bab ii kajian pustaka 2.1 terong ngor (solanum indicum) · 2018. 1. 18. · sperma, uretra dan...

37
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Terong Ngor (Solanum indicum) Terong Ngor (Solanum Indicum) merupakan jenis tumbuhan yang tumbuh secara liar dan menghasilkan buah kecil-kecil sebesar telur burung merpati. Di Bali Terong Ngor disebut sebagai terong kokak yang banyak digunakan sebagai sayur dan sambal goreng. Batang tanaman ini bercabang banyak serta berduri. Buah mula-mula berwarna hijau tua dengan bencah-bencah warna cerah dan sesudah masak berwarna kuning belerang dan kuning (Effendi.2012, Hakim.2010). Gambar 2.1 Tanaman Terong Ngor (Effendi, 2012) Tanaman Terong Ngor (Solanum indicum) merupakan jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Tanaman Solanum tumbuh dengan baik di dataran rendah sampai ketinggian 2000 m-3000 m di atas permukaan laut. Solasodin merupakan glikoalkaloid steroid yang berbasis kerangka cholestane C27 (Desai et al. 2011).

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

36 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Terong Ngor (Solanum indicum)

    Terong Ngor (Solanum Indicum) merupakan jenis tumbuhan yang tumbuh

    secara liar dan menghasilkan buah kecil-kecil sebesar telur burung merpati. Di

    Bali Terong Ngor disebut sebagai terong kokak yang banyak digunakan sebagai

    sayur dan sambal goreng. Batang tanaman ini bercabang banyak serta berduri.

    Buah mula-mula berwarna hijau tua dengan bencah-bencah warna cerah dan

    sesudah masak berwarna kuning belerang dan kuning (Effendi.2012,

    Hakim.2010).

    Gambar 2.1 Tanaman Terong Ngor (Effendi, 2012)

    Tanaman Terong Ngor (Solanum indicum) merupakan jenis tanaman yang

    banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Tanaman Solanum tumbuh

    dengan baik di dataran rendah sampai ketinggian 2000 m-3000 m di atas

    permukaan laut. Solasodin merupakan glikoalkaloid steroid yang berbasis

    kerangka cholestane C27 (Desai et al. 2011).

  • 2.2 Fitokimia Ekstrak Solanum Indicum atau Solanum Xanthocarpum

    Terong ngor memiliki nama ilmiah Solanum indicum dan sering juga di

    sebut sebagai terong pipit, terong peuheur. Di india Solanum indicum/Solanum

    xanthocarpum digunakan dalam pengobatan Ayurweda (Ayurvedic medicine). Di

    Bali terong Ngor banyak digunakan sebagai sayur dan sambal goreng.

    Fitokimia dari Solanum indicum terdiri dari alkaloid steroid (solasodin),

    saponin, flavonoid dan polifenol (daun dan biji). Sementara buahnya mengandung

    alkaloid steroid (solasodin), flavonoid dan tanin (Hariana,H.A.,2008). Buah

    terong ngor mempunyai kemiripan dengan buah terong yang tumbuh di india

    yaitu indian solanum atau kateli (solanum xanthocarpum). Fitokimia Solanum

    xanthocarpum terdiri dari alkaloid steroid, sterol, saponin, flavonoid, glikosida,

    karbohidrat, asam lemak dan asam amino (Neelima et al., 2011, Singh and

    Singh,2010). Solasodin pada ekstrak buah terong merupakan glikoalkaloid yang

    aglikonnya mempunyai inti steroid. Solasodin merupakan glikoalkaloid steroid

    yang berbasis kerangka cholestane C27 sebagai bahan awal untuk produksi

    hormon steroid untuk kontrasepsi (Desai et al., 2011). Flavonoid adalah suatu

    kelompok senyawa fenol yang bertanggung jawab terhadap zat warna hijau,biru

    dan warna kuning dalam tumbuhan (Hariana, A.,2008).

    2.2.1 Tinjauan Umum Alkaloid

    Alkaloid adalah sekelompok senyawa nitrogen heterosiklik yang kompleks,

    yang memiliki aktivitas fisiologi yang kuat, kebanyakan bersifat toksik, dan

    mempertahankan sifat kimia dasarnya. Alkaloid merupakan turunan asam amino,

    memiliki struktur molekul yang kompleks dengan setidaknya satu atom nitrogen

    terlibat dalam cincin heterosiklik. Dengan pengertian ini, alkaloid memiliki

  • aktivitas farmakologi yang spesifik terutama pada sistem saraf. Hal ini membuat

    alkaloid sebagai bahan beracun dan bahan obat yang potensial (Fattorusso, 2008).

    Alkaloid bisa diklasifikasikan dalam hal: (1) aktivitas biologi dan ekologi; (2)

    struktur kimia; dan (3) jalur biosintesis. Dari sudut pandang aktivitas biologi,

    alkaloid digolongkan ke dalam: (1) molekul basa lemah atau netral (misal laktam

    seperti ricinine, oksida-N seperti indicine); (2) alkaloid yang berasal dari hewan

    (misal anuran, alkaloid mamalia dan artropoda); (3) alkaloid yang berasal dari

    laut; (4) alkaloid yang berasal dari lumut; (5) alkaloid yang berasal dari jamur dan

    bakteri, (6) dan alkaloid non-alami (modifikasi struktur atau analog). Berdasarkan

    sudut pandang struktur, ada tiga jenis alkaloid: (1) alkaloid sejati; (2)

    protoalkaloid; dan (3) pseudoalkaloid. Alkaloid sejati dan protoalkaloid berasal

    dari asam amino, sedangkan pseudoalkaloid tidak berasal dari asam amino

    (Aniszewski, 2007).

    2.2.2 Tata Nama Alkaloid

    Alkaloid merupakan kelompok besar senyawa organik dan kebanyakan

    berasal dari tumbuh-tumbuhan. Senyawa alkaloid ditemukan pada akar, biji, daun,

    kulit kayu dan ranting. Tata nama kebanyakan alkaloid berasal dari nama ilmiah

    tumbuhan sumbernya dengan akhiran –in atau ine (misal Solanine berasal dari

    Solanum, Lupinine berasal dari Lupinus) beberapa diantaranya diberi nama dari

    aksi fisiologisnya, seperti morfin (menginduksi tidur) berasal dari bunga candu

    Opium (Fattorusso, 2008).

    Tumbuhan yang mengandung banyak alkaloid berasal dari famili amirylis

    (Amyrillidaceae), famili aster atau composite (Asteraceae atau Compositae),

    famili spurge (Euphorbiaceae), famili legume (Fabaceae atau Leguminosae),

  • famili lily (Liliaceae), famili poppy (Papaveraceae), famili buttercup

    (Ranunculaceae), family madder (Rubiaceae), dan famili nightshade

    (Solanaceae). Dua kelompok alkaloid yang sangat beracun, berasal dari yew

    (Taxus spp.) dalam famili yew (cemara) dan hemlock beracun (Conium spp.)

    dalam family celery atau umbel (Apiaceae atau Umbelliferae) (Fattorusso, 2008).

    2.2.3 Toksisitas alkaloid

    Banyak alkaloid terkenal dengan toksisitas yang kuat terhadap hewan dan

    manusia. Kebanyakan alkaloid mematikan merupakan kelas neurotoksin.

    Selebihnya memiliki sifat-sifat sitotoksik. Setelah dicerna, alkaloid diubah secara

    kimiawi oleh reaksi enzimatis didalam hati. Kadang-kadang alkaloid tidak

    berbahaya, dalam kasus lain bisa mematikan. Sebagai contoh adalah alkaloid

    pirolizidin yang ditemukan pada Ragwort (Senecio spp.). Alkaloid tersebut tidak

    berbahaya bagi hati, tapi senyawa yang dihasilkan sangat berbahaya. Dampaknya

    adalah kerusakan hati pada manusia dan hewan dan tidak ada perawatan yang

    memadai terhadap gangguan ini. Kemiripan struktur antara alkaloid dan zat

    transmitter syaraf yang diproduksi tubuh meliputi asetilkolin, norepineprin,

    dopamin, dan serotonin dengan beberapa jenis alkaloid telah ditunjukkan.

    Toksisitas alkaloid disebabkan oleh peniruan atau penghalangan aksi zat-zat

    tersebut. Gejala yang umum dari keracunan akut alkaloid meliputi pengeluaran air

    liur berlebih, pembesaran pupil, muntah, sakit perut, diare, kurang koordinasi,

    kejang, dan koma (Ginzberg et al., 2009).

    2.2.4 Glikoalkaloid steroid

    Glikoalkaloid steroid merupakan metabolit sekunder yang terbentuk pada

    berbagai tumbuhan, meliputi Solanaceae dan tumbuhan bernilai ekonomis seperti

  • kentang dan tomat. Lebih dari 80 glikoalkaloid steroid yang berbeda telah

    diidentifikasi ada pada spesies kentang. Akan tetapi, chaconine dan solanine yang

    diturunkan dari aglikon solanidine merupakan 2 jenis glikoalkaloid steroid utama

    dalam kentang (Solanum tuberosum L.) dengan rasio solanine terhadap chaconine

    bervariasi di antara jaringan, genotif, dan kondisi pertumbuhan. Dalam hal

    konsumsi manusia, glikoalkaloid steroid memberikan rasa pahit tapi tidak dalam

    hal rasa yang tidak diinginkan dan/atau toksisitasnya. Akan tetapi, pada tingkat

    sel, glikoalkaloid steroid menunjukkan sifat pemecahan yang kuat dan

    menghambat enzim asetilkolinesterase (Ginzberg et al., 2009).

    2.2.5 Solasodin

    Solasodin merupakan glikoalkaloid steroid yang berbasis kerangka cholestane

    C27. Solasodin ada pada berbagai macam spesies keluarga solanaceae meliputi

    kentang (Solanum tuberosum), tomat (Lycopersicon esculentum) atau tanaman

    garden egg (Solanum melongena), buah terong dan lain-lain (Desai et ,al.2011).

    Gambar 2.2 Struktur Kimia Solasodin (Parmar et al., 2010)

  • Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji aktivitas solasodin.

    Almazini et al., (2009), menunjukkan bahwa solasodin memiliki aktivitas

    antibakteri. Beberapa bakteri seperti Staphylococcusaureus, Staphylococcus

    epidermidis, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa terhambat

    aktivitasnya pada konsentrasi solasodin 2,4,6, 8 mg/ml secara berturut-turut.

    Desai et al., (2011), melakukan penelitian tentang aktivitas solasodin sebagai

    antiamnestik. Percobaan dilakukan dengan memberi solasodin secara oral kepada

    tikus dan melakukan tes Elevated Plus Maze (EPM) dan Morris Water Maze

    (MWM) untuk menguji parameter pembelajaran dan memori. Hasilnya, solasodin

    menunjukkan aktivitas anti amnestik yang signifikan pada tikus yang

    kemungkinan disebabkan oleh penyediaan transmisi cholinergic sehingga

    meningkatkan memori. Penelitian-penelitian lain telah dilakukan dalam rangka

    menunjukkan bahwa solasodin memiliki efek diuretic dan anti kanker,

    kardiotonik, anti spermatogenik dan anti androgenik, immunomodulatory, anti

    shock, antipiretik, dan berbagai pengaruh terhadap sistem saraf pusat (Desai et al.,

    2011). Solasodin diketahui memiliki aktivitas anti spermatogenik (Patel et al.,

    2013). Dixit dan Gupta (1986), dalam Reddy et al., 2014, melakukan percobaan

    dengan cara memberikan solasodin secara oral kepada tikus dan anjing dengan

    dosis 20 mg/kg selama 60 hari. Hasilnya, tikus dan anjing menjadi mandul.

    Solasodin menghambat spermatogenesis dan pergerakan spermatozoa (Olayemi,

    2010).

    Pemberian ekstrak buah terong ngor ( Solanum indicum) 10 %, 20% dan 25

    % menghambat spermatogenesis pada mencit (Mus musculus). Sel-sel

    Spermatogonium A menurun secara bermakna pada dosis 20 % dan 25 %. Sel-sel

  • spermatosit primer pakhiten, spermatid menurun secara bermakna pada dosis

    15%, 20%, 25%. Pada kelompok perlakuan dengan konsentrasi ekstrak buah

    terong ngor 25% selama 36 hari terjadi penurunan sel-sel spermatogenik yang

    sangat tajam dan adanya kerusakan tubulus seminiferus (Suarjana,2003).

    Penelitian yang di lakukan oleh Yolanda (2011) pada tikus (Rattus norvegicus)

    jantan dewasa berjumlah 24 ekor didapatkan bahwa terjadi penurunan kadar

    testosteron darah pada beberapa variasi dosis solasodin yang diberikan. Penurunan

    jumlah rata-rata kadar testosteron darah tikus jantan dewasa ini dimulai pada dosis

    175,62 mg/kg BB/hari, 351,24 mg/kg BB/hari, dan 526,86 mg/kg BB/hari.

    Terjadinya penurunan kadar testosteron darah pada tikus jantan dewasa akibat

    pemberian buah terong (Solanum khasianum), merupakan efek yang ditimbulkan

    oleh solasodin yang berpengaruh pada testosteron dalam darah. Solasodin yang

    bersifat estrogenik ini kemungkinan dapat menghambat keseimbangan

    gonadotropin hormon oleh hipotalamus dan dapat menghambat sekresi LH

    (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) oleh hipofisis

    anterior (Reddy et al., 2014).

    Setiati (2011) melakukan penelitian tentang kualitas spermatozoa mencit

    (Mus musculus L.) Strain BALB/C setelah pemberian ekstrak etanolik biji Terong

    Pokak (Solanum torvum Swarzt). Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efek

    pemberian ekstrak etanolik biji terong pokak terhadap kualitas spermatozoa

    mencit serta mempelajari spermatogenesis setelah pemberian perlakuan tersebut.

    Lima belas ekor mencit dibagi dalam 5 kelompok masing-masing 3 ekor,

    kelompok I diberi perlakuan secara oral dengan akuades sebagai kontrol (K),

    kelompok II diberi perlakuan dengan etinil estradiol 0,025 mg sebagai standar (S),

  • dan kelompok lain diberi perlakuan dengan ekstrak etanolik biji terong pokak

    dengan dosis 0,07 mg/g BB/hari (P1), 0,14 mg/g BB/hari (P2), dan 0,21 mg/g

    BB/hari (P3) selama 35 hari. Pada hari ke-36 semua mencit dikorbankan dan

    diamati kualitas spermatozoanya. Testis diambil untuk dibuat preparat histologis

    guna mengamati spermatogenesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

    pemberian ekstrak etanolik biji Terong Pokak. Dapat menurunkan motilitas dan

    menaikkan jumlah spermatozoa abnormal, serta menurunkan jumlah spermatosit

    primer.

    Solasodin bersifat estrogenik, solasodin juga bersifat apoptosis. Solasodin

    menyebabkan terjadinya apoptosis pada sel-sel kanker. C3 rantai sisi solasodin

    mengandung 4'Rha-GLC-Rha2 '. 4'Rha-GLC-Rha2 merupakan bagian karbohidrat

    pada rantai C3 solasodin berperan pada mekanisme apoptosis sel-sel kanker (Patel

    et al., 2013). Mekanisme sitotoksik senyawa solasodin berlangsung dengan cara

    mengganggu (intervensi) membran sel dengan hubungan cabang special dari gula

    terikat dan mengganggu integritas sel-sel kanker dengan cara merubah morfologi

    sel dan kandungan DNA sehingga menyebabkan apoptosis (Kuo et al., 2007,

    Chang et al., 2008). Solasodin berikatan dengan death reseptor TNF pada

    permukaan membran sel kanker. Proses apoptosis sel-sel kanker melalui jalur

    kematian reseptor ekstrinsik (extrinsic death receptor pathway) (Indran et al.,

    2011).

    2.3 Anatomi Sistem Reproduksi

    Sistem reproduksi terdiri atas testis dan kantong skrotum, epididimis dan vas

    deferens, kelenjar asesoris pada masa embrio yang berfungsi untuk transport

  • sperma, uretra dan penis, selain uretra dan penis, semua struktur ini berpasangan

    (Kandeel et al., 2007).

    2.3.1 Testis

    Testis merupakan pusat dari sistem reproduksi pria. Organ ini menghasilkan

    sel benih haploid melalui proses spermatogenesis. Organ ini juga berfungsi

    sebagai tempat produksi androgen. Testis memiliki struktur pasangan terpisah

    yang tergantung pada tali spermatik (spermatic cord). Biasanya, testis kanan

    menggantung lebih kuat dibandingkan dengan testis kiri. Setiap testis dibungkus

    oleh kapsul serat tipis yang disebut dengan tunica albuginea dan tunica vaginalis

    visceralis, yang juga membungkus testis (Kandeel et al., 2007).

    Gambar 2.3 Testis (Weinbauer et al., 2010)

    Testis merupakan tempat terjadinya spermatogenesis dan terdiri dari dua

    kompartemen yang secara morfologi dan fungsional berbeda satu sama lain.

    Kompartemen pertama adalah kompartemen tubular, mengandung tubulus

    seminiferous (tubuli seminiferi). Kompartemen yang kedua adalah kompartemen

    interstisial (interstisium) yang terletak di antara antara tubulus seminiferus terdiri

    dari sel-sel Leydig. Meskipun secara anatomi terpisah, kedua kompartemen

  • tersebut terhubung sangat dekat satu sama lain. Fungsi testis dan juga fungsi

    kompartemen-kompartemen tersebut diperintah oleh hipothalamus dan kelenjar

    pituitary (Clermont. 2013).

    Testis memiliki dua fungsi utama yaitu menghasilkan spermatozoa dan

    hormon testosteron. Spermatozoa dihasilkan melalui proses spermatogenesis dan

    berlangsung di tubulus seminiferous dan testosteron dihasilkan oleh sel-sel

    Leydig. Sekitar 97% testosteron terikat lemah pada plasma albumin atau terikat

    secara kuat pada beta albumin dan akan beredar di dalam darah selama 30 menit

    sampai satu jam. Ada dua kemungkinan yang dialami testosteron selama beredar.

    Pertama, ditransfer ke jaringan yang membutuhkan. Kedua, didegradasi menjadi

    produk yang tidak aktif lalu diekskresikan (De Kretser et al., 2008).

    2.3.2 Histologi

    a. Tubulus Seminiferus

    Spermatogenesis berlangsung di dalam kompartemen tubular. Kompartemen

    ini mengisi 60-80% volume total testis dan mengandung sel germinal dan dua

    jenis sel somatik yang berbeda yaitu sel peritubular dan sel sertoli. Testis dibagi

    oleh septa jaringan penghubung menjadi sekitar 250-300 lobulus. Setiap lobulus

    mengandung 1-3 tubulus seminiferus yang sangat berliku-liku. Secara

    keseluruhan, testis manusia mengandung sekitar 600 tubulus seminiferus. Panjang

    satu tubulus seminiferus adalah sekitar 30-80 cm. Dengan menganggap jumlah

    rata-rata sekitar 600 tubulus seminiferus per testis dan panjang rata-rata tubuli

    seminiferi sekitar 60 cm, sehingga panjang total tubuli seminiferi adalah sekitar

    360 m per testis, dan panjang tubulus seminiferous perorang adalah sekitar 720 m.

    Tubulus seminiferus ditutupi oleh lamina propria, yang mengandung membran

  • basal, lapisan kolagen dan sel peritubular (myofibroblasts). Sel-sel ini bertingkat

    disepanjang tubulus dan terbentuk sampai lapisan concentrical yang terpisahkan

    oleh lapisan kolagen. Karakteristik tersebut membedakan testis manusia dengan

    kebanyakan mamalia lainnya, di mana tubulus seminiferous dikelilingi hanya oleh

    2-4 lapisan myofi broblasts (Kandeel et al., 2007).

    b. Sel-Sel Germinal

    Spermatogonium adalah sel spermatogenik, yang terletak di samping lamina

    basalis. Sel spermatogonium relatif kecil, bergaris tengah sekitar 12 μm dan

    intinya mengandung kromatin pucat. Sel spermatogenium mengalami sederetan

    mitosis lalu terbentuklah sel induk atau Spermatogonium Tipe A, dan

    berdiferensiasi selama siklus mitotik yang progresif menjadi Spermatogonium

    Tipe B. Spermatogonium Tipe A adalah sel induk untuk garis keturunan

    spermatogenik, sementara Spermatogonium Tipe B merupakan sel progenitor

    yang berdiferensiasi menjadi spermatosit primer (Sherwood, 2012). Spermatosit

    primer adalah sel terbesar dalam garis turunan spermatogenik ini dan ditandai

    adanya kromosom dalam tahap proses mitosis di dalam inti sel. Spermatosit

    primer memiliki 46 (44+XY) kromosom dan 4N DNA (Junqueira, 2007).

    Spermatosit sekunder sulit diamati dalam sediaan testis karena merupakan sel

    berumur pendek yang berada dalam fase interfase yang sangat singkat dan dengan

    cepat memasuki pembelahan kedua.

  • Gambar 2.4 Histologis Testis (Sherwood, 2012).

    Spermatosit sekunder memilki 23 kromosom (22+X atau 22+Y) dengan

    pengurangan DNA per sel (dari 4N menjadi 2N). Pembelahan spermatosit

    sekunder menghasilkan spermatid. Spermatid memiliki ukuran yang kecil garis

    tengahnya 7-8 μm, inti dengan daerah-daerah kromatin padat dan lokasi

    jukstaluminal di dalam tubulus seminiferus. Spermatid mengandung 23

    kromosom. Karena tidak ada fase S (sintesis DNA) yang terjadi antara

    pembelahan meiosis pertama dan kedua dari spermatosit, maka jumlah DNA per

    sel dikurangi setengahnya selama pembelahan kedua ini menghasilkan sel-sel

    haploid (1N) (Sherwood, 2012).

    c. Sel Sertoli

    Sel-sel Sertoli adalah sel somatik yang terletak didalam epitel germinal. Pada

    tubuh dewasa, sel-sel ini secara mitotik tidak aktif. Diberi nama sel Sertoli karena

    sel ini dijelaskan oleh seorang ilmuwan Italia Enrico Sertoli (1842-1910) pada

  • tahun 1865 karena proyeksi sitoplasma menonjol . Sel-sel ini terletak pada

    membran basal dan meluas pada lumen tubulus seminiferous, sebagai struktur

    pendukung dari epitel germinal, terdapat pada semua diferensiasi dan pematangan

    morfologi dan fisiologi dari sel germinal sampai sperma matang. Sekitar 35-40%

    dari volume epitel germinal diwakili oleh sel Sertoli. Testis mengandung 800-

    1200×106selSertoli atau sekitar25×10

    6 sel Sertoli per gram testis (Weinbauer et al.

    2010).

    Sel Sertoli mensintesis dan mensekresi berbagai macam faktor: protein,

    sitokin, faktor pertumbuhan, opioid, steroid, prostaglandin, modulator pembelahan

    sel dll. Morfologi sel Sertoli terkait dengan berbagai fungsi fisiologis mereka.

    Secara umum diasumsikan bahwa sel-sel Sertoli mengkoordinasikan proses

    spermatogenik topografi dan fungsional. Di sisi lain, data yang lebih baru

    mendukung anggapan bahwa sel-sel germinal mengontrol fungsi sel Sertoli.

    Setidaknya pola waktu dari transisi sel germinal dan pengembangan selama siklus

    spermatogenik tampaknya otonom seperti yang disarankan dari penelitian

    transplantasi sel germinal heterolog. Satu siklus spermatogenik berlangsung

    sekitar 8 hari pada mencit dan 12-13 hari pada tikus. Durasi siklus sel germinal

    tikus ditransplantasikan ke testis tikus tetap 12-13 hari sedangkan sel germinal

    mencit dipertahankan pada 8 hari (Niederberger, 2011).

  • Gambar 2.5 Histologi sel Leydig dan sel Sertoli (Weinbauer et al., 2010)

    Fungsi penting lainnya dari sel Sertoli adalah bahwa mereka bertanggung

    jawab untuk produksi spermatozoa pada orang dewasa. Jumlah spermatozoa per

    sel Sertoli tergantung pada spesies. Pada pria diamati sekitar 10 sel germinal atau

    1,5 spermatozoa per setiap sel Sertoli. Hal ini menunjukkan bahwa dalam spesies

    tertentu, jumlah sel Sertoli yang lebih banyak menghasilkan peningkatan produksi

    spermatozoa, dengan asumsi bahwa semua sel Sertoli berfungsi normal

    (Sherwood, 2012).

    d. Sel Leydig

    Sel Leydig pertama kali ditemukan oleh Franz Leydig (1821–1908). Sel ini

    menghasilkan dan mensekresikan hormon seksual paling penting, testosteron.

    Dari sudut pandang perkembangan, morfologi, dan fungsi, sel Leydig bisa

  • dibedakan menjadi: sel Leydig batang (stem) sebagai sel pembangun, sel Leydig

    nenek moyang (progenitor) sebagai sel batang pelaku, sel Leydig fetal sebagai sel

    terdiferensiasi secara terminal di dalam fetus, dan sel Leydig dewasa sebagai sel

    terdiferensiasi secara terminal. Sel Leydig fetal menjadi sel Leydig neonatal pada

    kelahiran dan mengalami degenerasi setelahnya dan menjadi sel Leydig belum

    dewasa. Sel Leydig fetal menghasilkan testosteron (Kandeel et al., 2007).

    Sel Leydig dewasa kaya akan reticulum endoplasma halus dan mitokondria

    dengan kristae tubular. Karakteristik fisiologi tersebut adalah khas untuk sel-sel

    penghasil steroid dan sangat mirip dengan yang ditemukan pada sel-sel

    steroidogenik lainnya, seperti yang terdapat pada kelenjar adrenal dan pada

    ovarium. Komponen sitoplasma lainnya yang penting adalah granula lipofuscin,

    produk akhir dari degradasi endositosis dan lisosomal, dan tetesan lipid, di mana

    tahap awal sintesis testosteron berlangsung. Pembentukan special, disebut Kristal

    Reinke, sering ditemukan dalam sel Leydig dewasa. Sel-sel tersebut kemungkinan

    merupakan subunit protein globular dimana arti fungsionalnya belum diketahui.

    Laju proliferasi sel Leydig pada testis dewasa agak rendah dan dipengaruhi oleh

    LH. Pada testis dewasa, sel-sel Leydig dibangun dari sel-sel menyerupai

    perivascular and peritubular mesenchymal dan perubahan sel-sel tersebut menjadi

    sel-sel Leydig diinduksi oleh LH dan juga oleh factor pertumbuhan dan factor

    diferensiasi yang berasal dari sel-sel sertoli (Weinbaurer et al., 2010).

    2.3.3 Spermatogenesis

    Spermatogenesis adalah proses yang memerlukan waktu yang cukup panjang

    terjadi di testis dimana sel induk spermatogenia pada lumina basalis tubulus

    semeniferus membelah secara mitosis, untuk memelihara meiosis untuk

  • menghasilkan spermatid yang haploid yang selanjutnya berkembang menjadi

    spermatozoa yang dikeluarkan pada lumen tubulus. Proses spermatogenesis

    terjadi di tubulus seminiferus yang terletak di testis selama kehidupan seksual

    aktif. Proses spermatogenesis terjadi dari rangsangan hormon gonadotropin

    hipofise anterior, yang dimulai rata-rata usia 13 tahun dan berlanjut sepanjang

    kehidupan (Sherwood, 2012).

    Faktor-faktor yang mempengaruhi proses spermatogenesis (Weinbaurer et

    al., 2010), yaitu:

    a. Faktor dalam (endogen):

    - Hormonal

    - Psikologis

    - Genetik

    - Umur

    - Maturasi

    b. Faktor luar (eksogen):

    - Bahan kimia atau obat-obatan

    - Fisik berupa bendungan, suhu, radiasi oleh sinar X dan getaran ultrasonic

    - Vitamin dan gizi seperti vitamin A, vitamin E dan glutamine

    - Trauma dan keradangan.

    Satu siklus spermatogenesis pada manusia membutuhkan waktu 70 ± 4 hari

    untuk memproduksi spermatozoa dari spermatogonium. Spermatogenesis berawal

    dari pembelahan sel-sel spermatogonium dan berakhir dengan pembentukan

    spermatozoa matang.

  • Keterangan Gambar: Spermatogonium Apmemasuki prosesspermatogenik(panah pada selmenunjukkanarah pengembangansel germinal).SpermatogoniumAddiyakinimerupakansel induktestis. Ad = spermatogonium gelap-A, Ap = spermatogonium pucat-A, B =spermatogonium B, Pl = spermatositpreleptotene, L =spermatositleptotene, EP =spermatositpakitenawal, MP =spermatositpakiten pertengahan, LP =spermatositpakiten akhir, II =pembelahan meiosis ke-2, RB =sisatubuh, Sa1-Sd2=tahap perkembangan dari pematangan

    spermatid.

    Gambar 2.6 Skema representasi dari semua jenis sel germinal yang terjadi di

    epitel seminiferus manusia (Weinbauer et al., 2010).

    2.3.4 Spermatogenesis Pada Mencit

    Spermatogenesis pada mencit berlangsung selama 35 hari. Spermatogenesis

    melalui tiga tahap yaitu fase proliferasi, fase meiosis, dan fase spermiogenesis.

    Fase proliferasi dimulai dari pembelahan spermatogonia yang terjadi beberapa

    kali sehingga menghasilkan Spermatogonia Tipe A2, A3, dan A4. Spermatogonia

    A4 mengalami pembelahan kemudian menghasilkan spermatogonia intermedia

    yang akan membelah lagi menghasilkan Spermatogonia Tipe B. Selanjutnya,

    Spermatogonia Tipe B ini akan mengalami mitosis sehingga terbentuk spermatosit

    primer dan berada pada fase istirahat pada tahap preleptoten. Fase meiosis terdiri

    dari dua tahap yaitu, meiosis I dan II yang masing masing terdiri dari fase profase,

    metafase, anafase, dan telofase. Profase pada meiosis I meliputi leptoten, zigoten,

    pakhiten, diploten, dan diakinesis. Meiosis I berakhir dengan terbentuknya

  • spermatosit sekunder yang selanjutnya akan mengalami meiosis II dan berakhir

    dengan pembentukan spermatid (Weinbauerer et al. 2010).

    Fase selanjutnya adalah spermiogenesis yang merupakan transformasi

    spermatid menjadi spermatozoa yang terdiri dari 16 tingkat. Tahapan – tahapan itu

    antara lain:

    1. Tahap 1, dimulai dengan pembentukan spermatid yang baru sebagai akibat

    dari pembelahan mitosis yang kedua. Di daerah golgi timbul beberapa

    struktur yang bulat yang disebut idiosom.

    2. Tahap 2, terlihat adanya granula proakrososm pada idiosom, jumlah granula

    biasanya dua dimana yang satu biasanya lebih besar.

    3. Tahap 3, terjadi penggabungan granula proakrosom sehingga terbentuk

    granula akrosom yang besar yang berbatasan dengan nukleus.

    1. Tahap 4, ditandai dengan membesarnya granula dan letaknya lurus di atas

    nukleus.

    2. Tahap 5, ditandai dengan bertambah pipihnya cap (tutup) dan bergerak

    menuju ke samping nukleus perpanjangannya.

    3. Tahap 6, pertumbuhan cap (tutup) mengalami kemajuan yang cukup pada

    permukaan luar nukleus.

    7. Tahap 7, pertumbuhan pada bagian depan cap (tutup) terus berlangsung

    sampai menutup sepertiga sampai setengah bagian inti dan ini disebut

    sebagai head cap.

    8. Tahap 8, disini dimulai tahap akrosom. Sistem akrosom bergerak ke arah

    basal nulkeus dan nukleus spermatid memanjang.

  • 9. Tahap 9, ditandai dengan perubahan bentuk nukleus spermatid nyata, yaitu

    ujung kaudal menyempit dan membentuk sudut, sehingga kelihatan lebih

    pipih

    10. Tahap 10, bahan – bahan akrosom telah berada pada dinding dorsal

    inti, pemanjangan dan pemipihan inti berjalan terus sehingga spermatid

    menjadi sempit pada bagian depan.

    11. Tahap 11, terjadi perubahan ujung kaudal spermatid bentuk bundar sampai

    menjadi agak pipih.

    12. Tahap 12, spermatid telah mencapai panjang yang maksimum. Akrosom telah

    menutup seperempat bagian anterior spermatid dan tampak seperti struktur

    bentuk biji di atas nukleus.

    13. Tahap 13, bentuk spermatid sudah hampir sama dengan spermatozoa dewasa,

    yaitu mengalami pemendekan dratis hampir 20%.

    14. Tahap 14, terjadi penyempurnaan akrosom, bentuk dan penampakan

    spermatozoa dewasa telah tercapai.

    15. Tahap 15, terjadi penyempurnaan bentuk inti dan perkembangan serta

    maturasi dinding spermatozoa.

    16. Tahap 16, menggambarkan spermatozoa melepaskan diri dari epitel

    seminiferus menuju ke lumen menjadi spermatozoa bebas.

    2.3.5 Testosteron

    Hormon testosteron merupakan hormon seks yang penting pada individu

    jantan. Hormon ini adalah hormon steroid derivat molekul prekursor kolesterol,

    disekresi oleh sel Leydig di bawah pengaruh LH. Sel Leydig mengandung enzim

    dengan kadar tinggi yang dibutuhkan untuk perubahan langsung kolesterol

  • menjadi testosteron. Produksi testosteron sebagian akan disekresikan ke dalam

    darah dan akan diedarkan ke sel-sel target. Sebagian lagi akan masuk ke tubulus

    seminiferus dan berperan penting dalam proses spermatogenesis (Weinbaurer et

    al., 2010).

    Sel Sertoli mempunyai reseptor androgen khusus yang memperantarai efek

    testosteron. Di dalam testis, kadar testosteron sekitar 200 kali lebih besar dan

    kadar dalam sirkulasi dan didapatkan dalam bentuk terikat dengan ABP.

    Testosteron sebagian besar (95%) disekresi oleh sel Leydig yang berada dalam

    jaringan interstitialis testis, dan 5% diproduksi oleh kelenjar adrenalis (Saryono,

    2008).

    Dalam plasma darah pria, testosteron merupakan androgen utama pada

    umumnya didapatkan dalam bentuk terikat dengan suatu molekul protein (binding

    protein), sekitar 38% terikat pada protein albumin, 60% terikat pada protein

    globulin, yaitu Sex Hormone Binding Globulin (SHBG). Ikatan seperti itu

    membuat androgen tersebut menjadi lebih mudah dapat memasuki sel-sel

    targetnya dan memberikan efek fisiologis. Sebagian kecil testosteron (sekitar 2%)

    di dalam peredaran darah dalam bentuk bebas atau free testosteron (Sherwood,

    2012).

    Sel Sertoli yang merupakan sel target utama hormon testosteron, molekul

    androgen akan berikatan dengan reseptor androgen khusus yang ada di

    sitoplasma, kompleks reseptor androgen tersebut kemudian ditranslokasi ke dalam

    inti dan berikatan dengan daerah tertentu dalam kromatin. Melalui proses yang

    terjadi dalam inti, akhirnya dihasilkan mRNA untuk sintesis protein, yang

  • selanjutnya menghasilkan ABP. Pengaruh testosteron terhadap sel Sertoli adalah

    untuk pematangan sel Sertoli dan sintesis ABP (Weinbaurer et al., 2010).

    Sel Sertoli di dalam testis merupakan sel target primer untuk androgen, dan

    untuk anti androgen. Senyawa anti androgenik dapat menghambat aksi

    testosteron, karena senyawa ini menduduki reseptor testosteron. Anti androgen

    dapat mencegah ikatan antara testostoron atau dihidrotestosteron dengan ABP,

    sehingga akan menghambat spermatogenesis (Kandeel et al., 2007).

    Testosteron di dalam tubuli seminiferi antara lain diperlukan untuk

    perkembangan spermatosit primer menjadi spermatid, untuk proliferasi dan

    diferensiasi sel spermatogenik, untuk tahap awal dan akhir spermatogenesis, dan

    pada tahap spermiogenesis. Selain berperan dalam proses spermatogenesis,

    testosteron juga berperan dalam pengembangan karakteristik pria pada masa fetus,

    masa pubertas dan dalam mempertahankan potensi seksual pria dewasa. Kadar

    optimal testosteron diperlukan untuk mempertahankan fungsi seksual pria

    (Sherwood, 2012).

    Kadar testosteron dalam plasma relatif tinggi selama tiga periode kehidupan,

    yaitu : (1) pada fase perkembangan embrionik; (2) saat diferensiasi fenotip jantan,

    dan (3) selama kehidupan seksual dewasa. Pada pria dewasa, kadar testosteron

    dalam plasma antara 300 dan 1000 ng/dl, dengan kecepatan produksi 2,5 sampai

    11 mg per hari. Kadar LH, FSH dan testosteron dalam plasma berfluktuasi

    sepanjang hari, tetapi nilainya tiap hari relative konstan. Hormon gonadotropin

    (LH dan FSH) dan testosteron disekresi secara pulsatil. Produksi testosteron

    semakin menurun sesuai dengan meningkatnya umur, penurunan ini disebabkan

    oleh penurunan aktivitas enzim 17α - hidroksilase. Kadar testosteron serum pada

  • tikus umur empat bulan lebih tinggi dan pada tikus umur 18 bulan (Sherwood,

    2012).

    Biosintesis androgen memerlukan kolesterol sebagai prekusornya. Proses

    biosintesis testosteron dimulai dari sintesis prekusor (kolesterol) dan reaksi

    selanjutnya tidak terganggu. Biosintesis testosteron dapat dijelaskan sebagai

    berikut : kolesterol disintesis di dalam kelenjar adrenal atau diambil dari plasma

    darah. Kolesterol yang diambil dari plasma darah memerlukan HDL (lipoprotein

    berkepadatan tinggi), sebagai komponen plasma darah yang memberikan

    kolesterol pada kelenjar adrenal.Pengambilan kolesterol dari HDL dipacu oleh

    Adrenocoryicotropic hormone (ACTH). Dengan demikian, jika kolesterol diambil

    dari darah maka sintesis kolesterol oleh kelenjar adrenal dihambat, tetapi jika

    pengambilan kolesterol dari plasma darah menurun maka sintesis kolesterol oleh

    kelenjar adrenal meningkat (Weinbaurer et al., 2010).

    Bila kolesterol tidak segera digunakan untuk sintesis androgen dan hormon

    steroid lainnya, maka kolesterol disimpan di dalam kelenjar adrenal sebagai ester

    kolesterol. Ester kolesterol yang akan digunakan untuk sintesis androgen atau

    steroid lainnya dihidrolisis oleh hidrolase ester sterol yang diaktifkan oleh

    fosforilasi melalui protein kinase yang kerjanya bergantung pada cAMP.

    Kolesterol yang dilepas oleh reaksi hidrolitik mula-mula diubah menjadi

    pregnenolon dan progesteron sebagai senyawa antara jalur sintesis androgen.

    Kemudian berturut-turut diubah menjadi 17α hidroksi-progesteron,

    androstenedion dan testosteron. Langkah awal dalam jalur biosintesis testosteron

    tersebut adalah konversi C27 kolesterol ke C21 steroid, pregnenolon. Reaksi ini

    dikatalisis oleh enzim sitokrom P450, pemecah rantai samping kolesterol.

  • Pregnenolon berdifusi menembus membran mitokondria dan selanjutnya

    dimetabolisme oleh enzim yang ada di retikulum endoplasma halus. Pregnenolon

    dalam sel Leydig mencit dikonversi ke progesteron oleh keria 3β hidroksi steroid

    dehidrogenase (3β HSD) (Niederberger, 2011).

    Reaksi selanjutnya dikatalisis oleh enzim sitokrom P450, 17α hidroksilase

    (P450 l7α), suatu protein tunggal yang mengkatalisis dua reaksi yang berbeda,

    yaitu hidroksilasi progesteron pada C17 dan pemecahan dua rantai samping

    karbon menjadi C19 steroid, androstenedion, prekursor testosteron. Reaksi

    terakhir adalah reduksi 17 – keton androstenedion oleh 17 – ketosteroid reduktase.

    Sel Leydig juga mengekspresikan sitokrom P450 aromatase, yang mengkatalisis

    aromatisasi dari testosteron ke estradiol (Sherwood, 2012).

    2.4 Apoptosis

    2.4.1 Pengertian Apoptosis

    Kematian sel memainkan peranan yang penting dalam perkembangan hewan

    dan tumbuhan, dan biasanya berlanjut ke fase ke dewasaan. Pada manusia dewasa,

    milyaran sel mati dalam sumsum tulang dan usus setiap jam. Jaringan kita tidak

    menciut karena dengan mekanisme pengaturan, pembelahan sel sebanding dengan

    kematian sel. Kematian sel normal adalah sebuah peristiwa bunuh diri, di mana

    sel mengaktifkan program kematian intraseluler dan membunuh diri sendiri dalam

    jalur terkontrol, proses yang dikenal dengan kematian sel terprogram. Sel yang

    mati melalui apoptosis mengalami perubahan morfologi. Sel-sel menciut dan

    memekat (condense), sitoskeleton lisis, membrane inti rusak, dan kromatin inti

    memekat dan pecah menjadi fragmen-fragmen (Alberts et al., 2008).

  • Gambar 2.7 Apoptosis (Osthoff, 2008)

    Istilah apoptosis berasal dari Bahasa Yunani “aπο“ dan “πτωsιζ“yang berarti

    berjatuhan dan memiliki arti jatuhnya daun dari pohon pada musim gugur. Istilah

    ini digunakan untuk menjelaskan situasi dimana sel secara aktif mendekati

    kematian setelah menerima rangsangan tertentu. Apoptosis penting dalam kondisi

    fisiologis dan patologis (Wong, 2011). Kondisi-kondisi tersebut dirangkum pada

    Tabel 2.1.

    Apoptosis diinginkan oleh organisme berlangsung sepenuhnya karena

    apoptosis menyediakan mekanisme pembuangan sel yang hancur oleh bahan

    kimia atau radiasi tanpa mengganggu keseimbangan homeostasis (Wong, 2011).

    Perubahan morfologi apoptosis dimediasi dengan aktivasi protease intraseluler

    yang unik disebut caspase (Taylor et al., 2008).

    Tabel 2.1 Kondisi-kondisi yang melibatkan apoptosis (Wong, 2011)

  • Kondisi Fisiologis Kondisi Patologis

    Perusakan sel terprogram dalam

    perkembangan embrio dengan tujuan

    membentuk jaringan.

    Obat antikanker menginduksi kematian

    sel di dalam tumor.

    Involusi fisiologi seperti: peluruhan

    endometrium, penurunan payudara

    menyusui.

    Sel T sitotoksik menginduksi kematian

    sel seperti di dalam penolakan immune

    dan penyakit graft versus host.

    Perusakan normal sel disertai poliferasi

    pergantian seperti di dalam epitelium

    usus.

    Kematian sel bertahap dan penurunan

    sel-sel CD4+ dalam AIDS.

    Involusi thymus pada usia dini. Beberapa bentuk kematian sel

    terinduksi virus seperti hepatitis B atau

    C.

    Atrofi patologis dari organ dan jaringan

    sebagai hasil penghilangan rangsangan,

    seperti: atrofi prostatik setelah

    orchidectomy.

    Kematian sel akibat agen berbahaya

    seperti: radiasi, hipoksia, toksin dan

    panas.

    Kematian sel karena penyakit

    degeneratif seperti Alzheimer dan

    Parkinson.

  • 2.4.2 Perubahan Morfologi dalam Apoptosis

    Perubahan morpologis sel yang mati akibat apoptosis yang melibatkan inti

    dan sitoplasma mirip untuk semua jenis dan spesies sel. Biasanya beberapa jam

    dibutuhkan dari inisiasi kematian sel ke fragmentasi sel akhir. Akan tetapi, waktu

    yang dibutuhkan bergantung pada jenis sel, rangsangan, dan jalur apoptosis

    (Wong, 2011). Selama proses awal apoptosis, sel mengkerut dan pyknosis bisa

    teramati dengan mikroskop cahaya. Dengan pengkerutan sel, ukuran yang

    mengecil, sitoplasma padat, dan organel terbungkus dengan erat. Pyknosis adalah

    hasil kondensasi kromatin dan ini adalah fitur khas apoptosis (Elmore, 2007).

    Sifat morfologis apoptosis dalam inti adalah kondensasi kromatin dan

    fragmentasi inti, yang diiringi dengan pembulatan sel, reduksi volume sel

    (pyknosis) dan retraksi pseudopoda. Kondensasi kromatin berawal dari batas luar

    membran inti, membentuk struktur bulan sabit atau cincin. Kromatin lebih lanjut

    terkondensasi sampai pecah di dalam sel dengan membran utuh, fitur tersebut

    disebut karyorrhexis. Membran plasma utuh selama proses total. Pada tahap lanjut

    apoptosis, beberapa fitur morfologis meliputi kebocoran membran, modifikasi

    ultra struktural organel sitoplasma dan kehilangan integritas membran. Biasanya

    sel fagosit melanda sel apoptosis sebelum apoptosis badan terjadi (Wong, 2011).

    Ini adalah alasan kenapa apoptosis ditemukan sangat lambat dalam sejarah biologi

    sel pada tahun 1972 dan badan apoptosis dilihat secara in vitro pada kondisi

    khusus. Jika sel apoptosis tidak terfagosit seperti dalam kasus lingkungan kultur

    sel buatan, sel-sel tersebut mengalami degradasi yang menyerupai nekrosis dan

    kondisinya disebut nekrosis sekunder (Osthoff, 2008).

  • 2.4.3 Perubahan Biokimia Dalam Apoptosis

    Tiga jenis perubahan biokimia yang utama teramati dalam apoptosis: 1)

    aktivasi caspase, 2) kerusakan protein dan DNA, dan 3) perubahan membrane dan

    pengenalan sel fagosit. Pada awal apoptosis, terdapat ekspresi phosphate dylserine

    (PS) dalam lapisan luar membrane sel, yang telah dibalikkan dari lapisan dalam.

    Hal ini mengijinkan pengenalan awal sel mati oleh makrofag, menghasilkan

    fagositosis tanpa pelepasan komponen pro inflammatory selular. Proses ini

    diikuti oleh karakteristik perusakan DNA. Selanjutnya, ada pemecahan

    internucleosomal DNA menjadi oligonucleosomes dalam multiple 180 sampai

    200 pasangan basa oleh endonuclease. Fitur spesifik lainnya dari apoptosis adalah

    aktivasi gugus enzim milik family cysteine protease yang bernama caspase.

    Aktivasi caspase memecah banyak protein sel vital dan memecahkan peran

    membran inti dan sitoskeleton. Mereka juga mengaktifkan DNAase, yang

    kemudian mendegradasi DNA inti (Elmore, 2007).

    Meskipun perubahan biokimia menjelaskan bagian beberapa perubahan

    morfologi dalam apoptosis, penting dicatat bahwa analisa biokimia fragmentasi

    DNA atau aktivasi caspase seharusnya tidak digunakan untuk mendifinisikan

    apoptosis, karena apoptosis dapat terjadi tanpa fragmentasi oligonucleosomal

    DNA dan bisa bebas caspase. Sementara banyak uji dan percobaan biokimia telah

    digunakan dalam deteksi apoptosis, Nomenclature Committee on Cell Death

    (NCCD) telah mengusulkan bahwa klasifikasi kematian sel seharusnya bertumpu

    pada kriteria morfologi karena tidak ada kesamaan yang jelas antara perubahan

    ultrastruktural dan karakteristik kematian sel biokimia (O’Brien and Kirby, 2008).

    2.4.4. Mekanisme Apoptosis

  • Mekanisme apoptosis sangat penting dipelajari karena dapat memahami

    patogenesis kondisi sebagai hasil apoptosis tak teratur. Hal ini membantu

    pembuatan obat-obatan yang mentargetkan gen apoptosis atau jalur tertentu.

    Caspase adalah pusat mekanisme apoptosis karena dia bertindak sebagai inisiator

    dan eksekutor. Terdapat 2 jalur dimana caspase diaktifkan. Dua jalur umum yang

    menjelaskan jalur inisiasi adalah intrinsik (mitochondrial) dan ekstrinsik (death

    receptor). Kedua reseptor pada akhirnya memimpin jalur umum atau fase

    eksekusi apoptosis (O’Brien and Kirby, 2008).

    1. Jalur Death Receptor Ekstrinsik

    Jalur death reseptor ekstrinsik (extrinsic death receptor pathway)

    membutuhkan pengikatan efektif antara death reseptor yang ditemukan pada

    permukaan membrane sel dan dengan ligannya masing-masing. Jalur ini

    melibatkan death reseptor dari superfamily tumor necrosis factor (TNF) TNF,

    CD95 (Fas) dan reseptor TNF-related apoptosis inducing ligand (TRAIL).

    Reseptor ini memiliki daerah ekstra seluler untuk mengikat ligand dan daerah

    sitoplasmik intraseluler yang juga disebut daerah kematian. Daerah kematian

    bertanggungjawab untuk transmisi sinyal kematian dari permukaan ke jalur sinyal

    intraseluler (Indran et al. 2011).

    Jalur kematian reseptor ekstrinsik (extrinsic death receptor pathway) dimulai

    ketika death ligand terikat pada death receptor. Death receptor memiliki wilayah

    kematian intraseluler yang merekrut protein adapter seperti TNF receptor-

    associated death domain (TRADD) dan Fas-associated death domain (FADD),

    serta sistein protease seperti caspase. Pengikatan death ligand pada death

    receptor menghasilkan pembentukan situs pengikatan untuk protein adaptor dan

  • kompleks whole ligand-receptor-adaptor protein yang dikenal sebagai death-

    inducing signalling complex (DISC). Selanjutya, DISC menginisiasi

    penghimpunan dan aktivasi pro-caspase 8. Bentuk teraktivasi enzim, caspase 8

    adalah caspase inisiator, yang menginisiasi apoptosis dengan pemecahan hilir atau

    caspase eksekusioner (Wong, 2011).

    2. Jalur Mitokondrial Intrinsik

    Seperti namanya, jalur intrinsik diinisiasi di dalam sel. Rangsang internal

    seperti kerusakan genetik tak bisa diperbaiki, hipoksia, konsentrasi tinggi Ca2+

    dan stres oksidatif ekstrem merupakan beberapa pemicu inisiasi jalur mitokondrial

    intrinsik. Jalur ini merupakan hasil dari peningkatan permeabilitas mitokondrial

    dan pelepasan molekul pro-apoptotik seperti sitokrom-c ke dalam sitoplasma.

    Jalur ini diatur oleh gugus protein yang dimiliki oleh famili Bcl-2 diberi nama

    setelah gen Bcl-2 secara asli teramati pada titik kerusakan kromosal dari

    translokasi kromosom 18 ke 14 dalam follicular non-Hodgkin lymphoma.

    Terdapat dua gugus utama protein Bcl-2, yang bernama protein pro-apoptotik

    (contoh:Bax, Bak, Bad, Bcl-Xs, Bid, Bik, Bim danHrk) dan protein anti apoptotic

    (contoh: Bcl-2, Bcl-XL, Bcl-W, Bfl-1and Mcl-1). Sementara protein anti apopto-

    tik mengatur apoptosis dengan memblok pelepasan mitokondrial sitokrom-c,

    protein pro-apoptotik dengan promosi pelepasan tersebut. Gen Bcl-2 memiliki

    lebih dari 230 kb dari DNA dan terdiri dari tiga ekson yang mana ekson 2 dan

    sebagian kecil ekson 3 mengkode protein. Bcl-2 dapat memperpanjang hidup sel.

    Faktor apoptotic lain yang dilepaskan dari ruang inter membrane mitokondrial ke

    dalam sitoplasma meliputi factor penginduksi apoptosis (AIP), second

    mitochondria-derived activator of caspase (Smac),direct IAP Binding protein

  • with Low pI (DIABLO) dan Omi/high temperature requirement protein A

    (HtrA2). Pelepasan sitoplasmik sitokrom c mengaktifkan caspase 3 melalui

    pembentukan kompleks yang dikenal dengan apoptosome yang merupakan

    anggota sitokrom c; cytochrome c, Apaf-1 and caspase 9. Di sisi lain,

    Smac/DIABLO atau Omi/HtrA2 mempromosikan aktivasi caspase dengan

    mengikat inhibitor protein apoptosis (IAPs) yang kemudian memimpin

    perpecahan dalam interaksi IAPs dengan caspase-3 atau -9 (O’Brien and Kirby,

    2008).

    3. Jalur Perforin/Granzyme

    Jalur apoptosis yang lain adalah jalur yang melibatkan perforin/granzyme A

    atau B yang dilepaskan oleh sel T sitotoksik dan sel NK. Jalur ini melibatkan

    sekresi molekul perforin transmembran yang bersifat pore forming dan

    selanjutnya pelepasan granul sitoplasma melalui pori yang terbentuk, menuju ke

    target sel. Protease serin granzyme A dan granzyme B adalah komponen

    terpenting didalam granul-granul tersebut. Kerja granzyme B melalui jalur

    mitokondrial dan juga aktivasi langsung caspase-3 adalah hal penting dalam

    proses pembunuhan sel yang diinduksi oleh granzyme B (Elmore,2007).

    Granzyme A berperan dalam proses apoptosis oleh sel T sitotoksik dan

    mengaktifkan jalur caspase independent. Granzyme A menyebabkan pemotongan

    DNA melalui DNAse NM23-H1 yang terjadi didalam sel. Nukleosome yang

    menyusun protein SET secara fisiologis menghambat gen NM23-H1. Granzyme

    A protease memecah kompleks SET yang mengakibatkan inhibisi NM23-H1,

    menghasilkan degradasi DNA. Kompleks SET memiliki fungsi penting dalam

    struktur kromatin dan perbaikan DNA (O’Brien and Kirby, 2008). Protein-protein

  • yang menyusun kompleks SET (SET, Ape1, pp32 dan HMG2) nampaknya

    bekerja bersama-sama untuk mempertahankan struktur kromatin dan DNA,

    sehingga inaktivasi kompleks ini oleh granzyme A akan berperan pada terjadinya

    apoptosis dengan menghambat usaha mempertahankan integritas struktur

    kromatin dan DNA (Elmore, 2007).

    Perforin berperan sebagai molekul lisis pada membrane sel yang

    menyebabkan hilangnya homeostatis membrane sel yang ditandai dengan

    masuknya air ke dalam sel dan hilangnya isi sel. Keadaan ini memungkinkan

    masuknya granzym kedalam sitosol yang mengaktifkan berbagai substrat, seperti

    caspase (Trapani dan Smith, 2002 dalam Astawa, 2016).

    Gambar 2.8 Jalur Apoptosis (Elmore, 2007)

    Fase eksekusi dari apoptosis melibatkan aktivasi caspase. Caspase hulu

    untuk jalur intrinsik adalah caspase 9 sementara untuk jalur ekstrinsik adalah

    caspase 8. Jalur intrinsik dan ekstrinsik bertemu pada caspase 3. Selanjutnya

    caspase 3 memecah inhibitor caspase-activated deoxyribonuclease, yang

  • bertanggung jawab terhadap apoptosis inti. Sebagai tambahan, caspase hilir

    menginduksi pemecahan protein kinase, protein sitoskeletal, protein perbaikan

    DNA, dan subunit inhibitor dari keluarga endonuklease. Caspase hilir juga

    memberikan efek pada sitoskeleton, siklus sel dan jalur sinyal, yang berkontribusi

    pada perubahan morfologi khusus dalam apoptosis (Elmore, 2007).

    Gambar 2.9 Jalur intrinsik dan ekstrinsik apoptosis (Wong, 2011)

    2.4.5 Ekspresi Bcl 2, Ekspresi Caspase 3, Indeks Apoptosis

    Ekspresi Bcl-2 adalah hasil imunostaining Bcl-2 pada jaringan testis yang

    dinilai dengan persentase (%) pewarnaan (staining) Bcl-2 pada sitoplasma yang

    berwarna coklat. Penghitungan sel yang mengekspresikan Bcl-2 adalah dengan

    menghitung sel yang mengekspresikan warna coklat pada sitoplasma sel sampel

  • dan dilakukan dengan penghitungan dalam 5 lapang pandang dengan pembesaran

    mikroskop 400 kali untuk menilai persentase. Jumlah sel spermatogenik yang

    diekpresikan dihitung dalam persen. Persentase (%) imunoreaktifitas ekspresi Bcl-

    2 = jumlah sel positif/jumlah total sel x 100 %. Skala untuk imunoreaktifitas

    ekspresi Bcl-2 adalah rasio (Wong, 2011).

    Pemeriksaan BCL-2 dengan metode histokimia (Antihuman/mouse/rat Bcl-2

    purifies mouse polyclonal ). Potongan jaringan sel spermatogenik mencit setebal

    4-5 μm dibuat diatas gelas obyek. Potongan jaringan kemudian diproses untuk

    pewarnaan imunohistokimia dengan cara berikut. Pertama dilakukan

    defarafinisasi xylo1 selama 10 menit, xylol2 selama 5 menit dan alkohol absolut,

    alkohol 95%, 90%, 80%, dan alkohol 70 % masing-masing selama 5 menit.

    Selanjutnya, slide ditetesi dengan PBS dengan PH 7,4 selama 10 menit, dan

    dibersihkan dengan kertas tisu, slide kemudian ditetesi dengan larutan EDTA

    selama 20 menit, dan dibersihkan dengan kertas tisu. Dilakukan blocking dengan

    BSA 1% selama 10 menit dan dicuci dengan PBS selama 3x5 menit, kemudian

    dibersihkan dengan kertas tisu. Selanjutnya, ditetesi dengan antibodi primer

    (polyclonal mouse anti-human Bcl-2) yang diencerkan dengan PBS dan larutan

    Twin 0,1% dengan perbandingan 1:50. Sediaan kemudian diinkubasi selama 24

    jam dengan suhu 4◦C, selanjutnya dicuci dengan PBS PH 7,4 5 menit dan

    dibersihkan dengan kerta tisu. Sediaan kemudian ditetesi dengan antibodi

    sekunder Ig G biotin dalam PBS selama 30 menit pada temperatur kamar.

    Jaringan kemudian dibersihkan dengan tisu dan ditambahkan streptavidin Horse

    Radish Peroxidase (HRP) pada suhu kamar selama 10 menit. Sediaan ditetesi

    DAB 10 menit, kemudian dicuci dengan aquades selama 3x5 menit, dan

  • dibersihkan dengan kertas tisu. Dilakukan counterstain dengan meyer hematoxylin

    selama 2 menit, lalu dicuci kemudian direndam pada alkohol 70% selama 2 menit

    ,alkohol 95% selama 2 menit, kemudian alkohol 100% selama 5 menit.

    Selanjutnya direndam dalam larutan xylene selama 2 x 5 menit, kemudian di

    mounting dengan entelan kemudian ditutup dengan cover slip. Warna kecoklatan

    pada histokomia adalah sel protein Bcl-2. Penghitungan sel yang

    mengekspresikan Bcl-2 adalah dengan menghitung sel yang berinti biru dan

    mengekspresikan warna coklat pada sitoplasma sel sampel dan dilakukan dengan

    pembesaran mikroskop 400x. Jumlah sel spermatogenik yang diekpresikan

    dihitung dalam persen (Wong, 2011).

    Ekspresi Caspase 3 adalah jumlah Cytosolic Aspartate Spesifik Cysteine

    Protease 3 yang memfasilitasi terjadinya kematian sel yang dinyatakan sebagai

    ratio dari semua sel yang dihitung. Jumlah caspase 3 dihitung dengan cara

    menghitung jumlah sel-sel spermatogenik yang menunjukkan pewarnaan

    kecoklatan pada sitoplasma dengan metode imuno histokimia dihitung dengan

    menggunakan mikroskop cahaya dalam 5 lapangan pandang dengan pembesaran

    400 kali. Lapangan pandang di mulai dari kiri ke kanan, kemudian ke bawah di

    mulai dari kiri lagi. Persentase (%) ekspresi caspase 3 = jumlah sel positif/jumlah

    total sel x 100 %. Skala untuk imunoreaktifitas ekspresi caspase 3 adalah rasio

    (Wong, 2011).

    Pemeriksaan caspase-3 dengan metode histokimia (Anti human/mouse/rat

    caspase-3 purifies mouse polyclonal). Potongan jaringan sel spermatogenik

    mencit setebal 4-5 μm dibuat diatas gelas obyek. Potongan jaringan kemudian

    diproses untuk pewarnaan imunohistokimia dengan cara berikut. Pertama

  • dilakukan defarafinisasi xylo1 selama 10 menit, xylol2 selama 5 menit dan

    alkohol absolut, alkohol 95%, 90%, 80%, dan alkohol 70 % masing-masing

    selama 5 menit. Selanjutnya, slide ditetesi dengan PBS dengan PH 7,4 selama 10

    menit, dan dibersihkan dengan kertas tisu, slide kemudian dipanaskan sampai 110

    ◦C selama 40 menit dalam larutan citrate bufer ph 6. Dilakukan blocking dengan

    BSA 1% selama 10 menit dan dicuci dengan PBS selama 3x5 menit, kemudian

    dibersihkan dengan kertas tisu. Selanjutnya ditetesi dengan antibodi primer

    (polyclonal mouse anti-human caspase 3) yang diencerkan dengan PBS dan

    larutan Twin 0,2% dengan perbandingan 1:100. Sediaan kemudian diinkubasi

    selama 1 jam dengan suhu ruang, selanjutnya dicuci dengan PBS PH 7,4 selama

    3x 5 menit dan dibersihkan dengan kerta tisu. Sediaan kemudian ditetesi dengan

    antibodi sekunder IgG biotin dalam PBS selama 30 menit pada temperatur kamar.

    Jaringan kemudian dibersihkan dengan tisu dan ditambahkan streptavidin Horse

    Radish Peroxidase (HRP) pada suhu kamar selama 10 menit. Sediaan ditetesi

    DAB 10 menit, kemudian dicuci dengan aquades selama 3x5 menit, dan

    dibersihkan dengan kertas tisu. Dilakukan counterstain dengan meyer hematoxylin

    selama 2 menit, lalu dicuci kemudian direndam pada alkohol 70% selama 2 menit,

    alkohol 95% selama 2 menit, kemudian alkohol 100% selama 5 menit.

    Selanjutnya direndam dalam larutan xylene selama 2 x 5 menit, kemudian di

    mounting dengan entelan kemudian ditutup dengan cover slip. Warna kecoklatan

    pada histokomia adalah sel protein caspase 3. Penghitungan sel yang

    mengekspresikan caspase 3 adalah dengan menghitung sel yang berinti biru dan

    mengekspresikan warna coklat pada sitoplasma sel sampel dan dilakukan dengan

  • pembesaran mikroskop 400x. Jumlah sel spermatogenik yang diekpresikan

    dihitung dalam persen (Wong, 2011).

    Indeks apoptotis dinyatakan dalam jumlah sel apoptotis per 100 sel non

    apoptotik. Akan tetapi perhitungan per unit luas area tidak menghasilkan

    kepadatan sel tumor atau ukuran sel tumor (tumor dengan sel besar mengandung

    sedikit sel per unit area). Biasanya indeks apoptosis diungkapkan sebagai jumlah

    badan apoptotis perjumlah sel dikalikan 100% dan ini secara luas dilaporkan

    dalam sejumlah jenis sel (Gupta, 2013).

    Mysorekar et al., (2008) menyelidiki indeks Apoptosis dalam Squamous

    Epithelial Lesions dari Cervix. Sampel disiapkan dalam formalin 10% dan di

    proses dengan cara konvensional. Slide noda Haematoxylin dan Eosin (H&E)

    diselidiki untuk morfologi dari lesion, dan perhitungan indek apoptotis dilakukan

    menggunakan objektif 40x. Sel apoptotis diidentifikasi dengan penampakan

    menyusut, kromatin inti hiperkromatik memekat, sitoplasma mengalami

    eosinofilik secara mendalam, dan lingkaran jelas yang memisahkan mereka dari

    sel tumor terdekat. Indeks apoptotis (IA) didefinisikan sebagai jumlah sel

    apoptotis diantara 100 sel non apoptosis. Meskipun sel yang mengalami apoptosis

    bisa diidentifikasi menggunakan kriteria morfologi pada standar slide hematoxylin

    and eosin (H&E), penelitian menunjukkan penggunaan metode ini dapat

    menurunkan laju apoptosis sebanyak 2 sampai 3 kali lipat.

    Metode lain untuk menentukan indeks apoptosis adalah menggunakan

    terminal deoxynucleotidyltransferase–mediated dUTP nick end labeling

    (TUNEL). TUNEL bekerja dengan prinsip bahwa pemutusan utas DNA terjadi

    selama apoptosis. Enzim terminal deoxynucleotidyl transferase (Tdt)

  • mengkatalisis pelabelan pemutusan ini dengan deoxyuridine triphosphates

    (dUTPs), yang mana kemudian dideteksi dengan teknik imunoperoksidase.

    Beberapa alat secara komersial tersedia untuk deteksi TUNEL (Dinand et al.,

    2009).

    Penentuan indeks apoptosis menggunakan teknik TUNEL dilakukan oleh

    Dinand et al., (2009). Sebanyak 5 lapang pandang diuji di bawah mikroskop

    fluorosen, dengan memilih lapang pandang terbaik dan mencegah lapang pandang

    yang didominasi oleh sclerosis atau fibrosis. Fluorescein-dUTP melabeli sel besar

    dengan inti lebih besar dari 2,5 kali ukuran inti limposit yang disebut sebagai sel

    HRS (Hodgkin and Reed-Sternberg) apoptotik. Indeks apoptosis (IA) dihitung

    sebagai persentase fluorosensel H-RS. Ambang batas positif lebih dari 10%

    dipilih, dan AI yang tinggi di definisikan sebagai AI > 25.