bab ii kajian pustaka dan kajian teori a. kajian …

37
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian Pustaka 1. Kajian Terdahulu Review kajian terdahulu peneliti ingin memaparkan tentang hasil penelitian terdahulu yang peneliti jadikan sebagai rujukan awal dalam penelitian yang hendak dilakukan. Merujuk pada hasil penelitian terdahulu di Kecamatan Wuluhan tentang pendidikan agama Islam pada petani, mengemukakan bahwa masyarakat petani telah menyadari bahwa pendidikan sangatlah penting untuk kemajuan masyarakat khususnya bagi anak-anaknya agar mampu mengikuti perkembangan zaman. Hasil penelitian ini merupakan dasar utama peneliti dalam mengelaborasi lebih jauh berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Konteks ini penting untuk dijelaskan sebagai bagian dari penegasan posisi penelitian yang akan dilakukan dengan riset-riset yang telah dihasilkan. Di samping rujukan literatur di atas, ada beberapa sumber kajian terdahulu yang menjadi inspirasi bagi penulis, seperti yang tertabulasi sebagai berikut: Tabel 2.1. Judul Penelitian Sumber Kajian Pustaka Terdahulu

Upload: others

Post on 23-Nov-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI

A. Kajian Pustaka

1. Kajian Terdahulu

Review kajian terdahulu peneliti ingin memaparkan tentang hasil penelitian

terdahulu yang peneliti jadikan sebagai rujukan awal dalam penelitian yang hendak

dilakukan. Merujuk pada hasil penelitian terdahulu di Kecamatan Wuluhan tentang

pendidikan agama Islam pada petani, mengemukakan bahwa masyarakat petani telah

menyadari bahwa pendidikan sangatlah penting untuk kemajuan masyarakat

khususnya bagi anak-anaknya agar mampu mengikuti perkembangan zaman. Hasil

penelitian ini merupakan dasar utama peneliti dalam mengelaborasi lebih jauh

berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Konteks ini penting untuk dijelaskan

sebagai bagian dari penegasan posisi penelitian yang akan dilakukan dengan riset-riset

yang telah dihasilkan.

Di samping rujukan literatur di atas, ada beberapa sumber kajian terdahulu

yang menjadi inspirasi bagi penulis, seperti yang tertabulasi sebagai berikut:

Tabel 2.1. Judul Penelitian Sumber Kajian Pustaka Terdahulu

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

11

Pertama, berdasarkan tabulasi di atas, penelitian yang memaparkan tentang

seberapa dalamkah pemahaman para petani tentang pentingnya pendidikan bagi anak-

anaknya. Berdasarkan riset tersebut beberap hal yang menjadi kesimpulan penelitian

antara lain :(1). Pemahaman msayarakat petani terhadap pendidikan merupakan

dimensi penting yang harus dienyam atau ditempuh sebagai proses untuk mencari

ilmu, pengembangan pengetahuan sebagai bekal hidup; (2). Urgensi pendidikan

sebagai proses yang harus ditempuh oleh setiap anak merupakan esensi pemahaman

yang ada pada masyarakat petani di Wuluhan; (3). Terbentuknya kepribadian,

moralitas positif dan sebagai fasilitator merupakankontribusi perananan orang tua

dalam pendidikan anak (Sofyan, 2018)

Kedua, riset dengan tema seperti yang tercantum pada nomor dua, hasil

penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan jenis studi kasus, menjabarkan tentang

gambaran pola yang ada dalam pendidikan agama pada milleu atau lingkungan

keluarga petani(Yanti, 2015). Penelitian yang hampir sama dengan mengambil

sasarana penelitian sebagai responden riset yaitu pada masyarakat, namun lebih fokus

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

12

pada struktur masyarakat yang cenderung pluralis. Konteks ini disebabkan dimana

area atau lingkungan pendidikan agama Islam berada pada wilayah yang mayoritas

non muslim. Penelitian ini yang bertempat di wilayah Klungkung-Bali, menyoroti

kinerja pengajaran agama Islam pada sekolah setingkat SMA, di Kabupaten

Klungkung-Bali, yang dilakukan di luar kelas.Kebutuhan untuk memahami agama

tidak hanya dari konsep ritual tetapi juga lebih dari itu. Fakta ini didukung oleh realitas

jamak Klungkung. Penelitian ini untuk mendeskripsikan perkembangan pengajaran

agama Islam, salah satunyamateri pelajaran atau metode pengajaran di sekolah

menengah atas di Kabupaten Klungkung.Hasil penelitian adalah bahwa (1) pengajaran

agama Islam telah berkembang sejak saat itu1960-1970 dan pada saat yang sama,

mengajar agama Islam di sekolah menengah atasdilakukan oleh para guru yang

dikerjakan oleh Departemen Agamakarena kurangnya guru agama pada waktu itu.

Kondisi ini dibuatpengajaran agama Islam dilakukan di luar kelas. (2) Apa yang harus

diajarkandiselaraskan dengan kurikulum yang digunakan pada waktu itu, yang

berfokus pada kepercayaanterintegrasi dalam setiap mata pelajaran berdasarkan ayat-

ayat suci Kuran. Metodeyang digunakan adalah mengajar secara lisan, memberi

contoh secara analog, bertanya dan bertanya, danmembaca dengan keras. (3)

kontekstualisasi teks keagamaan (Libriyanti, 2009).

Keempat, hasil riset yang dilakukan oleh Riyadi (2015), dengan fokus riset

yang tertuju pada pembelajaran berbasis emansipatoris ini menghasilkan penekanan

pada konteks Islam sebagai agama yang mempunyai orientasi pada dimensi

kemanusiaan. Penelitian ini secara umum menyimpulkan bahwa pendidikan agama

Islam tidak hanya pada konteks teosentris tetapi juga harus mampu menghadirkan

aspek yang bersifat antrophosentris. Merujuk pada fakta tersebut, materti

pembelajaran dalam pendidikan agama Islam harus memiliki penegasan pada

universalisme Islam dalam artian adanya keseimbangan antara sisi ketuhanan dan sisi

kemanusiaan. Hasil penelitian juga mengeksplorasi, bahwa tema-tama pembelajaran

lebih ditekankan pada bagaimana Islam mampu memahami dan berperan aktif dalam

menjawab perkemabangan problematika kemanusiaan di era kontemporer. Teks-teks

dan paradigma keagamaan Islam yang bersifat doktriner lebih terfokus pada dogma-

dogma yang bersifat doktrin, historistas dan telaah kontemporer, untuk menemukan

dan menghubungkan secara langsung terhadap pernanan Islam dalam menjawab

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

13

dinamika kehidupan manusia sebagai usaha dalam menghasilkan pemahaman yang

sesuai dengan teks dan konteks.

Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Nurlaila,terkait belajar pendidikan

Islam (PAI), sebagai pelajaranmengandung ajaran Islam dan dasar-dasar kehidupan

Islam,perludikejar melalui pengembangan model untuk pengajaran yang dapat

mempengaruhi pilihan, keputusan, dan pengembangankehidupan pelajar.

Pengembangan model PAI meliputi: a) dikotomismodel; menyebabkan dualisme

dalam sistem pendidikan, yaitu pendidikan nonagama dan agama. b) model

mekanisme; melihatkehidupan terdiri dari berbagai aspek, dan pendidikan dipandang

sebagaiinvestasi dan pengembangan seperangkat nilai-nilai kehidupan, masing-

masing bergerakdan berjalan sesuai fungsinya. c) model organisme; melihatkegiatan

pendidikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari hidup bersama danbekerja bersama

secara terpadu menuju tujuan spesifikpembentukan kehidupan keagamaan atau

kehidupan yang diilhami oleh nilai-nilai agama(Nurlaila, 2011).

Penelitian keenam, tentang riset yang secara tematik mempunyai keterkaitan

dengan judul penelitian yang akan dilakukan, di mana riset ini pada titik pijak latar

belakang merujuk pada dimensi keberagamaan orang tua terkait dengan

kemampuannya dalam membaca al-Qur’an. Tingkat kemampun dalam para orang tua

masih kurang dan kemampuan dalam membaca doa pada ibadah mahadah yaitu sholat,

dimana kedua aspek tersebut merupakan asas agama Islam. Latar belakang masalah

penelitian juga dideskripsikan tentang proses pendirian lembaga informal untuk

meningkatkan kemampuan membaca al-Qur’an dan ibadah sholat. Berdasarkan

rumusan masalah, hasil penelitian menguraikan bahwa proses pendidikan agama Islam

pada orang tua dalam hal ini membaca al-Qur’an dan sholat, dapat ditingkatkan dengan

bebrapa model pembelajaran mengacu pada gaya dan karateristik belajar orang tua

(Meilani: 2013).

Ketujuh, karya tulisan hasil penelitian berupa artikel yang ditulis oleh Padjrin

(2016), didasari pada latar belakang penelitian tentang bangunan keluarga yang

merupakan institusi terkecil pada tatanan masyarakat, terbentuk dikarenakan proses

perkawinan yang di dalamnya terkandung tahapan dalam menciptakan dan

mempertahankan budaya. Latar belakang masalah juga menggambarkan fungsi

keluraga dalam pengembangan dan peningkatan fisik, mental atau psikologi,

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

14

emosional dan sosial pada seluruh komponen anggota yang ada dalam keluarga. Pola

asuh orang tua yang dikembangkan harus bersifat seperti demokratis; otoriter;

permisif; dan penelantar (acuh tak acuh). Hasil penelitian ini secara uumum

menggambarkan bahwa model pola asuh yang dikembangkan oleh orang tua

setidaknya didasarkan bagaimana contoh yang diberikan rasulullah dalam pendidikan

anak (Padjrin, 2016).

Kedelapan, artikel tulisan ini mempunyai esensi latar belakang yang dijdaikan

pijakan atau asas dalam penelitian ini, menegaskan bahwa manfaat pendidikan

merupakan proses investasi dalam meningkatkan dan mengembangkan kepribadaian

anak yang unggul, berakhlaq baik, mampu berinteraksi seacra luas dalam masyarakat

yang lebih dikenal dengan istilah konsep insan kamil. Manfaat pendidikan dalam

MSDM atau manajemen sumberdaya manusia menjadi kontibutor yang tidak bisa

ditawar dan dikesampingkan sehingga menajdai sumberdaya manusia yang berkualitas

dan akuntabel. Institusi kerluarga merupakan lingkungan utama dan awal bagi proses

pendidikan anak. Sumbangsih institusi keluarga dalam pendidikan mencakup beberap

hal berkaitan erat dengan pembentukan kepribadian atau karakter, sikap anak meliputi

sosial dan keagamaan. Hasil penelitian ini tidak bisa dilepaskan bahwa sebagai aset

atau modal penting dalam memajukan dan mengembangkan tidak hanya keluarga

namun juga peranannya sebagi penerus agama dan bangsa. Kesalahan dalam proses

mengembangkan kemampuan interaksi dan adaptasi anak akan berpengaruh negatif

terhadap keberhasilan dalam mencetak penerus agama dan bangsa yang kompeten dan

berkualitas, sehingga pendidikan dalam keluarga dengan anak sebagai aktor utama

harus merujuk pada dimensi nilai-nilai, aturan dan rambu-rambu yang menjadi dasar

dalam proses pendidikan anak. Konsep nilai rahmatan lil alamin, harus mampu dijiwai

dan dijadikan semboyan serta simbol orang tua atas perannya dalam pendidikan

anak(Baharun, 2016).

Kajian penelitian terdahulu pada kesembilan sebagai upaya pemetaan pustaka

agar novelty yang menjadi instisari proses penelitian dapat direalisasikan merujuk pada

artikel hasil penelitian tentang “Pembelajaran Pendidikan Agama Islam”. Penelitian

ini memiliki fokus pentingnya pendidikan agam Islam pada anak sejak usia dini.

Legalitas atas fakta tersebut dapat dirujuk pada sunnah dan nash al-Qu’an surat at-

Tahrim: 6, yang memiliki kandungan tentang perintah terhadap pelaksanaan

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

15

pendidikan anak di era awal perkembangan anak baik secara psikologis maupun fisik.

Hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa di era modernisasi, dimana terjadinya

perkembangan secara masif teknologi informasi, dalam bebragai varian dan bentuknya

dapat difungsikan untuk melaksanakan pembelajaran pendidikan agama Islam kepada

anak sejak dini, salah satunya adalah android atau smartphone. Konten dan aplikasi

yang dapat disematkan pada andorid, dapat difungsikan dalam proses pelaksanaan

pembelajaran pendidikan agama Islam, sehingga dapat menanamkan nilai, norma,

ajaran dan hal lainnya tentang Islam secara efektif dan efisien (Salim, 2014).

Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mo’tasim (2017), yang

merupakan studi pustaka terkait dengan dimensi sosiokultural pendidikan Islam.

Penelitian ini dengan jenis studi pustaka (library reseacrh) bertujuan memaparkan

secara gamblang tentang hubungan pendidikan agama Islam dengan interaksi sosial.

Hasil riset ini menjelaskan bahwa pendekatan dalam mengembangkan dimensi belajar,

serta pembentukan kepribadian akan dipengaruhi secara nyata dan konkrit atas hasil

interaksi pada lingkungan sosialnya. Proses interaksi sosial dapat difungsikan sebagai

pendekatan untuk pelakasanaan proses pendidikan. Proses pendidikan agama Islam

tidak pada konteks lingkungan sosial, tidak hanya mengembangak dimensi aqliyah

atau pikiran pada kemampuan lahirah namun juga pada dimensi batiniah. Konsep

inilah yang kemudian lebih populer dengan sitilah insan kamil, sebagai basis orientasi

pendidikan agama Islam. Penegasan sebagai hamba Allah, merupakan wujud utama

dari hasil proses pendidikan agama Islam yang dilakukan. Hal ini tidak bisa lepas atas

konsepsi insan kamil yang menjadi tujuan utama pendidikan agama Islam, memiliki

karateristik indikator yang melekat yaitu adanaya keseimbangan dunia-ukhrawi,

kepribadaian yang unggul, pola pikir yang kompeten.

Corak riset berbasi kualitatif dengan jenis studi kasus, memiliki fokus latar

belakang penelitian dengan menjelaskan bahwa model dan strategi pendidikan pada

masyarakat memiliki karateristik yang berbeda-beda sehingga kesesuian atas realitas

tersebut harus menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan pembinaan keluarga

Islam. Hasil riset ini lebih lanjut mengeksplorasi bahwa aspek akomodatif dapat

dijadikan dasar untuk mengintegrasikan nilai-nilai budaya pada masyarakat secara

inovatif, kretaif dan integratif dengan tetap memegang prinsip dasar dan utama

substansi keagamaan. Basis riset ini yang menggunakan sosio kultural, menjadi sisi

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

16

pendekatan yang sangat tepat dalam mendalami corak dan kultur masyarakat dalam

pendidikan agama, yang secara tipologi dapat secara spesifik menunjukkan ciri

masyarakat tersebut. Pendek kata, lingkungan keluarga menjadi aspek fundamental

dalam mengajarkan anak-anak untuk beradaptasi dan bertindak sesuai dnegan nilai

budaya yang tidak menegasikan nilai agama (Muchtar & Juhanis, 2018).

Judul kajian literatur keduabelas, hasil penelitian ini secara spesifik

menjelaskan secara gamblang tentang peranan kearifan lokal dan membentuk dan

meningkatkan peserta didik pada perilaku dan sikap keberagamaannya. Secara

eksplisit tiga komponen yang menjadi esensi hasil riset ini yaitu berkaitan dengan

“lokal genius”, “indigeniuous knowledge” atau dengan istilah yang populer “local

wisdom” dapat digali secara mendalam terhadap kultur atau budaya yang ada pada

masyarakat. Penggalian terhadap tradisi budaya atau kultur masyarakat secara

mendalam, pada penelitian ini menjelaskan bahwa konsep atau dimensi etos kerja

dapat ditemukan sumbernya baik secara filosofis dan terminologis pada local wisdom

yang ada dan menjadai budaya masyarakat. Karateristik budaya pada setiap

masyarakat yang memiliki perbedaan menjadi ciri khsusus yang dapat dikembangkan

dan diintegrasikan dengan proses pembentukan karakter anak. Transformasi secara

arif dan bijaksana atas kearifan lokal kepada anak atau generasi penerus, dapat

mendorong terbentuknya karakter anak atau siswa secara kuat (Affandy, 2019).

Ketigabelas, Artikel dengan judul pengajian dan transformasi sosiokultural

dalam masyarakat muslim tradisionalis Banjar. Dalam artikel ini menjelaskan bahwa

pengajian adalah sejenis dakwah Islam yang telah ditemukan di komunitas muslim

tradisional di Banjar, Kalimantan Selatan. Pengajian adalah asal mula munculnya

pondok pesantren. Meskipun pesantren sudah berkembang begitu cepat, pengajian

dapat mempertahankan keberadaannya di komunitas muslim tradisional Banjar.

Bahkan berfungsi sebagai Lembaga yang bisa menjadi dinamika dan motivator

transformasi sosiokultural di masyarakat(Alfisyah, 1970).

Judul keempatbelas seperti yang tercantum pada tabulasi di atas, dengan fokus

penelitian tentangpendidikan karakter berwawasan sosiokultural. Penelitian ini

mengungkapkan bahwa esensi dari isi pada definisi pendidikan dalam sisdiknas,

adalah pengembangan dan peningkatan secara totalitas terhadap seluruh dimensi yang

menjadai potensi kompetensi siswa meliputi dari sisi keagamaan seperti keimanan dan

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

17

ketaqwaan, dari sisi kognisi berkaitan dengan cara berfikir yang kreatif, mandiri, dari

sisi sikap berkaitan dengan unsur akhlaq mulia dan sisi kehidupan sosial mampu

bersikap demokratis dan bertanggung jawab. Pengembangan potensi-potensi tersebut,

dalam konteks pendidikan formal merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam

proses pembelajaran, namuan dalam konteks kehidupan masyarakat dapat

dihubungkan dengan aspek sosio kultural yang menjadi ciri keniscayaan yang ada pada

masyarakat. (Sukitman, 2012)

Kelimabelas, Artikel dengan judul, perspektif agama dan kebudayaan dalam

kehidupan masyarakat Indonesia sebuah tinjauan sosiologi agama. Dalam artikel ini

dijelaskan bahwa hubungan agama, budaya dan masyarakat sangat penting atau

merupakan system kehidupan karena berkaitan satu sama lain. Namun pertanyaan

keberagamaan dan pembangunan social tidak akan lengkap jika hanya dilihat dari satu

aspek tertentu saja. Untuk itu dalam memandang persoalan masyarakat harus melalui

pendekatan holistic. Diperlukan studi tentang sosiologi agama dan sebaliknya. Ini

berarti studi tentang kehidupan keberagamaan masyarakat tidak akan selesai tanpa

melibatkan sosiologi. Kehidupan beragama memandang orang dalam berpikir,

berperilaku atau bersikap merupakan perwujudan sikap hidup religious seseorang

dalam menerima sesame yang berbeda agama. Agama sebagai pedoman hidup

manusia yang diciptakan oleh Tuhan untuk dijalani dalam kehidupannya. Sedangkan

budaya adalah sebagai kebiasaan atau prosedur hidup manusia yang diciptakan oleh

manusia sendiri dari kekuatan hak cipta, rasa, karsanya yang diberikan oleh Tuhan.

Agama dan budaya saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi budaya, kelompok

dan orang. Budaya cenderung berubah ubah sesuai dengan setiap orang dan kelompok

masing masing, dan perubahan tersebut akan menjadi harmoni, persaudaraan,

kedamaian dan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat. Karena agama telah

mengajarkan kebenaran dan kebaikan, menghilangkan semua pertikaian, diskriminasi

dan lainnya. (Bauto, 2016)

Tema penelitian nomor enambelas pada tabel di atas, riset ini dilatar belakangi

adanya fakta kerukunan natar umat bergama disatu sisi dan budaya atau kultur

masyarakat pada sisi yang lain. Aspek perbedaan seperti ras, suku dan agama menjadi

embrio yang dapat menumbuhkan kesenjangan dan perpecahan antar kompenen

masayarkat yang majemuk. Penelitian ini yang mengambil tempat penelitian pada

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

18

daerah Gayo, yang secara daerah masayarakatnya lebih condong pada penegakan

syariat Islam. Riset ini secara jelas mendeskripsikan bahwa proses pendidikan agama

Islam pada tatanan masyarakat yang majemuk dapat memanfaatkan seni sebagai media

atau sarana dalam proses pendidikan agam Islam. Konteks pada masyrakat Gayo yang

dapat digunakan dalam hal tersebut adalah seni “Didong”, yang berisi nilai-nilai etis

masyarakat setempat yang bersifat intekonektif dengan pendidikan agama Islam

(Akbar (2015).

Judul penelitian nomor tujuh belasa pada tabel, tentang pengembangan

pendidikan karakter berbasis kearifan lokal pada masyarakat minoritas, menjelaskan

bahwa pembangunan dan penegasan identitas bangsa sebagai sebuah karakter yang

melekat pada masyaratnya, merupakan intisari yang dibangun dari “core ethical

values” yang secara nyata bagian yang tak terpisahkan dari kandungan “religion

value”, falsafah negara dan budaya yang ketiganya merupakan dasar atas terbentuknya

tatanan masyarakat. Ketiga dimensi tersebut yaitu nilai agama, falsafah negara dan

budaya berisi nilai-nilai yang dapat diadopsi dan diadaptasi dalam mengembangkan

karakteristik unggul siswa. Mengintegrasikan seluruh nilai yang ada pada budaya

masyarakat dari yang minoritas hingga mayoritas baik dari aspek agama maupun

jumlah penduduk, dapat difungsikan sebagai alat untuk proses pendidikan. Riset ini

dengan pendekatan antropologi bduaya, dengan menyoroti fenomena pada masyarakat

Badui Banten, menemukan bahwa nilai-nilai yang bersifat kearifan lokal seperti dapat

difungsikan untuk pembentukan karakter seperti karakter peduli lingkungan,

bekerjasama atau gotong royong dalam istilah keindonesiaan, mentaati hukum yang

berlaku pada masyarakat atau hukum adat, bersikap sederhana dan mandiri,

mempunyai sifat mau bekerja keras, menjunjung nilai-nilai kejujuran, bersikap

demokratis dan karakter etis lainnya. Lestarinya nilai-nilai tersebut dalam masyarakat

Badui Banten dikarenakan adanya proses pengajaran, pembiasaan, peneladanan dan

penegakan aturan atau tata nilai secara tegas (Hasanah, 2012).

Rujukan pustaka kedelapan belas, berangkat pada dasar teori keagamaan atau

religious yang dikemukakan oleh Cornwall, bahwa tatanan masyarakat akan banyak

dipengaruhi oleh komunitas yang memiliki legitimasi yang kuat. Riset ini mencoba

mencermati kampung naga sebagai sebuah komunitas adat yang berada di daerah

Tasikmalaya, memiliki prinsip kuat dalam memegang teguh kepercayaan, dengan

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

19

tetap melaksanakan berbagai tradisi kearifan lokal yang menjadai ciri khasnya. Tradisi

adat menjadi nilai tertinggi yang harus dipatuhi dan ditaati tanpa terkecuali. Dimensi

hak asasi individu atau personal dibatasi secara nyata dan jelas oleh tradisi adat

masyarakat setempat. Adapun ritual-ritual keagamaan diserahkan secara bebas pada

masing-masing personal dengan intensitas masing-masing. Riset ini menjelaskan

bahwa tradisi adat yag bersifat komunal lebih penting daripada ritual keagamaan yang

bersifat personal. Ketaatan akan aturan-aturan terhadap konsensus secara umum,

menjadai produk hukum tertinggi yang harus dipatuhi. Penelitian ini memberikan

kesimpulan bahwa pelestarian tradisi adat dapat menjadia basic dalam proses

pembentukan karater masyarakat, dalam konteks pendidikan, tentu saja berkaitan

dengan anak (Hamid et al., 2018).

Rujukan penelitian terdahulu yang menjadi basis eksplorasi peneliti memiliki

fokus tema riset yaitu Islam dan kearifan lokal. Keinginan penelitian ini secara terang

mencoba mengeksplorasi secara lebih jauh berkaitan dengan nilai-nilai etis sperti

hukum waris dalam Islam dapat bersifat bekrlanjutan dalam artian bersifat “qothi” atau

final. Hukum etis Islam secara tegas mengatur tentang hukum waris yang tertuang

dalam nash al-Qur’an. Disisi lain keariafan lokal kadang memiliki dimensi hukum

yang berbeda dalam hal tata nilai waris. Penelitian secara lanjut memberikan gambaran

bahwa perubahan yang terjadi pada masyarakat sebaiknya diikuti oleh tata nilai atau

hukum agama yang juga berubah. Ortodoksi keagamaan harus mampu dipahami

secara kontekstual sehingga tidak mengaburkan tujuan Tuhan yang lebih Besar. Riset

ini juga menyimpulkan bahwa kontektualisasi perubahan pada masyarakat juga

merupakan kehendak Tuhan yang harus dipahami secara komprehensif (Rajafi, 2016).

Meskipun penelitian ini memiliki dimensi persinggungan pemikiran yang kuat, namun

menurut peneliti dapat dijadaikan rujukan dalam mengkonstruksi tema penelitian yang

akan dilakukan.

Gambaran kajian pustaka di atas, secara jelas dapat dipetakan dalam tiga tema

besar yang menjadi fokus riset dengan berbagai pendekatan yang digunakan seperti

antorpologi, fenomenologi dan lainnya. Tiga tema besar, seperti yang tercantum dalam

tabulasi di atas meliputi: pendidikan agama Islam, sosio kultural dan kearifan lokal.

Ketiga komponen tersebut dalam sudut pandang peneliti, masing-masing belum

terintegrasi menjadi satu kesatuan fokus pada proses penelitian. Karaterisik penelitian

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

20

sepanjang eksplorasi penelitian, hanya mengerucut pada satu tema apakah itu pada

pendidikan agama Islam pada masyarakat, atau hanya membahas pada kearifan lokal

atau sosio kulturalnya saja.

Berdasarkan deskrpsi penelitian terdahulu di atas menunjukkan bahwa

penelitian yang akan dilakukan oleh penulis sangat berbeda dengan kajian terdahulu

yang membedakannya adalah bahwa penulis ingin melakukan penelitian terkait

dengan Pendidikan agama Islam dalam keluarga petani studi etnografi di Wuluhan.

Penelitian lebih memfokuskan kepada sosiokultural keagamaan komunitas petani dan

kearifan lokal komunitas petani di Wuluhan dalam pendidikan agama Islam. Untuk

lebih jelasnya peta literatur atau peta kepustakaan pada penelitian ini terdapat dalam

bagan 2.1 sebagai berikut :

Bagan 2.1 : Peta Literatur Kajian Terdahulu diadaptasi dari Cresswell (2014)

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

21

B. Kajian Teori

1. Masyarakat dalam Perspektif Etimologi dan Terminologi

Istilah masyarakat dalam sudut pandang etimologi dapat dihubungkan pada

dua bahasa yaitu: pertama, dalam bahasa inggris yang populer dengan istilah

“society”, merupakan turunan dari istilah latin “socius” memiliki terjemahan “kawan”;

kedua, dalam bahasa Arab yang merujuk pada kata “syakara” yang memiliki makna

“ikut serta” atau “berpartisipasi”. Definisi masyarakat dalam konteks terminologi,

dimaknai sebagai kumpulan manusia yang saling “berinteraksi” dan “bergaul” dalam

kehidupan sosial. Konteks yang lain tentang pengertian masyarakat sebagai kesatuan

struktur sosial dengan keteraturan sistem yang mengatur tata kehidupan dan pergaulan.

Masyarakat secara terminologi juga ditafsirkan sebagai orang yang menghuni pada

suatu area atau wilayah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

berinteraksi untuk saling melengkapi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan,

solidaritas dan kebutuhan lainnya seperti politik, kebudayaan (Koentjaraningrat, 2009,

Susanto, 1999, Sinaga, 1988). Berdasarkan deskripsi definisi tersebut, maka

masyarakat secara sederhana dapat dimaknai sebagai satu kesatuan atau kelompok

didasarkan pada adanya kesamaan yang meliputi tradisi, sikap, perasaan dan kultur

sehingga mampu menghasilkan keteraturan yang menjadi sistem tata nilai yang

dipatuhi.

Secara tipologi, konsep dan teori masyarakat terbagi atas dua yaitu masyarakat

tradisional dan masyarakat modern. Kedua macam tipe masyarakat yaitu tradisional

dan modern memiliki karakteristik dan ciri khusus sebagai pembeda diantara

keduanya. Dimensi keterikatan terhadap “habit” atau kebiasaan, adat istiadat, kultur

yang bersifat turun termurun, antipati terhadap aspek yang cenderung bersifat rasional

dan bersifat baru serta kecenderungan untuk tidak bersifat kritis tetapi lebih pada sikap

statis merupakan ciri khas masyarakat tradisional (Sinaga, 1988). Stagnasi pada pola

kehidupan sehari-hari merupakan karakter yang melekat pada masyarakat tradisional.

Pendeknya kecenderungan pada ciri dan pola tipologi masyarakat tradisional adalah

kultur atau budaya dan adat istiadat sebagai patokan utama dan bersifat sebgai hukum

positif yang harus dipatuhi dan ditaati.

Kdengan masyarakat modern, lebih merncerminkan pada aspek yang bersifat

rasionalistik daripada yang bersifat adati. Dinamisasi proses perubahan-perubahan

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

22

yang terjadi dalam kehidupan merupakan tanda utama ciri masyarakat modern.

Mengadaptasi dan mengadopsi value atau nilai yang bersifat positif dapat mendorong

kemajuan yang ditandai dengan kebaruan ide-ide yang dapat diterima (Sinaga, 1988).

Ciri lain yang melakat pada masyarakat modern adalah adanya sikap solidaritas sosial

organis sebagai bentuk sikap saling ketergantungan (Amiruddin, 2010). Kemunculan

sikap solidaritas organis, berdasarkan spesialisasi atau kekhususan. Adanya sikap

solidaritas organis dipicu kesamaan ketergantungan baik secara fungsional maupun

tidak. Perbedaan secara fungsional dan ketergantungan anatar anggota masyarakat

menjadi tolak ukur atas kontruksi masayarakat modern (Chairuddin, 1993) solidaritas

organis didasarkan atas spesialisasi. Solidaritas ini muncul karena rasa saling

ketergantungan secara fungsional antara yang satu dengan yang lain dalam satu

kelompok masyarakat. Spesialisasi dan perbedaan fungsional yang seperti

diungkapkan tersebut memang kerap dijumpai pada masyarakat modern.

Ciri lain yang membedakan msayarakat modern dengan tradisional, di samping

adanya aspek solidaritas organis, juga berkaitan dengan hukum restruktif, yang

dipahami sebagai perangkat yang berfungsi untuk merekontruksi atau membangun

kembali pada kondisi sedia kala serta berfungsi untuk menormalkan keadaan yang

kacau atau chaos. Migrasi masyarakat modern dari pola adat istiadat yang berbasis

kultural sebagai hukum positif kearah proses dinamisasi kehidupan dengan konsep

solidaritas organis dan hukum restruktif. Stagnasi proses kehidupan menjadi domaian

yang bertetangan dengan karakteristik masyarakat modern (Amiruddin, 2010).

Skala perbandingan masyarakat modern dengan tradisional, lebih lanjut dapat

dihubungkan dengan keberadaan alam sebagai anugerah kehidupan manusia.

Kencenderungan masyarakat tradisional memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi

terhadap alam, sedangkan masyarakat modern lebih memiliki kecenderungan

sebaliknya. Mensinergikan kehidupan dengan alam sekitar yang ditandai dengan

keselarasan dalam pemanfaatan alam menjadai domain yang tak terpisahkan dari

msayarakat modern (Bouman, 1980).

Beberapa ciri dan karakteristik khusus yang melekat pada masyarakat

tradisional, merujuk pada dua pendapat dapat disajikan dalam tabulasi di bawah ini :

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

23

Tabel 2.2. Ciri Masyarakat Tradisional

Berdasarkan ilustrasi data karakteristik masyarakat tradisional di atas, secara

esensial dapat dideskripsikan merujuk pada tabel data pertama yaitu: pola berfikir,

bertumpu pada bidang agraris, pendidikan bukan kebutuhan primer, ketergatungan

pada alam, kekuatan hubungan kekeluargaan, tingkat rasio jumlah penduduk rendah,

turun temurun dan kompetensi diri menjadi faktor utama dalam penentuan pimpinan

atau kekuasaan. Adapun pada teori kedua, lebih terfokus pada landasan sistem dalam

menjabarkan ciri dan karakteristik masyarakat tradisiondal. Bentuk yang homogen,

kepentingan bersama, dan budaya malu yang masih menjadi pondasi kuat bagai

masyarakat tradisional dalam berlaku dan bersikap dalam kehidupan sehari-hari.

Perbedaan mendasar antara masyarakat tradisional dan modern, dapat juga

dilihat dalam kacamata analisis perspektif konsep solidaritas. Masyarakat tradisional

lebih pada solidaritas sosial mekanis, sedangkan masyarakat modern pada solidaritas

sosial yang bersifat organis. Kesamaan pada konteks cipta, rasa, karsa menjadi tolak

ukur yang digunakan masyarakat tradisional. Kesamaan tidak hanya pada konteks

komunitas atau kelompok, tetapi menyentuh pada dimensi terkecil yaitu masing-

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

24

masing individu yang berada pada masyarakat tradisional. Konsensus menjadi aturan

yang harus ditaati oleh seluruh anggota msayarakat, sehingga kesamaan hak asasi

merupakan dimensi yang sangat dijunjung tinggi tanpa melihat status sosial yang ada

pada masyarakat (Amiruddin , 2010, Chairuddin, 1993).

1) Masyarakat Tani

a) Masyarakat Desa

Berdasarkan pensarian dari KBBI, bahasan dan definisi masyarakat, seperti

yang telah dideskripsikan sebelumnya, merupakan komunitas manusia yang terikat

pada domaian yang sama seperti budaya, tata nilai atau aturan. Adapun berkaitan

dengan makna masyarakat desa, yang secara teritorial merupakan kelompok manusia

yang tinggal di desa dengan sumber pendapatan atau pancaharian pada bidang

pertanian hingga peternakan atau bentuk usaha yang merupakan combaine dari

bidang-bidang tersebut. Identitas mata pencaharian atau penghasilan tersebut

didukung dengan sistem sosial dan budaya yang berlaku dan ditaati oleh anggota

masyarakat.

Istilah masyarakat di samping dihubungkan dengan etimologi “society”, juga

dapat ditelisik dari kata “community” yang dapat dimaknai sebagai masayarakat

setempat, ditandai sebagai karateristiknya pada kehidupan sosial adalah adanya

kesamaan pada berbagai aspek, khususnya kesamaan hubungan sosial. Pembahasan

lebih lanjut tentang ciri msayarakat, tertuju pada aspek kehidupan meliputi

kebersamaan, waktu interaksi dalam kurun waktu yang cukup lama, dan kesadaran

akan dimensi satu-kesatuan dan meyakini suatu sistem sebagai dasar untuk kehidupan

berdampingan dan bersama (Soekanto, 2006; Koentjoroningrat, 2009).

Berdasarkan deskripsi di atas, lebih mengerucut pada ditinjau dari sifat sebagai

ciri masyarakat pedesaan, adalah sifat gradual yang menajdia hakikatnya. Deskripsi

ini menjelaskan bahwa masyarkat cenderung bersikap bertahap dalam berbagai hal

dalam konteks kehidupan. Tingkat keeratan dan perasaan terikat pada anggota

masyarakat lebih kuat daridapa dengan komunitas diluar masyarakat. Deskripsi

sebelum yang menerang bahwa masyarakat pedesaan lebih dominan sektor kerjanya

pada bidang pertanian, meskipun fenomena pekerjaan sebagai mata pencaharian

seperti tukang bangunan hingga bidang kerajinan genteng dan lainnya. Tanda utama

masyarakat sebagai cirinya adalah adanya interaksi, kekhususan pola tingkah dan laku

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

25

pada keseluruhan aspek kehidupan, dengan sifat yang melekat sebagai jatidiri atau

identitas kelompok (Soekanto, 2006)

b) Ciri-Ciri Masyarakat Desa

Ciri-ciri masyarakat desa atau pedesaan, setidaknya merujuk pada 4 identitas

utama yang dapat digunakan sebagai alat analisis, anatara lain adanya interaksi, ikatan

pada pola tingkah laku yang khas pada semua bentuk interkasi yang berifat mantap

dan kontinue, adanya rasa identitas merujuk pada kelompok yang menjadai

komunitasnya dan personal individu sebagai anggota masyarakat (Basrowi, 2005;

Waluya, 2001). Bentuk kehidupan atau pergaulan, masyarakat memiliki ciri-ciri utama

yaitu : pertama, manusia yang hidup bersama; kedua, beritneraksi, bergaulan atau

bercampur dalam kurun waktu yang tidak sebentar; ketiga, kesadaraan antar anggota

masayarkat sebagai satu kesatuan dan empat, adanya sistem bersama sebagai sebuah

konsesus atau kesepakatan yang disepakati bersama-sama (Soekanto, 2006).

Ciri-ciri masyarakat di atas selaras dengan definisi masyarakat yang telah

dikemukakan sebelumnya bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar

dan mempunyai kebiasan, tradisi, sikap dan perasaan yang sama. Masyarakat itu

meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil yang mempunyai hubungan

yang erat satu sama lain. Habit atau kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan yang equal

atau sama dengan keterkaitan anatar kelompok yang ada pada sebuah masyarakat.

Memperkuat penjelasana tersebut, masyarakat tergambar dengan keberadaan sejumlah

manusia pada area tertentu, memiliki sistem hubungan, kepentingan bersama sebagai

landasan dalam kehidupan sehari-hari, memiliki tujuan dan kerjamasa, solidaritas,

interdependensi, mempunyai aturan atau norma dan kultur. Konteks tersebut berlaku

pada semua jenis masyarakat dari desa hingga kota, dengan fokus pada dimensi

aktivitas kehidupan (Soelaman, 1992).

Masyarakat desa sebagai labelisasi identitas atas masyarakat tradisonal dalam

istilah ilmiah disebut dengan “gemeinschaft” memiliki ciri antara lain: afektifitas,

orientasi kolektif, partikularisme, askripsi dan kekabaran atau

diffuseness.Berdasarkan penjelasan tentang “gemeinschaft” didasarkan eksplorasi

teori Parsons, meskipun dianggap sebagai penghambat modernisasi sebagai ciri

masyarakat pedesaan pada sisi negatif (Murdiyanto, 2008), namun dalam sudut

pandang sisi positif masyarakat pedesaan masih menyimpan dan melestarikan budaya

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

26

atau kultur dan kearifan lokal sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses

kehidupan.

Pendapat Parson di atas tentang ciri masyarakat pedesaan tidak bisa dilepaskan

atas pandangan Tonnies tentang gemeinschaf atau paguyuban/komunitas –

gesellschaft atau patembayan (Hasanah, 2017; Rahayu & Mayastuti, 2016;

Simangunsong & Hutasoit, 2017). Disisi lain teoritis tentang masayarakat pedesaan

dapat dirujuk pada beberapa tokoh kunci dalam bidang sosiologi seperti Cooley untuk

membedakan pedesaan dan perkotaan menggunakan istilah “primary-secondary

group”, Dukheim dengan istilah “solidaritas mekanik-organik” (Murdiyanto, 2008).

Berkaitan dengan masyarakat pedesaan secara sederhana dapat dijelaskan bahwa

cirinya lebih cenderung pada aspek kekeluargaan dan pertanian atau bercocok tanam

sebagai mata pencaharian. Identitas masyarakat pedesaan identiik dengan pertanian

atau bercocok tanam dan kegiatan lainnya seperti ternak sebagai mata pencaharian,

tidak bisa dilepaskan atas potensi alam yang dimiliki pada lingkungan pedesaan.

2) Tinjauan Petani

1. Pengertian Petani

Pertanian sebagai aktivitas ekonomi masyarakat desa, yang pelakunya disebut

dengan petani. Konteks petani sebagai status sosial yang disadang hampir pada seluruh

penduduk pedesaan, tidak hanya bergerak pada bidang tetapi juga mencakup

perikanan, peternakan dan pemunguatan hasil laut (Hernanto, 1996). Kategorisasi

petani dalam konteks keindonesiaan, setidaknya terbagai atas tiga kelompok besar

yaitu petani pemilik, petani penggarap/penyangkap atau bagi hasil, petani penyewa

dan buruh tani. Perspektif lain, terkait dengan klasifikasi petani, ada 4 macam dengan

memunculkan petani penyewa sebagai tambahan (Sandy, 1985; Malik, Wahyuni, &

Widodo, 2018; Nasriah, Nuddin, & Irmayani, 2019; Sihaloho, Purwandari, & Ita,

2010; Tola, 2016). Jenis petani pemilik sendiri terbagi atas 2 yaitu petani pemilik

dengan model mengerjakan sendiri dan petani pemilik dengan model menyewakan

lahannya (Hanafi, 2007). Berlandaskan pada padangan tersebut, secara lebih rinci

dapat dijelaskan bahwa petani pemilik adalah pihak yang memiliki lahan pertanian,

petani penggarap atau penyangkap lebih pada sistem bagi hasil atas hasil pertanian,

petani penyewa dimana lahan pertanian yang diolah merupakan sewaan dan buruh tani

lebih pada aspek pemanfaatan jasa dalam pengolahan lahan pertanian.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

27

Klasifikasi klas petani di atas, tidak bisa dipisahkan dari hasil observasi

terhadap realitas dilapangan. Setidaknya observasi berkaitan dengan karateristi petani

meliputi 6 komponen yang melekat berhubungan dengan aspek umur, pendidikan,

lama berusaha tani, jumlah tanggungan, luas lahan dan kompetensi (Mandang,

Sondakh, & Laoh, 2020; Manyamsari & Mujiburrahmad, 2014). Menindaklanjuti

penjelsan tersebut, secara universal bahwa adanya klasifikasi kelas petani tersebut juga

akan berimbasa pada dimensi sosial ekonomi masyarakat pedesaan. Disisi lain, kondisi

tersebut juga akan berimbas pada dimensi sosial, kultural dan keagamaan masyarakat

pedesaan. Hal ini mengacu pada konteks tipologi masyarakat akan menentukan

dimensi sosial kultur dan local wisdomatau kearifan lokal akan terus dilestarikan atau

stagnan dan hilang seiring dengan kemajuan dan perubahan struktur masyarakat

khususnya pada masyarakat petani. Merujuk pada beberapa hasil penelitian, status

sebagai petani kecil pada masyarakat pedesaan lebih dominan dibandingan dengan

pemilik lahan, sehingga pola kehidupan masyarakat cenderung stagnan sesuai dengan

ciri masyarakat pedesaan atau tradisional (Soekarwati, 1986).

2. Agama dan Budaya Dalam Terminologi Clifford Geertz

Agama dan budaya dapat dipahami sebagai dua mata sisi yang saling terintegrasi

dan terkoneksi dalam kehidupan. Agama sebagai basis keimanan dan keyakinan dimaknai

way of life dalam menwujudkan kebahagian dan kemuliaan. Agama sebagai institusi yang

mengakomodir kepercayaan yang bersifat ghaib. Agama mencakup nilai-nilai yang bersifat

sakral. (Marzuki, 2010; Miskahuddin, 2017; Muhammad, 2013; Nurmadiah, 2019; Putra,

2020). Geertz sendiri sebagai tokoh pemerhati dalam bidang antropologi mengungkapkan

bahwa agama merupakan rangkaian simbol-simbol yang memiliki koneksi instrinsik

(conection instrinsik) yang dipahami sebagai realitas aspek (aspect reality) dan sebgai

representasi dari realitas (its representation) simbol itu sendiri (Geertz, 1993; Pals, 1997;

Wendry, 2016).

Budaya secara esensial dapat dimaknai sebagai nilai yang besifat profan dalam

kehidupan masyarakat atau komunitas. Budaya segala sesuatu yang meliputi pengatahuan,

kepercayaan, seni, hukum dan kemampuan yang menjad kebiasaan masyarakat (Anderson-

Levitt, 2012; Kroeber & Kluckhohn, 1954; Medeiros & Cowal, 2017). Geertz sendiri

mengintepretasikan budaya lebih pada konteks kebiasaan yang memiliki sistem makna dan

simbol untuk mengintepretasikan kehidupannya. Budaya sarat akan nilai-nilai yang bersifat

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

28

simbolik sebagi dimensi untuk mengungkapkan sikap-sikap yang ada dalam konteks

kehidupan (Geertz, 1974; Reinhardt, 2020; Ramli, 2012).

Dimensi agama yang juga dapat diekspresikan dengan simbol-simbol begitu juga

pada budaya, sehingga kedua aspek ini memiliki korelasi yang terintegrasi. Agama dan

budaya menjadi dimensi yang tak terpisahkan pada kehidupan manusia. Agama sebagai

aspek yang berkaitan dengan dimensi spiritual dan keyakinan dan budaya sebagai nilai etis

yang ditaati oleh anggota masyarakat. Integrasi agama dan budaya dalam tataran kehidupan,

mampu mengkostruksi sebagai berbagai praktek baru dalam kehidupan komunitas atau

masyarkat. Keduanya memiliki sifat hubungan yang simbiosis mutualis bersinergi saling

menguatkan sebagai landasan dasar kehidupan komunitas dan masyarakat.(Duryadi, 2017;

Mahfuz, 2019; Hariyanto, 2015; White, 2007).

Kajian tentang hubungan atau relasi agama dan budaya dalam konteks

keindonesiaan tidak bisa lepas dari konsepsi yang dibangun oleh Clifortd Greetz. Pandangan

Geertz tentang relasi agama dan budaya merupakan dapat ditelisik pada teori tentang

trikotomi masyarakat Jawa. Disisi lain teori Geertz juga dijadikan dasar dalam kajian tentang

hubungan atau integrasi agama dan budaya khususnya dalam perspektif pendekatan

sosiologis dan antropologis (Burhani, 2017; Darwati, 2018; Hamali, 2018; Kuntarto, 2016;

Potabuga, 2020)

Karya Geertz lain yang menggambarkan agama sebagai sistem budaya dan adanya

relasi antara keduanya dapat ditelisik Islam Observed yang pada bahasannya secara eksplisit

mendeskripsikan adanya relasi Islam dan budaya. Bagian “Two Countries, Two Culture”

secara gamblang menggambarkan corak keberagamaan masyarakat Islam kedua negara

yang berbeda. Keberagamaa muslim Maroko cenderung fanatik, sedangkan di Indonesia

lebih kepada sifat kebatinan, tenang dan perasa. Geertz melanjutkan perspektifnya tentang

kebudayaan masyarakat pada karyanya yang berjudul “Local Knowledge”, dimana kembali

menegaskan bahwa budaya atau kebudayaan tidak bisa dipahami secara tampilan, namun

harus ditelisik lebih mendalam. Budaya tidak bersifat negatif, namun memiliki makna

positif berdasarkan pengetahuan yang diyakini oleh masyarakat setempat (Geertz, 1971;

Geertz, 1983) .

Agama sebagai dasar keyakinan tentu akan memiliki pengaruh terhadap budaya dan

cara pandang masyarakat (Santoso & Wisman, 2020). Hubungan agama dengan budaya

pada tataran kehidupan komunitas atau masyarakat dapat dilihat pada tradisi sosiokultural

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

29

yang berbasis kegamaan. Realitas ini dapat dilihat secara kasat mata pada kehidupan sehari-

hari komunitas atau masyarakat. Relasi yang harmonis antara agama dan budaya menjelma

menjadi tradisi baru dalam kehidupan masyarakat atau komunitas dengan corak yang lebih

Islami. Simbolisasi Islam dalam praktek tradisi dapat dijadikan indikator utama sebagai

penegas bahwa hubungan agama (Islam) dan budaya terintegrasi secara baik. Beberapa

tradisi yang bercorak sosiokulrual keagamaan seperti sakaten di Jogjakarta, Toron di

Madura (Djakfar, 2012; Marjan & Hariati, 2018; Wekke, 2013). Pemikiran Geertz terkait

konsep trikotomi secara mendalam tertuju pada tradisi slametan yang menjadi budaya yang

sering dilaksanakan oleh kaum abangan. Corak masyarakat Jawa yang bersifat complicated

disebabkan benturan budaya dari animisme hingga dinamisme, Hindu dan Islam, slametan

dianggap sebagai ritual (rites) yang dalam terminologi kajian agama dapat dimaknai sebagai

ibadah (Adiansyah, 2017; Syah & Muhid, 2020; Nasrudin, 2013).

Geertz bagi pemerhati relasi agama dan budaya dianggap sebagai tokoh central yang

tidak bisa dipungkiri meskipun era sebelumnya ada tokoh-tokoh seperti Max Weber yang

mengemukakan bahwa pergesaran nilai yang dianut mampu merubah kontruksi kehidupan

masyakat. Pemerhati yang dapat diklasifikasikan sebagai pengikut Geertz dalam

mencermati hubungan agama dan sastra, salah satu tokohnya di Indonesia dapat dirujuk

pada sosok Kuntowijoyo. Beberapa kajian yang mencermati pemikiran tokoh ini

mengisyarkatkan bahwa pemikirannya banyak bersinggungan dengan dimensi sosio

kultural yang memiliki corak Islam (Mulia, 2018; Khotimah, 2019).

Tipologi karya Kuntowijoyo yang cenderung pada bidang sastra, banyak

mengeksplrorasi hubungan agama dengan sosial budaya masyarakat. Nilai-nilai profetik

istilah yang digunakan Kuntowijoyo, ditujukan untuk menggambarkan dimensi keagamaan

masyarakat yang terimplemnetasikan dalam kehidupan (Astuti, 2017; El Farouq Ghazali &

Machmudah, 2020; Untoro, 2016; Wasi’ah, Saripah, Stiyanti, & Mustika, 2018).

Disamping Kuntowijoyo yang dapat diafiliasikan pada area pendukung Geertz,

tokoh lain yang dapat dirujuk sebagai kritikus Geertz khususnya terkait dengan konsep

trikotominya adalah Mark Woodward, Andrew Betty, Marshall Hodgson. Penulis da

pemerhati Indonesia yang secara mendalam mengkritisi teori trikotominya Geertz

diantaranya Zaini Muhtarom, Zainudin Maliki dan Bahtiar. Khusus pandangan Woodward

terkait bantahan terhadap teori trikotomi Geertz, Woodward menganalisis berdasarkan

fenomena keberagaman Islam Jawa di Yogyakarta. Bagi Woodward apa yang disampaikan

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

30

oleh Geertz tidak mencerminkan Islam Indonesia secara keseluruhan. Woordward melihat

Islam Jawa sebagai konsepsi keagamaan, dimana Geertz lebih melihat Islam Jawa sebagai

fenomena sinkretik (Fawaid & Khatimah, 2018; Tago, 2017).

Pemikiran Geertz setidaknya dipengaruhi oleh empat ilmuwan dalam bidang

antropolog yaitu seperti, Franz Boas, Alfred Lous Kroeber, Ruth Benedict dan Robert

H. Lowie. Corak utama studi kebudayaan masyarakat yang dikembangkan oleh Geertz

tidak bisa lepas dari pengaruh tokoh-tokoh tersebut dengan basis etnografi. Hal

tersebut dapat dijelaskan melalui gambar berikut :

Gambar 2.1. Tokoh yang berpengaruh terhadap pemikiran Geertz

Salah satu tokoh yang berpengaruh terhadap Geertz yaitu Frans Boas terkait

konsep relativisme budaya yang dikemukannya. Relativisme budaya sebagai suatu

padangan bahwa kebudayaan bersifat relatif dimana norma etikal moral masyarakat

tidak bersifat universal. Masing-masing kebudayaan berdiri sendiri dan harus

mengedepankan aspek saling memahami dan menghormati. Konteks relativime

budaya dalam pandangan Boas, lebih dipahami sebagai tata nilai norma moral yang

bersifat lokal tidak universal. Konteks relativisme budaya inilah pada akhirnya

memberikan sebuah legitimasi adanya perbedaan kebudayaan atau bersifat

multikultural (Brown, 2008; Fernandez, 2015; Stoking, Jr., 1966; Park, 2011).

Pandangan-pandangan Geertz terkait dengan studi antropologi juga

dipengaruhi oleh Kroeber yang mengusung teori difusi atau penyebaran budaya. Bagi

Kroeber yang merupakan Boasian, adanya sebuah kebudayaan pasti dipengaruhi oleh

kebudayaan lainnya. Kroeber menegaskan bahwa interaksi merupakan dimensi yang

Franz Boas (Relativisme Kebudayaan

Alfred Lous Kroeber (Penyebaran Budaya)

Robert H. Lowie (culture in mind )

Ruth Benedict (Culture Gestalt)

Clifford Geertz Marshall Hodgson Mark Woodward

Religion as culture system

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

31

dapat menimbulkan perubahan bagi kebudayaan yang menerima unsur kebudayaan

lain. Proses difusi atau penyebaran terjadi manakala memiliki terpenuhinya empat

unsur yang meliputi inovasi, komunikasi inovasi, sistem sosial sebagai tempat, dan

waktu. Melihat dari unsur ini proses difusi dapat dipahami bahwa penyebaran suatu

kebudayaan merupakan proses yang membutuhkan nilai baru, proses pemaknaan dan

sosialisasi, tempat penyebaran dan waktu. Kroeber sebagai Boasian proses studi

antropologi lebih menitik beratkan pada linguistik atau hermeneutik (Kroeber, 1940;

Steward et al., 1961; Jacknis, 2002; Maybin & Tusting, 2011; Rizal, 2012).

Ruth Benedict yang juga sebagai Boasian, memiliki dasar pendekatan dan

perspektif yang sama dengan koleganya yaitu Kroeber. Meskipun demikian Benedict

memiliki perspektif sendiri berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Benedict yang sudut

pandangnya dipengaruhi teori gestalt/konfigurasi, kebudayaan merupakan ekspresi

nilai yang ada dalam masyarakat. Kebudayaan tidak hanya dimensi yang bersifat kasat

mata seperti tindakan atau tingkah laku suatu masyarakat (Benedict, 2006; Bennett,

2015; Young, 2005). Tokoh lain yang menjadi barometer study antropologi pada saat

itu yaitu Robert H. Lowie dengan karyanya yang berjudul "Primitive Society". Lowie

memberikan pendapat bahwa kebudayaan merupakan abstraksi dari perilaku nyata

masyarakat. Pandangan Lowie lebih merujuk pada dimensi "mind" atau pikiran

tentang kebudayaan. Esensi dari padangan Lowie tersebut adalah bahwa kebudayaan

merupakan hasil proses pemikiran yang bersifat abstrak yang kemudian menjelma

menjadi norma nilai bukan merupakan kesinambungan dan inovasi perilaku

masyarakat (Lowie, 1920; Adimihardja & Salura, 2004; Bargheer, 2017).

Study antropologi yang dibangun sejak Boas hingga Lowie lebih pada model

etnografi dari pada perbandingan di era tersebut menjadi salah satu pendekatan studi

yang popular. Gagasan studi antropologi dengan pendekatan etnografi inilah yang

kemudian menjadi dasar hasil penelitian Geertz. Meskipuan demikian, bahwa

etnografi berpengaruh, namun fokus pendekatan studi kebudayaan Geertz berbeda

dengan pendahulunya. Kajian Geertz dalam mengupas budaya lebih pada dimensi

symbol, sedangkan Boas dan para pengikutnya lebih pada konteks linguistik-

hermenuetik dan mind atau pikiran yang dikemukan oleh Lowie. Geertz lebih banyak

mencermati budaya sebagai intepretatif simbolik maupun sistem simbolik. Konteks

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

32

ini dapat dilihat dari karya-karya Geertz yang lebih banyak mencermati simbol-simbol

yang ada dalam masyarakat.

Salah satu tulisan Geertz yang mencerminkan konsetrasi studinya terhadap

kebudayaan dengan mencermati simbol-simbol dapat dirujuk pada karyanya yang

berjudul "Tafsir Kebudayaan atau Interpretation of Culture". Karya Geertz ini

mencoba menelisik secara lebih mendalam tentang simbol-simbol yang ada dalam

kebudayaan dalam perspektif palaku budaya atau masyarakat setempat. Meskipun

Geertz secara kontroversial menjelaskan bahwa manusia laksana hewan yang terjebak

pada jarring-jaring makna berkaitan dengan kebudyaan. Disisi lain Geertz

menjelaskan bahwa kebudayaan bersifat kontekstual mengandung makan yang

mendalam terkait dengan sebuah tradisi diman Geertz memberikan contoh pada

tulisannya dengan tradisi sabung ayam. Bagi Geertz tradisi tersebut tidak hanya

dipahami sebagai praktek sabung ayam, namun ada simbol-simbol yang bersifat

intepretatif seperti kehormatan, harga diri, kekuatan. Geertz berusaha dengan model

etnografi menggambarkan secara jelas dari sebuah budaya yang dikaji dan ditelitinya

(Dadze-Arthur, 2017; Geertz, 1973).

Penjelasan di atas menguraikan bahwa model kajian Geertz berbeda dari pada

mentornya seperti Boas, Kroeber dan Lowie meskipun secara metodologis secara

pengaruh terlihat pada etnografi sebagai basis studi Gertz tentang budaya. Penegasan

gagasan Geertz tentang budaya yang bersifat intepretatif dan kontektual juga dapat

ditelusuri pada karya lainnya yaitu Mojokunto sebagai sebuah dinamika sosial

masyarakat Jawa. Buku ini merupakan secara keterkaitan dapat disebut sebagai

kesinambungan karyanya yang berjudul Islam Jawa (Islam Javanese). Konsep

trikotomi yang sangat nampak pada Islam Jawa, pada Mojokunto Geertz

menggambarkan bahwa perbedaan dan jarak antar kelompok atau golongan

masyarakat sudah tereduksi dengan adanya modernisasi dalam bidang sosial

masyarakat. Geertz lebih rinci mendeskripsikan kelompok-kelompok masyarakat pada

karya Mojokunto, meskipun tetap dalam ruang teori trikotomi yang digagasnya.

Kajian dan studi Geertz tentang Islam Jawa dan kebudayaan, seperti yang telah

disinggung di atas, dikritisi oleh Mark Woodward dan Marshal Hodgson. Meskipun

demikian, perkembangan tradisi masyarakat Islam Jawa tidak bisa dipahami dalam

konteks dahulu. Bagi Geertz tradisi seperti slametan yang dulu dijelaskan sebagai basis

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

33

kaum abangan, saat ini haru ditafsirkan kembali sebagai upaya untuk memahami

budaya masyarakat secara lebih jernih dan jelas. Tafsir terhadap kebudayaan tidak

bersifat statis namun kontekstual sebagai basis sosiokultural masyarakat.

Integrasi dan relasi agama dan budaya pada tataran realita berubah menjadi tradisi

yang bersifat sosiokultural keagamaan, sedangkan kebiasaan yang menjadi nilai etis

masyakat dapat dipahami sebagai kearifan lokal. Kedua konsep ini dalam kehidupan

masyarakat dapat difungsikan sebagai basis pendidikan agama Islam (Mufidah, 2015; Putri,

2019). Pemahaman Geertz terhadap budaya merupakan fakta simbolik yang didasari oleh

keyakinan atau kepercayaan yang bersifat sakral sebagai dimensi agama. Simbol-simbol

yang melekat pada sebuah budaya merupakan “par excellence” dari sebuah kepercayaan

yang diyakini. Konteks tersebut dapat dimaknai secara sederhana, bahwa dalam perspektif

Geertz budaya merupakan citra agama.

Berdasarkan ekplorasi deskripsi di atas, maka secara ontologis bahwa agama dan

budaya memiliki relasi yang tidak bisa dipisakan dari kehidupan masyarakat. Agama dan

budaya merupakan sisi yang saling terintegrasi dan mewarnai. Agama sebagai gambaran

dimensi ketuhanan dan spirtualitas, sedangkan budaya sebagai nilai etis yang ada pada

masyarakat. Tinjauan epistemologis agama dan budaya dibahas tentang makna agama dan

budaya serta relasi agama dan budaya dalam perspektif Geertz, yang memiliki corak

berbeda pada setiap masyarakat. Adapun secara aksiologis, relasi agama dan budaya dapat

melahirkan tradisi atau ritual masyarakat yang menggambarkan simbolisasi nilai-nilai sakral

atau profetik dan profan yang terkemas dalam bentuk sosiokultur keagamaan dan kearifan

lokal. Sejalan dengan paparan deskprisi di atas, pemikiran Geertz dapat dielaborasi dalam

gambar bagan sebagai berikut.

Gambar 2.2.

Overview Pandangan Clifford Geertz Agama sebagai Sistem Budaya

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

34

3. Sosiokultural Keagamaan

Pengertian tentang sosiokultural keagamaan harus ditafsirkan sebagai dua

komponen yang terintegrasi menjadi satu istilah yang utuh yaitu sosiokultural dan

keagamaan. Mencari definisi istilah tersebut secara untuh , kemungkinan besar tidak

dapat dilakukan tanpa melalui proses penafsiran dengan dua pengertain dalam satu

maksud definisi. Istilah sosiokultural sendiri merupakan dua istilah yang menjadai satu

penafsiran atau pemaknaan definisi tersendiri. Sosiokultural secara definitif terdiri atas

dua istilah dengan disiplin keilmuan berbeda. Sosio atau kata “socius” merupakan

domain keilmuan sosiologi, sedangkan kultur atau kultural domain disiplin ilmu

antropolgi, sehingga sosiokultural dapat dimaknai sebagai keseluruhan yang berkaitan

dengan masyarakat dan budaya (Poerwadarminta, 1983; Thabroni, 2020). Sosial

budaya atau sosiokultural merupakan hasil adanya proses interaksi yang tak

terpisahkan antara pemikiran disatu sisi dan budaya disisi lainnya. Lahirnya budaya

terkontribusi oleh tindakan dan perilaku tertentu atau spesifik yang dilakukan oleh

masyarakat. Sosiokultural dapat berfungsi dan difungsikan sebagai tata nilai yang

harus ditaati oleh seluruh komponen masyarakat (Sukitman, 2012).

Dimensi spesifik sosiokultural dapat dijadikan sebuah gambaran secara

esensial atas sebuah tatanan masyarakat, karena mengandung nilai-nilai berkaitan

dengan habit atau kebiasaan, art atau seni, serta seperangkat simbol dan indikator yang

dapat menajdai pembeda antara satu msayarakat dengan msayarakat lainnya.

Sosiokultulan merupakan bagian atas manifestasi yang bersifat turun temurun dan

mendarah daging sebagai sebuah penanda atas entitas atau kelompok tertentu.

Kebrlanjutan dari proses sosiokultural yang secara sadar ditanamkan sebagai doktrin

yang harus dipatuhi dan dipahami secara komprehensif akan melahirkan karakter

masyarakat, yang secara esensial keduanya antara sosiokultural dan karakter menjadi

dua sisi yang saling mencerminkan (Sukitman, 2012).

Istilah keagamaan sendiri merupakan turunan dari kata agama. Beberapa istilah

agama dalam berbagai perspektif, yang secara umum terwakili pada dua bahasa yaitu

“religion” dan “din” atau “ad-din”. Agama secara etimologi dimaknai berkaitan erat

dengan aspek kepercayaan atau keyakinan (belief) dan ritual atau upacara serta aspek

yang bersifat “trancends experience”, dalam kacamata Geertz agama lebih identik

dengan budaya. Adapun berkaitan dengan sudut padangan terminologi agama adalah

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

35

keyakinan terhadap yang ghaib yang didalamnya terdapat ritual/ibadah/upacara

(Joevarian, 2012; Khoiruddin, 2016; Mazarli, 2016; Aziza, 2016; Tamrin, 2019).

Istilah keagamaan yang secara studi bahasa merujuk pada kata agama dengan

imbuhan “ke” dan “an”, menjadi kata yang lebih konkrit. Makna keagamaan sendiri,

lebih tertuju pada dimensi aplikatif secara kontinue dalam mentaati, menjalankan dan

melaksanakan nilai-nilai yang menjadi dasar etis. Maknanya adalah bahwa dimensi

keagamaan dapat diukur dan diamati karena lebih bersifat fakta dan nyata sebagai

bentuk perilaku yang dilakukan. Dimensi keagamaan mencerminkan dua tataran yang

bersifat vertical dan horisontal, dimensi kemanusiaan dan ketuhanan (Budiman, 2017).

Berdasarkan deskripsi dan gambaran tentang kerangka sosiokultur dan

keagamaan tersebut, maka istilah sosiokultural keagamaan dapat dijelaskan sebagai

hasil pemikiran budaya yang didalamnya terdapat nilai-nilai etis yang diyakini dan

ditaati sebagai bagain dari proses aplikasi keagamaan baik secara individual maupun

masyarakat. Keyakinan masyarakat akan nilai-nilai etis yang bersifat lahiriah

dihubungkan dengan nilai-nilai sakral (suci) agama sehingga menjadi

praktek/ritual/upacara yang memiliki sifat keniscayaan untuk dilaksanakan.

1) Bentuk Sosiokultural Keagamaan dan Non Keagamaan

a) Sosikultural Keagamaan

a. Selametan

Kutipan deskripsi sebelumnya tentang sosiokultural keagamaan merupakan

hasil proses pemikiran dan perilaku sosial budaya yang mengandung nilai-nilai etis

masyarakat dan nilai-nilai sakral (suci) keyakinan dan kepercayaan yang terafiliasi

pada keyakinan tertentu, yang dalam konteks penelitian ini berkaitan dengan Islam.

Karateristik sosiokultur keagamaan, terafiliasi pada satu ritual atau upacara yang

didalamnya terkandung berbagai macam atau jenis slametan mulai dari megengan,

kupatan hingga slametan kematian.

Meskipun slametan saat ini lebih condong pada konteks sebagai budaya,

namun dapat dijelaskan dalam perspektif sosiokultural keagamaan, bahwa slametan

merupakan proses dalam mengkonseptualisasikan hubungan budaya sosial masyarakat

dengan agama. Realitas tumbuhnya aspek sosiokultur keagamaan, tidak bisa

dilepaskan atas konsepsi, penafsiran dan pemaknaan terhadap agama itu sendiri yang

dapat dilihat dalam berbagai sudut pandang yang berbeda, sehingga agama bisa tampil

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

36

dengan “seribu wajah” disebabkan fleksibilitas dan kontekstualisasi yang digunakan

dalam menafsirkan agama itu sendiri. Keterpaduan nilai-nilai etis dengan simbol-

simbol budaya yang dihubungkan dengan ritual atau upacara tertentu dalam satu

proses pelaksanaan. Meskipun nampak ambigu, namun hal tersebut merupakan bagian

fakta dan realitas terjadinya dimensi intepretasi msayarakat akan doktrin-doktrian

agama yang berusaha dipahami sesuai dengan perspektifnya (Kholil, 2008;

Woodward, 2011).

Perkembangan sosiokultur keagamaan, khususnya pada masyarakat Jawa,

dapat dicarikan legitimasinya pada karya Geertz penelitian tentang “Islam Jawa’,

dimana hasil eksplorasi penelitian bahwa tipologi msayarakat Islam di Jawa terbagi

pada tiga kelas yaitu priyayi, santri dan abangan. Menafikan dimensi lain terkaiat

dengan keberadaan Islam dan politik identitas yang terjadai pada saat itu, namun fakta

ini memberikan gambaran bahwa perkembangan hubungan budaya dan agama dalam

masyarakat dapat tumbuh subur, dikarenakan kompleksitas kemampuan dalam

memahami doktrin agama secara genuine sehingga pada tataran aplikatif. Tatanan atau

kelompok masyarakat dengan berbagai profesi yang berbeda-beda dari petani hingga

kaum elit, sehingga dapat menciptakan budaya dengan ciri agama atau bahkan

sebaliknya agama dengan muatan budaya (Amaliyah, 2018; Subair, 2015; Tago,

2017).

Berkaitan dengan slametan, seperti yang telah disinggung bahwa merupakan

hasil hubungan konseptualisasi budaya dan agama pada kehidupan masyarakat, secara

etimologi berasal dari kata “slamet” atau selamat dalam bahasa Indonesia, memiliki

akar dari kata Arab “salamah” yang bermakna selamat, bahagia, sentosa dan sejahtera

(Sari, 2018; Fitrahayunitisna, 2018). Slametan atau selamatan secara terminologi

merupakan bagian dari sikap spritualitas masyarakat jawa dengan kearifan lokal, yang

mempunyai kekhususan dan kekhasan berkaitan dengan waktu pelaksanaan, tujuan,

pertunjukan dan perangkat atau ornamen tertentu sebagai indikator untuk

menunjukkan perbedaan pada setiap kegiatan ritual atau upacara slametan (Sutiyono,

2006; Setiawati, 2019; Nasir, 2019).

Fungsi slametan secara esensial sebagai permintaan atau do’a dari berbagai hal

yang dapat mendatangkan kesusahan dimana dalam proses dikolaborasikan dengan

tradisi kenduri atau sajian makanan. Ciri khas “slametan” sebagai proses dalam

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

37

melakukan do’a, tidak bisa dipisahkan atas makna do’a itu sendiri yang memiliki

makna permintaan, minta tolong, pujian, sembahan dan juga sebagai dakwah atau

seruan Hal ini tidak bisa dilepasakan bahwa tradisi, khususnya berkaitan dengan

sosiokultur keagamaan dapat difungsikan sebaga media dan wahana dalam

menanamkan nilai-nilai pendidikan agama, karena didalam “slametan” dapat dilihat

adanya nilai profetik yang terkandung (Geerts, 1989; Rosyidi, 2012; Maisyanah &

Inayati, 2019; Muqoyyidin, 2016; Annisa & Wardana, 2020).

Berkaitan dengan “slametan”, terdapat 4 macam tipologi yang berkembang dan

lestari dalam tradisi kehidupan masyarakat, yakni: pertama, berhubungan dengan

siklus kehidupan dari kelahiran hingga kematian; kedua, berkaitan dengan perayaan

hari besar; ketiga, bersangkutan dengan kondisi dan situasi lingkungan; dan empat,

bersifat situasional berkaitan dengan kejadian atau kebutuhan (Sari, 2018).

Berdasarkan deskripsi tersebut, beberapa macam kegiatan yang merupakan bagian dari

kegiatan “slametan” sesuai dengan tipologi di atas, antara lain:

b. Megengan

Pelaksanaan “slametan” dalam kegiatan “megengan” merupakan bagain dari

ekspresi keberagamaan masyarakat khususnya Jawa. Meskipun secara historis, asal

muasal dan kapan pertama kali “megengan’ dilakukan tidak bisa ditelusuri secara

eksplisit, namun kegiatan ini sudah menjadi tradisi yang berisfat turun temurun

dilakukan dalam masyarakat Jawa khususnya. Tradisi “megengan” secara umum

dilakukan menjelang datangnya bulan ramadhan yang dalam istilah bulan Jawa disebut

“poso”. Pelaksanaan “megengan” berkaitan dengan adanya persepsi bulan baik atau

suci yang diyakini oleh masyarakat Jawa diantara bulan Muharram dengan proses

tradisi yang dikenal dengan istilah “suroan”, sya’ban atau bulan “ruwah” dimana

tradisi “megengan dilaksanakan hingga muludan yang merupakan tradisi yang

dilakukan pada bulan “rabiul awal’ dalam kalender Islam (Ridho, 2019).

Tradisi “megengan” dalam kalender jawa yang jatuh pada “ruwah” sangat erat

kaitannya dengan nilai filosofi atas penamaan bulan tersebut dengan konsep arwah.

Karateristik tradisi “megengan” identik dengan ziarah kubur, kirab santri dan kegiatan

lainnya yang dilakukan menjelang datangnya bulan ramadhan atau poso dalam bahasa

Jawa. Maksud dan tujuan pelaksanaan tradisi “megengan” sebagai proses ritual untuk

menyampaikan do’a atau permohonan kepada Allah, agar kekuatan lahir dan batin

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

38

senantiasa hadir dalam diri untuk menghadapi dan menjalani bulan ramadhan. Disisi

lain tardisi “megengan” dianggap sebagai timing atau waktu yang tepat dalam

mendoakan leluhur yang telah meninggal. Tradisi “megengan” sebagai bagaian dari

proses “slametan” yang identik dengan kenduri, maka dalam pelaksanaannya

menyajikan makanan sebagai pelengkap seperti ambeng (tumpeng), ketan dalam

bentuk jadah dan lainnya (Aibak, 2010; Indahsari, 2017; Safi'i, 2018). Tradisi ritual

“megengan” pada masyarakat kudus dikenal istilah “dandangan” sebagai penanda

datangnya bulan ramadhan (Suciati & Erzad, 2018). Ilustrasi kalimat sederhana atas

tradisi “megengan” sebagai sosiokultur keagamaan masyarakat merupakan proses

dalam menghormati akan datangnya bulan ramadhan dengan berbagai ritual yang

dilakukan.

c. Kupatan

Tradisi kupatan sebagai bagian dari sosiokultur keagamaan dengan identitas

simbol utama “kupat” atau “ketupat” yaitu makanan yang terbuat dari beras dibungkus

dengan daun muda kelapa atau yang populer dengan istilah “janur” dengan bentuk

diagonal (Ridho, 2019). Simbolisasi dari pelaksanaan tradisi “kupatan” sebagai media

untuk mempererat dimensi silaturahmi atau persaudaraan/kekeluargaan. Disisi lain

juga berfungsi untuk menjaga tali silaturahmi antar warga dan saudara. Kekerabatan,

persadaudaraan, berbagai rejeki, membangun nilai-nilai religius merupakan filosofi

yang terkandung dalam tradisi kupatan (Ningsih, 2020).

Praktek pelaksanaan tradisi kupatan di samping dengan proses menghantar

sajian ketupat kepada beberapa sanak saudara, juga disediakan dirumah sebagai sajian

ketika ada sanak atau kerabat yang berkunjung (Amin, 2017). Keletarian tradisi

kupatan tidak bisa lepas atas pemaknaan yang tidak hanya pada konteks tradisi, namun

juga dianggap sebagai dimensi keagamaan yang dapat dilakukan sebagai bagian dari

proses keimanan. Tradisi kupatan yang dilakukan pasca 7 hari setalah iedul fitri, secara

nyata merupakan perilaku keberagamaan masyarakat Islam khususnya pada kelompok

abangan. Fakta ini tidak bisa lepas atas fenomena bahwa tradisi kupatan merupakan

peninggalan leluhur yang harus tetap dilaksanakan sebagai norma dan kaidah

peninggalan nenek moyang(Ridho, 2019).

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

39

d. Muharram (syuroan)

Kebermacaman corak masyarakat Indonesia, secara tidak langsung mampu

menumbuhkan berbagai tradisi dengan atau tanpa dikaitkan dan disandarakan pada

unsur keagamaan. Alamanat atau kalender yang berlaku pada masyarakat Indonesia

bersandar pada 3 rujukan utama yaitu kalander Arab atau Hijriah, kalender Jawa dan

kalender masehi. Bulan awal apda kalender Arab disebut bulan Muharram sedangkan

pada kalender Jawa disebut bulan Syuro. Awal tanggal 1 pada bulan ini yaitu

Muharram atau Asyuro, terdapat tradisi yang hingga saat ini masih dilestarikan dan

dilakukan sebagai bagain dari sosiokultur keagamaan masyarakat Indonesia. Simbol

utama perayaan Muharram atau syuroan adalah bubur “merah putih” sebagai

simbolisasi kebaikan dan kejelakan. Disisi lain perayaan pada tradisi ini juga diisi oleh

ritual-ritual yang dianggap sakral untuk dilaksanakan seperti mencuci atau

membersihkan keris atau pusaka yang dianggap “suci” atau memiliki kekuatan

(Japarudin, 2017; Kurniawan, 2019).

Kultur, suku dan pola adat-istiadat yang berbeda-beda, berakibat pada

kemajemukan perayaan tradisi suroan di Indonesia. Beberapa kegiatan tersebut seperti

kirab di solo dan Yogyakarta, di Aceh dengan nama bulan Asan Usen, di Bengkulu

dengan istilah tradisi tabut, sedangkan di Sumbar dengan istilah tabuik. Adapun di

Madura dengan simbol “tajin sora” difahami tradisi ini sebagai implementasi larangan

untuk bepergian dan penggambaran atas kesucian sayyidan Husein. Perbedaan

mendasar perayaan malam tahun baru Muharram atau Asyuro adalah konteks

kemeriahan, dimana pada malam tersebut tidak ada hiruk pikuk atau euforia namun

cenderung sunyi karena lebih dipahami sebagai proses refleksi dan intropeksi diri

(Japarudin, 2017).

Perayaan Muharram atau Asyuro pada berbagai daerah pada dasarnya di

samping sebagai proses intropeksi dan refleksi diri, juga sebagai ungkapan kecintaan

masyarakat Islam terhadap rasulullah melalui kecintaan masyarakat kepada cucu-

cucnya. Tradisi suroan sebagai sebuah fenomena dan fakata, diyakini merupakan

ajaran yang diberikan oleh Walisongo, sehingga merayakan syuroan merupakan

proses napak tilas terhadap ajaran Walisongo yang dianggap sebagai pembangun

pondasi dalam penyebaran Islam di Indonesia khususnya Jawa (Safera & Huda, 2020).

Pelaksanaan tradisi syuroan di samping didasari aspek tersebut, juga dapat difungsikan

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

40

dalam menanamkan nilai-nalai pendidikan Islam yang terkandung di dalam tradisi

syuroan (Krismoniansyah et al., 2020).

e. Selametan Kematian

Ungkapan pada deskripsi di atas, bahwa esensi selamatan atau “slamaten”

sebagai sebuah tradisi yang bersifat keagamaan yang berkembang pada masyarakat

merupakan bagian dari ekspresi pengalaman dan keberagamaan. Konteks keyakinan

khususnya pada masyarakat Jawa, “slametan” dapat difungsikan sebagai proses

mencari jalan selamat bagi yang hidup ataupun yang sudah mati. Nilai “slametan”

sanga identik dengan pemahaman bahwa roh atau arwah dapat dikirimkan doa sebagai

bekal setalah meninggal. Sedangkan bagi yang hidup “slametan” merupakan media

dalam menaklukkan kekuatan “supranatural” yang dapat mengganggu kedamaian

hidup (Sari, 2018; Amin, 2002).

Tradisi “slametan” setelah kematian yang saat ini masih dilakukan oleh

masyarakat, merupakan proses ritual untuk mendoakan arwah agar selamat dan

diterima oleh sang khaliq. Proses pelaksanaan dengan berdoa, merupakan bentuk

partisipasi masyarakat atau tetangga dalam hal belasungkawa. Tujuan utama praktek

tradisi ini yaitu agar roh selamat sampai keakherat. Fakat ini tidak bisa dilepaskan atas

kuatnya pemahaman terhadap roha atau arwah akan terkendala dalam proses menunuju

Tuhan. Istilah “slametan” pasca kematian lebih dikenal atau populer dengan nama

tahlilan (Sari, 2018).

Tradisi selametan setelah kematian sampai sekarang masih banyak dilakukan

masyarakat karena hal itu didorong oleh sistem keyakinan dan kepercayaan yang kuat

terhadap sistem nilai dan adat istiadat yang sudah berjalan turun temurun. Adat dan

upacara kematian merupakan fase atau tingkatan hidup yang terakhir dalam kehidupan

manusia di dunia. Adat atau upacara kematian dilakukan agar orang yang meninggal

dapat terhindar dari bahaya. Selain itu, hal itu bertujuan agar perjalanan roh selamat

sampai ke akherat. Beberapa macam tahapan kegiatan “slametan” pasca kematian atau

tahlilan antara lain :surtanah, nelung dina, mitung dina, 40 dina, nyatus dina, mendhak

pisan, mendhak pindo dan nyewu dino (Geertz, 1989; Sari, 2018). Tahapan-tahapan

tersebut tentu memiliki nilai, makna baik filosofis maupun teologis bagi masyarakat

khususnya pihak yang masih melestarikan dan melaksanakan tradisi tersebut.

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

41

b) Sosiokultur Non Keagamaan

Kemajemukan masyarkat merupakan lahan subur atas lahirnya sosiokultur

baik yang bersifat keagamaan maupun non keagamaan dalam bentuk kesenian.

Beberapa kesenian yang dapat dipetakan berbasis sosiokultur masyarakat antara lain

reog, kesenian topeng dengan istilah khas pada masing-masing daerah seperti tapuk

pada kultur jawa hingga hudog dalam terminologi suku dayak. Bentuk topeng sendiri

bermacam-macam dari topeng besar, boneka dan wayang hingga topeng dan rias

(Yurisma & Bahruddin, 2020;. Hidayanto, 2012).

4. Kearifan Lokal

Kearifan lokal sebagai sebuah istilah yang saat ini populer sebagai pijakan

dalam ranah kegiatan riset khususnya dalam bidang sosio-antropologi. Secara

etimologi, kearifan lokal titik pijaknya dapat dikaitkan dengan istilah “local genius”,

“local wisdom”, “local culture”, “local knowledge” dan istilah sepadan lainnya.

Adapun secara terminologi istilah kearifan atau budaya lokal merupakan nilai-nilai

yang ada di masyarakat sebagai budaya tertentu berkaitan dengan seluruh sendi

kehidupan darai arsitektur hingga kebiasaan (habit) yang berlaku secara khusus dalam

masyarakat(Daniah, 2016; Suciati & Erzad, 2018;Maridi, 2015).

Tersematnya kearifan lokal sebagai sebuah identitas dan karakteristik atau

kepribadian yang melekat pada suatu masyarakat menjadi formula ampuh dalam

mengisolir pengaruh budaya darai luar. Kearifan lokal dapat dikonstruksi menjadi

benteng pertahanan dalam mempertahanan nilai-nilai etis yang diyakini dan ditaati

oleh anggota masyarakat. Kearifan lokal menagndung dimensi kebijaksanaan dalam

konteks kehidupan yang selaras dengan sosio kultur masyarakat (Iryanti,

2017;Bakhtiar, 2016).

Pengikatan secara emosional dan konstitusional dapat difasilitasi oleh adanya

kearifan lokal. Tatanan masyarakat yang bersifat majemuk dan multikulturalisme

menjadi problem tersendiri, sehingg pada konteks inilah kemudian kearifan lokal dapat

menunjukkan perannnya dalam memfasilitasi dan mengakomodir perbedaan menjadi

sebuah kesepakatan yang dapat membangun kedamaian dan persaudaraan. Kajian

(Istiawati, 2016;Ngurah Sulibra et al., 2017). Berlandsakan pada deskripsi tersebut,

kearifan lokal atau “local wisdom” bersifat kontiyu dalam proses perkembangannya

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

42

dalam tatatan kehidupan masyarakat yang berbentuk secara nyata pada adat istiadat,

tata nilai atau norma baik berupa budaya maupun agama serta kebiasaan masyarakat

yang menjelma sebagai hukum positif dalam kehidupan.

Kearifan lokal atau “the local wisdom” dan Islam menjadi dua dimensi yang

dapat dimaknai sebagai fakta yang bersifat kontraproduktif atau produktif. Konteks

hubungan yang harmonis antara Islam dan kearifan lokal dapat dilihat pada sejarah

perkembangan Islam di Jawa. Peran serta walisongo sebagai pioner dakwah Islam di

Jawa, khususnya Sunan Kalijaga dengan menggunakan kearifan lokal berupa wayang

kulit mampu secara signifikan mengembangkan dakwah Islam. Esensi kearifan lokal

sebagai nilai etis yang ditaati dapat difungsikan dalam proses pendidikan Islam. Adat

istiadat pada banyak budaya juga dinggap sebagai implementasi nilai syariat yang

harus dipatuhi oleh semua unsur masyarakat tanpa terkecuali. Hukum positif dari

sebuah kearifan lokal adanya aspek egaliterialisme atau kesetaraan hak dan keadilan

sosial bagi seluruh anggota masyarakat (Antariksa, 2009; Casram, Dadah, 2019).

Sifat bid’ah, khurafat dan tahayul yang banyak dianggap sebagai unsur yang

terkandung dalam kearifan lokal, kadang dapat menjembatani dimensi kedamaian dan

kerukunan msayarakat. Setidaknya persinggungan Islam dengan kearifan lokal telah

melahirkan berbagai dekonstruksi dan rekonstruksi tradisi atau ritual yang cenderung

“jahiliyah” dengan tersematnya nilai-nilai atau norma-norma Islam. Realitas

persinggungan antara kearifan lokal baik yang bersifat keagamaan maupun kesenian,

dapat dilihat pada permisalan yang konkrit dan menyisakan bebragai polemik, ialah

kearifan lokal berkaitan dengan “slametan” pasca kematian atau tahlilan. Konteks

historis yang mungkin dapat dicermati dalam tradisi tersebut adalah pengucapan

kalimat “lâ ilâha illallâh” secara bersama-sama, sebagai media yang efektif untuk

penanaman tauhid dengan mengarahkan seseorang menjadi sentimental (penuh

perasaan) dan sugestif (gampang menerima paham atau pengajaran).

5. Pendidikan Agama Islam

Pendidikan secara kategoristik level manajemen terbagi atas 3 yaitu makro,

messo dan mikro. Wilayah maskro berbicara pada lingkup nasional, sedangkan messo

pada area wilayah dan mikro pada level sekolah atau kelembagaan. Esensi dari sebuah

proses pendidikan adalah pengembangan pada seluruh kompetensi yang ada pada diri

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

43

anak atau peserta didik. Proses pengembangan tersebut membutuhkan sebuah proses

yang dinamakan dengan pendidikan dan pengajaran yang dalam istilah Islam dikenal

dengan “tarbiyah wa ta’alim”. Pengembangan dalam konteks pendidikan, ciri khas

yang melekat adalah perkembangan pada aspek kognitif yang selaras dengan filosofi

“sullam” yang dapat dimaknai sebagai “peningkatan kualitas” sumber daya

insani(Faqih, 2018;Mo’tasim, 2017).

Berdasarkan tinjaun aspek lingkungan pendidikan dalam konteks

pembelajaran, terdiri dari keluarga, lingkungan dan sekolah (Sardiyanah, 2020), yang

secara kategorikal pada konteks sekolah, pendidikan agama Islam harus tercermin

pada kurikulum. Kurikulum pendidikan agama Islam secara nyata dapat dilihat baik

secara de facto dan de jure pada perkembangan kurikulumnya sejak pra kemerdekaan

hingga saat ini yang termuat pada K-13 sebagai kurikulum resmi. Fakta ini tidak bisa

dilepaskan atas fungsi kurikulum sebagai kunci dan blue print arah orientasi

pendidikan ditetapkan (Hatim, 2018; Mawardi, 2017).

Lingkungan pendidikan khususnya keluarga dan sekolah menjadi area

terpenting dalam menghadirkan proses pendidikan yang berkualitas dalam seluruh

dimensinya terkait pengembangan anak atau peserta didik. Seluruh potensi kecerdasan

dalam ranah potensi manusia mulai dari berfikir, berkreasi hingga pada konteks

problem solving harus mampu diakomodir dalm proses pendidikan baik di lingkungan

kelurga maupun sekolah. Menumbuhkan karakter dan perilaku anak atau peserta didik

sesuai dengan norma dan nilai etis baik masyarakat maupun agama harus menjadi

wilayah kerja proses pendidikan pada keluarga maupun sekolah (Kurniawan &

Maryani, 2016; S & Rusydi, 2017; Ahmad & Nurjannah, 2016; Yakub, 2018; Aladdiin

& Bagus, 2019; Ismail, 2018).

Era modernisasi saat ini pendidikan agama Islam harus mampu menunjukkan

peranan yang konkrit dalam menunjukkan kontribusi yang signifikan dalam

pembangunan karakter bangsa. Menginterkoneksikan pendidikan agama Islam dengan

mata pelajar atau bidang studi yang lain menjadi arah baru dalam ranah

implementasinya (Maftuh, 2017; Siregar, Zahra, & Bujuri, 2020). Tantangan

pendidikan agama Islam, tidak hanya sebagai sebuah mata pelajaran yang terfokus

pada proses doktrinasi dogma agama kepada anak atau peserta didik, tetapi disisi lain

juga harus mampu memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap dimensi

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

44

nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Stigma negatif tentang radikalimse dan

konservatifme terhadap Islam, harus mampu dijawab oleh peranan pendidikan agama

Islam yang modernis. Output yang dihasilkan dari proses pendidikan agama Islam

harus bersifat militan namun menghargai kemajemukan (Mukhlison, 2018; Purwanto,

Qowaid, Ma’rifataini, & Fauzi, 2019; Syukur, 2015; Nurmiyanti, 2018).

Terjangan arus globalisasi, secara nyata harus mampu diantisipasi secara

konkrit oleh pendidikan agama Islam. Sikap moderasi dalam beragama, dengan salah

satu ciri yang menjadi ssorotan saat ini adalah sikap toleransi beragama, dapat

dijadikan fokus domain dalam merekonstruksi pendidikan agama Islam baik sebagai

sebuah mata pelajaran pada lingkungan sekolah dan sebagai kewajiban pada

lingkungan keluarga (Hyangsewu, 2019; Maemunah, 2019; Muchlis, 2020; Shunhaji,

2019). Fungsi pendidikan agama Islam yang bersifat kompleks, tidak hanya pada

aspek kehidupan dunia, namun kehidupan akhirat sebagai tujuannya, sehingga secara

konkrit memaknai anak atau peserta didik sebagai sasaran harus juga meyetuh pada

dua unsur tersebut, sebagai pribadi dan makhluk sosial. Berdsarkan konteks tersebut,

pendidikan agama Islam terangkum dalam 3 tahapan sebagai berikut: pertama, tujuan

tertinggi sebagi abd’ dan khalifa fi al-ardh; kedua, tujuan umum yaitu sebagai landasan

filosofis pada term long life education; ketiga, tujuan khusus berkaitan dengan proses

evaluasi yang bersifat elastis dan adaptif, namun tetap berpijak pada dimensi

ilahi(Haris, 2015).

Pendidikan agama Islam yang tidak hanya menyentuh aspek kognisi atau

intelektual saja, tentu menuntut keterlibatan secara profesional sebagai pendidik atau

guru. Peran guru sebagai fasilitator sekaligus sebagai tutor dalam proses transfer of

valueand knowledge, harus mampu bersinergis dengan perubahan paradigma

pendidikan agama Islam, mulai dari metode pengajaran dengan pendekatan saintifik,

dari tekstual-verbalistik kearah kontekstual-dialogis. Di samping itu arus pergesaran

dinamika proses pembelajaran yang tidak hanya menuntut pada pengembangan

pendekatan, tetapi menetapkan dimensi keteladan guru sebagai unsur yang tidak bisa

dipinggrkan dalam rangka proses pelaksanaan pendidikan agama Islam (Arum, 2018;

Kusnadi, 2016; Rahmawati, 2018).

Pendidikan dan pendidikan agama Islam yang tertuang dalam UU Sisdiknas

ditegaskan sebagai proses yang wajib untuk dilakukan, penegasian dan penolakan

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

45

proses tersebut merupakan sikap inskonstitusonal. Pelaksaana pendidikan agama Islam

dapat dimaknai pada semua jenis pendidikan dari formal/sekolah, non formal seperti

diniyah, TPQ dan lainya serta informal yaitu keluarga atau lingkungan(Agung, 2019;

Ahmad Darlis, 2017; Sunengsih, 2020). Ketiga jenis jenjang pendidikan itulah,

pendidikan agama Islam dapat dilakukan tidak hanya dalam konteks pembelajaran

formal, namun juga dapat dilakukan dalam jalur non formal dan bahkan informal yaitu

dalam konteks pendidikan agama Islam pada lingkungan keluarga.

1) Tanggung Jawab Keluarga Terhadap Pendidikan Anak

Pendidikan dalam ranah area terkecil merupakan keniscayaan atau kewajiban

bagi orang tua. Anak sebagai amanat harus mampu dididik dan dibina sehingga

mampu menjalani kehidupan sesuai dengan aturan dan norma etis masyarakat dan

agama. Pernanan orang tua sebagai “madrasatu ula” secara konkrit dalam perspektif

pendidikan agama Islam adalah nilai keimanan sebagai pondasi, menuntut anak kearah

terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan fitrah. Orang tua harus mampu

memberikan suri tauladan kepada anak (Muhtadi, 2017; Hasbullah, 2018; Fuadi,

2019). Dimensi pendidikan agama Islam sebagai tanggung jawab orang tua tidak bisa

dilepaskan atas esensi dan posisi anak, dimana pada satu sisi sebagai amanat, disisi

lain sebagai penerus dan cerminan orang tua.

Konsep pendidikan yang dapat dilakukan oleh orang tua yaitu dengan

mencontoh keteladanan rasulullah di samping sebagai nabi sekaligus berposisi

menjadi seorang bapak atau ayah bagi anak. Gaya pendidikan yang dilakukan oleh

Nabi Muhammad segala sesuatunya merujuk dan berdasarkan al-Qur’an.

Kontekstualisasi peranan signifikan orang tua pada pendidikan anak secara fakat dan

eksplisit dapat dirujuk pada kisah Luqman, yang menjadikan keimanan sebagai

cacatan awal yang harus ditanamkan (Abdullah, 2018; Anwar, 2019; Nurmadiah,

2016; Abdul Rouf, 2016).

Sejalan dengan hal tersebut, metode pendidikan dalam pembinaan dan

pembentukan anak dengan cara keteladanan, pembiasaan, nasihat, perhatian dan

hukuman. Konteks yang lain proses implementasi pendidikan juga dapat ditautkan

dengan pelaksanaan dakwah yang terafiliasi pada 3 konteks utama yaitu dengan

hikmah, mauidzah hasanah dan mujadalah. Konsep tersebut dapat diterjemahkan

bahwa pendidikan harus dilakukan dengan cara-cara yang baik, yang bijak, sedangkan

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian …

46

mauidzah hasanah yaitu dengan contoh yang baik artinya adanaya penjelasan dan

keteladanan yang baik dan mujadalah dimaknai sebagai proses komunikasi yang baik

(Muchtar, 2005; Mustofa & Wuryan, 2020; Sholikhin, 2017):

Berdasarkan pada deskripsi hubungan sosiokultur keagamaan dan kearifan

lokal dengan pendidikan agama Islam, dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa proses

pendidikan yang bersifat elastis dan fleksibel harus mampu diejawantahkan dalam

berbagai kondisi dan situasi. Berkaitan dengan pendidikan pada lingkungan keluarga

yang merupakan bagain dari domain pendidikan informal, dalam kacamata peneliti,

dapat memanfaatkan apa yang menjadi modal sosial masyarakat sebagai media dan

sarana dalam proses pendidikan agama Islam. Berdasarkan kajian tersebut, maka dapat

disusun kerangka teori sebagai berikut :

Gambar. 2.3. Kerangka Teori

Merujuk pada gambar di atas maka terlihat jelas bahwa penelitian ini bertujuan

untuk mengeksplorasi tentang soiokulktural keagamaan dan kearifan lokal masyarakat

petani dalam pendidikan agama Islam. Konstruksi ini memberikan sebuah gambaran

bahwa proses Pendidikan agama Islam tidak bisa dilepaskan dengan realitas dan fakta

sosial kultural yang terjadi pada masyarakat. Pendidikan Agama Islam yang bersifat

multidimensional, dapat dikontruksi pada ranah yang bersifat flesibel namun tetap

merujuk pada normativitas agama.