bab ii kajian teori dan kerangka berpikir a. 1

37
9 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Pembelajaran Sejarah Indonesia a. Pembelajaran Pembelajaran selalu berkaitan erat dengan bagaimana individu belajar sehingga untuk membahas lebih lanjut tentang pembelajaran maka terlebih dahulu perlu mengetahui pengertian belajar. Gagne (1985) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses perubahan perilaku suatu organisme yang diakibatkan oleh pengalaman (Sujarwo, 2014: 1). Kemudian W.H. Burton (1984) mendefinisikan bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku individu yang disebabkan oleh adanya interaksi dengan lingkungan sehingga dampaknya individu tersebut mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pandangan lain dikemukakan oleh Singer (1968) yang mengartikan belajar sebagai perubahan perilaku individu yang relatif tetap akibat dari pengalaman-pengalaman pada situasi tertentu (Siregar dan Nara, 2014: 4). Jadi, pengertian belajar adalah proses berubahnya perilaku seseorang secara permanen yang disebabkan oleh pengalaman akibat dari adanya interaksi dengan lingkungan. Eksistensi manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial meniscayakan dirinya untuk berusaha mengembangkan potensi, karakter, dan kebutuhan belajar. Sehingga tiap usaha belajar pastilah memiliki tujuan. Tujuan tersebut bermacam-macam tetapi dapat digolongkan secara umum menurut jenis- jenisnya. Menurut Sardiman (2012: 26-28) tujuan belajar ada tiga jenis, yaitu sebagai berikut: 1. Untuk memperoleh pengetahuan Kepemilikan pengetahuan dan kemampuan berpikir tidak dapat dipisahakan. Karena pada dasarnya pengembangan kemampuan berpikir harus didukung oleh bahan pengetahuan. Sebaliknya kemampuan berpikir perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

Upload: others

Post on 08-Feb-2022

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teori

1. Pembelajaran Sejarah Indonesia

a. Pembelajaran

Pembelajaran selalu berkaitan erat dengan bagaimana individu belajar

sehingga untuk membahas lebih lanjut tentang pembelajaran maka terlebih dahulu

perlu mengetahui pengertian belajar. Gagne (1985) mendefinisikan belajar sebagai

suatu proses perubahan perilaku suatu organisme yang diakibatkan oleh

pengalaman (Sujarwo, 2014: 1). Kemudian W.H. Burton (1984) mendefinisikan

bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku individu yang disebabkan oleh

adanya interaksi dengan lingkungan sehingga dampaknya individu tersebut mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pandangan lain dikemukakan oleh

Singer (1968) yang mengartikan belajar sebagai perubahan perilaku individu yang

relatif tetap akibat dari pengalaman-pengalaman pada situasi tertentu (Siregar dan

Nara, 2014: 4). Jadi, pengertian belajar adalah proses berubahnya perilaku

seseorang secara permanen yang disebabkan oleh pengalaman akibat dari adanya

interaksi dengan lingkungan.

Eksistensi manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial

meniscayakan dirinya untuk berusaha mengembangkan potensi, karakter, dan

kebutuhan belajar. Sehingga tiap usaha belajar pastilah memiliki tujuan. Tujuan

tersebut bermacam-macam tetapi dapat digolongkan secara umum menurut jenis-

jenisnya. Menurut Sardiman (2012: 26-28) tujuan belajar ada tiga jenis, yaitu

sebagai berikut:

1. Untuk memperoleh pengetahuan

Kepemilikan pengetahuan dan kemampuan berpikir tidak dapat

dipisahakan. Karena pada dasarnya pengembangan kemampuan berpikir

harus didukung oleh bahan pengetahuan. Sebaliknya kemampuan berpikir

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

akan memperkaya kasanah pengetahuan. Tujuan inilah yang menjadi

kecenderungan besar dikembangkan di dalam kegiatan belajar.

2. Pemahaman konsep dan keterampilan

Penanaman konsep atau merumuskan konsep memerlukan suatu

keterampilan. Keterampilan itu berupa keterampilan jasmani dan rohani.

Keterampilan jasmani dapat diamati melalui keterampilan gerak tubuh

seorang yang sedang belajar termasuk masalah-masalah teknik. Sedangkan

keterampilan rohani menyangkut persoalan-persoalan yang abstrak

menyangkut penghayatan dan keterampilan berpikir.

3. Pembentukan sikap

Pembentukan sikap mental dan perilaku tidak telepas dari

penanaman nilai-nilai (transfer of values). Dengan dilandasi nilai-nilai,

individu akan tumbuh kesadaran dan kemampuan untuk mempraktikkan

segala sesuatu yang dipelajarinya.

Belajar merupakan suatu proses perubahahan tingkah laku pada diri

manusia. Hasil belajar bukan hanya bertumpu pada stuktur kognitif saja melainkan

afektif dan psikomotorik. Untuk lebih jelasnya Gagne mengelompokkan ciri-ciri

belajar menjadi lima kategori, yaitu sebagai berikut:

a. Keterampilan intelektual: kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan

lingkungannya dengan menggunakan simbol, huruf, angka, kata atau

gambar.

b. Informasi verbal: seseorang belajar menyatakan atau menceritakan suatu

fakta atau peristiwa secara lisan atau tertulis, termasuk dengan cara

menggambar.

c. Strategi kognitif: kemampuan seseorang untuk mengatur proses belajarya

sendiri, mengingat dan berpikir.

d. Keterampilan motorik: seseorang belajar melakukan gerakan secara teratur

dalam urutan tertentu (organized motor act). Ciri khasnya adalah

otomatisme, yaitu gerakan berlangsung secara tertatur dan bejalan dengan

lancar dan luwes.

e. Sikap: keadaan mental yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan

pilihan-pilihan dalam bertindak (Siregar dan Nara, 2014: 5-6).

Hasil belajar merupakan indikator yang menunjukan bahwa seseorang

benar-benar belajar. Namun pada prinsipnya seseorang yang dikatakan belajar

harus menunjukan ciri perilaku tertentu sebagai berikut:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

a. Adanya kemampuan baru atau perubahan. Perubahann tingkah laku tersebut

bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), maupun nilai

dan sikap (afektif).

b. Perubahan tidak berlangsung sesaat, melainkan menetap atau dapat

disimpan.

c. Perubahan tidak terjadi begitu saja, melainkan harus dengan usaha.

Perubahan terjadi akibat interaksi dengan lingkungannya.

d. Perubahan tidak semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan fisik atau

kedewasaan, tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh obat-obatan

(Siregar dan Nara, 2014: 5).

Hampir sama dengan pengertian belajar, istilah “pembelajaran” sudah

dikenal oleh banyak pihak. Menurut Schunk (2012: 5), pembelajaran merupakan

perubahan yang bertahan lama dalam perilaku yang dihasilkan dari pengalaman.

Kemudian Suyono dan Hariyanto (2011:183) mengartikan pembelajaran sebagai

serangkaian kegiatan guru dalam menyampaikan materi dan nilai-nilainya kepada

siswa sebagai proses pendewasaan. Sedangkan Trianto (2011, 17) mendefinisikan

bahwa pembelajaran merupakan usaha sadar dan terencana yang dilakukan oleh

guru terhadap siswa melalui komunikasi antar keduanya untuk mecapai target

pembelajaran yang telah ditentukan. Lanjut Rahyubi (2013: 6-7) mengartikan

bahwa pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa melalui

lingkungan belajar yang digunakan sebagai sumber belajar agar siswa dapat

menguasai ilmu dan pengetahuan. Kemudian diperjelas oleh Sanjaya (2006:26)

yang mengartikan pembelajaran sebagai proses kerja sama antara guru dan siswa

dengan memanfaatkan segala potensi dan sumber belajar yang ada baik yang

berasal dari dalam diri siswa seperti bakat dan minat maupun dari luar diri siswa

seperti sarana dan lingkungan sebagai upaya mencapai tujuan belajar yang telah

direncanakan. Jadi pembelajaran adalah suatu proses interaksi antara guru dan

siswa berupa penyampaian ilmu dan pengetahuan yang dilakukan secara sadar dan

terencana untuk merubah perilaku siswa secara permanen sesuai tujuan belajar

dengan memanfaatkan berbagai potensi dan sumber belajar yang ada di dalam

maupun di luar diri siswa.

Pembelajaran (instruction) merupakan akumulasi dari konsep mengajar

(teaching) dan konsep belajar (learning) (Daryanto dan Muljo Rahadjo, 2012: 19).

Menurut Bloom (dalam Sujarwo, 2014: 6) tujuan instructional meliputi tiga aspek,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

yaitu 1) aspek kognitif (menitik beratkan kemampuan berpikir), 2) aspek

psikomotor (kemampuan gerak fisik) dan 3) aspek afektif (sikap).

Pada umumnya pembelajaran di kelas, dalam kaitannya dengan transfer

pengetahuan dan keterampilan, kedudukan guru adalah sebagai pengajar dan siswa

sebagai subjek belajar. Menurut Oemar Hamalik (2011: 54-55) mengajar

merupakan: 1) kegiatan menyampaikan pengetahuan dari guru ke siswa, 2) suatu

proses saling mempengaruhi antara guru dan siswa, 3) suatu sistem yang kompleks

meliputi: profesi guru, perkembangan siswa, tujuan pendidikan, program

pendidikan, perencanaan pengajaran, bimbingan di sekolah dan hubungan sosial,

dan 4) proses pendidikan. Sedangkan prinsip pengajaran yang umum dalam

pembelajaran menurut Shuell (1990 dalam Schunk 2012: 28) adalah: 1) siswa

berproses melalui tahapan/fase-fase, 2) materi harus disajikan dalam langkah-

langkah kecil, 3) siswa perlu berlatih, mendapat umpan balik, dan memperoleh

tinjauan, 4) model-model sosial memfasilitasi pembelajaran, 5) faktor motivasional

dan kontekstual mempengaruhi pembelajaran. Jadi pembelajaran merupakan suatu

pengkondisian siswa dimana transfer pengetahuan dari guru ke siswa dilakukan

secara bertahap dengan memanfaatkan bahan ajar, dan lingkungan belajar untuk

mempengaruhi perubahan perilaku siswa dalam jangka waktu panjang.

b. Sejarah Nasional

Pada umumnya orang memaknai istilah sejarah untuk menunjuk cerita masa

lampau. Pendapat itu kurang tepat sebab sejarah bukan hanya sekedar cerita masa

lampau semata melainkan cerita yang kebenarnnya diungkap berdasarkan

penyelidikan kritis dari dokumen-dokumen dan kenyataan yang terjadi di masa

lampau (C.P. Hill, 1956:12). Karena mengungkap tentang kebenaran maka sejarah

membahas hal-hal yang dinamis atau genetis (yang menjadi) maupun yang statis

(yang ada atau yang terjadi). Oleh sebab itu sejarah selalu menerangkan mengapa

dan bagaimana peristiwa dapat terjadi dan dapat mengungkap apa, bilamana,

dimana, dan siapa yang ikut di dalamnya (Gottschalk, 2008:35).

Sejarah merupakan “ratu” atau “ibu” dari ilmu-ilmu sosial. Hal itu karena

ilmu sejarah lebih dulu lahir daripada ilmu-ilmu sosial dan humaniora lainnya.

Secara istilah sejarah atau history (Inggris) merupakan padaan kata yang diserap

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

dari daerah Yunani. History berasal dari kata benda istoria, yang berarti ilmu.

Menurut definisi yang paling umum saat ini, kata history berarti masa lampau

manusia (Gottschalk, 2008:33). Menurut March Bloch sejarah merupakan ilmu

tentang manusia yang hidup di lingkungan waktu (Kochhar, 2008: 2). Sedangkan

Sidi Gazalba (1981:13) mendefinisikan sejarah sebagai gambaran masa lalu

manusia sebagai mahluk sosial yang disusun secara ilmiah meliputi urutan fakta

masa lalu dengan menafsirkan dan memberi pengertian tetang masa lalu.

Mulanya ilmu sejarah bergerak di bidangnya sendiri, yaitu humaniora

kemudian seiring berkembangnya ilmu sosial, sejarah ikut berkembang. Pengaruh

ilmu-ilmu sosial terhadap sejarah sangat besar artinya. Tanpa ilmu sosial sejarah

hanyar bergerak scara konvensional sehingga karya sejarah baru tidak memiliki

wawasan permasalahan luas. Artinya sejarah tidak mampu memberi penjelasan

secara menyeluruh. Terkait dengan berkembangnya ilmu sejarah maka lahirlah

aliran-aliran sejarah baru. Maka perlu dilakukan kategori jenis sejarah agar muda

diidentifikasi dimana Pranoto membaginya menjadi 22 jenis, dua diantaranya

adalah sejarah nasional dan sejarah daerah (Pranoto, 2010: 67).

Terkait dengan ulasan yang sedang dibahas yakni definisi sejarah nasional,

menurut Sartono Kartodirdjo (2014: 63) sejarah nasional adalah sejarah yang

menceritakan kehidupan suatu negara nasional. Kemudian Pranoto (2010: 90)

mengartikan bahwa sejarah nasional adalah cerita tentang proses integrasi politik

yang membentuk sebuah negara nasional. Sedangkan R. Moh. Ali (2005: 207)

mendefinisikan sejarah nasional sebagai sejarah yang muncul dari sifat subjektif di

bawah alam sadar manusia yang disebabkan oleh gerak-jiwa-nasional. Maka dari

definisi ketiga tokoh di atas dapat dimbil kesimpulan bahwa sejarah nasional

merupakan sejarah yang mengisahkan tentang kehidupan suatu negara nasional

yang tercipta akibat kesadaran nasional.

Sejarah nasional Indonesia tercipta bersamaan dengan masa Revolusi, di

mana munculnya tradisi historiografi nasionalistik difungsikan untuk menyadarkan

bangsa Indonesia yang terjajah selama berabad-abad sebagai pengetahuan bagi

bangsa Indonesia tentang pencapaian dari usaha memperjuangkan kemerdekaannya

dari waktu ke waktu (Nordholt, dkk., 2013: 264). Dalam penulisannya, sejarah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Indonesiasentris berusaha menantang fakta-fakta terkait isi dari sejarah

Nerlandosentris. Tujuannya tidak lain untuk menegaskan kembali kepribadian

bangsa Indonesia yang minim atau sengaja dikaburkan dalam penulisan sejarah

Nerlandosentris (Frederick dan Soeroto, 1982: 175).

Cakupan sejarah nasional sangat kompleks meliputi ruang lingkup sejarah

nasional yang sangat luas, jangka waktunya yang sangat lama dan aspek-aspek yang

di bahas sangat banyak. Dari banyaknya dereten peristiwa masa lampau perlu

pembagian waktu berdasarkan pokok cerita sejarah tujuannya adalah untuk 1)

memudahkan pengertian akan gambaran peristiwa-peristiwa masa lampau, 2)

penyederhanaan peristiwa-peristiwa sejarah yang saling tumpang tindih karena

banyaknya peristiwa yang terjadi di waktu bersamaan, 3) memenuhi sistematika

ilmu pengetahuan dengan mengaitkan peristiwa secara sistematis dan 4)

mengklasifikasikan atas keseragaman waktu peristiwa (Hugiono dan Poerwantana,

1992: 54-55).

Moh. Yamin dalam “6000 Tahun Sang Saka Merah Putih” (1957)

mengelompokan pembabakan waktu sejarah Indonesia berdasarkan periode masa

sebagai berikut:

1) Zaman Pra-sejarah sampai permulaan Tarikh Masehi.

2) Zaman proto historis atau Media-kala atau mula sejarah Indonesia, dari

permulaan Tarikh Masehi sampai abad ke VII.

3) Zaman Sriwijaya- Syailendra dari abad ke VII sampai abad ke XII.

4) Zaman Singosari – Majapahit dari abad ke XIII samapai abad ke XVI.

5) Zamana Penyusunan Kemerdekaan Indonesia sejak abad ke XVI sampai

XIX.

6) Abad Proklamasi kemerdekaan sejak permulaan abad ke XX sampai ke

pertengahan abad itu (Hugiono dan Poerwantana, 1992: 63).

Namun karena penulisan sejarah selalu berkembang dengan semakin

pesatnya rekonstruksi sejarah daerah menjadi sejarah nasional maka untuk

mencirikan pembabakan waktu sejarah nasional berpedoman sebagai berikut

(Hugiono dan Poerwantana, 1992: 66):

1) Menonjolkan kesatuan bangsa.

2) Melukiskan kebesaran dan kejayaan negara.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

3) Bersumber dan berpangkal pada kesaktian, kesatuan dan kebesaran

bangsa.

Penulisan SNI awalnya dimulai dari penulisan sejarah lokal sebagai

landasannya (Priyadi, 2014: 38). Sejarah lokal menurut Taufik Abdullah (1982:15)

adalah peristiwa masalalu dari sebuah kelompok atau kelompok-kelompok

masyarakat yang berada pada geografis terbatas. Sejarah lokal sangat bergantung

pada suatu locality dimana batasannya ditentukan oleh penulis yang dapat berupa

suatu tempat tinggal suku bangsa mencakup dua-tiga daerah administratif

kabupaten, kecamatan maupun desa.

Sebagai bagian dari SNI, sejarah lokal syarat dengan identitas kelokalan

yang menjadi akar identitas nasional. Begitu pula dengan solidaritas lokal yang

terbangun akan menjadi akar solidaritas nasional. Hal disebabkan oleh adanya

transaksi budaya lokal dimana dinamika antarbudaya akan melahirkan suatu proses

perkembangan dari identitas, solidaritas, dan kebanggaan lokal menuju identitas,

solidaritas dan kebanggan nasional (Priyadi, 2014: 40-41).

SNI sebagai macro-unit merupakan bagian dari pengetahuan sejarah yang

menyoroti problem secara komplek, dengan tema ataupun topik yang ditempatkan

dalam time setting. Hubungan sejarah lokal dan sejarah nasional menurut

Kartodirdjo (2014:84) didasarkan atas kecenderungan kesamaan pola, dan struktur

yang dimiliki keduanya sebagai bagian dari unit mikro dengan unit makro sejarah

ataupun sebaliknya. Dengan adanya hubungan seperti itu maka ada

kencenderungan pola dan struktur yang sama antara sejarah nasional dan sejarah

lokal. (Priyadi, 2014: 1). Meskipun terdapat hubungan namun objek sejarah lokal

dengan SNI baik temporal maupun spatial berbeda. Itu karena tiap daerah memiliki

peridoe sejarah yang berbeda-beda. Begitu pula dengan luasnya ruang SNI yang

mencakup Nusantara tentu sangat mencolok karena spatial sejarah lokal hanya

berkutat pada ruang tertentu saja (Priyadi, 2014: 15). Secara prinsipil, semua

peristiwa yang ada dalam SNI adalah peristiwa lokal sehingga dengan

pengintegrasian sejarah lokal dengan SNI hasilnya mampu mengisi kekosongan

dalam SNI.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

c. Kedudukan Mata Pelajaran Sejarah Indonesia di SMA

Dalam UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa

pendidikan nasional berfugsi untuk membentuk watak serta peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya

pelaksanaan pendidikan nasional ditujukan untuk membentuk karakter bangsa

dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam diri setiap insan manusia Indonesia.

Untuk merealisasikan tujuan tersebut maka dibuatlah kurikulum pendidikan

nasional.

Menurut Hilda Taba dalam bukunya Curriculum Development, Theory and

Practice, kurikulum adalah “a plan for learning” yang berarti sesuatu yang di

rencanakan untuk pelajaran (Nasution, 2006:2). Seiring perkembangan jaman,

maka definisi kurikulumpun semakin meluas. Beberapa definisi kurikulum

tersebut antara lain (Nasution, 2006:7-9):

1. J. Galen Saylor dan William M. Alexander (1956) yang mengartikan

sebagai segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, baik di

dalam ruangan kelas, halaman sekolah maupun di luar sekolah termasuk

kegiatan ekstra-kulikuler.

2. Harold B B. Albertycs (1965) memandang bahwa kurikulum tidak

terbatas pada mata pelajaran, tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain

di dalam dan di luar kelas yang menjadi tanggung jawab sekolah.

3. B. Othanel Smith, W.O. Stanley, dan J. Harlan Shores menyatakan

bahwa kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial

dapat diberikan kepada anak supaya mereka dapat berpikir dan berbuat

sesuai dengan masyarakatnya.

4. Wiliam B. Ragan (1966) yang mendefinisikan kurikulum sebagai

seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala

pengalaman anak di bawah tanggung-jawab sekolah. Kurikulum tidak

hanya meliputi bahan pelajaran tetapi seluruh kehidupan dalam kelas,

yakni hubungan sosial antara guru dan murid, metode mengajar, dan

cara mengevaluasi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

5. J. Lloyd dan Delmas F. Miller (1973) mendefinisikan kurikulum sebagai

metode mengajar dan belajar, mengevaluasi murid dan seluruh program,

perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan

administrasi dan hal-hal struktural mengenai waktu, jumlah, ruangan

serta kemungkinan memilih mata pelajaran.

6. Edward A. Krug (1960) mendefiniskan kurikulum sebagai cara atau

usaha untuk mecapai tujan persekolahan yang membedakan tugas

sekolah dengan tanggung jawab yang diemban lembaga pendidikan

lainnya seperti rumah tangga, lembaga agama, masyarakat dan lain-lain.

Pemberlakuan Kurikulum 2013 di Sekolah Menengah Atas menurut

penjelasan dalam lampiran Permendikbud No. 69 Tahun 2003 tentang kerangka

dasar dan struktur kurikulum sekolah menengah atas dan madrasah aliyah ditujukan

untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai

pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta

mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan

peradaban dunia. Lebih ringkasnya sasaran program Kurikulum 2013 adalah

mengembangkan kecerdasan siswa pada ranah kognitif, keterampilan, spiritual dan

sosial (Kemendikbud, 2014:1).

Dalam kurikulum 2013 mata pelajaran Sejarah Indonesia merupakan mata

pelajaran wajib bagi jenjang pendidikan menengah SMA, MA dan SMK dengan

porsi pembelajaran selama dua jam mata pelajaran perminggu. Alasan

dibelajarkannya karena mata pelajaran ini memiliki arti strategis dalam

pembangunan moral bangsa yaitu untuk membentuk watak dan peradaban bangsa

Indonesia yang mencintai bangsa dan tanah airnya sendiri. Dalam pengajarannya,

mata pelajaran ini dikembangkan atas dasar:

1. Semua wilayah/ daerah memiliki kontribusi terhadap pelajaran Sejarah

Indonesia hampir pada seluruh periode sejarah.

2. Pemahaman tentang masa lampau sebagai sumber inspirasi, motivasi, dan

kekuatan untuk membangun semangat kebangsaan dan persatuan.

3. Setiap periode sejarah Indonesia memiliki peristiwa dan atau tokoh di tingkat

nasional dan daerah keduanya memiliki kedudukan yang sama penting dalam

perjalanan Sejarah Indonesia.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

4. Tugas dan tanggung jawab untuk memperkenalkan peristiwa sejarah yang

penting dan terjadi di seluruh wilayah NKRI serta seluruh periode sejarah

kepada generasi muda bangsa.

5. Pengembangan cara berpikir sejarah (historical thingking), konsep waktu,

ruang, perubahan, dan keberlanjutan menjadi keterampilan dasar dalam

mempelajari Sejarah Indonesia (Kemendikbud, 2014: 2-3).

Tujuan diajarkannya agar:

1. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari

bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air, melahirkan

empati dan perilaku toleran yang dapat diimplementasikan dalam berbagai

bidang kehidupan masyarakat dan bangsa.

2. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap diri sendiri, masyarakat,

dan proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan

masih berposes hingga masa kini dan masa yang akan datang.

3. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya konsep waktu dan

tempat/ruang dalam rangka memahami perubahan dan keberlanjutan dalam

kehidpuan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia.

4. Mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thingking) yang

menjadi dasar untuk kemampuan berpikir logis, kreatif, inspiratif, dan

inovatif.

5. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap

peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa

lampau.

6. Mengembangkan perilaku yang didasarkan pada nilai dan moral yang

mencerminkan karaker di masyarakat dan bangsa.

7. Menanamkan sikap berorientasi pada masa kini dan masa depan

(Kemendikbud, 2014: 4).

2. Bahan Ajar Modul

a. Bahan Ajar

Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi yang diwujudkan

melalui penyampaian informasi dari guru ke siswa. Informasi tersebut dapat berupa

pengetahuan, keahlian, skill, ide, pengalaman, dan sebagainya. Guru biasanya

mengemas informasi tersebut ke dalam sebuah kesatuan yang dinamakan bahan ajar

(teaching material) (Daryanto & Aris Dwi Cahyo, 2014: 190).

Bahan ajar menurut Departemen Pendidikan Nasional (2008: 6-7) adalah

segala bentuk bahan yang digunakan oleh guru untuk membantu melaksanakan

kegiatan belajar dan mengajarnya baik itu bebentuk tulisan maupun bukan tulisan.

Kemudian Dick dan Carey (1985:170) mengartikan bahan ajar sebagai seperangkat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

materi pelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis berdasarkan

urutan kompetensi yang akan dipelajari oleh siswa selama kegiatan belajar.

Sedangkan Sudjana (2009: 67) mengartikannya sebagai materi yang akan diberikan

kepada siswa selama proses pembelajaran.

Penggunaan bahan ajar dalam proses pembelajaran pastinya memberi

manfaat baik oleh siswa maupun guru. Adapun manfaat penggunaan bahan ajar

menurut Hamdani (2011: 122) adalah sebagai berikut:

1) Membantu siswa dalam mempelajari sesuatu. Segala informasi yang

didapat dari sumber belajar, kemudian disusun dalam bentuk bahan ajar

akan menjadi suatu wahana untuk membuka pengetahuan baru bagi siswa.

2) Memudahkan guru melaksanakan pembelajaran. Guru sebagai fasilitator

pembelajaran akan dimudahkan dengan penggunaan bahan ajar.

3) Pembelajaran akan lebih menarik. Dengan beragam jenis bahan ajar yang

disediakan maka diharapkan iklim kelas tidak monoton yang hanya terpaku

oleh satu sumber.

Sedangkan tujuan disusunnya bahan ajar menurut Depdiknas (2008: 10)

adalah 1) menyediakan bahan ajar sesuai tuntutan kurikulum yaitu berdasarkan

kebutuhan siswa, sekolah dan daerah, 2) membantu siswa memperoleh alternatif

sumber belajar, dan 3) memudahkan guru melaksanakan pembelajaran.

b. Modul

Bahan ajar saat ini bermacam-macam bentuknya, baik yang dikemas dalam

bentuk cetak maupun non cetak (Purwanto, 2007:9). Bahan ajar terdiri dari

seperangkat materi/subtansi pelajaran yang disusun secara sistematis dan

menampilkan kompetensi yang diharus dikuasai oleh siswa. Dalam kaitanya

dengan penelitian ini bahan yang akan disajikan dalam pembelajaran sejarah lokal

adalah bahan ajar dalam bentuk cetak, yaitu modul.

Pembelajaran dengan menggunakan modul merupakan pendekatan

pembelajaran mandiri yang berfokus pada penguasaan kompetensi. Sebenarnya

istilah modul sendiri dipinjam dari dunia teknologi yaitu alat ukur yang lengkap dan

terdiri dari kesatuan program yang dapat digunakan untuk mengukur tujuan.

Batasan definisi modul menurut para ahli adalah sebagai berikut:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

1) Suryobroto (1986: 153), modul merupakan satuan unit program

pembelajaran terkecil.

2) Cece Wijaya (1992 dalam Daryanto & Aris Dwi Cahyo, 2014: 177)

merupakan paket program yang disusun dalam bentuk satuan tertentu untuk

keperluan belajar.

3) Daryanto (2013: 31) adalah materi pelajaran yang disusun dan disajikan

secara tertulis sedemikian rupa sehingga pembacanya mampu menyerap

materi secara mandiri.

4) Andi Prastowo (2012:106), modul adalah sebuah bahan ajar yang disusun

secara sistematis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa agar

dapat dipelajari secara mandiri.

5) Nana Sudjana & Achmad Rivai (2007, 133 dalam Saliman, 2013:16), modul

adalah unit pengajaran terkecil dan lengkap, terdapat rangkaian belajar yang

disusun secara sistematis, dan terdapat tujuan belajar yang dirumuskan

secara jelas dan spesifik.

Meskipun ada bermacam-macam definisi modul, namun ada kesamaan

pendapat bahwa modul merupakan suatu paket kurikulum yang disediakan untuk

belajar secara mandiri. Suryobroto (1986: 153) menyebutkan batasan modul secara

terperinci menggariskan:

a. Tujuan instruksional yang akan dicapai.

b. Topik yang akan dijadikan pangkal proses belajar mengajar.

c. Pokok-pokok materi yang akan dipelajari.

d. Kedudukan dan fungsi modul dalam kesatuan program yang lebih luas.

e. Peranan guru dalam proses belajar mengajar.

f. Alat-alat dan sumber belajar yang akan dipergunakan.

g. Lembaran kerja yang harus diisi oleh anak.

h. Program evaluasi yang akan dilaksanakan.

Sehubungan dengan penggunaan modul dalam proses pembelajaran, maka

Sedangakan gungsi penggunaan modul dalam pembelajaran adalah:

a. Tujuan pendidikan dapat dicapai secara efisien dan efektif.

b. Murid dapat mengikuti program pendidikan sesuai dengan kecepatan dan

kemampuannya sendiri.

c. Murid dapat sebanyak mungkin menghayati dan melakukan kegiatan

belajar sendiri, baik di bawah bimbingan atau tanpa bimbingan guru.

d. Murid dapat menilai dan mengetahui hasil belajarnya sendiri secara

berkelanjutan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

e. Murid benar-benar menjadi titik pusat kegiatan belajar mengajar.

f. Kemajuan siswa dapat diikuti dengan frekuensi yang lebih tinggi melalui

evaluasi yang dilakukan pada setiap modul berakhir.

g. Modul disusun dengan berdasarkan kepada konsep “Mastery Learning”

yang menekankan bahwa murid harus secara optimal menguasai bahan

pelajaran yang disajikan dalam modul itu. Prinsip ini mengandung

konsekuensi bahwa seorang murid tidak diperbolehkan mengikuti

program berikutnya sebelum ia menguasai paling sedikit 75% dari bahan

tersebut (Suryobroto, 1986: 153).

Modul merupakan sarana bantuan belajar siswa, menurut Daryanto dan Aris

Dwi Cahyo tujuan pemakaian modul untuk:

a. Memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu

bersifat verbal.

b. Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik peserta

belajar maupun guru/instruktur.

c. Dapat digunakan secara tepat dan bervariasi, seperti untuk meningkatkan

motivasi dan gairah belajar, mengembangkan kemampuan dalam

berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya

yang memungkinkan siswa atau pembelajar belajar mandiri sesuai

kemampuan dan minatnya.

d. Memungkinkan siswa atau pembelajar dapat mengukur atau

mengevaluasi diri sendiri (Daryanto dan Aris Dwi Cahyo, 2014: 189-

190).

Implementasi modul dalam pembelajaran di kelas harus disesuaikan dengan

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) (Daryanto, 2013: 16). Meskipun tujuan

dibuat modul adalah untuk membelajarkan siswa secara mandiri, namun siswa

harus tetap diawasi dan kalau perlu mendapat bantuan bimbingan atau tutorial dari

guru. Bantuan belajar bukan berarti siswa harus bergantung pada gurunya. Tetapi

untuk mencari kejelasan pada pembahasan yang belum dipahami siswa.

Pembelajaran dengan penggunaan modul telah menggeser peran guru dari pemberi

informasi menjadi fasilitator belajar. Sebagai fasiliator tugas guru adalah

menyediakan sumber belajar, merangsang semangat belajar, memberi peluang

siswa untuk menguji/mempraktikan sumber belajar, memberi umpan balik

perkembangan belajar siswa, dan membantu mengaitkan manfaat materi yang

dipelajari siswa untuk kehidupannya (Daryanto & Aris Dwi Cahyo, 2014: 191)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

c. Unsur-unsur dalam Modul

Dalam KBBI (1994: 1107) dikatakan bahwa arti dari unsur adalah bagian

terkecil dari sebuah benda. Dalam kaitannya dengan modul, unsur-unsur yang

dimaksud adalah sebagai berikut (Suryobroto, 1986: 158-159):

1. Pedoman bagi guru

Merupakan petunjuk-petunjuk penggunaan modul yang ditujukan

agar guru dapat mengajarkan materi secara efisien. Petunjuk-petunjuk

tersebut meliputi:

a. Macam-macam kegiatan yang harus dilakukan oleh guru di dalam

kelas.

b. Penggunaan waktu yang disediakan untuk menyelesaikan modul.

c. Alat-alat peraga yang digunakan dalam pengajaran

d. Petunjuk cara mengevaluasi pembelajaran.

2. Lembar kegiatan siswa

Merupakan lembaran yang berisi materi pelajaran yang harus

dikuasai siswa. Penyusunan materi harus disesuaikan dengan tujuan-tujuan

instruksional yang telah dirumuskan dalam modul. Materi pembelajaran

juga harus disusun secara berurutan (sitematis dan kronologis) supaya

mudah dipelajari oleh siswa. Dalam lembar kegiatan ini harus tercantum

perintah-perintah yang harus dilakukan oleh siswa, misal: membaca,

menulis, membuat percobaan dan sebagainya.

3. Lembar Kerja

Lembar kerja merupakan lembar yang digunakan oleh siswa untuk

menjawab atau mengerjakan soal yang tercantum dalam lembar kegiatan

siswa. Jadi setelah siswa mempelajari lembar kegiatan mereka diharuskan

bekerja atau melaksanakan kegiatannya pada lembar kerja ini.

4. Kunci Lembar Kerja

Merupakan alat yang dapat digunakan siswa untuk mengevaluasi

(mengoreksi) sendiri hasil pekerjaannya. Sehingga apabila siswa membuat

kesalahan dalam pengerjaan, siswa dapat meninjau kembali pekerjaannya.

5. Lembar Tes

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

Merupakan alat evaluasi guna mengukur keberhasilan atau

tercapainya tujuan yang telah dirumuskan dalam modul. Keberhasilan

pengajaran dalam modul tidak dinilai dari jawaban lembar kerja namun pada

lembar tes ini. Lembar tes berisikan soal-soal yang harus dijawab oleh siswa

untuk menilai sejauh mana keberhasilan siswa dalam mempelajari bahan

yang ada dalam modul.

6. Kunci Lembar Tes

Merupakan alat bantu bagi guru untuk mengoreksi dan menilai hasil

tes siswa. Tes disusun oleh penulis modul sehingga kunci tes juga dibuat

oleh orang yang bersangkutan.

d. Karakteristik Modul

Modul yang baik adalah modul yang mampu meningkatkan motivasi belajar

siswa. adapun karakter yang harus ada dalam sebuah modul adalah sebagai berikut

(Daryanto & Aris Dwi Cahyo, 2014:186-188):

1. Self Instruction

Merupakan karakter utama yang harus ada dalam modul. Dengan

karakter tersebut memungkinkan siswa secara mandiri dapat mempelajari

materi yang ada dalam modul. Untuk memenuhi karakter self instruction,

maka syarat yang harus dipenuhi adalah:

a. Memuat tujuan pembelajaran yang jelas, dan dapat

menggambarkan pencapaian Standar Kompetensi dan

Kompetensi Dasar.

b. Memuat materi pembelajaran yang dikemas dalam unit-unit

kegiatan yang kecil/spesifik, sehingga memudahkan dipelajari

secara tuntas.

c. Tersedia contoh dan ilustrasi yang mendukung kejelasan

pemaparan materi pembelajaran.

d. Terdapat soal-soal latihan, tugas, dan sejenisnya yang

memungkinkan untuk mengukur penguasaan peserta didik.

e. Kontekstual, yaitu materi yang disajikan terkait dengan suasana,

tugas, atau konteks kegiatan dan lingkungan peserta didik.

f. Menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif.

g. Terdapat rangkuman materi pembelajaran.

h. Terdapat instrumen penilaian, yang memungkinkan peserta didik

melakukan penilaian mandiri (self assesment).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

i. Terdapat umpan balik atas penilaian peserta didik, sehingga

pserta didik mengetahui tingkatan penguasaan materi.

j. Terdapat informasi tentang rujukan/ pengayaan/ referensi yang

mendukung (Daryanto dan Aris Dwi Cahyo, 2014:187).

2. Self Contained

Modul dapat dikatakan self contained bila seluruh materi

pembelajaran yang dibutuhkan siswa tersaji di dalamnya. Tujuan dari

konsep ini diharapkan siswa dapat mempelajari materi yang ada di dalam

modul dengan tuntas. Materi dalam modul harus dikemas dalam satu

kesatuan yang utuh.Sehingga dalam pembagian maupun pemisahan materi

dari satu kompetensi inti/ kompetensi dasar (KI/KD) perlu memperhatikan

keluasan KI/KD yang harus dikuasai oleh siswa.

3. Berdiri Sendiri (Stand Alone)

Modul tidak bergantung pada bahan ajar/media lain, atau tidak harus

digunakan bersama-sama dengan bahan ajar/media lain. Berarti ketika siswa

menggunakan modul, mereka tidak perlu menggunakan bahan ajar yang lain

untuk mempelajari maupun mengerjakan tugas yang tersaji di dalam modul.

4. Adaptif

Modul dapat dikatakan adaptif bila modul dapat menyesuaikan diri

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fleksibel

digunakan di berbagai perangkat keras (komputer, handphone, CD, dan lain

sebagainya).

5. Bersahabat/Akrab (User Friendly)

Modul dapat dikatakan bersahabat bila di dalamnya memuat

instruksi/pemaparan informasi yang dapat membantu pemakainya.

Penggunaan bahasa dalam pemaparan informasi harus sederhana, mudah

dimengerti, serta menggunakan istilah yang umum digunakan sehingga

pengguna dapat kemudahan dalam pemakaian, merespon dan mengakses

sesuai dengan keinginan mereka.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

e. Elemen Mutu Modul

Modul harus bisa memerankan fungsi dan peranannya dalam pembelajaran

secara efektif. Sehingga modul yang dirancang dan dikembangkan harus

memperhatikan syarat syarat sebagai berikut:

1. Format

Pengertian format menurut KBBI (1994: 279) adalah bentuk dan

ukuran. Tata letak, format pengetikan, dan ukuran kolom yang yang dipakai

dalam modul disesuaikan dengan bentuk dan ukuran kertas yang dipakai.

Dalam pengetikan penggunaan tanda-tanda (icon) dinilai penting karena

bertujuan untuk menekankan pada hal-hal yang dianggap penting atau

khusus. Icon dapat berupa gambar, cetak tebal, cetak miring, atau lainnya

(Daryanto, 2013: 13).

2. Organisasi

Organisasi dalam KBBI (1994: 707) mengandung arti kesatuan

(susunan) yang terdiri atas bagian-bagian. Pengorganisasian komponen

modul meliputi (Daryanto, 2013: 13-14):

a. Peta yang menggambarkan cakupan materi yang akan dibahas

dalam modul.

b. Isi materi pembelajaran yang diurutkan secara sistematis, agar

memudahkan siswa memahami materi pembelajaran

c. Naskah, gambar dan ilustrasi yang disusun dan ditempatkan

sedemikian rupa agar mudah dipahami siswa.

d. Pengorganisasian antar bab, antar unit, dan antar paragraf dengan

alur yang memudahkan peserta didik memahami materi secara

berurutan.

e. Pengorganisasian judul, antar subjudul, dan uraian yang mudah

diikuti oleh siswa.

3. Daya Tarik

Modul harus memiliki daya pikat bagi pembacanya. Supaya modul

menarik perlu dibuat sampul depan (cover) yang unik. Dalam pembuatan

desain sampul, pengembang modul dapat mengkombinasikan warna,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

gambar (ilustrasi), bentuk dan ukuran huruf yang serasi agar nyaman

dipandang. Sedangkan di bagian isi modul, penempatan gambar, pencetakan

huruf tebal, miring, garis bawah atau warna dapat merangsang siswa untuk

membaca modul dan mempermudah mereka dalam memahami penekanan

materi penting yang disajikan. Utamanya dalam pembuatan modul

difungsinkan agar siswa dapat belajar secara mandiri, oleh sebab itu tugas

dan latihan di dalamnya harus dikemas sedemikian rupa sehingga menarik

(Daryanto, 2013: 14).

4. Bentuk dan Ukuran Huruf

Pada umumnya setiap kata tersusun lebih dari dua karakter alfabeta.

Sehingga dalam pengetikan kata yang digunakan menyusun paragraf harus

menggunakan bentuk huruf yang mudah dibaca sesuai dengan karakteristik

siswa. Penggunaan perbandingan huruf yang porposional antar judul, sub

judul dan isi naskah juga dinilai penting sebab dari situ siswa dapat dengan

mudah mengenal perpokok bahasan. Penggunaan huruf kapital untuk

seluruh teks sebaiknya dihindari sebab dapat menyebabkan siswa kesulitan

saat membaca (Daryanto, 2013: 14).

5. Ruang (spasi kosong)

Spasi kosong merupakan bidang kosong tanpa naskah atau gambar

untuk menambah kontras tampilan. Spasi kosong juga berfungsi sebagai

tempat bagi siswa untuk menambahkan catatan penting. Penempatan ruang

kosong dapat ditemui di:

a. Ruang sekitar judul bab dan subbab.

b. Batas tepi (marjin); batas tepi yang luas memaksa perhatian

peserta didik untuk masuk ke tengah-tengah halaman.

c. Spasi antar kolom; semakin lebar kolomnya semakin luas spasi

diantaranya.

d. Pergantian antar paragraf dimulai dengan huruf kapital.

e. Pergantian antar bab atau bagian (Daryanto, 2013: 15).

Modul yang baik, dapat diketahui dari konsistensi (keajegan) bentuk huruf

dari halaman ke halaman berikutnya. Kemudian penggunaan jarak dan spasi antar

paragraf dengan paragraf atau judul dengan teks utama harus rapi dan memenuhi

kaidah penulisan paragraf yang benar. Terakhir adalah tata letak pengetikan baik

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

pola pengetikan maupun batas-batas pengetikan harus seirama satu dengan

lainnya.

3. Prestasi Belajar

a. Definisi Prestasi Belajar

Pengertian prestasi belajar menurut Suharsimi Arikunto (2006:33) adalah

hasil usaha siswa selama mengikuti pembelajaran yang diukur untuk memenuhi

kebutuhan pembelajaran. Sedangkan menurut Sumadi Suryabrata (2001:297)

prestasi belajar adalah hasil belajar siswa yang dinilai oleh pendidik terkait dengan

kemajuan siswa selama waktu tertentu. Jadi definisi prestasi belajar adalah hasil

usaha siswa selama mengikuti pembelajaran dalam waktu tertentu yang diukur guna

melihat kemajuan belajarnya.

Tentunya antara prestasi belajar dan hasil belajar itu berbeda pengertiannya.

Menurut Jahja Umar, dkk. (2000:11) prestasi belajar (achievement) bersifat

pengetahuan sehingga dalam pengukurannya yang diukur adalah tingkat

kemampuan siswa dalam penguasaan materi. Sedangkan hasil belajar (learning)

meliputi aspek keseluruhan terhadap perubahan perilaku akibat pengalaman belajar

siswa. Dalam pembelajaran di kelas meskipun pada suatu rombongan belajar diberi

materi dan metode sama namun prestasi belajar antar siswa akan berbeda.

Perbedaan hasil prestasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Suryabrata

(2001:233) keberhasilan seorang siswa mencapai prestasi belajar dipengaruhi oleh

dua faktor, yakni faktor eksternal dan internal. Faktor pertama berasal dari eksternal

atau pengaruh yang muncul dari luar diri siswa. Faktor eksternal dikelompokan

menjadi dua bentuk yaitu faktor non sosial dan sosial. Faktor non sosial identik

dengan gejala alam seperti cuaca, suhu maupun letak geografis. Sedangkan faktor

sosial identik dengan kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial berupa keadaan

ekonomi, kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan untuk beriteraksi dengan

sesama manusia. Faktor kedua berasal dari internal atau pengaruh yang muncul dari

dalam diri siswa. Faktor internal dikelompokan menjadi dua kelompok. Kelompok

pertama berasal dari faktor fisiologi yaitu pengaruh yang muncul dari kondisi

jasmani seperti contohnya adalah kesehatan siswa dan kelompok kedua berasal dari

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

fakor psikologis, yaitu pengaruh yang muncul dari kejiwaan siswa seperti

contohnya adalah keadaan emosional.

Sesuai yang telah dikemukakan pada sub-bab sebelumnya tentang ciri-ciri

individu yang belajar, siswa dapat dikatan belajar apabila di dalam diri siswa

mengalami perubahan perilaku psikologis sebagai respon dari pengalaman-

pengalaman mereka yang didapat selama proses belajar. Untuk mengukur semua

perubahan-perubahan itu pastinya sulit dilakukan oleh guru, utamanya pada

pengukuran afektif. Hal itu disebabkan karena ranah afektif merupakan kawasan

yang bersifat tak dapat diraba. Sehingga untuk mengukurnya guru hanya bisa

mengambil gambaran perubahan tingkah laku siswa yang penting saja dan

sekiranya penilaian tersebut dapat mencerminkan perubahan akibat proses belajar

meliputi dimensi cipta, rasa, maupun karsa.

Terkait dengan pengukuran ranah kognititf, Benjamin Bloom (1956)

mengidentifikasi ranah kognitif dengan model taksonomi ranah kognitif. Ranah ini

mencakup ingatan atau pengalaman terhadap fakta-fakta, pola prosedural, dan

konsep yang dapat memungkinkan berkembangnya kemampuan dan skill

intelektual. Ada enam kategori utama dalam model ini yang didata dari perilaku

sederhana hingga kompleks, yaitu:

1. Pengetahuan (knowledge)

Pada tahap ini siswa mengingat data atau informasi.

2. Pemahaman (Comprehension)

Individu memahami makna, terjemahan, interpola, dan interpretasi atas

instruksi-instruksi dan masalah-masalah. Pada tahap ini pula, mereka

umumnya mampu menyatakan suatu masalah dengan caranya sendiri.

3. Penerapan (Application)

Tahap ini memungkinkan individu untuk menggunakan suatu konsep

dalam situasi yang baru. Individu pada tahap ini pula bisa menerapkan

apa yang telah dipelajari di ruang kelas ke dalam situasi-situasi yang

rumit di tempat kerja.

4. Analisis (Analysis)

Pada tahap ini, individu sudah mampu memisahkan materi-materi atau

konsep-konsep ke dalam bagian-bagian komponen sehingga struktur

organisasinya dapat dipahami. Individu mampu membedakan antara

fakta dan dugaan.

5. Sinstesi (Syntesis)

Individu yang mencaai level sintesis mampu membangun semacam

struktur atau pola dari berbagai elemen yang berbeda-beda. Ia mampu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

menggabungkan berbagai macam bagian ke dalam satu keseluruhan,

dengan menekankan pada upaya menciptakan makna atau struktur yang

baru.

6. Evaluasi

Pada tahap terakhir ini, individu sudah bisa membuat peniaian tentang

nilai suatu gagasan atau materi (Miftahul Huda, 2014: 170-171).

Pengukuran ranah afektif, Krathwohl (1973) menyusun kriteria untuk

mengklasifikasi perilaku-perilaku yang mengindikasikan sikap kesadaran, minat,

perhatian, fokus, tanggung jawab, dan respon siswa selama berinteraksi dengan

orang lain.Taksonomi sikap Krathwohl terdiri dari lima level sebagai berikut:

1. Menerima (Recieving)

Pada level ini, siswa terlebih dahulu menyadari apa yang disajikan dan

selalu ingin mencatat dan mengingatnya.

2. Merespon (Responding)

Setelah menerima stimulus, siswa-siswa mulai meresponnya untuk

memperoleh pengetahuan baru. Pada level ini siswa akan mencari

aktivitas-aktivitas belajar dengan rasa puas karena telah berhasil

berpartisipasi di dalamya.

3. Menghargai (Valuing)

Siswa membuat keputuasan tentang nilai dan komitmennya untuk dan

terlibat dalam nilai tersebut. Mereka membuat pilihan dan ketika sudah

menerima suatu nilai, berusaha untuk mengajak orang lain menuju nilai

yang dipilihnya.

4. Mengatur (Organising)

Pada level ini ini mengharuskan siswa untuk mengorganisasi nilai-nilai

dan mengkostruksi suatu sistem yang dapat mengatur serangakaian

sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai dengan menghubungkannya antar satu

sama lain.

5. Berkarakter dengan Nilai (Characterising by a Value)

Siswa pada level ini sudah mulai berusaha menginternalisasikan dan

mengorganisasi nilai-nilai ke dalam suatu sistem dan dapat menerapkan

nilai-nilai tersebut sebagai filsafat hidunya untuk menghadapi berbagai

macam situasi nyata (Miftahul Huda, 2014: 164-166).

Pengukuran prestasi pada ranah psikomotor dapat menggunakan taksonomi

Model Simpson. Menurut Simsons (1972) ranah psikomotor mencakup gerakan

fisik, koordinasi dan penggunaan skill-skill motorik. Ada tujuh kategori utama

ranah psikomotor yang diurut dari perilaku yang paling sederhana hingga paling

kompleks, yaitu sebagai berikut:

1. Persepsi (Perception)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

Kemampuan ini menggunakan isyarat-isyarat sensorik untuk memandu

aktivitas motorik. Persepsi mencakup mulai dari stimulasi sensorik,

melalui seleksi isyarat, hingga penerjemahan.

2. Keteraturan (Set)

Kemampuan ini mencerminkan kesiapan dalam bertindak. Ia mencakup

faktor-faktor mental, fisik, dan emosional. Tiga rangakaian ini

merupakan bawaan yang sejak awal memungkinkan seseorang mampu

merespon situasi yang berbeda-beda. Kemampuan ini sering dikenal

dengan mindset.

3. Respon terbimbing (Guided Response)

Respon semacam ini biasanya menjadi tahap awal dalam mempelajari

skill yang komplek. Respon terbimbing pastilah melibatkan imitasi dan

trial and error. Untuk mencapai kelayanan performa yang memadai,

seseorang harus berpraktik terus menerus.

4. Mekanisme (Mechanism)

Tahap ini merupakan tahap pertengahan dalam mempelajari skill yang

komplek. Respon yang dipelajari sudah mulai menjadi semacam

kebiasaan dan gerakan-gerakan tersebut sudah bisa ditunjukan dengan

kepercayaan diri yang penuh.

5. Respons Cepat (Complex Overt Response)

Tahap ini menunjukan performa motorik yang sudah skill full yang

melibatkan pola-pola gerakan yang komplek. Kecakapan diindikasikan

oleh kecepatan, akurasi, performa sistematis, tanpa terlalu banyak

menghabiskan energi. Kategori ini menunjukan kemampuan seseorang

yang sudah profesional tanpa keragu-raguan, sejenis performa

otomatis.

6. Adaptasi (Adaptation)

Pada tahap ini, skill-skill sudah berkembang dengan baik, dan individu

sudah memodifikasi pola-pola gerakannya untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan tertentu yang berbeda.

7. Inisiasi (Origination)

Mereka yang sampai tahap ini sudah mampu menciptakan pola-pola

pergerakan yang baru untuk menyesuaikannya dengan situasi dan

problem tertentu. Ini juga mencakup hasil-hasil pembelajaran yang

menekan pada kreativitas berbasis skill-skill tingkat tinggi (Miftahul

Huda, 2014: 167-169).

Ketiga jenis pengukuran di atas tidak berdiri sendiri, namun ada korelasi

satu dengan lainya. Agar prestasi belajar mudah diukur maka diperlukan sebuah

penilaian. Menurut Sudjana dan Ibrahim (1989:111) fungsi penilaian digunakan

untuk mengetahui tecapainya tujuan pembelajaran yaitu tecapainya tingkat

penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan oleh guru sesuai dengan tujuan

instruksional khusus, juga mengetahui efektifitas pembelajaran yang telah

dilakukan oleh guru.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

Dalam penilaian, nilai disimbolkan pada angka maupun huruf. Ada

beberapa altermatif norma dalam pengukuran keberhasilan siswa yang biasanya

digunakan di sekolah menengah atas, yaitu norma skala angka dari 0 sampai 10 dan

norma skala angka dari 10 sampai 100. Dalam upaya mengungkap prestasi belajar,

batasan minimum keberhasilan belajar siswa sangat penting untuk ditetapkan.

Angka terendah kelulusan pada skala 0-10 adalah 5,5 atau 6,0. Sedangkan untuk 0-

100 adalah 55 atau 60. Prinsipnya adalah siswa setidaknya mampu menyelesaikan

lebih dari separuh tugas atau menjawab setengah dari instrumen evaluasi dengan

benar. Sehingga dengan memenuhi kriteria seperti di atas, siswa sudah dianggap

lulus karena mereka telah memenuhi target minimal keberhasilan (Muhibbin Syah,

2013: 150). Namun pada sekolah-sekolah tertentu, angka di atas masih dianggap

rendah maka mereka meningkatkan target minimal keberhasilan siswa di atas angka

itu.

Hasil penilaian tersebut nantinya digunakan sebagai bahan mengevaluasi

pembelajaran. Menurut Kunandar (2009:377) evaluasi pembelajaran adalah suatu

tindakan yang dilakukan oleh guru dalam menentukan nilai keberhasilan siswa

setelah mereka mengikuti kegiatan belajar dalam periode waktu tertentu. Sehingga

evaluasi merupakan salah satu tahapan penting dalam pembelajaran. Alasanya: (1)

evaluasi digunakan sebagai alat untuk mengetahui tecapainya tujuan pembelajaran

meliputi: penguasaan materi, nilai-nilai dan keterampilan yang dipelajari oleh

siswa, (2) evaluasi digunakan untuk mengetahui kelemahan siswa selama

mengikuti kegiatan belajar, (3) evaluasi digunakan untuk mengumpulkan informasi

yang berkaitan dengan proses pembelajaran sebagai masukan berupa umpan balik

dari guru ke siswa maupun sebaliknya, dan (4) evaluasi digunakan sebagai bahan

laporan hasil belajar siswa kepada orang tua siswa (Sulityorini 2009:47).

b. Hubungan Prestasi dengan Pembelajaran Sejarah

Prestasi belajar merupakan hasil penilaian belajar siswa selama periode

waktu tertentu yang diwujudkan dalam bentuk laporan. Berkaitan dengan

pembelajaran sejarah ukuran prestasi harus disesuaikan dengan tujuan

dibelajarkannya mata pelajaran sejarah di kelas. Sesuai yang telah dibahas di bagian

awal, tujuan dibelajarkannya mata pelajaran ini adalah untuk:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

1. Menumbuhkan kesadaran dalam diri siswa sebagai bagian dari bangsa

Indonesia

2. Menumbuhkan pemahaman siswa terhadap diri sendiri, masyarakat, dan

proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah.

3. Membangun kesadaran siswa tentang pentingnya konsep waktu dan

tempat/ruang

4. Mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thingking)

5. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan siswa terhadap peninggalan

sejarah

6. Mengembangkan perilaku siswa yang didasarkan pada nilai dan moral yang

mencerminkan karakter masyarakat dan bangsa Indonesia.

7. Menanamkan sikap berorientasi pada masa kini dan masa depan.

Dalam Kurikulum 2013 tujuan pembelajaran sejarah dijabarkan ke dalam

Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) dalam bentuk materi

pembelajaran. Pengukuran prestasi dilakukan terhadap tiga ranah prestasi siswa

yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor sesuai dengan kompetensi yang dituju.

Namun dalam penelitian ini tes prestasi hanya digunakan untuk mengukur domain

kognitif terkait kemampuan menyerap materi yang telah dibelajarkan kepada siswa

4. Nasionalisme

a. Hakikat Nasionalisme

Kata Nasionalisme berasal dari bahasa Latin “natio” yang berarti “lahir”.

Kemudian berubah konotasinya seiring perkembangan jaman menjadi “bangsa”

nation. Menurut pengertian Walker Connor (1994) bangsa adalah suatu masyarakat

yang percaya bahwa antar anggotanya memiliki hubungan leluhur yang sama

berdasarkan ikatan kekeluargaan. Asasnya adalah ikatan psikologis yang

menyatukan masyarakat tersebut yang membuat kelompoknya itu berbeda dengan

kelompok lainnya (Smith, 2003:88). Senada dengan pernyataan Connor, Hans

Kohn mengartikan bangsa sebagai himpunan komunitas yang memiliki kesamaan

bahasa, ras, agama dan peradaban yang berkembang karena adanya akar sejarah

yang membentuknya (Ubaid dan Bakir, 2015: 17).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

Dalam arti kekinian nasionalisme dipahami sebagai paham bagi individu

maupun kelompok masyarakat yang mencita-citakan suatu kehidupan berbangsa dan

bertanah air bersama dengan landasan sejarah, budaya dan kekeluargaan sebagai

ikatannya. Basis filosofi nasionalisme ini masih dipakai hingga saat ini sebagai

kekuatan suatu bangsa untuk mempertahankan kelestarian kelompoknya. Seperti

yang dikatakan Blank and Schmidt (2003 dalam Latcheva, 2010:192) “nationalism

is characterized by blind support for the nation and feeling of national

superiority...is based on republican values and includes critical loyalty towards the

in-group nation.” Hal itu karena “...ethnicity as the principal element in the

definition of nationalism...that of human community manifesting a historical,

linguistic, religious, and economic unity animated by a common will to live.” (Daniel

Jhonson, 1966 dalam Rocher, 2002: 4). Jadi kekuatan suatu bangsa dalam

mempertahankan eksistensinya berasal dari kerelaan anggotanya untuk membela

tanah airnya. Dasar kerelaan tersebut dikarenakan adanya ikatan yang tumbuh

karena adanya nilai-nilai yang dijunjung bersama. Nilai-nilai tersebut

dimanifestasikan ke dalam kehidupan berbangsa seperti dalam pemakaian bahasa,

beragama, dan kerjasama ekonomi yang membuat mereka tetap utuh untuk hidup

bersama.

Nasionalisme suatu kelompok bangsa akan selalu menggambarkan akar

kebudayaan masyarakat tempat bangsa itu hidup. Adanya peran budaya ditujukan

untuk membangkitkan kembali komunitas moral bangsa dengan memperhatikan

identitas budaya, harmoni sosial, dan tujuan moral (Smith, 2003:95). Menurut

Naoko Hosokawa sumber identitas nasional bisa berasal dari kebudayaan lokal

suatu masyarakat, sebagai contohnya adalah penggunaan bahasa daerah sebagai

bahasa nasional. Lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:

“...the relation between nationalism and linguistic purism, in

particular the manner in which a shared sense of national belonging is

expressed and reproduced through the display of public attitudes towards

foreignisms in a given society... national language is conceptualized as a

source of national identity while certain foreign loanwords are excluded

from the perceptual framework of national language” (Vorokova dan

Mansour, 2015: 3).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Di Indonesia, nasionalisme budaya dibangun di atas kerangka keberagam

etnik, linguistik, religius, dan subkultural dengan prinsip kesatuan berdasarkan

Bhinneka Tunggal Ika. Kepribadian tersebut sangat dipengaruhi oleh etos bangsa,

yaitu kelakuan serta gaya hidup masyarakatnya (Kartodirdjo, 1993:15). Penguatan

identitas sebagai sebuah bangsa dengan penggunaan bahasa saja tidaklah cukup,

sehingga perlu disadari bahwa permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia bukan

hanya pada modernisasi kultur saja, tetapi meliputi segala aspek kehidupan

masyarakat seperti etos dan gaya hidup yang mencerminkan identitas nasional agar

berbeda dengan bangsa lain (Kartidirdjo, 1993:16).

Perkembangan jaman akan membawa perubahan paradigma tentang

nasionalisme. Nasionalisme yang dirajut di jaman pra-kemerdekaan mungkin sudah

tidak relevan lagi diterapkan sekarang ini. Meskipun demikian, nasionalisme masih

tetap dapat terbentuk apabila terdapat prinsip-prinsip seperti kesatuan (unity),

kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), kepribadian (personality), dan prestasi

(performance) dalam suatu bangsa (Kartodirdjo, 2003, 15).

Di era pasca kemerdekaan, nasionalisme bukan lagi ditunjukan pada

bagaimana suatu bangsa memerdekakan diri dari dominasi kekuatan asing melalui

kekuatan fisik, tetapi lebih pada bagaimana memerdekakan diri dari kebodohan

sesuai yang disematkan dalam amanat pembukaan UUD 1945. Menurut Tilaar

(2015: 68-73) manusia cerdas yang dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 adalah

sebagai berikut:

1. Manusia cerdas secara intelektual, yaitu manusia yang mampu

mengembangkan akal yang berbudi dalam meningkatkan taraf hidupnya.

2. Manusia yang cerdas bersosial, yaitu manusia Indonesia yang menjunjung

asas kegotong-royongan atau kerja sama.

3. Manusia yang cerdas secara ekonomi, yaitu seorang yang giat bekerja

dengan menghilangkan sifat inferioritas, malas, dan masa bodoh terhadap

potensi kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

4. Kecerdasan jasmani yang sehat, yaitu manusia Indonesia yang memiliki

gaya hidup sehat.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

5. Kecerdasan agamis, yaitu manusia Indonesia yang mengimani adanya

Tuhan dan hidup secara damai dengan penganut agama lain.

Dari pernyataan di atas dapat dikerucutkan tentang hakikat nasionalisme

bangsa Indonesia adalah nasionalisme yang berlandaskan pada UUD 1945, Bhineka

Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara prinsipil

berdasarkan pada Pancasila.

b. Hubungan Nasionalisme dengan Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran sejarah adalah suatu aktifitas belajar dan mengajar yang di

dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang memiliki hubungan

dengan peristiwa masa kini (Widja, 1989: 23). Nugroho Notosusanto (1964: 11-14)

memberi ulasan manfaat mempelajari sejarah salah satunya adalah mempertebal

nasionalisme dan patriotisme. Nasionalisme dan patriotisme tidak hadir begitu saja

tanpa ada pengetahuan dan kebijaksanaan. Kebijaksanaan dapat muncul jika siswa

mampu berfikir secara global dan mampu menimbang untung-rugi tindakannya

terhadap eksistensi bangsa.

Pada umumnya pembelajaran sejarah ditujukan untuk mengenalkan siswa

pada masa lalu bangsanya yaitu bagaimana bangsa Indonesia dapat terbentuk dan

bersatu. Namun secara khusus tujuan pembelajaran sejarah adalah meniadakan efek

dari penjajahan yang telah mengakibatkan bangsa Indonesia terjangkit sindrom

bangsa minder (minderwarrdegheid complex). Sindrom minder tersebut sebenarnya

hanyalah pergolakan perasaan bangsa Indonesia yang merendahkan harkat dan

martabat diri sendiri dihadapan bangsa lain yang seolah-olah bangsa Indonesia ini

adalah bangsa yang bodoh. Oleh karena itu agar sindrom itu tidak mengendap ke

alam bawah sadar bangsa Indonesia maka pembelajaran sejarah dapat dijadikan

sebagai motivasi siswa agar tidak minder dengan merefleksikan kejayaan nenek

moyangnya di masa kini.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah merupakan alat untuk

mempertebal perasaan berbangsa siswa dan untuk menguatkan kembali simpul

kesatuan bangsa agar tidak retak dikemudian hari. Keuntungan siswa

mempelajarinnya adalah memperoleh motivasi agar tidak minder dalam persaingan

dunia. Itu karena dari sejarah siswa mendapat pengetahuan tentang masa lalu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

bangsa Indonesia, yaitu bangsa yang besar dan memiliki pengaruh yang luas

terhadap peradaban bangsa-bangsa lain di sekitarnya.

5. Desain Pengembangan Modul

Agar dapat mewujudkan bahan ajar sejarah lokal yang efektif dan efisien

maka diperlukan prosedur yang sistemis dan sistematis. Salah satu dari banyak

model pengembangan bahan ajar adalah penggunaan model desain ADDIE yang

berisi lima langkah, yaitu: 1) analysis, 2) design, 3) development, 4)

implementation, dan 5 evaluation. Tahapan dalam pengembangan bahan ajar

dengan model ADDIE dapat diketahui dari gambar sebagai berikut (Pribadi, 2014:

179):

Gambar 2.1: Model ADDIE

Pada tahap analisis kebutuhan terkait penggunaan bahan ajar, kegiatan

utamanya adalah menemukan faktor penyebab dari ketidaklayakan bahan ajar di

sekolah. Dari hasil yang didapat nantinya akan dijadikan sebagai solusi yang

memungkinkan untuk penggunaan rancangan bahan ajar modul sebagai solusi

alternatif. Oleh karena itu, pada tahap ini peneliti harus benar-benar memperoleh

data sebanyak mungkin untuk mengetahui kesenjangan yang ada.

Berlanjut ke tahap selanjutnya, pada tahap desain ditujukan untuk

menciptakan sebuah prototype bahan ajar yang efektif dan efisien digunakan.

Bahan ajar yang didesain haruslah sesuai dengan kebutuhan peserta didik yang

berlandasan pada Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Prototype modul harus

sesuai dengan kaidah penyusunan modul yang benar.

Analisis Desain Pengembangan Implementasi Evaluasi

Melakukan

analisis

kebutuhan

Membuat desain

modul

Melakukan

validasi modul

Mengamati

kelemahan

modul

Melakukan

evaluasi modul

Menentapkan

masalah

kebutuhan

modul

Menentukan KI,

KD terkait materi dan cara

pengujiannya

Memproduksi

prototype modul

Menetapkan waktu, tempat,

model

pembelajaran

Menilai efektifitas dan

efisiesi modul

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

Tahap ke tiga adalah tahap pengembangan yaitu proses menciptakan modul

sebagai sarana pembelajaran. Karena modul yang disusun berupa bahan cetak maka

wujudnya harus menarik baik itu dari segi konten materi maupun fisiknya, sehingga

nantinya selama modul dipakai tidak mengecewakan bagi yang mempelajarinya.

Tahap implementasi merupakan tahap realisasi dari desain yang

dikembangkan. Pada tahap ini, pengembang harus merencanakan waktu

pelaksanaan kegiatan juga tempatnya. Sebaiknya waktu pelaksanaan pembelajaran

disesuaikan dengan tahap belajar peserta didik terkait kompetensi yang ditetapkan.

Evaluasi merupakan tahap terakhir dalam menyempurnakan sebuah bahan

ajar. Pada dasarnya kegiatan evaluasi ditujukan untuk memperoleh data dan

informasi untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi pembelajaran dengan

penggunaan modul yang dikembangkan.

B. Penelitian yang Relevan

Berdasarkan kajian teori yang dipaparkan di atas, berikut ini disajikan

beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan variabel-variabel yang diteliti,

antara lain:

1. Novianti, Sudjarwo, dan Pargito (2014), yang berjudul “Pengembangan

Bahan Ajar Sejarah Berupa Cerita Rakyat Sebagai Wujud Kearifan Lokal”.

Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan produk modul berupa cerita

rakyat Lampung untuk menanamkan nilai-nilai karakter dan kearifan lokal

pada siswa kelas X SMAN 1 Tumijajar Tulang Bawang Barat. Penelitian

ini berupa research and development (R&D) Borg dan Gall yaitu sebuah

proses yang digunakan untuk mengembangkan produk pendidikan yang

dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan ketentuan Direktorat

Pembinaan SMA penilaian ahli desain terhadap keseluruhan aspek modul

sejarah Indonesia berupa cerita rakyat Lampung sebagai wujud kearifan

lokal meliputi (1) petunjuk, (2) tujuan pembelajaran, (3) isi paket

pembelajaran, (4) rangkuman dan daftar pustaka, (5) kualitas fisik paket

modul adalah sebagai berikut: 55,93% termasuk kategori baik/ sesuai/

sistematis/ konsisten/ memadai/ menarik, sedangkan 44,07% berada dalam

kategori cukup baik/ sesuai /sistematis /konsisten/ memadai/ menarik. Hasil

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

penelitian menunjukan penilaian ahli bahasa Indonesia terhadap draf modul

yakni: 37,74% sangat baik/ sesuai/ sistematis/ konsisten/ memadai/

menarik, dan 62,26 masuk dalam kategori sangat baik/ sesuai/ sistematis/

konsisten/ memadai/ menarik. Dari uji kualitas modul yang

dikembangkannya tersebut layak untuk digunakan karena berada pada

kategori minimal cukup baik/ sesuai/ sistematis/ konsisten/ memadai/

menarik. Sedangkan hasil penilaian dua orang guru terhadap draf modul

adalah sebagai berikut: 50,49% termasuk dalam kategori baik/ sesuai/

sistematis/ konsisten/ memadai/ menarik, dan 49,51% termasuk dalam

kategori cukup baik/ sesuai/ sistematis/ konsisten/ memadai/ menarik

sehingga layak untuk digunakan dalam pembelajaran. Dalam uji efektifitas

modul yang dibelajarkan antara kelas eksperimen yang menggunakan

modul sejarah hasil pengembangan dan kelas kontrol yang menggunakan

buku paket dalam pembelajarannya, perbandingan hasil postest keduanya

setelah uji t diketahui prestasi belajar kelas eksperimen rata-ratanya lebih

tinggi dibandingkan kelas kontrol yang dilihat dari ketuntasan belajar

klasikal. Pada kelas eksperimen ketuntasan belajar klasikal > 60%,

sedangkan pada kelas kontrol ketuntasan klasikal < 60%. Berdasarkan hasil

analisis uji t dan ketuntasan klasikal tersebut maka modul sejarah hasil

pengembangan dapat dikatakan efektif utuk digunakan dalam pembelajaran.

2. Nanik Purwaningsih (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Perjuangan

Komando Muria Tahun 1948 Sebagai Pengembangan Materi Pembelajaran

IPS Sejarah di SMP Wilayah Kabupaten Kudus”, berisi tentang sejarah

perjuangan Komando Muria menghadapi kekuatan bangsa Asing selama

Agresi Militer Belanda II di Kudus. Hasil penelitiannya adalah: a) Sejarah

perjuangan komando Muria di dalamnya terkandung aspek semangat

heroisme, patriotisme dan nasionalisme yang menjadi modal dasar untuk

mencapai kemerdekaan. Aspek tersebut dapat dijadikan teladan bagi siswa

sehingga mereka dapat mewarisi sikap kepahlawanan pendahulunya

melalui penanaman dan pengembangan nilai-nilai kejuangan komando

Muria pada pribadi siswa. b) Upaya memasukan materi sejarah lokal ke

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

dalam pembelajaran IPS disambut antusias para guru, kepala sekolah, dan

pejabat dinas pendidikan.

3. Súsanna Margrét Gestsdóttir (2013) dalam penelitiannya berjudul “The

Challenges of History Education in Iceland”. Ia menyinggung tentang

tantangan pembelajaran sejarah di Islandia khusunya pengembangan

kurikulum sejarah dengan penggunaan modul. Fokus permasalahan dalam

penelitiannya adalah diberlakukannya kurikulum 1999 yang membuat

subtansi materi sejarah (Sejarah Islandia sebelum dan sesudah tahun 1800)

di negara tersebut menjadi berkurang. Sejak itu guru diwajibkan membuat

modul agar materi dapat dibelajarkan secara maksimal. Dari hasil

penelitiannya diperoleh data ketimpangan penggunaan modul sejarah wajib

di SMA, khususnya di pedesaan. Di SMA kecil diketahui penggunaan

modul adalah sebanyak dua buah, sedangkan untuk sekolah yang lebih besar

di Greater Reykjavik penggunaan sudah mencapai delapan buah setiap

tahunnya. Meskipun modul bukan barang baru bagi siswa SMA di Islandia

namun penerimaan siswa akan pengetahuan sejarah yang berkaitan terhadap

subjek kehidupan sehari-hari di negara ini pada umumnya menunjukan

respon yang sangat baik. Temuan lain terkait dengan modul adalah

terlampau luasnya materi sejarah nasional Islandia yang dibelajarkan. “The

curriculum lays down what should be done in the core modules, but both

modules in history are so wide ranging that it is impossible to cover all

the material recommended. Oleh karena itu dengan adanya pengembangan

modul oleh sekolah, materi yang luas tersebut akhirnya dipangkas sesuai

dengan kebutuhan belajar siswa.

4. Mercedes A. Macarandang (2009) dalam penelitiannya berjudul

“Evaluation of A Proposed Set of Modules in Principles and Methods of

Teaching.” Ia mengembangkan seperangkat modul yang digunakan untuk

mengevaluasi pembelajaran di Fakultas Keguruan Universitas Batangas. Ia

mengembangkan lima buah judul modul dengan materi yang berbeda-beda.

Kesemuanya ditujukan untuk memudahkan siswa maupun guru dalam

belajar-mengajar. “This applies to all levels of learning, and to a wide

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

range of learning activities: in school, in the trade and industry and

even in the world of high technology.... As an instructional strategy,

modules are designed to bring about a satisfactory level kind of learning

among slow, average and fast learners.” Hasil dari penelitiannya yaitu: 1)

modul telah memenuhi prinsip dan metode pengajaran sesuai dengan

kurikulum pendidikan guru, 2) tujuan khusus pembelajaran sudah baik dan

sesuai, 3) isi modul sudah mencerminkan aspek yang diajarkan, 3) bahasa

yang digunakan sudah baik tetapi belum ada kegiatan pretes dan postes di

setiap modul, dan 6) ada kesenjangan antara penilaian guru dengan siswa

terkait karakteristik modul, yakni penilaian guru lebih tinggi daripada siswa.

5. Jankvist, Uffe Thomas (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “A

Historycal Teaching Module on ‘The Unreasonable Effectiveness of

Matematics’: Boolean Algrbra and Shannon Circuits.” Dalam penelitiannya

yang dimulai sejak tahun 2012 itu ia mengembangkan sekaligus menguji

tingkat keefektifan modul dalam memudahkan pembelajaran matematika.

Sumber materi modul disusun dari dua disipliner ilmu yakni sejarah dengan

matematika. Modul hasil pengembangan tersebut dikondisikan supaya

siswa mudah mempelajari rumus matematika dengan bantuan berupa

ilustrasi sejarah. Effektivitas penggunaan modul diuji di Denmark pada

sekolah tingkat menengah atas. Hasil yang didapat menunjukan respon

positif dari siswa selama memahami rumus matematika yang dinilai

semakin mudah. Hal itu karena di dalam modul tersebut terdapat

penggunaan dialog interaktif berupa ilustrasi dua orang filsuf matematika

yang dapat membimbing siswa secara mandiri mengoperasikan rumus dan

mengetahui kegunaannya dalam kehidupan nyata.

C. Kerangka Berpikir

Pengertian bahan ajar sejarah Indonesia adalah segala bentuk materi

pembelajaran yang bersumber dari perjalanan bangsa Indonesia dari masa ke masa

yang digunakan oleh guru dalam melaksanakan kegiatan mengajarnya di dalam

kelas. Tentunya pada pemakaiannya agar bahan ajar sejarah Indonesia tidak keluar

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

dari batasan pembelajaran harus disusun dan dikembangkan berdasarkan KI dan

KD mata pelajaran tersebut.

Pada pembelajaran sejarah Indonesia kelas XI semester II, terdapat materi

tentang Menegakan Panji-panji NKRI. Materi tersebut berisikan sejarah perjuangan

bangsa Indonesia selama Revolusi Nasional. Karena Revolusi tersebut berlangsung

di seluruh daerah Indonesia maka sangat disayangkan bila suatu masyarakat daerah

yang memiliki pengalaman serupa sejarahnya tidak diajarkan kepada generasi

mudanya. Padahal sejatinya pembelajaran sejarah berbasis kelokalan dapat

dijadikan sebagai sarana memupuk kesadaran nasional pemuda yang mulai terkikis

akibat pengaruh globalisasi. Oleh karena itu supaya kecintaan pemuda Tengaran

terhadap bangsanya dapat tebal kembali seperti tahun-tahun awal kemerdekaan

Indonesia maka modul Perjuangan Masyarakat Tengaran Kabupaten Semarang

selama Revolusi Fisik disusun sebagai bahan ajar sejarah lokal yang juga sebagai

pelengkap dari materi pembelajaran sejarah nasional.

Isi materi dalam modul yang akan disusun meliputi 1) awal mula

berlangsungnya Revolusi Fisik tahun 1947 yang ditandai dengan jatuhnya Kota

Salatiga dan sebagian daerah Kecamatan Tengaran saat terjadi Agresi Militer I, 2)

Adanya upaya Masyarakat Tengaran untuk membendung serangan Belanda ke Kota

Solo yang dimotori oleh Kyai-kyai lokal, 3) Pembagian wilayah Jawa Tengah

menjadi dua kekuasaan pasca Perjanjian Klero sebagai kelanjutan dari Perjanjian

Renville yang berimbas pada terbentuknya dua pemerintahan sipil di Kecamatan

Tengaran yang secara langsung berpengaruh pada kehidupan sosial-ekonomi-

politik di masing-masing wilayah, 4) adanya peran pemuda Tengaran dalam

mendukung perjuangan sebagai barisan tempur maupun dapur umum, 5) awal mula

doorstoot yang dilancarkan dari Tengaran sebagai awal mula jatuhnya Solo dan

Ibukota RI ke tangan Belanda, 7) peran masyarakat menyediakan logistik dan

tempat tinggal bagi pejuang gerilya selama RI di kuasai Belanda, dan 8)

sumbangsih perjuangan pemuda Tengaran dibelakang pengakuan kedaulatan RI

oleh Belanda yang berakhir manis dengan ditandatanganinya penyerahan kota

Salatiga pada akhir 1949.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

Sebelum menghasilkan produk, pada peneltian pengembangan ini ada

beberapa tahapan yang harus ditempuh, yaitu:

1) Kondisi Awal

Dalam kegiatan ini peneliti berusaha mengumpulkan data

sebanyak mungkin untuk menjadi pijakan peneliti dalam

mengembangkan bahan ajar di SMA N 1 Tengaran. Adapun yang

dilakukan peneliti adalah mengecek penggunaan bahan ajar dalam proses

pembelajaran di SMA N 1 Tengaran. Apakah di sana sudah

menggunakan dan memanfaatkan modul perjuangan masyarakat

Tengaran selama Revolusi Fisik atau belum.

2) Masalah dan Hasil

Dalam kegiatan ini peneliti mendata hasil dari pembelajaran yang

diterapkan di SMA N 1 Tengaran. Adapun berdasarkan wawancara

singkat dengan beberapa siswa materi pembelajaran sejarah lokal belum

diajarkan oleh guru. Sebagai akibatnya ketika siswa ditanya tentang

sejarah lokal di daerahnya sendiri, mereka sama sekali tidak tahu.

Contohnya sewaktu peneliti menanyakan tentang peranan Kyai Haji

Mawardi selama Revolusi Fisik, tidak ada satupun siswa yang

mengetahui sepak terjang perjuangannya. Mereka hanya tahu jika nama

Kyai Haji Mawardi adalah sebuah nama jalan yang membentang dari

Bener sampai Sruwen.

3) Kajian Teori

Dalam tahapan ini peneliti melakukan kajian literatur guna

mencari solusi atas masalah yang didapat di lapangan sebelum survei

resmi. Dalam studi kepustakaan ini peneliti mencari sumber di

perpustakaan Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dan

Perpustakaan Umum Universitas Kristen Satya Wacana. Peneliti juga

berdiskusi dengan guru dan dosen yang mengerti tentang bahan ajar

sejarah di SMA guna menemukan solusi yang dibutuhkan dalam

penelitian ini.

4) Solusi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

Setelah mendalami persoalan yang muncul dipermulaan, peneliti

akhirnya menetapkan suatu solusi yang patut untuk diujicobakan, yakni

pengembangan bahan ajar berupa modul sejarah lokal berbasis

perjuangan Masyarakat Tengaran selama Revolusi Fisik. Dengan

diajarkannya materi ini diharapkan siswa sadar akan sejarahnya tentunya

juga mempertebal nasionalisme pada dirinya.

5) Prototype Modul

Dalam tahapan ini peneliti membuat suatu prototype atau draf

model modul dengan materi sejarah perjuangan Masyarakat Tengaran

selama Revolusi Fisik yang akan diajarkan di kelas.

6) Instrumen

Disamping membuat prototype modul, peneliti juga membuat

instrumen angket yang berfungsi sebagai alat mengukur sejauh mana

perkembangan nasionalisme ditunjukan oleh siswa. Angket yang

dgunakan adalah angket tertutup yang telah disusun dengan

menyediakan jawaban yang lengkap sehingga responden tinggal memilih

salah satu jawaban yang disediakan.

7) Valditas & Evaluasi

Untuk mengetahui kesahihan angket nasionalisme maka terlebih

dahulu divalidasi dan dievaluasi. Apabila angket belum valid peneliti

melakukan pengkajian literatur ulang untuk melakukan revisi terhadap

alat ukur tersebut sampai instrumen tersebut dapat dinyatakan valid.

8) Uji Efektifitas

Pada tahapan ini kegiatan ditujukan untuk melihat perkembangan

siswa setelah menjalani suatu pengkondisian dalam pembelajaran.

Sehingga hasilnya dapat dilihat apakah siswa mengalami peningkatan

nasionalisme atau tidak.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

Gambar 2.2: Kerangka Berpikir

Masalah dan

Hasil

1. Guru belum maksimal mengajarkan sejarah lokal Tengaran.

2. Siswa tidak mengetahui sejarah daerahnya sendiri terutama terkait perjuangan masyarakat Tengaran selama Revolusi Fisik

Kondisi

Awal

Proses

Pembelajaran belum

menggunakan modull

sejarah lokal berbasis

perjuangan Masyarakat

Tengaran selama

Revolusi Fisik

Kajian Teori

Melakukan

kajian teori melalui studi

kepustakaan dan diskusi

dengan pengajar untuk

mencari solusi dari

permasalah penelitian

Instrumen

Angket

Nasionalisme

Draf Model

Solusi

Pengunaan

bahan ajar sejarah lokal

berbasis perjuangan

Masyarakat Tengaran

selama Revolusi Fisik

Validasi dan

Evaluasi

Valid dan

Layak

Model Hipotetik

Modul Perjuangan Masyarakat Tengaran Kebupaten Semarang

selama Revolusi Fisik

Uji Efektifitas

Kondisi Yang Diharapkan

Meningkatnya Prestasi dan

Nasionalisme Siswa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

D. Model Hipotetik Modul

Model hipotetik modul dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.3 :Model Hipotetik Modul

Komponen Bahan Ajar Cetak: Judul Petunjuk belajar Informasi pendukung Latihan Tugas/ langkah kerja Penilaian

Pengembangan Modul Sejarah Lokal Berbasis Perjuangan Masyarakat

Tengaran selama Revolusi Fisik

1) Petunjuk penggunaan, 2) Peta konsep, 3) Glosarium, 4) Tujuan

pembelajaran 5) Materi, 6) Refleksi, 7) Rangkuman, 8) Latihan, 9) Evaluasi, dan 10)

Kunci jawaban.

Efektifitas Bahan Ajar Sejarah Lokal Berbasis Perjuangan Masyarakat

Tengaran Kabupaten Semarang selama Revolusi Fisik

Produksi Modul Bahan Ajar Sejarah Perjuangan Masyarakat Tengaran

Kabupaten Semarang selama Revolusi Fisik 1947-1949

Berdasarkan Kurikulum 2013 (KI dan KD)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user