bab ii kajian pustaka 2.1 permukaan okular 2.1.1 … ii.pdf · konjungtiva dibentuk dari epitel...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Permukaan Okular
2.1.1 Anatomi Permukaan Okular
Permukaan mata termasuk kornea, konjungtiva dan lapisan air mata
membentuk unit fungsional. Kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel, lapisan
bowman, stroma, membran descemet dan endotelium. Transparansi kornea
disebabkan struktur yang sama, avaskular dan daya hidrasi. Sel stem epitel kornea
berada di zona limbal lapisan basal perifer kornea. Sel stem memiliki kapasitas
proliferasi paling baik dibandingkan dengan sel-sel epitel kornea sentral, karena
itu berpotensi untuk memelihara dan memperbaiki epitel kornea yang rusak (Knop
E. dan Knop N., 2007; Laqua, 2004).
Konjungtiva adalah lapisan tipis, membran mukosa transparan yang
menutup sklera. Konjungtiva dibentuk dari epitel nonkeratin skuamosa berlapis
dan lamina propria. Ketebalan epitel bervariasi dari margo palpebra sampai
limbus. Konjungtiva dibagi menjadi tiga bagian yaitu palpebral, forniks dan
bulbar dan secara histologi terdiri dari epitel dan stroma. Banyak jenis sel lain
yang berada dalam lapisan epitelial selain sel epitel, seperti sel goblet, melanosit,
sel langerhans, dan limfosit (Gillan, 2008; Knop E. dan Knop N., 2007; Laqua,
2004).
Integritas permukaan okular sangat dipengaruhi oleh adanya musin dalam
lapisan air mata. Sel goblet, yaitu sel-sel epitel yang sangat khusus adalah sumber
10
utama musin. Sel goblet yang terletak di permukaan apikal konjungtiva,
diantaranya diselingi beberapa lapisan epitel berlapis. Sel-sel goblet konjungtiva
manusia terdapat secara tunggal atau dapat berjumlah banyak, seperti di lipatan
epitel dan tampak lebih bulat dibandingkan pada jaringan lain maupun pada
spesies lain. Sel goblet berfungsi mensintesis, menyimpan dan mengeluarkan
musin dan gel pembentuk musin (MUC5AC). Volume produksi musin oleh sel
goblet konjungtiva adalah 2-3 µL/hari, sedangkan produksi akuous sekitar 2-3
mL/hari. Musin memiliki kemampuan sebagai pelembab dan sebagai gel,
sehingga konjungtiva tetap lembab. Musin berfungsi melindungi permukaan
okular dari berbagai patogen, bahan kimia dan toksin. Musin sangat penting dalam
menjaga kesehatan permukaan okular, sehingga kelainan sekresi musin sel goblet
mengakibatkan kerusakan pada kornea dan konjungtiva. (AAO, 2011-2012b;
Gillan, 2008; Shatos, et al., 2003).
Produksi musin ditentukan dengan jumlah sel goblet yang fungsional pada
konjungtiva dan tingkat kemampuan sel goblet untuk mensintesis musin. Bagian
konjungtiva dengan densitas sel goblet tertinggi yaitu inferonasal konjungtiva
bulbi, konjungtiva palpebra, bagian temporal konjungtiva bulbi, sedangkan bagian
sel goblet sedikit atau bahkan absen adalah permukaan okular yang terekspos dan
korneosklera junction. Masing-masing sel goblet berukuran 25µx25µ. Sel goblet
tersusun dari paket mukosa dan ikatan membran dengan nukleus berbentuk rata
dan eksentris berada di dekat dasar sel. Kepadatan sel goblet konjungtiva antara
1000-56.000 sel/mm2 (Foster, et al., 2003; Shatos, et al., 2003). Kepadatan sel
goblet bervariasi sesuai perbedaan kelompok usia. Jumlah sel goblet tetap konstan
11
pada orang dewasa usia di atas 37 tahun. Jumlah sel goblet dapat berubah oleh
faktor-faktor eksternal pada usia berapa pun. Kepadatan sel goblet menurun secara
perlahan pada masa kanak-kanak setelah periode perkembangan awal pada tahun
pertama kehidupan dan mencapai tingkat yang cukup konstan (30-70 per 0,1 mm2
permukaan mukosa). Tingkat hidrasi konjungtiva merupakan faktor eksogen yang
signifikan meskipun sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kepadatan dan distribusi sel goblet konjungtiva normal. Beberapa
ahli percaya bahwa aliran akuous ke sakus konjungtiva bawah, pembentukan
genangan lakrimal dan akumulasi air mata pada kantus medial mengakibatkan
hidrasi maksimal forniks inferonasal dan konjungtiva palpebra inferior sehingga
kepadatan sel goblet adalah maksimal. Jumlah sel goblet pada pasien dengan
keratokonjungtivitis sicca lebih rendah dibandingkan orang normal. Kepadatan sel
goblet tidak terpengaruh jenis kelamin. Penurunan kepadatan sel goblet pada
keratokonjungtivitis sicca mungkin karena berkurangnya vaskularisasi
konjungtiva akibat jaringan parut dan sebagai akibat hambatan suplai vitamin A
(Peters dan Colby, 2008).
Gangguan permukaan okular menyebabkan epitel normal baik sekresi dan
non sekresi dimodifikasi dan menjadi epitel keratin non sekresi yang disebut
metaplasia skuamosa. Penurunan kepadatan sel goblet dikaitkan dengan
penurunan musin sehingga lapisan air mata tidak stabil dan menyebabkan dry eye.
Sel-sel inti kromatin berbentuk ‘snake-like’ dan perubahan lainnya juga terjadi
pada sel konjungtiva non sekesi pada pasien dengan keadaan dry eye. Perubahan-
perubahan inti sel juga tampak pada orang normal pengguna lensa kontak.
12
Pemakaian lensa kontak lunak selama beberapa tahun menyebabkan kepadatan sel
goblet menurun. Defisiensi komponen akuous terlihat pada keratokonjungtivitis
sicca, yaitu defisiensi komponen musin. Kondisi yang menyebabkan hilangnya sel
goblet, misalnya terjadi pada trauma kimia, Stevens-Johnson syndrome,
hipovitaminosis A, ocular pemphigoid, Sjogren’s syndrome. Pengobatan dengan
beta-bloker topikal juga menyebabkan penurunan sel goblet. Kepadatan sel goblet
konjungtiva dapat menjadi indikator integritas permukaan okular terutama dalam
menentukan keparahan keratokonjungtivitis sicca (Peters dan Colby, 2008).
Lapisan air mata terdiri dari protein, enzim, lipid, akuous, musin dan
elektrolit berfungsi memelihara lapisan air mata agar dapat menjalankan
fungsinya (Kari, et al., 2011).
2.1.2 Fungsi dan Komposisi Air Mata
Produksi dan jumlah air mata sangat penting untuk menjaga kesehatan
permukaan okular. Air mata berfungsi membersihkan, melumasi dan memelihara
permukaan okular serta memberikan perlindungan fisik dan kekebalan tubuh
terhadap infeksi dan trauma mekanik. Lebih dari 98% total lapisan air mata adalah
air. Ketebalan lapisan air mata bervariasi antara 4,0–9,0 µm. Permukaan kornea
dan bola mata yang terekspos dilindungi oleh lapisan air mata yang terdiri dari
tiga lapisan. Lapisan lipid superfisial setebal 0,1 µm diproduksi terutama oleh
kelenjar meibom dan memiliki kontribusi penting untuk mencegah penguapan air
mata. Lapisan tengah yaitu air atau akuous dengan tebal 6–7 µm diproduksi oleh
kelenjar lakrimal dan aksesori, bertanggung jawab untuk membawa faktor
pertumbuhan penting untuk epitel dan membasuh sisa-sisa epitel, unsur-unsur
13
racun dan benda asing. Musin di bagian dalam setebal 0,02–005 µm berasal dari
sel-sel goblet konjungtiva juga sel-sel epitel konjungtiva dan kornea. Musin
berperan dalam menyebarkan air mata (AAO, 2011-2012b; Laqua, 2004; Lemp,
2008).
Gambar 2.1 Gambaran lapisan air mata dan interaksi antar lapisan (Kari, et al.,
2011)
Lapisan air mata juga mengandung elektrolit, protein, faktor pertumbuhan,
vitamin, asam amino dan glukosa, selain air, musin dan lipid. Komposisi air mata
menyerupai serum. Air mata mengandung jumlah elektrolit yang sama dengan
plasma darah tetapi dengan perbedaan level kalium lebih tinggi dan level natrium
yang lebih rendah. Lisozim, protein utama dalam air mata memiliki kadar yang
jauh lebih tinggi dibandingkan serum. Imunoglobulin A adalah imunoglobulin
utama dalam air mata dan bertanggung jawab untuk pertahanan terhadap infeksi
pada permukaan okular. Konsentrasi faktor pertumbuhan antara air mata dan
serum adalah sama, kecuali TGF-ß1 dengan kadar jauh lebih rendah dalam air
mata dibandingkan serum. Air mata mengandung kadar vitamin A yang rendah
tetapi mengandung banyak vitamin C bila dibandingkan serum. Lapisan air mata
14
juga mengandung berbagai sel termasuk sel skuamosa dari kornea dan epitel
konjungtiva, limfosit dan sel plasma dari kapiler dan sistem limfoid konjungtiva
(Laqua, 2004).
2.2 Tes Sekresi Air Mata
2.2.1 Tear Meniscus
Lapisan air mata secara kasar membentuk meniskus segitiga atau
genangan di margo palpebra inferior. Ukuran meniskus 0,3 mm atau kurang
mengindikasikan adanya defisiensi air mata. Meniskus yang lebih tinggi dari
normal (1,0 mm) terjadi pada kondisi lakrimasi atau epifora (Wilson, et al., 2005;
AAO, 2011-2012a).
2.2.2 Tear Break-Up Time
Lapisan air mata dapat hancur antara kedipan. Stabilitas lapisan air mata
dapat diukur secara non invasif, meskipun yang paling umum dalam praktek klinis
dengan cara invasif menggunakan fluoresein. Lapisan air mata diamati dengan
menggunakan lampu celah dan filter cobalt blue (Wilson, et al., 2005).
Tear Break-Up Time (TBUT) adalah penampakan pertama titik berwarna
gelap dan bagian yang kering setelah kedipan sempurna dan diukur dalam detik.
Waktu kurang dari 10 detik umumnya dianggap abnormal dan menunjukkan
lapisan air mata yang tidak stabil. Defisiensi musin menyebabkan TBUT yang
cepat tetapi kelainan permukaan okular juga dapat menyebabkan ketidakstabilan
lapisan air mata dan dapat mengakibatkan TBUT yang cepat (Henderson, et al.,
2013; Wilson, et al., 2005).
15
2.2.3 Tes Schirmer
Tes Schirmer dilakukan dengan menempatkan strip tipis kertas filter pada
forniks inferior. Pemeriksaan bertujuan untuk menentukan kuantitas produksi air
mata. Tes sekresi dasar dilakukan setelah pemberian anestesi topikal, diikuti
dengan pengeringan ringan sisa air mata dari forniks inferior. Kertas filter tipis
ditempatkan pada pertemuan antara tengah dan sepertiga lateral kelopak mata
inferior untuk mengurangi iritasi kornea selama dilakukan tes. Tes dapat
dilakukan dengan mata terbuka atau tertutup, walaupun beberapa ahli
merekomendasikan dengan mata tertutup untuk membatasi efek berkedip (AAO,
2011-2012a; Dry eye workshop, 2007).
Tes Schirmer I hampir sama dengan tes sekresi dasar tetapi tanpa
penggunaan anestesi topikal. Hasil pengukuran kurang dari 10 mm selama
pemeriksaan 5 menit dapat didiagnosa sebagai ATD. Level sensitivitas tes
Schirmer I adalah rendah walaupun relatif spesifik (AAO, 2011-2012a).
Tes Schirmer II mengukur refleks sekresi, dilakukan serupa yaitu tanpa
anestesi topikal. Setelah kertas saring diletakkan pada forniks inferior, kapas
aplikator dipakai untuk mengiritasi mukosa nasal. Apabila kertas saring basah
kurang dari 15 mm setelah 5 menit menyatakan adanya defek refleks sekresi
(AAO, 2011-2012a; Dry eye workshop, 2007).
2.2.4 Sitologi Impresi
Prosedur sitologi impresi pertama kali dikenalkan oleh Larmande dan
Timsit untuk mendiagnosis neoplasia skuamosa permukaan okular pada tahun
1954. Penggunaan sitologi impresi konjungtiva telah didokumentasikan untuk
16
memeriksa gangguan permukaan okular dan kepadatan sel goblet (Schober, et al.,
2006; Singh, et al., 2005).
Sistem penilaian pertama kali diterbitkan oleh Nelson berdasarkan
penampakan morfologi epitel konjungtiva dan sel goblet. Penilaian sistem
memiliki skala 0-3 berdasarkan morfologi sel epitel, perilaku pewarnaan, rasio
nukleoplasmik, serta kepadatan dan pewarnaan PAS sel goblet (Schober, et al.,
2006; Shrestha, et al., 2011; Sood, 2006).
Tabel 2.1
Kriteria Sitologi Impresi Nelson (Singh, et al., 2005)
Derajat
Gambaran
0 >500 sel goblet/mm2
Sel epitel kecil, bulat dengan nukleus besar
1 350-500 sel goblet/mm2
Sel epitel sedikit besar, bentuk lebih poligonal dengan
nukleus kecil
2 100-350 sel goblet/mm2
Sel epitel besar dan poligonal, multinucleated, dengan
variasi pewarnaan sitoplasma, nukleus kecil
3 <100 sel goblet/mm2
Sel epitel besar, poligonal dengan nukleus piknotik kecil
17
Gambar 2.2 Gambaran sitologi impresi. A) Sitologi impresi permukaan kornea
normal. B) Sitologi impresi zona transisi normal dari kornea ke limbus (Singh, et
al., 2005)
Metode sitologi impresi memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi (78%-
87%), dapat mendeteksi perubahan awal yang tidak terdeteksi oleh tes fungsi air
mata rutin. Kelemahan terutama terdapat pada hilangnya detail morfologi dan
hasil sel yang buruk dalam kasus keratinisasi (Bhargava, et al., 2014; Kane,
2007). Sitologi impresi memberikan alternatif terhadap diagnostik eksisi biopsi
atau smears konjungtiva yang terbuat dari usapan yang diambil dengan spatula
tumpul. Usapan konjungtiva menghancurkan banyak informasi morfologi dan
sebagai perbandingan, biopsi konjungtiva menyediakan informasi dari sampel
yang relatif kecil dari epitel permukaan. Sitologi impresi oleh karena itu
merupakan teknik pilihan pengambilan sampel epitel permukaan sebagai jaringan
target dan bukan epitel basal atau membran basement (Shresta, et al., 2011).
Teknik sitologi impresi menggunakan sepotong kertas saring Millipore
yang ditekan secara ringan pada area tertentu dari permukaan konjungtiva (atau
dalam kasus yang jarang terjadi, kornea) untuk mengangkat 1-3 lapis sel-sel epitel
permukaan, selanjutnya lakukan fiksasi dan pewarnaan dengan H&E atau PAS
atau Papanicolaou untuk menunjukkan sel-sel goblet dan sel epitel. Kertas saring
18
Millipore memiliki keuntungan metode menjadi cepat, mudah diterapkan dan
mudah ditransportasikan dengan alat mekanis yang stabil. Perlekatan sel epitel
yang baik juga terjamin, spesimen yang memadai dapat diperoleh dari kasus.
Setiap spesimen diperiksa di bawah mikroskop dengan 10 x high power field
(HPF). Setidaknya pembacaan dengan 10 HPF digunakan untuk sel goblet dan sel
epitel. Hasil sitologi impresi biasanya berhubungan dengan tes fungsi sekresi air
mata seperti TBUT, pewarnaan kornea, Schirmer tanpa anestesi, dan rose bengal
(AAO, 2011-2012a; Shrestha, et al., 2011; Kumar, et al., 2014; Singh, et al.,
2005).
Gambar 2.3 Gambaran hasil sitologi impresi (pewarnaan PAS dan hematoksilin,
pembesaran 100x) pada pasien dengan dry eye syndrome. A) Derajat 0, normal. B)
Derajat 1, kehilangan sel goblet awal. C) Derajat 2, kehilangan sel goblet total. D)
Derajat 3, keratinisasi awal. E) Derajat 4, keratinisasi sedang. F) Derajat 5,
keratinisasi berat (Kim E.C., et al., 2009)
2.3 Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Small Incision Cataract Surgery (SICS) dikembangkan di Amerika
Serikat dan Israel, kemudian menjadi populer di India dengan banyaknya operasi
A B C
D E F
19
yang dilakukan. Small Incision Cataract Surgery (SICS) menampilkan ekstraksi
ekstra kapsular. Nukleus dimunculkan dan dikeluarkan melalui tunnel sklera dan
dilakukan aspirasi sisa korteks (Health Care, 2011; Gogate, 2010).
Venkatesh et al. (2010) melaporkan bahwa tunnel sklera dibuat di bagian
superior sekitar 2 mm dari limbus dengan ukuran 6,5-7,0 mm. Injeksi trypan blue
untuk membantu kapsuloreksis dan nukleus dimunculkan dari kantung lensa
dengan Sinskey hook atau dengan hidrodiseksi, diikuti ekstraksi nukleus dengan
menggunakan vectis. Intra Ocular Lens (IOL) keras (polymethyl methacrylate)
dengan ukuran optik 6,0 mm dimasukkan ke dalam kantung lensa dan kamera
okuli anterior ditekan. Tunnel dapat sembuh sendiri dan luka insisi tidak
memerlukan penjahitan pada kebanyakan kasus.
Gambar 2.4 Insisi pada SICS (Garg, et al., 2009)
Prosedur SICS menawarkan keuntungan rehabilitasi yang lebih cepat,
astigmatisme minimal dan visus pasca operasi yang lebih baik tanpa kacamata.
20
Small Incision Cataract Surgery (SICS) bermanfaat lebih luas dan dapat
diterapkan di daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang sebagian besar
menderita katarak. Prosedur SICS membutuhkan peralatan operasi katarak standar
medis yang minimal dibandingkan dengan fakoemulsifikasi. Fakoemulsifikasi
membutuhkan instrumen mahal dan lebih sering tidak tersedia di beberapa daerah.
Prosedur SICS memerlukan waktu belajar yang lebih pendek dan lebih aman
dibandingkan dengan fakoemulsifikasi. Prosedur SICS lebih ekonomis karena
menuntut modal lebih sedikit sedangkan fakoemulsifikasi menuntut investasi
modal lebih banyak (National Cataract Coalition, 2012).
Prosedur SICS memiliki beberapa kelemahan. Kongesti konjungtiva dapat
bertahan di lokasi flap konjungtiva selama 5-7 hari dan mungkin terdapat nyeri
ringan akibat insisi. Hifema pasca operasi dapat terjadi dan kemungkinan
astigmatisme akibat operasi lebih tinggi. Small Incision Cataract Surgery (SICS)
membuat insisi yang lebih besar dibandingkan fakoemulsifikasi (National
Cataract Coalition, 2012).
Pemilihan antibiotika yang tepat, penting untuk mencegah endoftalmitis,
yaitu salah satu komplikasi paling merugikan pasca operasi katarak. Golongan
fluorokuinolon telah lama digunakan sebagai profilaksis untuk mencegah infeksi
pasca operasi. Fluorokuinolon dikenal karena aktivitas anti bakteri dengan
spektrum luas. Efek bakterisid dikerahkan dengan menghambat sintesis DNA
melalui gangguan pada enzim DNA gyrase (topoisomerase II) dan topoisomerase
IV (Han, et al., 2014; Watanabe, et al., 2010). Studi dengan hewan coba in vivo
dan in vitro menjelaskan bahwa fluorokuinolon dan pengawet yang menyertainya
21
memiliki efek sitotoksik pada sel kornea, namun mekanisme yang tepat mengenai
toksisitas fluorokuinolon masih belum diketahui. Ciprofloxacin pernah dilaporkan
dalam suatu penelitian bahwa mengakibatkan hambatan dalam penyembuhan luka
kornea. Ciprofloxacin hydrochloride 0,3% digambarkan memiliki kecenderungan
mempercepat deposit kristal kornea, terutama akibat interaksinya dengan PH
kelarutan formula tetes mata (Tsai T., et al., 2010).
Kortikosteroid topikal dan obat anti inflamasi non steroid topikal
digunakan untuk mengendalikan peradangan pasca operasi. Kedua golongan
memiliki sifat dan mekanisme yang berbeda dalam mengurangi peradangan.
Steroid menghambat kaskade inflamasi pada tahap awal. Jalur asam arakidonat
diaktifkan oleh kerusakan jaringan. Steroid untuk menjadi efektif harus melewati
membran sel dan masuk ke inti, yang terbatas karena sifat lipofobianya. Efek
samping steroid adalah peningkatan tekanan intraokular (TIO), hambatan
penyembuhan luka, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Kejadian dry
eye syndrome setelah penggunaan steroid topikal pernah dilaporkan dan
merupakan temuan yang bermakna. Bagaimana steroid dapat menyebabkan dry
eye masih belum diketahui, tetapi menjadi layak untuk dilakukan penilaian dasar
sekresi air mata sebelum penggunaan steroid topikal. Obat anti inflamasi non
steroid (NSAID) memblok siklooksigenase (COX-1 dan COX-2), enzim yang
mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang langsung
menimbulkan peradangan. Obat anti inflamasi non steroid mudah masuk ke sel
dan menahan pembentukan prostaglandin. Beberapa NSAID dikaitkan dengan
22
kejadian keratitis epitelial pungtata dan bahkan pencairan kornea (Singer, et al.,
2012).
Kombinasi neomisin, polimiksin dan deksametason telah digunakan untuk
mengatasi inflamasi karena efek spektrum luas dan murah. Kondisi yang sering
menggunakan pemakaian obat kombinasi antibiotika-steroid adalah sebagai terapi
pasca operasi katarak, keratokonjungtivitis, fliktenularis, reaksi akibat pemakaian
lensa kontak. Neomisin efektif melawan bakteri gram positif dan gram negatif.
Polimiksin aktif melawan bakteri gram negatif. Obat kombinasi awalnya
digunakan untuk mencegah infeksi, tapi steroid juga berfungsi untuk mengurangi
inflamasi sebagai respon alami trauma operasi. Deksametason adalah
kortikosteroid sintetik potensial yang merupakan turunan dari hidrokortison
dengan perubahan struktural yang memberikan deksametason berefek anti
inflamasi sekitar enam kali lebih kuat dibandingkan dengan prednison dan
prednisolon. Deksametason dalam berbagai formula (fosfat, alkohol) adalah
paling banyak digunakan untuk mata dan telah terbukti efektif untuk pengobatan
inflamasi (Russo, et al., 2005). Deksametason membantu mengurangi sikatrik dan
reaksi kamera okuli anterior pasca operasi katarak. Anti inflamasi kortikosteroid
yang mengandung deksametason bekerja mengurangi edema. Steroid hanya
mengobati atau mencegah infeksi mata yang disebabkan oleh bakteri. Infeksi yang
disebabkan oleh virus, jamur, mikobakteria tidak dapat diberikan steroid dan
bahkan dapat menambah perburukan (Espiritu, et al., 2011).
Banyak penelitian telah menggambarkan adanya dry eye pada pasien yang
menjalani operasi katarak dan manifestasinya seperti mata merah, sensasi benda
23
asing, pasti akan muncul pada kebanyakan pasien pasca operasi katarak. Beberapa
faktor berperan dalam menyebabkan dry eye pasca operasi katarak (Cho dan Kim,
et al., 2009; Gharee, et al., 2009; Li X.M., et al., 2007).
Desensitisasi kornea adalah yang paling penting dalam mengakibatkan
gejala dry eye. Insisi sklera menyebabkan kerusakan jaringan saraf,
mengakibatkan efek perubahan sensitivitas kornea jangka panjang. Insisi di
daerah temporal menyebabkan kerusakan saraf kornea yang merupakan saraf
besar dari nervus siliaris longus yang masuk ke limbus, terutama di posisi jam 9
dan jam 3. Kornea merupakan salah satu organ dengan banyak saraf yaitu sekitar
44 berkas saraf masuk ke kornea di sekitar limbus secara sentripetal dan berkas
saraf besar yang berjalan dari jam 9 ke arah jam 3 bercabang untuk mencapai
distribusi homogen seluruh kornea (Ganvit, et al., 2014; Zhang S., et al., 2010).
Inflamasi pasca operasi merangsang pelepasan leukosit dan enzim lisosom.
Mediator inflamasi dapat mengubah aksi saraf kornea dan mengurangi sensitivitas
kornea. Gangguan persarafan kornea normal atau umpan balik unit fungsional
lakrimal dapat mengurangi aliran air mata dan frekuensi berkedip sehingga terjadi
ketidakstabilan hiperosmolaritas air mata dan lapisan air mata (Dry Eye
Workshop, 2007; Ganvit, et al., 2014; Zhang S., et al., 2010).
Insisi operasi dan proses operasi dapat menyebabkan kerusakan area
operasi pada sel stem limbal, sel goblet konjungtiva, sehingga sekresi musin
berkurang. Reaksi inflamasi pasca operasi dan edema, dapat mengurangi ikatan
musin. Operasi merubah kurvatura kornea sehingga mengakibatkan penurunan
stabilitas lapisan air mata pasca operasi (Zhang S., et al., 2010).
24
Penggunaan anestesi topikal dan tetes mata dengan pengawet seperti BAK
dapat mengurangi ikatan musin, menyebabkan ketidakseimbangan lapisan air
mata. Toksisitas dari BAK itu sendiri menyebabkan hiperemi konjungtiva,
hiperplasia folikel, sikatrik konjungtiva, erosi kornea, sehingga mengakibatkan
gangguan stabilitas lapisan air mata. Tetes mata anti inflamasi non steroid
(NSAID) merupakan inhibitor siklooksigenase (COX) non spesifik, sering
digunakan untuk mencegah miosis selama operasi katarak. Anti inflamasi non
steroid dapat mengganggu fungsi normal permukaan mata, kerusakan kornea,
sehingga menyebabkan ketidakstabilan lapisan air mata (Walker, 2004; Zhang S.,
et al., 2010).
Pasien katarak kebanyakan adalah orang tua sehingga sudah terjadi
penurunan elastisitas konjungtiva terutama di forniks inferior, dapat menyebabkan
gangguan stabilitas lapisan air mata, hambatan ekskresi air mata, inflamasi, dry
eye intermiten, mata berair dan lain-lain (Zhang S., et al., 2010).
Penyebab dry eye setelah fakoemulsifikasi dan SICS lainnya adalah
paparan sinar mikroskop, lamanya operasi, irigasi intraoperatif yang kuat,
handling jaringan mata saat operasi, penggunaan obat tetes mata pasca operasi
dan pengawetnya. Irigasi yang kuat terhadap lapisan air mata dan manipulasi
permukaan okular intraoperatif dapat menyebabkan lepasnya sel goblet,
mengakibatkan nilai TBUT yang rendah pasca operasi (Lekhanot, et al., 2006;
Cho dan Kim, 2009; Li X.M., et al., 2007).
25
2.4 Air Mata Buatan
Pengganti air mata adalah manajemen andalan untuk semua jenis dry eye
syndrome. Fungsinya adalah mengurangi osmolaritas air mata, membersihkan
produk pro inflamasi dan melindungi permukaan mata. Air mata buatan harus
meliputi zat terapi tambahan untuk memperbaiki kerusakan primer dan sekunder
akibat dry eye (Henderson, et al., 2013; Yavuz, et al., 2012).
Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak, tersedia dalam berbagai
bentuk seperti retinol, retinal, dan asam retinoat. Banyak jaringan yang
membutuhkan vitamin A menyimpannya sebagai retinal ester. Retinol palmitat
ditemukan dalam sel kelenjar lakrimal. Retinol ditemukan dalam air mata manusia
dan kelinci. Tetes mata vitamin A efektif untuk pengobatan dry eye. Vitamin A
memiliki peran penting dalam meregulasi proliferasi dan diferensiasi sel epitel
kornea, membantu pertumbuhan normal sel, diferensiasi, dan memelihara sel
goblet konjungtiva. Keberhasilan vitamin A (retinol palmitat) ditunjukkan dalam
studi yang menilai regenerasi sel-sel goblet konjungtiva pada pasien dry eye.
Kobayashi et al. (1997) melaporkan bahwa pengobatan dengan retinol palmitat
untuk dry eye memberikan hasil perbaikan pada analisa sitologi setelah 4 minggu.
Dosis yang diberikan adalah 1 tetes larutan yang mengandung 1000 IU/ml vitamin
A, diberikan empat kali sehari selama empat minggu. Vitamin A topikal yang
digunakan empat kali sehari telah menunjukkan perbaikan keluhan kabur, nilai
Schirmer tanpa anestesi dan analisis sitologi impresi. Salep asam retinoat 0,05%
merupakan terapi efektif untuk keratinisasi pada penyakit-penyakit sikatrik yang
26
melibatkan kornea dan konjungtiva (Holland, et al., 2013; Kim E.C., et al., 2009;
Yavuz, et al., 2012).
Gambar 2.5 Struktur kimia vitamin A (Tanumihardjo, 2012)
Polyvinil pyrrolidone (povidone) adalah polimer sintetis yang larut air
dengan berat molekul berkisar antara 40.000 sampai 360.000, bekerja sebagai
surfaktan non ion. Povidone disintesis melalui proses polimerisasi dari vinyl
pyrrolidone dalam air atau isopropanol. Povidone tersedia dalam beberapa kelas
berdasarkan berat molekulnya. Semua kelas povidone dapat digunakan sebagai
polimer hidrofilik yang secara fisik dapat menstabikan suspensi. Fungsi dari
povidone adalah sebagai pengikat, meningkatkan biovailabilitas, melapisi,
melarutkan, memberi rasa, membekukan, menstabilkan, menarik air, melekatkan,
menurunkan toksisitas. Povidone digunakan sebagai tetes mata karena memiliki
sifat stimulasi musin sehingga sering dikombinasikan dengan sediaan musin dan
suplemen akuous. Povidone juga membantu untuk mempertahankan air mata pada
kornea lebih lama (Grahn, et al., 2004; Kadajji, et al., 2011).
27
Gambar 2.6 Struktur Polyvinyl Pyrrolidone (Kadajji, et al., 2011)
Sodium hyaluronate telah ditemukan sangat bermanfaat dalam
penyembuhan kornea. Karbomer memberikan peran yang sangat baik sebagai
perekat dan memiliki retensi waktu yang lebih tinggi. Tetes mata yang
mengandung lipid bertujuan membangun kembali lapisan lipid. Pengganti air
mata yang mengandung nutrisi saat ini telah banyak tersedia (Holly, 2004; Laqua,
2004).