bab ii kajian pustaka 2.1 permukaan okular 2.1.1 … ii.pdf · konjungtiva dibentuk dari epitel...

19
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Permukaan Okular 2.1.1 Anatomi Permukaan Okular Permukaan mata termasuk kornea, konjungtiva dan lapisan air mata membentuk unit fungsional. Kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel, lapisan bowman, stroma, membran descemet dan endotelium. Transparansi kornea disebabkan struktur yang sama, avaskular dan daya hidrasi. Sel stem epitel kornea berada di zona limbal lapisan basal perifer kornea. Sel stem memiliki kapasitas proliferasi paling baik dibandingkan dengan sel-sel epitel kornea sentral, karena itu berpotensi untuk memelihara dan memperbaiki epitel kornea yang rusak (Knop E. dan Knop N., 2007; Laqua, 2004). Konjungtiva adalah lapisan tipis, membran mukosa transparan yang menutup sklera. Konjungtiva dibentuk dari epitel nonkeratin skuamosa berlapis dan lamina propria. Ketebalan epitel bervariasi dari margo palpebra sampai limbus. Konjungtiva dibagi menjadi tiga bagian yaitu palpebral, forniks dan bulbar dan secara histologi terdiri dari epitel dan stroma. Banyak jenis sel lain yang berada dalam lapisan epitelial selain sel epitel, seperti sel goblet, melanosit, sel langerhans, dan limfosit (Gillan, 2008; Knop E. dan Knop N., 2007; Laqua, 2004). Integritas permukaan okular sangat dipengaruhi oleh adanya musin dalam lapisan air mata. Sel goblet, yaitu sel-sel epitel yang sangat khusus adalah sumber

Upload: lamlien

Post on 27-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Permukaan Okular

2.1.1 Anatomi Permukaan Okular

Permukaan mata termasuk kornea, konjungtiva dan lapisan air mata

membentuk unit fungsional. Kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel, lapisan

bowman, stroma, membran descemet dan endotelium. Transparansi kornea

disebabkan struktur yang sama, avaskular dan daya hidrasi. Sel stem epitel kornea

berada di zona limbal lapisan basal perifer kornea. Sel stem memiliki kapasitas

proliferasi paling baik dibandingkan dengan sel-sel epitel kornea sentral, karena

itu berpotensi untuk memelihara dan memperbaiki epitel kornea yang rusak (Knop

E. dan Knop N., 2007; Laqua, 2004).

Konjungtiva adalah lapisan tipis, membran mukosa transparan yang

menutup sklera. Konjungtiva dibentuk dari epitel nonkeratin skuamosa berlapis

dan lamina propria. Ketebalan epitel bervariasi dari margo palpebra sampai

limbus. Konjungtiva dibagi menjadi tiga bagian yaitu palpebral, forniks dan

bulbar dan secara histologi terdiri dari epitel dan stroma. Banyak jenis sel lain

yang berada dalam lapisan epitelial selain sel epitel, seperti sel goblet, melanosit,

sel langerhans, dan limfosit (Gillan, 2008; Knop E. dan Knop N., 2007; Laqua,

2004).

Integritas permukaan okular sangat dipengaruhi oleh adanya musin dalam

lapisan air mata. Sel goblet, yaitu sel-sel epitel yang sangat khusus adalah sumber

10

utama musin. Sel goblet yang terletak di permukaan apikal konjungtiva,

diantaranya diselingi beberapa lapisan epitel berlapis. Sel-sel goblet konjungtiva

manusia terdapat secara tunggal atau dapat berjumlah banyak, seperti di lipatan

epitel dan tampak lebih bulat dibandingkan pada jaringan lain maupun pada

spesies lain. Sel goblet berfungsi mensintesis, menyimpan dan mengeluarkan

musin dan gel pembentuk musin (MUC5AC). Volume produksi musin oleh sel

goblet konjungtiva adalah 2-3 µL/hari, sedangkan produksi akuous sekitar 2-3

mL/hari. Musin memiliki kemampuan sebagai pelembab dan sebagai gel,

sehingga konjungtiva tetap lembab. Musin berfungsi melindungi permukaan

okular dari berbagai patogen, bahan kimia dan toksin. Musin sangat penting dalam

menjaga kesehatan permukaan okular, sehingga kelainan sekresi musin sel goblet

mengakibatkan kerusakan pada kornea dan konjungtiva. (AAO, 2011-2012b;

Gillan, 2008; Shatos, et al., 2003).

Produksi musin ditentukan dengan jumlah sel goblet yang fungsional pada

konjungtiva dan tingkat kemampuan sel goblet untuk mensintesis musin. Bagian

konjungtiva dengan densitas sel goblet tertinggi yaitu inferonasal konjungtiva

bulbi, konjungtiva palpebra, bagian temporal konjungtiva bulbi, sedangkan bagian

sel goblet sedikit atau bahkan absen adalah permukaan okular yang terekspos dan

korneosklera junction. Masing-masing sel goblet berukuran 25µx25µ. Sel goblet

tersusun dari paket mukosa dan ikatan membran dengan nukleus berbentuk rata

dan eksentris berada di dekat dasar sel. Kepadatan sel goblet konjungtiva antara

1000-56.000 sel/mm2 (Foster, et al., 2003; Shatos, et al., 2003). Kepadatan sel

goblet bervariasi sesuai perbedaan kelompok usia. Jumlah sel goblet tetap konstan

11

pada orang dewasa usia di atas 37 tahun. Jumlah sel goblet dapat berubah oleh

faktor-faktor eksternal pada usia berapa pun. Kepadatan sel goblet menurun secara

perlahan pada masa kanak-kanak setelah periode perkembangan awal pada tahun

pertama kehidupan dan mencapai tingkat yang cukup konstan (30-70 per 0,1 mm2

permukaan mukosa). Tingkat hidrasi konjungtiva merupakan faktor eksogen yang

signifikan meskipun sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi kepadatan dan distribusi sel goblet konjungtiva normal. Beberapa

ahli percaya bahwa aliran akuous ke sakus konjungtiva bawah, pembentukan

genangan lakrimal dan akumulasi air mata pada kantus medial mengakibatkan

hidrasi maksimal forniks inferonasal dan konjungtiva palpebra inferior sehingga

kepadatan sel goblet adalah maksimal. Jumlah sel goblet pada pasien dengan

keratokonjungtivitis sicca lebih rendah dibandingkan orang normal. Kepadatan sel

goblet tidak terpengaruh jenis kelamin. Penurunan kepadatan sel goblet pada

keratokonjungtivitis sicca mungkin karena berkurangnya vaskularisasi

konjungtiva akibat jaringan parut dan sebagai akibat hambatan suplai vitamin A

(Peters dan Colby, 2008).

Gangguan permukaan okular menyebabkan epitel normal baik sekresi dan

non sekresi dimodifikasi dan menjadi epitel keratin non sekresi yang disebut

metaplasia skuamosa. Penurunan kepadatan sel goblet dikaitkan dengan

penurunan musin sehingga lapisan air mata tidak stabil dan menyebabkan dry eye.

Sel-sel inti kromatin berbentuk ‘snake-like’ dan perubahan lainnya juga terjadi

pada sel konjungtiva non sekesi pada pasien dengan keadaan dry eye. Perubahan-

perubahan inti sel juga tampak pada orang normal pengguna lensa kontak.

12

Pemakaian lensa kontak lunak selama beberapa tahun menyebabkan kepadatan sel

goblet menurun. Defisiensi komponen akuous terlihat pada keratokonjungtivitis

sicca, yaitu defisiensi komponen musin. Kondisi yang menyebabkan hilangnya sel

goblet, misalnya terjadi pada trauma kimia, Stevens-Johnson syndrome,

hipovitaminosis A, ocular pemphigoid, Sjogren’s syndrome. Pengobatan dengan

beta-bloker topikal juga menyebabkan penurunan sel goblet. Kepadatan sel goblet

konjungtiva dapat menjadi indikator integritas permukaan okular terutama dalam

menentukan keparahan keratokonjungtivitis sicca (Peters dan Colby, 2008).

Lapisan air mata terdiri dari protein, enzim, lipid, akuous, musin dan

elektrolit berfungsi memelihara lapisan air mata agar dapat menjalankan

fungsinya (Kari, et al., 2011).

2.1.2 Fungsi dan Komposisi Air Mata

Produksi dan jumlah air mata sangat penting untuk menjaga kesehatan

permukaan okular. Air mata berfungsi membersihkan, melumasi dan memelihara

permukaan okular serta memberikan perlindungan fisik dan kekebalan tubuh

terhadap infeksi dan trauma mekanik. Lebih dari 98% total lapisan air mata adalah

air. Ketebalan lapisan air mata bervariasi antara 4,0–9,0 µm. Permukaan kornea

dan bola mata yang terekspos dilindungi oleh lapisan air mata yang terdiri dari

tiga lapisan. Lapisan lipid superfisial setebal 0,1 µm diproduksi terutama oleh

kelenjar meibom dan memiliki kontribusi penting untuk mencegah penguapan air

mata. Lapisan tengah yaitu air atau akuous dengan tebal 6–7 µm diproduksi oleh

kelenjar lakrimal dan aksesori, bertanggung jawab untuk membawa faktor

pertumbuhan penting untuk epitel dan membasuh sisa-sisa epitel, unsur-unsur

13

racun dan benda asing. Musin di bagian dalam setebal 0,02–005 µm berasal dari

sel-sel goblet konjungtiva juga sel-sel epitel konjungtiva dan kornea. Musin

berperan dalam menyebarkan air mata (AAO, 2011-2012b; Laqua, 2004; Lemp,

2008).

Gambar 2.1 Gambaran lapisan air mata dan interaksi antar lapisan (Kari, et al.,

2011)

Lapisan air mata juga mengandung elektrolit, protein, faktor pertumbuhan,

vitamin, asam amino dan glukosa, selain air, musin dan lipid. Komposisi air mata

menyerupai serum. Air mata mengandung jumlah elektrolit yang sama dengan

plasma darah tetapi dengan perbedaan level kalium lebih tinggi dan level natrium

yang lebih rendah. Lisozim, protein utama dalam air mata memiliki kadar yang

jauh lebih tinggi dibandingkan serum. Imunoglobulin A adalah imunoglobulin

utama dalam air mata dan bertanggung jawab untuk pertahanan terhadap infeksi

pada permukaan okular. Konsentrasi faktor pertumbuhan antara air mata dan

serum adalah sama, kecuali TGF-ß1 dengan kadar jauh lebih rendah dalam air

mata dibandingkan serum. Air mata mengandung kadar vitamin A yang rendah

tetapi mengandung banyak vitamin C bila dibandingkan serum. Lapisan air mata

14

juga mengandung berbagai sel termasuk sel skuamosa dari kornea dan epitel

konjungtiva, limfosit dan sel plasma dari kapiler dan sistem limfoid konjungtiva

(Laqua, 2004).

2.2 Tes Sekresi Air Mata

2.2.1 Tear Meniscus

Lapisan air mata secara kasar membentuk meniskus segitiga atau

genangan di margo palpebra inferior. Ukuran meniskus 0,3 mm atau kurang

mengindikasikan adanya defisiensi air mata. Meniskus yang lebih tinggi dari

normal (1,0 mm) terjadi pada kondisi lakrimasi atau epifora (Wilson, et al., 2005;

AAO, 2011-2012a).

2.2.2 Tear Break-Up Time

Lapisan air mata dapat hancur antara kedipan. Stabilitas lapisan air mata

dapat diukur secara non invasif, meskipun yang paling umum dalam praktek klinis

dengan cara invasif menggunakan fluoresein. Lapisan air mata diamati dengan

menggunakan lampu celah dan filter cobalt blue (Wilson, et al., 2005).

Tear Break-Up Time (TBUT) adalah penampakan pertama titik berwarna

gelap dan bagian yang kering setelah kedipan sempurna dan diukur dalam detik.

Waktu kurang dari 10 detik umumnya dianggap abnormal dan menunjukkan

lapisan air mata yang tidak stabil. Defisiensi musin menyebabkan TBUT yang

cepat tetapi kelainan permukaan okular juga dapat menyebabkan ketidakstabilan

lapisan air mata dan dapat mengakibatkan TBUT yang cepat (Henderson, et al.,

2013; Wilson, et al., 2005).

15

2.2.3 Tes Schirmer

Tes Schirmer dilakukan dengan menempatkan strip tipis kertas filter pada

forniks inferior. Pemeriksaan bertujuan untuk menentukan kuantitas produksi air

mata. Tes sekresi dasar dilakukan setelah pemberian anestesi topikal, diikuti

dengan pengeringan ringan sisa air mata dari forniks inferior. Kertas filter tipis

ditempatkan pada pertemuan antara tengah dan sepertiga lateral kelopak mata

inferior untuk mengurangi iritasi kornea selama dilakukan tes. Tes dapat

dilakukan dengan mata terbuka atau tertutup, walaupun beberapa ahli

merekomendasikan dengan mata tertutup untuk membatasi efek berkedip (AAO,

2011-2012a; Dry eye workshop, 2007).

Tes Schirmer I hampir sama dengan tes sekresi dasar tetapi tanpa

penggunaan anestesi topikal. Hasil pengukuran kurang dari 10 mm selama

pemeriksaan 5 menit dapat didiagnosa sebagai ATD. Level sensitivitas tes

Schirmer I adalah rendah walaupun relatif spesifik (AAO, 2011-2012a).

Tes Schirmer II mengukur refleks sekresi, dilakukan serupa yaitu tanpa

anestesi topikal. Setelah kertas saring diletakkan pada forniks inferior, kapas

aplikator dipakai untuk mengiritasi mukosa nasal. Apabila kertas saring basah

kurang dari 15 mm setelah 5 menit menyatakan adanya defek refleks sekresi

(AAO, 2011-2012a; Dry eye workshop, 2007).

2.2.4 Sitologi Impresi

Prosedur sitologi impresi pertama kali dikenalkan oleh Larmande dan

Timsit untuk mendiagnosis neoplasia skuamosa permukaan okular pada tahun

1954. Penggunaan sitologi impresi konjungtiva telah didokumentasikan untuk

16

memeriksa gangguan permukaan okular dan kepadatan sel goblet (Schober, et al.,

2006; Singh, et al., 2005).

Sistem penilaian pertama kali diterbitkan oleh Nelson berdasarkan

penampakan morfologi epitel konjungtiva dan sel goblet. Penilaian sistem

memiliki skala 0-3 berdasarkan morfologi sel epitel, perilaku pewarnaan, rasio

nukleoplasmik, serta kepadatan dan pewarnaan PAS sel goblet (Schober, et al.,

2006; Shrestha, et al., 2011; Sood, 2006).

Tabel 2.1

Kriteria Sitologi Impresi Nelson (Singh, et al., 2005)

Derajat

Gambaran

0 >500 sel goblet/mm2

Sel epitel kecil, bulat dengan nukleus besar

1 350-500 sel goblet/mm2

Sel epitel sedikit besar, bentuk lebih poligonal dengan

nukleus kecil

2 100-350 sel goblet/mm2

Sel epitel besar dan poligonal, multinucleated, dengan

variasi pewarnaan sitoplasma, nukleus kecil

3 <100 sel goblet/mm2

Sel epitel besar, poligonal dengan nukleus piknotik kecil

17

Gambar 2.2 Gambaran sitologi impresi. A) Sitologi impresi permukaan kornea

normal. B) Sitologi impresi zona transisi normal dari kornea ke limbus (Singh, et

al., 2005)

Metode sitologi impresi memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi (78%-

87%), dapat mendeteksi perubahan awal yang tidak terdeteksi oleh tes fungsi air

mata rutin. Kelemahan terutama terdapat pada hilangnya detail morfologi dan

hasil sel yang buruk dalam kasus keratinisasi (Bhargava, et al., 2014; Kane,

2007). Sitologi impresi memberikan alternatif terhadap diagnostik eksisi biopsi

atau smears konjungtiva yang terbuat dari usapan yang diambil dengan spatula

tumpul. Usapan konjungtiva menghancurkan banyak informasi morfologi dan

sebagai perbandingan, biopsi konjungtiva menyediakan informasi dari sampel

yang relatif kecil dari epitel permukaan. Sitologi impresi oleh karena itu

merupakan teknik pilihan pengambilan sampel epitel permukaan sebagai jaringan

target dan bukan epitel basal atau membran basement (Shresta, et al., 2011).

Teknik sitologi impresi menggunakan sepotong kertas saring Millipore

yang ditekan secara ringan pada area tertentu dari permukaan konjungtiva (atau

dalam kasus yang jarang terjadi, kornea) untuk mengangkat 1-3 lapis sel-sel epitel

permukaan, selanjutnya lakukan fiksasi dan pewarnaan dengan H&E atau PAS

atau Papanicolaou untuk menunjukkan sel-sel goblet dan sel epitel. Kertas saring

18

Millipore memiliki keuntungan metode menjadi cepat, mudah diterapkan dan

mudah ditransportasikan dengan alat mekanis yang stabil. Perlekatan sel epitel

yang baik juga terjamin, spesimen yang memadai dapat diperoleh dari kasus.

Setiap spesimen diperiksa di bawah mikroskop dengan 10 x high power field

(HPF). Setidaknya pembacaan dengan 10 HPF digunakan untuk sel goblet dan sel

epitel. Hasil sitologi impresi biasanya berhubungan dengan tes fungsi sekresi air

mata seperti TBUT, pewarnaan kornea, Schirmer tanpa anestesi, dan rose bengal

(AAO, 2011-2012a; Shrestha, et al., 2011; Kumar, et al., 2014; Singh, et al.,

2005).

Gambar 2.3 Gambaran hasil sitologi impresi (pewarnaan PAS dan hematoksilin,

pembesaran 100x) pada pasien dengan dry eye syndrome. A) Derajat 0, normal. B)

Derajat 1, kehilangan sel goblet awal. C) Derajat 2, kehilangan sel goblet total. D)

Derajat 3, keratinisasi awal. E) Derajat 4, keratinisasi sedang. F) Derajat 5,

keratinisasi berat (Kim E.C., et al., 2009)

2.3 Small Incision Cataract Surgery (SICS)

Small Incision Cataract Surgery (SICS) dikembangkan di Amerika

Serikat dan Israel, kemudian menjadi populer di India dengan banyaknya operasi

A B C

D E F

19

yang dilakukan. Small Incision Cataract Surgery (SICS) menampilkan ekstraksi

ekstra kapsular. Nukleus dimunculkan dan dikeluarkan melalui tunnel sklera dan

dilakukan aspirasi sisa korteks (Health Care, 2011; Gogate, 2010).

Venkatesh et al. (2010) melaporkan bahwa tunnel sklera dibuat di bagian

superior sekitar 2 mm dari limbus dengan ukuran 6,5-7,0 mm. Injeksi trypan blue

untuk membantu kapsuloreksis dan nukleus dimunculkan dari kantung lensa

dengan Sinskey hook atau dengan hidrodiseksi, diikuti ekstraksi nukleus dengan

menggunakan vectis. Intra Ocular Lens (IOL) keras (polymethyl methacrylate)

dengan ukuran optik 6,0 mm dimasukkan ke dalam kantung lensa dan kamera

okuli anterior ditekan. Tunnel dapat sembuh sendiri dan luka insisi tidak

memerlukan penjahitan pada kebanyakan kasus.

Gambar 2.4 Insisi pada SICS (Garg, et al., 2009)

Prosedur SICS menawarkan keuntungan rehabilitasi yang lebih cepat,

astigmatisme minimal dan visus pasca operasi yang lebih baik tanpa kacamata.

20

Small Incision Cataract Surgery (SICS) bermanfaat lebih luas dan dapat

diterapkan di daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang sebagian besar

menderita katarak. Prosedur SICS membutuhkan peralatan operasi katarak standar

medis yang minimal dibandingkan dengan fakoemulsifikasi. Fakoemulsifikasi

membutuhkan instrumen mahal dan lebih sering tidak tersedia di beberapa daerah.

Prosedur SICS memerlukan waktu belajar yang lebih pendek dan lebih aman

dibandingkan dengan fakoemulsifikasi. Prosedur SICS lebih ekonomis karena

menuntut modal lebih sedikit sedangkan fakoemulsifikasi menuntut investasi

modal lebih banyak (National Cataract Coalition, 2012).

Prosedur SICS memiliki beberapa kelemahan. Kongesti konjungtiva dapat

bertahan di lokasi flap konjungtiva selama 5-7 hari dan mungkin terdapat nyeri

ringan akibat insisi. Hifema pasca operasi dapat terjadi dan kemungkinan

astigmatisme akibat operasi lebih tinggi. Small Incision Cataract Surgery (SICS)

membuat insisi yang lebih besar dibandingkan fakoemulsifikasi (National

Cataract Coalition, 2012).

Pemilihan antibiotika yang tepat, penting untuk mencegah endoftalmitis,

yaitu salah satu komplikasi paling merugikan pasca operasi katarak. Golongan

fluorokuinolon telah lama digunakan sebagai profilaksis untuk mencegah infeksi

pasca operasi. Fluorokuinolon dikenal karena aktivitas anti bakteri dengan

spektrum luas. Efek bakterisid dikerahkan dengan menghambat sintesis DNA

melalui gangguan pada enzim DNA gyrase (topoisomerase II) dan topoisomerase

IV (Han, et al., 2014; Watanabe, et al., 2010). Studi dengan hewan coba in vivo

dan in vitro menjelaskan bahwa fluorokuinolon dan pengawet yang menyertainya

21

memiliki efek sitotoksik pada sel kornea, namun mekanisme yang tepat mengenai

toksisitas fluorokuinolon masih belum diketahui. Ciprofloxacin pernah dilaporkan

dalam suatu penelitian bahwa mengakibatkan hambatan dalam penyembuhan luka

kornea. Ciprofloxacin hydrochloride 0,3% digambarkan memiliki kecenderungan

mempercepat deposit kristal kornea, terutama akibat interaksinya dengan PH

kelarutan formula tetes mata (Tsai T., et al., 2010).

Kortikosteroid topikal dan obat anti inflamasi non steroid topikal

digunakan untuk mengendalikan peradangan pasca operasi. Kedua golongan

memiliki sifat dan mekanisme yang berbeda dalam mengurangi peradangan.

Steroid menghambat kaskade inflamasi pada tahap awal. Jalur asam arakidonat

diaktifkan oleh kerusakan jaringan. Steroid untuk menjadi efektif harus melewati

membran sel dan masuk ke inti, yang terbatas karena sifat lipofobianya. Efek

samping steroid adalah peningkatan tekanan intraokular (TIO), hambatan

penyembuhan luka, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Kejadian dry

eye syndrome setelah penggunaan steroid topikal pernah dilaporkan dan

merupakan temuan yang bermakna. Bagaimana steroid dapat menyebabkan dry

eye masih belum diketahui, tetapi menjadi layak untuk dilakukan penilaian dasar

sekresi air mata sebelum penggunaan steroid topikal. Obat anti inflamasi non

steroid (NSAID) memblok siklooksigenase (COX-1 dan COX-2), enzim yang

mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang langsung

menimbulkan peradangan. Obat anti inflamasi non steroid mudah masuk ke sel

dan menahan pembentukan prostaglandin. Beberapa NSAID dikaitkan dengan

22

kejadian keratitis epitelial pungtata dan bahkan pencairan kornea (Singer, et al.,

2012).

Kombinasi neomisin, polimiksin dan deksametason telah digunakan untuk

mengatasi inflamasi karena efek spektrum luas dan murah. Kondisi yang sering

menggunakan pemakaian obat kombinasi antibiotika-steroid adalah sebagai terapi

pasca operasi katarak, keratokonjungtivitis, fliktenularis, reaksi akibat pemakaian

lensa kontak. Neomisin efektif melawan bakteri gram positif dan gram negatif.

Polimiksin aktif melawan bakteri gram negatif. Obat kombinasi awalnya

digunakan untuk mencegah infeksi, tapi steroid juga berfungsi untuk mengurangi

inflamasi sebagai respon alami trauma operasi. Deksametason adalah

kortikosteroid sintetik potensial yang merupakan turunan dari hidrokortison

dengan perubahan struktural yang memberikan deksametason berefek anti

inflamasi sekitar enam kali lebih kuat dibandingkan dengan prednison dan

prednisolon. Deksametason dalam berbagai formula (fosfat, alkohol) adalah

paling banyak digunakan untuk mata dan telah terbukti efektif untuk pengobatan

inflamasi (Russo, et al., 2005). Deksametason membantu mengurangi sikatrik dan

reaksi kamera okuli anterior pasca operasi katarak. Anti inflamasi kortikosteroid

yang mengandung deksametason bekerja mengurangi edema. Steroid hanya

mengobati atau mencegah infeksi mata yang disebabkan oleh bakteri. Infeksi yang

disebabkan oleh virus, jamur, mikobakteria tidak dapat diberikan steroid dan

bahkan dapat menambah perburukan (Espiritu, et al., 2011).

Banyak penelitian telah menggambarkan adanya dry eye pada pasien yang

menjalani operasi katarak dan manifestasinya seperti mata merah, sensasi benda

23

asing, pasti akan muncul pada kebanyakan pasien pasca operasi katarak. Beberapa

faktor berperan dalam menyebabkan dry eye pasca operasi katarak (Cho dan Kim,

et al., 2009; Gharee, et al., 2009; Li X.M., et al., 2007).

Desensitisasi kornea adalah yang paling penting dalam mengakibatkan

gejala dry eye. Insisi sklera menyebabkan kerusakan jaringan saraf,

mengakibatkan efek perubahan sensitivitas kornea jangka panjang. Insisi di

daerah temporal menyebabkan kerusakan saraf kornea yang merupakan saraf

besar dari nervus siliaris longus yang masuk ke limbus, terutama di posisi jam 9

dan jam 3. Kornea merupakan salah satu organ dengan banyak saraf yaitu sekitar

44 berkas saraf masuk ke kornea di sekitar limbus secara sentripetal dan berkas

saraf besar yang berjalan dari jam 9 ke arah jam 3 bercabang untuk mencapai

distribusi homogen seluruh kornea (Ganvit, et al., 2014; Zhang S., et al., 2010).

Inflamasi pasca operasi merangsang pelepasan leukosit dan enzim lisosom.

Mediator inflamasi dapat mengubah aksi saraf kornea dan mengurangi sensitivitas

kornea. Gangguan persarafan kornea normal atau umpan balik unit fungsional

lakrimal dapat mengurangi aliran air mata dan frekuensi berkedip sehingga terjadi

ketidakstabilan hiperosmolaritas air mata dan lapisan air mata (Dry Eye

Workshop, 2007; Ganvit, et al., 2014; Zhang S., et al., 2010).

Insisi operasi dan proses operasi dapat menyebabkan kerusakan area

operasi pada sel stem limbal, sel goblet konjungtiva, sehingga sekresi musin

berkurang. Reaksi inflamasi pasca operasi dan edema, dapat mengurangi ikatan

musin. Operasi merubah kurvatura kornea sehingga mengakibatkan penurunan

stabilitas lapisan air mata pasca operasi (Zhang S., et al., 2010).

24

Penggunaan anestesi topikal dan tetes mata dengan pengawet seperti BAK

dapat mengurangi ikatan musin, menyebabkan ketidakseimbangan lapisan air

mata. Toksisitas dari BAK itu sendiri menyebabkan hiperemi konjungtiva,

hiperplasia folikel, sikatrik konjungtiva, erosi kornea, sehingga mengakibatkan

gangguan stabilitas lapisan air mata. Tetes mata anti inflamasi non steroid

(NSAID) merupakan inhibitor siklooksigenase (COX) non spesifik, sering

digunakan untuk mencegah miosis selama operasi katarak. Anti inflamasi non

steroid dapat mengganggu fungsi normal permukaan mata, kerusakan kornea,

sehingga menyebabkan ketidakstabilan lapisan air mata (Walker, 2004; Zhang S.,

et al., 2010).

Pasien katarak kebanyakan adalah orang tua sehingga sudah terjadi

penurunan elastisitas konjungtiva terutama di forniks inferior, dapat menyebabkan

gangguan stabilitas lapisan air mata, hambatan ekskresi air mata, inflamasi, dry

eye intermiten, mata berair dan lain-lain (Zhang S., et al., 2010).

Penyebab dry eye setelah fakoemulsifikasi dan SICS lainnya adalah

paparan sinar mikroskop, lamanya operasi, irigasi intraoperatif yang kuat,

handling jaringan mata saat operasi, penggunaan obat tetes mata pasca operasi

dan pengawetnya. Irigasi yang kuat terhadap lapisan air mata dan manipulasi

permukaan okular intraoperatif dapat menyebabkan lepasnya sel goblet,

mengakibatkan nilai TBUT yang rendah pasca operasi (Lekhanot, et al., 2006;

Cho dan Kim, 2009; Li X.M., et al., 2007).

25

2.4 Air Mata Buatan

Pengganti air mata adalah manajemen andalan untuk semua jenis dry eye

syndrome. Fungsinya adalah mengurangi osmolaritas air mata, membersihkan

produk pro inflamasi dan melindungi permukaan mata. Air mata buatan harus

meliputi zat terapi tambahan untuk memperbaiki kerusakan primer dan sekunder

akibat dry eye (Henderson, et al., 2013; Yavuz, et al., 2012).

Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak, tersedia dalam berbagai

bentuk seperti retinol, retinal, dan asam retinoat. Banyak jaringan yang

membutuhkan vitamin A menyimpannya sebagai retinal ester. Retinol palmitat

ditemukan dalam sel kelenjar lakrimal. Retinol ditemukan dalam air mata manusia

dan kelinci. Tetes mata vitamin A efektif untuk pengobatan dry eye. Vitamin A

memiliki peran penting dalam meregulasi proliferasi dan diferensiasi sel epitel

kornea, membantu pertumbuhan normal sel, diferensiasi, dan memelihara sel

goblet konjungtiva. Keberhasilan vitamin A (retinol palmitat) ditunjukkan dalam

studi yang menilai regenerasi sel-sel goblet konjungtiva pada pasien dry eye.

Kobayashi et al. (1997) melaporkan bahwa pengobatan dengan retinol palmitat

untuk dry eye memberikan hasil perbaikan pada analisa sitologi setelah 4 minggu.

Dosis yang diberikan adalah 1 tetes larutan yang mengandung 1000 IU/ml vitamin

A, diberikan empat kali sehari selama empat minggu. Vitamin A topikal yang

digunakan empat kali sehari telah menunjukkan perbaikan keluhan kabur, nilai

Schirmer tanpa anestesi dan analisis sitologi impresi. Salep asam retinoat 0,05%

merupakan terapi efektif untuk keratinisasi pada penyakit-penyakit sikatrik yang

26

melibatkan kornea dan konjungtiva (Holland, et al., 2013; Kim E.C., et al., 2009;

Yavuz, et al., 2012).

Gambar 2.5 Struktur kimia vitamin A (Tanumihardjo, 2012)

Polyvinil pyrrolidone (povidone) adalah polimer sintetis yang larut air

dengan berat molekul berkisar antara 40.000 sampai 360.000, bekerja sebagai

surfaktan non ion. Povidone disintesis melalui proses polimerisasi dari vinyl

pyrrolidone dalam air atau isopropanol. Povidone tersedia dalam beberapa kelas

berdasarkan berat molekulnya. Semua kelas povidone dapat digunakan sebagai

polimer hidrofilik yang secara fisik dapat menstabikan suspensi. Fungsi dari

povidone adalah sebagai pengikat, meningkatkan biovailabilitas, melapisi,

melarutkan, memberi rasa, membekukan, menstabilkan, menarik air, melekatkan,

menurunkan toksisitas. Povidone digunakan sebagai tetes mata karena memiliki

sifat stimulasi musin sehingga sering dikombinasikan dengan sediaan musin dan

suplemen akuous. Povidone juga membantu untuk mempertahankan air mata pada

kornea lebih lama (Grahn, et al., 2004; Kadajji, et al., 2011).

27

Gambar 2.6 Struktur Polyvinyl Pyrrolidone (Kadajji, et al., 2011)

Sodium hyaluronate telah ditemukan sangat bermanfaat dalam

penyembuhan kornea. Karbomer memberikan peran yang sangat baik sebagai

perekat dan memiliki retensi waktu yang lebih tinggi. Tetes mata yang

mengandung lipid bertujuan membangun kembali lapisan lipid. Pengganti air

mata yang mengandung nutrisi saat ini telah banyak tersedia (Holly, 2004; Laqua,

2004).