
yang diberikan
oleh negara
kepada korban
yang merasa
dirugikan
karena
ditangkap,
ditahan,
dituntut, dan
diadili atau
dikarenakan
tindakan lain,
tanpa alasan
yang
berdasarkan
undang-
undang atau
karena
kekeliruan
mengenai
orangnya atau
hukum yang
diterapkan oleh
penegak
hukum.
penyalahgunaan
ekonomi atau
politik, seperti
halnya
mempromosikan
kebijakan-kebijakan
dan mekanisme
pencegahannya
serta
mengembangkan
dan menyiapkan
hak-hak dan
pemulihan bagi
korban atas
pelanggaran-
pelanggaran
tersebut.
1.2.1. Perlindungan Korban dalam KUHP dan KUHAP
KUHP dan KUHAP merupakan gambaran umum mengenai sistem hukum
pidana yang berlaku di Indonesia di samping terdapat ketentuan pidana dan
51
hukum acara di luar KUHP dan KUHAP yang bersifat khusus. Dalam konteks
perlindungan korban, kita pun dapat melihat bagaimana KUHP dan KUHAP
mengkonstrikan pemberian perlindungan terhadap korban kejahatan. Adapun
penjelasannya yaitu sebagai berikut:
1. KUHP
Sebelum masuk pada kesimpulan tentang bagaimana KUHP
mengkonstruksikan perlindungan korban kejahatan, kita perlu untuk terlebih
dahulu melihat ketentuan dalam KUHP yang mengatur atau berkaitan dengan
perlindungan korban kejahatan. Dalam pembahasan mengenai perlindungan
korban, sebelumnya penulis telah mengemukakan bahwa terdapat perlindungan
yang bersifat langsung dan yang bersifat tidak langsung. Bahwa dalam KUHP,
bentuk perlindungan langsung yang dapat ditemui yaitu kemungkinan adanya
ganti kerugian dalam Pasal 14c sebagaimana tertulis dalam tabel sebelumnya. Hal
yang perlu untuk dicermati di sini yaitu berkaitan dengan kapan keharusan
mengganti kerugian ini timbul yang mana terbuka bila pidana yang dijatuhkan
merupakan pidana percobaan. Selain penetapan syarat umum bahwa terpidana
tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat pula menetapkan syarat khusus
bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari masa
percobaannya, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan
oleh tindak pidana tersebut. Penggantian kerugian baik seluruh maupun sebagian
oleh terpidana kepada korbannya belumlah dapat dikatakan sebagai bentuk sanksi
pidana, namun seolah-olah hanya merupakan pengganti pidana pokok saja.68
68 Cahyono, Kebijakan Pemberian Ganti Kerugian Terhadap Korban Kejahatan dalam Perkara Pidana
di Masa Mendatang, Varia Peradilan, No. 282 Mei 2009, h. 49, dikutip dari Reni Yulia, Melihat
Keberadaan Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana (Sebuah Upaya Pemenuhan Hak Korban
52
Barda Nawawi Arief bahkan menyatakan bahwa dalam aturan umum KUHP tidak
dikenal jenis pidana ganti rugi. Ganti rugi bukan sebagai salah satu bentuk/jenis
pidana, tetapi justru hanya sebagai syarat bagi terpidana untuk tidak menjalani
pidana pokok atau dengan kata lain bahwa ide dasar pidana bersyarat dalam
KUHP tetap berorientasi pada pelaku tindak pidana dan tidak berorientasi pada
korban tindak pidana.69 Sehingga dapat dikatakan bahwa ganti rugi dalam KUHP
bukan merupakan sanksi pidana yang bisa berdiri sendiri dikarenakan tidak dapat
dijatuhkan apabila hakim tidak terlebih dahulu menjatuhkan pidana bersyarat.
Jika tetap melihat perundang-undangan di luar KUHP, sanksi semacam
pidana ganti rugi hanya dapat diberikan untuk tindak pidana tertentu saja,
seperti:70
1) untuk tindak pidana ekonomi (sebagai “tindakan tata tertib”
berdasarkan Pasal 8msub d UU No. 7 Drt. 1955 yang berupa
kewajiban “memperbaiki akibat-akibat atas biaya si
terhukum”);
2) untuk tindak pidana korupsi (sebagai “pidana tambahan”
berupa pembayaran uang pengganti” berdasarkan Pasal 34
sub c UU No. 3/1971 yang telah diubah menjadi Pasal 18 UU
31/1999);
3) untuk tindak pidana lingkungan hidup (sebagai “tindakan tata
tertib” berdasarkan Pasal 47 sub c,d,e UU No 23/1997 berupa
“perbaikan akibat tindak pidana”, “mewajibkan mengerjakan
apa yang dilakukan tanpa hak”, dan/atau meniadakan apa
yang dilalaikan tanpa hak”);
4) untuk tindak pidana perlindungan konsumen (sebagai pidana
tambahan berupa “pembayaran ganti rugi”, Pasal 63 UU No.
8/1999.
Oleh Maya Indah, ganti rugi dalam hal-hal tertentu tersebut di atas merupakan
bentuk perlindungan korban secara langsung namun bersifat kolektif karena
oleh Jaksa Penuntut Umum), dalam Syaiful Bakhri dkk., Hukum Pidana Masa Kini, Total Media,
Yogyakarta, 2014, h. 175. 69 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan..., Loc.Cit., h. 62. 70 Ibid., h. 63.
53
mencakup kepentingan orang banyak bukan secara orang perseorangan.71
Dikatakan bahwa hukum pidana positif lebih mengasumsikan pada pelaku tindak
pidana yang dianggap mengganggu ketertiban dalam masyarakat daripada
mengganggu kepentingan hukum korban.
Angkasa dalam disertasinya mengungkapkan dua alasan mengapa
kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia belum optimal jika
dibandingkan dengan dengan kedudukan pelaku.72 Pertama, KUHP belum secara
tegas merumuskan ketentuan yang secara konkret atau langsung memberikan
perlindungan hukum terhadap korban, misalnya dalam hal penjatuhan pidana
wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga
korban. KUHP juga tidak merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) yang
sebenarnya bermanfaat bagi korban dan/atau keluarga korban.
Rumusan pasal-pasal dalam KUHP cenderung berkutat pada rumusan tindak
pidana, pertanggungjawaban, dan ancaman pidana. Hal ini tidak terlepas pula dari
doktrin hukum pidana yang melatarbelakangi sebagaimana dikatakan oleh Herbert
Parker dan Muladi bahwa masalah hukum pidana meliputi perbuatan yang
dilarang atau kejahatan (offence), orang yang melakukan perbuatan terlarang dan
mempunyai aspek kesalahan (guilt), serta ancaman pidana (punishment).
Kedua, KUHP menganut aliran neoklasik yang antara lain menerima
berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang
menyangkut fisik, lingkungan, serta mental. Demikian pula dimungkinkannya
aspek-aspek yang meringankan pidana bagi pelaku tindak pidana dengan
pertanggungjawaban sebagian, di dalam hal-hal yang khusus, misalnya jiwanya
71 C. Maya Indah S., Op.Cit., h. 137. 72 Angkasa, Kedudukan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Universitas Diponegoro,
Semarang, 2004, h. 169-172, dikutip dari Siswanto Sunarso, Op.Cit., h. 49-50.
54
cacat (gila), di bawah umur, dan sebagainya. Bahwa pengaturan KUHP
berorientasi pada pelaku bahkan korban cenderung dilupakan.73
2. KUHAP
Ketika para pencari keadilan telah memilih jalur hukum pidana sebagai jalur
yang di tempuh untuk mendapat keadilan yang mereka maksud, sudah barang
tentu sebagai negara hukum Indonesia memiliki prosedur-prosedur hukum yang
perlu untuk dilalui baik untuk tujuan ketertiban maupun untuk kepentingan para
pihak yang berperkara. Bahwa di samping KUHP sebagai hukum materiil di
Indonesia, terdapat KUHAP sebagai hukum formil untuk menegakkan hukum
materiil. Tujuan dari KUHAP adalah untuk menegakkan norma hukum (pidana
materiil), dengan mencari dan menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya
(materiil).74 Secara umum KUHAP memang bertujuan untuk menegakkan hukum
materiil. Tetapi dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP lebih dipertegas mengenai
tujuan KUHAP dengan menyatakan bahwa:75 “... dengan tujuan untuk mencari
siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum,
...”. Dari sini dapat diperkirakan kemana arah KUHAP ini difungsikan. Sehingga
yang menjadi pertanyaan penulis yaitu apakah dengan adanya tujuan dan
pengimplementasiannya dalam pasal-pasal, KUHAP sudah dapat memberikan
perlindungan yang setidak-tidaknya seimbang dengan yang didapatkan oleh
pelaku atau masih belum memberikan perlindungan yang maksimal terhadap
korban. Hal tersebutlah yang akan penulis jabarkan lebih lanjut dalam sub
bahasan ini.
73 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta,
2010, h. 181-182, dikutip dari Siswanto Sunarso, Loc.Cit. 74 M. Haryanto, Loc.Cit., h. 3. 75 Andi Hamzah, Loc.Cit., h. 7-8.
55
Pengaturan tentang hak korban dalam KUHAP sebagaimana tertera pada
tabel sebelumnya didominasi oleh hak korban dalam kaitannya dengan proses
persidangan. Hal ini menurut penulis bukan terjadi tanpa alasan melainkan
didasarkan atas konstruksi dari peraturan itu sendiri. Seperti contoh pada hak
korban yang dapat mengundurkan diri untuk memberi kesaksian. Rasanya sangat
sulit bagi korban untuk melakukan hal tersebut dikarenakan kontruksi KUHAP
yang memang diperuntukan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum. Jika dikaitkan dengan Pasal
159 ayat (2) KUHAP yang mengatur tentang menjadi saksi yang merupakan salah
satu kewajiban setiap orang, semakin jelas bahwa perlindungan korban diberikan
dengan cara memastikan setiap unsur delik terpenuhi dilihat dari keterlibatan
saksi-saksi termasuk korban. Perlindungan yang demikian dalam pembahasan
penulis tentang perlindungan korban merupakan bentuk perlindungan yang
bersifat tidak langsung.
Dalam KUHAP sebenarnya terdapat pengaturan tentang prosedur tuntutan
ganti kerugian yaitu pada Pasal 1 angka 10 KUHAP tentang praperadilan serta
ganti kerugian dalam Pasal 95 KUHAP dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
oleh penegak hukum. Akan tetapi, ganti rugi yang diberikan tidak dalam
konstruksi korban yang dikorbankan lagi dalam proses peradilan melainkan dalam
kerangka pelaku kejahatan yaitu yang berkaitan dengan penangkapan, penahanan,
penuntutan, dan eksekusi. Hak penggabungan perkara gugatan ganti kerugian
56
dalam perkara pidana merupakan satu-satunya kemungkinan lain perlindungan
korban secara langsung yang diatur. Perlindungan korban dalam bentuk
penggabungan perkara sebagaimana diatur pada Pasal 98-101 KUHAP, dapat
dijabarkan sebagai berikut:76
1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam
suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua
sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada
perkara pidana itu.
2) Permintaan tersebut hanya dapat diajukan selambat-
lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan
pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan
diajukan selambat-lambatnya sebelum menjatuhkan putusan.
3) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara
gugatannya pada perkara pidana, maka pengadilan negeri
menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan
tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang
hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh
pihak yang dirugikan.
4) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak
berwenang mengadili gugatan atau gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang
penetapan hukuman penggantian biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
5) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya
mendapatkan kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga
mendapat kekuatan hukum tetap.
Berkaitan dengan pengajuan tuntutan ganti kerugian di atas, Muhadar
menjelaskan bahwa pihak-pihak perlu memperhatikan beberapa hal sebagai
berikut:77
1) Kerugian yang terjadi harus ditimbulkan oleh tindak pidana
itu sendiri.
2) Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana atau orang
lain yang menderita kerugian (korban) sebagai akibat
langsung dari tindak pidana tersebut.
76 Bambang Waluyo, Op.Cit., h. 57. 77 Ibid., h. 58.
57
3) Gugatan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana tadi
diajukan kepada “si pelaku tindak pidana” (terdakwa).
4) Tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa tadi
digabungkan atau diperiksa dan diputus sekaligus bersamaan
pada pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang
didakwakan kepada terdakwa dan dalam bentuk satu putusan.
Terlihat bahwa sekalipun diatur tentang prosedur penggabungan perkara untuk
mendapatkan ganti kerugian, terdapat hal-hal yang memerlukan usaha lebih untuk
bisa terwujud. Dalam prakteknya, tidak jarang bahwa prosedur atau kemungkinan
adanya ganti kerugian terhadap korban tersebut tidak diberitahukan kepada korban
baik oleh penuntut umum maupun oleh penasehat hukum korban itu sendiri atas
dasar bertambahnya kompleksitas perkara yang ditangani. Dalam proses proses
persidangan pun hakim dirasa tidak pernah memberikan pilihan atau menawarkan
prosedur ganti kerugian melalui penggabungan perkara. Terdapat banyak
kemungkinan yang menyebabkan hal itu terjadi. Tetapi menurut penulis, hak-hak
korban yang sudah terbatas tersebut seharusnya patut diperjuangkan agar
terpenuhinya hasrat akan pemberian perlindungan terhadap korban.
Mengenai kelemahan-kelemahan dalam prosedur ganti kerugian terhadap
korban, R. Soeparmono berpendapat sebagai berikut:
1) Sistem penggabungan tersebut dirasakan belum mendekati
hakekat tujuan ganti kerugian itu sendiri.
2) Tuntutan ganti kerugian oleh orang lain yang menderita
langsung kerugian atau pihak korban untuk memperoleh
jumlah besarnya ganti kerugian dibatasi hanya pada kerugian
materiil yang nyata-nyata dikeluarkan oleh orang yang
dirugikan tersebut. jadi, KUHAP dalam ketentuan-
ketentuannya membatasi hak.
3) Untuk kerugian imateriil terpaksa harus mengajukan lagi
dengan gugatan perdata biasa tersendiri, yang mungkin
memakan waktu lama.
4) Kondisi seperti ini berarti mengaburkan maksud semula dari
penggabungan itu sendiri, yang bertujuan menyederhanakan
proses.
58
5) Adanya kendala dalam pelaksanaan masalah pembayaran
ganti kerugian tersebut.
6) Apabila pihak korban tetap menuntut ganti kerugian yang
bersifat imateriil juga hasilnya akan nihil, karena putusan
selalu menyatakan gugatan ganti kerugian imateriil tersebut
dinyatakan tidak dapat diterima, karena tidak berdasarkan
hukum.
7) Majelis hakim harus cermat, sebab selalu harus memisahkan
antara kerugian materiil dengan kerugian imateriil, sehingga
tidak efisien.
8) Gugatan ganti rugi kerugian pada perkara pidana hanya
bersifat assesor.
9) Pada setiap putusan perdatanya, pihak korban/penggugat
dalam penggabungan perkara ganti kerugian tersebut selalu
menggantungkan pihak terdakwa atau jaksa penuntut umum,
jika mau banding, sehingga melenyapkan hak bandingnya
sebagai upaya hukum.
Adanya prosedur ganti kerugian bagi korban pada KUHAP memang dapat
dimaknai sebagai bentuk perlindungan bagi korban kejahatan tetapi di lain sisi
menjadi sia-sia karena tidak dilaksanakan karena berbagai kelemahannya.
Perlindungan korban dalam KUHAP diatur secara terbatas dan tidak memiliki
daya eksekusi yang kuat. KUHAP dalam hal perlindungan korban bahkan belum
bisa dikritik dengan ungkapan “sebagus-bagusnya suatu peraturan akan percuma
jika tidak dapat dilaksanakan” dikarenakan pengaturannya yang masih terbatas
sehingga belum dapat dikategorikan sudah memberikan perlindungan yang cukup
bagi korban kejahatan. KUHAP tidak hanya memiliki kelemahan dari segi
implementasi tetapi dari hulu atau pengaturannya masih memerlukan pembaruan.
Terhadap pengaturan hak-hak korban ini juga, Maya Indah menyatakan
bahwa pembedaan perlindungan hak-hak korban masih disubordinasikan daripada
pelaku dalam bebera hal.78 Pertama, hak untuk mendapatkan mendapatkan
bantuan hukum tidak diakomodasi bagi korban. Korban harus berhadapan dengan
78 C. Maya Indah S., Op.Cit., h. 144.
59
perilaku aparat penegak hukum dan pelaku sendiri. Diasumsikan bahwa korban
seakan sudah diwakili oleh negara dalam hal ini aparat penegak hukumnya.
Kedua, hak lain yang spesifik bagi korban dalam proses peradilan pidana yakni
apabila dikedepankan kacamata korban, maka korban pun seharusnya
memperoleh hak untuk memilih penyelesaian kasus yang dihadapinya. Berbagai
penyelesaian hukum tidak menutup kemungkinan merupakan hasil konfirmasi
antara penegak hukum dan pelaku tanpa melibatkan korban. Ketiga, hak yang
kurang diperhatikan dalam kebijakan formulasi terhadap korban adalah hak
korban untuk mengetahui sejauh mana proses peradilan pidana, dalam arti hak
untuk “to acces for justice”. Keempat, hak korban untuk mendapat perlindungan
atau hak korban untuk mendapat jaminan keamanan merupakan hak yang harus
diwadahi dalam ketentuan normatif. Kelima, hak korban untuk memperoleh
pendampingan dalam mengurangi penderitaan yang dialaminya, baik secara moral
psikologis maupun sosial.
Dengan demikian, dapat penulis katakan bahwa perlindungan korban yang
diberikan baik dalam KUHP maupun KUHAP masih merupakan perlindungan
yang terbatas. Secara konkret, korban belum mandapatkan perhatian secara
proporsional,79 bahkan jika dibandingkan dengan perlindungan yang didapatkan
oleh pelaku. Di sisi lain, perlindungan korban lebih banyak merupakan
perlindungan yang tidak langsung80 di mana perlindungan diberikan melalui
pemidanaan pelaku yang lebih ditekankan pada hak-hak korban untuk melakukan
penuntutan di pengadilan. Sedangkan perlindungan secara langsung yang
79 J.E. Sahetapi, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, h. 39. 80 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Cipta
Aditya Bakti, Bandung, 1998, h. 58.
60
merupakan perlindungan yang diberikan atas dasar kerugian yang dialami korban
baik kerugian secara materiil maupun imateriil, bukan merupakan hal utama
bahkan cenderung terlupakan dalam proses peradilan.
1.2.2. Perlindungan Korban dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Perkembangan perlindungan korban kejahatan di Indonesia akhirnya
mendapatkan angin segar menyusul kesadaran akan perlindungan korban yang
ada selama ini belum maksimal. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya
disebut UU PSK 2006), disebutkan bahwa:
Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana
di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai
dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap
tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari
berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh
karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban
diatur dengan undang-undang tersendiri.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sejatinya sudah terjadi ketimpangan antara
perlindungan terhadap pelaku dan perlindungan terhadap korban kejahatan dalam
perundang-undangan yang berlaku. Permasalahannya tidak pada ingin
menyamaratakan perlindungan keduanya melainkan pada kurangnya perhatian
yang diberikan terhadap korban sebagai pihak yang dirugikan dalam suatu
peristiwa pidana.
Dalam penjelasan lain UU PSK 2006 dinyatakan juga bahwa keberhasilan
suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil
61
diungkap atau ditemukan. Sehingga dibentuklah undang-undang tersebut dalam
rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana
dengan menciptakan iklim yang kondusif melalui pemberian perlindungan hukum
dan keamanan bagi setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang
dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal
tersebut kepada penegak hukum. Dalam Pasal 4 UU PSK dinyatakan bahwa:
“Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi
dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan
pidana.” Walaupun terlihat seperti permasalahan redaksional biasa, Penjelasan
Umum dan pasal dalam UU PSK 2006 tersebut menurut penulis masih tetap
membawa politik hukum yang dibangun dalam KUHP dan KUHAP yang
berfokus pada perlindungan melalui pemidanaan pelaku dengan lebih
menekankan pada keterangan saksi korban daripada kesadaran akan kerugian-
kerugian yang dialami korban. Akan tetapi, pendapat penulis belum bersifat
komprehensif karena belum didasarkan atas pembahasan keseluruhan isi undang-
undang. Bagaimanapun juga, penjelasan umum dan satu pasal saja tidak cukup
menjelaskan dan menggambarkan kualitas perlindungan korban yang diberikan
dalam undang-undang tersebut secara keseluruhan. Salah satu contoh yaitu
munculnya suatu lembaga khusus yang disebut sebagai Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (selanjutnya disebut LPSK) yang baru muncul setelah adanya
undang-undang tersebut. Tentu itu merupakan suatu kemajuan pada aspek
perlindungan korban di Indonesia.
Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam UU PSK 2006 meliputi: 1)
Perlindungan dan hak Saksi dan Korban; 2) Lembaga Perlindungan Saksi dan
62
Korban; 3) Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan 4)
Ketentuan pidana. Dari pengaturan yang ada dalam UU PSK 2006, terdapat hal-
hal yang dirasa belum maksimal sehingga dilakukan perubahan melalui Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut UU
PSK). Kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan UU PSK 2006 yang menjadi
dasar dilakukan perubahan sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Umum UU
PSK secara khusus yaitu mengenai:
a. kelembagaan yang belum memadai untuk mendukung tugas
dan fungsi LPSK dalam memberikan Perlindungan terhadap
Saksi dan Korban;
b. keterbatasan kewenangan yang menyangkut substansi
penjabaran dari tugas dan fungsi LPSK yang berimplikasi
pada kualitas pemberian layanan Perlindungan Saksi,
Korban, Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli;
c. koordinasi antarlembaga dalam pelaksanaan pemberian
Kompensasi dan Restitusi; dan
d. Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
LPSK yang dibentuk berdasarkan UU PSK 2006 memiliki peranan yang
sangat penting dalam rangka perlindungan korban. Perkembangan sistem
peradilan pidana saat ini, tidak saja berorientasi kepada pelaku, tetapi juga harus
berorientasi kepada kepentingan pihak korban. Oleh karena itu, kelembagaan
LPSK harus dikembangkan dan diperkuat agar dalam menjalankan tugas, fungsi,
dan kewenangannya dapat sinergis dengan tugas, fungsi, dan kewenangan
lembaga penegak hukum yang berada dalam sistem peradilan pidana. Selain
mengatur tentang LPSK, terdapat juga pengembangan perlindungan korban
melalui pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan lainnya yang prosedurnya
diatur melalui UU PSK dan peraturan pelaksananya.
63
Pasal 1 angka 8 UU PSK menyatakan bahwa: “Perlindungan adalah segala
upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga
lainnya sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini.” Sebagaimana termuat dalam
Pasal 3 UU PSK, perlindungan dilakukan dengan berasaskan pada: a.
penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b. rasa aman; c. keadilan; d. tidak
diskriminatif; dan e. kepastian hukum. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU PSK setelah
perubahan, terdapat perluasan hak-hak saksi dan korban menimbang undang-
undang tersebut diubah untuk menciptakan iklim yang kondusif demi
mengungkap suatu tindak pidana.
UU PSK dan aturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35
Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018
Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan
Korban (selanjutnya disebut PP No. 35 Tahun 2020) mengatur perlindungan
korban dengan cara memberikan kompensasi, restitusi, dan bantuan. Pasal 1 angka
10 UU PSK mengartikan kompensasi sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh
negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang
menjadi tanggung jawabnya kepada korban atau keluarganya. Restitusi itu sendiri
menurut Pasal 1 angka 11 UU PSK merupakan ganti kerugian yang diberikan
kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Sedangkan
bantuan, Pasal 1 angka 7 PP No. 35 Tahun 2020 mengartikan: “Bantuan adalah
layanan yang diberikan kepada Saksi dan/atau Korban oleh LPSK dalam bentuk
bantuan medis serta bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.”
64
Kompensasi secara khusus hanya diberikan kepada korban pelanggaran hak
asasi manusia berat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU PSK
dan Pasal 2 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2020. Mengenai restitusi memang
disebutkan bahwa “korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi”. Akan
tetapi, dalam Pasal 7A ayat (2) UU PSK disebutkan bahwa: “Tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK.” Hal
tersebut berarti bahwa tidak semua tindak pidana dapat mendapatkan restitusi.
Ayat (2) tersebut tidak memberikan kejelasan atau bahkan dapat dikatakan tetap
memberikan batasan peluang pemberian restitusi pada korban suatu tindak pidana
karena hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu saja. Faktanya,
kerugian pasti akan selalu ada dan melekat pada korban tindak pidana manapun.
Pembedanya yaitu pada tingkat kerugiannya yang artinya bahwa seharusnya opsi
untuk menuntut ganti kerugian tetap harus dibuka untuk setiap korban tindak
pidana.
Pada Pasal 6 ayat (1), terdapat pengaturan khusus bagi korban pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak
pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak
pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat. Bahwa selain
mendapatkan hak-hak yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1), korban-korban
tersebut berhak juga mendapatkan: a. bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi
psikososial dan psikologis. Adapun yang dimaksud dengan “bantuan medis”
menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a yaitu bantuan yang diberikan untuk
memulihkan kesehatan fisik korban, termasuk melakukan pengurusan dalam hal
korban meninggal dunia misalnya pengurusan jenazah hingga pemakaman. Untuk
65
“rehabilitasi psikososial”, penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b mengartikannya
sebagai semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang
ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi
fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi
sosialnya kembali secara wajar, antara lain LPSK berupaya melakukan
peningkatan kualitas hidup korban dengan melakukan kerja sama dengan instansi
terkait yang berwenang berupa bantuan pemenuhan sandang, pangan, papan,
bantuan memperoleh pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikologis” adalah bantuan yang
diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah
kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban. Dalam hal
ini juga terjadi perluasan makna di mana sebelumnya hanya dimaknai untuk
memulihkan kondisi kejiwaan korban tetapi sekarang juga terdapat usaha untuk
memulihkan kembali keadaan korban di dalam masyarakat atau dengan kata lain
membuat korban tetap mampu menjalani kehidupan sosialnya yang telah
terganggu akibat menjadi korban.
Mengenai pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan, UU PSK mengatur
bahwa hal-hal tersebut diberikan melalui proses pada LPSK terlebih dahulu. Pasal
7 ayat (2) menyatakan: “Kompensasi bagi Korban pelanggaran hak asasi manusia
yang berat diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan
Hak Asasi Manusia melalui LPSK.” Pasal 7A ayat (3): “Pengajuan permohonan
Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK.” Pasal 6 ayat (2): “Bantuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan Keputusan LPSK.”
66
Dengan demikian, hal lain yang perlu diperhatikan yaitu mengenai keberadaan
dari LPSK sebagai ujung tombak dari diadakannya peraturan-peraturan atau
kebijakan-kebijakan yang dipercaya dapat memaksimalkan perlindungan korban
tindak pidana. LPSK memegang peran kunci keberhasilan pelaksanaan
perlindungan korban yang lebih maksimal. Hal ini didasarkan atas bukti pasal-
pasal yang mengamanatkan sebagian besar keputusan perlindungan korban
kepada LPSK. Di samping itu, agar korban dapat memperoleh perlindungan,
kompensasi, restitusi, dan bantuan, terdapat mekanisme yang harus dilalui terlebih
dahulu yaitu melalui LPSK atau bahkan ada yang dapat dilakukan dengan inisiatif
LPSK itu sendiri.
Pasal 28 ayat (1) UU PSK menyatakan bahwa:
Perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban diberikan
dengan syarat sebagai berikut:
a. sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
b. tingkat Ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau
Korban;
c. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi
dan/atau Korban; dan
d. rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh Saksi
dan/atau Korban.
Sedangkan prosesnya, secara garis besar yang harus ditempuh oleh korban
sebelum memperoleh perlindungan korban tersebut yaitu:
1) Permohonan, diajukan secara tertulis kepada LPSK (baik
atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang
berwenang);
2) Pemeriksaan, permohonan akan diperiksa dari segi
kelengkapan berkas dan dilanjutkan dengan pemeriksaan
substantif;
3) Keputusan LPSK, di mana hasil pemeriksaan ditetapkan
dengan Keputusan LPSK yang disertai dengan
pertimbangan dan rekomendasi;
4) Keputusan LPSK tersebut dilimpahkan ke pengadilan; dan
5) Setalah mendapatkan penetapan pengadilan, pelaksanaan
pemberian perlindungan korban akan dilakukan baik oleh
67
LPSK atau bersama dengan instansi terkait maupun yang
pemenuhannya melalui pelaku.
Berkaitan dengan syarat yang harus dipertimbangkan sebagaimana termuat
dalam Pasal 28 ayat (1) UU PSK khususnya mengenai sifat pentingnya
keterangan, hal tersebut dapat dipahami sebagai timbal balik yang berasal dari
korban atas perlindungan yang diberikan. Sehingga yang menjadi pertanyaan
besar yaitu bagaimana jika keterangan yang diberikan korban tidak dapat
memenuhi ekspektasi. Sedangkan pada sisi lain juga, takaran atau ukuran sifat
pentingnya keterangan masih bisa dapat dimaknai bermacam-macam. Selain
mengenai pemberian perlindungan korban yang masih diatur terbatas pada tindak
pidana tertentu saja dan belum adanya mekanisme bagi tindak pidana lain, syarat
dan proses yang ada juga memiliki tantangan dan permasalahan untuk dihadapi.
1.2.3. Perlindungan Korban dalam Declaration of Basic Principles of Justice
for Victims of Crime and Abuse of Power
Kejahatan menimbulkan kerugian fisik, finansial dan emosional yang sangat
besar bagi para korbannya. Pada tanggal 29 November 1985, Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Declaration of Basic Principles of
Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (Lampiran Resolusi Majelis
Umum 40/34) berdasarkan keyakinan bahwa para korban harus diperlakukan
dengan belas kasih dan menghormati martabat mereka dan bahwa mereka berhak
untuk segera mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang mereka derita, melalui
akses kepada sistem peradilan pidana, perbaikan dan layanan untuk membantu
pemulihan mereka. Deklarasi tersebut merekomendasikan tindakan yang harus
diambil atas nama korban kejahatan di tingkat internasional, regional dan nasional
68
untuk meningkatkan akses terhadap keadilan dan perlakuan yang adil, restitusi,
kompensasi dan bantuan. Pengalaman banyak negara di dunia telah menunjukkan
bahwa salah satu cara efektif untuk menangani banyak kebutuhan korban
kejahatan adalah dengan membangun program yang memberikan dukungan
sosial, psikologis, emosional dan keuangan, dan secara efektif membantu korban
dalam lembaga peradilan pidana dan sosial. 81
Pada Lampiran Chapter II Victims bagian Victims of Crime, deklarasi
tersebut membahas beberapa hal berkaitan dengan perlindungan korban sebagai
berikut:82
1) Victims of crime (Korban kejahatan):
a. Access to justice and fair treatment (Akses utnuk
mendapatkan keadilan dan perlakuan adil);
b. Restitution (Restitusi);
c. Compensation (Kompensasi); dan
d. Assistance (Bantuan).
2) Victims of abuse of power (Korban penyalahgunaan
kekuasaan).
Pada bagian Access to justice and fair treatment dalam deklarasi,
perlindungan korban yang diberikan yaitu berkaitan dengan perlakuan yang
didapatkan oleh korban. Pada tabel sebelumnya dijelaskan bahwa sikap aparat
penegak hukum yang responsif dan kemudahan akses baik secara informasi
maupun proses merupakan hak korban yang harus dipenuhi. Tidak hanya itu, hak
korban untuk lebih didengar atau terlibat dalam proses peradilan lebih ditekankan
dan di sisi lain juga menjamin bahwa korban mendapatkan bantuan hukum serta
yang tidak kalah penting yaitu memastikan bahwa korban mengetahui hak-
81 Diterjemahkan secara bebas dari: United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention,
Handbook on Justice for Victims: On the use and application of the Declaration of Basic Principle of
Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, United States Department of Justice, New York, 1999,
h. iv. 82 Bambang Widiyantoro, Op.Cit., h. 7.
69
haknya. Dapat dikatakan bahwa tidak hanya dalam tataran mengatur hak-hak
korban berkaitan dengan haknya menempuh mekanisme peradilan dan perlakuan
yang sama, tetapi terdapat langkah selanjutnya yang tidak kalah penting yaitu
memastikan bahwa hak-hak tersebut diketahui oleh korban dan memastikan
korban dapat menggunakan haknya untuk mendapatkan keadilan.
Berkaitan dengan restitution deklarasi tersebut, dalam Handbook on Justice
for Victims: On the use and application of the Declaration of Basic Principle of
Justice for Victims of Crime and Abuse of Power atau petunjuk pelaksana
deklarasi tersebut, restitusi harus digunakan sebagai cara untuk menanggulangi
beberapa kerugian yang terjadi pada korban dan untuk memberikan cara yang
konstruktif secara sosial bagi pelaku untuk dimintai pertanggungjawaban, dan di
sisi lain sambil menawarkan kemungkinan rehabilitasi seluas-luasnya.83 Bahwa
restitusi tidak hanya dipandang sebagai mekanisme untuk mengganti kerugian
korban melainkan juga digunakan sebagai jalan untuk memperbaiki hubungan
korban dengan pelaku dalam konstruksi sosial di mana pelaku diberikan
kesempatan untuk mempertanggungjawabkan kejahatannya secara langsung yang
diharapkan dapat membuat korban membuka jalan rehabilitasi bagi pelaku.
Dengan kata lain, kemungkinan akan mekanisme restitusi harus disediakan pada
setiap peristiwa pidana.
Kompensasi korban kejahatan merupakan salah satu pilar pendampingan
korban. Bagi banyak korban di seluruh dunia, ini berfungsi sebagai alat utama
bantuan keuangan akibat tindak pidana. Ada satu perbedaan penting antara
restitusi dan kompensasi sebagai dua sumber bantuan keuangan bagi korban
83 United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention, Op.Cit., h. 47
70
kejahatan yaitu: kompensasi tidak memerlukan pemahaman dan keyakinan pelaku
untuk memberikan bantuan keuangan kepada korban. Meskipun dampak fisik dan
psikologis dari kejahatan mungkin merupakan akibat kejahatan yang paling nyata
dan serius, dampak keuangannya juga dapat berbahaya bagi korban.84 Dalam
deklarasi tersebut dikatakan bahwa kompensasi berkaitan dengan kewajiban
negara sebagaimana tertulis pada tabel sebelumnya. Terlihat bahwa deklarasi
tersebut ingin menyatakan bahwa kompensasi merupakan salah satu bentuk
kewajiban negara yang diusuahakan semaksimal mungkin untuk memberikan
perlindungan kepada warga negaranya terutama bagi korban tindak pidana berat
dan keluarganya yang terdampak.
Langkah pertama untuk memberikan bantuan kepada korban yaitu
pemerintah dan/atau lembaga masyarakat harus membuat program layanan korban
yang tepat, yang didedikasikan untuk memberikan layanan kepada korban dan
membantu mereka mengatasi efek traumatis dari suatu tindak pidana dan
akibatnya. Bantuan yang dimaksud dalam deklarasi tidak berbeda jauh dengan
bantuan yang sudah kita kenal selama ini. Akan tetapi, assistance dalam deklarasi
tersebut lebih menekankan pada bagaimana pemberian bantuan itu dilakukan.
Artinya bahwa pemberian bantuan terhadap korban harus dibekali dengan
program yang tepat dan jelas agar dapat diakses oleh korban serta harus didukung
dengan kepekaan aparat penegak hukum untuk mengedapankan hak-hak yang
harus dipenuhi bagi korban.
Perlindungan korban penyalahgunaan kekuasaan juga menjadi bagian
penting dalam deklarasi ini. Hal ini berkaitan dengan “secondary victimization
84 Ibid., h. 44.
71
from the criminal justice system and society” di mana korban yang mengalami
kerugian kembali dikorbankan dalam proses peradilan bahkan saat kemabali ke
masyarakat. Secondary victimization mengacu pada viktimisasi yang terjadi bukan
sebagai akibat langsung dari tindak pidana tetapi melalui tanggapan lembaga dan
individu kepada korban.85 Secondary victimization yang berasal dari institusi
paling terlihat dalam sistem peradilan pidana. Secara sederhana, seluruh proses
investigasi kriminal dan persidangan dapat menyebabkan secondary victimization,
mulai dari penyidikan, melalui keputusan apakah akan menuntut atau tidak,
persidangan itu sendiri dan pemidanaan pelaku, hingga pembebasannya pada
akhirnya. Secondary victimization melalui proses peradilan pidana dapat terjadi
karena kesulitan dalam menyeimbangkan hak-hak korban dengan hak-hak
terdakwa atau pelaku. Lazimnya, ini terjadi karena mereka yang bertanggung
jawab untuk menjalankan proses dan prosedur peradilan pidana melakukannya
tanpa mempertimbangkan perspektif korban.86
Sikap individu terhadap korban juga merupakan hal yang penting. Beberapa
orang yang berhubungan dengan korban (misalnya keluarga, teman, dan kolega)
mungkin ingin menjauhkan diri dari dampak kejahatan dengan menyalahkan
korban atas apa yang telah terjadi. Mereka mungkin memandang perilaku korban
sebagai penyebab, atau bahkan menyebabkan, timbulnya korban. Mereka
mungkin menyangkal dampak kejahatan terhadap korban dengan mendesaknya
untuk melupakan kejahatan tersebut dan melanjutkan hidupnya. Keluarga bisa
menjadi pengaruh yang sangat kuat dalam hal ini.87 Para korban penyalahgunaan
85 Ibid., h. 9. 86 Ibid. 87 Ibid.
72
kekuasaan mengalami kesulitan khusus untuk mendapatkan pengakuan atas fakta
bahwa mereka telah menjadi korban. Inti dari penyalahgunaan kekuasaan adalah
bahwa hal itu dilakukan oleh mereka yang diharapkan dapat melindungi korban
tersebut.88
1.3. Analisis
1.3.1. Perubahan Politik Hukum Pidana Indonesia dalam Perlindungan
Korban
Indonesia dalam Pasal 1 ayat (3) menyebut dirinya sebagai negara hukum.
Hal tersebut berarti bahwa Indonesia mengusahakan perlindungan dan pengakuan
terhadap hak asasi manusia sebagai salah satu ciri negara hukum. Perlindungan
terhadap korban kejahatan pun demikian, bahwa pada dasarnya perlindungan
korban merupakan pengejawantahan dari perlindungan hak asasi manusia itu
sendiri. Dalam melakukan kewajibannya untuk melindungi warga negara, salah
satu mekanisme yang dilakukan oleh negara yaitu melalui pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dalam konteks perlindungan korban berarti negara
mengusahakan perlindungan melalui kebijakan hukum pidana yang
mengedapankan pemenuhan terhadap hak-hak korban.
Arah dari pengaturan perlindungan terhadap korban kejahatan dapat dilihat
dari politik hukum yang digunakan. Seperti yang telah dijelaskan oleh penulis
dalam kajian teori sebelumnya, pembicaraan mengenai politik hukum berisikan
penggambaran usaha penemuan hukum oleh pembentuk peraturan perundang-
88 Ibid.
73
undangan yang kemudian dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang
mereka hasilkan. Politik hukum yang disebut juga sebagai legal policy merupakan
kebijaksanaan dari pembentuk peraturan perundang-undangan untuk menentukan
arah atau tujuan yang dijadikan sebagai dasar pijak dan cara untuk membentuk
serta melaksanakan hukum yang dikonretkan. Bahwa dalam hal politik hukum
pidana (penal policy) yang disamakan dengan terminologi kebijakan hukum
pidana merupakan usaha untuk membuat dan melaksanakan peraturan perundang-
undangan pidana yang baik. Tujuan dari politik hukum pidana tidak hanya
berhenti pada ketentuan peraturan perundang-undangan pidana saja melainkan
lebih daripada itu. Tujuan yang lebih besar yaitu integrasi dari setiap pihak yang
berwenang, tidak hanya pada taraf pembuatan kebijakan melainkan juga hingga
pada taraf pelaksanaannya. Tujuan-tujuan tersebut terkandung di dalam peraturan-
peraturan, prosedur, hingga mekanisme pelaksanaan yang tentunya harus juga
dijiwai oleh pembuat dan pelaksananya.
Perkembangan politik hukum pidana perlindungan korban kejahatan dapat
dilihat dari adanya perubahan bentuk perlindungan atau dari bentuk keadilan yang
ditekankan. Telah penulis kemukakan bahwa terdapat bentuk perlindungan korban
secara langsung dan tidak langsung serta bentuk keadilan retributif dan restoratif.
Adapun terdapat perbedaan yang mendasar antara perlindungan korban secara
langsung dan tidak langsung di mana perlindungan secara langsung merupakan
perlindungan yang diberikan atas dasar kerugian yang dialami korban baik
kerugian secara materiil maupun imateriil sedangkan yang bersifat tidak langsung
diberikan melalui pemidanaan pelaku. Dari dari segi konsep keadilan pun
demikian, elemen-elemen keadilan retributif yaitu pembalasan, pemidanaan,
74
isolasi, stigmatisasi, dan penjeraan sedangkan keadilan restoratif memiliki elemen
konsensasi, mediasi, rekonsiliasi, penyembuhan, dan pemaafan.
Bentuk perlindungan dan keadilan terhadap korban tersebut di atas dapat
kita lihat pengaturannya dalam KUHP dan KUHAP. KUHP sebagai hukum
materiil dan lex generalis secara umum hanya berfokus pada unsur-unsur tindak
pidana, pertanggungjawaban pelaku kejahatan, dan ancaman pidananya yang
dalam proses penegakkannya juga berlaku keadaan-keadaan yang meringankan
pelaku. Hal ini didasarkan atas pengaturan perlindungan korban yang masih
terbatas dan minim yang dapat dilihat dalam pasal 14c KUHP bahwa pelaku
memberikan ganti kerugian yang mana terbuka bila pidana yang dijatuhkan
merupakan pidana percobaan. Barda Nawawi Arief bahkan menyatakan bahwa
dalam aturan umum KUHP tidak dikenal jenis pidana ganti rugi. Ganti rugi bukan
sebagai salah satu bentuk/jenis pidana, tetapi justru hanya sebagai syarat bagi
terpidana untuk tidak menjalani pidana pokok atau dengan kata lain bahwa ide
dasar pidana bersyarat dalam KUHP tetap berorientasi pada pelaku tindak pidana
dan tidak berorientasi pada korban tindak pidana.89 Sehingga dapat dikatakan
bahwa ganti rugi dalam KUHP bukan merupakan sanksi pidana yang bisa berdiri
sendiri dikarenakan tidak dapat dijatuhkan apabila hakim tidak terlebih dahulu
menjatuhkan pidana bersyarat. Hal tersebut juga menunjukkan adanya
ketimpangan pengaturan perlindungan antara pelaku dan korban di mana
pengaturannya tidak didasarkan atas adanya kerugian korban melainkan
menitikberatkan pada syarat bagi terpidana untuk tidak menjalani pidana pokok.
89 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan..., Loc.Cit., h. 62.
75
Dikaitkan dengan politik hukum pidana, Soedarto mengungkapkan bahwa
melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana paling baik dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna.90 Bahwa kebutuhan hukum masyarakat akan
pentingnya perlindungan korban telah mengalami pergeseran perspektif dari
keadilan retributif kepada keadilan restoratif yang artinya dibutuhkan mekanisme
selain yang diatur dalam Pasal 14c KUHP yang lebih mengakomodir kepentingan
korban. Bahwa dari segi daya guna atau kemanfaatan, tidak ada manfaat nyata
yang didapatkan oleh korban selain dari terpenuhinya rasa batiniah di mana
pelaku dijatuhkan pidana sebagaimana diatur dalam KUHP. Dengan demikian
dapat dikatan bahwa KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang
secara konkret atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban,
misalnya dalam hal penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak
pidana terhadap korban atau keluarga korban. KUHP juga tidak merumuskan jenis
pidana restitusi (ganti rugi) yang sebenarnya bermanfaat bagi korban dan/atau
keluarga korban. Bahwa keterlibatan korban sebagian besar hanya untuk
pengungkapan suatu tindak pidana karena politik hukum dari KUHP cenderung
berkutat pada rumusan tindak pidana, pertanggungjawaban, dan ancaman pidana
dan di sisi lain menganut aliran neoklasik yang antara lain menerima berlakunya
keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang menyangkut
fisik, lingkungan, serta mental.
Sebagai bagian yang terintegrasi dengan KUHP, KUHAP sebagai hukum
formil yang berfungsi menegakkan hukum materiil tidak terlalu menunjukkan
90 Soedarto, Hukum Pidana..., Loc.Cit., dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Loc.Cit., h.
26-27.
76
perbedaan yang signifikan dengan KUHP dalam hal perlindungan korban selain
daripada hak-hak prosedural korban. Terlihat dalam Pedoman Pelaksanaan
KUHAP lebih dipertegas mengenai tujuan KUHAP dengan menyatakan bahwa:91
“... dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan
melakukan suatu pelanggaran hukum, ...” dengan jelas menunjukkan bahwa
bentuk perlindungan terhadap korban yang diberikan yaitu melalui pemidanaan
pelaku sebagaimana salah satu elemen dalam keadilan retributif. Hal ini
disebabkan karena hukum pidana positif lebih mengasumsikan pada pelaku tindak
pidana yang dianggap mengganggu ketertiban dalam masyarakat daripada
mengganggu kepentingan hukum korban.
Sebenarnya selain mengatur hak-hak korban baik sebagai pihak yang
melakukan penuntutan ataupun sebagai saksi dalam suatu proses peradilan
pidana,92 KUHAP juga mengatur tentang perlindungan korban dalam hal ganti
kerugian pada Pasal 95 KUHAP dan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015
Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (PP No. 92
Tahun 2015) berkaitan dengan penangkapan, penahanan, penuntutan, dan
eksekusi yang artinya hanya berkiatan dengan kekeliruan mengenai orang atau
hukum yang diterapkan oleh penegak hukum bukan pada korban yang
dikorbankan lagi dalam proses peradilan. Selain itu, KUHAP juga menhatur
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana pada Pasal
98-101. Akan tetapi, prosedur tersebut merupakan satu-satunya kemungkinan lain
perlindungan korban secara langsung yang diatur dalam KUHAP. Telah penulis
91 Andi Hamzah, Loc.Cit., h. 7-8. 92 Pasal 98-101, Pasal 46 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 233, Pasal 244, Pasal 168, Pasal 177 ayat (1),
Pasal 178 ayat (1), Pasal 229 ayat (1).
77
kemukakan sebelumnya bahwa dalam prakteknya, tidak jarang bahwa prosedur
atau kemungkinan adanya ganti kerugian terhadap korban tersebut tidak
diberitahukan kepada korban baik oleh penuntut umum maupun oleh penasehat
hukum korban itu sendiri atas dasar bertambahnya kompleksitas perkara yang
ditangani. Sistem penggabungan perkara ganti kerugian tersebut dirasakan masih
belum menunjukkan hakekat dari tujuan ganti kerugian itu sendiri. Ganti kerugian
yang diakomodir dalam penggabungan perkara tersebut masih terbatas hanya
untuk kerugian materiil yang memang secara nyata dikeluarkan oleh korban yang
dirugikan. Hal tersebut berarti bahwa bagi kerugian imateriil korban terpaksa
harus mengajukan gugatan perdata lain secara terpisah dan kemungkinan besar
akan memakan waktu lama. Keadaan yang demikian justru mengaburkan hakekat
dari penggabungan perkara itu sendiri yang ditujukan untuk menyederhanakan
proses.
Dalam dalam peraturan perundang-undangan perlu termuat keadilan untuk
keseimbangan, kepastian untuk ketepatan, dan kemanfaatan untuk kebahagiaan
secara proporsional sebagai tujuan dari hukum begitu pun dengan KUHP dan
KUHAP. Dalam kaitannya dengan keadilan, sudah terlihat jelas bahwa
perkembangan perlindungan ke arah perspektif korban merupakan hal yang
dibutuhkan saat ini dilatarbelakangi adanya pergeseran perspektif dari keadilan
retributif kepada keadilan restoratif. Kemanfaatan itu sendiri dapat diartikan
sebagai optimalisasi dari tujuan sosial hukum, setiap hukum di samping
dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan sebagai tujuan akhir,
tetapi juga mempunyai tujuan sosial tertentu, yaitu kepentingan yang diinginkan
untuk diwujudkan melalui hukum, baik yang berasal dari orang perseorangan
78
maupun masyarakat dari negara.93 Dengan dasar kepentingan korban yang harus
lebih diperhatikan untuk saat ini, maka kemanfaatan yang dihasilkan melalui
KUHP dan KUHAP berkaitan dengan perlindungan korban sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan hukum saat ini atau belum memberikan manfaat perlindungan
yang proporsional. Berkaitan dengan pertentangan antara keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan hukum, dalam teori hukum disebut sebagai antinomi yang pada
dasarnya mengandung arti bahwa kondisi yang bertentangan satu sama lain tetapi
tidak dapat dipisahkan karena sama-sama saling membutuhkan.94 Di sinilah
kebijaksanaan dan moralitas dari setiap pemegang kewenangan dibutuhkan untuk
mengeluarkan nilai-nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Bahwa memang
pada akhirnya kita tidak dapat menuntut kesempurnaan dari manusia, tetapi
setidaknya dapat diharapkan bahwa tidak ada kesengajaan untuk membuat sesuatu
lebih buruk padahal telah diketahuinya akan akibat tersebut. Berkaitan dengan
jenis hak-hak korban yang didapatkan oleh korban tersebut, KUHP dan KUHAP
berfokus pada model hak-hak prosedural yang didominasi oleh perlindungan
korban tidak langsung yang berarti juga bahwa perlindungan tersebut membawa
elemen-elemen keadilan retributif seperti pembalasan, pemidanaan, isolasi,
stigmatisasi, dan penjeraan.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat penulis katakan bahwa
perlindungan korban yang diberikan baik dalam KUHP maupun KUHAP masih
merupakan perlindungan yang bersifat terbatas. Perlindungan bagi korban belum
bersifat proporsional dibandingkan dengan perlindungan yang didapatkan oleh
pelaku. Perlindungan yang diberikan bagi korban merupakan perlindungan yang
93 Achmad Ali, Loc.Cit., dikutip dari Margono, Loc.Cit. 94 Margono, Ibid., h. 112.
79
tidak langsung di mana perlindungan diberikan melalui pemidanaan pelaku yang
lebih ditekankan pada hak-hak korban untuk melakukan penuntutan di pengadilan
dan juga pada keterlibatan korban sebagai saksi. Sedangkan perlindungan secara
langsung yang disediakan bagi korban yaitu melalui penggabungan perkara ganti
kerugian yang ternyata masih memiliki kelemahan baik dari segi pengaturan dan
pelaksanaannya sehingga belum menggambarkan ganti kerugian yang
sebagaimana mestinya. Semakin jelas bahwa perlindungan korban yang diberikan
dalam KUHP dan KUHAP yaitu dengan cara memastikan setiap unsur delik
melalui keterlibatan saksi-saksi termasuk korban. Perlindungan yang demikian
berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan penulis merupakan politik hukum
perlindungan korban yang masih berpespektif pelaku yang mengusahakan atau
membuat dan merumuskan suatu perlindungan korban melalui pemidanaan pelaku
atau perlindungan tidak langsung. Atas dasar tersebut, maka diperlukan suatu
gagasan baru melalui peraturan perundang-undangan yang lebih mengakomodir
kepentingan korban atau dengan kata lain dengan politik hukum perlindungan
korban yang bersifat langsung.
Atas dasar pertimbangan perlindungan korban dalam KUHP dan KUHAP
yang masih berperspektif pelaku, dibentuklah peraturan perundang-undangan baru
yang diharapkan dapat memberikan perlindungan korban yang lebih baik.
Berkaitan perlindungan yang ada dalam KUHP dan KUHAP tersebut, dalam
Penjelasan Umum UU PSK 2006 sendiri sudah menyatakan bahwa: “... hanya
mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat
perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh
karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-
80
undang tersendiri.” Perkembangan yang paling mencolok berkaitan dengan
perlindungan korban dari adanya undang-undang ini yaitu munculnya pemberian
kompensasi, restitusi, dan bantuan yang prosesnya dilakukan melalui LPSK.
Tentu hal tersebut merupakan perubahan yang signifikan di mana lebih banyak
bentuk dan peluang perlindungan secara langsung yang dapat diberikan kepada
korban. Akan tetapi, UU PSK 2006 tersebut juga masih memiliki kendala dari
segi kelembagaan dan pelaksanaannya sehingga tidak menghasilkan perlindungan
korban yang maksimal.
Menanggapi hal tersebut, UU PSK 2006 diamandemen hingga menjadi UU
PSK yang sekarang berlaku dikarenakan LPSK harus dikembangkan dan
diperkuat agar dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya dapat
sinergis dengan tugas, fungsi, dan kewenangan lembaga penegak hukum yang
berada dalam sistem peradilan pidana. Berkaitan dengan perlindungan korban,
dalam penjelasan umumnya dengan tegas menyatakan bahwa sejatinya peraturan
perundang-undangan tidak saja berorientasi kepada pelaku, tetapi juga
berorientasi kepada kepentingan saksi dan korban. Dalam UU PSK terbaru ini,
dilakukan penyempurnaan tidak hanya pada kelembagaan LPSK melainkan juga
berkaitan dengan restitusi, kompensasi, dan bantuan yang diberikan kepada
korban. Bantuan sebagai layanan yang diberikan oleh LPSK dalam bentuk
bantuan medis serta bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis mengalami
perkembangan. Pada Pasal 6 ayat (1) terjadi perluasan pemberian bantuan yang
diberikan kepada korban di mana sebelumnya hanya dimaknai untuk memulihkan
kondisi kejiwaan korban tetapi sekarang juga terdapat usaha untuk memulihkan
kembali keadaan korban di dalam masyarakat atau dengan kata lain membuat
81
korban tetap mampu menjalani kehidupan sosialnya yang telah terganggu akibat
menjadi korban. Peran korban dalam perkaranya pun lebih dikembangkan
sebagaimana termuat dalam Pasal 5 ayat (1):
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga,
dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang
berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. dirahasiakan identitasnya;
j. mendapat identitas baru;
k. mendapat tempat kediaman sementara;
l. mendapat tempat kediaman baru;
m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
n. mendapat nasihat hukum;
o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas
waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
p. mendapat pendampingan.
Namun, perlu penulis tegaskan bahwa tidak semua hak tersebut diberikan kepada
korban di mana tetap harus memperhatikan jenis korban dan tingkat ancaman
yang kemungkinan akan dihadapi korban terkait informasi yang dimilikinya
sebagai korban.
Berkaitan dengan kompensasi dan restitusi, Pasal 7 (1) UU PSK
menyatakan bahwa hak kompensasi diberikan kepada korban pelanggaran hak
asasi manusia berat, dan Pasal 7A (1) menyatakan bahwa korban tindak pidana
berhak memperoleh restitusi. Terdapat perbedaan mendasar terkait pemberian
kompensasi dan restitusi ini. Kompensasi diberikan oleh negara sebagai ganti
kerugian karena pelaku tidak marnpu memberikan ganti kerugian sepenuhnya
82
yang menjadi tanggung jawabnya kepada korban melalui LPSK dan menggunakan
anggaran LPSK, sedangkan restitusi dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga.
Hal yang menjadi perhatian penulis yaitu terletak pada perubahan ketentuan
restitusi pada UU PSK terbaru dan peraturan pelaksananya PP No. 35 Tahun
2020. Mengenai restitusi memang disebutkan bahwa “korban tindak pidana
berhak memperoleh restitusi”. Akan tetapi, dalam Pasal 7A ayat (2) UU PSK
disebutkan bahwa: “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan LPSK.” Hal tersebut berarti bahwa tidak semua
tindak pidana dapat mendapatkan restitusi. Ayat (2) tersebut tidak memberikan
kejelasan atau bahkan dapat dikatakan tetap memberikan batasan peluang
pemberian restitusi pada korban suatu tindak pidana karena hanya terbatas pada
tindak pidana-tindak pidana tertentu saja. Padahal, pada pengaturan sebelumnya
hanya diatur bahwa korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi tanpa
memberikan batasan pada tindak pidana tertentu.
Berkaitan dengan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, UU PSK dan
peraturan pelaksananya sudah menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam
perlindungan korban dibandingkan dengan yang diatur dalam KUHP dan
KUHAP. Bahwa perkembangan perlindungan ke arah perspektif korban
merupakan sudah terjadi melalui pergeseran perspektif dari keadilan retributif
kepada keadilan restoratif. Tanpa meninggalkan elemen atau esensi dari
pemidanaan yang ada dalam keadilan retributif, elemen keadilan restoratif seperti
konsensasi, mediasi, rekonsiliasi, penyembuhan, dan pemaafan lebih terbuka
peluangnya karena pertanggungjawaban pelaku, keterlibatan negara, dan
pemulihan keadaan korban sudah diatur secara eksplisit dalam perundang-
83
undangan yang baru. Bahwa dengan adanya pertanggungjawaban yang jelas bagi
pelaku sudah menjamin kepastian kedua belah pihak yang berperkara. Di satu sisi
pemberian ganti kerugian kepada korban harus melalui proses LPSK dan di lain
sisi pertimbangan hukum untuk menjatuhkan putusan bagi pelaku menjadi lebih
luas dan memiliki dasar hukum karena hakim dapat mempertimbangkan ganti
kerugian yang sudah diberikan oleh pelaku terhadap korban. Dari segi
kemanfaatan, perlindungan korban seperti membantu meringankan, melindungi,
dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga
mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar sangat menunjukkan
komitmen perlindungan korban yang tidak hanya melalui pemidanaan pelaku
tetapi memperhatikan keadaan korban ketika kembali ke masyarakat. Bahwa
berdasarkan pengaturan mengenai hak-hak korban tersebut, maka pada dasarnya
UU PSK telah mengakomodir lebih banyak hak-hak korban daripada sebelumnya.
UU PSK mengatur tentang prosedur ganti kerugian dalam bentuk kompensasi dan
restitusi yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP dan KUHAP. Artinya, hak-
hak korban tidak lagi hanya terbatas pada hak-hak prosedural dalam kaitannya
dengan perlindungan tidak langsung melainkan sudah mengakomodir penggantian
kerugian-kerugian baik yang bersifat fisik maupun psikis.
Perkembangan politik hukum perlindungan korban tindak pidana yang
dimulai sejak adanya KUHP dan KUHAP hingga UU PSK dan peraturan
pelaksananya terjadi dikarenakan kesadaran akan kebutuhan hukum di masyarakat
yang makin berkembang sehingga menuntut adanya perubahan. Penggambaran
perlindungan pada KUHP dan KUHAP merupakan penggambaran perlindungan
korban melalui pemidanaan pelaku atau merupakan perlindungan korban tidak
84
langsung yang lebih condong pada pemenuhan elemen-elemen keadilan retributif.
Sekalipun disediakan prosedur ganti kerugian, prosedur tersebut masih jauh dari
esensinya sebagai ganti kerugian dan juga terhalang oleh proses yang tidak efektif
yang cenderung dihindari dan tidak dilaksanakan dalam proses peradilan.
Sehingga dapat penulis katakan bahwa politik hukum yang dipakai dalam KUHP
dan KUHAP merupakan politik hukum yang berorientasi pada pelaku karena di
samping tujuan diadakannya perundang-undangan tersebut yang digunakan untuk
memidanakan pelaku dan pengaturan tentang hak-hak pelaku dalam persidangan
yang dominan, KUHP dan KUHAP melakukan pengaturan perlindungan korban
masih dalam lingkup yang terbatas pada perannya sebagai saksi korban.
Pada perundang-undangan yang baru (UU PSK dan peraturan
pelaksananya), terjadi perkembangan perlindungan korban ke arah keadilan
restoratif yang signifikan di mana elemen-elemennya mengandung perlindungan
korban secara langsung. Perlindungan korbannya yaitu melalui penegasan hak-hak
korban baik yang sudah maupun yang belum diatur sebelumnya serta hak-hak
khusus seperti kompensasi, restitusi, dan bantuan yang mana meningkatkan
partisipasi korban dalam perkaranya serta dapat menanggulangi kerugian-kerugian
yang secara nyata dialami sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari
suatu tindak pidana, baik materiil maupun imateriil. Tersedianya prosedur-
prosedur ganti kerugian dan pemberian layanan ini tidak hanya menunjukkan
orientasi terhadap korban tetapi juga sebenarnya memberikan peluang bagi pelaku
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang kemudian diharapkan dapat
menjadi usaha untuk memperbaiki hubungan dengan pihak korban dan menjadi
pertimbangan hakim dalam proses persidangan. Akan tetapi, prosedur ganti
85
kerugian yang harus melewati LPSK terlebih dahulu bisa menjadi kelemahan
karena hal itu berarti bahwa ganti kerugian tidak terikat secara langsung dalam
proses peradilan melainkan membutuhkan keputusan dari pihak lain di luar proses
peradilan yaitu melalui keputusan LPSK. Namun, berkaitan dengan politik hukum
pidana sebagai usaha untuk mengetahui keadaan-keadaan di masyarakat yang
menuntut adanya perubahan-perubahan yang harus diadakan dalam hukum
pidananya untuk mecapai tujuan yang dicita-citakan, maka politik hukum
perlindungan korban kejahatan melalui perundang-undangan ini sudah lebih
menggambarkan politik hukum pidana yang berorientasi pada pelaku jika
dibandingan dengan pengaturan dalam KUHP dan KUHAP. Sebagaimana tujuan
dari politik hukum pidana tidak hanya berhenti pada ketentuan peraturan
perundang-undangan pidana saja melainkan lebih daripada itu, integrasi dari
setiap pihak yang berwenang, baik pada taraf pembuatan kebijakan hingga pada
taraf pelaksanaannya diharapkan dapat terjadi menyusul adanya perundang-
perundangan yang lebih baik.
1.3.2. Perlindungan Korban di Indonesia Dibandingkan dengan Declaration
of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power
Perlunya kepentingan korban kejahatan memperoleh perhatian yang lebih
dapat di lihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power oleh PBB, sebagai hasil dari Kongres ke-7
(tujuh) PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Pelaku Kejahatan (The
Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of
86
Offenders), di Milan, Italia, bulan September tahun 1985.95 Telah penulis
kemukakan sebelumnya bahwa deklarasi tersebut dibentuk berdasarkan keyakinan
bahwa para korban harus diperlakukan dengan belas kasih dan dihormati
martabatnya dan bahwa mereka berhak untuk segera mendapatkan ganti rugi atas
kerugian yang mereka derita, melalui akses kepada sistem peradilan pidana,
perbaikan dan layanan untuk membantu pemulihan mereka. Deklarasi tersebut
merekomendasikan tindakan yang harus diambil atas nama korban kejahatan di
tingkat internasional, regional dan nasional untuk meningkatkan akses terhadap
keadilan dan perlakuan yang adil, restitusi, kompensasi dan bantuan.
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia dan bahwa korban juga
merupakan warga negaranya memiliki kewajiban untuk memenuhi perlindungan
korban yang sebagaimana mestinya. Perlindungan yang dapat diberikan dalam
kaitannya dengan politik hukum yaitu dengan membuat kebijakan yang tidak
hanya berfokus pada pelaku kejahatan melainkan juga harus berorientasi pada
korban serta memastikan bahwa kebijakan perlindungan korban tersebut
dijalankan melalui instansi-instansi yang berkaitan dengan perlindungan korban.
Untuk itu, diperlukan suatu pembanding atau tolak ukur bagi perlindungan korban
kejahatan di Indonesia yang dapat menyatakan bahwa perlindungan korbannya
sudah terpenuhi atau setidak-tidaknya memiliki tolak ukur yang jelas mengenai
bentuk perlindungan korban yang ada. Instrumen pembanding tersebut yaitu
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power. Di samping merupakan hasil pembahasan pada tingkat internasional,
perlindungan korban yang dimuat dalam deklarasi tersebut juga merupakan hasil
95 Bambang Widiyantoro, Op.Cit., h. 3.
87
kajian dari praktek-praktek negara lain yang melaksanakan perlindungan korban
kejahatan baik praktek yang menghasilkan perlindungan korban yang efektif
maupun praktek yang dianggap sudah tidak atau kurang efektif bagi korban.
Seperti contoh yang disebutkan dalam Handbook on Justice for Victims: On the
use and application of the Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of
Crime and Abuse of Power bahwa berbagai yurisdiksi telah mencoba menjawab
tantangan perlindungan korban dan memperkuat posisi korban, serta memastikan
akses pada layanan yang sesuai. Salah satu seruan paling awal untuk reformasi
datang dari Margery Fry di Inggris Raya dan Irlandia Utara, yang selama awal
1950-an memperjuangkan tempat penampungan bagi wanita yang korban
kekerasan, skema kompensasi negara bagi korban kejahatan, dan juga
mendamaikan korban dengan pelaku. Skema kompensasi negara pertama untuk
korban kejahatan kekerasan diadopsi di Selandia Baru pada tahun 1963. Contoh
lain dari reformasi awal termasuk undang-undang perlindungan anak tahun 1955
di Israel, dan pendirian tempat penampungan bagi korban kekerasan dalam rumah
tangga dan pusat krisis bagi korban kekerasan seksual di Inggris Raya pada awal
tahun 1970-an.96
Dalam hasil penelitian penulis, pengaturan perlindungan korban kejahatan
di Indonesia sebagian besar diatur di dalam UU PSK sebagai lex specialis yaitu
undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perlindungan korban (dan
juga saksi) serta peraturan pelaksananya. Pada UU PSK tersebut, perlindungan
korban diberikan melalui pemenuhan hak-hak korban baik yang sebelumnya
belum diatur ataupun yang sudah diatur kemudian lebih disempurnakan. Aspek
96 United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention, Op.Cit., h. 2.
88
perlindungan pada UU PSK yang menjadi fokus analisis penulis yaitu pada
keberadaan kompensasi, restitusi, dan bantuan yang diberikan kepada korban
sebagai bentuk perlindungan langsung. Bahwa dalam Declaration of Basic
Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power pun sudah
dijelaskan mengenai kompensasi, restitusi, dan bantuan tersebut serta alasan
dibalik diadakannya ketiga hal itu sebagai bentuk penguatan dari perlindungan
korban yang ada selama ini.
Dalam deklarasi tersebut, tujuan dari diadakannya kompensasi yaitu sebagai
bantuan keuangan utama yang berasal dari negara untuk memperbaiki kerugian
keuangan yang bisa mengakibatkan terganggunya stabilitas keuangan yang timbul
setelah menjadi korban tindak pidana. Secara umum, syarat untuk mendapatkan
kompensasi yaitu korban harus tidak bersalah atas tindak pidana tersebut dan
berkontribusi untuk kejahatan itu, melaporkan kejahatan tersebut segera ke polisi,
bekerja sama dengan sistem peradilan pidana dan menyerahkan dokumentasi
kerugian pada program kompensasi. Syarat khususnya yaitu korban yang
mengalami cedera tubuh yang signifikan atau gangguan kesehatan fisik atau
mental sebagai akibat dari tindak pidana berat atau keluarga yang berada dalam
tanggungannya, secara khusus bagi orang yang telah meninggal atau menjadi
secara fisik atau mental tidak lagi mampu sebagai akibat dari tindak pidana
tersebut. dalam buku pedomannya, dinyatakan bahwa sebagai hak yang esensial
dan fundamental dari semua korban kejahatan, informasi tentang ketersediaan
manfaat, proses pengajuan dan persyaratan program kompensasi harus
dipublikasikan secara luas. Informasi tentang keberadaan kompensasi oleh negara
perlu untuk disebarluaskan. Namun, penelitian menunjukkan bahwa ini adalah
89
bagian di mana diperlukan sebuah kerja keras karena banyak program kompensasi
oleh negara tidak diajukan sampai pada tenggat waktu pengajuan. Bahwa sangat
penting bagi semua orang yang berhubungan dengan korban diberikan informasi
tentang kemungkinan pengajuan kompensasi.97
Meskipun tidak ada jumlah uang yang dapat menghapus trauma dan
kesedihan yang diderita oleh para korban kejahatan, bantuan keuangan dapat
menjadi sangat penting dalam membantu banyak orang melalui proses pemulihan.
Bagi sebagian korban, dana ini dapat membantu menjaga stabilitas dan martabat
hidup mereka. Untuk dipertimbangkan sebagai pihak yang berhak untuk
mendapatkan kompensasi, korban atau anggota keluarga yang masih hidup harus
terlebih dahulu mengajukan formulir permohonan kompensasi. Biasanya, korban
dapat belajar tentang ketersediaan manfaat kompensasi dan menerima formulir
aplikasi dari polisi, penyedia bantuan korban, jaksa penuntut, atau tenaga medis
dan kesehatan mental profesional. Bagi banyak korban kejahatan, melewatkan
tenggat waktu pengajuan aplikasi adalah salah satu bentuk paling menyakitkan
dari “secondary victimization” setelah menjadi korban.98 Hal ini dikarenakan
pihak korban tidak mengetahui dan tidak diberitahu tentang keberadaan
kompensasi tersebut padahal ketentuan tersebut sudah diatur dan sepatutnya
menjadi haknya untuk memulihkan keadaan akibat dampat suatu tindak pidana.
Pada UU PSK sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan
deklarasi tersebut mengenai kompensasi. Ketentuan di mana kompensasi
diberikan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia berat juga termuat di
97 Ibid., h. 45. 98 Ibid.
90
dalam UU PSK serta telah diatur mengenai mekanisme untuk mendapatkannya.
Mengenai pengecualian bagi korban-korban tertentu untuk mendapatkan
kompensasi tanpa melalui proses pengajuan juga sudah diatur dalam UU PSK.
Catatan penting dari dari deklarasi tersebut yaitu pada peran aparat penegak
hukum dan juga instansi-instansi terkait dalam memperjuangkan hak kompensasi
bagi korban. Dinyatakan bahwa strategi pemberitahuan yang efektif dan kegiatan
penyadaran publik tentang mekanisme kompensasi harus melibatkan pelatihan
untuk aparat kepolisian, penasehat hukum, pekerja sosial dan semua profesional
terkait lainnya, dan pengumuman layanan publik melalui berbagai media seperti
radio, televisi, brosur informasi, baliho dan poster.99 Seperti yang telah penulis
paparkan mengenai penguatan LPSK sebagai salah satu alasan perubahan UUU
PSK 2016 yang menjadi ujung tombak perlindungan korban, bahwa kinerja LPSK
sebelumnya kurang maksimal di samping keterbatasan wewenang, faktor
ketidaktahuan korban dan pemberitahuan informasi yang terbatas bagi korban
juga menjadi alasan. Keberadaan LPSK ini juga bisa menjadi kelemahan dari
sistem pemberian perlindungan secara langsung kepada korban di Indonesia
karena diajukan secara terpisah di luar proses peradilan pidana. Jika demikian,
maka ha tersebut tidak memenuhi perlindungan korban sebagaimana yang
diharapkan dalam deklarasi ini yaitu perlindungan korban yang dapat secara cepat,
adil, murah dan mudah diakses.
Bentuk perlindungan yang kedua yaitu restitusi. Dalam deklarasi tersebut,
tujuan dari diadakannya restitusi yaitu sebagai cara untuk menanggulangi
beberapa kerugian yang terjadi pada korban dan untuk memberikan cara yang
99 Ibid.
91
konstruktif secara sosial bagi pelaku untuk dimintai pertanggungjawaban, dan di
sisi lain sambil menawarkan kemungkinan rehabilitasi seluas-luasnya.100 Restitusi
adalah alat penting dalam peradilan pidana. Oleh karena itu, sangat penting bagi
para korban dan untuk tujuan keadilan bahwa model yang efektif dikembangkan
untuk memungkinkan banyak profesional yang terlibat dalam proses peradilan
agar menjalankan tanggung jawab mereka secara efektif. Nilai yang dibangun
dalam restitusi ini menurut deklarasi tersebut yaitu untuk berusaha menjalin
hubungan antara korban dan pelaku dalam upaya meningkatkan rasa tanggung
jawab pelaku kepada korban dan masyarakat. Dalam deklarasi tersebut, restitusi
dapat diterapkan dengan berbagai cara di berbagai titik di seluruh proses peradilan
pidana: sebagai syarat masa percobaan, sebagai sanksi itu sendiri atau sebagai
hukuman tambahan. Meskipun restitusi sering diberlakukan secara wajib, hal itu
dapat dilakukan secara sukarela oleh pelakunya juga. Ganti rugi kepada korban
cedera bisa efektif sebagai tindakan hukuman dan juga ganti rugi finansial. Jika
digunakan sebagai hukuman, restitusi harus berasal dari sumber pelanggar sendiri
(baik sebagai uang atau sebagai layanan) dan harus menjadi bagian dari hukuman
pengadilan pidana yang terkait dengan disposisi kasus.101
Penilaian korban jiwa merupakan proses kompleks yang dapat berlangsung
dalam berbagai cara. Di beberapa yurisdiksi, jaksa bernegosiasi langsung dengan
pembela, setelah membuktikan semua kerugian dengan korban. Dalam kasus lain,
penilaian kerugian dapat dilakukan hanya oleh petugas percobaan sebagai bagian
dari penyelidikan hukuman pra-sidang. Tidak peduli bagaimana prosesnya,
korban pada umumnya diharuskan untuk menunjukkan tanda terima atau bukti
100 Ibid., h. 47. 101 Ibid.
92
lain untuk mendukung kerugian yang sebenarnya diderita. Di Kanada, KUHP-nya
menetapkan bahwa restitusi dapat diperintahkan sebagai hukuman tambahan
untuk menutupi kerugian yang “dapat dipastikan”. Beberapa yurisdiksi telah
membuat pengaturan khusus untuk mendorong restitusi dini oleh pelaku,
misalnya, dengan mengesampingkan tindakan lebih lanjut jika restitusi
dibayarkan.102
Berkaitan dengan restitusi dalam UU PSK, perbedaan mendasar yaitu pada
kemungkinan adanya pembatasan bentuk tindak pidana yang boleh menerapkan
restitusi. Dalam Pasal 7A ayat (2) UU PSK berkaitan dengan korban tindak
pidana yang mendapatkan restitusi, disebutkan bahwa: “Tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK.” Hal
tersebut berarti bahwa tidak semua tindak pidana dapat mendapatkan restitusi.
Ayat (2) tersebut tidak memberikan kejelasan atau bahkan dapat dikatakan tetap
memberikan batasan peluang pemberian restitusi pada korban suatu tindak pidana
karena hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu saja. Jika
dibandingkan dengan restitusi yang ada pada Declaration of Basic Principle of
Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, justru terlihat lebih fleksibel di
mana restitusi diadakan untuk berusaha menjalin hubungan antara korban dan
pelaku dalam upaya meningkatkan rasa tanggung jawab pelaku kepada korban
dan masyarakat. Sepanjang ada kesalahan yang perlu dipertanggungjawabkan oleh
pelaku kepada korban, berarti restitusi tidak dibatasi pada tindak pidana tertentu
saja. Di sinilah letak keunggulan dari restitusi di mana memberikan cara yang
konstruktif secara sosial bagi pelaku untuk dimintai pertanggungjawaban. Namun,
102 Ibid.
93
rasanya hal ini belum terlihat dalam restitusi yang diatur dalam UU PSK
walaupun sudah diatur bahwa restitusi itu berasal dari pelaku.
Bentuk yang ketiga yaitu bantuan yang termasuk juga di dalamnya yaitu
layanan. Berdasarkan buku panduan deklarasi tersebut, langkah pertama untuk
memberikan bantuan kepada korban yaitu pemerintah dan/atau lembaga
masyarakat harus membuat program layanan korban yang tepat, yang
didedikasikan untuk memberikan layanan kepada korban dan membantu mereka
mengatasi efek traumatis dari suatu tindak pidana dan akibatnya. Program harus
memiliki kemampuan menyediakan sistem layanan yang komprehensif kepada
korban. Jika mereka menawarkan layanan yang lebih terbatas, layanan tersebut
harus dikoordinasikan dengan layanan lain untuk memastikan kesinambungan
dukungan bagi para korban. Selain itu, program bantuan bagi korban harus
mengupayakan untuk mempromosikan kesadaran publik yang luas tentang
masalah korban. Mereka juga harus mengembangkan dan menyebarluaskan
standar praktik yang dapat diterima (kode etik) untuk melindungi korban dari
sensasionalisme dan publisitas, yang kemungkinan akan menambah viktimisasi
mereka. Idealnya, layanan korban harus disiapkan untuk membantu semua
korban. Namun, berdasarkan sumber daya, keahlian staf program, lembaga yang
ada, dan analisis kebutuhan yurisdiksi, program didesak untuk memprioritaskan
pelaksanaan layanan dan secara bertahap dalam layanan penuh bagi korban
selama periode waktu tertentu. Dalam menetapkan prioritas, program didorong
untuk menggunakan pendekatan sistematis untuk memperhitungkan tingkat
keparahan peristiwa dan dampaknya pada korban. Korban harus diberitahu
tentang ketersediaan layanan kesehatan dan sosial serta bantuan lain yang relevan
94
dan yang mudah diberikan akses kepada mereka.103 Kepolisian, lembaga
peradilan, kesehatan, layanan sosial dan aparat lain yang terkait harus menerima
pelatihan untuk membuat mereka peka terhadap kebutuhan korban, dan pedoman
untuk memastikan bantuan yang tepat dan cepat.
Tampaknya, bantuan yang dikehendaki dalam deklarasi tersebut sudah
cukup tergambarkan dalam UU PSK terbaru di mana terdapat pembaruan dan
pengembangan layanan dan bantuan terhadap korban. Hal ini terlihat dalam
pemberian bantuan yang diberikan kepada korban kejahatan yang mengalami
peningkatan dari yang sebelumnya hanya berupa bantuan medis dan psikologis
ditambahkan lagi satu bentuk bantuan yaitu rehabilitasi psikososial yang dalam
penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b mengartikannya sebagai semua bentuk
pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu
meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan
spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara
wajar, antara lain LPSK berupaya melakukan peningkatan kualitas hidup korban
dengan melakukan kerja sama dengan instansi terkait yang berwenang berupa
bantuan pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan memperoleh pekerjaan, atau
bantuan kelangsungan pendidikan. Bahwa bantuan dalam deklarasi tersebut
melindungi korban dari sensasionalisme atau diperlakukan secara berlebihan oleh
masyarakat dan publisitas, yang dikhawatirkan dapat menjadi reviktimisasi bagi
korban.
Perbedaan perlindungan korban yang ada di antara Declaration of Basic
Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power dan UU PSK
103 Ibid., h. 15.
95
menurut penulis bukanlah perbedaan yang menunjukkan perbedaan nilai
perlindungan korban yang signifikan. Pada satu sisi deklarasi tersebut
mengharapkan perlindungan korban yang lebih maksimal dan di sisi lain UU PSK
sudah ada dalam jalur tersebut tetapi masih membutuhkan beberapa
pengembangan baik pada pengaturan dan juga pelaksanaannya. Secara struktur,
UU PSK sudah memiliki tiga bentuk atau mekanisme perlindungan korban yang
terdapat di dalam deklarsi tersebut yaitu kompensasi, restitusi, dan bantuan. Akan
tetapi, UU PSK kurang memiliki fleksibilitas dari segi pelaksanaannya. Di satu
sisi keberadaan LPSK merupakan angin segar perlindungan korban di Indonesia
namun di sisi lain bisa berpeluang menjadi penghambat proses perlindungan
korban karena alasan prosedural. Dalam hal lain, penerapan khususnya berkaitan
dengan restitusi juga bersifat terbatas. Bahwa kompensasi dan bantuan diberikan
pada korban kejahatan tertentu dapat dipahami karena adanya skala priositas dan
menggunakan anggaran negara. Namun, restitusi dalam UU PSK juga hanya
untuk tindak pidana tertentu saja yang berarti bahwa ketiga mekanisme yang
semuanya bersifat terbatas. Faktanya, kerugian pasti akan selalu ada dan melekat
pada korban tindak pidana manapun. Pembedanya yaitu pada tingkat kerugiannya
yang artinya bahwa seharusnya opsi untuk menuntut ganti kerugian tetap harus
dibuka untuk setiap korban tindak pidana. Tujuan itulah yang ada dalam
Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power mengenai restitusi, di samping memberikan ganti kerugian kepada korban,
restitusi juga merupakan juga cara yang konstruktif secara sosial bagi pelaku dan
korban. Bahwa dengan pelaksanaan kewajiban memberikan restitusi oleh pelaku,
telah terdapat keinginan pelaku untuk bertanggung jawab yang memungkinkan
96
dapat terjadinya penangguhan tindak pidana yang mana berarti juga sudah
memenuhi salah satu asas hukum pidana yaitu ultimum remidium atau sebagai
upaya terakhir.
Hal lain dalam deklarasi yang belum sepenuhnya diatur dalam perundang-
undangan Indonesia yaitu berkaitan dengan perlindungan korban penyalahgunaan
kekuasaan. Bahwa korban masih tetap berpotensi dikorbankan kembali dalam
proses peradilan pidana maupun saat kembali ke masyarakat. Dalam konteks
Indonesia, tindakan untuk menghadapi kemungkinan tersebut belum memiliki
standar baku yang harus dijalankan oleh aparat penegak hukum maupun
masyarakat. Esensi dari adanya perlindungan korban penyalahgunaan kekuasaan
ini sebenarnya yaitu untuk melindungi korban karena tidak mendapatkan
perlindungan dari pihak-pihak yang seharusnya diharapkan dapat melindungi
korban tersebut. Di mana alasan terbesar dari hal tersebut yaitu bahwa mereka
yang bertanggung jawab untuk menjalankan proses dan prosedur peradilan pidana
melakukannya tanpa mempertimbangkan perspektif korban.104 Dengan demikian,
dapat penulis katakan bahwa perlindungan korban kejahatan di Indonesia pada
dasarnya sudah berada pada politik hukum yang sudah lebih berorientasi pada
korban daripada sebelumnya namun belum sepenuhnya menjangkau
perkembangan hukum hak asasi manusia internasional terutama dalam hal
perlindungan korban kejahatan.
Hal lain yang menjadi catatatan penting dari deklarasi tersebut yang patut
untuk diperhatikan dalam pelaksanaan perlindungan korban di Indonesia yaitu
ketersediaan informasi terkait dengan mekanisme perlindungan korban yang ada.
104 Ibid., h. 9.
97
Akan menjadi sia-sia jika pihak korban tidak mengetahui dan tidak diberitahu
tentang keberadaan kompensasi tersebut padahal ketentuan tersebut sudah diatur
dan sepatutnya menjadi haknya untuk memulihkan keadaan akibat dampat suatu
tindak pidana. Bahwa memang keberadaan pembaruan perlindungan korban
kejahatan ini menambah kompleksitas perkara pidana, tetapi menurut penulis hak-
hak korban yang baru saja ditingkatkan seharusnya patut diperjuangkan agar
terpenuhinya hasrat akan pemberian perlindungan terhadap korban. Keberadaan
sumber daya manusia yang mendukung juga disebutkan oleh deklarasi tersebut di
mana kebijakan sebaik apapun tidak akan berjalan maksimal jika pelaksananya
tidak memiliki kemampuan tersebut. Adanya pergeseran perspektif perlindungan
korban yang sudah mengalami pembaruan ke arah yang lebih berorientasi pada
korban ini sudah sepatutnya menjadi momentum untuk semakin memperbaiki
tatanan hukum pidana Indonesia baik dari segi kebijakannya maupun aparat
penegak hukum dan instansi-instansi terkait.