bab ii kajian teori dan kerangka berpikir a. 1
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Sejarah Indonesia
a. Pembelajaran
Pembelajaran selalu berkaitan erat dengan bagaimana individu belajar
sehingga untuk membahas lebih lanjut tentang pembelajaran maka terlebih dahulu
perlu mengetahui pengertian belajar. Gagne (1985) mendefinisikan belajar sebagai
suatu proses perubahan perilaku suatu organisme yang diakibatkan oleh
pengalaman (Sujarwo, 2014: 1). Kemudian W.H. Burton (1984) mendefinisikan
bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku individu yang disebabkan oleh
adanya interaksi dengan lingkungan sehingga dampaknya individu tersebut mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pandangan lain dikemukakan oleh
Singer (1968) yang mengartikan belajar sebagai perubahan perilaku individu yang
relatif tetap akibat dari pengalaman-pengalaman pada situasi tertentu (Siregar dan
Nara, 2014: 4). Jadi, pengertian belajar adalah proses berubahnya perilaku
seseorang secara permanen yang disebabkan oleh pengalaman akibat dari adanya
interaksi dengan lingkungan.
Eksistensi manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial
meniscayakan dirinya untuk berusaha mengembangkan potensi, karakter, dan
kebutuhan belajar. Sehingga tiap usaha belajar pastilah memiliki tujuan. Tujuan
tersebut bermacam-macam tetapi dapat digolongkan secara umum menurut jenis-
jenisnya. Menurut Sardiman (2012: 26-28) tujuan belajar ada tiga jenis, yaitu
sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh pengetahuan
Kepemilikan pengetahuan dan kemampuan berpikir tidak dapat
dipisahakan. Karena pada dasarnya pengembangan kemampuan berpikir
harus didukung oleh bahan pengetahuan. Sebaliknya kemampuan berpikir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
akan memperkaya kasanah pengetahuan. Tujuan inilah yang menjadi
kecenderungan besar dikembangkan di dalam kegiatan belajar.
2. Pemahaman konsep dan keterampilan
Penanaman konsep atau merumuskan konsep memerlukan suatu
keterampilan. Keterampilan itu berupa keterampilan jasmani dan rohani.
Keterampilan jasmani dapat diamati melalui keterampilan gerak tubuh
seorang yang sedang belajar termasuk masalah-masalah teknik. Sedangkan
keterampilan rohani menyangkut persoalan-persoalan yang abstrak
menyangkut penghayatan dan keterampilan berpikir.
3. Pembentukan sikap
Pembentukan sikap mental dan perilaku tidak telepas dari
penanaman nilai-nilai (transfer of values). Dengan dilandasi nilai-nilai,
individu akan tumbuh kesadaran dan kemampuan untuk mempraktikkan
segala sesuatu yang dipelajarinya.
Belajar merupakan suatu proses perubahahan tingkah laku pada diri
manusia. Hasil belajar bukan hanya bertumpu pada stuktur kognitif saja melainkan
afektif dan psikomotorik. Untuk lebih jelasnya Gagne mengelompokkan ciri-ciri
belajar menjadi lima kategori, yaitu sebagai berikut:
a. Keterampilan intelektual: kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan
lingkungannya dengan menggunakan simbol, huruf, angka, kata atau
gambar.
b. Informasi verbal: seseorang belajar menyatakan atau menceritakan suatu
fakta atau peristiwa secara lisan atau tertulis, termasuk dengan cara
menggambar.
c. Strategi kognitif: kemampuan seseorang untuk mengatur proses belajarya
sendiri, mengingat dan berpikir.
d. Keterampilan motorik: seseorang belajar melakukan gerakan secara teratur
dalam urutan tertentu (organized motor act). Ciri khasnya adalah
otomatisme, yaitu gerakan berlangsung secara tertatur dan bejalan dengan
lancar dan luwes.
e. Sikap: keadaan mental yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan
pilihan-pilihan dalam bertindak (Siregar dan Nara, 2014: 5-6).
Hasil belajar merupakan indikator yang menunjukan bahwa seseorang
benar-benar belajar. Namun pada prinsipnya seseorang yang dikatakan belajar
harus menunjukan ciri perilaku tertentu sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
a. Adanya kemampuan baru atau perubahan. Perubahann tingkah laku tersebut
bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), maupun nilai
dan sikap (afektif).
b. Perubahan tidak berlangsung sesaat, melainkan menetap atau dapat
disimpan.
c. Perubahan tidak terjadi begitu saja, melainkan harus dengan usaha.
Perubahan terjadi akibat interaksi dengan lingkungannya.
d. Perubahan tidak semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan fisik atau
kedewasaan, tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh obat-obatan
(Siregar dan Nara, 2014: 5).
Hampir sama dengan pengertian belajar, istilah “pembelajaran” sudah
dikenal oleh banyak pihak. Menurut Schunk (2012: 5), pembelajaran merupakan
perubahan yang bertahan lama dalam perilaku yang dihasilkan dari pengalaman.
Kemudian Suyono dan Hariyanto (2011:183) mengartikan pembelajaran sebagai
serangkaian kegiatan guru dalam menyampaikan materi dan nilai-nilainya kepada
siswa sebagai proses pendewasaan. Sedangkan Trianto (2011, 17) mendefinisikan
bahwa pembelajaran merupakan usaha sadar dan terencana yang dilakukan oleh
guru terhadap siswa melalui komunikasi antar keduanya untuk mecapai target
pembelajaran yang telah ditentukan. Lanjut Rahyubi (2013: 6-7) mengartikan
bahwa pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa melalui
lingkungan belajar yang digunakan sebagai sumber belajar agar siswa dapat
menguasai ilmu dan pengetahuan. Kemudian diperjelas oleh Sanjaya (2006:26)
yang mengartikan pembelajaran sebagai proses kerja sama antara guru dan siswa
dengan memanfaatkan segala potensi dan sumber belajar yang ada baik yang
berasal dari dalam diri siswa seperti bakat dan minat maupun dari luar diri siswa
seperti sarana dan lingkungan sebagai upaya mencapai tujuan belajar yang telah
direncanakan. Jadi pembelajaran adalah suatu proses interaksi antara guru dan
siswa berupa penyampaian ilmu dan pengetahuan yang dilakukan secara sadar dan
terencana untuk merubah perilaku siswa secara permanen sesuai tujuan belajar
dengan memanfaatkan berbagai potensi dan sumber belajar yang ada di dalam
maupun di luar diri siswa.
Pembelajaran (instruction) merupakan akumulasi dari konsep mengajar
(teaching) dan konsep belajar (learning) (Daryanto dan Muljo Rahadjo, 2012: 19).
Menurut Bloom (dalam Sujarwo, 2014: 6) tujuan instructional meliputi tiga aspek,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
yaitu 1) aspek kognitif (menitik beratkan kemampuan berpikir), 2) aspek
psikomotor (kemampuan gerak fisik) dan 3) aspek afektif (sikap).
Pada umumnya pembelajaran di kelas, dalam kaitannya dengan transfer
pengetahuan dan keterampilan, kedudukan guru adalah sebagai pengajar dan siswa
sebagai subjek belajar. Menurut Oemar Hamalik (2011: 54-55) mengajar
merupakan: 1) kegiatan menyampaikan pengetahuan dari guru ke siswa, 2) suatu
proses saling mempengaruhi antara guru dan siswa, 3) suatu sistem yang kompleks
meliputi: profesi guru, perkembangan siswa, tujuan pendidikan, program
pendidikan, perencanaan pengajaran, bimbingan di sekolah dan hubungan sosial,
dan 4) proses pendidikan. Sedangkan prinsip pengajaran yang umum dalam
pembelajaran menurut Shuell (1990 dalam Schunk 2012: 28) adalah: 1) siswa
berproses melalui tahapan/fase-fase, 2) materi harus disajikan dalam langkah-
langkah kecil, 3) siswa perlu berlatih, mendapat umpan balik, dan memperoleh
tinjauan, 4) model-model sosial memfasilitasi pembelajaran, 5) faktor motivasional
dan kontekstual mempengaruhi pembelajaran. Jadi pembelajaran merupakan suatu
pengkondisian siswa dimana transfer pengetahuan dari guru ke siswa dilakukan
secara bertahap dengan memanfaatkan bahan ajar, dan lingkungan belajar untuk
mempengaruhi perubahan perilaku siswa dalam jangka waktu panjang.
b. Sejarah Nasional
Pada umumnya orang memaknai istilah sejarah untuk menunjuk cerita masa
lampau. Pendapat itu kurang tepat sebab sejarah bukan hanya sekedar cerita masa
lampau semata melainkan cerita yang kebenarnnya diungkap berdasarkan
penyelidikan kritis dari dokumen-dokumen dan kenyataan yang terjadi di masa
lampau (C.P. Hill, 1956:12). Karena mengungkap tentang kebenaran maka sejarah
membahas hal-hal yang dinamis atau genetis (yang menjadi) maupun yang statis
(yang ada atau yang terjadi). Oleh sebab itu sejarah selalu menerangkan mengapa
dan bagaimana peristiwa dapat terjadi dan dapat mengungkap apa, bilamana,
dimana, dan siapa yang ikut di dalamnya (Gottschalk, 2008:35).
Sejarah merupakan “ratu” atau “ibu” dari ilmu-ilmu sosial. Hal itu karena
ilmu sejarah lebih dulu lahir daripada ilmu-ilmu sosial dan humaniora lainnya.
Secara istilah sejarah atau history (Inggris) merupakan padaan kata yang diserap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
dari daerah Yunani. History berasal dari kata benda istoria, yang berarti ilmu.
Menurut definisi yang paling umum saat ini, kata history berarti masa lampau
manusia (Gottschalk, 2008:33). Menurut March Bloch sejarah merupakan ilmu
tentang manusia yang hidup di lingkungan waktu (Kochhar, 2008: 2). Sedangkan
Sidi Gazalba (1981:13) mendefinisikan sejarah sebagai gambaran masa lalu
manusia sebagai mahluk sosial yang disusun secara ilmiah meliputi urutan fakta
masa lalu dengan menafsirkan dan memberi pengertian tetang masa lalu.
Mulanya ilmu sejarah bergerak di bidangnya sendiri, yaitu humaniora
kemudian seiring berkembangnya ilmu sosial, sejarah ikut berkembang. Pengaruh
ilmu-ilmu sosial terhadap sejarah sangat besar artinya. Tanpa ilmu sosial sejarah
hanyar bergerak scara konvensional sehingga karya sejarah baru tidak memiliki
wawasan permasalahan luas. Artinya sejarah tidak mampu memberi penjelasan
secara menyeluruh. Terkait dengan berkembangnya ilmu sejarah maka lahirlah
aliran-aliran sejarah baru. Maka perlu dilakukan kategori jenis sejarah agar muda
diidentifikasi dimana Pranoto membaginya menjadi 22 jenis, dua diantaranya
adalah sejarah nasional dan sejarah daerah (Pranoto, 2010: 67).
Terkait dengan ulasan yang sedang dibahas yakni definisi sejarah nasional,
menurut Sartono Kartodirdjo (2014: 63) sejarah nasional adalah sejarah yang
menceritakan kehidupan suatu negara nasional. Kemudian Pranoto (2010: 90)
mengartikan bahwa sejarah nasional adalah cerita tentang proses integrasi politik
yang membentuk sebuah negara nasional. Sedangkan R. Moh. Ali (2005: 207)
mendefinisikan sejarah nasional sebagai sejarah yang muncul dari sifat subjektif di
bawah alam sadar manusia yang disebabkan oleh gerak-jiwa-nasional. Maka dari
definisi ketiga tokoh di atas dapat dimbil kesimpulan bahwa sejarah nasional
merupakan sejarah yang mengisahkan tentang kehidupan suatu negara nasional
yang tercipta akibat kesadaran nasional.
Sejarah nasional Indonesia tercipta bersamaan dengan masa Revolusi, di
mana munculnya tradisi historiografi nasionalistik difungsikan untuk menyadarkan
bangsa Indonesia yang terjajah selama berabad-abad sebagai pengetahuan bagi
bangsa Indonesia tentang pencapaian dari usaha memperjuangkan kemerdekaannya
dari waktu ke waktu (Nordholt, dkk., 2013: 264). Dalam penulisannya, sejarah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Indonesiasentris berusaha menantang fakta-fakta terkait isi dari sejarah
Nerlandosentris. Tujuannya tidak lain untuk menegaskan kembali kepribadian
bangsa Indonesia yang minim atau sengaja dikaburkan dalam penulisan sejarah
Nerlandosentris (Frederick dan Soeroto, 1982: 175).
Cakupan sejarah nasional sangat kompleks meliputi ruang lingkup sejarah
nasional yang sangat luas, jangka waktunya yang sangat lama dan aspek-aspek yang
di bahas sangat banyak. Dari banyaknya dereten peristiwa masa lampau perlu
pembagian waktu berdasarkan pokok cerita sejarah tujuannya adalah untuk 1)
memudahkan pengertian akan gambaran peristiwa-peristiwa masa lampau, 2)
penyederhanaan peristiwa-peristiwa sejarah yang saling tumpang tindih karena
banyaknya peristiwa yang terjadi di waktu bersamaan, 3) memenuhi sistematika
ilmu pengetahuan dengan mengaitkan peristiwa secara sistematis dan 4)
mengklasifikasikan atas keseragaman waktu peristiwa (Hugiono dan Poerwantana,
1992: 54-55).
Moh. Yamin dalam “6000 Tahun Sang Saka Merah Putih” (1957)
mengelompokan pembabakan waktu sejarah Indonesia berdasarkan periode masa
sebagai berikut:
1) Zaman Pra-sejarah sampai permulaan Tarikh Masehi.
2) Zaman proto historis atau Media-kala atau mula sejarah Indonesia, dari
permulaan Tarikh Masehi sampai abad ke VII.
3) Zaman Sriwijaya- Syailendra dari abad ke VII sampai abad ke XII.
4) Zaman Singosari – Majapahit dari abad ke XIII samapai abad ke XVI.
5) Zamana Penyusunan Kemerdekaan Indonesia sejak abad ke XVI sampai
XIX.
6) Abad Proklamasi kemerdekaan sejak permulaan abad ke XX sampai ke
pertengahan abad itu (Hugiono dan Poerwantana, 1992: 63).
Namun karena penulisan sejarah selalu berkembang dengan semakin
pesatnya rekonstruksi sejarah daerah menjadi sejarah nasional maka untuk
mencirikan pembabakan waktu sejarah nasional berpedoman sebagai berikut
(Hugiono dan Poerwantana, 1992: 66):
1) Menonjolkan kesatuan bangsa.
2) Melukiskan kebesaran dan kejayaan negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
3) Bersumber dan berpangkal pada kesaktian, kesatuan dan kebesaran
bangsa.
Penulisan SNI awalnya dimulai dari penulisan sejarah lokal sebagai
landasannya (Priyadi, 2014: 38). Sejarah lokal menurut Taufik Abdullah (1982:15)
adalah peristiwa masalalu dari sebuah kelompok atau kelompok-kelompok
masyarakat yang berada pada geografis terbatas. Sejarah lokal sangat bergantung
pada suatu locality dimana batasannya ditentukan oleh penulis yang dapat berupa
suatu tempat tinggal suku bangsa mencakup dua-tiga daerah administratif
kabupaten, kecamatan maupun desa.
Sebagai bagian dari SNI, sejarah lokal syarat dengan identitas kelokalan
yang menjadi akar identitas nasional. Begitu pula dengan solidaritas lokal yang
terbangun akan menjadi akar solidaritas nasional. Hal disebabkan oleh adanya
transaksi budaya lokal dimana dinamika antarbudaya akan melahirkan suatu proses
perkembangan dari identitas, solidaritas, dan kebanggaan lokal menuju identitas,
solidaritas dan kebanggan nasional (Priyadi, 2014: 40-41).
SNI sebagai macro-unit merupakan bagian dari pengetahuan sejarah yang
menyoroti problem secara komplek, dengan tema ataupun topik yang ditempatkan
dalam time setting. Hubungan sejarah lokal dan sejarah nasional menurut
Kartodirdjo (2014:84) didasarkan atas kecenderungan kesamaan pola, dan struktur
yang dimiliki keduanya sebagai bagian dari unit mikro dengan unit makro sejarah
ataupun sebaliknya. Dengan adanya hubungan seperti itu maka ada
kencenderungan pola dan struktur yang sama antara sejarah nasional dan sejarah
lokal. (Priyadi, 2014: 1). Meskipun terdapat hubungan namun objek sejarah lokal
dengan SNI baik temporal maupun spatial berbeda. Itu karena tiap daerah memiliki
peridoe sejarah yang berbeda-beda. Begitu pula dengan luasnya ruang SNI yang
mencakup Nusantara tentu sangat mencolok karena spatial sejarah lokal hanya
berkutat pada ruang tertentu saja (Priyadi, 2014: 15). Secara prinsipil, semua
peristiwa yang ada dalam SNI adalah peristiwa lokal sehingga dengan
pengintegrasian sejarah lokal dengan SNI hasilnya mampu mengisi kekosongan
dalam SNI.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
c. Kedudukan Mata Pelajaran Sejarah Indonesia di SMA
Dalam UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa
pendidikan nasional berfugsi untuk membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya
pelaksanaan pendidikan nasional ditujukan untuk membentuk karakter bangsa
dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam diri setiap insan manusia Indonesia.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut maka dibuatlah kurikulum pendidikan
nasional.
Menurut Hilda Taba dalam bukunya Curriculum Development, Theory and
Practice, kurikulum adalah “a plan for learning” yang berarti sesuatu yang di
rencanakan untuk pelajaran (Nasution, 2006:2). Seiring perkembangan jaman,
maka definisi kurikulumpun semakin meluas. Beberapa definisi kurikulum
tersebut antara lain (Nasution, 2006:7-9):
1. J. Galen Saylor dan William M. Alexander (1956) yang mengartikan
sebagai segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, baik di
dalam ruangan kelas, halaman sekolah maupun di luar sekolah termasuk
kegiatan ekstra-kulikuler.
2. Harold B B. Albertycs (1965) memandang bahwa kurikulum tidak
terbatas pada mata pelajaran, tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain
di dalam dan di luar kelas yang menjadi tanggung jawab sekolah.
3. B. Othanel Smith, W.O. Stanley, dan J. Harlan Shores menyatakan
bahwa kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial
dapat diberikan kepada anak supaya mereka dapat berpikir dan berbuat
sesuai dengan masyarakatnya.
4. Wiliam B. Ragan (1966) yang mendefinisikan kurikulum sebagai
seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala
pengalaman anak di bawah tanggung-jawab sekolah. Kurikulum tidak
hanya meliputi bahan pelajaran tetapi seluruh kehidupan dalam kelas,
yakni hubungan sosial antara guru dan murid, metode mengajar, dan
cara mengevaluasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
5. J. Lloyd dan Delmas F. Miller (1973) mendefinisikan kurikulum sebagai
metode mengajar dan belajar, mengevaluasi murid dan seluruh program,
perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan
administrasi dan hal-hal struktural mengenai waktu, jumlah, ruangan
serta kemungkinan memilih mata pelajaran.
6. Edward A. Krug (1960) mendefiniskan kurikulum sebagai cara atau
usaha untuk mecapai tujan persekolahan yang membedakan tugas
sekolah dengan tanggung jawab yang diemban lembaga pendidikan
lainnya seperti rumah tangga, lembaga agama, masyarakat dan lain-lain.
Pemberlakuan Kurikulum 2013 di Sekolah Menengah Atas menurut
penjelasan dalam lampiran Permendikbud No. 69 Tahun 2003 tentang kerangka
dasar dan struktur kurikulum sekolah menengah atas dan madrasah aliyah ditujukan
untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai
pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta
mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan
peradaban dunia. Lebih ringkasnya sasaran program Kurikulum 2013 adalah
mengembangkan kecerdasan siswa pada ranah kognitif, keterampilan, spiritual dan
sosial (Kemendikbud, 2014:1).
Dalam kurikulum 2013 mata pelajaran Sejarah Indonesia merupakan mata
pelajaran wajib bagi jenjang pendidikan menengah SMA, MA dan SMK dengan
porsi pembelajaran selama dua jam mata pelajaran perminggu. Alasan
dibelajarkannya karena mata pelajaran ini memiliki arti strategis dalam
pembangunan moral bangsa yaitu untuk membentuk watak dan peradaban bangsa
Indonesia yang mencintai bangsa dan tanah airnya sendiri. Dalam pengajarannya,
mata pelajaran ini dikembangkan atas dasar:
1. Semua wilayah/ daerah memiliki kontribusi terhadap pelajaran Sejarah
Indonesia hampir pada seluruh periode sejarah.
2. Pemahaman tentang masa lampau sebagai sumber inspirasi, motivasi, dan
kekuatan untuk membangun semangat kebangsaan dan persatuan.
3. Setiap periode sejarah Indonesia memiliki peristiwa dan atau tokoh di tingkat
nasional dan daerah keduanya memiliki kedudukan yang sama penting dalam
perjalanan Sejarah Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
4. Tugas dan tanggung jawab untuk memperkenalkan peristiwa sejarah yang
penting dan terjadi di seluruh wilayah NKRI serta seluruh periode sejarah
kepada generasi muda bangsa.
5. Pengembangan cara berpikir sejarah (historical thingking), konsep waktu,
ruang, perubahan, dan keberlanjutan menjadi keterampilan dasar dalam
mempelajari Sejarah Indonesia (Kemendikbud, 2014: 2-3).
Tujuan diajarkannya agar:
1. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari
bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air, melahirkan
empati dan perilaku toleran yang dapat diimplementasikan dalam berbagai
bidang kehidupan masyarakat dan bangsa.
2. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap diri sendiri, masyarakat,
dan proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan
masih berposes hingga masa kini dan masa yang akan datang.
3. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya konsep waktu dan
tempat/ruang dalam rangka memahami perubahan dan keberlanjutan dalam
kehidpuan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia.
4. Mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thingking) yang
menjadi dasar untuk kemampuan berpikir logis, kreatif, inspiratif, dan
inovatif.
5. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap
peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa
lampau.
6. Mengembangkan perilaku yang didasarkan pada nilai dan moral yang
mencerminkan karaker di masyarakat dan bangsa.
7. Menanamkan sikap berorientasi pada masa kini dan masa depan
(Kemendikbud, 2014: 4).
2. Bahan Ajar Modul
a. Bahan Ajar
Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi yang diwujudkan
melalui penyampaian informasi dari guru ke siswa. Informasi tersebut dapat berupa
pengetahuan, keahlian, skill, ide, pengalaman, dan sebagainya. Guru biasanya
mengemas informasi tersebut ke dalam sebuah kesatuan yang dinamakan bahan ajar
(teaching material) (Daryanto & Aris Dwi Cahyo, 2014: 190).
Bahan ajar menurut Departemen Pendidikan Nasional (2008: 6-7) adalah
segala bentuk bahan yang digunakan oleh guru untuk membantu melaksanakan
kegiatan belajar dan mengajarnya baik itu bebentuk tulisan maupun bukan tulisan.
Kemudian Dick dan Carey (1985:170) mengartikan bahan ajar sebagai seperangkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
materi pelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis berdasarkan
urutan kompetensi yang akan dipelajari oleh siswa selama kegiatan belajar.
Sedangkan Sudjana (2009: 67) mengartikannya sebagai materi yang akan diberikan
kepada siswa selama proses pembelajaran.
Penggunaan bahan ajar dalam proses pembelajaran pastinya memberi
manfaat baik oleh siswa maupun guru. Adapun manfaat penggunaan bahan ajar
menurut Hamdani (2011: 122) adalah sebagai berikut:
1) Membantu siswa dalam mempelajari sesuatu. Segala informasi yang
didapat dari sumber belajar, kemudian disusun dalam bentuk bahan ajar
akan menjadi suatu wahana untuk membuka pengetahuan baru bagi siswa.
2) Memudahkan guru melaksanakan pembelajaran. Guru sebagai fasilitator
pembelajaran akan dimudahkan dengan penggunaan bahan ajar.
3) Pembelajaran akan lebih menarik. Dengan beragam jenis bahan ajar yang
disediakan maka diharapkan iklim kelas tidak monoton yang hanya terpaku
oleh satu sumber.
Sedangkan tujuan disusunnya bahan ajar menurut Depdiknas (2008: 10)
adalah 1) menyediakan bahan ajar sesuai tuntutan kurikulum yaitu berdasarkan
kebutuhan siswa, sekolah dan daerah, 2) membantu siswa memperoleh alternatif
sumber belajar, dan 3) memudahkan guru melaksanakan pembelajaran.
b. Modul
Bahan ajar saat ini bermacam-macam bentuknya, baik yang dikemas dalam
bentuk cetak maupun non cetak (Purwanto, 2007:9). Bahan ajar terdiri dari
seperangkat materi/subtansi pelajaran yang disusun secara sistematis dan
menampilkan kompetensi yang diharus dikuasai oleh siswa. Dalam kaitanya
dengan penelitian ini bahan yang akan disajikan dalam pembelajaran sejarah lokal
adalah bahan ajar dalam bentuk cetak, yaitu modul.
Pembelajaran dengan menggunakan modul merupakan pendekatan
pembelajaran mandiri yang berfokus pada penguasaan kompetensi. Sebenarnya
istilah modul sendiri dipinjam dari dunia teknologi yaitu alat ukur yang lengkap dan
terdiri dari kesatuan program yang dapat digunakan untuk mengukur tujuan.
Batasan definisi modul menurut para ahli adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
1) Suryobroto (1986: 153), modul merupakan satuan unit program
pembelajaran terkecil.
2) Cece Wijaya (1992 dalam Daryanto & Aris Dwi Cahyo, 2014: 177)
merupakan paket program yang disusun dalam bentuk satuan tertentu untuk
keperluan belajar.
3) Daryanto (2013: 31) adalah materi pelajaran yang disusun dan disajikan
secara tertulis sedemikian rupa sehingga pembacanya mampu menyerap
materi secara mandiri.
4) Andi Prastowo (2012:106), modul adalah sebuah bahan ajar yang disusun
secara sistematis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa agar
dapat dipelajari secara mandiri.
5) Nana Sudjana & Achmad Rivai (2007, 133 dalam Saliman, 2013:16), modul
adalah unit pengajaran terkecil dan lengkap, terdapat rangkaian belajar yang
disusun secara sistematis, dan terdapat tujuan belajar yang dirumuskan
secara jelas dan spesifik.
Meskipun ada bermacam-macam definisi modul, namun ada kesamaan
pendapat bahwa modul merupakan suatu paket kurikulum yang disediakan untuk
belajar secara mandiri. Suryobroto (1986: 153) menyebutkan batasan modul secara
terperinci menggariskan:
a. Tujuan instruksional yang akan dicapai.
b. Topik yang akan dijadikan pangkal proses belajar mengajar.
c. Pokok-pokok materi yang akan dipelajari.
d. Kedudukan dan fungsi modul dalam kesatuan program yang lebih luas.
e. Peranan guru dalam proses belajar mengajar.
f. Alat-alat dan sumber belajar yang akan dipergunakan.
g. Lembaran kerja yang harus diisi oleh anak.
h. Program evaluasi yang akan dilaksanakan.
Sehubungan dengan penggunaan modul dalam proses pembelajaran, maka
Sedangakan gungsi penggunaan modul dalam pembelajaran adalah:
a. Tujuan pendidikan dapat dicapai secara efisien dan efektif.
b. Murid dapat mengikuti program pendidikan sesuai dengan kecepatan dan
kemampuannya sendiri.
c. Murid dapat sebanyak mungkin menghayati dan melakukan kegiatan
belajar sendiri, baik di bawah bimbingan atau tanpa bimbingan guru.
d. Murid dapat menilai dan mengetahui hasil belajarnya sendiri secara
berkelanjutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
e. Murid benar-benar menjadi titik pusat kegiatan belajar mengajar.
f. Kemajuan siswa dapat diikuti dengan frekuensi yang lebih tinggi melalui
evaluasi yang dilakukan pada setiap modul berakhir.
g. Modul disusun dengan berdasarkan kepada konsep “Mastery Learning”
yang menekankan bahwa murid harus secara optimal menguasai bahan
pelajaran yang disajikan dalam modul itu. Prinsip ini mengandung
konsekuensi bahwa seorang murid tidak diperbolehkan mengikuti
program berikutnya sebelum ia menguasai paling sedikit 75% dari bahan
tersebut (Suryobroto, 1986: 153).
Modul merupakan sarana bantuan belajar siswa, menurut Daryanto dan Aris
Dwi Cahyo tujuan pemakaian modul untuk:
a. Memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu
bersifat verbal.
b. Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik peserta
belajar maupun guru/instruktur.
c. Dapat digunakan secara tepat dan bervariasi, seperti untuk meningkatkan
motivasi dan gairah belajar, mengembangkan kemampuan dalam
berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya
yang memungkinkan siswa atau pembelajar belajar mandiri sesuai
kemampuan dan minatnya.
d. Memungkinkan siswa atau pembelajar dapat mengukur atau
mengevaluasi diri sendiri (Daryanto dan Aris Dwi Cahyo, 2014: 189-
190).
Implementasi modul dalam pembelajaran di kelas harus disesuaikan dengan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) (Daryanto, 2013: 16). Meskipun tujuan
dibuat modul adalah untuk membelajarkan siswa secara mandiri, namun siswa
harus tetap diawasi dan kalau perlu mendapat bantuan bimbingan atau tutorial dari
guru. Bantuan belajar bukan berarti siswa harus bergantung pada gurunya. Tetapi
untuk mencari kejelasan pada pembahasan yang belum dipahami siswa.
Pembelajaran dengan penggunaan modul telah menggeser peran guru dari pemberi
informasi menjadi fasilitator belajar. Sebagai fasiliator tugas guru adalah
menyediakan sumber belajar, merangsang semangat belajar, memberi peluang
siswa untuk menguji/mempraktikan sumber belajar, memberi umpan balik
perkembangan belajar siswa, dan membantu mengaitkan manfaat materi yang
dipelajari siswa untuk kehidupannya (Daryanto & Aris Dwi Cahyo, 2014: 191)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
c. Unsur-unsur dalam Modul
Dalam KBBI (1994: 1107) dikatakan bahwa arti dari unsur adalah bagian
terkecil dari sebuah benda. Dalam kaitannya dengan modul, unsur-unsur yang
dimaksud adalah sebagai berikut (Suryobroto, 1986: 158-159):
1. Pedoman bagi guru
Merupakan petunjuk-petunjuk penggunaan modul yang ditujukan
agar guru dapat mengajarkan materi secara efisien. Petunjuk-petunjuk
tersebut meliputi:
a. Macam-macam kegiatan yang harus dilakukan oleh guru di dalam
kelas.
b. Penggunaan waktu yang disediakan untuk menyelesaikan modul.
c. Alat-alat peraga yang digunakan dalam pengajaran
d. Petunjuk cara mengevaluasi pembelajaran.
2. Lembar kegiatan siswa
Merupakan lembaran yang berisi materi pelajaran yang harus
dikuasai siswa. Penyusunan materi harus disesuaikan dengan tujuan-tujuan
instruksional yang telah dirumuskan dalam modul. Materi pembelajaran
juga harus disusun secara berurutan (sitematis dan kronologis) supaya
mudah dipelajari oleh siswa. Dalam lembar kegiatan ini harus tercantum
perintah-perintah yang harus dilakukan oleh siswa, misal: membaca,
menulis, membuat percobaan dan sebagainya.
3. Lembar Kerja
Lembar kerja merupakan lembar yang digunakan oleh siswa untuk
menjawab atau mengerjakan soal yang tercantum dalam lembar kegiatan
siswa. Jadi setelah siswa mempelajari lembar kegiatan mereka diharuskan
bekerja atau melaksanakan kegiatannya pada lembar kerja ini.
4. Kunci Lembar Kerja
Merupakan alat yang dapat digunakan siswa untuk mengevaluasi
(mengoreksi) sendiri hasil pekerjaannya. Sehingga apabila siswa membuat
kesalahan dalam pengerjaan, siswa dapat meninjau kembali pekerjaannya.
5. Lembar Tes
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Merupakan alat evaluasi guna mengukur keberhasilan atau
tercapainya tujuan yang telah dirumuskan dalam modul. Keberhasilan
pengajaran dalam modul tidak dinilai dari jawaban lembar kerja namun pada
lembar tes ini. Lembar tes berisikan soal-soal yang harus dijawab oleh siswa
untuk menilai sejauh mana keberhasilan siswa dalam mempelajari bahan
yang ada dalam modul.
6. Kunci Lembar Tes
Merupakan alat bantu bagi guru untuk mengoreksi dan menilai hasil
tes siswa. Tes disusun oleh penulis modul sehingga kunci tes juga dibuat
oleh orang yang bersangkutan.
d. Karakteristik Modul
Modul yang baik adalah modul yang mampu meningkatkan motivasi belajar
siswa. adapun karakter yang harus ada dalam sebuah modul adalah sebagai berikut
(Daryanto & Aris Dwi Cahyo, 2014:186-188):
1. Self Instruction
Merupakan karakter utama yang harus ada dalam modul. Dengan
karakter tersebut memungkinkan siswa secara mandiri dapat mempelajari
materi yang ada dalam modul. Untuk memenuhi karakter self instruction,
maka syarat yang harus dipenuhi adalah:
a. Memuat tujuan pembelajaran yang jelas, dan dapat
menggambarkan pencapaian Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar.
b. Memuat materi pembelajaran yang dikemas dalam unit-unit
kegiatan yang kecil/spesifik, sehingga memudahkan dipelajari
secara tuntas.
c. Tersedia contoh dan ilustrasi yang mendukung kejelasan
pemaparan materi pembelajaran.
d. Terdapat soal-soal latihan, tugas, dan sejenisnya yang
memungkinkan untuk mengukur penguasaan peserta didik.
e. Kontekstual, yaitu materi yang disajikan terkait dengan suasana,
tugas, atau konteks kegiatan dan lingkungan peserta didik.
f. Menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif.
g. Terdapat rangkuman materi pembelajaran.
h. Terdapat instrumen penilaian, yang memungkinkan peserta didik
melakukan penilaian mandiri (self assesment).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
i. Terdapat umpan balik atas penilaian peserta didik, sehingga
pserta didik mengetahui tingkatan penguasaan materi.
j. Terdapat informasi tentang rujukan/ pengayaan/ referensi yang
mendukung (Daryanto dan Aris Dwi Cahyo, 2014:187).
2. Self Contained
Modul dapat dikatakan self contained bila seluruh materi
pembelajaran yang dibutuhkan siswa tersaji di dalamnya. Tujuan dari
konsep ini diharapkan siswa dapat mempelajari materi yang ada di dalam
modul dengan tuntas. Materi dalam modul harus dikemas dalam satu
kesatuan yang utuh.Sehingga dalam pembagian maupun pemisahan materi
dari satu kompetensi inti/ kompetensi dasar (KI/KD) perlu memperhatikan
keluasan KI/KD yang harus dikuasai oleh siswa.
3. Berdiri Sendiri (Stand Alone)
Modul tidak bergantung pada bahan ajar/media lain, atau tidak harus
digunakan bersama-sama dengan bahan ajar/media lain. Berarti ketika siswa
menggunakan modul, mereka tidak perlu menggunakan bahan ajar yang lain
untuk mempelajari maupun mengerjakan tugas yang tersaji di dalam modul.
4. Adaptif
Modul dapat dikatakan adaptif bila modul dapat menyesuaikan diri
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fleksibel
digunakan di berbagai perangkat keras (komputer, handphone, CD, dan lain
sebagainya).
5. Bersahabat/Akrab (User Friendly)
Modul dapat dikatakan bersahabat bila di dalamnya memuat
instruksi/pemaparan informasi yang dapat membantu pemakainya.
Penggunaan bahasa dalam pemaparan informasi harus sederhana, mudah
dimengerti, serta menggunakan istilah yang umum digunakan sehingga
pengguna dapat kemudahan dalam pemakaian, merespon dan mengakses
sesuai dengan keinginan mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
e. Elemen Mutu Modul
Modul harus bisa memerankan fungsi dan peranannya dalam pembelajaran
secara efektif. Sehingga modul yang dirancang dan dikembangkan harus
memperhatikan syarat syarat sebagai berikut:
1. Format
Pengertian format menurut KBBI (1994: 279) adalah bentuk dan
ukuran. Tata letak, format pengetikan, dan ukuran kolom yang yang dipakai
dalam modul disesuaikan dengan bentuk dan ukuran kertas yang dipakai.
Dalam pengetikan penggunaan tanda-tanda (icon) dinilai penting karena
bertujuan untuk menekankan pada hal-hal yang dianggap penting atau
khusus. Icon dapat berupa gambar, cetak tebal, cetak miring, atau lainnya
(Daryanto, 2013: 13).
2. Organisasi
Organisasi dalam KBBI (1994: 707) mengandung arti kesatuan
(susunan) yang terdiri atas bagian-bagian. Pengorganisasian komponen
modul meliputi (Daryanto, 2013: 13-14):
a. Peta yang menggambarkan cakupan materi yang akan dibahas
dalam modul.
b. Isi materi pembelajaran yang diurutkan secara sistematis, agar
memudahkan siswa memahami materi pembelajaran
c. Naskah, gambar dan ilustrasi yang disusun dan ditempatkan
sedemikian rupa agar mudah dipahami siswa.
d. Pengorganisasian antar bab, antar unit, dan antar paragraf dengan
alur yang memudahkan peserta didik memahami materi secara
berurutan.
e. Pengorganisasian judul, antar subjudul, dan uraian yang mudah
diikuti oleh siswa.
3. Daya Tarik
Modul harus memiliki daya pikat bagi pembacanya. Supaya modul
menarik perlu dibuat sampul depan (cover) yang unik. Dalam pembuatan
desain sampul, pengembang modul dapat mengkombinasikan warna,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
gambar (ilustrasi), bentuk dan ukuran huruf yang serasi agar nyaman
dipandang. Sedangkan di bagian isi modul, penempatan gambar, pencetakan
huruf tebal, miring, garis bawah atau warna dapat merangsang siswa untuk
membaca modul dan mempermudah mereka dalam memahami penekanan
materi penting yang disajikan. Utamanya dalam pembuatan modul
difungsinkan agar siswa dapat belajar secara mandiri, oleh sebab itu tugas
dan latihan di dalamnya harus dikemas sedemikian rupa sehingga menarik
(Daryanto, 2013: 14).
4. Bentuk dan Ukuran Huruf
Pada umumnya setiap kata tersusun lebih dari dua karakter alfabeta.
Sehingga dalam pengetikan kata yang digunakan menyusun paragraf harus
menggunakan bentuk huruf yang mudah dibaca sesuai dengan karakteristik
siswa. Penggunaan perbandingan huruf yang porposional antar judul, sub
judul dan isi naskah juga dinilai penting sebab dari situ siswa dapat dengan
mudah mengenal perpokok bahasan. Penggunaan huruf kapital untuk
seluruh teks sebaiknya dihindari sebab dapat menyebabkan siswa kesulitan
saat membaca (Daryanto, 2013: 14).
5. Ruang (spasi kosong)
Spasi kosong merupakan bidang kosong tanpa naskah atau gambar
untuk menambah kontras tampilan. Spasi kosong juga berfungsi sebagai
tempat bagi siswa untuk menambahkan catatan penting. Penempatan ruang
kosong dapat ditemui di:
a. Ruang sekitar judul bab dan subbab.
b. Batas tepi (marjin); batas tepi yang luas memaksa perhatian
peserta didik untuk masuk ke tengah-tengah halaman.
c. Spasi antar kolom; semakin lebar kolomnya semakin luas spasi
diantaranya.
d. Pergantian antar paragraf dimulai dengan huruf kapital.
e. Pergantian antar bab atau bagian (Daryanto, 2013: 15).
Modul yang baik, dapat diketahui dari konsistensi (keajegan) bentuk huruf
dari halaman ke halaman berikutnya. Kemudian penggunaan jarak dan spasi antar
paragraf dengan paragraf atau judul dengan teks utama harus rapi dan memenuhi
kaidah penulisan paragraf yang benar. Terakhir adalah tata letak pengetikan baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
pola pengetikan maupun batas-batas pengetikan harus seirama satu dengan
lainnya.
3. Prestasi Belajar
a. Definisi Prestasi Belajar
Pengertian prestasi belajar menurut Suharsimi Arikunto (2006:33) adalah
hasil usaha siswa selama mengikuti pembelajaran yang diukur untuk memenuhi
kebutuhan pembelajaran. Sedangkan menurut Sumadi Suryabrata (2001:297)
prestasi belajar adalah hasil belajar siswa yang dinilai oleh pendidik terkait dengan
kemajuan siswa selama waktu tertentu. Jadi definisi prestasi belajar adalah hasil
usaha siswa selama mengikuti pembelajaran dalam waktu tertentu yang diukur guna
melihat kemajuan belajarnya.
Tentunya antara prestasi belajar dan hasil belajar itu berbeda pengertiannya.
Menurut Jahja Umar, dkk. (2000:11) prestasi belajar (achievement) bersifat
pengetahuan sehingga dalam pengukurannya yang diukur adalah tingkat
kemampuan siswa dalam penguasaan materi. Sedangkan hasil belajar (learning)
meliputi aspek keseluruhan terhadap perubahan perilaku akibat pengalaman belajar
siswa. Dalam pembelajaran di kelas meskipun pada suatu rombongan belajar diberi
materi dan metode sama namun prestasi belajar antar siswa akan berbeda.
Perbedaan hasil prestasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Suryabrata
(2001:233) keberhasilan seorang siswa mencapai prestasi belajar dipengaruhi oleh
dua faktor, yakni faktor eksternal dan internal. Faktor pertama berasal dari eksternal
atau pengaruh yang muncul dari luar diri siswa. Faktor eksternal dikelompokan
menjadi dua bentuk yaitu faktor non sosial dan sosial. Faktor non sosial identik
dengan gejala alam seperti cuaca, suhu maupun letak geografis. Sedangkan faktor
sosial identik dengan kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial berupa keadaan
ekonomi, kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan untuk beriteraksi dengan
sesama manusia. Faktor kedua berasal dari internal atau pengaruh yang muncul dari
dalam diri siswa. Faktor internal dikelompokan menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama berasal dari faktor fisiologi yaitu pengaruh yang muncul dari kondisi
jasmani seperti contohnya adalah kesehatan siswa dan kelompok kedua berasal dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
fakor psikologis, yaitu pengaruh yang muncul dari kejiwaan siswa seperti
contohnya adalah keadaan emosional.
Sesuai yang telah dikemukakan pada sub-bab sebelumnya tentang ciri-ciri
individu yang belajar, siswa dapat dikatan belajar apabila di dalam diri siswa
mengalami perubahan perilaku psikologis sebagai respon dari pengalaman-
pengalaman mereka yang didapat selama proses belajar. Untuk mengukur semua
perubahan-perubahan itu pastinya sulit dilakukan oleh guru, utamanya pada
pengukuran afektif. Hal itu disebabkan karena ranah afektif merupakan kawasan
yang bersifat tak dapat diraba. Sehingga untuk mengukurnya guru hanya bisa
mengambil gambaran perubahan tingkah laku siswa yang penting saja dan
sekiranya penilaian tersebut dapat mencerminkan perubahan akibat proses belajar
meliputi dimensi cipta, rasa, maupun karsa.
Terkait dengan pengukuran ranah kognititf, Benjamin Bloom (1956)
mengidentifikasi ranah kognitif dengan model taksonomi ranah kognitif. Ranah ini
mencakup ingatan atau pengalaman terhadap fakta-fakta, pola prosedural, dan
konsep yang dapat memungkinkan berkembangnya kemampuan dan skill
intelektual. Ada enam kategori utama dalam model ini yang didata dari perilaku
sederhana hingga kompleks, yaitu:
1. Pengetahuan (knowledge)
Pada tahap ini siswa mengingat data atau informasi.
2. Pemahaman (Comprehension)
Individu memahami makna, terjemahan, interpola, dan interpretasi atas
instruksi-instruksi dan masalah-masalah. Pada tahap ini pula, mereka
umumnya mampu menyatakan suatu masalah dengan caranya sendiri.
3. Penerapan (Application)
Tahap ini memungkinkan individu untuk menggunakan suatu konsep
dalam situasi yang baru. Individu pada tahap ini pula bisa menerapkan
apa yang telah dipelajari di ruang kelas ke dalam situasi-situasi yang
rumit di tempat kerja.
4. Analisis (Analysis)
Pada tahap ini, individu sudah mampu memisahkan materi-materi atau
konsep-konsep ke dalam bagian-bagian komponen sehingga struktur
organisasinya dapat dipahami. Individu mampu membedakan antara
fakta dan dugaan.
5. Sinstesi (Syntesis)
Individu yang mencaai level sintesis mampu membangun semacam
struktur atau pola dari berbagai elemen yang berbeda-beda. Ia mampu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
menggabungkan berbagai macam bagian ke dalam satu keseluruhan,
dengan menekankan pada upaya menciptakan makna atau struktur yang
baru.
6. Evaluasi
Pada tahap terakhir ini, individu sudah bisa membuat peniaian tentang
nilai suatu gagasan atau materi (Miftahul Huda, 2014: 170-171).
Pengukuran ranah afektif, Krathwohl (1973) menyusun kriteria untuk
mengklasifikasi perilaku-perilaku yang mengindikasikan sikap kesadaran, minat,
perhatian, fokus, tanggung jawab, dan respon siswa selama berinteraksi dengan
orang lain.Taksonomi sikap Krathwohl terdiri dari lima level sebagai berikut:
1. Menerima (Recieving)
Pada level ini, siswa terlebih dahulu menyadari apa yang disajikan dan
selalu ingin mencatat dan mengingatnya.
2. Merespon (Responding)
Setelah menerima stimulus, siswa-siswa mulai meresponnya untuk
memperoleh pengetahuan baru. Pada level ini siswa akan mencari
aktivitas-aktivitas belajar dengan rasa puas karena telah berhasil
berpartisipasi di dalamya.
3. Menghargai (Valuing)
Siswa membuat keputuasan tentang nilai dan komitmennya untuk dan
terlibat dalam nilai tersebut. Mereka membuat pilihan dan ketika sudah
menerima suatu nilai, berusaha untuk mengajak orang lain menuju nilai
yang dipilihnya.
4. Mengatur (Organising)
Pada level ini ini mengharuskan siswa untuk mengorganisasi nilai-nilai
dan mengkostruksi suatu sistem yang dapat mengatur serangakaian
sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai dengan menghubungkannya antar satu
sama lain.
5. Berkarakter dengan Nilai (Characterising by a Value)
Siswa pada level ini sudah mulai berusaha menginternalisasikan dan
mengorganisasi nilai-nilai ke dalam suatu sistem dan dapat menerapkan
nilai-nilai tersebut sebagai filsafat hidunya untuk menghadapi berbagai
macam situasi nyata (Miftahul Huda, 2014: 164-166).
Pengukuran prestasi pada ranah psikomotor dapat menggunakan taksonomi
Model Simpson. Menurut Simsons (1972) ranah psikomotor mencakup gerakan
fisik, koordinasi dan penggunaan skill-skill motorik. Ada tujuh kategori utama
ranah psikomotor yang diurut dari perilaku yang paling sederhana hingga paling
kompleks, yaitu sebagai berikut:
1. Persepsi (Perception)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Kemampuan ini menggunakan isyarat-isyarat sensorik untuk memandu
aktivitas motorik. Persepsi mencakup mulai dari stimulasi sensorik,
melalui seleksi isyarat, hingga penerjemahan.
2. Keteraturan (Set)
Kemampuan ini mencerminkan kesiapan dalam bertindak. Ia mencakup
faktor-faktor mental, fisik, dan emosional. Tiga rangakaian ini
merupakan bawaan yang sejak awal memungkinkan seseorang mampu
merespon situasi yang berbeda-beda. Kemampuan ini sering dikenal
dengan mindset.
3. Respon terbimbing (Guided Response)
Respon semacam ini biasanya menjadi tahap awal dalam mempelajari
skill yang komplek. Respon terbimbing pastilah melibatkan imitasi dan
trial and error. Untuk mencapai kelayanan performa yang memadai,
seseorang harus berpraktik terus menerus.
4. Mekanisme (Mechanism)
Tahap ini merupakan tahap pertengahan dalam mempelajari skill yang
komplek. Respon yang dipelajari sudah mulai menjadi semacam
kebiasaan dan gerakan-gerakan tersebut sudah bisa ditunjukan dengan
kepercayaan diri yang penuh.
5. Respons Cepat (Complex Overt Response)
Tahap ini menunjukan performa motorik yang sudah skill full yang
melibatkan pola-pola gerakan yang komplek. Kecakapan diindikasikan
oleh kecepatan, akurasi, performa sistematis, tanpa terlalu banyak
menghabiskan energi. Kategori ini menunjukan kemampuan seseorang
yang sudah profesional tanpa keragu-raguan, sejenis performa
otomatis.
6. Adaptasi (Adaptation)
Pada tahap ini, skill-skill sudah berkembang dengan baik, dan individu
sudah memodifikasi pola-pola gerakannya untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan tertentu yang berbeda.
7. Inisiasi (Origination)
Mereka yang sampai tahap ini sudah mampu menciptakan pola-pola
pergerakan yang baru untuk menyesuaikannya dengan situasi dan
problem tertentu. Ini juga mencakup hasil-hasil pembelajaran yang
menekan pada kreativitas berbasis skill-skill tingkat tinggi (Miftahul
Huda, 2014: 167-169).
Ketiga jenis pengukuran di atas tidak berdiri sendiri, namun ada korelasi
satu dengan lainya. Agar prestasi belajar mudah diukur maka diperlukan sebuah
penilaian. Menurut Sudjana dan Ibrahim (1989:111) fungsi penilaian digunakan
untuk mengetahui tecapainya tujuan pembelajaran yaitu tecapainya tingkat
penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan oleh guru sesuai dengan tujuan
instruksional khusus, juga mengetahui efektifitas pembelajaran yang telah
dilakukan oleh guru.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Dalam penilaian, nilai disimbolkan pada angka maupun huruf. Ada
beberapa altermatif norma dalam pengukuran keberhasilan siswa yang biasanya
digunakan di sekolah menengah atas, yaitu norma skala angka dari 0 sampai 10 dan
norma skala angka dari 10 sampai 100. Dalam upaya mengungkap prestasi belajar,
batasan minimum keberhasilan belajar siswa sangat penting untuk ditetapkan.
Angka terendah kelulusan pada skala 0-10 adalah 5,5 atau 6,0. Sedangkan untuk 0-
100 adalah 55 atau 60. Prinsipnya adalah siswa setidaknya mampu menyelesaikan
lebih dari separuh tugas atau menjawab setengah dari instrumen evaluasi dengan
benar. Sehingga dengan memenuhi kriteria seperti di atas, siswa sudah dianggap
lulus karena mereka telah memenuhi target minimal keberhasilan (Muhibbin Syah,
2013: 150). Namun pada sekolah-sekolah tertentu, angka di atas masih dianggap
rendah maka mereka meningkatkan target minimal keberhasilan siswa di atas angka
itu.
Hasil penilaian tersebut nantinya digunakan sebagai bahan mengevaluasi
pembelajaran. Menurut Kunandar (2009:377) evaluasi pembelajaran adalah suatu
tindakan yang dilakukan oleh guru dalam menentukan nilai keberhasilan siswa
setelah mereka mengikuti kegiatan belajar dalam periode waktu tertentu. Sehingga
evaluasi merupakan salah satu tahapan penting dalam pembelajaran. Alasanya: (1)
evaluasi digunakan sebagai alat untuk mengetahui tecapainya tujuan pembelajaran
meliputi: penguasaan materi, nilai-nilai dan keterampilan yang dipelajari oleh
siswa, (2) evaluasi digunakan untuk mengetahui kelemahan siswa selama
mengikuti kegiatan belajar, (3) evaluasi digunakan untuk mengumpulkan informasi
yang berkaitan dengan proses pembelajaran sebagai masukan berupa umpan balik
dari guru ke siswa maupun sebaliknya, dan (4) evaluasi digunakan sebagai bahan
laporan hasil belajar siswa kepada orang tua siswa (Sulityorini 2009:47).
b. Hubungan Prestasi dengan Pembelajaran Sejarah
Prestasi belajar merupakan hasil penilaian belajar siswa selama periode
waktu tertentu yang diwujudkan dalam bentuk laporan. Berkaitan dengan
pembelajaran sejarah ukuran prestasi harus disesuaikan dengan tujuan
dibelajarkannya mata pelajaran sejarah di kelas. Sesuai yang telah dibahas di bagian
awal, tujuan dibelajarkannya mata pelajaran ini adalah untuk:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
1. Menumbuhkan kesadaran dalam diri siswa sebagai bagian dari bangsa
Indonesia
2. Menumbuhkan pemahaman siswa terhadap diri sendiri, masyarakat, dan
proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah.
3. Membangun kesadaran siswa tentang pentingnya konsep waktu dan
tempat/ruang
4. Mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thingking)
5. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan siswa terhadap peninggalan
sejarah
6. Mengembangkan perilaku siswa yang didasarkan pada nilai dan moral yang
mencerminkan karakter masyarakat dan bangsa Indonesia.
7. Menanamkan sikap berorientasi pada masa kini dan masa depan.
Dalam Kurikulum 2013 tujuan pembelajaran sejarah dijabarkan ke dalam
Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) dalam bentuk materi
pembelajaran. Pengukuran prestasi dilakukan terhadap tiga ranah prestasi siswa
yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor sesuai dengan kompetensi yang dituju.
Namun dalam penelitian ini tes prestasi hanya digunakan untuk mengukur domain
kognitif terkait kemampuan menyerap materi yang telah dibelajarkan kepada siswa
4. Nasionalisme
a. Hakikat Nasionalisme
Kata Nasionalisme berasal dari bahasa Latin “natio” yang berarti “lahir”.
Kemudian berubah konotasinya seiring perkembangan jaman menjadi “bangsa”
nation. Menurut pengertian Walker Connor (1994) bangsa adalah suatu masyarakat
yang percaya bahwa antar anggotanya memiliki hubungan leluhur yang sama
berdasarkan ikatan kekeluargaan. Asasnya adalah ikatan psikologis yang
menyatukan masyarakat tersebut yang membuat kelompoknya itu berbeda dengan
kelompok lainnya (Smith, 2003:88). Senada dengan pernyataan Connor, Hans
Kohn mengartikan bangsa sebagai himpunan komunitas yang memiliki kesamaan
bahasa, ras, agama dan peradaban yang berkembang karena adanya akar sejarah
yang membentuknya (Ubaid dan Bakir, 2015: 17).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Dalam arti kekinian nasionalisme dipahami sebagai paham bagi individu
maupun kelompok masyarakat yang mencita-citakan suatu kehidupan berbangsa dan
bertanah air bersama dengan landasan sejarah, budaya dan kekeluargaan sebagai
ikatannya. Basis filosofi nasionalisme ini masih dipakai hingga saat ini sebagai
kekuatan suatu bangsa untuk mempertahankan kelestarian kelompoknya. Seperti
yang dikatakan Blank and Schmidt (2003 dalam Latcheva, 2010:192) “nationalism
is characterized by blind support for the nation and feeling of national
superiority...is based on republican values and includes critical loyalty towards the
in-group nation.” Hal itu karena “...ethnicity as the principal element in the
definition of nationalism...that of human community manifesting a historical,
linguistic, religious, and economic unity animated by a common will to live.” (Daniel
Jhonson, 1966 dalam Rocher, 2002: 4). Jadi kekuatan suatu bangsa dalam
mempertahankan eksistensinya berasal dari kerelaan anggotanya untuk membela
tanah airnya. Dasar kerelaan tersebut dikarenakan adanya ikatan yang tumbuh
karena adanya nilai-nilai yang dijunjung bersama. Nilai-nilai tersebut
dimanifestasikan ke dalam kehidupan berbangsa seperti dalam pemakaian bahasa,
beragama, dan kerjasama ekonomi yang membuat mereka tetap utuh untuk hidup
bersama.
Nasionalisme suatu kelompok bangsa akan selalu menggambarkan akar
kebudayaan masyarakat tempat bangsa itu hidup. Adanya peran budaya ditujukan
untuk membangkitkan kembali komunitas moral bangsa dengan memperhatikan
identitas budaya, harmoni sosial, dan tujuan moral (Smith, 2003:95). Menurut
Naoko Hosokawa sumber identitas nasional bisa berasal dari kebudayaan lokal
suatu masyarakat, sebagai contohnya adalah penggunaan bahasa daerah sebagai
bahasa nasional. Lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:
“...the relation between nationalism and linguistic purism, in
particular the manner in which a shared sense of national belonging is
expressed and reproduced through the display of public attitudes towards
foreignisms in a given society... national language is conceptualized as a
source of national identity while certain foreign loanwords are excluded
from the perceptual framework of national language” (Vorokova dan
Mansour, 2015: 3).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Di Indonesia, nasionalisme budaya dibangun di atas kerangka keberagam
etnik, linguistik, religius, dan subkultural dengan prinsip kesatuan berdasarkan
Bhinneka Tunggal Ika. Kepribadian tersebut sangat dipengaruhi oleh etos bangsa,
yaitu kelakuan serta gaya hidup masyarakatnya (Kartodirdjo, 1993:15). Penguatan
identitas sebagai sebuah bangsa dengan penggunaan bahasa saja tidaklah cukup,
sehingga perlu disadari bahwa permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia bukan
hanya pada modernisasi kultur saja, tetapi meliputi segala aspek kehidupan
masyarakat seperti etos dan gaya hidup yang mencerminkan identitas nasional agar
berbeda dengan bangsa lain (Kartidirdjo, 1993:16).
Perkembangan jaman akan membawa perubahan paradigma tentang
nasionalisme. Nasionalisme yang dirajut di jaman pra-kemerdekaan mungkin sudah
tidak relevan lagi diterapkan sekarang ini. Meskipun demikian, nasionalisme masih
tetap dapat terbentuk apabila terdapat prinsip-prinsip seperti kesatuan (unity),
kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), kepribadian (personality), dan prestasi
(performance) dalam suatu bangsa (Kartodirdjo, 2003, 15).
Di era pasca kemerdekaan, nasionalisme bukan lagi ditunjukan pada
bagaimana suatu bangsa memerdekakan diri dari dominasi kekuatan asing melalui
kekuatan fisik, tetapi lebih pada bagaimana memerdekakan diri dari kebodohan
sesuai yang disematkan dalam amanat pembukaan UUD 1945. Menurut Tilaar
(2015: 68-73) manusia cerdas yang dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 adalah
sebagai berikut:
1. Manusia cerdas secara intelektual, yaitu manusia yang mampu
mengembangkan akal yang berbudi dalam meningkatkan taraf hidupnya.
2. Manusia yang cerdas bersosial, yaitu manusia Indonesia yang menjunjung
asas kegotong-royongan atau kerja sama.
3. Manusia yang cerdas secara ekonomi, yaitu seorang yang giat bekerja
dengan menghilangkan sifat inferioritas, malas, dan masa bodoh terhadap
potensi kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
4. Kecerdasan jasmani yang sehat, yaitu manusia Indonesia yang memiliki
gaya hidup sehat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
5. Kecerdasan agamis, yaitu manusia Indonesia yang mengimani adanya
Tuhan dan hidup secara damai dengan penganut agama lain.
Dari pernyataan di atas dapat dikerucutkan tentang hakikat nasionalisme
bangsa Indonesia adalah nasionalisme yang berlandaskan pada UUD 1945, Bhineka
Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara prinsipil
berdasarkan pada Pancasila.
b. Hubungan Nasionalisme dengan Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah adalah suatu aktifitas belajar dan mengajar yang di
dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang memiliki hubungan
dengan peristiwa masa kini (Widja, 1989: 23). Nugroho Notosusanto (1964: 11-14)
memberi ulasan manfaat mempelajari sejarah salah satunya adalah mempertebal
nasionalisme dan patriotisme. Nasionalisme dan patriotisme tidak hadir begitu saja
tanpa ada pengetahuan dan kebijaksanaan. Kebijaksanaan dapat muncul jika siswa
mampu berfikir secara global dan mampu menimbang untung-rugi tindakannya
terhadap eksistensi bangsa.
Pada umumnya pembelajaran sejarah ditujukan untuk mengenalkan siswa
pada masa lalu bangsanya yaitu bagaimana bangsa Indonesia dapat terbentuk dan
bersatu. Namun secara khusus tujuan pembelajaran sejarah adalah meniadakan efek
dari penjajahan yang telah mengakibatkan bangsa Indonesia terjangkit sindrom
bangsa minder (minderwarrdegheid complex). Sindrom minder tersebut sebenarnya
hanyalah pergolakan perasaan bangsa Indonesia yang merendahkan harkat dan
martabat diri sendiri dihadapan bangsa lain yang seolah-olah bangsa Indonesia ini
adalah bangsa yang bodoh. Oleh karena itu agar sindrom itu tidak mengendap ke
alam bawah sadar bangsa Indonesia maka pembelajaran sejarah dapat dijadikan
sebagai motivasi siswa agar tidak minder dengan merefleksikan kejayaan nenek
moyangnya di masa kini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah merupakan alat untuk
mempertebal perasaan berbangsa siswa dan untuk menguatkan kembali simpul
kesatuan bangsa agar tidak retak dikemudian hari. Keuntungan siswa
mempelajarinnya adalah memperoleh motivasi agar tidak minder dalam persaingan
dunia. Itu karena dari sejarah siswa mendapat pengetahuan tentang masa lalu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
bangsa Indonesia, yaitu bangsa yang besar dan memiliki pengaruh yang luas
terhadap peradaban bangsa-bangsa lain di sekitarnya.
5. Desain Pengembangan Modul
Agar dapat mewujudkan bahan ajar sejarah lokal yang efektif dan efisien
maka diperlukan prosedur yang sistemis dan sistematis. Salah satu dari banyak
model pengembangan bahan ajar adalah penggunaan model desain ADDIE yang
berisi lima langkah, yaitu: 1) analysis, 2) design, 3) development, 4)
implementation, dan 5 evaluation. Tahapan dalam pengembangan bahan ajar
dengan model ADDIE dapat diketahui dari gambar sebagai berikut (Pribadi, 2014:
179):
Gambar 2.1: Model ADDIE
Pada tahap analisis kebutuhan terkait penggunaan bahan ajar, kegiatan
utamanya adalah menemukan faktor penyebab dari ketidaklayakan bahan ajar di
sekolah. Dari hasil yang didapat nantinya akan dijadikan sebagai solusi yang
memungkinkan untuk penggunaan rancangan bahan ajar modul sebagai solusi
alternatif. Oleh karena itu, pada tahap ini peneliti harus benar-benar memperoleh
data sebanyak mungkin untuk mengetahui kesenjangan yang ada.
Berlanjut ke tahap selanjutnya, pada tahap desain ditujukan untuk
menciptakan sebuah prototype bahan ajar yang efektif dan efisien digunakan.
Bahan ajar yang didesain haruslah sesuai dengan kebutuhan peserta didik yang
berlandasan pada Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Prototype modul harus
sesuai dengan kaidah penyusunan modul yang benar.
Analisis Desain Pengembangan Implementasi Evaluasi
Melakukan
analisis
kebutuhan
Membuat desain
modul
Melakukan
validasi modul
Mengamati
kelemahan
modul
Melakukan
evaluasi modul
Menentapkan
masalah
kebutuhan
modul
Menentukan KI,
KD terkait materi dan cara
pengujiannya
Memproduksi
prototype modul
Menetapkan waktu, tempat,
model
pembelajaran
Menilai efektifitas dan
efisiesi modul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Tahap ke tiga adalah tahap pengembangan yaitu proses menciptakan modul
sebagai sarana pembelajaran. Karena modul yang disusun berupa bahan cetak maka
wujudnya harus menarik baik itu dari segi konten materi maupun fisiknya, sehingga
nantinya selama modul dipakai tidak mengecewakan bagi yang mempelajarinya.
Tahap implementasi merupakan tahap realisasi dari desain yang
dikembangkan. Pada tahap ini, pengembang harus merencanakan waktu
pelaksanaan kegiatan juga tempatnya. Sebaiknya waktu pelaksanaan pembelajaran
disesuaikan dengan tahap belajar peserta didik terkait kompetensi yang ditetapkan.
Evaluasi merupakan tahap terakhir dalam menyempurnakan sebuah bahan
ajar. Pada dasarnya kegiatan evaluasi ditujukan untuk memperoleh data dan
informasi untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi pembelajaran dengan
penggunaan modul yang dikembangkan.
B. Penelitian yang Relevan
Berdasarkan kajian teori yang dipaparkan di atas, berikut ini disajikan
beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan variabel-variabel yang diteliti,
antara lain:
1. Novianti, Sudjarwo, dan Pargito (2014), yang berjudul “Pengembangan
Bahan Ajar Sejarah Berupa Cerita Rakyat Sebagai Wujud Kearifan Lokal”.
Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan produk modul berupa cerita
rakyat Lampung untuk menanamkan nilai-nilai karakter dan kearifan lokal
pada siswa kelas X SMAN 1 Tumijajar Tulang Bawang Barat. Penelitian
ini berupa research and development (R&D) Borg dan Gall yaitu sebuah
proses yang digunakan untuk mengembangkan produk pendidikan yang
dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan ketentuan Direktorat
Pembinaan SMA penilaian ahli desain terhadap keseluruhan aspek modul
sejarah Indonesia berupa cerita rakyat Lampung sebagai wujud kearifan
lokal meliputi (1) petunjuk, (2) tujuan pembelajaran, (3) isi paket
pembelajaran, (4) rangkuman dan daftar pustaka, (5) kualitas fisik paket
modul adalah sebagai berikut: 55,93% termasuk kategori baik/ sesuai/
sistematis/ konsisten/ memadai/ menarik, sedangkan 44,07% berada dalam
kategori cukup baik/ sesuai /sistematis /konsisten/ memadai/ menarik. Hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
penelitian menunjukan penilaian ahli bahasa Indonesia terhadap draf modul
yakni: 37,74% sangat baik/ sesuai/ sistematis/ konsisten/ memadai/
menarik, dan 62,26 masuk dalam kategori sangat baik/ sesuai/ sistematis/
konsisten/ memadai/ menarik. Dari uji kualitas modul yang
dikembangkannya tersebut layak untuk digunakan karena berada pada
kategori minimal cukup baik/ sesuai/ sistematis/ konsisten/ memadai/
menarik. Sedangkan hasil penilaian dua orang guru terhadap draf modul
adalah sebagai berikut: 50,49% termasuk dalam kategori baik/ sesuai/
sistematis/ konsisten/ memadai/ menarik, dan 49,51% termasuk dalam
kategori cukup baik/ sesuai/ sistematis/ konsisten/ memadai/ menarik
sehingga layak untuk digunakan dalam pembelajaran. Dalam uji efektifitas
modul yang dibelajarkan antara kelas eksperimen yang menggunakan
modul sejarah hasil pengembangan dan kelas kontrol yang menggunakan
buku paket dalam pembelajarannya, perbandingan hasil postest keduanya
setelah uji t diketahui prestasi belajar kelas eksperimen rata-ratanya lebih
tinggi dibandingkan kelas kontrol yang dilihat dari ketuntasan belajar
klasikal. Pada kelas eksperimen ketuntasan belajar klasikal > 60%,
sedangkan pada kelas kontrol ketuntasan klasikal < 60%. Berdasarkan hasil
analisis uji t dan ketuntasan klasikal tersebut maka modul sejarah hasil
pengembangan dapat dikatakan efektif utuk digunakan dalam pembelajaran.
2. Nanik Purwaningsih (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Perjuangan
Komando Muria Tahun 1948 Sebagai Pengembangan Materi Pembelajaran
IPS Sejarah di SMP Wilayah Kabupaten Kudus”, berisi tentang sejarah
perjuangan Komando Muria menghadapi kekuatan bangsa Asing selama
Agresi Militer Belanda II di Kudus. Hasil penelitiannya adalah: a) Sejarah
perjuangan komando Muria di dalamnya terkandung aspek semangat
heroisme, patriotisme dan nasionalisme yang menjadi modal dasar untuk
mencapai kemerdekaan. Aspek tersebut dapat dijadikan teladan bagi siswa
sehingga mereka dapat mewarisi sikap kepahlawanan pendahulunya
melalui penanaman dan pengembangan nilai-nilai kejuangan komando
Muria pada pribadi siswa. b) Upaya memasukan materi sejarah lokal ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
dalam pembelajaran IPS disambut antusias para guru, kepala sekolah, dan
pejabat dinas pendidikan.
3. Súsanna Margrét Gestsdóttir (2013) dalam penelitiannya berjudul “The
Challenges of History Education in Iceland”. Ia menyinggung tentang
tantangan pembelajaran sejarah di Islandia khusunya pengembangan
kurikulum sejarah dengan penggunaan modul. Fokus permasalahan dalam
penelitiannya adalah diberlakukannya kurikulum 1999 yang membuat
subtansi materi sejarah (Sejarah Islandia sebelum dan sesudah tahun 1800)
di negara tersebut menjadi berkurang. Sejak itu guru diwajibkan membuat
modul agar materi dapat dibelajarkan secara maksimal. Dari hasil
penelitiannya diperoleh data ketimpangan penggunaan modul sejarah wajib
di SMA, khususnya di pedesaan. Di SMA kecil diketahui penggunaan
modul adalah sebanyak dua buah, sedangkan untuk sekolah yang lebih besar
di Greater Reykjavik penggunaan sudah mencapai delapan buah setiap
tahunnya. Meskipun modul bukan barang baru bagi siswa SMA di Islandia
namun penerimaan siswa akan pengetahuan sejarah yang berkaitan terhadap
subjek kehidupan sehari-hari di negara ini pada umumnya menunjukan
respon yang sangat baik. Temuan lain terkait dengan modul adalah
terlampau luasnya materi sejarah nasional Islandia yang dibelajarkan. “The
curriculum lays down what should be done in the core modules, but both
modules in history are so wide ranging that it is impossible to cover all
the material recommended. Oleh karena itu dengan adanya pengembangan
modul oleh sekolah, materi yang luas tersebut akhirnya dipangkas sesuai
dengan kebutuhan belajar siswa.
4. Mercedes A. Macarandang (2009) dalam penelitiannya berjudul
“Evaluation of A Proposed Set of Modules in Principles and Methods of
Teaching.” Ia mengembangkan seperangkat modul yang digunakan untuk
mengevaluasi pembelajaran di Fakultas Keguruan Universitas Batangas. Ia
mengembangkan lima buah judul modul dengan materi yang berbeda-beda.
Kesemuanya ditujukan untuk memudahkan siswa maupun guru dalam
belajar-mengajar. “This applies to all levels of learning, and to a wide
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
range of learning activities: in school, in the trade and industry and
even in the world of high technology.... As an instructional strategy,
modules are designed to bring about a satisfactory level kind of learning
among slow, average and fast learners.” Hasil dari penelitiannya yaitu: 1)
modul telah memenuhi prinsip dan metode pengajaran sesuai dengan
kurikulum pendidikan guru, 2) tujuan khusus pembelajaran sudah baik dan
sesuai, 3) isi modul sudah mencerminkan aspek yang diajarkan, 3) bahasa
yang digunakan sudah baik tetapi belum ada kegiatan pretes dan postes di
setiap modul, dan 6) ada kesenjangan antara penilaian guru dengan siswa
terkait karakteristik modul, yakni penilaian guru lebih tinggi daripada siswa.
5. Jankvist, Uffe Thomas (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “A
Historycal Teaching Module on ‘The Unreasonable Effectiveness of
Matematics’: Boolean Algrbra and Shannon Circuits.” Dalam penelitiannya
yang dimulai sejak tahun 2012 itu ia mengembangkan sekaligus menguji
tingkat keefektifan modul dalam memudahkan pembelajaran matematika.
Sumber materi modul disusun dari dua disipliner ilmu yakni sejarah dengan
matematika. Modul hasil pengembangan tersebut dikondisikan supaya
siswa mudah mempelajari rumus matematika dengan bantuan berupa
ilustrasi sejarah. Effektivitas penggunaan modul diuji di Denmark pada
sekolah tingkat menengah atas. Hasil yang didapat menunjukan respon
positif dari siswa selama memahami rumus matematika yang dinilai
semakin mudah. Hal itu karena di dalam modul tersebut terdapat
penggunaan dialog interaktif berupa ilustrasi dua orang filsuf matematika
yang dapat membimbing siswa secara mandiri mengoperasikan rumus dan
mengetahui kegunaannya dalam kehidupan nyata.
C. Kerangka Berpikir
Pengertian bahan ajar sejarah Indonesia adalah segala bentuk materi
pembelajaran yang bersumber dari perjalanan bangsa Indonesia dari masa ke masa
yang digunakan oleh guru dalam melaksanakan kegiatan mengajarnya di dalam
kelas. Tentunya pada pemakaiannya agar bahan ajar sejarah Indonesia tidak keluar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
dari batasan pembelajaran harus disusun dan dikembangkan berdasarkan KI dan
KD mata pelajaran tersebut.
Pada pembelajaran sejarah Indonesia kelas XI semester II, terdapat materi
tentang Menegakan Panji-panji NKRI. Materi tersebut berisikan sejarah perjuangan
bangsa Indonesia selama Revolusi Nasional. Karena Revolusi tersebut berlangsung
di seluruh daerah Indonesia maka sangat disayangkan bila suatu masyarakat daerah
yang memiliki pengalaman serupa sejarahnya tidak diajarkan kepada generasi
mudanya. Padahal sejatinya pembelajaran sejarah berbasis kelokalan dapat
dijadikan sebagai sarana memupuk kesadaran nasional pemuda yang mulai terkikis
akibat pengaruh globalisasi. Oleh karena itu supaya kecintaan pemuda Tengaran
terhadap bangsanya dapat tebal kembali seperti tahun-tahun awal kemerdekaan
Indonesia maka modul Perjuangan Masyarakat Tengaran Kabupaten Semarang
selama Revolusi Fisik disusun sebagai bahan ajar sejarah lokal yang juga sebagai
pelengkap dari materi pembelajaran sejarah nasional.
Isi materi dalam modul yang akan disusun meliputi 1) awal mula
berlangsungnya Revolusi Fisik tahun 1947 yang ditandai dengan jatuhnya Kota
Salatiga dan sebagian daerah Kecamatan Tengaran saat terjadi Agresi Militer I, 2)
Adanya upaya Masyarakat Tengaran untuk membendung serangan Belanda ke Kota
Solo yang dimotori oleh Kyai-kyai lokal, 3) Pembagian wilayah Jawa Tengah
menjadi dua kekuasaan pasca Perjanjian Klero sebagai kelanjutan dari Perjanjian
Renville yang berimbas pada terbentuknya dua pemerintahan sipil di Kecamatan
Tengaran yang secara langsung berpengaruh pada kehidupan sosial-ekonomi-
politik di masing-masing wilayah, 4) adanya peran pemuda Tengaran dalam
mendukung perjuangan sebagai barisan tempur maupun dapur umum, 5) awal mula
doorstoot yang dilancarkan dari Tengaran sebagai awal mula jatuhnya Solo dan
Ibukota RI ke tangan Belanda, 7) peran masyarakat menyediakan logistik dan
tempat tinggal bagi pejuang gerilya selama RI di kuasai Belanda, dan 8)
sumbangsih perjuangan pemuda Tengaran dibelakang pengakuan kedaulatan RI
oleh Belanda yang berakhir manis dengan ditandatanganinya penyerahan kota
Salatiga pada akhir 1949.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Sebelum menghasilkan produk, pada peneltian pengembangan ini ada
beberapa tahapan yang harus ditempuh, yaitu:
1) Kondisi Awal
Dalam kegiatan ini peneliti berusaha mengumpulkan data
sebanyak mungkin untuk menjadi pijakan peneliti dalam
mengembangkan bahan ajar di SMA N 1 Tengaran. Adapun yang
dilakukan peneliti adalah mengecek penggunaan bahan ajar dalam proses
pembelajaran di SMA N 1 Tengaran. Apakah di sana sudah
menggunakan dan memanfaatkan modul perjuangan masyarakat
Tengaran selama Revolusi Fisik atau belum.
2) Masalah dan Hasil
Dalam kegiatan ini peneliti mendata hasil dari pembelajaran yang
diterapkan di SMA N 1 Tengaran. Adapun berdasarkan wawancara
singkat dengan beberapa siswa materi pembelajaran sejarah lokal belum
diajarkan oleh guru. Sebagai akibatnya ketika siswa ditanya tentang
sejarah lokal di daerahnya sendiri, mereka sama sekali tidak tahu.
Contohnya sewaktu peneliti menanyakan tentang peranan Kyai Haji
Mawardi selama Revolusi Fisik, tidak ada satupun siswa yang
mengetahui sepak terjang perjuangannya. Mereka hanya tahu jika nama
Kyai Haji Mawardi adalah sebuah nama jalan yang membentang dari
Bener sampai Sruwen.
3) Kajian Teori
Dalam tahapan ini peneliti melakukan kajian literatur guna
mencari solusi atas masalah yang didapat di lapangan sebelum survei
resmi. Dalam studi kepustakaan ini peneliti mencari sumber di
perpustakaan Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dan
Perpustakaan Umum Universitas Kristen Satya Wacana. Peneliti juga
berdiskusi dengan guru dan dosen yang mengerti tentang bahan ajar
sejarah di SMA guna menemukan solusi yang dibutuhkan dalam
penelitian ini.
4) Solusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Setelah mendalami persoalan yang muncul dipermulaan, peneliti
akhirnya menetapkan suatu solusi yang patut untuk diujicobakan, yakni
pengembangan bahan ajar berupa modul sejarah lokal berbasis
perjuangan Masyarakat Tengaran selama Revolusi Fisik. Dengan
diajarkannya materi ini diharapkan siswa sadar akan sejarahnya tentunya
juga mempertebal nasionalisme pada dirinya.
5) Prototype Modul
Dalam tahapan ini peneliti membuat suatu prototype atau draf
model modul dengan materi sejarah perjuangan Masyarakat Tengaran
selama Revolusi Fisik yang akan diajarkan di kelas.
6) Instrumen
Disamping membuat prototype modul, peneliti juga membuat
instrumen angket yang berfungsi sebagai alat mengukur sejauh mana
perkembangan nasionalisme ditunjukan oleh siswa. Angket yang
dgunakan adalah angket tertutup yang telah disusun dengan
menyediakan jawaban yang lengkap sehingga responden tinggal memilih
salah satu jawaban yang disediakan.
7) Valditas & Evaluasi
Untuk mengetahui kesahihan angket nasionalisme maka terlebih
dahulu divalidasi dan dievaluasi. Apabila angket belum valid peneliti
melakukan pengkajian literatur ulang untuk melakukan revisi terhadap
alat ukur tersebut sampai instrumen tersebut dapat dinyatakan valid.
8) Uji Efektifitas
Pada tahapan ini kegiatan ditujukan untuk melihat perkembangan
siswa setelah menjalani suatu pengkondisian dalam pembelajaran.
Sehingga hasilnya dapat dilihat apakah siswa mengalami peningkatan
nasionalisme atau tidak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Gambar 2.2: Kerangka Berpikir
Masalah dan
Hasil
1. Guru belum maksimal mengajarkan sejarah lokal Tengaran.
2. Siswa tidak mengetahui sejarah daerahnya sendiri terutama terkait perjuangan masyarakat Tengaran selama Revolusi Fisik
Kondisi
Awal
Proses
Pembelajaran belum
menggunakan modull
sejarah lokal berbasis
perjuangan Masyarakat
Tengaran selama
Revolusi Fisik
Kajian Teori
Melakukan
kajian teori melalui studi
kepustakaan dan diskusi
dengan pengajar untuk
mencari solusi dari
permasalah penelitian
Instrumen
Angket
Nasionalisme
Draf Model
Solusi
Pengunaan
bahan ajar sejarah lokal
berbasis perjuangan
Masyarakat Tengaran
selama Revolusi Fisik
Validasi dan
Evaluasi
Valid dan
Layak
Model Hipotetik
Modul Perjuangan Masyarakat Tengaran Kebupaten Semarang
selama Revolusi Fisik
Uji Efektifitas
Kondisi Yang Diharapkan
Meningkatnya Prestasi dan
Nasionalisme Siswa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
D. Model Hipotetik Modul
Model hipotetik modul dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.3 :Model Hipotetik Modul
Komponen Bahan Ajar Cetak: Judul Petunjuk belajar Informasi pendukung Latihan Tugas/ langkah kerja Penilaian
Pengembangan Modul Sejarah Lokal Berbasis Perjuangan Masyarakat
Tengaran selama Revolusi Fisik
1) Petunjuk penggunaan, 2) Peta konsep, 3) Glosarium, 4) Tujuan
pembelajaran 5) Materi, 6) Refleksi, 7) Rangkuman, 8) Latihan, 9) Evaluasi, dan 10)
Kunci jawaban.
Efektifitas Bahan Ajar Sejarah Lokal Berbasis Perjuangan Masyarakat
Tengaran Kabupaten Semarang selama Revolusi Fisik
Produksi Modul Bahan Ajar Sejarah Perjuangan Masyarakat Tengaran
Kabupaten Semarang selama Revolusi Fisik 1947-1949
Berdasarkan Kurikulum 2013 (KI dan KD)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user