bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, … ii.pdf · english language. penelitian ini...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL
PENELITIAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
Pada bagian ini terdapat lima penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
penelitian ini. Berikut ini merupakan kajian dari penelitian-penelitian tersebut.
Penelitian pertama adalah penelitian Swardiani (2007) yang berjudul The
Use of Draw a Story Technique to Improve Students’ Ability in Writing
Descriptive Paragraph: a Classroom Based Action Research at Grade Eight of
SMP N 1 Sukasada. Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus dan terdapat 36
peserta didik yang diplih sebagai subjek penelitian. Teknik yang digunakan adalah
draw a story technique untuk meningkatkan keterampilan menulis peserta didik.
Sebelum mengimplementasikan teknik tersebut dalam proses pembelajaran, tes
praobservasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan dasar peserta didik,
khususnya pada kemampuan menulis teks deskriptif. Selanjutnya, hasil tes, yaitu
prates, tes pertama dan tes kedua dibandingkan untuk mengetahui peningkatan
yang dialami oleh peserta didik dalam menulis teks deskriptif. Berdasarkan hasil
ketiga tes tesebut, terdapat peningkatan nilai-nilai dari prates hingga tes kedua
yang dilakukan. Pada prates ditemukan bahwa persentase nilai rerata peserta didik
hanya 43,83%. Kemudian pada tes pertama, persentase nilai rerata peserta didik
meningkat menjadi 56,25%. Selanjutnya pada tes kedua persentase nilai rerata
peserta didik meningkat menjadi 66,25%.
10
11
Berdasarkan hasil kajian pada penelitian yang dilakukan oleh Swadiani
(2007), ditemukan tiga persamaan dengan penelitian ini, seperti keterampilan
yang dikaji adalah keterampilan menulis pada teks deskriptif. Selain itu, penelitian
sejenis pertama dan penelitian ini juga melakukan dua kali tes, yaitu pre-test dan
post test. Selanjutnya, subjek penelitian adalah sama, yaitu peserta didik kelas
VIII pada jenjang SMP. Di sisi lain, terdapat pula tiga perbedaan antara penelitian
yang dilakukan oleh Swadiani dan penelitian ini. Pertama, dilihat dari metode
penelitian, Swadiani menggunakan metode penelitian tindakan kelas melalui dua
siklus pada satu kelas yang berjumlah 36 peserta didik, sedangkan penelitian ini
menggunakan metode penelitian eksperimen yang menggambil dua kelas sebagai
subjek penelitian yang nantinya terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
experimental group dan control group. Kedua, strategi yang diterapkan untuk
menunjang penelitian masing-masing. Dalam penelitian itu Swadiani memilih
draw a story technique, sedangkan peneltian ini memilih strategi tell and show
sebagai strategi yang diterapkan dalam proses belajar mengajar. Yang terakhir,
jika dilihat dari sisi linguistiknya, penelitian yang dilakukan oleh Swadiani tidak
terlalu memfokuskan aspek linguistik sebagai objek penelitiannya, sedangkan
penelitian ini lebih difokuskan pada kajian linguistik dengan menggunakan teori
analisis wacana, khususnya penanda kohesi yang mendukung koherensi teks akan
dapat diterapkan di kelas.
Penelitian kedua yang memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Ginting dan Sitanggang (2012) yang berjudul
Improving Students’ Achievement in Writing Descriptive Paragraph through
12
Semantic Mapping Technique. Penelitian tersebut juga merupakan penelitian
tindakan kelas yang mengambil subjek peserta didik kelas IX sebanyak 30 orang
di SMP St. Petrus Medan. Pada penelitian tindakan kelas ini empat elemen dari
Lewin (1994) dalam Ginting dan Sitanggang (2012:7) digunakan sebagai
landasan, yaitu, planning, acting, observing, and reflecting. Berdasarkan hasil
penelitian itu diketahui bahwa terdapat tahapan peningkatan pada hasil teks
deskriptif dari tes orientasi, tes pertama, hingga tes kedua, yaitu tes yang
dilakukan setelah diterapkannya semantic mapping technique di dalam kelas. Hal
ini dibuktikan dengan perolehan nilai rerata pada tes orientasi yang hanya sebesar
52,50, lalu meningkat hingga mencapai nilai rerata 62,04 pada tes pertama yang,
dan diakhiri dengan tes kedua yang menunjukkan nilai rerata sebesar 71,25.
Penelitian sejenis kedua yang dilakukan oleh Ginting dan Sitanggang (2012)
memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Penelitian Ginting dan
Sitanggang serta penelitian ini sama-sama menjadikan keterampilan menulis teks
deskriptif menjadi objek penelitian. Selanjutnya, Ginting dan Sitanggang
menggunakan dua kali tes selama penelitian, yaitu pre-test dan post-test. Dua kali
pemberian tes ini juga dilakukan dalam penelitian ini. Namun, yang menjadi
pembeda antara penelitian ini dan penelitian yang dilakukan oleh Ginting dan
Sitanggang adalah metode penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode eksperimen, sedangkan penelitian sejenis kedua tersebut
menerapkan penelitian tindakan kelas pada satu kelas yang berjumlah 30 peserta
didik. Dari sisi subjek penelitian, walaupun terdapat persamaan pada tingkat
satuan pendidikan, perbedaan ditemukan pada jenjang kelas yang dipilih. Pada
13
penelitian itu, Ginting dan Sitanggang memilih kelas IX, sedangkan penelitian ini
memilih kelas VIII sebagai subjek penelitian. Selanjutnya, terdapat pula
perbedaan pada teknik atau strategi yang diimplementasikan. Pada penelitian ini
kegiatan pembelajaran berjalan dengan mengimplementasikan langkah-langkah
strategi tell and show, sedangkan Ginting dan Sitanggang menggunakan teknik
semantic mapping. Sama halnya dengan penelitian sejenis pertama sebelumnya,
Ginting dan Sitanggang tidak terlihat memberikan perhatian khusus pada sisi
linguistik sebagai dasar penelitiannya, sedangkan penelitian ini berusaha untuk
membangun sebuah fondasi penelitian dari pemahaman analisis wacana, yang
hasilnya dapat diterapkan dan diajarkan kepada peserta didik melalui strategi tell
and show.
Penelitian ketiga merupakan penelitian yang dilakukan oleh Palupi (2013)
yang berjudul “Perbandingan Kohesi dan Koherensi dalam Karangan Deskriptif
Siswa Kelas X SMK Jurusan Teknik Otomotif Kendaraan Ringan (TOKR) dan
Rekayasa Perangkat Lunak (RPL) Berdasar pada Kemampuan Berpikir Analisis
Sintesis di Bidang Program Keahlian”. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang melihat perbandingan antara kohesi dan koherensi pada karangan
deskriptif peserta didik SMK Jurusan TOKR dan RPL. Pengumpulan data
penelitian ini dilakukan dengan menelaah kohesi dan koherensi karangan peserta
didik dengan metode normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karangan
deskriptif Jurusan RPL lebih baik daripada peserta didik di Jurusan TOKR.
Persentase kesalahan kohesi dan koherensi sebesar 36,77% yang berasal dari
14
Jurusan TOKR, sedangkan persentase 23,87% menunjukkan kesalahan kohesi dan
koherensi pada karangan deskriptif peserta didik di Jurusan RPL.
Berdasarkan hasil pemaparan yang dilakukan terhadap penelitian sejenis
ketiga yang dilakukan oleh Palupi (2013) di atas, ditemukan sebuah persamaan
dan beberapa perbedaan dengan penelitian ini. Persamaannya adalah sama-sama
mengkaji penanda kohesi dan koherensi pada teks deskriptif peserta didik. Akan
tetapi, hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Palupi adalah
penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji analisis wacana (penanda kohesi
dan koherensi) sehingga dapat diterapkan dan diajarkan secara langsung melalui
penggunaan sebuah strategi kepada peserta didik. Di pihak lain Palupi lebih fokus
pada bagaimana perbandingan kohesi dan koherensi dalam teks deskriptif antara
peserta didik dari dua bidang program keahlian. Selain itu, penelitian Palupi
merupakan penelitian kualitatif yang mendeskripsikan kohesi dan koherensi pada
teks peserta didik, sedangkan pada penelitian ini, pemahaman koherensi dan
kohesi diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran di kelas yang tentunya juga
didukung dengan penerapan strategi tell and show.
Penelitian keempat merupakan jurnal internasional dari penelitian Javed dkk.
(2013) yang berjudul A Study of Students’ Assessment in Writing Skills of the
English Language. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan menilai
kemampuan peserta didik dalam menulis. Subjek penelitian ini adalah peserta
didik kelas X sekolah menengah di Pakistan berjumlah 440 yang diambil dari
sebelas sekolah yang berbeda. Penelitian ini difokuskan pada kelengkapan kata,
pembuatan kalimat, pemahaman, tata bahasa, dan tulisan peserta didik.
15
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwakemampuan peserta didik dalam
aspek pemahaman lebih baik dibandingkan dengan keempat aspek lainnya. Selain
itu, penelitian ini juga membandingkan antara kemampuan peserta didik laki-laki
dan perempuan. Hasil perbandingan tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara kedua gender tersebut dalam menulis sebuah
teks.
Penelitian sejenis keempat yang ditelaah adalah penelitian Javed dkk. (2013).
Pada penelitian sebelumnya, mereka melakukan penilaian terhadap hasil tulisan
peserta didik, tetapi pada penelitian ini lebih difokuskan pada teks deskriptif
sebagai objek penelitian. Selain itu, penelitian yang dilakukan Javed dkk.
mencakup subjek yang lebih luas, sedangkan penelitian ini lebih fokus kepada
satu sekolah dan memilih dua kelas sebagai subjeknya.
Penelitian terakhir merupakan jurnal internasional oleh Siburian (2013) yang
berjudul Improving Students’ Achievement on Writing Descriptive Text Through
Think Pair Share. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom
action research). Subjek penelitian ini adalah peserta didk kelas VIII. Dalam
upaya meningkatkan kemampuan peserta didik menulis teks deskriptif, teknik
think pair share diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil
yang diperoleh, terdapat kenaikan nilai rerata peserta didik. Pada tes pertama, nilai
rerata peserta didik hanya menunjukkan angka 66,44. Akan tetapi, pada tes kedua
setelah dilakukan tindakan yang disertai dengan penerapan teknik think pair
share, terdapat kenaikan pada nilai rerata peserta didik menjadi 78,12. Pada tes
terakhir, nilai rerata peserta didik mencapai 87,56. Berdasarkan hasil observasi,
16
Siburian menemukan juga bahwa peserta didik menunjukkan sikap dan respons
yang baik terhadap proses pembelajaran yang dilakukan.
Berdasarkan hasil kajian, penelitian Siburian (2013) memiliki persamaan
dengan penelitian ini. Sama halnya dengan tiga penelitian pertama sebelumnya
yang memperhatikan teks deskriptif peserta didik, penelitian Siburian dan
penelitian ini juga menjadikan teks deskriptif sebagai objek penelitian. Selain itu,
subjek yang digunakan pada penelitian Siburian dan penelitian ini adalah peserta
didik kelas VIII pada jenjang SMP. Yang menjadi perbedaan antara penelitian
Siburian dan penelitian ini adalah penelitian ini mengambil konsep analisis
wacana yang terintegrasi dengan proses pembelajaran melalui strategi tell and
show. Hal lainnya adalah rubrik yang digunakan pada penelitian ini juga mengacu
pada penanda kohesi yang mendukung koherensi dalam sebuah teks deskriptif.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa komponen-komponen yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah
metode penelitian, subjek penelitian (mengambil dua kelas, yaitu experimental
group dan control group), pengimplementasian strategi tell and show pada
kegiatan belajar mengajar. Di samping itu juga, terdapat pengintegrasian konsep
analisis wacana, yaitu penanda kohesi yang mendukung koherensi pada teks
deskriptif ke dalam proses pembelajaran.
2.2 Konsep
Dalam penelitian ini terdapat empat konsep dasar yang melandasi penelitian
ini, yaitu menulis, teks deskriptif, strategi tell and show, serta experimental group
dan control group. Berikut ini merupakan pemaparan keempat konsep tersebut.
17
2.2.1 Menulis
Konsep menulis dipahami berbeda-beda oleh para ahli. Walaupun demikian,
konsep-konsep yang dikemukakan memiliki maksud yang hampir sama. Beberapa
pandangan dari para ahli tentang definisi menulis yang dijabarkan sebagai berikut.
1) Coulmas (2003:1) menyatakan bahwa menulis merupakan sebuah sistem
pencatatan bahasa dengan cara membubuhkan tanda-tanda di atas suatu
permukaan agar dapat terlihat.
2) Hà (2011) berpendapat bahwa menulis merupakan cara untuk menyampaikan
sebuah pesan yang mengandung makna tertentu.
3) Tarigan (1995:117) dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012:3)
menjelaskan kata ‘menulis’ memiliki arti ‘mengekspresikan’ suatu informasi,
gagasan, ide, pendapat, atau pikiran dan perasaan secara tertulis.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang definisi menulis, maka dapat
disimpulkan bahwa menulis merupakan suatu kegiatan yang mengekspresikan
gagasan atau ide yang tertuang dalam bentuk goresan atau tanda berupa huruf di
atas kertas yang susunannya membentuk beberapa kata hingga tersusun sebuah
kalimat yang bermakna sehingga pembaca dapat memahami inti sari dari pesan
yang ingin disampaikan oleh penulisnya.
Selanjutnya, Tompkins (1994) menguraikan tahapan dalam proses menulis
menjadi lima tahap. Tahapan-tahapan tersebut diidentifikasi melalui serangkaian
penelitian tentang proses menulis. Lima tahapan dalam proses menulis yang
teridentifikasi melalui penelitian yang dimaksud adalah meliputi pre-writing (pra-
menulis), drafting (penyusunan konsep), revising (perbaikan), editing
18
(penyutingan), dan publishing (penerbitan). Berikut ini merupakan penjabaran tiap
tahapan tersebut.
1) Pre-writing (pramenulis)
Pada tahapan ini peserta didik mengumpulkan gagasan dan informasi
serta mencoba untuk membuat suatu kerangka yang nantinya akan
dikembangkan menjadi tulisan. Di sini peserta didik akan mulai mencari dan
menentukan arah serta bentuk tulisannya. Melalui kegiatan pramenulis ini,
guru dapat mengetahui seberapa luas wawasan yang dimiliki peserta didik
mengenai hal atau topik yang dibahas.
2) Drafting (penyusunan konsep)
Penyusunan konsep adalah suatu tahapan yang dilakukan oleh peserta
didik untuk mengorganisasikan dan mengembangkan ide yang telah
dikumpulkan melalui kegiatan pre-writing dalam bentuk draf kasar. Pada
tahapan ini peserta didik menulis dan menyaring tulisan mereka melalui
sejumlah konsep. Aktivitas dalam tahap ini meliputi tiga hal, yaitu menulis
draf kasar, menulis konsep utama, dan menekankan pada pengembangan isi.
3) Revising (perbaikan)
Pada tahapan ini peserta didik melihat kembali tulisannya untuk
kemudian ide tulisan tersebut ditambah, diganti, atau dihilangkan sebagian.
Sebagai contoh, dalam menulis suatu cerita, peserta didik dapat mengubah
watak pelaku yang semula jahat menjadi baik atau peserta didik juga dapat
menyelipkan peristiwa lain dalam rangkaian cerita yang disusunnya. Revising
atau perbaikan ini bukanlah penyempurnaan tulisan, melainkan upaya
19
penyesuaian kebutuhan dengan cara menambah, mengganti, menghilangkan,
dan menyusun kembali bahan tulisan.
4) Editing (penyuntingan)
Penyutingan merupakan proses penyempunaan tulisan sampai bentuk
akhir. Peserta didik menyempurnakan tulisan mereka dengan mengoreksi
ejaan dan kesalahan lainnya yang mungkin tanpa disadari dilakukannya
5) Publishing (penerbitan)
Pada tahap akhir proses penulisan ini peserta didik memublikasikan hasil
tulisan mereka, menerima pendapat dan komentar yang diberikan teman atau
siswa lain. Pada tahap publikasi, peserta didik memublikasikan hasil
tulisannya dengan cara saling berbagi hasil tulisan (sharing). Kegiatan
sharing ini dapat dilakukan dengan cara meminta peserta didik untuk
membacakan hasil tulisannya secara bergiliran di depan kelas.
Sebuah tulisan yang baik hendaknya mudah dimengerti sehingga maksud
yang ingin disampaikan mudah dipahami. Dalam menulis sebuah teks, penulis
akan melihat struktur teks. Struktur tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk
membangun sebuah teks yang sistematis. Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan
jenisnya, setiap teks memiliki struktur yang berbeda. Terkait dengan
pembelajaran, terutama aspek menulis dalam bahasa Inggris, seorang peserta didik
harus mengetahui topik, jenis teks, dan struktur teks tertentu.
Berdasarkan teori dan tahapan menulis yang telah dipaparkan, penelitian ini
mengarah pada kegiatan menulis yang dilakukan oleh peserta didik, khususnya
teks berbentuk deskriptif. Dalam implementasinya, peserta didik diajak untuk
20
berlatih dan mengembangkan ide-ide yang diperoleh dari latihan-latihan tersebut.
Selanjutnya, peserta didik menulis teks deskriptif sehingga teks yang dihasilkan
lebih koheren dengan memperhatikan penanda kohesi dalam teks tersebut.
2.2.2 Teks Deskriptif
Berdasarkan modul yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan berjudul “Modul Bahasa Indonesia: Keterampilan Menulis”
(2012:8), diketahui bahwa teks deskriptif adalah tulisan yang berisi tentang
beberapa pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata suatu benda, tempat,
suasana, atau keadaan.
Selanjutnya, berdasarkan modul dari Board of Studies NSW (1998:85), dapat
dipahami bahwa teks deskriptif memiliki fokus pada ciri-ciri suatu benda yang
memiliki dua struktur umum, yaitu identification dan description. Berikut ini
merupakan pemaparan tentang struktur teks deskriptif.
1) Identification merupakan bagian yang mengidentifikasi fenomena yang
dideskripsikan, seperti seseorang yang terkenal, binatang, atau tempat wisata.
2) Description lebih menggambarkan bagian, kualitas, ataupun karakteristik
khusus objek tersebut, seperti warna kulit, potongan rambut, jenis hidung,
atau berat badan seseorang. Dalam teks deskriptif, jenis tense yang digunakan
biasanya bersifat present tense (simple present tense).
Akhirnya, penelitian ini memperhatikan penulisan teks deskriptif sesuai
dengan struktur umumnya yang diintegrasikan dengan strategi yang digunakan
dalam proses pembelajaran.
21
2.2.3 Strategi Tell and Show
Menurut Peha (2003:33), strategi tell and show merupakan cara yang dapat
digunakan untuk mengajarkan sebuah teks deskriptif kepada peserta didik. Terkait
dengan penerapannya dalam proses pembelajaran, strategi ini juga dapat
membantu peserta didik untuk mengumpulkan ide-ide pendukung dalam teks
deskriptif mereka. Berikut ini merupakan keunggulan dari penerapan strategi tell
and show.
1) Melatih peserta didik untuk merinci suatu hal yang akan dideskripsikan serta
fokus pada ciri kebahasaan bahasa yang sesuai dengan teks tertentu.
2) Lebih efisien dalam membantu peserta didik saat membuat sebuah teks
karena mereka telah mendata hal-hal yang penting untuk dipaparkan.
3) Membantu pembaca untuk mengetahui gambaran mental dari peserta didik
dan memahami inti atau gagasan yang ingin disampaikan dalam teks tersebut.
Akan tetapi, terdapat kelemahan pada strategi tell and show. Salah satu
kelemahan strategi ini adalah hanya dapat digunakan untuk mengajarkan beberapa
jenis teks saja, seperti teks deskriptif dan naratif yang mengedepankan
kesistematisan dan gambaran suatu tokoh atau binatang. Selanjutnya, strategi ini
akan berjalan lebih efektif jika didukung dengan media pembelajaran, seperti flash
card. Oleh karena itu, media pembelajaran seperti power point dan flash card
digunakan dalam penelitian ini untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut.
Dalam implementasinya, terdapat beberapa langkah utama yang perlu
diperhatikan. Langkah-langkah penerapan strategi tell and show yang digunakan
dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut.
22
1) Memberikan sebuah kalimat sederhana (tentang suatu benda, seseorang,
binatang, atau tempat) yang harus dideskripsikan oleh peserta didik dan
mereka harus menulisnya dalam kolom TELL.
2) Peserta didik memvisualisasikan suatu benda, seseorang, atau tempat yang
diberikan.
3) Peserta didik menulis ciri-ciri dan kebiasaan (jika menyangkut seseorang
ataupun binatang) pada kolom VISUALIZE AND LIST.
4) Peserta didik menulis teks deskriptif secara utuh pada kolom SHOW sesuai
dengan ciri-ciri atau kebiasaan yang telah ditulis sebelumnya.
Berdasarkan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menggunakan
strategi tell and show, maka berikut ini adalah template yang digunakan dalam
penelitian ini.
TELL
Sentence given by the
teacher
VISUALIZE AND LIST
1) Identification
2) Description (Characteristics and Behaviors)
SHOW
(Identification)………………………………………….……………
…………………
(Description)………………………………………………………….
……………………………………………………………………………….....
..............................................................................................................
……………………………………………………………………………….....
..............................................................................................................
Gambar 2.1 Model template yang diadaptasi dari Peha (2003:36)
23
2.2.4 Experimental Group dan Control Group
Dalam sebuah penelitian eksperimen ini, khususnya post-test only control
group design yang dikemukakan oleh Fraenkel and Wallen (1993), terdapat dua
kelas atau kelompok yang digunakan sebagai subjek penelitian, yaitu
experimental group dan control group. Berikut ini adalah pemaparan tentang
kedua kelompok tersebut.
1) Experimental group adalah kelompok yang mendapatkan serangkaian
tindakan dalam proses belajar mengajar berdasarkan strategi yang diajukan
atau diuji coba.
2) Control group adalah kelompok yang mendapatkan serangkaian tindakan
dengan menerapkan strategi konvensional atau strategi yang biasa digunakan
oleh guru.
Dalam penelitian ini, peserta didik di experimental group belajar menyusun
teks deskriptif melalui penerapan strategi tell and show, sedangkan control group
diajar dengan strategi konvensional yang biasa digunakan oleh guru bahasa
Inggris di kelas tersebut.
2.3 Landasan Teori
Pada bagian ini terdapat empat landasan teori yang digunakan dalam
penelitian ini. Keempat landasan teori yang dimaksud adalah teori pembelajaran
konstruktivisme, metode task-based learning, teori analisis wacana, dan tata
bahasa dalam teks deskriptif.
24
2.3.1 Teori Pembelajaran Konstruktivisme
Pembelajaran merupakan kegiatan dalam upaya meraih pengetahuan.
Menurut Brown (2000:7), pembelajaran merupakan suatu proses dalam
memeroleh atau mendapatkan pengetahuan terhadap subjek atau keterampilan
yang dipelajari melalui belajar, pengalaman, atau instruksi. Selain itu, Brown juga
menambahkan bahwa pembelajaran akan menjadi sebuah perubahan perilaku
yang relatif tetap jika latihan tepat dilakukan secara berulang-ulang.
Faktanya adalah proses pembelajaran dewasa ini lebih fokus kepada peserta
didik (student-centred). Sebagai peserta didik, mereka dituntut untuk menggali
informasi dan memperoleh pengetahuan dari aktivitas yang telah dilakukan. Salah
satu teori yang berterima dengan tujuan tersebut adalah konstruktivisme. Menurut
Bell dan Karhoff (2006:4), suatu proses belajar akan muncul ketika peserta didik
menyatu serta terlibat aktif di dalam kelas yang aktivitas-aktivitasnya menekankan
pada isi dan keterampilan sesuai dengan apa yang sedang dipelajari. Dengan kata
lain, proses pembelajaran akan menjadi efektif ketika peserta didik berpartisipasi
secara aktif ke dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini menggunakan teori
konstruktivisme, yaitu kegiatan berpusat pada peserta didik. Hal ini bertujuan
untuk mendorong peserta didik untuk lebih aktif dan kreatif dalam menggali
informasi sehingga proses pembelajaran lebih efektif terutama kepada peserta
didik itu sendiri. Melalui penerapan teori ini, peserta didik juga diharapkan
mendapatkan pengalaman belajar lebih banyak dan mampu menggali potensi-
potensi yang dimiliki secara maksimal.
25
2.3.2 Metode Task-based Learning
Dalam proses pengajaran, guru dituntut untuk menggunakan metode
pengajaran keterampilan menulis yang dapat mendorong minat dan memotivasi
pembelajar agar keterampilan menulisnya dapat meningkat. Metode pengajaran
yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan menulis antara lain
adalah pembelajaran berbasis tugas (task-based learning). Aplikasi task-based
learning pada proses belajar mengajar adalah guru memberikan tugas-tugas yang
berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai, yakni tujuan komunikatif.
Selanjutnya, menurut Willis (2004:26--27), task-based learning terdiri atas
enam jenis tugas yang dapat diterapkan seperti berikut ini.
1) Pembuatan Daftar
Proses kegiatan ini meliputi dua hal, yakni seperti di bawah ini.
(1) Brainstorming, yaitu peserta didik membagi pengetahuan dan
pengalaman mereka pada teman-teman di kelas atau pada kelompoknya.
(2) Pencarian fakta, yaitu peserta didik mencari tahu sesuatu dengan
bertanya dan merujuk pada buku. Hasil kegiatan ini berupa draft
pemikiran.
2) Pengaturan dan Penyortiran
Tugas ini terdiri atas empat proses utama, yaitu seperti berikut.
(1) Mengurutkan (sequencing items) merupakan perbuatan atau peristiwa
yang berurutan secara logis atau kronologis
(2) Memberi level (ranking items) berhubungan dengan nilai-nilai individu
atau kriteria yang spesifik.
26
(3) Mengategorikan (categorizing items) merupakan pengelompokan sesuai
dengan kategorinya.
(4) Mengklasifikasikan (classifying items in different ways) dilakukan saat
pengategorian tidak diberlakukan.
3) Perbandingan
Bagian ini bermaksud untuk mengidentifikasikan tujuan atau maksud yang
sama dan/atau yang berbeda.
4) Pemecahan Masalah
Tugas-tugas pemecahan masalah menuntut pengetahuan intelektualitas
peserta didik dan kekuatan pikiran. Tugas-tugas tersebut menarik dan
menyenangkan untuk dipecahkan. Proses-proses pengerjaan dan waktu yang
diberikan sangat bervariasi tergantung pada jenis dan kompleksitas masalah.
5) Saling Berbagi Pengalaman Pribadi
Tugas-tugas ini mendorong peserta didik untuk membagi pengalaman mereka
dengan peserta didik lain.
6) Tugas Kreatif
Tugas-tugas tersebut juga memiliki lebih banyak tingkat kesulitan
dibandingkan dengan tugas-tugas lainnya dan dapat dilakukan
pengombinasian beberapa jenis tugas.
Berdasarkan pemaparan teori konstruktivisme sebelumnya, diketahui bahwa
terdapat keterkaitan dengan metode task-based learning yang dapat membantu
jalannya proses belajar peserta didik di dalam kelas. Penerapan teori
konstruktivisme sebagai teori pembelajaran akan memudahkan guru dalam
27
menilai situasi belajar yang cocok dengan peserta didik dan memberikan
kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan pengetahuan dari usaha mereka
sendiri. Dalam implementasinya, peserta didik mendapatkan kesempatan
mengekspresikan diri terkait dengan sesuatu yang akan dideskripsikan.
Di sisi lain dilihat dari jenis penugasan yang diberikan terkait dengan jenis
teks deskriptif, terdapat dua jenis tugas, yaitu pembuatan daftar (listing) serta
pengaturan dan penyortiran (ordering and sorting). Selanjutnya, terdapat pula
tahapan-tahapan dalam menulis yang perlu diperhatikan di dalamnya dan
penerapannya ke dalam proses pembelajaran.
2.3.3 Teori Analisis Wacana
Analisis wacana memiliki fokus pada bahasa. Salah satu diantaranya
berbentuk tulisan sehingga para pembaca dapat memahami dengan baik setiap
kata-kata yang menyusunnya (Gee, 1999:85). Menurut Arifin (2012:48), terdapat
dua komponen penting dalam sebuah wacana jika dilihat dari sisi strukturnya,
yaitu kohesi dan koherensi.
2.3.3.1 Kohesi
Dalam menulis sebuah teks, peranan kohesi tidak dapat dilepaskan begitu
saja. Hal ini terjadi karena terdapat sekumpulan sumber yang dapat dijadikan
sebagai pembentuk hubungan yang melebihi dari sekadar tata bahasa dalam
sebuah teks (Halliday, 1994:311). Selanjutnya, Widdowson (2007:46)
menyatakan bahwa terdapat penanda kohesi yang dapat menghubungkan bagian-
bagian sebuah teks agar menjadi utuh. Oleh karena itu, kohesi dapat dikatakan
28
sebagai ‘katalis’ dari bagian-bagian teks yang membuat teks tersebut menjadi utuh
dan mudah dipahami oleh pembaca.
Menurut Halliday dan Hasan (1976), terdapat dua jenis kohesi, yaitu kohesi
gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal memiliki fokus yang lebih pada
teks deskriptif. Oleh karena itu, penelitian ini hanya fokus pada komponen kohesi
gramatikal.
Dalam kohesi gramatikal terdapat empat penanda, yaitu referensi, substitusi,
elipsis, dan konjungsi. Berikut ini merupakan pemaparan dari tiap-tiap penanda
yang terdapat pada kohesi gramatikal.
1) Referensi
Referensi digunakan untuk mempermudah pembaca dalam memahami
informasi sesuai dengan konteks atau situasi. Terdapat dua jenis referensi, yaitu
endofora dan eksofora. Berbeda dengan endofora, eksofora tidak berperan
dalam kohesi secara tekstual. Dalam bahasa Inggris, terdapat beberapa contoh
yang dapat digunakan seperti penggunaan kata ganti I, you, they, we, she, he,
dan it. Selain itu, juga terdapat serta kata sifat untuk menyatakan kepunyaan,
seperti my, your, their, our, her, his, dan its.
Contoh: This is a bear. It has a big body. Its fur is brown.
2) Substitusi
Substitusi lebih menekankan pada hubungan kata-kata. Dalam teks deskriptif,
substitusi yang biasanya muncul adalah substitusi yang bersifat nominal.
Contoh: There are some beautiful birds in the zoo. One of them has a big peak.
29
3) Elipsis
Elipsis merupakan sesuatu yang melesap dalam sebuah teks. Berikut ini contoh
elipsis.
Contoh: (a) The pandas like to eat bamboo.
(b) They like to swim in a pool.
(c) The pandas like to eat bamboo and swim in a pool.
Elipsis terjadi pada kata ganti they dan like dalam kalimat (b) sehingga kalimat
(c) menjadi The pandas like to eat bamboo and swim in a pool. Elipsis ini
terjadi karena kata ganti they dalam kalimat (b) mengacu pada the pandas
dalam kalimat (a), sedangkan kata kerja like melesap karena kata kerja serupa
sudah digunakan pada kalimat (a) sehingga kalimat (c) menjadi lebih efektif.
4) Konjungsi
Konjungsi digunakan untuk menghubungkan satu proposisi dengan proposisi
lain agar ide, baik dalam satu kalimat maupun antarkalimat, dapat terhubung
dengan baik. Pada teks deskriptif, terdapat beberapa konjungsi yang biasanya
ditemukan, seperti and, and also, or, in the other words, in fact, only, but, then,
because, dan next.
2.3.3.2 Koherensi
Penyusunan sebuah teks tentunya memiliki tujuan untuk menuangkan ide atau
gagasan para penulisnya. Oleh karena itu, kalimat-kalimat yang menyusun teks
tersebut hendaknya dipaparkan dengan sistematis sehingga mudah dipahami oleh
para pembaca. Bila dikaitkan dengan hal tersebut, maka keselarasan penyampaian
30
ide menjadi hal yang perlu diperhatikan, yang dalam konteks ini adalah koherensi
teks itu sendiri.
Menurut Martin (2001:35), koherensi merupakan aspek yang penting dalam
sebuah teks agar mudah dipahami oleh pembacanya. Jorgensen dan Philips
(2002:75) menyatakan bahwa kekoherensian pada sebuah teks hendaknya dijaga
dan diperhatikan oleh penulis agar ide yang dipaparkan mudah ditangkap oleh
pembacanya. Selanjutnya, Zaimar dan Harahap (2009:85) menambahkan bahwa
koherensi merupakan keterkaitan antara unsur-unsur pada wacana, seperti susunan
ide atau gagasan dan hubungan antargagasan tersebut. Dengan kata lain, koherensi
mempermudah pembaca untuk memahami makna pada suatu wacana. Oleh karena
itu, setiap penulis perlu mencermati dengan baik langkah-langkah penyusunan ide
ataupun gagasan dalam sebuah teks agar inti teks yang dibuat menjadi jelas atau
tidak membingungkan para pembaca.
Selanjutnya, terdapat tiga macam koherensi pada sebuah wacana, yaitu
sebagai berikut.
1) Koherensi pada Tataran Klausa dan Kalimat
Berikut adalah contoh koherensi pada tataran klausa.
(1) Panda eats bamboo.
(2) Bamboo eats Panda.
Kalimat (1) di atas berterima karena memang ada kesesuaian antara kata
‘eats’ dan ‘Panda’ yang merupakan seekor binatang besar yang gemar memakan
bambu. Sebaliknya, kalimat (2) tidak berterima karena tidak terdapat kesesuaian
31
makna yang terjalin antara kata ‘bamboo’ dan ‘eats’ karena yang seharusnya
dimakan adalah bambu bukan seekor panda.
2) Koherensi pada Tataran Wacana
Koherensi pada tataran wacana (antarkalimat) sangat erat berkaitan dengan
konsep yang dipaparkan. Berikut ini adalah pemaparan tentang koherensi jenis ini.
(1) Kontinuitas Konsep dan Relasi yang Relevan
Zaimar dan Harahap (2009:87) menyatakan bahwa pada sebuah wacana
yang ditampilkan bukan hanya kesesuaian antarmakna kata, melainkan juga
keberlangsungan antarkonsep yang relevan. Dalam upaya memberikan
penjelasan terperinci, disajikan contoh kontinuitas konsep dan relasi yang
relevan dalam sebuah teks berikut ini.
The giant panda lives in the forest areas in the central China. It is
black and white. It has a short body, short, strong legs and big teeth. It
weighs about 150 kilograms. Its main diet is bamboo and it eats for about 12
a day. Pandas live for about 25 years in the wild. There are fewer than 1,000
pandas in the wild and only 100 in zoos. It is an endangered species.
Adapted from: Can Do: Student’s Book 1
Pada contoh di atas, konsep ‘the giant panda’, ‘bamboo’, dan ‘an
endangered species’ memiliki hubungan yang erat karena panda merupakan
hewan herbivora yang gemar memakan ‘bamboo’. Di samping itu, panda juga
merupakan salah satu spesies di dunia yang terancam populasinya.
32
(2) Perkembangan
Perkembangan sebuah wacana harus disertai dengan penambahan unsur
semantik yang selalu diperbaharui. Hal ini dapat dilihat, baik dari urutan
kalimat yang digunakan maupun pada urutan yang berkaitan satu sama lain.
Selanjutnya, sebuah teks deskriptif disajikan dalam upaya menjelaskan bagian
perkembangan seperti berikut ini.
Uluru National Park is Australia’s top tourist attraction. There are
more than 170 different animal species in the park, including wild dogs and
kangaroos, lizards, snakes, spiders, and parrots.
The most famous place in our park is Ayers Rock, also known as
Uluru. It is 348 metres high and nine kilometres in diameter. The rock can
change colour depending on the time of day. It is a fantastic experience to
watch this.
There are many spectacular walks in the park but you must always
be prepared! Here are some important rules when walking in the park; you
must carry water, you must not touch the snakes, you must read every sign,
and you must not light fires.
Adapted from: Can Do: Students: Student’s Book 1
Wacana di atas dapat dikatakan memiliki koherensi yang baik karena
dalam wacana tersebut tidak hanya terdapat keindahan objek wisata tersebut,
tetapi juga peraturan-peraturan yang berlaku untuk menjaga kelestariannya.
(3) Tidak Terdapat Kontradiksi
Sebuah wacana yang koheren hendaknya tidak menunjukkan kontradiksi
di dalamnya. Dalam proses penyusunannya, hendaknya susunan ide-ide yang
digunakan saling mendukung satu sama lain.
33
(4) Terdapat Identitas Individual
Dalam sebuah teks terdapat sebuah hal penting yang dapat membuatnya
menjadi koheren, yaitu identitas individual. Dengan kata lain, identitas
individual merupakan segala hal yang mampu menjelaskan inti dari sebuah
teks dan memiliki acuan yang jelas terhadap konsep-konsep yang dipaparkan.
(5) Perlunya Seleksi ‘Fakta’ yang akan Ditampilkan
Dalam upaya membangun koherensi dalam sebuah teks, perlu adanya
perhatian terhadap pemilihan atau penyeleksian “fakta” yang akan
ditampilkan. Hal ini penting karena fakta yang dipaparkan dapat saja meluas
sehingga dapat menimbulkan kejenuhan bagi pembacanya. Oleh karena itu,
penggunaan fakta-fakta yang relevan akan membuat sebuah teks menjadi
lebih efektif.
3) Koherensi pada Wacana Deskriptif
Dalam wacana deskriptif umumnya terdapat hubungan antara ruang dan
waktu. Hal ini menandakan bahwa objek yang dideskripsikan dapat dilihat dari
adanya perubahan ruang dan waktu.
Contoh : Crocodile lives in the river.
Berdasarkan contoh di atas, diketahui bahwa setiap orang biasanya memiliki
pandangan yang hampir serupa, yaitu seekor buaya hidup di sungai. Hal ini
mengindikasikan bahwa ketika mendeskripsikan sesuatu, seseorang pasti melihat
apa, di mana, dan kapan hal tersebut terjadi atau ditemukan.
34
Selanjutnya, dalam sebuah teks, tanda baca juga perlu diperhatikan untuk
menentukan apakah teks tersebut memilki koherensi yang baik. Mullik (2010:1)
menyatakan bahwa tanda baca dan ejaan penting dalam sebuah hasil tulisan
karena akan memudahkan pembaca untuk memberikan penafsiran. Terkait dengan
hal tersebut, Greco dkk. (2006:1) menyatakan bahwa tanda baca merupakan
simbol dari bahasa itu sendiri. Berdasarkan modul dari Universitas Lincoln
(2013:3), dapat dipahami bahwa tanda baca dapat membantu para pembaca untuk
memahami makna sebuah kalimat. Penggunaan tanda baca sangat penting dalam
menjelaskan makna dari apa yang telah ditulis. Dalam teks deskriptif tanda yang
biasanya ditemukan adalah tanda titik (.), koma (,), dan huruf kapital untuk
memulai sebuah kalimat. Di sisi lain, menurut Deparment of Education and
Training (1998:7) ‘belajar’ untuk menulis yang baik juga meliputi ‘belajar’ untuk
memperhatikan ejaan. Dalam bahasa Inggris, tujuan ejaan adalah sebagai berikut.
(1) Untuk membangun sebuah makna.
(2) Untuk memberikan makna yang mudah dimengerti oleh pembaca.
Sehubungan dengan itu, dalam menilai koherensi pada teks, keberadaan tanda
baca dan ejaan juga mendapatkan perhatian khusus dalam penelitian ini. Artinya,
tidak hanya membantu dalam penyusunan rubrik penilaian, tetapi juga pemaparan
data. Dengan kata lain, pemaparan hasil teks deskriptif peserta didik menjadi lebih
jelas dan akurat.
Berdasarkan pemaparan tentang analisis wacana yang meliputi aspek penanda
kohesi dan koherensi, maka dapat dirumuskan model linguistik. Model linguistik
yang dirancang berikut ini digunakan sebagai cakupan materi dalam pembelajaran
35
agar menjadi lebih fokus serta menjadi acuan dalam menyusun rubrik penilaian
yang sesuai. Berikut ini adalah gambar model linguistik yang dipaparkan.
Gambar 2.2 Model Linguistik
Dalam implementasinya pada penelitian ini, pemahaman tentang penanda
kohesi yang mendukung pula meningkatnya koherensi pada sebuah teks menjadi
elemen dalam pengajaran yang tentu saja dikaitkan dengan teks deskriptif. Elemen
tersebut berupa ciri kebahasaan teks deskriptif yang meliputi tata bahasa dan
struktur umum teks deskriptif dijelaskan lebih terperinci pada strategi yang
digunakan pada bagian berikutnya.
36
2.3.4 Tata Bahasa dalam Teks Deskriptif
Setiap bahasa tentu memiliki ciri ketatabahasaan yang berbeda-beda, tidak
terkecuali bahasa Inggris. Pada bahasa Inggris, jenis tata bahasa dikategorikan ke
dalam tiga golongan waktu sesuai dengan konteks kapan bahasa itu digunakan
seperti berikut ini (Seaton dan Mew, 2007).
1) Present Tense
Tense jenis ini digunakan untuk mengungkapkan suatu fakta atau kebenaran
dan kegiatan sehari-hari.
2) Past Tense
Tense jenis ini digunakan dalam mengungkapkan kejadian yang terjadi pada
masa lampau. Selain itu, tense ini juga digunakan pada sebuah cerita, dongeng,
atau hikayat.
3) Future Tense
Tense ini digunakan dalam menyatakan hal-hal yang belum terjadi, tetapi akan
terjadi, seperti menyatakan sebuah rencana.
Terkait dengan penggunaannya dalam teks deskriptif, jenis tense yang
ditemukan adalah present tense, terutama simple present tense. Hal ini disebabkan
oleh teks deskriptif merupakan teks yang mendeskripsikan sesuatu, yang tentu
saja mengungkapkan fakta di dalamnya. Selain itu, teks deskriptif juga dapat
digunakan untuk menyatakan kegiatan yang rutin berlangsung dan pernyataan itu
diutarakan dalam bentuk tulisan. Berikut ini adalah pola simple present tense
menurut Seligson (2012:100--102).
37
1) Pola dasar simple present tense (verbal sentence)
1.
Affirmative (+)
a. I/ You/ They/ We + V1 (Infinitive)
I Live in Denpasar.
b. She/ He/ It + V1 (-s atau –es)
She Lives in Denpasar.
2.
Negative (-)
a. I/ You/ They/ We + do not/ don’t +V1
I do not Live in Denpasar.
b. She/ He/ It + does not +V1
She does not Live in Denpasar.
3.
Interrogative (?)
a. Do + I/ you/ they/ we + V1 (?)
Do You live in Denpasar ?
b. Does + she/ he/ it + V1 (?)
Does She live In Denpasar ?
2) Pola dasar simple present tense (nominal sentence)
1.
Affirmative (+)
a. I + am
I am thirteen years old.
b. You/ They/ We + are
They Are thirteen years old.
c. She/ He/ It + is
He Is thirteen years old.
2.
Negative (-)
a. I + am + not
I Am Not thirteen years old.
b. You/ They/ We + are + not
They Are Not thirteen years old.
c. She/ He/ It + is + not
He Is Not thirteen years old.
3.
Interrogative (?)
a. Are you/ they/ we (?)
Are They thirteen years old. ?
b. Is she/ he/ it (?)
Is He thirteen years old. ?
38
Selanjutnya, dalam penelitian ini penggunaan tata bahasa dalam teks
deskriptif ini berposisi sebagai pendukung dalam analisis koherensi. Selain itu,
penilaian terkait dengan penggunaan tata bahasa juga digunakan dalam
menentukan apakah proses pembelajaran menulis teks deskriptif berjalan baik
atau tidak. Berdasarkan teori pembelajaran bahasa yang bersinergi dengan metode
pembelajaran, maka strategi tell and show digunakan untuk memberikan
gambaran jelas tentang bagaimana menyusun teks yang tidak hanya koheren,
tetapi juga dari segi penggunaan tata bahasanya.
Berdasarkan pemaparan tentang konsep dan landasan teori, dapat disimpulkan
bahwa teori pembelajaran konstruktivisme sesuai dengan metode task-based
learning. Sehubungan dengan itu, strategi tell and show dapat diimplementasikan
ke dalam proses belajar mengajar, terutama pada kegiatan menulis teks deskriptif.
Dengan kata lain, dalam implementasinya di dalam kelas, strategi tell and show
dijadikan salah satu elemen penting dari proses pembelajaran yang diberikan
dalam kurun waktu tertentu hingga nantinya didapatkan hasil karya peserta didik
berupa teks deskriptif. Bersamaan dengan penggunaan strategi tell and show
tersebut, juga terjadi pemahaman tentang penanda kohesi yang dapat membantu
sebuah teks deskriptif peserta didik menjadi koheren. Di samping itu, juga
diintegrasikan pemahaman tentang bentuk simple present tense agar proses
pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien. Di pihak lain, pemberian pujian
juga dilakukan untuk meningkatkan motivasi peserta didik dan mendapatkan
respons yang lebih baik dalam bentuk teks deskriptif.
39
Dalam upaya mendukung analisis kualitatif pada penelitian ini dilakukan
analisis konstrastif tentang penggunaan kata ganti dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris. Hal ini dilakukan untuk membantu dalam menganalisis penyebab
kesalahan yang ditemukan dalam teks deskriptif peserta didik. Berikut ini
dikemukakan kata ganti yang ditemukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris.
Tabel 2.1 Kata Ganti yang Terdapat pada Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
Sebagai subjek Sebagai objek Menyatakan
kepemilikan
Aku
(Kata ganti orang
pertama tunggal)
I Me My
Kamu
(Kata ganti orang kedua
tunggal atau jamak) You You Your
Engkau
(Kata ganti orang kedua
tunggal)
Mereka
(Kata ganti orang ketiga
jamak)
They Them Their
Kami
(Kata ganti orang
pertama jamak) We Us Our
Kita
(Kata ganti orang
pertama jamak)
Dia, Ia
(Kata ganti orang ketiga
tunggal)
She Her Her
He Him His
It It Its
Penggunaan kata ganti dalam bahasa Indonesia tidak memperhatikan gender
subjek atau objek, sedangkan dalam mempelajari bahasa Inggris, peserta didik
harus memperhatikan gender agar kata ganti yang digunakan tepat. Sebagai
40
contoh, dalam bahasa Indonesia terdapat kata ganti Dia atau Ia, yaitu kata ganti
orang ketiga tunggal untuk menunjukkan subjek, baik laki-laki maupun
perempuan. Di sisi lain, dalam bahasa Inggris, terdapat kata ganti he, yaitu kata
ganti orang ketiga tunggal untuk laki-laki, she untuk perempuan, dan it untuk
benda dan binatang.
Hal lainnya adalah dalam bahasa Inggris terdapat perbedaan kata ganti jika
digunakan sebagai subjek dan objek pada sebuah kalimat, tetapi tidak ditemukan
dalam bahasa Indonesia. Kata ganti yang dapat digunakan sebagai objek dalam
bahasa Inggris, yaitu me, you, them, us, her, him, dan it. Selanjutnya, terdapat
pula kata ganti dalam bahasa Inggris yang digunakan untuk menyatakan
kepemilikan, seperti my, your, their, our, her, his, dan its.
Dengan kata lain, berdasarkan topik teks deskriptif yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu kebun binatang, maka kata ganti yang menjadi permasalahan
bagi peserta didik adalah kata ganti they, them, their, she, her, he, him, his, it, dan
its. Hal ini terjadi karena peserta didik masih dipengaruhi oleh penggunaan kata
ganti dalam bahasa pertama mereka, yaitu bahasa Indonesia ketika mereka belajar
bahasa Inggris. Salah satu ketentuan dalam menggunakan kata ganti bahasa
Inggris, yaitu harus memperhatikan gender subjek kalimat.
Selain melihat sumber kesulitan yang dapat dialami peserta didik dalam
menggunakan kata ganti saat belajar bahasa Inggris, kesulitan juga dapat dihadapi
oleh peserta didik ketika menyusun sebuah kalimat yang dalam penelitian ini
adalah persesuaian kata kerja pada simple present tense. Dalam bahasa Inggris
persesuaian kata kerja berimplikasi pada perubahan infleksional pada verba.
41
Perubahan infleksional tersebut terjadi dengan cara menambahkan akhiran –s atau
–es pada kata kerja. Hal tersebut sangat berbeda dengan bahasa Indonesia karena
tidak mengenal adanya inflectional morphemes –s dan –es. Selain itu, dalam
bahasa Indonesia tidak dikenal persesuaian verba untuk bentuk jamak dan tunggal
seperti dalam bahasa Inggris. Perbandingan persesuaian kata kerja antara bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris (dalam simple present tense) tersebut dipaparkan ke
dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.2 Perbandingan Persesuaian Verba dalam Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris
Bahasa Inggris Bahasa Indonesia
I + infinitive
Ø
You + infinitive
We + infinitive
They + infinitive
She + infinitive {-s/ -es}
He + infinitive {-s/ -es}
It + infinitive {-s/ -es}
Berdasarkan tabel 2.2 di atas, diketahui bahwa bahasa Inggris memiliki
persesuaian verba berdasarkan subjek yang digunakan, sedangkan dalam bahasa
Indonesia tidak terdapat persesuaian verba untuk subjek jamak dan tunggal.
Khususnya pada kalimat dalam bahasa Inggris yang menggunakan kata ganti
orang ketiga tunggal, terdapat inflectional morphemes, yaitu penambahan akhiran
–s atau –es pada kata dasar. Dengan kata lain, sumber kesulitan peserta didik
dalam menyusun kalimat berbentuk simple present tense adalah pada persesuaian
verba, baik gender maupun number, subjek yang digunakan.
42
2.4 Model Penelitian
Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
penelitian eksperimen yang berbasis metode kuantitatif. Penelitian ini
menggunakan dua kelas VIII di SMP Negeri 1 Denpasar. Berdasarkan pemaparan
pada bagian konsep dan teori sebelumnya, dapat dipahami bahwa langkah-
langkah yang dilaksanakan dapat dirumuskan ke dalam bagan seperti berikut ini.
Gambar 2.3 Model Penelitian
43
Berdasarkan bagan penelitian di atas, berikut ini dipaparkan lebih terperinci
langkah-langkah yang diambil dalam penelitian.
1) Penelitian ini berlandaskan analisis wacana yang mengandung penanda
kohesi dalam upaya meningkatkan kualitas teks deskriptif peserta didik.
Penanda kohesi menjadi fokus utama penelitian ini karena penanda kohesi
dipandang sangat penting dalam membuat sebuah teks menjadi lebih koheren
sehingga lebih mudah dipahami.
2) Model penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang dilengkapi dengan
pemaparan secara kuantitatif dan kualitatif. Pemaparan secara kuantitatif
digunakan untuk memaparkan hasil penelitian berupa angka yang dituangkan
ke dalam tabel dan diagram batang, sedangkan secara kualitatif, hasil
penelitian tersebut dideskripsikan agar lebih mudah dipahami.
3) Penelitian ini diawali dengan pemberian pre-test terkait dengan keterampilan
menulis peserta didik di Kelas VIII. Pelaksanaan pre-test ini juga menjawab
rumusan masalah yang pertama, yaitu untuk mengetahui bagaimana
penggunaan penanda kohesi yang mendukung koherensi teks tersebut.
4) Penentuan experimental group dan control group dilakukan dengan cara
melihat nilai rerata keterampilan menulis dari dua kelas yang hampir serupa
sebelum mengadakan pre-test dan mengundi (lottery) kelas yang ditetapkan
menjadi experimental group dan control group.
5) Dalam experimental group, teori belajar konstruktivisme diturunkan ke dalam
metode task-based learning, strategi tell and show hingga penerapannya pada
treatment yang diberikan di dalam kelas.
44
6) Dalam control group, pembelajaran menggunakan teori, metode, dan strategi
yang biasa (konvensional) digunakan oleh guru pengajar.
7) Penanda kohesi yang mendukung koherensi teks deskriptif juga dapat dilihat
dari penggunaan tanda baca, ejaan, dan didukung dengan penggunaan tata
bahasa yang sesuai dengan metode dan strategi yang diterapkan di tiap-tiap
kelas. Hal ini dilakukan untuk menyamaratakan unsur kebahasaan yang akan
diajarkan karena nantinya penelitian eksperimen ini akan melihat pengaruh
strategi tell and show terhadap kualitas teks deskriptif peserta didik.
8) Pelaksanaan post-test untuk kedua kelas dilaksanakan setelah serangkaian
tindakan diberikan.
9) Penilaian dilakukan dengan mengkaji aspek penanda kohesi dan koherensi
yang tidak lepas dari pengaruh ejaan serta penggunaan tata bahasa yang tepat.
Dengan kata lain, dalam penilaian ini rubrik akan disesuaikan dengan aspek-
aspek tersebut.
10) Penarikan simpulan dilakukan untuk menjawab rumusan masalah kedua dan
ketiga.
Hal lainnya adalah untuk memaparkan hasil yang lebih jelas terkait dengan
teks deskriptif peserta didik, maka data yang diperoleh berupa angka ditampilkan
ke dalam bentuk tabel dan diagram batang sebagai representasi hasil penelitian
ini. Selanjutnya, melalui tabel dan diagram batang tersebut, penjelasan secara
kualitatif juga diberikan sehingga didapatkan pemaparan arah penelitian ini
menjadi lebih jelas.
45
2.5 Hipotesis
Berdasarkan teori dan konsep dari strategi tell and show dan keterkaitannya
dengan hasil teks deskriptif peserta didik, berikut ini telah disusun hipotesis
penelitian ini.
H1: µA1 ≠ µA2
Keterangan
1) µA1 : Nilai rerata experimental group yang diajarkan dengan strategi tell and
show
2) µA2 : Nilai rerata control group yang diajarkan dengan strategi konvensional
Berdasarkan rumus tersebut, maka hipotesis penelitian ini dapat dikatakan
bahwa terdapat perbedaan kemampuan yang signifikan antara peserta didik yang
diajar dengan strategi tell and show dan mereka yang diajarkan dengan strategi
konvensional yang biasa digunakan oleh guru mata pelajaran bahasa Inggris.