bab ii kajian pustaka dan kajian teori a. kajian …
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI
A. Kajian Pustaka
1. Kajian Terdahulu
Review kajian terdahulu peneliti ingin memaparkan tentang hasil penelitian
terdahulu yang peneliti jadikan sebagai rujukan awal dalam penelitian yang hendak
dilakukan. Merujuk pada hasil penelitian terdahulu di Kecamatan Wuluhan tentang
pendidikan agama Islam pada petani, mengemukakan bahwa masyarakat petani telah
menyadari bahwa pendidikan sangatlah penting untuk kemajuan masyarakat
khususnya bagi anak-anaknya agar mampu mengikuti perkembangan zaman. Hasil
penelitian ini merupakan dasar utama peneliti dalam mengelaborasi lebih jauh
berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Konteks ini penting untuk dijelaskan
sebagai bagian dari penegasan posisi penelitian yang akan dilakukan dengan riset-riset
yang telah dihasilkan.
Di samping rujukan literatur di atas, ada beberapa sumber kajian terdahulu
yang menjadi inspirasi bagi penulis, seperti yang tertabulasi sebagai berikut:
Tabel 2.1. Judul Penelitian Sumber Kajian Pustaka Terdahulu
11
Pertama, berdasarkan tabulasi di atas, penelitian yang memaparkan tentang
seberapa dalamkah pemahaman para petani tentang pentingnya pendidikan bagi anak-
anaknya. Berdasarkan riset tersebut beberap hal yang menjadi kesimpulan penelitian
antara lain :(1). Pemahaman msayarakat petani terhadap pendidikan merupakan
dimensi penting yang harus dienyam atau ditempuh sebagai proses untuk mencari
ilmu, pengembangan pengetahuan sebagai bekal hidup; (2). Urgensi pendidikan
sebagai proses yang harus ditempuh oleh setiap anak merupakan esensi pemahaman
yang ada pada masyarakat petani di Wuluhan; (3). Terbentuknya kepribadian,
moralitas positif dan sebagai fasilitator merupakankontribusi perananan orang tua
dalam pendidikan anak (Sofyan, 2018)
Kedua, riset dengan tema seperti yang tercantum pada nomor dua, hasil
penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan jenis studi kasus, menjabarkan tentang
gambaran pola yang ada dalam pendidikan agama pada milleu atau lingkungan
keluarga petani(Yanti, 2015). Penelitian yang hampir sama dengan mengambil
sasarana penelitian sebagai responden riset yaitu pada masyarakat, namun lebih fokus
12
pada struktur masyarakat yang cenderung pluralis. Konteks ini disebabkan dimana
area atau lingkungan pendidikan agama Islam berada pada wilayah yang mayoritas
non muslim. Penelitian ini yang bertempat di wilayah Klungkung-Bali, menyoroti
kinerja pengajaran agama Islam pada sekolah setingkat SMA, di Kabupaten
Klungkung-Bali, yang dilakukan di luar kelas.Kebutuhan untuk memahami agama
tidak hanya dari konsep ritual tetapi juga lebih dari itu. Fakta ini didukung oleh realitas
jamak Klungkung. Penelitian ini untuk mendeskripsikan perkembangan pengajaran
agama Islam, salah satunyamateri pelajaran atau metode pengajaran di sekolah
menengah atas di Kabupaten Klungkung.Hasil penelitian adalah bahwa (1) pengajaran
agama Islam telah berkembang sejak saat itu1960-1970 dan pada saat yang sama,
mengajar agama Islam di sekolah menengah atasdilakukan oleh para guru yang
dikerjakan oleh Departemen Agamakarena kurangnya guru agama pada waktu itu.
Kondisi ini dibuatpengajaran agama Islam dilakukan di luar kelas. (2) Apa yang harus
diajarkandiselaraskan dengan kurikulum yang digunakan pada waktu itu, yang
berfokus pada kepercayaanterintegrasi dalam setiap mata pelajaran berdasarkan ayat-
ayat suci Kuran. Metodeyang digunakan adalah mengajar secara lisan, memberi
contoh secara analog, bertanya dan bertanya, danmembaca dengan keras. (3)
kontekstualisasi teks keagamaan (Libriyanti, 2009).
Keempat, hasil riset yang dilakukan oleh Riyadi (2015), dengan fokus riset
yang tertuju pada pembelajaran berbasis emansipatoris ini menghasilkan penekanan
pada konteks Islam sebagai agama yang mempunyai orientasi pada dimensi
kemanusiaan. Penelitian ini secara umum menyimpulkan bahwa pendidikan agama
Islam tidak hanya pada konteks teosentris tetapi juga harus mampu menghadirkan
aspek yang bersifat antrophosentris. Merujuk pada fakta tersebut, materti
pembelajaran dalam pendidikan agama Islam harus memiliki penegasan pada
universalisme Islam dalam artian adanya keseimbangan antara sisi ketuhanan dan sisi
kemanusiaan. Hasil penelitian juga mengeksplorasi, bahwa tema-tama pembelajaran
lebih ditekankan pada bagaimana Islam mampu memahami dan berperan aktif dalam
menjawab perkemabangan problematika kemanusiaan di era kontemporer. Teks-teks
dan paradigma keagamaan Islam yang bersifat doktriner lebih terfokus pada dogma-
dogma yang bersifat doktrin, historistas dan telaah kontemporer, untuk menemukan
dan menghubungkan secara langsung terhadap pernanan Islam dalam menjawab
13
dinamika kehidupan manusia sebagai usaha dalam menghasilkan pemahaman yang
sesuai dengan teks dan konteks.
Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Nurlaila,terkait belajar pendidikan
Islam (PAI), sebagai pelajaranmengandung ajaran Islam dan dasar-dasar kehidupan
Islam,perludikejar melalui pengembangan model untuk pengajaran yang dapat
mempengaruhi pilihan, keputusan, dan pengembangankehidupan pelajar.
Pengembangan model PAI meliputi: a) dikotomismodel; menyebabkan dualisme
dalam sistem pendidikan, yaitu pendidikan nonagama dan agama. b) model
mekanisme; melihatkehidupan terdiri dari berbagai aspek, dan pendidikan dipandang
sebagaiinvestasi dan pengembangan seperangkat nilai-nilai kehidupan, masing-
masing bergerakdan berjalan sesuai fungsinya. c) model organisme; melihatkegiatan
pendidikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari hidup bersama danbekerja bersama
secara terpadu menuju tujuan spesifikpembentukan kehidupan keagamaan atau
kehidupan yang diilhami oleh nilai-nilai agama(Nurlaila, 2011).
Penelitian keenam, tentang riset yang secara tematik mempunyai keterkaitan
dengan judul penelitian yang akan dilakukan, di mana riset ini pada titik pijak latar
belakang merujuk pada dimensi keberagamaan orang tua terkait dengan
kemampuannya dalam membaca al-Qur’an. Tingkat kemampun dalam para orang tua
masih kurang dan kemampuan dalam membaca doa pada ibadah mahadah yaitu sholat,
dimana kedua aspek tersebut merupakan asas agama Islam. Latar belakang masalah
penelitian juga dideskripsikan tentang proses pendirian lembaga informal untuk
meningkatkan kemampuan membaca al-Qur’an dan ibadah sholat. Berdasarkan
rumusan masalah, hasil penelitian menguraikan bahwa proses pendidikan agama Islam
pada orang tua dalam hal ini membaca al-Qur’an dan sholat, dapat ditingkatkan dengan
bebrapa model pembelajaran mengacu pada gaya dan karateristik belajar orang tua
(Meilani: 2013).
Ketujuh, karya tulisan hasil penelitian berupa artikel yang ditulis oleh Padjrin
(2016), didasari pada latar belakang penelitian tentang bangunan keluarga yang
merupakan institusi terkecil pada tatanan masyarakat, terbentuk dikarenakan proses
perkawinan yang di dalamnya terkandung tahapan dalam menciptakan dan
mempertahankan budaya. Latar belakang masalah juga menggambarkan fungsi
keluraga dalam pengembangan dan peningkatan fisik, mental atau psikologi,
14
emosional dan sosial pada seluruh komponen anggota yang ada dalam keluarga. Pola
asuh orang tua yang dikembangkan harus bersifat seperti demokratis; otoriter;
permisif; dan penelantar (acuh tak acuh). Hasil penelitian ini secara uumum
menggambarkan bahwa model pola asuh yang dikembangkan oleh orang tua
setidaknya didasarkan bagaimana contoh yang diberikan rasulullah dalam pendidikan
anak (Padjrin, 2016).
Kedelapan, artikel tulisan ini mempunyai esensi latar belakang yang dijdaikan
pijakan atau asas dalam penelitian ini, menegaskan bahwa manfaat pendidikan
merupakan proses investasi dalam meningkatkan dan mengembangkan kepribadaian
anak yang unggul, berakhlaq baik, mampu berinteraksi seacra luas dalam masyarakat
yang lebih dikenal dengan istilah konsep insan kamil. Manfaat pendidikan dalam
MSDM atau manajemen sumberdaya manusia menjadi kontibutor yang tidak bisa
ditawar dan dikesampingkan sehingga menajdai sumberdaya manusia yang berkualitas
dan akuntabel. Institusi kerluarga merupakan lingkungan utama dan awal bagi proses
pendidikan anak. Sumbangsih institusi keluarga dalam pendidikan mencakup beberap
hal berkaitan erat dengan pembentukan kepribadian atau karakter, sikap anak meliputi
sosial dan keagamaan. Hasil penelitian ini tidak bisa dilepaskan bahwa sebagai aset
atau modal penting dalam memajukan dan mengembangkan tidak hanya keluarga
namun juga peranannya sebagi penerus agama dan bangsa. Kesalahan dalam proses
mengembangkan kemampuan interaksi dan adaptasi anak akan berpengaruh negatif
terhadap keberhasilan dalam mencetak penerus agama dan bangsa yang kompeten dan
berkualitas, sehingga pendidikan dalam keluarga dengan anak sebagai aktor utama
harus merujuk pada dimensi nilai-nilai, aturan dan rambu-rambu yang menjadi dasar
dalam proses pendidikan anak. Konsep nilai rahmatan lil alamin, harus mampu dijiwai
dan dijadikan semboyan serta simbol orang tua atas perannya dalam pendidikan
anak(Baharun, 2016).
Kajian penelitian terdahulu pada kesembilan sebagai upaya pemetaan pustaka
agar novelty yang menjadi instisari proses penelitian dapat direalisasikan merujuk pada
artikel hasil penelitian tentang “Pembelajaran Pendidikan Agama Islam”. Penelitian
ini memiliki fokus pentingnya pendidikan agam Islam pada anak sejak usia dini.
Legalitas atas fakta tersebut dapat dirujuk pada sunnah dan nash al-Qu’an surat at-
Tahrim: 6, yang memiliki kandungan tentang perintah terhadap pelaksanaan
15
pendidikan anak di era awal perkembangan anak baik secara psikologis maupun fisik.
Hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa di era modernisasi, dimana terjadinya
perkembangan secara masif teknologi informasi, dalam bebragai varian dan bentuknya
dapat difungsikan untuk melaksanakan pembelajaran pendidikan agama Islam kepada
anak sejak dini, salah satunya adalah android atau smartphone. Konten dan aplikasi
yang dapat disematkan pada andorid, dapat difungsikan dalam proses pelaksanaan
pembelajaran pendidikan agama Islam, sehingga dapat menanamkan nilai, norma,
ajaran dan hal lainnya tentang Islam secara efektif dan efisien (Salim, 2014).
Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mo’tasim (2017), yang
merupakan studi pustaka terkait dengan dimensi sosiokultural pendidikan Islam.
Penelitian ini dengan jenis studi pustaka (library reseacrh) bertujuan memaparkan
secara gamblang tentang hubungan pendidikan agama Islam dengan interaksi sosial.
Hasil riset ini menjelaskan bahwa pendekatan dalam mengembangkan dimensi belajar,
serta pembentukan kepribadian akan dipengaruhi secara nyata dan konkrit atas hasil
interaksi pada lingkungan sosialnya. Proses interaksi sosial dapat difungsikan sebagai
pendekatan untuk pelakasanaan proses pendidikan. Proses pendidikan agama Islam
tidak pada konteks lingkungan sosial, tidak hanya mengembangak dimensi aqliyah
atau pikiran pada kemampuan lahirah namun juga pada dimensi batiniah. Konsep
inilah yang kemudian lebih populer dengan sitilah insan kamil, sebagai basis orientasi
pendidikan agama Islam. Penegasan sebagai hamba Allah, merupakan wujud utama
dari hasil proses pendidikan agama Islam yang dilakukan. Hal ini tidak bisa lepas atas
konsepsi insan kamil yang menjadi tujuan utama pendidikan agama Islam, memiliki
karateristik indikator yang melekat yaitu adanaya keseimbangan dunia-ukhrawi,
kepribadaian yang unggul, pola pikir yang kompeten.
Corak riset berbasi kualitatif dengan jenis studi kasus, memiliki fokus latar
belakang penelitian dengan menjelaskan bahwa model dan strategi pendidikan pada
masyarakat memiliki karateristik yang berbeda-beda sehingga kesesuian atas realitas
tersebut harus menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan pembinaan keluarga
Islam. Hasil riset ini lebih lanjut mengeksplorasi bahwa aspek akomodatif dapat
dijadikan dasar untuk mengintegrasikan nilai-nilai budaya pada masyarakat secara
inovatif, kretaif dan integratif dengan tetap memegang prinsip dasar dan utama
substansi keagamaan. Basis riset ini yang menggunakan sosio kultural, menjadi sisi
16
pendekatan yang sangat tepat dalam mendalami corak dan kultur masyarakat dalam
pendidikan agama, yang secara tipologi dapat secara spesifik menunjukkan ciri
masyarakat tersebut. Pendek kata, lingkungan keluarga menjadi aspek fundamental
dalam mengajarkan anak-anak untuk beradaptasi dan bertindak sesuai dnegan nilai
budaya yang tidak menegasikan nilai agama (Muchtar & Juhanis, 2018).
Judul kajian literatur keduabelas, hasil penelitian ini secara spesifik
menjelaskan secara gamblang tentang peranan kearifan lokal dan membentuk dan
meningkatkan peserta didik pada perilaku dan sikap keberagamaannya. Secara
eksplisit tiga komponen yang menjadi esensi hasil riset ini yaitu berkaitan dengan
“lokal genius”, “indigeniuous knowledge” atau dengan istilah yang populer “local
wisdom” dapat digali secara mendalam terhadap kultur atau budaya yang ada pada
masyarakat. Penggalian terhadap tradisi budaya atau kultur masyarakat secara
mendalam, pada penelitian ini menjelaskan bahwa konsep atau dimensi etos kerja
dapat ditemukan sumbernya baik secara filosofis dan terminologis pada local wisdom
yang ada dan menjadai budaya masyarakat. Karateristik budaya pada setiap
masyarakat yang memiliki perbedaan menjadi ciri khsusus yang dapat dikembangkan
dan diintegrasikan dengan proses pembentukan karakter anak. Transformasi secara
arif dan bijaksana atas kearifan lokal kepada anak atau generasi penerus, dapat
mendorong terbentuknya karakter anak atau siswa secara kuat (Affandy, 2019).
Ketigabelas, Artikel dengan judul pengajian dan transformasi sosiokultural
dalam masyarakat muslim tradisionalis Banjar. Dalam artikel ini menjelaskan bahwa
pengajian adalah sejenis dakwah Islam yang telah ditemukan di komunitas muslim
tradisional di Banjar, Kalimantan Selatan. Pengajian adalah asal mula munculnya
pondok pesantren. Meskipun pesantren sudah berkembang begitu cepat, pengajian
dapat mempertahankan keberadaannya di komunitas muslim tradisional Banjar.
Bahkan berfungsi sebagai Lembaga yang bisa menjadi dinamika dan motivator
transformasi sosiokultural di masyarakat(Alfisyah, 1970).
Judul keempatbelas seperti yang tercantum pada tabulasi di atas, dengan fokus
penelitian tentangpendidikan karakter berwawasan sosiokultural. Penelitian ini
mengungkapkan bahwa esensi dari isi pada definisi pendidikan dalam sisdiknas,
adalah pengembangan dan peningkatan secara totalitas terhadap seluruh dimensi yang
menjadai potensi kompetensi siswa meliputi dari sisi keagamaan seperti keimanan dan
17
ketaqwaan, dari sisi kognisi berkaitan dengan cara berfikir yang kreatif, mandiri, dari
sisi sikap berkaitan dengan unsur akhlaq mulia dan sisi kehidupan sosial mampu
bersikap demokratis dan bertanggung jawab. Pengembangan potensi-potensi tersebut,
dalam konteks pendidikan formal merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
proses pembelajaran, namuan dalam konteks kehidupan masyarakat dapat
dihubungkan dengan aspek sosio kultural yang menjadi ciri keniscayaan yang ada pada
masyarakat. (Sukitman, 2012)
Kelimabelas, Artikel dengan judul, perspektif agama dan kebudayaan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia sebuah tinjauan sosiologi agama. Dalam artikel ini
dijelaskan bahwa hubungan agama, budaya dan masyarakat sangat penting atau
merupakan system kehidupan karena berkaitan satu sama lain. Namun pertanyaan
keberagamaan dan pembangunan social tidak akan lengkap jika hanya dilihat dari satu
aspek tertentu saja. Untuk itu dalam memandang persoalan masyarakat harus melalui
pendekatan holistic. Diperlukan studi tentang sosiologi agama dan sebaliknya. Ini
berarti studi tentang kehidupan keberagamaan masyarakat tidak akan selesai tanpa
melibatkan sosiologi. Kehidupan beragama memandang orang dalam berpikir,
berperilaku atau bersikap merupakan perwujudan sikap hidup religious seseorang
dalam menerima sesame yang berbeda agama. Agama sebagai pedoman hidup
manusia yang diciptakan oleh Tuhan untuk dijalani dalam kehidupannya. Sedangkan
budaya adalah sebagai kebiasaan atau prosedur hidup manusia yang diciptakan oleh
manusia sendiri dari kekuatan hak cipta, rasa, karsanya yang diberikan oleh Tuhan.
Agama dan budaya saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi budaya, kelompok
dan orang. Budaya cenderung berubah ubah sesuai dengan setiap orang dan kelompok
masing masing, dan perubahan tersebut akan menjadi harmoni, persaudaraan,
kedamaian dan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat. Karena agama telah
mengajarkan kebenaran dan kebaikan, menghilangkan semua pertikaian, diskriminasi
dan lainnya. (Bauto, 2016)
Tema penelitian nomor enambelas pada tabel di atas, riset ini dilatar belakangi
adanya fakta kerukunan natar umat bergama disatu sisi dan budaya atau kultur
masyarakat pada sisi yang lain. Aspek perbedaan seperti ras, suku dan agama menjadi
embrio yang dapat menumbuhkan kesenjangan dan perpecahan antar kompenen
masayarkat yang majemuk. Penelitian ini yang mengambil tempat penelitian pada
18
daerah Gayo, yang secara daerah masayarakatnya lebih condong pada penegakan
syariat Islam. Riset ini secara jelas mendeskripsikan bahwa proses pendidikan agama
Islam pada tatanan masyarakat yang majemuk dapat memanfaatkan seni sebagai media
atau sarana dalam proses pendidikan agam Islam. Konteks pada masyrakat Gayo yang
dapat digunakan dalam hal tersebut adalah seni “Didong”, yang berisi nilai-nilai etis
masyarakat setempat yang bersifat intekonektif dengan pendidikan agama Islam
(Akbar (2015).
Judul penelitian nomor tujuh belasa pada tabel, tentang pengembangan
pendidikan karakter berbasis kearifan lokal pada masyarakat minoritas, menjelaskan
bahwa pembangunan dan penegasan identitas bangsa sebagai sebuah karakter yang
melekat pada masyaratnya, merupakan intisari yang dibangun dari “core ethical
values” yang secara nyata bagian yang tak terpisahkan dari kandungan “religion
value”, falsafah negara dan budaya yang ketiganya merupakan dasar atas terbentuknya
tatanan masyarakat. Ketiga dimensi tersebut yaitu nilai agama, falsafah negara dan
budaya berisi nilai-nilai yang dapat diadopsi dan diadaptasi dalam mengembangkan
karakteristik unggul siswa. Mengintegrasikan seluruh nilai yang ada pada budaya
masyarakat dari yang minoritas hingga mayoritas baik dari aspek agama maupun
jumlah penduduk, dapat difungsikan sebagai alat untuk proses pendidikan. Riset ini
dengan pendekatan antropologi bduaya, dengan menyoroti fenomena pada masyarakat
Badui Banten, menemukan bahwa nilai-nilai yang bersifat kearifan lokal seperti dapat
difungsikan untuk pembentukan karakter seperti karakter peduli lingkungan,
bekerjasama atau gotong royong dalam istilah keindonesiaan, mentaati hukum yang
berlaku pada masyarakat atau hukum adat, bersikap sederhana dan mandiri,
mempunyai sifat mau bekerja keras, menjunjung nilai-nilai kejujuran, bersikap
demokratis dan karakter etis lainnya. Lestarinya nilai-nilai tersebut dalam masyarakat
Badui Banten dikarenakan adanya proses pengajaran, pembiasaan, peneladanan dan
penegakan aturan atau tata nilai secara tegas (Hasanah, 2012).
Rujukan pustaka kedelapan belas, berangkat pada dasar teori keagamaan atau
religious yang dikemukakan oleh Cornwall, bahwa tatanan masyarakat akan banyak
dipengaruhi oleh komunitas yang memiliki legitimasi yang kuat. Riset ini mencoba
mencermati kampung naga sebagai sebuah komunitas adat yang berada di daerah
Tasikmalaya, memiliki prinsip kuat dalam memegang teguh kepercayaan, dengan
19
tetap melaksanakan berbagai tradisi kearifan lokal yang menjadai ciri khasnya. Tradisi
adat menjadi nilai tertinggi yang harus dipatuhi dan ditaati tanpa terkecuali. Dimensi
hak asasi individu atau personal dibatasi secara nyata dan jelas oleh tradisi adat
masyarakat setempat. Adapun ritual-ritual keagamaan diserahkan secara bebas pada
masing-masing personal dengan intensitas masing-masing. Riset ini menjelaskan
bahwa tradisi adat yag bersifat komunal lebih penting daripada ritual keagamaan yang
bersifat personal. Ketaatan akan aturan-aturan terhadap konsensus secara umum,
menjadai produk hukum tertinggi yang harus dipatuhi. Penelitian ini memberikan
kesimpulan bahwa pelestarian tradisi adat dapat menjadia basic dalam proses
pembentukan karater masyarakat, dalam konteks pendidikan, tentu saja berkaitan
dengan anak (Hamid et al., 2018).
Rujukan penelitian terdahulu yang menjadi basis eksplorasi peneliti memiliki
fokus tema riset yaitu Islam dan kearifan lokal. Keinginan penelitian ini secara terang
mencoba mengeksplorasi secara lebih jauh berkaitan dengan nilai-nilai etis sperti
hukum waris dalam Islam dapat bersifat bekrlanjutan dalam artian bersifat “qothi” atau
final. Hukum etis Islam secara tegas mengatur tentang hukum waris yang tertuang
dalam nash al-Qur’an. Disisi lain keariafan lokal kadang memiliki dimensi hukum
yang berbeda dalam hal tata nilai waris. Penelitian secara lanjut memberikan gambaran
bahwa perubahan yang terjadi pada masyarakat sebaiknya diikuti oleh tata nilai atau
hukum agama yang juga berubah. Ortodoksi keagamaan harus mampu dipahami
secara kontekstual sehingga tidak mengaburkan tujuan Tuhan yang lebih Besar. Riset
ini juga menyimpulkan bahwa kontektualisasi perubahan pada masyarakat juga
merupakan kehendak Tuhan yang harus dipahami secara komprehensif (Rajafi, 2016).
Meskipun penelitian ini memiliki dimensi persinggungan pemikiran yang kuat, namun
menurut peneliti dapat dijadaikan rujukan dalam mengkonstruksi tema penelitian yang
akan dilakukan.
Gambaran kajian pustaka di atas, secara jelas dapat dipetakan dalam tiga tema
besar yang menjadi fokus riset dengan berbagai pendekatan yang digunakan seperti
antorpologi, fenomenologi dan lainnya. Tiga tema besar, seperti yang tercantum dalam
tabulasi di atas meliputi: pendidikan agama Islam, sosio kultural dan kearifan lokal.
Ketiga komponen tersebut dalam sudut pandang peneliti, masing-masing belum
terintegrasi menjadi satu kesatuan fokus pada proses penelitian. Karaterisik penelitian
20
sepanjang eksplorasi penelitian, hanya mengerucut pada satu tema apakah itu pada
pendidikan agama Islam pada masyarakat, atau hanya membahas pada kearifan lokal
atau sosio kulturalnya saja.
Berdasarkan deskrpsi penelitian terdahulu di atas menunjukkan bahwa
penelitian yang akan dilakukan oleh penulis sangat berbeda dengan kajian terdahulu
yang membedakannya adalah bahwa penulis ingin melakukan penelitian terkait
dengan Pendidikan agama Islam dalam keluarga petani studi etnografi di Wuluhan.
Penelitian lebih memfokuskan kepada sosiokultural keagamaan komunitas petani dan
kearifan lokal komunitas petani di Wuluhan dalam pendidikan agama Islam. Untuk
lebih jelasnya peta literatur atau peta kepustakaan pada penelitian ini terdapat dalam
bagan 2.1 sebagai berikut :
Bagan 2.1 : Peta Literatur Kajian Terdahulu diadaptasi dari Cresswell (2014)
21
B. Kajian Teori
1. Masyarakat dalam Perspektif Etimologi dan Terminologi
Istilah masyarakat dalam sudut pandang etimologi dapat dihubungkan pada
dua bahasa yaitu: pertama, dalam bahasa inggris yang populer dengan istilah
“society”, merupakan turunan dari istilah latin “socius” memiliki terjemahan “kawan”;
kedua, dalam bahasa Arab yang merujuk pada kata “syakara” yang memiliki makna
“ikut serta” atau “berpartisipasi”. Definisi masyarakat dalam konteks terminologi,
dimaknai sebagai kumpulan manusia yang saling “berinteraksi” dan “bergaul” dalam
kehidupan sosial. Konteks yang lain tentang pengertian masyarakat sebagai kesatuan
struktur sosial dengan keteraturan sistem yang mengatur tata kehidupan dan pergaulan.
Masyarakat secara terminologi juga ditafsirkan sebagai orang yang menghuni pada
suatu area atau wilayah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
berinteraksi untuk saling melengkapi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan,
solidaritas dan kebutuhan lainnya seperti politik, kebudayaan (Koentjaraningrat, 2009,
Susanto, 1999, Sinaga, 1988). Berdasarkan deskripsi definisi tersebut, maka
masyarakat secara sederhana dapat dimaknai sebagai satu kesatuan atau kelompok
didasarkan pada adanya kesamaan yang meliputi tradisi, sikap, perasaan dan kultur
sehingga mampu menghasilkan keteraturan yang menjadi sistem tata nilai yang
dipatuhi.
Secara tipologi, konsep dan teori masyarakat terbagi atas dua yaitu masyarakat
tradisional dan masyarakat modern. Kedua macam tipe masyarakat yaitu tradisional
dan modern memiliki karakteristik dan ciri khusus sebagai pembeda diantara
keduanya. Dimensi keterikatan terhadap “habit” atau kebiasaan, adat istiadat, kultur
yang bersifat turun termurun, antipati terhadap aspek yang cenderung bersifat rasional
dan bersifat baru serta kecenderungan untuk tidak bersifat kritis tetapi lebih pada sikap
statis merupakan ciri khas masyarakat tradisional (Sinaga, 1988). Stagnasi pada pola
kehidupan sehari-hari merupakan karakter yang melekat pada masyarakat tradisional.
Pendeknya kecenderungan pada ciri dan pola tipologi masyarakat tradisional adalah
kultur atau budaya dan adat istiadat sebagai patokan utama dan bersifat sebgai hukum
positif yang harus dipatuhi dan ditaati.
Kdengan masyarakat modern, lebih merncerminkan pada aspek yang bersifat
rasionalistik daripada yang bersifat adati. Dinamisasi proses perubahan-perubahan
22
yang terjadi dalam kehidupan merupakan tanda utama ciri masyarakat modern.
Mengadaptasi dan mengadopsi value atau nilai yang bersifat positif dapat mendorong
kemajuan yang ditandai dengan kebaruan ide-ide yang dapat diterima (Sinaga, 1988).
Ciri lain yang melakat pada masyarakat modern adalah adanya sikap solidaritas sosial
organis sebagai bentuk sikap saling ketergantungan (Amiruddin, 2010). Kemunculan
sikap solidaritas organis, berdasarkan spesialisasi atau kekhususan. Adanya sikap
solidaritas organis dipicu kesamaan ketergantungan baik secara fungsional maupun
tidak. Perbedaan secara fungsional dan ketergantungan anatar anggota masyarakat
menjadi tolak ukur atas kontruksi masayarakat modern (Chairuddin, 1993) solidaritas
organis didasarkan atas spesialisasi. Solidaritas ini muncul karena rasa saling
ketergantungan secara fungsional antara yang satu dengan yang lain dalam satu
kelompok masyarakat. Spesialisasi dan perbedaan fungsional yang seperti
diungkapkan tersebut memang kerap dijumpai pada masyarakat modern.
Ciri lain yang membedakan msayarakat modern dengan tradisional, di samping
adanya aspek solidaritas organis, juga berkaitan dengan hukum restruktif, yang
dipahami sebagai perangkat yang berfungsi untuk merekontruksi atau membangun
kembali pada kondisi sedia kala serta berfungsi untuk menormalkan keadaan yang
kacau atau chaos. Migrasi masyarakat modern dari pola adat istiadat yang berbasis
kultural sebagai hukum positif kearah proses dinamisasi kehidupan dengan konsep
solidaritas organis dan hukum restruktif. Stagnasi proses kehidupan menjadi domaian
yang bertetangan dengan karakteristik masyarakat modern (Amiruddin, 2010).
Skala perbandingan masyarakat modern dengan tradisional, lebih lanjut dapat
dihubungkan dengan keberadaan alam sebagai anugerah kehidupan manusia.
Kencenderungan masyarakat tradisional memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi
terhadap alam, sedangkan masyarakat modern lebih memiliki kecenderungan
sebaliknya. Mensinergikan kehidupan dengan alam sekitar yang ditandai dengan
keselarasan dalam pemanfaatan alam menjadai domain yang tak terpisahkan dari
msayarakat modern (Bouman, 1980).
Beberapa ciri dan karakteristik khusus yang melekat pada masyarakat
tradisional, merujuk pada dua pendapat dapat disajikan dalam tabulasi di bawah ini :
23
Tabel 2.2. Ciri Masyarakat Tradisional
Berdasarkan ilustrasi data karakteristik masyarakat tradisional di atas, secara
esensial dapat dideskripsikan merujuk pada tabel data pertama yaitu: pola berfikir,
bertumpu pada bidang agraris, pendidikan bukan kebutuhan primer, ketergatungan
pada alam, kekuatan hubungan kekeluargaan, tingkat rasio jumlah penduduk rendah,
turun temurun dan kompetensi diri menjadi faktor utama dalam penentuan pimpinan
atau kekuasaan. Adapun pada teori kedua, lebih terfokus pada landasan sistem dalam
menjabarkan ciri dan karakteristik masyarakat tradisiondal. Bentuk yang homogen,
kepentingan bersama, dan budaya malu yang masih menjadi pondasi kuat bagai
masyarakat tradisional dalam berlaku dan bersikap dalam kehidupan sehari-hari.
Perbedaan mendasar antara masyarakat tradisional dan modern, dapat juga
dilihat dalam kacamata analisis perspektif konsep solidaritas. Masyarakat tradisional
lebih pada solidaritas sosial mekanis, sedangkan masyarakat modern pada solidaritas
sosial yang bersifat organis. Kesamaan pada konteks cipta, rasa, karsa menjadi tolak
ukur yang digunakan masyarakat tradisional. Kesamaan tidak hanya pada konteks
komunitas atau kelompok, tetapi menyentuh pada dimensi terkecil yaitu masing-
24
masing individu yang berada pada masyarakat tradisional. Konsensus menjadi aturan
yang harus ditaati oleh seluruh anggota msayarakat, sehingga kesamaan hak asasi
merupakan dimensi yang sangat dijunjung tinggi tanpa melihat status sosial yang ada
pada masyarakat (Amiruddin , 2010, Chairuddin, 1993).
1) Masyarakat Tani
a) Masyarakat Desa
Berdasarkan pensarian dari KBBI, bahasan dan definisi masyarakat, seperti
yang telah dideskripsikan sebelumnya, merupakan komunitas manusia yang terikat
pada domaian yang sama seperti budaya, tata nilai atau aturan. Adapun berkaitan
dengan makna masyarakat desa, yang secara teritorial merupakan kelompok manusia
yang tinggal di desa dengan sumber pendapatan atau pancaharian pada bidang
pertanian hingga peternakan atau bentuk usaha yang merupakan combaine dari
bidang-bidang tersebut. Identitas mata pencaharian atau penghasilan tersebut
didukung dengan sistem sosial dan budaya yang berlaku dan ditaati oleh anggota
masyarakat.
Istilah masyarakat di samping dihubungkan dengan etimologi “society”, juga
dapat ditelisik dari kata “community” yang dapat dimaknai sebagai masayarakat
setempat, ditandai sebagai karateristiknya pada kehidupan sosial adalah adanya
kesamaan pada berbagai aspek, khususnya kesamaan hubungan sosial. Pembahasan
lebih lanjut tentang ciri msayarakat, tertuju pada aspek kehidupan meliputi
kebersamaan, waktu interaksi dalam kurun waktu yang cukup lama, dan kesadaran
akan dimensi satu-kesatuan dan meyakini suatu sistem sebagai dasar untuk kehidupan
berdampingan dan bersama (Soekanto, 2006; Koentjoroningrat, 2009).
Berdasarkan deskripsi di atas, lebih mengerucut pada ditinjau dari sifat sebagai
ciri masyarakat pedesaan, adalah sifat gradual yang menajdia hakikatnya. Deskripsi
ini menjelaskan bahwa masyarkat cenderung bersikap bertahap dalam berbagai hal
dalam konteks kehidupan. Tingkat keeratan dan perasaan terikat pada anggota
masyarakat lebih kuat daridapa dengan komunitas diluar masyarakat. Deskripsi
sebelum yang menerang bahwa masyarakat pedesaan lebih dominan sektor kerjanya
pada bidang pertanian, meskipun fenomena pekerjaan sebagai mata pencaharian
seperti tukang bangunan hingga bidang kerajinan genteng dan lainnya. Tanda utama
masyarakat sebagai cirinya adalah adanya interaksi, kekhususan pola tingkah dan laku
25
pada keseluruhan aspek kehidupan, dengan sifat yang melekat sebagai jatidiri atau
identitas kelompok (Soekanto, 2006)
b) Ciri-Ciri Masyarakat Desa
Ciri-ciri masyarakat desa atau pedesaan, setidaknya merujuk pada 4 identitas
utama yang dapat digunakan sebagai alat analisis, anatara lain adanya interaksi, ikatan
pada pola tingkah laku yang khas pada semua bentuk interkasi yang berifat mantap
dan kontinue, adanya rasa identitas merujuk pada kelompok yang menjadai
komunitasnya dan personal individu sebagai anggota masyarakat (Basrowi, 2005;
Waluya, 2001). Bentuk kehidupan atau pergaulan, masyarakat memiliki ciri-ciri utama
yaitu : pertama, manusia yang hidup bersama; kedua, beritneraksi, bergaulan atau
bercampur dalam kurun waktu yang tidak sebentar; ketiga, kesadaraan antar anggota
masayarkat sebagai satu kesatuan dan empat, adanya sistem bersama sebagai sebuah
konsesus atau kesepakatan yang disepakati bersama-sama (Soekanto, 2006).
Ciri-ciri masyarakat di atas selaras dengan definisi masyarakat yang telah
dikemukakan sebelumnya bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar
dan mempunyai kebiasan, tradisi, sikap dan perasaan yang sama. Masyarakat itu
meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil yang mempunyai hubungan
yang erat satu sama lain. Habit atau kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan yang equal
atau sama dengan keterkaitan anatar kelompok yang ada pada sebuah masyarakat.
Memperkuat penjelasana tersebut, masyarakat tergambar dengan keberadaan sejumlah
manusia pada area tertentu, memiliki sistem hubungan, kepentingan bersama sebagai
landasan dalam kehidupan sehari-hari, memiliki tujuan dan kerjamasa, solidaritas,
interdependensi, mempunyai aturan atau norma dan kultur. Konteks tersebut berlaku
pada semua jenis masyarakat dari desa hingga kota, dengan fokus pada dimensi
aktivitas kehidupan (Soelaman, 1992).
Masyarakat desa sebagai labelisasi identitas atas masyarakat tradisonal dalam
istilah ilmiah disebut dengan “gemeinschaft” memiliki ciri antara lain: afektifitas,
orientasi kolektif, partikularisme, askripsi dan kekabaran atau
diffuseness.Berdasarkan penjelasan tentang “gemeinschaft” didasarkan eksplorasi
teori Parsons, meskipun dianggap sebagai penghambat modernisasi sebagai ciri
masyarakat pedesaan pada sisi negatif (Murdiyanto, 2008), namun dalam sudut
pandang sisi positif masyarakat pedesaan masih menyimpan dan melestarikan budaya
26
atau kultur dan kearifan lokal sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses
kehidupan.
Pendapat Parson di atas tentang ciri masyarakat pedesaan tidak bisa dilepaskan
atas pandangan Tonnies tentang gemeinschaf atau paguyuban/komunitas –
gesellschaft atau patembayan (Hasanah, 2017; Rahayu & Mayastuti, 2016;
Simangunsong & Hutasoit, 2017). Disisi lain teoritis tentang masayarakat pedesaan
dapat dirujuk pada beberapa tokoh kunci dalam bidang sosiologi seperti Cooley untuk
membedakan pedesaan dan perkotaan menggunakan istilah “primary-secondary
group”, Dukheim dengan istilah “solidaritas mekanik-organik” (Murdiyanto, 2008).
Berkaitan dengan masyarakat pedesaan secara sederhana dapat dijelaskan bahwa
cirinya lebih cenderung pada aspek kekeluargaan dan pertanian atau bercocok tanam
sebagai mata pencaharian. Identitas masyarakat pedesaan identiik dengan pertanian
atau bercocok tanam dan kegiatan lainnya seperti ternak sebagai mata pencaharian,
tidak bisa dilepaskan atas potensi alam yang dimiliki pada lingkungan pedesaan.
2) Tinjauan Petani
1. Pengertian Petani
Pertanian sebagai aktivitas ekonomi masyarakat desa, yang pelakunya disebut
dengan petani. Konteks petani sebagai status sosial yang disadang hampir pada seluruh
penduduk pedesaan, tidak hanya bergerak pada bidang tetapi juga mencakup
perikanan, peternakan dan pemunguatan hasil laut (Hernanto, 1996). Kategorisasi
petani dalam konteks keindonesiaan, setidaknya terbagai atas tiga kelompok besar
yaitu petani pemilik, petani penggarap/penyangkap atau bagi hasil, petani penyewa
dan buruh tani. Perspektif lain, terkait dengan klasifikasi petani, ada 4 macam dengan
memunculkan petani penyewa sebagai tambahan (Sandy, 1985; Malik, Wahyuni, &
Widodo, 2018; Nasriah, Nuddin, & Irmayani, 2019; Sihaloho, Purwandari, & Ita,
2010; Tola, 2016). Jenis petani pemilik sendiri terbagi atas 2 yaitu petani pemilik
dengan model mengerjakan sendiri dan petani pemilik dengan model menyewakan
lahannya (Hanafi, 2007). Berlandaskan pada padangan tersebut, secara lebih rinci
dapat dijelaskan bahwa petani pemilik adalah pihak yang memiliki lahan pertanian,
petani penggarap atau penyangkap lebih pada sistem bagi hasil atas hasil pertanian,
petani penyewa dimana lahan pertanian yang diolah merupakan sewaan dan buruh tani
lebih pada aspek pemanfaatan jasa dalam pengolahan lahan pertanian.
27
Klasifikasi klas petani di atas, tidak bisa dipisahkan dari hasil observasi
terhadap realitas dilapangan. Setidaknya observasi berkaitan dengan karateristi petani
meliputi 6 komponen yang melekat berhubungan dengan aspek umur, pendidikan,
lama berusaha tani, jumlah tanggungan, luas lahan dan kompetensi (Mandang,
Sondakh, & Laoh, 2020; Manyamsari & Mujiburrahmad, 2014). Menindaklanjuti
penjelsan tersebut, secara universal bahwa adanya klasifikasi kelas petani tersebut juga
akan berimbasa pada dimensi sosial ekonomi masyarakat pedesaan. Disisi lain, kondisi
tersebut juga akan berimbas pada dimensi sosial, kultural dan keagamaan masyarakat
pedesaan. Hal ini mengacu pada konteks tipologi masyarakat akan menentukan
dimensi sosial kultur dan local wisdomatau kearifan lokal akan terus dilestarikan atau
stagnan dan hilang seiring dengan kemajuan dan perubahan struktur masyarakat
khususnya pada masyarakat petani. Merujuk pada beberapa hasil penelitian, status
sebagai petani kecil pada masyarakat pedesaan lebih dominan dibandingan dengan
pemilik lahan, sehingga pola kehidupan masyarakat cenderung stagnan sesuai dengan
ciri masyarakat pedesaan atau tradisional (Soekarwati, 1986).
2. Agama dan Budaya Dalam Terminologi Clifford Geertz
Agama dan budaya dapat dipahami sebagai dua mata sisi yang saling terintegrasi
dan terkoneksi dalam kehidupan. Agama sebagai basis keimanan dan keyakinan dimaknai
way of life dalam menwujudkan kebahagian dan kemuliaan. Agama sebagai institusi yang
mengakomodir kepercayaan yang bersifat ghaib. Agama mencakup nilai-nilai yang bersifat
sakral. (Marzuki, 2010; Miskahuddin, 2017; Muhammad, 2013; Nurmadiah, 2019; Putra,
2020). Geertz sendiri sebagai tokoh pemerhati dalam bidang antropologi mengungkapkan
bahwa agama merupakan rangkaian simbol-simbol yang memiliki koneksi instrinsik
(conection instrinsik) yang dipahami sebagai realitas aspek (aspect reality) dan sebgai
representasi dari realitas (its representation) simbol itu sendiri (Geertz, 1993; Pals, 1997;
Wendry, 2016).
Budaya secara esensial dapat dimaknai sebagai nilai yang besifat profan dalam
kehidupan masyarakat atau komunitas. Budaya segala sesuatu yang meliputi pengatahuan,
kepercayaan, seni, hukum dan kemampuan yang menjad kebiasaan masyarakat (Anderson-
Levitt, 2012; Kroeber & Kluckhohn, 1954; Medeiros & Cowal, 2017). Geertz sendiri
mengintepretasikan budaya lebih pada konteks kebiasaan yang memiliki sistem makna dan
simbol untuk mengintepretasikan kehidupannya. Budaya sarat akan nilai-nilai yang bersifat
28
simbolik sebagi dimensi untuk mengungkapkan sikap-sikap yang ada dalam konteks
kehidupan (Geertz, 1974; Reinhardt, 2020; Ramli, 2012).
Dimensi agama yang juga dapat diekspresikan dengan simbol-simbol begitu juga
pada budaya, sehingga kedua aspek ini memiliki korelasi yang terintegrasi. Agama dan
budaya menjadi dimensi yang tak terpisahkan pada kehidupan manusia. Agama sebagai
aspek yang berkaitan dengan dimensi spiritual dan keyakinan dan budaya sebagai nilai etis
yang ditaati oleh anggota masyarakat. Integrasi agama dan budaya dalam tataran kehidupan,
mampu mengkostruksi sebagai berbagai praktek baru dalam kehidupan komunitas atau
masyarkat. Keduanya memiliki sifat hubungan yang simbiosis mutualis bersinergi saling
menguatkan sebagai landasan dasar kehidupan komunitas dan masyarakat.(Duryadi, 2017;
Mahfuz, 2019; Hariyanto, 2015; White, 2007).
Kajian tentang hubungan atau relasi agama dan budaya dalam konteks
keindonesiaan tidak bisa lepas dari konsepsi yang dibangun oleh Clifortd Greetz. Pandangan
Geertz tentang relasi agama dan budaya merupakan dapat ditelisik pada teori tentang
trikotomi masyarakat Jawa. Disisi lain teori Geertz juga dijadikan dasar dalam kajian tentang
hubungan atau integrasi agama dan budaya khususnya dalam perspektif pendekatan
sosiologis dan antropologis (Burhani, 2017; Darwati, 2018; Hamali, 2018; Kuntarto, 2016;
Potabuga, 2020)
Karya Geertz lain yang menggambarkan agama sebagai sistem budaya dan adanya
relasi antara keduanya dapat ditelisik Islam Observed yang pada bahasannya secara eksplisit
mendeskripsikan adanya relasi Islam dan budaya. Bagian “Two Countries, Two Culture”
secara gamblang menggambarkan corak keberagamaan masyarakat Islam kedua negara
yang berbeda. Keberagamaa muslim Maroko cenderung fanatik, sedangkan di Indonesia
lebih kepada sifat kebatinan, tenang dan perasa. Geertz melanjutkan perspektifnya tentang
kebudayaan masyarakat pada karyanya yang berjudul “Local Knowledge”, dimana kembali
menegaskan bahwa budaya atau kebudayaan tidak bisa dipahami secara tampilan, namun
harus ditelisik lebih mendalam. Budaya tidak bersifat negatif, namun memiliki makna
positif berdasarkan pengetahuan yang diyakini oleh masyarakat setempat (Geertz, 1971;
Geertz, 1983) .
Agama sebagai dasar keyakinan tentu akan memiliki pengaruh terhadap budaya dan
cara pandang masyarakat (Santoso & Wisman, 2020). Hubungan agama dengan budaya
pada tataran kehidupan komunitas atau masyarakat dapat dilihat pada tradisi sosiokultural
29
yang berbasis kegamaan. Realitas ini dapat dilihat secara kasat mata pada kehidupan sehari-
hari komunitas atau masyarakat. Relasi yang harmonis antara agama dan budaya menjelma
menjadi tradisi baru dalam kehidupan masyarakat atau komunitas dengan corak yang lebih
Islami. Simbolisasi Islam dalam praktek tradisi dapat dijadikan indikator utama sebagai
penegas bahwa hubungan agama (Islam) dan budaya terintegrasi secara baik. Beberapa
tradisi yang bercorak sosiokulrual keagamaan seperti sakaten di Jogjakarta, Toron di
Madura (Djakfar, 2012; Marjan & Hariati, 2018; Wekke, 2013). Pemikiran Geertz terkait
konsep trikotomi secara mendalam tertuju pada tradisi slametan yang menjadi budaya yang
sering dilaksanakan oleh kaum abangan. Corak masyarakat Jawa yang bersifat complicated
disebabkan benturan budaya dari animisme hingga dinamisme, Hindu dan Islam, slametan
dianggap sebagai ritual (rites) yang dalam terminologi kajian agama dapat dimaknai sebagai
ibadah (Adiansyah, 2017; Syah & Muhid, 2020; Nasrudin, 2013).
Geertz bagi pemerhati relasi agama dan budaya dianggap sebagai tokoh central yang
tidak bisa dipungkiri meskipun era sebelumnya ada tokoh-tokoh seperti Max Weber yang
mengemukakan bahwa pergesaran nilai yang dianut mampu merubah kontruksi kehidupan
masyakat. Pemerhati yang dapat diklasifikasikan sebagai pengikut Geertz dalam
mencermati hubungan agama dan sastra, salah satu tokohnya di Indonesia dapat dirujuk
pada sosok Kuntowijoyo. Beberapa kajian yang mencermati pemikiran tokoh ini
mengisyarkatkan bahwa pemikirannya banyak bersinggungan dengan dimensi sosio
kultural yang memiliki corak Islam (Mulia, 2018; Khotimah, 2019).
Tipologi karya Kuntowijoyo yang cenderung pada bidang sastra, banyak
mengeksplrorasi hubungan agama dengan sosial budaya masyarakat. Nilai-nilai profetik
istilah yang digunakan Kuntowijoyo, ditujukan untuk menggambarkan dimensi keagamaan
masyarakat yang terimplemnetasikan dalam kehidupan (Astuti, 2017; El Farouq Ghazali &
Machmudah, 2020; Untoro, 2016; Wasi’ah, Saripah, Stiyanti, & Mustika, 2018).
Disamping Kuntowijoyo yang dapat diafiliasikan pada area pendukung Geertz,
tokoh lain yang dapat dirujuk sebagai kritikus Geertz khususnya terkait dengan konsep
trikotominya adalah Mark Woodward, Andrew Betty, Marshall Hodgson. Penulis da
pemerhati Indonesia yang secara mendalam mengkritisi teori trikotominya Geertz
diantaranya Zaini Muhtarom, Zainudin Maliki dan Bahtiar. Khusus pandangan Woodward
terkait bantahan terhadap teori trikotomi Geertz, Woodward menganalisis berdasarkan
fenomena keberagaman Islam Jawa di Yogyakarta. Bagi Woodward apa yang disampaikan
30
oleh Geertz tidak mencerminkan Islam Indonesia secara keseluruhan. Woordward melihat
Islam Jawa sebagai konsepsi keagamaan, dimana Geertz lebih melihat Islam Jawa sebagai
fenomena sinkretik (Fawaid & Khatimah, 2018; Tago, 2017).
Pemikiran Geertz setidaknya dipengaruhi oleh empat ilmuwan dalam bidang
antropolog yaitu seperti, Franz Boas, Alfred Lous Kroeber, Ruth Benedict dan Robert
H. Lowie. Corak utama studi kebudayaan masyarakat yang dikembangkan oleh Geertz
tidak bisa lepas dari pengaruh tokoh-tokoh tersebut dengan basis etnografi. Hal
tersebut dapat dijelaskan melalui gambar berikut :
Gambar 2.1. Tokoh yang berpengaruh terhadap pemikiran Geertz
Salah satu tokoh yang berpengaruh terhadap Geertz yaitu Frans Boas terkait
konsep relativisme budaya yang dikemukannya. Relativisme budaya sebagai suatu
padangan bahwa kebudayaan bersifat relatif dimana norma etikal moral masyarakat
tidak bersifat universal. Masing-masing kebudayaan berdiri sendiri dan harus
mengedepankan aspek saling memahami dan menghormati. Konteks relativime
budaya dalam pandangan Boas, lebih dipahami sebagai tata nilai norma moral yang
bersifat lokal tidak universal. Konteks relativisme budaya inilah pada akhirnya
memberikan sebuah legitimasi adanya perbedaan kebudayaan atau bersifat
multikultural (Brown, 2008; Fernandez, 2015; Stoking, Jr., 1966; Park, 2011).
Pandangan-pandangan Geertz terkait dengan studi antropologi juga
dipengaruhi oleh Kroeber yang mengusung teori difusi atau penyebaran budaya. Bagi
Kroeber yang merupakan Boasian, adanya sebuah kebudayaan pasti dipengaruhi oleh
kebudayaan lainnya. Kroeber menegaskan bahwa interaksi merupakan dimensi yang
Franz Boas (Relativisme Kebudayaan
Alfred Lous Kroeber (Penyebaran Budaya)
Robert H. Lowie (culture in mind )
Ruth Benedict (Culture Gestalt)
Clifford Geertz Marshall Hodgson Mark Woodward
Religion as culture system
31
dapat menimbulkan perubahan bagi kebudayaan yang menerima unsur kebudayaan
lain. Proses difusi atau penyebaran terjadi manakala memiliki terpenuhinya empat
unsur yang meliputi inovasi, komunikasi inovasi, sistem sosial sebagai tempat, dan
waktu. Melihat dari unsur ini proses difusi dapat dipahami bahwa penyebaran suatu
kebudayaan merupakan proses yang membutuhkan nilai baru, proses pemaknaan dan
sosialisasi, tempat penyebaran dan waktu. Kroeber sebagai Boasian proses studi
antropologi lebih menitik beratkan pada linguistik atau hermeneutik (Kroeber, 1940;
Steward et al., 1961; Jacknis, 2002; Maybin & Tusting, 2011; Rizal, 2012).
Ruth Benedict yang juga sebagai Boasian, memiliki dasar pendekatan dan
perspektif yang sama dengan koleganya yaitu Kroeber. Meskipun demikian Benedict
memiliki perspektif sendiri berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Benedict yang sudut
pandangnya dipengaruhi teori gestalt/konfigurasi, kebudayaan merupakan ekspresi
nilai yang ada dalam masyarakat. Kebudayaan tidak hanya dimensi yang bersifat kasat
mata seperti tindakan atau tingkah laku suatu masyarakat (Benedict, 2006; Bennett,
2015; Young, 2005). Tokoh lain yang menjadi barometer study antropologi pada saat
itu yaitu Robert H. Lowie dengan karyanya yang berjudul "Primitive Society". Lowie
memberikan pendapat bahwa kebudayaan merupakan abstraksi dari perilaku nyata
masyarakat. Pandangan Lowie lebih merujuk pada dimensi "mind" atau pikiran
tentang kebudayaan. Esensi dari padangan Lowie tersebut adalah bahwa kebudayaan
merupakan hasil proses pemikiran yang bersifat abstrak yang kemudian menjelma
menjadi norma nilai bukan merupakan kesinambungan dan inovasi perilaku
masyarakat (Lowie, 1920; Adimihardja & Salura, 2004; Bargheer, 2017).
Study antropologi yang dibangun sejak Boas hingga Lowie lebih pada model
etnografi dari pada perbandingan di era tersebut menjadi salah satu pendekatan studi
yang popular. Gagasan studi antropologi dengan pendekatan etnografi inilah yang
kemudian menjadi dasar hasil penelitian Geertz. Meskipuan demikian, bahwa
etnografi berpengaruh, namun fokus pendekatan studi kebudayaan Geertz berbeda
dengan pendahulunya. Kajian Geertz dalam mengupas budaya lebih pada dimensi
symbol, sedangkan Boas dan para pengikutnya lebih pada konteks linguistik-
hermenuetik dan mind atau pikiran yang dikemukan oleh Lowie. Geertz lebih banyak
mencermati budaya sebagai intepretatif simbolik maupun sistem simbolik. Konteks
32
ini dapat dilihat dari karya-karya Geertz yang lebih banyak mencermati simbol-simbol
yang ada dalam masyarakat.
Salah satu tulisan Geertz yang mencerminkan konsetrasi studinya terhadap
kebudayaan dengan mencermati simbol-simbol dapat dirujuk pada karyanya yang
berjudul "Tafsir Kebudayaan atau Interpretation of Culture". Karya Geertz ini
mencoba menelisik secara lebih mendalam tentang simbol-simbol yang ada dalam
kebudayaan dalam perspektif palaku budaya atau masyarakat setempat. Meskipun
Geertz secara kontroversial menjelaskan bahwa manusia laksana hewan yang terjebak
pada jarring-jaring makna berkaitan dengan kebudyaan. Disisi lain Geertz
menjelaskan bahwa kebudayaan bersifat kontekstual mengandung makan yang
mendalam terkait dengan sebuah tradisi diman Geertz memberikan contoh pada
tulisannya dengan tradisi sabung ayam. Bagi Geertz tradisi tersebut tidak hanya
dipahami sebagai praktek sabung ayam, namun ada simbol-simbol yang bersifat
intepretatif seperti kehormatan, harga diri, kekuatan. Geertz berusaha dengan model
etnografi menggambarkan secara jelas dari sebuah budaya yang dikaji dan ditelitinya
(Dadze-Arthur, 2017; Geertz, 1973).
Penjelasan di atas menguraikan bahwa model kajian Geertz berbeda dari pada
mentornya seperti Boas, Kroeber dan Lowie meskipun secara metodologis secara
pengaruh terlihat pada etnografi sebagai basis studi Gertz tentang budaya. Penegasan
gagasan Geertz tentang budaya yang bersifat intepretatif dan kontektual juga dapat
ditelusuri pada karya lainnya yaitu Mojokunto sebagai sebuah dinamika sosial
masyarakat Jawa. Buku ini merupakan secara keterkaitan dapat disebut sebagai
kesinambungan karyanya yang berjudul Islam Jawa (Islam Javanese). Konsep
trikotomi yang sangat nampak pada Islam Jawa, pada Mojokunto Geertz
menggambarkan bahwa perbedaan dan jarak antar kelompok atau golongan
masyarakat sudah tereduksi dengan adanya modernisasi dalam bidang sosial
masyarakat. Geertz lebih rinci mendeskripsikan kelompok-kelompok masyarakat pada
karya Mojokunto, meskipun tetap dalam ruang teori trikotomi yang digagasnya.
Kajian dan studi Geertz tentang Islam Jawa dan kebudayaan, seperti yang telah
disinggung di atas, dikritisi oleh Mark Woodward dan Marshal Hodgson. Meskipun
demikian, perkembangan tradisi masyarakat Islam Jawa tidak bisa dipahami dalam
konteks dahulu. Bagi Geertz tradisi seperti slametan yang dulu dijelaskan sebagai basis
33
kaum abangan, saat ini haru ditafsirkan kembali sebagai upaya untuk memahami
budaya masyarakat secara lebih jernih dan jelas. Tafsir terhadap kebudayaan tidak
bersifat statis namun kontekstual sebagai basis sosiokultural masyarakat.
Integrasi dan relasi agama dan budaya pada tataran realita berubah menjadi tradisi
yang bersifat sosiokultural keagamaan, sedangkan kebiasaan yang menjadi nilai etis
masyakat dapat dipahami sebagai kearifan lokal. Kedua konsep ini dalam kehidupan
masyarakat dapat difungsikan sebagai basis pendidikan agama Islam (Mufidah, 2015; Putri,
2019). Pemahaman Geertz terhadap budaya merupakan fakta simbolik yang didasari oleh
keyakinan atau kepercayaan yang bersifat sakral sebagai dimensi agama. Simbol-simbol
yang melekat pada sebuah budaya merupakan “par excellence” dari sebuah kepercayaan
yang diyakini. Konteks tersebut dapat dimaknai secara sederhana, bahwa dalam perspektif
Geertz budaya merupakan citra agama.
Berdasarkan ekplorasi deskripsi di atas, maka secara ontologis bahwa agama dan
budaya memiliki relasi yang tidak bisa dipisakan dari kehidupan masyarakat. Agama dan
budaya merupakan sisi yang saling terintegrasi dan mewarnai. Agama sebagai gambaran
dimensi ketuhanan dan spirtualitas, sedangkan budaya sebagai nilai etis yang ada pada
masyarakat. Tinjauan epistemologis agama dan budaya dibahas tentang makna agama dan
budaya serta relasi agama dan budaya dalam perspektif Geertz, yang memiliki corak
berbeda pada setiap masyarakat. Adapun secara aksiologis, relasi agama dan budaya dapat
melahirkan tradisi atau ritual masyarakat yang menggambarkan simbolisasi nilai-nilai sakral
atau profetik dan profan yang terkemas dalam bentuk sosiokultur keagamaan dan kearifan
lokal. Sejalan dengan paparan deskprisi di atas, pemikiran Geertz dapat dielaborasi dalam
gambar bagan sebagai berikut.
Gambar 2.2.
Overview Pandangan Clifford Geertz Agama sebagai Sistem Budaya
34
3. Sosiokultural Keagamaan
Pengertian tentang sosiokultural keagamaan harus ditafsirkan sebagai dua
komponen yang terintegrasi menjadi satu istilah yang utuh yaitu sosiokultural dan
keagamaan. Mencari definisi istilah tersebut secara untuh , kemungkinan besar tidak
dapat dilakukan tanpa melalui proses penafsiran dengan dua pengertain dalam satu
maksud definisi. Istilah sosiokultural sendiri merupakan dua istilah yang menjadai satu
penafsiran atau pemaknaan definisi tersendiri. Sosiokultural secara definitif terdiri atas
dua istilah dengan disiplin keilmuan berbeda. Sosio atau kata “socius” merupakan
domain keilmuan sosiologi, sedangkan kultur atau kultural domain disiplin ilmu
antropolgi, sehingga sosiokultural dapat dimaknai sebagai keseluruhan yang berkaitan
dengan masyarakat dan budaya (Poerwadarminta, 1983; Thabroni, 2020). Sosial
budaya atau sosiokultural merupakan hasil adanya proses interaksi yang tak
terpisahkan antara pemikiran disatu sisi dan budaya disisi lainnya. Lahirnya budaya
terkontribusi oleh tindakan dan perilaku tertentu atau spesifik yang dilakukan oleh
masyarakat. Sosiokultural dapat berfungsi dan difungsikan sebagai tata nilai yang
harus ditaati oleh seluruh komponen masyarakat (Sukitman, 2012).
Dimensi spesifik sosiokultural dapat dijadikan sebuah gambaran secara
esensial atas sebuah tatanan masyarakat, karena mengandung nilai-nilai berkaitan
dengan habit atau kebiasaan, art atau seni, serta seperangkat simbol dan indikator yang
dapat menajdai pembeda antara satu msayarakat dengan msayarakat lainnya.
Sosiokultulan merupakan bagian atas manifestasi yang bersifat turun temurun dan
mendarah daging sebagai sebuah penanda atas entitas atau kelompok tertentu.
Kebrlanjutan dari proses sosiokultural yang secara sadar ditanamkan sebagai doktrin
yang harus dipatuhi dan dipahami secara komprehensif akan melahirkan karakter
masyarakat, yang secara esensial keduanya antara sosiokultural dan karakter menjadi
dua sisi yang saling mencerminkan (Sukitman, 2012).
Istilah keagamaan sendiri merupakan turunan dari kata agama. Beberapa istilah
agama dalam berbagai perspektif, yang secara umum terwakili pada dua bahasa yaitu
“religion” dan “din” atau “ad-din”. Agama secara etimologi dimaknai berkaitan erat
dengan aspek kepercayaan atau keyakinan (belief) dan ritual atau upacara serta aspek
yang bersifat “trancends experience”, dalam kacamata Geertz agama lebih identik
dengan budaya. Adapun berkaitan dengan sudut padangan terminologi agama adalah
35
keyakinan terhadap yang ghaib yang didalamnya terdapat ritual/ibadah/upacara
(Joevarian, 2012; Khoiruddin, 2016; Mazarli, 2016; Aziza, 2016; Tamrin, 2019).
Istilah keagamaan yang secara studi bahasa merujuk pada kata agama dengan
imbuhan “ke” dan “an”, menjadi kata yang lebih konkrit. Makna keagamaan sendiri,
lebih tertuju pada dimensi aplikatif secara kontinue dalam mentaati, menjalankan dan
melaksanakan nilai-nilai yang menjadi dasar etis. Maknanya adalah bahwa dimensi
keagamaan dapat diukur dan diamati karena lebih bersifat fakta dan nyata sebagai
bentuk perilaku yang dilakukan. Dimensi keagamaan mencerminkan dua tataran yang
bersifat vertical dan horisontal, dimensi kemanusiaan dan ketuhanan (Budiman, 2017).
Berdasarkan deskripsi dan gambaran tentang kerangka sosiokultur dan
keagamaan tersebut, maka istilah sosiokultural keagamaan dapat dijelaskan sebagai
hasil pemikiran budaya yang didalamnya terdapat nilai-nilai etis yang diyakini dan
ditaati sebagai bagain dari proses aplikasi keagamaan baik secara individual maupun
masyarakat. Keyakinan masyarakat akan nilai-nilai etis yang bersifat lahiriah
dihubungkan dengan nilai-nilai sakral (suci) agama sehingga menjadi
praktek/ritual/upacara yang memiliki sifat keniscayaan untuk dilaksanakan.
1) Bentuk Sosiokultural Keagamaan dan Non Keagamaan
a) Sosikultural Keagamaan
a. Selametan
Kutipan deskripsi sebelumnya tentang sosiokultural keagamaan merupakan
hasil proses pemikiran dan perilaku sosial budaya yang mengandung nilai-nilai etis
masyarakat dan nilai-nilai sakral (suci) keyakinan dan kepercayaan yang terafiliasi
pada keyakinan tertentu, yang dalam konteks penelitian ini berkaitan dengan Islam.
Karateristik sosiokultur keagamaan, terafiliasi pada satu ritual atau upacara yang
didalamnya terkandung berbagai macam atau jenis slametan mulai dari megengan,
kupatan hingga slametan kematian.
Meskipun slametan saat ini lebih condong pada konteks sebagai budaya,
namun dapat dijelaskan dalam perspektif sosiokultural keagamaan, bahwa slametan
merupakan proses dalam mengkonseptualisasikan hubungan budaya sosial masyarakat
dengan agama. Realitas tumbuhnya aspek sosiokultur keagamaan, tidak bisa
dilepaskan atas konsepsi, penafsiran dan pemaknaan terhadap agama itu sendiri yang
dapat dilihat dalam berbagai sudut pandang yang berbeda, sehingga agama bisa tampil
36
dengan “seribu wajah” disebabkan fleksibilitas dan kontekstualisasi yang digunakan
dalam menafsirkan agama itu sendiri. Keterpaduan nilai-nilai etis dengan simbol-
simbol budaya yang dihubungkan dengan ritual atau upacara tertentu dalam satu
proses pelaksanaan. Meskipun nampak ambigu, namun hal tersebut merupakan bagian
fakta dan realitas terjadinya dimensi intepretasi msayarakat akan doktrin-doktrian
agama yang berusaha dipahami sesuai dengan perspektifnya (Kholil, 2008;
Woodward, 2011).
Perkembangan sosiokultur keagamaan, khususnya pada masyarakat Jawa,
dapat dicarikan legitimasinya pada karya Geertz penelitian tentang “Islam Jawa’,
dimana hasil eksplorasi penelitian bahwa tipologi msayarakat Islam di Jawa terbagi
pada tiga kelas yaitu priyayi, santri dan abangan. Menafikan dimensi lain terkaiat
dengan keberadaan Islam dan politik identitas yang terjadai pada saat itu, namun fakta
ini memberikan gambaran bahwa perkembangan hubungan budaya dan agama dalam
masyarakat dapat tumbuh subur, dikarenakan kompleksitas kemampuan dalam
memahami doktrin agama secara genuine sehingga pada tataran aplikatif. Tatanan atau
kelompok masyarakat dengan berbagai profesi yang berbeda-beda dari petani hingga
kaum elit, sehingga dapat menciptakan budaya dengan ciri agama atau bahkan
sebaliknya agama dengan muatan budaya (Amaliyah, 2018; Subair, 2015; Tago,
2017).
Berkaitan dengan slametan, seperti yang telah disinggung bahwa merupakan
hasil hubungan konseptualisasi budaya dan agama pada kehidupan masyarakat, secara
etimologi berasal dari kata “slamet” atau selamat dalam bahasa Indonesia, memiliki
akar dari kata Arab “salamah” yang bermakna selamat, bahagia, sentosa dan sejahtera
(Sari, 2018; Fitrahayunitisna, 2018). Slametan atau selamatan secara terminologi
merupakan bagian dari sikap spritualitas masyarakat jawa dengan kearifan lokal, yang
mempunyai kekhususan dan kekhasan berkaitan dengan waktu pelaksanaan, tujuan,
pertunjukan dan perangkat atau ornamen tertentu sebagai indikator untuk
menunjukkan perbedaan pada setiap kegiatan ritual atau upacara slametan (Sutiyono,
2006; Setiawati, 2019; Nasir, 2019).
Fungsi slametan secara esensial sebagai permintaan atau do’a dari berbagai hal
yang dapat mendatangkan kesusahan dimana dalam proses dikolaborasikan dengan
tradisi kenduri atau sajian makanan. Ciri khas “slametan” sebagai proses dalam
37
melakukan do’a, tidak bisa dipisahkan atas makna do’a itu sendiri yang memiliki
makna permintaan, minta tolong, pujian, sembahan dan juga sebagai dakwah atau
seruan Hal ini tidak bisa dilepasakan bahwa tradisi, khususnya berkaitan dengan
sosiokultur keagamaan dapat difungsikan sebaga media dan wahana dalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan agama, karena didalam “slametan” dapat dilihat
adanya nilai profetik yang terkandung (Geerts, 1989; Rosyidi, 2012; Maisyanah &
Inayati, 2019; Muqoyyidin, 2016; Annisa & Wardana, 2020).
Berkaitan dengan “slametan”, terdapat 4 macam tipologi yang berkembang dan
lestari dalam tradisi kehidupan masyarakat, yakni: pertama, berhubungan dengan
siklus kehidupan dari kelahiran hingga kematian; kedua, berkaitan dengan perayaan
hari besar; ketiga, bersangkutan dengan kondisi dan situasi lingkungan; dan empat,
bersifat situasional berkaitan dengan kejadian atau kebutuhan (Sari, 2018).
Berdasarkan deskripsi tersebut, beberapa macam kegiatan yang merupakan bagian dari
kegiatan “slametan” sesuai dengan tipologi di atas, antara lain:
b. Megengan
Pelaksanaan “slametan” dalam kegiatan “megengan” merupakan bagain dari
ekspresi keberagamaan masyarakat khususnya Jawa. Meskipun secara historis, asal
muasal dan kapan pertama kali “megengan’ dilakukan tidak bisa ditelusuri secara
eksplisit, namun kegiatan ini sudah menjadi tradisi yang berisfat turun temurun
dilakukan dalam masyarakat Jawa khususnya. Tradisi “megengan” secara umum
dilakukan menjelang datangnya bulan ramadhan yang dalam istilah bulan Jawa disebut
“poso”. Pelaksanaan “megengan” berkaitan dengan adanya persepsi bulan baik atau
suci yang diyakini oleh masyarakat Jawa diantara bulan Muharram dengan proses
tradisi yang dikenal dengan istilah “suroan”, sya’ban atau bulan “ruwah” dimana
tradisi “megengan dilaksanakan hingga muludan yang merupakan tradisi yang
dilakukan pada bulan “rabiul awal’ dalam kalender Islam (Ridho, 2019).
Tradisi “megengan” dalam kalender jawa yang jatuh pada “ruwah” sangat erat
kaitannya dengan nilai filosofi atas penamaan bulan tersebut dengan konsep arwah.
Karateristik tradisi “megengan” identik dengan ziarah kubur, kirab santri dan kegiatan
lainnya yang dilakukan menjelang datangnya bulan ramadhan atau poso dalam bahasa
Jawa. Maksud dan tujuan pelaksanaan tradisi “megengan” sebagai proses ritual untuk
menyampaikan do’a atau permohonan kepada Allah, agar kekuatan lahir dan batin
38
senantiasa hadir dalam diri untuk menghadapi dan menjalani bulan ramadhan. Disisi
lain tardisi “megengan” dianggap sebagai timing atau waktu yang tepat dalam
mendoakan leluhur yang telah meninggal. Tradisi “megengan” sebagai bagaian dari
proses “slametan” yang identik dengan kenduri, maka dalam pelaksanaannya
menyajikan makanan sebagai pelengkap seperti ambeng (tumpeng), ketan dalam
bentuk jadah dan lainnya (Aibak, 2010; Indahsari, 2017; Safi'i, 2018). Tradisi ritual
“megengan” pada masyarakat kudus dikenal istilah “dandangan” sebagai penanda
datangnya bulan ramadhan (Suciati & Erzad, 2018). Ilustrasi kalimat sederhana atas
tradisi “megengan” sebagai sosiokultur keagamaan masyarakat merupakan proses
dalam menghormati akan datangnya bulan ramadhan dengan berbagai ritual yang
dilakukan.
c. Kupatan
Tradisi kupatan sebagai bagian dari sosiokultur keagamaan dengan identitas
simbol utama “kupat” atau “ketupat” yaitu makanan yang terbuat dari beras dibungkus
dengan daun muda kelapa atau yang populer dengan istilah “janur” dengan bentuk
diagonal (Ridho, 2019). Simbolisasi dari pelaksanaan tradisi “kupatan” sebagai media
untuk mempererat dimensi silaturahmi atau persaudaraan/kekeluargaan. Disisi lain
juga berfungsi untuk menjaga tali silaturahmi antar warga dan saudara. Kekerabatan,
persadaudaraan, berbagai rejeki, membangun nilai-nilai religius merupakan filosofi
yang terkandung dalam tradisi kupatan (Ningsih, 2020).
Praktek pelaksanaan tradisi kupatan di samping dengan proses menghantar
sajian ketupat kepada beberapa sanak saudara, juga disediakan dirumah sebagai sajian
ketika ada sanak atau kerabat yang berkunjung (Amin, 2017). Keletarian tradisi
kupatan tidak bisa lepas atas pemaknaan yang tidak hanya pada konteks tradisi, namun
juga dianggap sebagai dimensi keagamaan yang dapat dilakukan sebagai bagian dari
proses keimanan. Tradisi kupatan yang dilakukan pasca 7 hari setalah iedul fitri, secara
nyata merupakan perilaku keberagamaan masyarakat Islam khususnya pada kelompok
abangan. Fakta ini tidak bisa lepas atas fenomena bahwa tradisi kupatan merupakan
peninggalan leluhur yang harus tetap dilaksanakan sebagai norma dan kaidah
peninggalan nenek moyang(Ridho, 2019).
39
d. Muharram (syuroan)
Kebermacaman corak masyarakat Indonesia, secara tidak langsung mampu
menumbuhkan berbagai tradisi dengan atau tanpa dikaitkan dan disandarakan pada
unsur keagamaan. Alamanat atau kalender yang berlaku pada masyarakat Indonesia
bersandar pada 3 rujukan utama yaitu kalander Arab atau Hijriah, kalender Jawa dan
kalender masehi. Bulan awal apda kalender Arab disebut bulan Muharram sedangkan
pada kalender Jawa disebut bulan Syuro. Awal tanggal 1 pada bulan ini yaitu
Muharram atau Asyuro, terdapat tradisi yang hingga saat ini masih dilestarikan dan
dilakukan sebagai bagain dari sosiokultur keagamaan masyarakat Indonesia. Simbol
utama perayaan Muharram atau syuroan adalah bubur “merah putih” sebagai
simbolisasi kebaikan dan kejelakan. Disisi lain perayaan pada tradisi ini juga diisi oleh
ritual-ritual yang dianggap sakral untuk dilaksanakan seperti mencuci atau
membersihkan keris atau pusaka yang dianggap “suci” atau memiliki kekuatan
(Japarudin, 2017; Kurniawan, 2019).
Kultur, suku dan pola adat-istiadat yang berbeda-beda, berakibat pada
kemajemukan perayaan tradisi suroan di Indonesia. Beberapa kegiatan tersebut seperti
kirab di solo dan Yogyakarta, di Aceh dengan nama bulan Asan Usen, di Bengkulu
dengan istilah tradisi tabut, sedangkan di Sumbar dengan istilah tabuik. Adapun di
Madura dengan simbol “tajin sora” difahami tradisi ini sebagai implementasi larangan
untuk bepergian dan penggambaran atas kesucian sayyidan Husein. Perbedaan
mendasar perayaan malam tahun baru Muharram atau Asyuro adalah konteks
kemeriahan, dimana pada malam tersebut tidak ada hiruk pikuk atau euforia namun
cenderung sunyi karena lebih dipahami sebagai proses refleksi dan intropeksi diri
(Japarudin, 2017).
Perayaan Muharram atau Asyuro pada berbagai daerah pada dasarnya di
samping sebagai proses intropeksi dan refleksi diri, juga sebagai ungkapan kecintaan
masyarakat Islam terhadap rasulullah melalui kecintaan masyarakat kepada cucu-
cucnya. Tradisi suroan sebagai sebuah fenomena dan fakata, diyakini merupakan
ajaran yang diberikan oleh Walisongo, sehingga merayakan syuroan merupakan
proses napak tilas terhadap ajaran Walisongo yang dianggap sebagai pembangun
pondasi dalam penyebaran Islam di Indonesia khususnya Jawa (Safera & Huda, 2020).
Pelaksanaan tradisi syuroan di samping didasari aspek tersebut, juga dapat difungsikan
40
dalam menanamkan nilai-nalai pendidikan Islam yang terkandung di dalam tradisi
syuroan (Krismoniansyah et al., 2020).
e. Selametan Kematian
Ungkapan pada deskripsi di atas, bahwa esensi selamatan atau “slamaten”
sebagai sebuah tradisi yang bersifat keagamaan yang berkembang pada masyarakat
merupakan bagian dari ekspresi pengalaman dan keberagamaan. Konteks keyakinan
khususnya pada masyarakat Jawa, “slametan” dapat difungsikan sebagai proses
mencari jalan selamat bagi yang hidup ataupun yang sudah mati. Nilai “slametan”
sanga identik dengan pemahaman bahwa roh atau arwah dapat dikirimkan doa sebagai
bekal setalah meninggal. Sedangkan bagi yang hidup “slametan” merupakan media
dalam menaklukkan kekuatan “supranatural” yang dapat mengganggu kedamaian
hidup (Sari, 2018; Amin, 2002).
Tradisi “slametan” setelah kematian yang saat ini masih dilakukan oleh
masyarakat, merupakan proses ritual untuk mendoakan arwah agar selamat dan
diterima oleh sang khaliq. Proses pelaksanaan dengan berdoa, merupakan bentuk
partisipasi masyarakat atau tetangga dalam hal belasungkawa. Tujuan utama praktek
tradisi ini yaitu agar roh selamat sampai keakherat. Fakat ini tidak bisa dilepaskan atas
kuatnya pemahaman terhadap roha atau arwah akan terkendala dalam proses menunuju
Tuhan. Istilah “slametan” pasca kematian lebih dikenal atau populer dengan nama
tahlilan (Sari, 2018).
Tradisi selametan setelah kematian sampai sekarang masih banyak dilakukan
masyarakat karena hal itu didorong oleh sistem keyakinan dan kepercayaan yang kuat
terhadap sistem nilai dan adat istiadat yang sudah berjalan turun temurun. Adat dan
upacara kematian merupakan fase atau tingkatan hidup yang terakhir dalam kehidupan
manusia di dunia. Adat atau upacara kematian dilakukan agar orang yang meninggal
dapat terhindar dari bahaya. Selain itu, hal itu bertujuan agar perjalanan roh selamat
sampai ke akherat. Beberapa macam tahapan kegiatan “slametan” pasca kematian atau
tahlilan antara lain :surtanah, nelung dina, mitung dina, 40 dina, nyatus dina, mendhak
pisan, mendhak pindo dan nyewu dino (Geertz, 1989; Sari, 2018). Tahapan-tahapan
tersebut tentu memiliki nilai, makna baik filosofis maupun teologis bagi masyarakat
khususnya pihak yang masih melestarikan dan melaksanakan tradisi tersebut.
41
b) Sosiokultur Non Keagamaan
Kemajemukan masyarkat merupakan lahan subur atas lahirnya sosiokultur
baik yang bersifat keagamaan maupun non keagamaan dalam bentuk kesenian.
Beberapa kesenian yang dapat dipetakan berbasis sosiokultur masyarakat antara lain
reog, kesenian topeng dengan istilah khas pada masing-masing daerah seperti tapuk
pada kultur jawa hingga hudog dalam terminologi suku dayak. Bentuk topeng sendiri
bermacam-macam dari topeng besar, boneka dan wayang hingga topeng dan rias
(Yurisma & Bahruddin, 2020;. Hidayanto, 2012).
4. Kearifan Lokal
Kearifan lokal sebagai sebuah istilah yang saat ini populer sebagai pijakan
dalam ranah kegiatan riset khususnya dalam bidang sosio-antropologi. Secara
etimologi, kearifan lokal titik pijaknya dapat dikaitkan dengan istilah “local genius”,
“local wisdom”, “local culture”, “local knowledge” dan istilah sepadan lainnya.
Adapun secara terminologi istilah kearifan atau budaya lokal merupakan nilai-nilai
yang ada di masyarakat sebagai budaya tertentu berkaitan dengan seluruh sendi
kehidupan darai arsitektur hingga kebiasaan (habit) yang berlaku secara khusus dalam
masyarakat(Daniah, 2016; Suciati & Erzad, 2018;Maridi, 2015).
Tersematnya kearifan lokal sebagai sebuah identitas dan karakteristik atau
kepribadian yang melekat pada suatu masyarakat menjadi formula ampuh dalam
mengisolir pengaruh budaya darai luar. Kearifan lokal dapat dikonstruksi menjadi
benteng pertahanan dalam mempertahanan nilai-nilai etis yang diyakini dan ditaati
oleh anggota masyarakat. Kearifan lokal menagndung dimensi kebijaksanaan dalam
konteks kehidupan yang selaras dengan sosio kultur masyarakat (Iryanti,
2017;Bakhtiar, 2016).
Pengikatan secara emosional dan konstitusional dapat difasilitasi oleh adanya
kearifan lokal. Tatanan masyarakat yang bersifat majemuk dan multikulturalisme
menjadi problem tersendiri, sehingg pada konteks inilah kemudian kearifan lokal dapat
menunjukkan perannnya dalam memfasilitasi dan mengakomodir perbedaan menjadi
sebuah kesepakatan yang dapat membangun kedamaian dan persaudaraan. Kajian
(Istiawati, 2016;Ngurah Sulibra et al., 2017). Berlandsakan pada deskripsi tersebut,
kearifan lokal atau “local wisdom” bersifat kontiyu dalam proses perkembangannya
42
dalam tatatan kehidupan masyarakat yang berbentuk secara nyata pada adat istiadat,
tata nilai atau norma baik berupa budaya maupun agama serta kebiasaan masyarakat
yang menjelma sebagai hukum positif dalam kehidupan.
Kearifan lokal atau “the local wisdom” dan Islam menjadi dua dimensi yang
dapat dimaknai sebagai fakta yang bersifat kontraproduktif atau produktif. Konteks
hubungan yang harmonis antara Islam dan kearifan lokal dapat dilihat pada sejarah
perkembangan Islam di Jawa. Peran serta walisongo sebagai pioner dakwah Islam di
Jawa, khususnya Sunan Kalijaga dengan menggunakan kearifan lokal berupa wayang
kulit mampu secara signifikan mengembangkan dakwah Islam. Esensi kearifan lokal
sebagai nilai etis yang ditaati dapat difungsikan dalam proses pendidikan Islam. Adat
istiadat pada banyak budaya juga dinggap sebagai implementasi nilai syariat yang
harus dipatuhi oleh semua unsur masyarakat tanpa terkecuali. Hukum positif dari
sebuah kearifan lokal adanya aspek egaliterialisme atau kesetaraan hak dan keadilan
sosial bagi seluruh anggota masyarakat (Antariksa, 2009; Casram, Dadah, 2019).
Sifat bid’ah, khurafat dan tahayul yang banyak dianggap sebagai unsur yang
terkandung dalam kearifan lokal, kadang dapat menjembatani dimensi kedamaian dan
kerukunan msayarakat. Setidaknya persinggungan Islam dengan kearifan lokal telah
melahirkan berbagai dekonstruksi dan rekonstruksi tradisi atau ritual yang cenderung
“jahiliyah” dengan tersematnya nilai-nilai atau norma-norma Islam. Realitas
persinggungan antara kearifan lokal baik yang bersifat keagamaan maupun kesenian,
dapat dilihat pada permisalan yang konkrit dan menyisakan bebragai polemik, ialah
kearifan lokal berkaitan dengan “slametan” pasca kematian atau tahlilan. Konteks
historis yang mungkin dapat dicermati dalam tradisi tersebut adalah pengucapan
kalimat “lâ ilâha illallâh” secara bersama-sama, sebagai media yang efektif untuk
penanaman tauhid dengan mengarahkan seseorang menjadi sentimental (penuh
perasaan) dan sugestif (gampang menerima paham atau pengajaran).
5. Pendidikan Agama Islam
Pendidikan secara kategoristik level manajemen terbagi atas 3 yaitu makro,
messo dan mikro. Wilayah maskro berbicara pada lingkup nasional, sedangkan messo
pada area wilayah dan mikro pada level sekolah atau kelembagaan. Esensi dari sebuah
proses pendidikan adalah pengembangan pada seluruh kompetensi yang ada pada diri
43
anak atau peserta didik. Proses pengembangan tersebut membutuhkan sebuah proses
yang dinamakan dengan pendidikan dan pengajaran yang dalam istilah Islam dikenal
dengan “tarbiyah wa ta’alim”. Pengembangan dalam konteks pendidikan, ciri khas
yang melekat adalah perkembangan pada aspek kognitif yang selaras dengan filosofi
“sullam” yang dapat dimaknai sebagai “peningkatan kualitas” sumber daya
insani(Faqih, 2018;Mo’tasim, 2017).
Berdasarkan tinjaun aspek lingkungan pendidikan dalam konteks
pembelajaran, terdiri dari keluarga, lingkungan dan sekolah (Sardiyanah, 2020), yang
secara kategorikal pada konteks sekolah, pendidikan agama Islam harus tercermin
pada kurikulum. Kurikulum pendidikan agama Islam secara nyata dapat dilihat baik
secara de facto dan de jure pada perkembangan kurikulumnya sejak pra kemerdekaan
hingga saat ini yang termuat pada K-13 sebagai kurikulum resmi. Fakta ini tidak bisa
dilepaskan atas fungsi kurikulum sebagai kunci dan blue print arah orientasi
pendidikan ditetapkan (Hatim, 2018; Mawardi, 2017).
Lingkungan pendidikan khususnya keluarga dan sekolah menjadi area
terpenting dalam menghadirkan proses pendidikan yang berkualitas dalam seluruh
dimensinya terkait pengembangan anak atau peserta didik. Seluruh potensi kecerdasan
dalam ranah potensi manusia mulai dari berfikir, berkreasi hingga pada konteks
problem solving harus mampu diakomodir dalm proses pendidikan baik di lingkungan
kelurga maupun sekolah. Menumbuhkan karakter dan perilaku anak atau peserta didik
sesuai dengan norma dan nilai etis baik masyarakat maupun agama harus menjadi
wilayah kerja proses pendidikan pada keluarga maupun sekolah (Kurniawan &
Maryani, 2016; S & Rusydi, 2017; Ahmad & Nurjannah, 2016; Yakub, 2018; Aladdiin
& Bagus, 2019; Ismail, 2018).
Era modernisasi saat ini pendidikan agama Islam harus mampu menunjukkan
peranan yang konkrit dalam menunjukkan kontribusi yang signifikan dalam
pembangunan karakter bangsa. Menginterkoneksikan pendidikan agama Islam dengan
mata pelajar atau bidang studi yang lain menjadi arah baru dalam ranah
implementasinya (Maftuh, 2017; Siregar, Zahra, & Bujuri, 2020). Tantangan
pendidikan agama Islam, tidak hanya sebagai sebuah mata pelajaran yang terfokus
pada proses doktrinasi dogma agama kepada anak atau peserta didik, tetapi disisi lain
juga harus mampu memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap dimensi
44
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Stigma negatif tentang radikalimse dan
konservatifme terhadap Islam, harus mampu dijawab oleh peranan pendidikan agama
Islam yang modernis. Output yang dihasilkan dari proses pendidikan agama Islam
harus bersifat militan namun menghargai kemajemukan (Mukhlison, 2018; Purwanto,
Qowaid, Ma’rifataini, & Fauzi, 2019; Syukur, 2015; Nurmiyanti, 2018).
Terjangan arus globalisasi, secara nyata harus mampu diantisipasi secara
konkrit oleh pendidikan agama Islam. Sikap moderasi dalam beragama, dengan salah
satu ciri yang menjadi ssorotan saat ini adalah sikap toleransi beragama, dapat
dijadikan fokus domain dalam merekonstruksi pendidikan agama Islam baik sebagai
sebuah mata pelajaran pada lingkungan sekolah dan sebagai kewajiban pada
lingkungan keluarga (Hyangsewu, 2019; Maemunah, 2019; Muchlis, 2020; Shunhaji,
2019). Fungsi pendidikan agama Islam yang bersifat kompleks, tidak hanya pada
aspek kehidupan dunia, namun kehidupan akhirat sebagai tujuannya, sehingga secara
konkrit memaknai anak atau peserta didik sebagai sasaran harus juga meyetuh pada
dua unsur tersebut, sebagai pribadi dan makhluk sosial. Berdsarkan konteks tersebut,
pendidikan agama Islam terangkum dalam 3 tahapan sebagai berikut: pertama, tujuan
tertinggi sebagi abd’ dan khalifa fi al-ardh; kedua, tujuan umum yaitu sebagai landasan
filosofis pada term long life education; ketiga, tujuan khusus berkaitan dengan proses
evaluasi yang bersifat elastis dan adaptif, namun tetap berpijak pada dimensi
ilahi(Haris, 2015).
Pendidikan agama Islam yang tidak hanya menyentuh aspek kognisi atau
intelektual saja, tentu menuntut keterlibatan secara profesional sebagai pendidik atau
guru. Peran guru sebagai fasilitator sekaligus sebagai tutor dalam proses transfer of
valueand knowledge, harus mampu bersinergis dengan perubahan paradigma
pendidikan agama Islam, mulai dari metode pengajaran dengan pendekatan saintifik,
dari tekstual-verbalistik kearah kontekstual-dialogis. Di samping itu arus pergesaran
dinamika proses pembelajaran yang tidak hanya menuntut pada pengembangan
pendekatan, tetapi menetapkan dimensi keteladan guru sebagai unsur yang tidak bisa
dipinggrkan dalam rangka proses pelaksanaan pendidikan agama Islam (Arum, 2018;
Kusnadi, 2016; Rahmawati, 2018).
Pendidikan dan pendidikan agama Islam yang tertuang dalam UU Sisdiknas
ditegaskan sebagai proses yang wajib untuk dilakukan, penegasian dan penolakan
45
proses tersebut merupakan sikap inskonstitusonal. Pelaksaana pendidikan agama Islam
dapat dimaknai pada semua jenis pendidikan dari formal/sekolah, non formal seperti
diniyah, TPQ dan lainya serta informal yaitu keluarga atau lingkungan(Agung, 2019;
Ahmad Darlis, 2017; Sunengsih, 2020). Ketiga jenis jenjang pendidikan itulah,
pendidikan agama Islam dapat dilakukan tidak hanya dalam konteks pembelajaran
formal, namun juga dapat dilakukan dalam jalur non formal dan bahkan informal yaitu
dalam konteks pendidikan agama Islam pada lingkungan keluarga.
1) Tanggung Jawab Keluarga Terhadap Pendidikan Anak
Pendidikan dalam ranah area terkecil merupakan keniscayaan atau kewajiban
bagi orang tua. Anak sebagai amanat harus mampu dididik dan dibina sehingga
mampu menjalani kehidupan sesuai dengan aturan dan norma etis masyarakat dan
agama. Pernanan orang tua sebagai “madrasatu ula” secara konkrit dalam perspektif
pendidikan agama Islam adalah nilai keimanan sebagai pondasi, menuntut anak kearah
terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan fitrah. Orang tua harus mampu
memberikan suri tauladan kepada anak (Muhtadi, 2017; Hasbullah, 2018; Fuadi,
2019). Dimensi pendidikan agama Islam sebagai tanggung jawab orang tua tidak bisa
dilepaskan atas esensi dan posisi anak, dimana pada satu sisi sebagai amanat, disisi
lain sebagai penerus dan cerminan orang tua.
Konsep pendidikan yang dapat dilakukan oleh orang tua yaitu dengan
mencontoh keteladanan rasulullah di samping sebagai nabi sekaligus berposisi
menjadi seorang bapak atau ayah bagi anak. Gaya pendidikan yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad segala sesuatunya merujuk dan berdasarkan al-Qur’an.
Kontekstualisasi peranan signifikan orang tua pada pendidikan anak secara fakat dan
eksplisit dapat dirujuk pada kisah Luqman, yang menjadikan keimanan sebagai
cacatan awal yang harus ditanamkan (Abdullah, 2018; Anwar, 2019; Nurmadiah,
2016; Abdul Rouf, 2016).
Sejalan dengan hal tersebut, metode pendidikan dalam pembinaan dan
pembentukan anak dengan cara keteladanan, pembiasaan, nasihat, perhatian dan
hukuman. Konteks yang lain proses implementasi pendidikan juga dapat ditautkan
dengan pelaksanaan dakwah yang terafiliasi pada 3 konteks utama yaitu dengan
hikmah, mauidzah hasanah dan mujadalah. Konsep tersebut dapat diterjemahkan
bahwa pendidikan harus dilakukan dengan cara-cara yang baik, yang bijak, sedangkan
46
mauidzah hasanah yaitu dengan contoh yang baik artinya adanaya penjelasan dan
keteladanan yang baik dan mujadalah dimaknai sebagai proses komunikasi yang baik
(Muchtar, 2005; Mustofa & Wuryan, 2020; Sholikhin, 2017):
Berdasarkan pada deskripsi hubungan sosiokultur keagamaan dan kearifan
lokal dengan pendidikan agama Islam, dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa proses
pendidikan yang bersifat elastis dan fleksibel harus mampu diejawantahkan dalam
berbagai kondisi dan situasi. Berkaitan dengan pendidikan pada lingkungan keluarga
yang merupakan bagain dari domain pendidikan informal, dalam kacamata peneliti,
dapat memanfaatkan apa yang menjadi modal sosial masyarakat sebagai media dan
sarana dalam proses pendidikan agama Islam. Berdasarkan kajian tersebut, maka dapat
disusun kerangka teori sebagai berikut :
Gambar. 2.3. Kerangka Teori
Merujuk pada gambar di atas maka terlihat jelas bahwa penelitian ini bertujuan
untuk mengeksplorasi tentang soiokulktural keagamaan dan kearifan lokal masyarakat
petani dalam pendidikan agama Islam. Konstruksi ini memberikan sebuah gambaran
bahwa proses Pendidikan agama Islam tidak bisa dilepaskan dengan realitas dan fakta
sosial kultural yang terjadi pada masyarakat. Pendidikan Agama Islam yang bersifat
multidimensional, dapat dikontruksi pada ranah yang bersifat flesibel namun tetap
merujuk pada normativitas agama.