bab ii kajian pustaka -...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan
2.1.1 Strategi
Suatu organisasi mempunyai tujuan yang
ingin dicapai. Untuk mencapai tujuan diperlukan
suatu strategi. Menurut Chandler (dalam Rangkuti,
2006: 3) Strategi merupakan alat untuk mencapai
tujuan organisasi dalam kaitannya dengan tujuan
jangka panjang, program tindak lanjut, serta
prioritas alokasi sumber daya. Sanjaya (2006:126)
berpendapat bahwa strategi adalah metode yang
digunakan untuk memperoleh kesuksesan atau
keberhasilan dalam mencapai tujuan. Berdasarkan
teori para pakar di atas dapat dipahami bahwa
strategi adalah metode yang digunakan oleh
sebuah organisasi untuk mendapatkan
keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi.
Dalam menentukan strategi sangat perlu
merumuskan sebuah tujuan organisasi yang jelas
dan harus mengetahui faktor-faktor yang
mendukung keberhasilan dalam mencapai tujuan
organisasi tersebut. Sebuah organisasi berharap
dapat menggunakan strategi secara tepat sehingga
tujuannya dapat tercapai, yaitu meningkatkan
mutu organisasinya. Salah satu indikator yang
menunjukkan suatu organisasi bermutu dapat
dilihat dari kinerjanya.
7
8
Moeheriono (2009:60) mengatakan bahwa
kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu program atau
kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi
dan misi organisasi yang dituangkan melalui
strategi suatu organisasi. Muhaimin (2011)
berpendapat bahwa strategi merupakan kebijakan-
kebijakan penting dari sekolah yang penting untuk
diambil agar dapat digunakan sebagai patokan
dalam pembuatan program. Sekolah merupakan
salah satu organisasi yang harus mempunyai
strategi untuk meningkatkan dan mengembangkan
mutu sekolah. Strategi ini akan dicapai dalam
jangka panjang (20 tahun) dan menengah (5
tahun), hal ini akan menjadi acuan rencana jangka
pendek (1 tahun). Dari kedua pendapat ini dapat
dipahami bahwa keberhasilan strategi yang
diterapkan di sekolah dapat dilihat dari kinerja dari
kinerja sekolahan tersebut.
Berdasarkan pendapatpara pakar di atas
dapat dikatakan bahwa dalam konteks pendidikan,
strategi adalah kebijakan-kebijakan yang penting
dari sekolah untuk mencapai tujuan yaitu
meningkatkan dan mengembangkan mutu sekolah.
Strategi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
draf yang disampaikan ke forum sekolah dan tidak
perlu sampai keputusan. Perumusan tujuan yang
jelas dan faktor-faktor yang menyebabkan
keberhasilan dalam mencapai tujuan perlu
dipertimbangkan dalam menyusun sebuah strategi.
Strategi yang tepat akan mengantarkan sekolah
9
pada keberhasilan dalam mencapai tujuannya.
Untuk mendapatkan strategi yang tepat, sekolah
memerlukan mengetahui informasi tentang faktor-
faktor di sekolah yang dapat mendukung
keberhasilan dalam mencapai tujuan. Oleh karena
itu, sekolah perlu menganalisis faktor-faktor
tersebut. Dengan melakukan analisis ini,
diharapkan dapat memberikan informasi yang bisa
dijadikan sebagai acuan dalam menyusun suatu
strategi.
2.1.2 Mutu Pendidikan
Secara umum mutu adalah gambaran
kemampuan barang atau jasa memuaskan
kebutuhan yang diharapkan. Menurut Crosby
(dalam Nasution, 2005) mutu adalah sesuai dengan
yang diisyaratkan atau yang distandarkan.
Sedangkan Koswara (dalam Amtu, 2011)
mengatakan bahwa mutu adalah kondisi yang
terkait dengan kepuasan pelanggan terhadap
barang atau jasa yang diberikan oleh produsen.
Pengertian mutu menurut Sallis (2006: 22) adalah
konsep yang absolut sekaligus relatif. Mutu dalam
konsep absolut memiliki pengertian bahwa mutu
merupakan suatu idealisme yang tidak dapat
dikompromikan. Dalam konsep relatif mutu
merupakan sesuatu yang memuaskan dan
melampaui keinginan kebutuhan pelanggan
(quality in perception). Danim (2007: 53)
mengatakan, mutu mengandung makna derajat
keunggulan sesuatu produk atau hasil kerja, baik
10
berupa barang atau jasa. Berdasarkan pendapat
diatas mutu adalah kemampuan suatu produk
atau hasil kerja yang berupa barang atau jasa
dalam memuaskan dan melebihi kebutuhan yang
diharapkan oleh pelanggan.
Dalam bidang pendidikan, mutu meliputi
input, proses dan output yang ada dalam dunia
pendidikan (Sukmadinata, 2006). Input pendidikan
yang dimaksud adalah semua yang dibutuhkan
untuk berjalannya suatu proses. Sedangkan proses
adalah proses pengambilan sebuah keputusan,
proses dalam belajar mengajar, pengelolaan
organisasi proses pengelolaan program, dan proses
monitoring dan evaluasi, dapat dikatakan bahwa
proses belajar mengajar merupakan paling penting
dibandingkan dengan proses - proses lainnya.
Output pendidikan yaitu capaian sebuah proses
pendidikan. Output sekolah bermutu tinggi apabila
prestasi siswanya tinggi dalam prestasi akademik
yang berupa nilai ulangan umum, Ujian Sekolah,
lomba akademik; dan prestasi non-akademik,
seperti Pramuka. Sementara Sagala (2010)
menjelaskan mutu adalah gambaran secara utuh
tentang jasa pelayanan pendidikan secara internal
maupun eksternal yang menunjukkan
kemampuannya memuaskan kebutuhan yang
diharapkan atau yang tersirat. Menurut Chapmans
(dalam Amtu, 2011), mutu pendidikan meliputi: 1)
context: kualitas pendidikan secara jelas boleh
mengacu pada input (jumlah guru, banyaknya
pelatihan guru, banyaknya buku teks); 2) process:
11
kualitas pendidikan boleh mengacu pada jumlah
waktu pembelajaran langsung dan peningkatan
belajar aktif; 3) output: kualitas pendidikan boleh
mengacu pada skor tes dan jumlah rata-rata
lulusan yang tinggi; dan 4) outcome: kualitas
pendidikan boleh mengacu pada kinerja atau
pencapaian target dan tujuan spesifik. Sedangkan
Leba (2013), berpendapat terdapat empat
pandangan yang berkembang untuk memaknai
tentang mutu pendidikan empat, yaitu: (1) Mutu
Pendidikan dipandang berdasarkan kemampuan
peserta didik setelah mempelajari suatu materi
pelajaran. Hal ini dibuktikan dengan nilai raport
atau nilai Ujian Sekolah. (2) Mutu pendidikan
dipandang dari produktivitas keluarannya, yakni
pekerjaan yang diperoleh, tingkat gaji dan status.
(3) Mutu Pendidikan dipandang berdasarkan
kriteris sosial yang lebih luas, misalnya pandai
dalam berpidato, terampil memimpin organisasi,
pandai berdiplomasi. (4) Mutu pendidikan ditinjau
dari komponen pendidikan ditinjau dari komponen
pendidikan yang bermutu seperti keadaan guru
(jumlah dan kualifikasi pendidikan guru).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan
mutu pendidikan adalah kemampuan sekolah
dalam mengelola komponen – komponen yang ada
di sekolah sehingga menghasilkan lulusan yang
memiliki pencapaian prestasi belajar yang tinggi.
12
2.1.3 Peningkatan Mutu Pendidikan
Djauzak (dalam Nuraniyah, 2012)
mengatakan peningkatan mutu pendidikan adalah
kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara
operasional dan efisien terhadap komponen-
komponen yang ada di sekolah sehingga
menghasilkan nilai tambah terhadap komponen
tersebut menurut norma/standar yang berlaku.
Menurut Zamroni (2007) peningkatan mutu
berkaitan dengan target yang harus dicapai, proses
untuk mencapai dan faktor-faktor yang terkait.
Dalam peningkatan mutu perlu diperhatikan dua
aspek, yaitu aspek kualitas dan aspek proses
mencapai hasil tersebut. Dari pendapat - pendapat
tersebut dapat dikatakan bahwa peningkatan
mutu pendidikan adalah suatu proses yang
dilakukan oleh sekolah dengan melibatkan
komponen-komponen yang ada untuk
meningkatkan kualitas hasil sesuai dengan tujuan
sekolah, yaitu prestasi belajar siswa yang tinggi.
2.2 Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Mulyasa (2009) menyatakan, Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) merupakan pemberian
kewenangan yang luas kepada sekolah agar
sekolah dapat lebih leluasa dalam mengelola
sumber daya dan sumber dana sesuai
kebutuhannya. Sedangkan menurut Hasbullah
(2006), MBS merupakan model pengelolaan yang
menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan
13
keputusan. Dari pendapat tersebut dapat dipahami
bahwa MBS adalah pemberian kewenangan yang
luas kepada sekolah untuk mengelola komponen
yang ada dan mengambil keputusan demi
tercapainya tujuan sekolah. Namun dalam
melaksanakan kewenangannya, sekolah juga harus
memperhatikan skala prioritas kebutuhan dari
sekolah tersebut.
2.2.1 Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Rohiat (2008) berpendapat bahwa tujuan
MBS adalah meningkatkan kinerja sekolah melalui
pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang
lebih besar (otonomi) untuk mengelola potensi
sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya
manusia maupun sumber daya lainnya (uang,
peralatan dan waktu). Sedangkan Slamet (dalam
Widiasmara, 2007) mengungkapkan bahwa tujuan
MBS adalah untuk usaha pemberdayaan sekolah,
melalui pengelolaan sumber daya manusia yang
dan sumber lainnya ada di sekolah dengan
pemberian kewenangan, fleksibilitas untuk
mengatasi persoalan yang dihadapi oleh sekolah.
Mulyasa (2009:25) berpendapat tujuan MBS
merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam
penguasaan ilmu, tehnologi yang dinyatakan dalam
GBHN. MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah
dan pelibatan masyarakat bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi, peningkatan mutu, dan
14
pemerataan pendidikan. Dari pendapat-oendapat
tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan MBS
adalah meningkatkan konerja sekolah melalui
pemberian kewenangan dalam mengelola
komponen yang ada di sekolah sehingga mutu
pendidikan meningkat.
2.2.2 Prinsip – prinsip Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS)
Mulyasa (2009) menyatakan dalam dalam
penerapan MBS untuk mengelola sebuah sekolah
diharapkan sesuai pada empat prinsip yaitu:
Prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip
pengelolaan mandiri dan prinsip inisiatif manusia.
Prinsip ekuifinitas menekankan bahwa sekolah
dapat fleksibel dalam memilih strategi untuk
mencapai tujuan sesuai dengan kondisi masing-
masing sekolah. Sedangkan prinsip desentralisasi
menekankan bahwa sekolah harus mampu
mengadopsi dan mengadaptasi pengaruh
sekelilingnya atau eksternal. Prinsip sistem
pengelolaan mandiri menekankan bahwa sekolah
diberi hak otonom untuk mengatur dirinya yaitu
dengan pemberian kewenangan kepada sekolah
untuk mengelola secara mandiri kebijakan yang
telah ditetapkan. Prinsip inisiatif manusia
menekankan bahwa Sekolah dalam mengelola
tenaga pendidik dan kependidikan dengan yang
cara manusiawi dan memiliki potensi untuk
dikembangkan. Hal ini dapat dipahami bahwa
15
dalam pengelolaan sekolah diharapkan mengacu
empat prinsip ini. Sehingga dalam penerapan MBS
ini dapat mencapai keberhasilan yaitu peningkatan
mutu pendidikan.
2.2.3 Komponen – komponen Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS)
Rohiat (2010:21) mengemukakan terdapat
tujuh komponen manajemen sekolah, komponen-
komponen tersebut meliputi: Manajemen
Kurikulum; Manajemen Program Pembelajaran
atau Pengajaran; Manajemen Tenaga
Kependidikan; Manajemen Kesiswaan; Manajemen
Keuangan; Manajemen Sarana Prasarana;
Manajemen Hubungan Masyarakat. Sedangkan
Mulyasa (2009) menambahkan satu lagi komponen
yang menjadi komponen manajemen sekolah, yaitu
manajemen layanan khusus yang terdiri dari
manajemen kesehatan, perpustakaan dan
keamanan sekolah.
Rusman (2009) mengungkapkan bahwa
manajemen kurikulum ialah sebagai suatu sistem
pengelolaan kurikulum yang kooperatif,
komprehenshif, sistemik untuk mencapai tujuan
kurikulum. Otonomi yang diberikan pada lembaga
pendidikan atau sekolah dalam mengelola
kurikulum secara mandiri dengan memprioritaskan
kebutuhan dan ketercapaian sasaran dalam visi
dan misi lembaga pendidikan atau sekolah tidak
mengabaikan kebijakan nasional yang telah
16
ditetapkan.Hal ini dapat dikatakan bahwa sekolah
diberi kewenangan untuk mengelola kurikulum
sesuai dengan visi misi sekolah, namun tetap
mengacu pada standar nasional pendidikan.
Setiap sekolah diberi kewenangan untuk
mengembangkan program pembelajaran atau
pengajaran sendiri. Ketika menyusun program ini
perlu diperhatikan kebutuhan siswa dan
lingkungan sekitarnya. Dalam kaitannya dengan
hal ini, terdapat beberapa langkah yang
dilaksanakan. Menurut Mulyasa (2009:41), empat
langkah tersebut yaitu: menilai kesesuaian
program dengan yang dibutuhkan siswa,
meningkatkan dalam membuat rencana program,
pelaksanaan program, serta mengevaluasi program.
Ketenagaan dalam sekolah yang dimaksud
adalah posisi guru sebagai pendidik dang memiliki
tugas sampiran. Pengelolaan dan pembagian tugas
yang jelas antara ketenagaan yang satu dengan
yang lainnya akan menunjang kelancaran dari
pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Menurut
Mulyasa (2009:42) manajemen tenaga
kependidikan (guru dan personil) mencakup:
perencanaan pegawai, pengadaan pegawai,
pembinaan dan pengembangan pegawai, promosi
dan mutasi, pemberhentian pegawai, kompensasi,
penilaian pegawai. Kepala sekolah sebagai
pimpinan di sekolah mempunyai peran penting
dalam mengelola tenaga kependidikan. Karena
selain bertanggung jawab dalam mencapai tujuan
sekolah, juga bertanggung jawab dengan nasib
17
guru dan pegawai di bawah naungannya. Dengan
kata lain, kepala sekolah mempunyai kewajiban
mendukung pengelolaan ketenagaan pendidikan
yaitu guru untuk mengembangkan kualitasnya
demi kelancaran pelaksanaan MBS di sekolahnya.
Salah satu wadah untuk mengembangkan kualitas
tenaga pendidik/guru adalah melalui Kelompok
Kerja Guru (KKG).
Menurut Dirjen Dikdasmen (dalam
Martiningsih, 2008 ) Kelompok kerja guru (KKG)
adalah salah satu wadah pembinaan profesional
bagi para guru yang tergabung dalam organisasi
gugus sekolah dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan. Sedangkan Depdikbud (dalam
Purnanda, 2013) menyatakan bahwa Kelompok
kerja Guru (KKG) adalah sebagai sistem pembinaan
profesional guru SD dalam mengemban misi yang
sesuai dengan tujuan yaitu: Meningkatkan
kemampuan dan kualitas guru, memberikan
informasi baru dalam bidang pendidikan,
pemecahan masalah yang dihadapi guru, membina
kerjasama dan keakraban dalam meningkatkan
prestasi dan kinerja guru dalam mengelola proses
belajar mengajar. Berdasarkan teori di atas dapat
dipahami bahwa KKG adalah suatu wadah
pembinaan profesional bagi guru SD dalam
meningkatkan kualitas guru dan memecahkan
permasalahan dalam bidang pendidikan.
Mulyasa (2009:46) menyatakan bahwa
manajemen kesiswaan adalah sebuah pengelolaan
kegiatan yang berkaitan dengan siswa, mulai
18
masuk sekolah sampai dengan keluarnya.
Manajemen ini bukan hanya berbentuk pencatatan
data peserta didik, melainkan meliputi aspek yang
lebih luas yaitu membantu upaya pertumbuhan
dan perkembangan siswa melalui proses belajar
mengajar. Dalam penataan dan pengaturan
kegiatan hendaknya memperhatikan kondisi siswa.
Hal ini bisa dipahami bahwa pengelolaan
kesiswaan bukan hanya hanya membuat dokumen
tentang siswa tersebut. Namun lebih dari itu,
pengelolaan ini juga mencakup pada faktor yang
mendukung siswa dalam proses belajarnya.
Sekolah membutuhkan dana keuangan
untuk membiayai kegiatannya. Keuangan ini bisa
didapat dari beberapa sumber. Mulyasa (2009:48)
berpendapat bahwa sumber keuangan sekolah
dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: pemerintah,
orang tua atau peserta didik, dan masyarakat.
Pengelolaan manajemen keuangan sekolah,
dilakukan dengan rasa tanggungjawab pihak
sekolah agar penggunaannya dapat maksimal dan
sesuai sasaran serta tidak ada penyelewengan
kepentingan. Pengelolaan keuangan yang baik,
dapat berdampak tidak ada penyalahgunaan
keuangan di sekolah, sehingga keuangan dapat
tepat sasaran digunakan untuk kebutuhan sekolah
dalam hal peningkatan proses belajar mengajar
siswa di sekolah. Hal ini dapat dikatakan bahwa
pengelolaan keuangan harus memperhatikan skala
prioritas dan kebutuhan sekolah, dan dalam
19
implementasinya tidak menyalahi aturan hukum
yang ada.
Sarana dan prasarana merupakan
pendukung penting pendidikan. Mulyasa (2009:49)
menyatakan bahwa sarana pendidikan adalah
semua peralatan dan perlengkapan yang
digunakan dalam proses pendidikan, khususnya
proses belajar mengajar, seperti, laboratorium,
perpustakaan, ruang kelas, alat peraga, serta meja
kursi. Sedangkan prasarana pendidikan adalah
peralatan yang secara tidak langsung mendukung
kegiatan belajar, seperti halaman, taman sekolah,
kebun, tetapi jika dapat secara langsung
dimanfaatkan untuk proses belajar mengajar,
seperti taman sekolah untuk laboratorium alam
dalam pembelajaran IPA, halaman sekolah sebagai
lapangan olahraga, komponen tersebut merupakan
sarana pendidikan. Rugaiyah (2011:63)
berpendapat, manajemen sarana dan prasarana
merupakan semua kegiatan sekolah dalam
mengelola sarana dan prasarana untuk lancarnya
proses pembelajaran. Sedangkan, Asmani (2009:15)
menyatakan manajemen sarana dan prasarana
merupakan manajemen yang meliputi ketersediaan
sarana dan prasarana serta guru dalam
memanfaatkan sumber belajar dan menata
ruangan pendidikan yang dimiliki. Berdasarkan
pendapat di atas dapat dipahami bahwa
pengelolaan sarana dan prasarana adalah suatu
kegiatan dalam mengelola sarana dan prasarana
yang meliputi kelengkapan sumber belajar dan
20
pemanfaatan sumber belajar serta penataan
ruangan yang ada sehingga kegiatan belajar
mengajar berjalan dengan baik. Manajemen sarana
dan prasarana yang dikelola dengan baik dapat
menghasilkan lingkungan belajar yang
menyenangkan untuk proses pembelajaran. Selain
itu diharapkan tersedianya alat-alat peraga atau
fasilitas belajar lainnya yang memadai secara
jumlah, kualitas dan kesesuaian yang dibutuhkan
dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh guru
dan siswa untuk kepentingan proses pembelajaran.
Oleh sebab itu, sekolah perlu membuat daftar
prioritas keperluan pengadaan sarana dan
prasarana.
Mulyasa (2009:50) mengemukakan
manajemen sarana dan prasarana pendidikan
mempunyai tugas mengelola sarana dan prasarana
sekolah agar dapat memberikan kontribusi dalam
kegiatan pendidikan. Dalam mengelola sarana dan
prasarana mencakup kegiatan dalam
merencanaan, mengadakan sarpras, mengawasi
menginventarisasi dan penghapusan serta
penataan). Menurut Pasal 1 ayat 6 Peraturan
Pemerintah RI No 6 Tahun 2006, Perencanaan
kebutuhan adalah kegiatan merumuskan
kebutuhan barang milik negara/daerah untuk
menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu
dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai
dasar dalam melakukan tindakan yang akan
datang. Hal ini bisa dikatakan bahwa sekolah
harus merumuskan kebutuhan perlengkapan
21
sekolah untuk kegiatan pembelajaran siswa dan
kegiatan sekolah lainnya. Kegiatan ini dilakukan
berkesinambungan dan dilakukan setiap awal
tahun pelajaran baru.
Pengadaan sarana prasarana di sekolah
dapat dilakukan dengan membeli atau hibah dari
pihak lain. Pengadaan ini dapat berbentuk
pengadaan buku, alat peraga, dan bangunan yang
mendukung kegiatan sekolah. Dalam proses
pelaksanaan pengadaan ini harus memperhatikan
kebutuhan sekolah.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 21 Peraturan
Pemerintah RI No 6 Tahun 2006 Iventarisasi adalah
kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan,
dan pelaporan hasil pendataan barang milik
negara/daerah. Sekolah wajib melakukan
Iventarisasi barang yang ada di sekolah. Melalui
pendataan ini akan diketahui kondisi sarana dan
prasarana yang terdapat di sekolah.
Menurut Pasal 1 ayat 7 Peraturan
Pemerintah RI No 6 Tahun 2006, penggunaan
adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh
pengguna barang dalam mengelola dan
menatausahakan barang milik negara/daerah yang
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi
yang bersangkutan. Hal ini bisa dipahami bahwa
Penggunaan sarana prasarana di sekolah adalah
untuk kegiatan belajar mengajar yang ada di
sekolah. Sehingga penggunaan sarana prasarana di
luar itu sudah menyalahi ketentuan. Pihak yang
boleh menggunakan sarana prasarana sekolah
22
adalah kepala sekolah, guru, siswa dan pihak yang
mendukung dalam pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar yang ada di sekolah.
Manajemen hubungan masyarakat perlu
diperhatikan dalam pengelolaan sekolah. Hal ini
disebabkan hubungan sekolah dengan masyarakat
merupakan jembatan dalam mendidik
perkembangan siswa. Menurut Mulyasa (2009: 50)
tujuan dari mengadakan hubungan sekolah
dengan masyarakat adalah: 1) Meningkatkan mutu
kualitas pembelajaran dan pertumbuhan anak; 2)
Memperkuat tujuan serta meningkatkan kualitas
hidup dan penghidupan masyarakat; 3) Memberi
motivasi kepada masyarakat untuk selalu
berhubungan dengan sekolah. Hal ini bisa
dipahami bahwa dengan terjalinnya hubungan
yang baik dari pihak sekolah dan masyarakat,
maka kedua belah pihak ini akan mengetahui
informasi tentang pendidikan untuk peningkatan
mutu pendidikan. Sehingga kedua belah pihak
memiliki kontribusi dalam kemajuan pendidikan.
Mulyasa (2009: 52) menyatakan bahwa
manajemen layanan khusus mencakup manajemen
perpustakaan, kesehatan, dan keamanan sekolah.
Perpustakaan ditata dengan baik dan mempunyai
fasilitas yang lengkap akan membantu siswa dalam
proses belajar mengajar. Selain itu juga dapat
membantu guru dalam mengajar karena memiliki
[engetahuan yang luas. Berdasarkan tujuan
pendidikan nasional yaitu mengembangkan
manusia Indonesia yang seutuhnya, yaitu
23
mengembangkan pengetahuan dan meningkatkan
kualitas jasmani dan rohani siswa maka di sekolah
mengadakan pendirian tempat untuk beribadah
dan mengadakan UKS (Usaha Kesehatan Sekolah).
Kegiatan ini bertujuan supaya warga sekolah
merasakan damai dan nyaman dalam mengikuti
proses belajar dan mengajar. Hal ini bisa dikatakan
bahwa layanan khusus di sekolah perlu diadakan.
Karena dengan adanya layanan khusus ini,
mendukung pada proses pembelajaran. Sehingga
dengan adanya dukungan ini proses pembelajaran
akan mencapai kemajuan.
2.3 Evaluasi Prestasi Belajar Siswa
2.3.1 Evaluasi
Menurut Bruner (dalam Sagala, 2012),
proses belajar dapat dibedakan pada tiga fase
yaitu: 1) Informasi, dalam tiap pelajaran diperoleh
sejumlah informasi yang dapat menambah
pengetahuan yang telah dimiliki, memperhalus dan
memperdalamnya, ataupun bertentangan dengan
apa yang telah diketahui; 2) transformasi,
informasi yang telah diterima harus dinalisis,
diubah atau ditransformasikan ke dalam bentuk
yang lebih abstrak, atau konseptual ke dalam
bentuk yang lebih luas dalam hal ini bantuan guru
sangat diperlukan; 3) evaluasi, kemudian dinilai
hingga manakah pengetahuan yang diperoleh dan
ditranformasikan itu dapat dimanfaatkan untuk
memahami gejala-gejala lain.
24
Evaluasi dalam proses belajar ini
merupakan salah satu tahapan penting untuk
meraih tujuan belajar. Pada tahap ini diketahui
kemampuan siswa, ketepatan metode mengajar
yang digunakan, dan keberhasilan siswa dalam
meraih tujuan pembelajaran. Sehingga sekolah
dapat mengambil keputusan secara tepat mengenai
tahapan yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan prestasi belajar yang lebih baik
berdasarkan data yang diperoleh dari evaluasi.
Tyler (dalam Arikunto, 2009) mengatakan bahwa
evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan
data untuk dapat menentukan sejauh mana
pendidikan dilakukan, dalam hal apa saja
pendidikan dilakukan, dan bagaimana tujuan
pendidikan tersebut sudah tercapai. Jika belum,
bagaimana yang belum dan apa sebabnya.
Sedangkan menurut Gibson dan Mitchel (dalam
Uman, 2007:91) berpendapat bahwa proses
evaluasi adalah untuk mencoba menyesuaikan
data objektif dari awal hingga akhir pelaksanaan
program sebagai dasar penilaian terhadap
pendapat di tujuan program. Berdasarkan teori di
atas maka dapat dikatakan bahwa evaluasi adalah
suatu kegiatan atau suatu proses menentukan
nilai dari proses pembelajaran dalam pendidikan,
sehingga dapat diketahui hasilnya. Berdasarkan
hasil ini dapat diketahui suatu program berhasil
atau tidak dalam mencapai tujuannya.
25
2.3.2 Prestasi Belajar Siswa
Dalam konteks pendidikan formal, menurut
Purwanto (2006) prestasi belajar adalah suatu hasil
yang diperoleh oleh sesorang dalam usaha belajar
yang dinyatakan dalam raport. Sedangkan
Tirtonegoro (2006:43) menyatakan bahwa prestasi
belajar merupakan penilaian aktivitas belajar siswa
yang dinyatakan dalam bentuk huruf, simbol,
angka, maupun kalimat yang dapat
menggambarkan hasil yang sudah dapat dicapai
siswa dalam proses pembelajaran. Semiawan
(dalam Tarmidi, 2005) menyatakan bahwa prestasi
belajar terkait data otentik yang diperoleh dari tes
hasil belajar. Arikunto (2006:276) menyebutkan
bahwa prestasi harus mencerminkan tingkatan-
tingkatan siswa sejauh mana telah dapat mencapai
tujuan yang ditetapkan setiap bidang studi. Simbol
yang digunakan untuk menyatakan nilai, baik
huruf maupun angka, hendaknya merupakan
gambaran tentang prestasi saja. Menurut Syah
(2008:141), Prestasi Belajar merupakan tingkat
keberhasilan siswa dalam mencapai hasil yang
telah ditargetkan dalam sebuah program.
Berdasarkan pengertian ini, maka dapat dijelaskan
bahwa prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan
seseorang dalam mempelajari materi pelajaran
yang sudah diprogramkan dan dinyatakan dalam
bentuk nilai. Prestasi belajar dapat diketahui
setelah diadakan evaluasi pada program
pembelajaran. Hasil dari evaluasi tersebut dapat
memperlihatkan tinggi atau rendahnya prestasi
26
belajar siswa. Jadi evaluasi prestasi belajar siswa
adalah suatu kegiatan mengukur nilai keberhasilan
siswa dalam mempelajari materi pembelajaran yang
telah diterimanya. Dalam jenjang sekolah dasar
evaluasi dapat berbentuk Ulangan Formatif, Ujian
Tengah Semester, Ujian Kenaikan Kelas, dan Ujian
Sekolah.
2.3.3 Ujian Sekolah
Ujian Sekolah (US) merupakan kegiatan
dalam mengukur pencapaian kompetensi siswa
yang dilakukan oleh sekolah untuk memperoleh
pengakuan atas hasil prestasi belajar dan
merupakan sebuah syarat kelulusan dari suatu
jenjang pendidikan (Kemendiknas, 2007). Sebagai
tanda kelulusan suatu jenjang pendidikan, siswa
diberikan surat tanda lulus dan ijazah. Surat tanda
lulus adalah surat pernyataan untuk siswa yang
dinyatakan lulus dalam mengikuti ujian sekolah
dan memuat daftar nilai hasil ujian seluruh mata
pelajaran yang diujikan. Sedangkan ijazah adalah
surat pernyataan resmi dan sah yang diberikan
kepada siswa sebagai tanda telah menyelesaikan
pendidikan pada suatu jenjang pendidikan. Tujuan
diadakan Ujian Sekolah (US) adalah untuk menilai
kompetensi yang diperoleh lulusan secara nasional
padamateri yang diujikan, yaitu mata pelajaran
ilmu penegetahuan dan teknologi yang sudah
ditentukan (Kemendiknas, 2005). Fungsi Ujian
Sekolah sebagai alat pengendali kualitas sebuah
pendidikan, pendorong peningkatan mutu
27
pendidikan, dan bahan dalam menentukan
kelulusan siswa. Dengan demikian fungsi ujian
sekolah dimaksudkan untuk mengetahui
efektivitas dan tingkat pencapaian atau
keberhasilan suatu program pengajaran di sebuah
sekolah. Menurut Kasir (2014) Hasil Ujian Sekolah
juga akan digunakan sebagai tolok ukur untuk
dapat menempuh ke jenjang berikutnya, yakni
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Nilai US akan
digunakan untuk diterima masuk sekolah.
Sehingga hanya siswa yang memperoleh nilai US
yang tinggi yang dapat diterima di sekolah favorit
sedangkan siswa yang mendapatkan nilai rendah
tidak dapat diterima masuk ke sekolah favorit
tersebut. Udiutomo (2013) mengatakan bahwa ada
beberapa alasan yang mendukung tetap
dilangsungkannya Ujian Sekolah di akhir masa
sekolah. Alasannya dalah sebagai berikut: 1)
Evaluasi adalah dimensi penting dalam
manajemen, tidak terkecuali di bidang pendidikan,
yaitu digunakan untuk mewujudkan perbaikan
yang berkesinambungan; 2) Inti pesoalan adalah
Ujian sebagai syarat kelulysan, bukan keberadaan
Ujian itu sendiri; 3) Keberadaan ujian sebagai
bentuk evaluasi banyak mendorong sikap positif; 4)
Salah satu fungsi Ujian Sekolah adalah pemetaan
kualitas pendidikan di Indonesia dan fungsi ini
perlu dipertahankan; 5) Ujian sekolah adalah salah
satu proyek pemerintah yang berorientasi output,
dan hal ini perlu dipresiasi; 6) Kualitas identik
dengan standar dan Ujian Sekolah mencoba untuk
28
menghadirkan standar tersebut. Berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa ujian sekolah merupakan
suatu kegiatan penilaian akhir bagi siswa untuk
mengetahui keberhasilan proses belajar mengajar
pada jenjang pendidikan tertentu. Selain itu, hasil
dari ujian sekolah digunakan sebagai
pertimbangan seorang siswa diterima di jenjang
berikutnya. Apabila seorang siswa memiliki nilai
ujian sekolah yang baik maka siswa tersebut dapat
diterima di sekolah yang diinginkannya. Hasil dari
Ujian sekolah dapat sebagai tolok ukur mutu
pendidikan di suatu sekolah. Selain itu, pada
dasarnya esensi dari ujian sekolah adalah untuk
melihat kondisi mutu pendidikan di suatu sekolah
dan diharapkan terjadi pemerataan kualitas di
sekolah-sekolah yang berada di Indonesia dengan
memberikan standar kriteria nilai kelulusan yang
sama di seluruh Indonesia. Berdasarkan esensi
ujian sekolah tersebut, ujian sekolah bukan suatu
program yang salah, bahkan dengan adanya ujian
sekolah menjadi acuan yang tepat bagi pemerintah
untuk mengetahui kondisi mutu pendidikan di
Indonesia. Bagaimana kualitas pendidikan di
sekolah tertentu, bagian apa yang harus
ditingkatkan atau yang harus diperbaiki dan
bagaimana mengatasi kesenjangan pendidikan di
kota dan desa atau daerah terisolir. Harapan dari
hal ini adalah pemerataan kualitas pendidikan di
Indonesia dapat diwujudkan. Dapat disadari bahwa
Ujian Sekolah bukan merupakan satu - satunya
29
parameter mutu pendidikan, karena produk suatu
pendidikan berkualitas juga ditentukan juga oleh
proses pendidikan yang berkualitas. Namun harus
jujur diakuii, bahwa betapa sulitnya menemukan
instrumen evaluasi yang paling tepat untuk
melakukan penilaian secara nasional apabila
ditinjau pada perbedaan potensi sumber daya
manusia, ketersediaan sarana prasarana,
kemajemukan kultur kebudayaan, biaya, waktu,
geografis, kualitas, efektivitas, efisiensi dan varians
lainnya yang terkait dengan penyelenggaran Ujian
Sekolah. Sampai saat ini tampaknya Ujian Sekolah
adalah satu - satunya alat yang digunakan oleh
pemerintah untuk melakukan pemetaan kualitas
pendidikan secara nasional.
Terdapat perubahan nama ujian dalam
pendidikan di Indonesia dari tahun 1965 sampai
dengan tahun 2014. Perubahan ini dapat dilihat
dari tabel di bawah ini:
Tabel 2.1 Perubahan Nama Ujian
Jenis Ujian Masa Tahun
Ujian Negara 1965-1971
Ujian sekolah 1972-1979
Evaluasi Tahap Akhir 1980-2002
Ujian AkhirNasional 20032004
Ujian Nasional 2005-2012
Ujian Sekolah/Madrasah 2013-sekarang
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ujian_Nasional
Perubahan nama yang disertai dengan
perubahan ketentuan ini dimaksudkan untuk
menyempurnakan formulasi ujian sekolah yang
30
tepat. Selain itu, menjawab dari tuntutan
masyarakat tentang ujian sekolah yang lebih baik.
Walaupun terdapat perubahan nama, Ujian
Sekolah tetap dilaksanakan oleh sebagai kebijakan
tentang pemerintah dalam meningkatkan mutu
pendidikan dan tidak mengubah fungsinya, yaitu
sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan secara
nasional.
Irianto (2011) berpendapat ada beberapa hal
yang harus diperhatikan oleh siswa dalam
mengikuti Ujian Sekolah, yaitu: Pertama,
keputusan lulus tidaknya seorang siswa akan
ditentukan oleh hasil ujian sekolah. Kedua, siswa
sebaiknya dalam menghadapi ujian mempunyai
sikap yang tenang dan proposional. Ketiga, proaktif
siswa sendirilah yang menentukan keberhasilan
dalam menghadapi ujian. Keempat, dibutuhkan
perencanaan belajar dalam menghadapi ujian.
Kelima, seringnya berlatih memecahkan soal-soal
dapat membantu dalam menghadapi ujian.
Keenam belajar kelompok merupakan cara yang
dapat ditempuh karena dengan berkelompok dapat
saling berbagi dengan teman yang lain dalam
memecahkan soal dan saling menguatkan motivasi
belajar dan prestasi. Ketujuh, terdapat siswa yang
hanya sekedar hadir saja di kelas, tidak
mengoptimalisasikan untuk meraih hasil prestasi
terbaiknya. Kedelapan, keyakinan bahwa jika lulus
maka orang tua akan senang dan bangga.
Kesembilan, keberhasilan merupakan usaha dan
kerja keras yang mendapat pertolongan dari
31
Tuhan. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan
bahwa faktor yang menyebabkan keberhasilan
dalam menghadapi ujian sekolah adalah siswa itu
sendiri. Apabila seorang siswa dapat
mempersiapkan dirinya dengan baik dalam
menghadapi ujian sekolah, maka hasil yang akan
diperoleh juga baik.
2.3.4 Faktor-faktor yang Mendukung Prestasi
Belajar Siswa
Syah (2008:132-139) menyatakan bahwa
faktor-faktor yang mendukung prestasi belajar
siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1) Faktor Internal (faktor yang ada dalam diri
siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani
siswa. 2) Faktor Eksternal (faktor dari luar siswa),
yakni kondisi lingkungan yang ada di sekitar siswa.
3) Faktor Pendekatan Belajar (approach to
learning), yakni strategi dan metode yang
digunakan siswa ysng merupsksn upaya belajar
siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran
materi-materi pelajaran. Menurut Purwanto
(2006:112), faktor - faktor yang menyebabkan
prestasi belajar dapat dibedakan menjadi dua
factor: 1) Faktor yang ada pada diri organisme itu
sendiri yang disebut faktor individual, yang
termasuk faktor individual antara lain: faktor
kecerdasan, motivasi, kematangan/pertumbuhan, ,
latihan, dan faktor pribadi. 2) Faktor di luar
individu yang disebut faktor sosial, yang termasuk
faktor sosial adalah keluarga, guru dan metode
32
mengajarnya, alat peraga, lingkungan belajar dan
kesempatan yang tersedia, dan motivasi s.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat
diketahui bahwa faktor- faktor yang dapat
menyebabkan prestasi belajar dapat digolongkan
menjadi dua yaitu: 1) Faktor internal, yaitu faktor
yang berkaitan dengan diri siswa itu sendiri yang
dapat berupa kemandirian belajar, motivasi, bakat,
minat belajar, kebiasaan belajar, kepandaian,
kesehatan, sikap, dan faktor pribadi lainnya. 2)
Faktor eksternal, yaitu faktor di luar diri siswa itu
sendiri. Faktor ini dapat berupa sarana dan
prasarana, lingkungan belajar siswa, metode
pembelajaran, guru, media pembelajaran, sumber
belajar dan lain - lainnya. Pada faktor internal,
minat belajar siswa mempunyai peran yang sangat
penting. Karena dengan memiliki minat belajar,
seorang siswa akan tumbuh motivasi belajarnya,
sehingga kemandirian belajarnya akan muncul
pada dirinya.
Menurut Belly (2006:4), Minat adalah suatu
keinginan yang muncul setelah melihat, mengamati
dan membandingkan serta mempertimbangkan
dengan kebutuhannya. Sedangkan belajar Menurut
Slavin (dalam Anni, 2014) merupakan proses
kemampuan yang berasal dari pengalaman. Dari
teori tersebut dapat dijelaskan bahwa minat
belajar adalah keinginan untuk memperoleh
kemampuan setelah melalui rangkaian tahapan
pengalaman melihat, mengamati, dan
membandingkan. Minat belajar pada diri siswa
33
perlu ditumbuhkan. Karena dengan adanya minat
belajar, seorang siswa dapat tumbuh motivasi,
kemandirian belajar, kebiasaan belajar dan
perubahan sikap yang mendukung ke arah prestasi
belajar yang lebih baik.
Menurut Mujiman (2007:1), kemandirian
belajar adalah sifat serta kemampuan yang dimiliki
siswa untuk melakukan kegiatan belajar aktif, yang
didorong oleh keinginan untuk menguasai sesuatu
kemampuan yang telah dimiliki. Ahmadi (2004)
menyatakan kemandirian belajar adalah belajar
mandiri, tidak menggantungkan diri pada orang
lain. Sedangkan Tirtaraharja (2005) berpendapat
kemandirian belajar adalah aktivitas yang
berlangsung lebih didorong oleh kemauan sendiri,
pilihan sendiri, dan disertai rasa tanggung jawab
dari diri pembelajar. Menurut teori tersebut, dapat
dipahami bahwa kemandirian belajar adalah
kegiatan belajar siswa yang didorong atas kemauan
sendiri untuk dapat menguasai kompetensi yang
sedang dipelajari. Semakin kuat kemauan belajar
seorang siswa maka hasil prestasi belajarnya akan
maksimal.
Sartain (dalam Purwanto, 2006:28)
berpendapat bahwa lingkungan meliputi semua
kondisi-kondisi dalam dunia ini yang dalam cara-
cara tertentu menyebabkan tingkah laku,
pertumbuhan dan perkembangan. Menurut
Dalyono (2005:129) lingkungan itu mencakup
segala material dan stimulus di dalam dan di luar
individu baik yang bersifat fisiologis, psikologis,
34
maupun bersifat sosio-kultural. Patty (dalam
Baharuddin, 2007:68) menyatakan bahwa
lingkungan merupakan sesuatu yang mengelilingi
individu di dalam hidupnya, baik dalam bentuk
lingkungan fisik seperti orang tua, rumah, kawan
bermain, dan masyarakat sekitar maupun dalam
bentuk lingkungan psikologis seperti perasaan-
perasaan yang dialami, cita-cita, persoalan-
persoalan yang dihadapi dan sebagainya.
Berdasarkan dari pernyataan-pernyataan tersebut
dapat disimpulkan bahwa lingkungan belajar
adalah Semua yang ada di sekitar siswa yang
menyebabkan keberhasilan siswa dalam menguasai
kompetensi yang sedang dipelajari. Lingkungan
belajar yang kondusif akan membuat suasana
belajar yang menyenangkan dan harapana dari ini
adalah pencapaian hasil prestasi belajar juga akan
maksimal.
2.4 Diagram Fishbone
Menurut Tague (2005:247) diagram
Fishbone dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa.
Diagram ini bentuknya menyerupai kerangka
tulang ikan yang bagian - bagiannya meliputi
kepala, sirip, dan duri. Diagram fishbone ini dapat
digunakan pada tahap mengidentifikasi suatu
permasalahan dan menentukan akar penyebab dari
permasalahan tersebut.
Penyebab umum dari permasalahan
dikelompokkan ke dalam kategori masalah utama
35
untuk mengidentifikasi akar permasalahannya.
Menurut Heizer (2006) untuk membuat diagram
fishbone dapat menggunakan kategori sebagai
berikut: (a) Manusia: siapa saja yang memiliki
keterlibatan dalam proses. (b) Metode: proses dan
persyaratan yang harus dilakukan, seperti aturan
dan kebijakan. (c) Peralatan/sarana prasarana
yang diperlukan untuk menyelesaikan proses. (d)
Material : segala sesuatu yang digunakan untuk
hasil akhir. Dalam penelitian ini kategori manusia
/ sumber daya manusia adalah guru dan siswa.
Karena dalam proses pembelajaran yang terlibat
adalah guru dan siswa. Kategori metode meliputi
bagaimana metode pembelajaran dalam proses
belajar mengajar digunakan oleh guru untuk
mentransfer pengetahuan kepada siswa. Kategori
sarana prasarana meliputi kondisi sekolah,
pemanfaatan perpustakaan, ketersediaan dan
pemanfaatan alat peraga untuk membantu proses
pembelajaran. Kategori material adalah sumber
belajar yang merupakan materi pembelajaran
untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan
tujuan pendidikan.
Menurut Scarvada (2004), Konsep dari
diagram fishbone adalah permasalahan utama
diletakkan pada bagian kanan, yaitu kepala ikan
dari kerangka tulang ikannya. Penyebab
permasalahan digambarkan pada sirip dan
durinya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Diagram Fishbone dibawah ini:
36
Gambar 2.1 Diagram Fishbone
Sumber: http://www.leankaizen.co.uk/fishbone-diagram-i-
ishikawa-diagram.html
Diagram Fishbone digunakan untuk
mengidentifikasi penyebab suatu masalah (Tague,
2005:247). Apabila masalah dan akar penyebab
masalah sudah diketahui maka tindakan akan
lebih mudah dilakukan. Dalam penyusunan
diagram Fishbone, sesi brainstorming digunakan
untuk mengetahui sebab, akibat dan menganalisis
masalah tersebut. Masalah akan dibagi menjadi
sejumlah kategori yang berkaitan, mencakup
sumber daya manusia, material, mesin/ tools/
sarana prasarana, prosedur, kebijakan, dan
sebagainya. Setiap kategori mempunyai penyebab
yang akan dijelaskan melalui sesi brainstorming.
cause1
cause2 Cause1
Cause4 Cause3
37
2.5. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang membahas strategi untuk
peningkatan hasil ujian sekolah masih relatif
sedikit. Salah satu penelitian tentang tentang
meningkatkan tentang hasil ujian pernah
dilakukan oleh Prihatini (2010). Hasil penelitian
yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan
jenis penelitian studi kasus ini, menemukan bahwa
upaya yang dilakukan sekolah dalam
meningkatkan hasil ujian untuk di bidang
akademik adalah melakukan pendalaman materi
untuk semua mata pelajaran yang di ujian-kan,
pengadaan try out, dan intensive kelas. Selain itu
terdapat pula penelitian Khasbullah (2010) tentang
upaya meningkatkan kelulusan siswa pada Ujian
Nasional. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa upaya yang dilakukan dalam meningkatkan
kelulusan antara lain, mengadakan jam tambahan
(les), mengadakan Try Out, memperdayakan guru
membuat soal-soal prediksi, download soal dari
Internet, evaluasi soal-soal ujian sebelumnya,
mengadakan Try Out dari MGMP, bekerjasama
dengan orangtua, mengadakan asrama, Istighasah
dan motivasi. Penelitian selanjutnya terkait dengan
strategi meningkatkan hasil ujian Nasional ditulis
oleh Purnamasari (2013) melalui pendekatan
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan
strategi meningkatkan hasil ujian adalah dengan
mengoptimalisasikan pelaksanaan implementasi
strategi-strategi yang telah sekolah canangkan,
38
optimalisasi tersebut harus didukung semua pihak
baik kepala sekolah dan jajarannya, para guru,
siswa dan wali murid serta pihak-pihak lain yang
mendukung.
1.6. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir penelitian ini diawali
dengan adanya harapan tentang pendidikan yang
bermutu. Sebagai mengukur mutu pendidikan oleh
pemerintah diadakan Ujian Sekolah. Setelah
diadakan Ujian Sekolah selama 4 tahun berturut-
turut ternyata SD Negeri Margolelo mengalami
penurunan hasil Ujian Sekolah. Maka dilakukanlah
konfirmasi keberadaan masalah menurunnya hasil
Ujian Sekolah di SD Negeri Margolelo. Pada tahap
ini dikumpulkan data sekunder yang diperoleh dari
observasi lapangan peneliti.
Tahap selanjutnya menganalisis faktor
penyebab menurunnya mutu sekolah di SD Negeri
Margolelo. Pada tahap ini dilakukan diskusi
kelompok terfokus atau Focus Group discussion
(FGD) yang dilakukan bersama pengawas sekolah,
kepala sekolah, guru dan komite. FGD akan
menggunakan alat analisa fishbone diagram
berdasarkan kerangka pikir 4 M (man, machine,
methode dan material).
Tahap selanjutnya penentuan penyebab
menurunnya mutu sekolah di SD Negeri Margolelo.
Pada tahap akhir penelitian ini dilakukan kajian
pustaka terkait masalah menurunnya mutu
39
sekolah di SD Negeri Margolelo dan temuan
penelitian untuk menghasilkan strategi untuk
pemecahan masalah menurunnya mutu sekolah di
SD Negeri Margolelo. Draft strategi yang dihasilkan
kemudian ditawarkan kepada pihak sekolah. Pihak
sekolah yaitu kepala sekolah, guru dan pengawas
sekolah memberikan masukan dan saran untuk
memperbaiki strategi tersebut. Selain itu juga
terdapat masukan dari pakar. Tahap terakhir dari
penelitian ini adalah penyusunan strategi untuk
peningkatan mutu sekolah di SD Negeri Margolelo
berdasarkan analisis Fishbone disertai masukan
dari teman sejawat dan pakar.
40
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir
SD Negeri Margolelo mengalami masalah
menurunnya hasil Ujian Sekolah
Analisis faktor-faktor Penyebab masalah menurunnya hasil Ujian
SD Negeri Margolelo
Penentuan penyebab menurunnya
hasil Ujian SD Negeri Margolelo
Strategi untuk peningkatan hasil Ujian SD Negeri Margolelo
Analisis
Fishbone
4 M
Mutu Pendidikan
Ujian Sekolah