bab ii kajian pustaka 2.1 entrepreneurial marketing (em) · 2017. 4. 11. · 55 bab ii kajian...
TRANSCRIPT
55
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Entrepreneurial Marketing (EM)
Menurut Kraus et al. (2009), pemasaran dalam usaha kecil dan usaha baru
(new and small ventures) menghadapi beberapa tantangan yang selama ini dapat
diatasi dengan pendekatan kewirausahaan pada pemasaran. Pemasaran
(marketing) dan kewirausahaan (entrepreneurship) telah dianggap secara
tradisional sebagai dua bidang studi yang berbeda. Istilah “entrepreneurial” bisa
ditafsirkan sebagai orientasi strategik yang memengaruhi fungsi organisasi
pemasaran. Entrepreneurship adalah kata sifat yang menggambarkan pendekatan
pemasaran yang mencakup peluang pasar dalam hal pelaksanaan yang efektif
tentang harga, tempat, promosi, dan strategi produk yang dikenal dengan
singkatan 4P, serta berani mengambil risiko, inovatif, dan proaktif (Kraus et.al.,
2009). Beberapa definisi EM, di antaranya dinyatakan oleh Backbro and Nystrom
(2006) bahwa EM merupakan upaya untuk membangun dan mempromosikan ide-
ide pasar saat mengembangkan pasar baru untuk menciptakan nilai. Sementara
Hill and Wright (2000) menyatakan bahwa EM merupakan pemasaran perusahaan
kecil yang berkembang melalui kewirausahaan. Di pihak lain pendapat Miles and
Darroch (2006), EM adalah sebuah pertalian dalam proses pemasaran yang
menekankan pada penciptaan atau penemuan, evaluasi, dan eksploitasi terhadap
peluang.
Kraus dkk. (2009) mengusulkan definisi baru pemasaran kewirausahaan:
"Pemasaran Wirausaha adalah fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk
56
membuat, berkomunikasi, serta memberikan nilai kepada pelanggan dan untuk
mengelola hubungan pelanggan dengan cara menguntungkan organisasi dan para
pemangku kepentingan, dan yang ditandai dengan inovasi, proaktif mengambil
risiko, dan mungkin dilakukan tanpa sumber daya saat ini dikendalikan."
Entrepreneurial Marketing merupakan metode pemasaran interaktif, yang bekerja
erat dengan konsumen dan menggunakan komunikasi berita dari mulut ke mulut
untuk menemukan konsumen baru. Jiwa wirausaha membuat seseorang mudah
terbentuk menjadi tenaga pemasar yang tangguh, sangat peka terhadap
perkembangan lingkungan dengan cepat ditangkap sebagai kesempatan pasar
yang terbuka untuk menciptakan produk yang akan ditawarkan di pasar.
Beberapa definisi tersebut masih dianggap lebih umum dalam aplikasinya
(Morrish and Deacon, 2009; Kurgun et al., 2011). Di samping itu EM acap kali
diartikan sebagai kegiatan pemasaran di dalam perusahaan yang berukuran kecil
dan sangat peduli terhadap sumber daya yang terbatas sehingga perusahaan
tersebut harus lebih kreatif. Secara lebih luas, Kotler (2010) mengemukakan
bahwa agar pemasaran pada saat ini dapat berjalan secara efektif, maka disiplin
pemasaran membutuhkan strategi yang berbeda pada setiap tingkatan dan keadaan
yang berbeda. Pendapat ini mengandung makna bahwa diperlukan upaya-upaya
yang penuh inovatif dan proaktif dan berani menanggung risiko pada situasi bisnis
yang selalu berubah dan tidak menentu. Dengan demikian, EM didefinisikan
sebagai identifikasi yang bersifat proaktif serta pemanfaatan peluang untuk
memperoleh dan mempertahankan pelanggan secara menguntungkan melalui
pendekatan yang bersifat inovatif terhadap manajemen risiko (risk management),
penggunaan sumber daya, dan penciptaan nilai. EM menggambarkan tersedianya
57
peluang pasar, yaitu pemasar secara proaktif mencari cara-cara baru dan unik
untuk menciptakan values bagi pelanggan sehingga tercipta hubungan yang
menguntungkan dan berjangka panjang. Pemasar tidak lagi bergantung kepada
sumber daya yang saat ini dimiliki. Begitu juga, inovasi yang berhubungan
dengan produk dan pasar mencerminkan tanggung jawab utama dari pemasaran
dan selanjutnya dapat menciptakan sustainable competitive advantages (Morris et
al., 2002).
Teori yang mendasari EM pada dasarnya adalah gabungan dari teori
entrepreneurship dan skema teoretis dari disiplin pemasaran. Sehubungan dengan
itu, EM dapat diaplikasikan dalam semua kombinasi yang baik dalam organisasi
profit dan non profit (Morris et al., 2002) sehingga muncul istilah social
entreprenueurship dan public sector entrepreneurship. Di samping itu, juga dapat
diaplikasikan, baik pada organisasi mikro maupun makro. Pada level mikro, EM
diaplikasikan oleh organisasi secara individu, sedangkan pada level makro
dilakukan oleh serangkaian organisasi yang membentuk value added chain, group
industry, dan atau aliansi strategis yang terdiri atas berbagai jenis industri.
Mort et al. (2012) menyatakan bahwa ada empat dimensi EM, yaitu
opportunity creation, customer intimacy based innovative products, resource
enhancement, dan legitimacy. Sementara itu, pendapat dari Morris et al. (2002)
menyatakan ada tujuh dimensi entrepreneurial marketing yaitu risk taking.
proactivenes, opportunity- focused (opportunity-driven), innovativeness, customer
intensity, resource leveraging dan value creation. Dimensi-dimensi dari tersebut
didukung oleh hasil penelitian Miles and Darroch (2006), dan juga hasil penelitian
Morrish and Deacon (2009).
58
Dalam penelitian ini, ada 7 (tujuh) dimensi yang mendasari EM
digunakan, yang merupakan perpaduan antara entrepreneurship dan marketing.
Tiga dari dimensi yaitu: pengambilan risiko, proaktif dan fokus pada peluang
adalah diambil dari pengertian entrepreneurial orientation (Lumpkin and Dess,
1996). Dimensi keempat dan kelima yaitu fokus pada inovasi (Innovativeness) dan
memanfaatkan sumber daya yang juga merupakan dimensi yang ada pada
Entrepreneurial marketing Morris et al. (2002). Dua dimensi terakhir yaitu
intensitas pada pelanggan dan penciptaan nilai adalah berkaitan dengan makna
market orientation dari perusahaan (Jaworski and Kohli, 1998). Selanjutnya
dijelaskan masing-masing dimensi dalam EM.
1) Risk-taking (Pengambilan Risiko)
Dalam hubungannya dengan pencarian peluang dalam lingkungan yang
tidak menentu, pemasar akan membuat perkiraan risiko yang mungkin akan
terjadi. Risiko berhubungan dengan berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya,
antara lain pemilihan jenis produk, penentuan proses, pelayanan, atau pasar yang
akan ditargetkan. Lebih lanjut, sumber daya ini akan dikelola sedemikian rupa
sehingga dapat menghasilkan return yang tinggi dengan biaya yang efisien. Cara
yang dapat ditempuh, antara lain adalah mengadakan kerja sama pemasaran
dengan perusahaan lain, seperti mengadakan aliansi strategis, oursourcing. Cara-
cara seperti ini bisa jadi bertentangan dengan cara pemasaran secara konvensional,
yaitu mengurangi risiko dengan mengoptimalkan penjualan dari pelanggan yang
ada saat ini saja dengan mengedepankan promosi.
59
2) Proactiveness (Proaktif)
Sejauh ini telah dipahami secara umum bahwa industri dan pasar adalah
kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan
memproduksi, menjual, dan mendistribusikan produk yang ditawarkan. Di
samping itu ditambah dengan meningkatnya persaingan maka perusahaan akan
secara terus menerus mencari jalan untuk memperoleh daya saing
(competitiveness) melalui perubahan yang lebih baik dalam metode produksi,
penjualan, dan distribusi. Berdasarkan pendekatan konvensional, diketahui bahwa
fungsi pemasaran bersifat responsif, yaitu mempelajari dan memahami kondisi
sekarang serta kecenderungan perubahannya dan selanjutnya membuat
rekomendasi sehingga perusahaan mampu memanfaatkan kondisi tersebut. Jadi,
dalam hal ini tampak adanya pengaruh luar terlebih dahulu yang memengaruhi
perubahan internal.
Karena sifatnya yang responsif, perusahaan berfokus pada bagaimana
merespons kebutuhan nyata pelanggan sehingga terdapat kecenderungan tidak
mengembangkan produk baru untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang tidak
diidentifikasi dengan jelas atau kebutuhan yang muncul kemudian secara tiba-tiba
(Hamel and Prahalad, 1994). Di sinilah diperlukan EM, yaitu suatu pendekatan
yang bermuatan sikap proactive dan aggressive terhadap inovasi untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan yang ada sekarang dan yang baru muncul yang sebelumnya
tidak dinyatakan dengan jelas oleh pelanggan (Miller and Friesen, 2003).
Pada dasarnya EM tidak mempertimbangkan faktor eksternal sebagai
sesuatu yang terjadi apa adanya (given) sedemikian rupa sehingga selanjutnya
perusahaan bereaksi dan menyesuaikan diri dengan faktor internal tersebut (Gima
60
and Ko, 2001). Sikap proaktif adalah sikap mengambil inisiatif tindakan lebih
awal untuk memengaruhi dan mengambil manfaat atas suatu keadaan tertentu.
Sikap proaktif memandang kondisi lingkungan sebagai horizon, yaitu pemasar
selalu berusaha memandang kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga dapat
mengurangi ketidakpastian dan ketergantungan perusahaan terhadap kondisi yang
berbahaya, bahkan mengambil manfaat dari kondisi itu. Sehubungan dengan itu,
pemasar menyusun strategi manajemen untuk mengelola kondisi lingkungan, baik
secara sendiri-sendiri maupun secara bekerja sama dengan network partners
sehingga dapat mengubah sedemikian rupa dan memberikan peluang perusahaan
untuk merancang kapan, di mana, dan bagaimana perusahaan bersaing. Dengan
demikian, variabel pemasaran bukan saja sebagai variabel yang memengaruhi
perubahan, melainkan juga sebagai variabel yang dapat diubah untuk menciptakan
peluang (Morris et al., 2002). Terobosan semacam ini diperlukan untuk
menghadapi tekanan pasar sehingga perusahaan dapat mengendalikan, bukan
dikendalikan oleh pelanggan (Hamel and Prahalad, 1992). Akan tetapi, kerugian
yang muncul akibat dari dengan customer-leading orientation ini adalah produk
yang diluncurkan mungkin mengalami kegagalan, baik karena ketertinggalan
teknologi maupun karena tidak diterima oleh pasar karena kebutuhan pasar yang
berubah (Slater and Narver, 1996).
3) Opportunity-Focus (Fokus pada Peluang)
Pada dasarnya terdapat dua macam pendekatan manajemen, yaitu
pendekatan yang bersifat administratif dan pendekatan yang bersifat
entrepreneurial (Lumpkin and Dess, 1996). Pendekatan yang bersifat
61
administratif menekankan pentingnya efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya
yang dimiliki saat ini, sedangkan pendekatan yang bersifat entrepreneurial
mengutamakan pemanfaatan peluang terlepas dari sumber daya yang dimiliki.
Jadi, pengakuan dan pemanfaatan peluang merupakan dasar dari entrepreneurship
dan selanjutnya menjadi dimensi utama dari EM.
Peluang (opportunity) pada dasarnya mencerminkan celah pasar yang
merupakan sumber potensi untuk menghasilkan laba bilamana celah pasar tersebut
dimanfaatkan. Bagaimana memahami pasar yang tidak menentu ini dan
bagaimana memanfaatkannya merupakan inti dari EM. Tersedianya peluang
cenderung memiliki kaitan langsung dengan tingkat perubahan kondisi
lingkungan. Oleh karena itu, timbul kebutuhan pemasar untuk melibatkan diri,
baik dalam kegiatan search maupun discovery (Morri et al., 2002). Lebih lanjut,
pemanfaatan peluang bermakna bahwa pemasar memerlukan proses pembelajaran
dan adaptasi yang terus-menerus serta dan berkesinambungan, baik sebelum,
selama, maupun sesudah implementasi secara nyata konsep inovasi. Selanjutnya,
Morris et al. (2002) mengatakan bahwa sampai sejauh ini perhatian cendekiawan
pemasaran lebih banyak kepada masalah aktivitas pemetaan kondisi lingkungan
(environmental scanning activities). Artinya, kurang menekankan perhatian pada
masalah identifikasi dan pemanfaatan peluang (identification and pursuit of
opportunity). Bagi EM, kebutuhan akan fokus eksternal dan environmental
scanning activities dipandang sebagai sesuatu yang penting, tetapi hal ini saja
tidak cukup.
Identifikasi dan pemanfaatan peluang perlu juga didekati secara lebih
khusus sebagai suatu proses yang kreatif. Aktivitas scanning dapat membantu
62
mengidentifikasi kecenderungan dan perkembangan. Akan tetapi, kemampuan
untuk memahami keadaan secara nyata yang mencerminkan keadaan pasar yang
tidak menentu membutuhkan kreativitas tertentu. Lebih lanjut, Hamel and
Prahalad (1992) menyatakan bahwa pemasar harus dapat mengembangkan
peluang yang terbentang secara horizon jauh melebihi apa yang dipaksakan oleh
pelanggan. Selain itu, juga dapat menghindar dari tekanan pasar saat ini (escaping
the tyranny of the served market).
4) Innovativeness (Inovasi)
Wu et al. (2008) menyatakan bahwa inovasi didefinisikan sebagai suatu
ide, suatu produk atau suatu proses, atau sistem yang dianggap baru. Sementara
menurut Hitt et al. (1997) dan Tidd (2009), inovasi didefinisikan sebagai
membuka pintu baik secara global maupun keunggulan kompetitif internasional
melalui: penciptaan pasar dengan produk baru atau unik, menyediakan sumber
daya yang diperlukan untuk mengembangkan produk melalui pembelajaran dan
menciptakan nilai-nilai baru yang membentuk lingkungan yang kompetitif.
Menurut Kotler and Keller (2012), inovasi adalah barang, jasa atau ide yang
beberapa orang mempersepsikan sebagai sesuatu yang baru, tidak peduli berapa
lamanya sejarahnya, sedangkan Wang and Ahmed (2004) menyatakan inovasi
perusahaan sebagai keseluruhan kemampuan inovatif untuk memperkenalkan
produk baru ke pasar, atau membuka pasar baru, melalui penggabungan orientasi
strategis dengan perilaku inovatif dan proses. Oslo Manual (2005) menyatakan
innovation is the implementation of a new or significantly improved product (good
63
or service), or process, a new marketing method, or a new organizational method
in business practices, workplace organization or external relations.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, inovasi dapat dikatakan penciptaan
pasar dengan produk baru atau unik, menyediakan sumber daya yang diperlukan
untuk mengembangkan produk melalui pembelajaran, dan menciptakan nilai-nilai
baru yang membentuk lingkungan yang kompetitif.
5) Value Creation (Penciptaan Nilai)
Inti pemasaran adalah pertukaran dan perkembangan dewasa ini ditambah
dengan pentingnya hubungan (relationship). Namun, inti entrepreneurial
marketing adalah innovative value creation dengan asumsi bahwa value creation
merupakan syarat yang mendasar sebelum terjadinya pertukaran dan relationship.
Tugas marketer itu adalah mencari sumber daya yang belum digunakan dan
menciptakan kombinasi yang unik atas sumber daya untuk menciptakan values.
Dalam pasar yang dinamis, the value creation harus didefinisikan secara terus-
menerus (Srivastava et al., 1999). Tanggung jawab pemasar secara terus-menerus
adalah memanfaatkan segala sumber daya, baik yang ada maupun yang belum
ada, untuk menciptakan values. Dengan demikian, jumlah value baru yang
dihasilkan merupakan sebagai ukuran sejauh mana pemasar mampu menghasilkan
inisiatif pemasaran.
6) Customer-Intensity (Intensitas pada pelanggan)
Aktivitas EM jauh melampaui perspektif konvensional yang
mementingkan perlunya market orientation dan customer centricity. Artinya, EM
64
menekankan pentingnya customer equity, visceral relationships, dan emotional
dimension to the firm’s marketing efforts (Srivastava et al., 1999). EM
menggabungkan kebutuhan akan pendekatan-pendekatan kreatif dengan kegiatan
membangun, mengembangkan, dan mempertahankan pelanggan. Konsep dasar
atas hubungan yang dekat dengan pelanggan menghasilkan pengetahuan yang
dinamis tentang perubahan kondisi dan kebutuhan pelanggan. Akan tetapi, juga
terdapat perbedaan, yaitu fokus dominan relationship marketing adalah pada
pengelolaan hubungan yang ada sekarang, sedangkan pendekatan EM berfokus
pada pendekatan inovatif yang berhubungan dengan bagaimana menciptakan
hubungan baru atau menggunakan hubungan yang ada untuk menciptakan pasar
baru.
7) Resource Leveraging (Memanfaatkan Sumber Daya)
Secara mendasar leveraging berarti mengerjakan sesuatu sehingga menjadi
lebih (baik atau banyak) dengan upaya yang lebih kecil. Entrepeneurial marketing
tidak banyak bergantung pada sumber daya yang dimiliki saat ini saja, melainkan
mampu mengadakan leverage terhadap sumber daya dengan berbagai macam
cara, sedangkan Entrepreneurship mengembangkan sebuah kapasitas yang kreatif
untuk memanfaatkan sumber daya. Mereka mengetahui sumber daya mana yang
belum dipakai secara optimal dan bagaimana sumber daya ini akan dipakai tidak
secara kovensional. Mereka juga mampu mendorong anggota tim untuk bekerja
melebihi jam kerja biasa, mendorong departemen dan unit kerja untuk lebih
meningkatkan kinerja yang secara normal tidak pernah dicapai atau
menggabungkan beberapa sumber daya menjadi sumber daya yang sinergis.
65
Bentuk lain dari pendayagunaan sumber daya adalah kemampuan untuk
menggunakan sumber daya orang lain untuk mencapai tujuan entrepreneurship.
Kegiatan ini meliputi, antara lain kegiatan menyewa, jual sewa, bagi hasil, atau
outsourcing. Kegiatan ini dapat diterapkan secara internal pada setiap departemen
dan unit kerja dalam perusahaan atau secara eksternal dalam hubungannya dengan
pemasok, agen, pelanggan.
2.2. Customer Relationship Marketing (CRM)
Secara terpisah, relationship marketing diartikan sebagai suatu proses
untuk menciptakan, mempertahankan, dan meningkatkan hubungan yang kuat
antara perusahaan dan para pelanggan serta stakeholder lainnya. Selain
merancang strategi baru untuk menarik pelanggan baru dan menciptakan transaksi
dengan mereka, perusahaan terus menerus berjuang untuk mempertahankan
pelanggan yang ada. Selain itu, membangun relasi jangka panjang yang mampu
mendatangkan laba dengan mereka (Kotler and Amstrong, 2010).
Velnampy and Sivesan (2012) menyatakan bahwa relationship marketing
merupakan konsep yang sangat penting untuk menarik dan mempertahankan
pelanggan dalam sebuah organisasi. Dalam dunia bisnis modern, fokus pemasaran
mencerminkan pergerakan perubahan dari pemasaran transaksional ke
relationship marketing. Upaya membangun, memelihara, dan selalu
meningkatkan hubungan pelanggan merupakan aspek penting dari bisnis.
Sementara customer relationship marketing atau CRM (pemasaran hubungan
pelanggan) pada hakikatnya merupakan hubungan relasional yang mengacu pada
semua aktivitas pemasaran yang bertujuan untuk membangun, mengembangkan,
66
dan mempertahankan interaksi hubungan yang sukses yang bersifat jangka
panjang. Velnampy and Sivesan (2012) menemukan bahwa CRM berhubungan
positif dengan customer value creation yang termasuk bagian dari inovasi proses.
Berry (1983) memandang CRM sebagai sebuah strategi untuk menarik,
mempertahankan, dan meningkatkan hubungan pelanggan. Senada dengan itu,
Winer (2001), mendefinisikan CRM sebagai strategi untuk membangun hubungan
yang baik dengan pelanggan dalam jangka panjang dengan menkombinasikan
kemampuan untuk merespon secara langsung dan untuk melayani pelanggan
dengan interaksi yang tinggi. Untuk mendukung penerapan strategi CRM,
diperlukan suatu perangkat berupa pendekatan manajemen, yaitu customer
relationship management.
Menurut Moorman et al. (1993), dalam melaksanakan CRM, kepercayaan
(trust) merupakan “sebuah kesediaan untuk mengandalkan mitra (partner)
interaksi untuk menaruh kepercayaan bagi seseorang”. Di pihak lain Oliver
(1999) mendefinisikan CRM sebagai sebuah komitmen yang dipegang secara
mendalam untuk membeli kembali sebuah produk pada masa depan meskipun
terdapat pengaruh situasional dan upaya pemasaran yang berpotensi menyebabkan
perilaku beralih ke produk lain.
Di sisi lain, Gundlach et al. (1995) menyatakan bahwa komunikasi
merupakan determinan penting dari kekuatan CRM dan sebuah konstruk yang
berguna untuk mengukur kemungkinan loyalitas pelanggan dan memprediksi
frekuensi pembelian pada masa depan. Menurut Dwyer et al. (1987), dalam
pelaksanaan CRM, penanganan konflik (conflict handling) sebagai kemampuan
pemasok untuk menghindari konflik potensial, memecahkan konflik sebelum
67
menimbulkan permasalahan, dan membahas solusi secara terbuka ketika
permasalahan timbul.
Menurut Sivesan (2012), dinyatakan bahwa tujuan utama CRM adalah
untuk meningkatkan hubungan yang kuat antara pemasar dan pelanggan dengan
cara mengonversi atau menjadikan pelanggan yang acuh tak acuh lebih loyal.
Adapun tujuan jangka panjangnya adalah menghasilkan keuntungan terus
menerus dari dua kelompok pelanggan yaitu pelanggan yang sekarang dan
pelanggan baru (Chan, 2003). Selama ini penelitian lebih banyak mengenai
relationship marketing dan penelitian tersebut selalu menekankan dimensi trust
dan commitmen, hal ini didukung oleh pernyataan Palmetier et al. (2009),
sedangkan Sivesan (2012) menyatakan bahwa ada empat faktor yang
memengaruhi relationship marketing, yakni trust, commitment, communication
dan conflict handling.
Berdasarkan literatur terkait dengan masa lalu bahwa relationship
marketing bersifat multidimensi yang terdiri atas enam komponen yaitu
kepercayaan, komitmen, komunikasi, membagi nilai, empati, dan timbal balik
dijelaskan (Callaghan et al., 1995; Morgan and Hunt, 1994). Untuk
memaksimalkan kinerja bisnis jangka panjang dalam aspek seperti pertumbuhan
pelanggan, retensi penjualan, dan profitabilatas, harus dibangun, dipelihara, dan
ditingkatkan hubungan jangka panjang agar saling menguntungkan dengan
pembeli sasaran.
68
1) Kepercayaan (Trust)
Kepercayaan secara umum dipandang sebagai unsur mendasar bagi
keberhasilan relationship marketing. Tanpa adanya kepercayaan suatu hubungan
tidak akan bertahan dalam jangka panjang. Morgan and Hunt (1994) menyatakan
bahwa kepercayaan merupakan landasan strategi partnership ketika terdapat
pihak-pihak yang mempunyai keinginan untuk komit atau mengikat diri mereka
pada suatu hubungan tertentu. Kepercayaan merupakan faktor terbentuknya
komitmen karena komitmen mencakup faktor–faktor kepercayaan dan
pengorbanan. Komitmen tidak akan terbentuk tanpa adanya kepercayaan.
Disamping itu, Morgan and Hunt (1994) menyatakan bahwa kepercayaan secara
signifikan memengaruhi komitmen dalam suatu hubungan. Kepercayaan juga
merupakan keyakinan yang dimiliki dalam hubungan dengan partner kerja terkait
dengan sikap jujur dan saling membantu satu sama lain. Kepercayaan tercipta
ketika suatu pihak merasa nyaman melakukan pertukaran dengan pihak lain
dengan penuh kejujuran dan dapat dipercaya. Untuk mendapatkan kepercayaan
pelanggan maka perusahaan harus melakukan komunikasi secara efektif,
mengadopsi norma-norma yang diyakini pelanggan, dan menjauhi penilaian yang
negatif (Morgan and Hunt, 1994).
2) Komitmen (Commitment)
Komitmen adalah kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku
pribadi dengan kebutuhan, prioritas, dan tujuan organisasi. Hal ini mencakup cara-
cara mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi yang intinya
mendahulukan misi organisasi daripada kepentingan pribadi (Soekidjan, 2009).
69
Menurut Meyer and Allen (1991), komitmen juga dapat berarti penerimaan yang
kuat individu terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi. Selain itu, individu
berupaya, berkarya dan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di
organisasi tersebut.
Komitmen juga merupakan suatu keyakinan antara pihak terkait yang
menginginkan adanya hubungan yang terus-menerus dan dinilai penting dalam
rangka menjaga hubungan tersebut. Komitmen perusahaan merupakan inti dari
relationship marketing. Komitmen perusahaan dapat diperoleh dengan cara
menjadikan pelanggan sebagai prioritas utama, berjangka panjang, dan
berdasarkan hubungan yang saling menguntungkan. Komitmen perusahaan juga
dapat diartikan sebagai janji atau ikrar perusahaan untuk memelihara hubungan
yang telah terjalin dengan baik karena hubungan tersebut memiliki arti penting
(Morgan and Hunt, 1994). Ndubisi (2007) menyatakan bahwa komitmen
perusahaan dapat ditujukan dengan terus-menerus melakukan pembelajaran untuk
menyediakan kebutuhan pelanggan. Di samping itu, kualitas layanan akan
meningkatkan kepuasan pelanggan, yang pada akhirnya akan membawa
perusahaan pada terciptanya hubungan yang erat dengan pelanggan.
Meyer and Allen (1991) membagi komitmen menjadi tiga macam atas
dasar sumbernya yaitu sebagai berikut.
a) Affective commitment, yaitu keinginan secara emosional terikat dengan
organisasi, identifikasi dan keterlibatan berdasarkan atas nilai-nilai yang
sama.
b) Continuance commitment, yaitu komitmen didasari oleh kesadaran akan
biaya-biaya yang akan ditanggung jika komitmen dilanggar.
70
c) Normative commitment, yaitu komitmen berdasarkan perasaan wajib
sebagai bagian dari lingkungan bisnis sejenis. Di sini terjadi juga
internalisasi norma-norma yang ada dalam masyarakat.
3) Komunikasi (Communication)
Ketika suatu konflik muncul di dalam suatu perusahaan, penyebabnya
selalu diidentifikasikan sebagai hasil dari komunikasi yang kurang baik.
Perusahaan harus mengelola komunikasi dengan baik karena komunikasi yang
gagal kemungkinan dapat menyebabkan hal yang merugikan seperti
kesalahpahaman atau kebingungan. Keefektivan komunikasi merupakan
kemudahan mendapatkan informasi yang benar dan tepat sehingga pelanggan
yang ingin melakukan transaksi dapat secara langsung mengambil keputusan
untuk memilih sesuai dengan kebutuhannya. Ketepatan informasi yang diperoleh
secara tidak langsung dapat memengaruhi loyalitas pelanggan. Komunikasi
merupakan sarana yang sangat penting ketika ingin membangun hubungan dengan
seseorang. Komunikasi merupakan alat perekat hubungan antara perusahaan dan
pelanggan, sehingga komunikasi mempunyai peran vital dalam membina
hubungan. Perusahaan yang orientasinya berusaha memenuhi keinginan dan
kebutuhan pelanggan serta berusaha mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan
sangat membutuhkan peran komunikasi.
Komunikasi dalam relationship marketing berhubungan dengan nilai yang
diperoleh pelanggan, informasi yang tepat dan dapat dipercaya yang diberikan
perusahaan, informasi mengenai adanya perubahan jasa yang ditawarkan, dan
komunikasi yang proaktif ketika terjadi masalah antara perusahaan dan pelanggan.
71
Pelanggan selalu menginginkan terciptanya komunikasi yang efektif dengan
perusahaan. Komunikasi yang baik tentu dapat meningkatkan kepercayaan
pelanggan terhadap perusahaan.
4) Penanganan Konflik (Conflict Handling)
Dalam setiap hubungan, baik sosial maupun ekonomi, selalu terdapat rasa
saling ketergantungan di antara semua pihak. Perusahaan dan pelanggan yang
saling bergantung harus dapat menciptakan hubungan yang saling mendukung
satu sama lain. Namun pada kenyataanya hubungan yang saling bergantung
tersebut dapat menciptakan konflik yang disebabkan oleh berbagai macam hal.
Hal-hal yang berpotensi menimbulkan konflik tidak hanya yang berkaitan dengan
produk, melainkan juga berkaitan dengan pelayanan, keramahan (courtesy), sikap
sopan santun, perhatian, dan sikap kepedulian karyawan atau penyedia jasa
tersebut. Kemampuan penanganan konflik mengacu pada kemampuan perusahaan
untuk mencegah atau meminimalkan dampak dari hal-hal yang potensial dapat
menimbulkan konflik dan kemampuan menyelesaikan konflik nyata yang sudah
terjadi. Konflik dapat menjadi masalah yang serius di dalam perusahaan dan
kemungkinan berpotensi menurunkan kinerja jika dibiarkan berlarut-larut tanpa
penyelesaian.
Penanganan konflik merupakan tindakan khusus pada saat melakukan
interaksi dengan pelanggan (Ball et al., 2004). Kemampuan pihak perusahaan
dalam menangani konflik dengan baik akan memberikan kepuasan pada
pelanggan dan menyebabkan pelanggan menjadi loyal (Ndubisi, 2007). Sivesan
(2012) menyatakan bahwa jika suatu perusahaan dapat dipercaya, berkomitmen
72
untuk layanan, dapat diandalkan, efisien dalam berkomunikasi dengan pelanggan,
dan mampu menangani masalah dengan baik, maka konsumen akan cenderung
setia terhadap produk. Sivesan juga menyarankan bahwa perusahaan harus
menjaga hubungan baik dengan para pelanggannya untuk mendapatkan loyalitas.
Keempat dimensi tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan,
yang bertujuan untuk mewujudkan hubungan yang baik antara perusahaan
pelanggan sehingga akan tercipta suatu hubungan yang saling menguntungkan
dalam jangka panjang antara pelanggan dan perusahaan. Upaya membangun
kepercayaan, komitmen, kompetensi, komunikasi dan kemampuan penanganan
konflik merupakan kunci pokok dalam penerapan CRM.
Saat ini CRM telah berkembang menjadi paradigma baru bagi strategi
pemasaran. CRM mampu memberdayakan kekuatan keinginan pelanggan dengan
tekanan teknologi informasi untuk memberikan kepuasan pada nasabah.
Cakupannya meliputi tuntutan manajemen mutu terpadu secara global utnuk
menghadapi kebutuhan bisnis dengan pelanggan dan lebih agresif. Rangsangan
yang ingin dibangkitkan dari konsep CRM adalah metode-metode dalam menarik
perhatian, memelihara kepuasan nasabah, serta meningkatkan dan mempererat
hubungan kepuasan dengan pelanggan. Dengan kata lain, CRM berupaya
memperpanjang umur waktu hidup pelanggan (Tung, 1997).
2.3 Inovasi Produk (Product Innovation)
Perusahaan paling inovatif terlibat dalam pencarian terus-menerus untuk
produk yang lebih baik, layanan, dan cara melakukan sesuatu. Perusahaan
mencoba untuk terus meningkatkan kemampuan internal dan sumber daya
73
lainnya. Semakin lebih inovatif perusahaan-perusahaan suatu negara, semakin
kuat keunggulan kompetitif negara tersebut. Perusahaan lebih produktif adalah,
lebih efisien menggunakan sumber dayanya (Yang, et al., 2011). Sementara itu,
Wu et al. (2008) mendefinisikan inovasi sebagai suatu ide, suatu produk atau
proses, atau sistem yang dianggap baru. Menurut Tidd (2009), inovasi
didefinisikan sebagai membuka pintu baik secara global maupun keunggulan
kompetitif internasional melalui: penyediaan pasar dengan produk/jasa baru atau
unik; menciptakan hambatan masuk yang menyediakan sumber daya yang
diperlukan untuk mengembangkan inovasi melalui pembelajaran; dan
menciptakan nilai-nilai baru yang membentuk aturan lingkungan yang kompetitif.
Secara umum Kotler and Keller (2009) menyatakan inovasi adalah barang, jasa
atau ide yang beberapa orang mempersepsikan sebagai sesuatu yang baru, tidak
peduli berapa lamanya sejarahnya, sedangkan menurut Wang and Ahmed (2004)
dinyatakan inovasi organisasi sebagai keseluruhan kemampuan inovatif organisasi
untuk memperkenalkan produk baru ke pasar, atau membuka pasar baru, melalui
penggabungan orientasi strategis dengan perilaku inovatif dan proses.
Selanjutnya Tidd et al. (2009) menyatakan bahwa inovasi tidak hanya
berpikir bagus, sebenarnya perlu disadari dari tindakan aktual. Inovasi terdiri atas
dari konsep asli, inovasi dari para anggotanya dan produk atau jasa yang nyata.
Beberapa ahli manajemen meyakini bahwa inovasi merupakan sumber utama
untuk keunggulan kompetitif. Di samping itu, telah terbukti bahwa inovasi
memainkan peranan penting dalam perkembangan ekonomi (Agbor, 2008; Chen
and Chen, 2009; Gumusluoglu and Ilsev, 2009; Karkalakos, 2013).
74
Gambar 2.1 berikut yang dikutip dari Tidd et al. (2009) menunjukkan
bahwa dalam setiap jenis inovasi ada penciptaan nilai yang timbul dari biaya,
kualitas, dan kinerja. Salah satu di antaranya adalah product innovation.
Sumber: Joe Tidd. Managing Innovation for Global
Competitiveness.Renaissance Project Symposium. Tokyo,16 March 2009
pp: 09
Gambar 2.1 :
Penciptaan nilai yang timbul dari Biaya, Kualitas, dan Kinerja
Johne (1999) membedakan tiga jenis inovasi: inovasi produk, inovasi
proses, dan inovasi pasar. Inovasi organisasi berkaitan dengan desain format
organisasi baru dan filosofi manajemen baru. Inovasi perilaku berkaitan dengan
aktivitas inovasi dari organisasi perusahaan. Di pihak lain Meeus dan Edquist
(2006) membagi inovasi produk menjadi dua kategori yakni barang baru dan
layanan baru. Keduanya juga membagi inovasi proses menjadi dua yaitu inovasi
kategori-teknologi dan organisasi.
Definisi inovasi produk menurut Crawford and De Benedetto (2000)
adalah “Inovasi yang digunakan dalam keseluruhan operasi perusahaan di mana
sebuah produk baru diciptakan dan dipasarkan, termasuk inovasi di segala proses
75
fungsional kegunaannya.” Hurley and Hult (1998) mendefinisikan inovasi sebagai
sebuah mekanisme perusahaan untuk beradaptasi dalam lingkungan yang dinamis.
Sehubungan dengan itu, perusahaan dituntut untuk dapat menciptakan pemikiran-
pemikiran baru, gagasan-gagasan baru, menawarkan produk yang inovatif dan
meningkatkan pelayanan yang memuaskan pelanggan. Inovasi dapat dilakukan
pada barang, pelayanan, atau gagasan-gagasan yang diterima oleh seseorang
sebagai sesuatu yang baru, sehingga mungkin saja suatu gagasan telah muncul di
masa lampau, tetapi dapat dianggap inovatif bagi konsumen yang baru
mengetahuinya. Seringkali orang berpendapat bahwa dengan melakukan inovasi
pada suatu hal maka seseorang telah melakukan perubahan yang bersifat positif
yang mengarah pada kemajuan. Pendapat tersebut memang benar adanya, tetapi
perubahan (dalam bentuk apa pun) tersebut bagi sebagian konsumen sesuatu yang
sulit diterima begitu saja.
Berdasarkan definisi inovasi produk di atas, dapat dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan inovasi produk adalah “suatu usaha yang dijalankan perusahaan
untuk menciptakan produk baru yang bertujuan untuk menyesuaikan dengan
selera konsumen dan dapat meningkatkan penjualan.”Dapat dikatakan bahwa
bertambah banyaknya jumlah barang yang ditawarkan kepada konsumen dan
ditunjang dengan arus informasi tentang produk yang mudah diperoleh
menyebabkan mereka semakin selektif dalam membeli suatu barang, baik dalam
kualitas, desain corak, warna maupun harga. Inovasi produk bertujuan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan karena produk yang telah ada
rentan terhadap perubahan kebutuhan dan selera konsumen, teknologi, siklus
hidup produk yang lebih singkat, serta meningkatnya persaingan domestik dan
76
luar negeri. Inovasi produk yang dilakukan harus melalui hasil penelitian pasar
sehingga dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan selera konsumen.
Meskipun perusahaan mementingkan mutu, apabila perusahaan kurang
atau bahkan tidak memperhatikan selera konsumen, maka akan menyebabkan
produk tidak diminati, bahkan konsumen akan beralih pada produk lain, sehingga
penjualan akan turun. Menurut Kotler (2012), ada enam golongan produk baru,
yaitu:
1) Produk baru bagi dunia, yaitu produk baru yang menciptakan suatu pasar
yang sama sekali baru.
2) Lini produk baru, yaitu produk baru yang memungkinkan perusahaan
memasuki pasar yang telah mapan untuk pertama kalinya.
3) Tambahan pada lini produk yang telah ada, yaitu produk-produk baru yang
melengkapi suatu lini produk perusahaan yang telah mantap (ukuran,
kemasan dan rasa)
4) Perbaikan dan revisi produk yang telah ada, yaitu produk baru yang
memberikan kinerja yang lebih baik atau nilai yang dianggap lebih hebat dan
menggantikan produk yang telah ada.
5) Penentuan kembali posisi (repositioning), yaitu produk yang telah ada
diarahkan ke pasar atau segmen pasar baru.
6) Pengurangan biaya, yaitu produk baru yang menyediakan kinerja serupa
dengan harga yang lebih murah.
Proses penerimaan konsumen terhadap inovasi produk memerlukan waktu.
Menurut Kotler (2012), proses penerimaan konsumen berfokus pada proses
mental yang dilalui seseorang dari saat pertama mendengar tentang inovasi
77
tersebut sampai dengan akhir penerimaan. Ada lima karakteristik yang
memengaruhi tingkat penerimaan suatu inovasi, yaitu sebagai berikut.
1) Keunggulan relatif (relative advantage). Sampai tingkat mana inovasi itu
tampak lebih unggul daripada produk yang sudah ada.
2) Kesesuaian (compatibility), yaitu sejauh mana inovasi tersebut sesuai dengan
nilai dan pengalaman perorangan dalam masyarakat.
3) Kerumitan (complexity), yaitu sejauh mana inovasi itu relatif sukar dimengerti
atau digunakan.
4) Kemampuan berkomunikasi (communicability), yaitu sampai sejauh mana
manfaat yang diperoleh dari penggunaan inovasi tersebut dapat diamati atau
dijelaskan kepada orang lain.
5) Perbedaan kesiapan organisasi untuk mencoba produk baru. Penerimaan
(adopsi) akan terkait dengan berbagai variabel di lingkungan organisasi
(kemajuan masyarakat, pendapatan masyarakat), organisasi itu sendiri (ukuran,
laba, tekanan untuk berubah), dan pengelolaannya (level pendidikan, umur,
kecanggihannya).
Source: David L. Rainey. Product Innovation: Leading Change through
Integrated Product Development. Combridge University Press.2006. p:09
Gambar 2.2:
Faktor-faktor yang Memengaruhi Inovasi Produk
78
Gatignon dan Xuereb (1997) berpendapat, bahwa dalam inovasi produk
terdapat tiga inovasi, yaitu: (1) keunggulan produk, (2) kesamaan produk, dan (3)
biaya produk. Inovasi produk dapat gagal karena banyak alasan, di antaranya
adalah tidak menawarkan desain yang unik atau salah memperkirakan persaingan
merupakan kesalahan yang umum terjadi. Kadang-kadang sebenarnya gagasan
baik, tetapi terletak pada desain dan efisiensi biayanya jauh lebih tinggi daripada
yang semula diperkirakan. Dengan adanya inovasi produk maka akan memberi
nilai tambah dibandingkan dengan produk sejenis (keunggulan produk), sehingga
akan meningkatkan penjualan. Keunggulan kompetitif suatu produk merupakan
salah satu faktor penentu dari kesuksesan produk baru (Song and Parry, 1996)
sehingga suatu produk inovasi harus mempunyai keunggulan dibandingkan
dengan produk lain yang sejenis.
Hal itu juga sejalan dengan pendapat Cooper (2000) bahwa keunggulan
produk baru sangat penting dalam lingkungan pasar global yang sangat
kompetitif. Keunggulan tersebut tidak lepas dari pengembangan produk inovasi
yang dihasilkan sehingga akan mempunyai keunggulan di pasar yang selanjutnya
akan menang dalam persaingan. Sementara itu, Li and Calantone (1998)
berpendapat bahwa keunikan pada suatu produk diartikan sebagai atribut penting
dari keunggulan produk tersebut, yang dipengaruhi oleh daya inovatif dan
teknologi yang tinggi. Sehingga dapat dihasilkan produk sesuai dengan keinginan
konsumen. Keberhasilan bisnis perusahaan akan dapat dicapai bila perusahaan
dapat dengan cepat bereaksi dengan kondisi pasar baru dan kebutuhan pelanggan.
Selain itu, perusahaan dapat secara berkesinambungan mencari solusi yang kreatif
serta peningkatan secara terus-menerus dalam menghasilkan produk. Perusahaan
79
harus beradaptasi serta berinovasi secara terus menerus (Martensen and
Dahlgaard, 1999). Menurut Zimmerer et al. (2008), indikator inovasi produk,
yaitu (1) perubahan desain, (2) inovasi teknis, dan (3) pengembangan produk.
2.4 Daya Saing (Competitiveness)
Dalam lingkungan persaingan yang semakin kompetitif dan adanya situasi
pasar yang dinamis, maka setiap perusahaan tidak mungkin lagi untuk
menghindari persaingan, tetapi yang harus dilakukan adalah menghadapi tingkat
persaingan tersebut dengan cara yang sebaik-baiknya, artinya perusahaan harus
berupaya secara optimal dan berkesinambungan untuk menghasilkan sesuatu yang
lebih baik dan lebih baik lagi pada masa yang akan datang (Muhardi, 2007).
Perusahaan yang tidak mempunyai daya saing akan ditinggalkan oleh pasar, sebab
jika tidak memiliki daya saing berarti tidak memiliki keunggulan, dan tidak
unggul berarti tidak ada alasan bagi suatu perusahaan untuk tetap survive di dalam
pasar persaingan untuk jangka panjang. Menurut Porter (1980), daya saing adalah
kemampuan/strategi untuk bersaing dari suatu produk/perusahaan/industri bukan
hanya dilihat dari sisi produksi yakni kemampuan untuk menghasilkan produk
yang murah, tetapi merupakan kombinasi dari hasil akhir (tujuan/misi) dengan
upaya (kebijakan) untuk mencapainya. Upaya yang digambarkan sebagai roda
strategi bersaing, bukan hanya upaya produksi saja (manufacturing, lini produk
serta penelitian dan pengembangan), tetapi melibatkan keuangan, pemasaran dan
target pasar, penjualan, distribusi, pengadaan dan pembelian barang serta tenaga
kerja. Dalam merumuskan kemampuan dan strategi bersaing, ada beberapa hal
yang harus dijawab, yaitu: apa yang sedang dilakukan perusahaan sekarang,
80
bagaimana dengan kondisi lingkungan (analisis industri, pesaing, sosial politik
dan kekuatan kelemahan relatif), dan apa yang seharusnya dilakukan perusahaan.
Porter (2008) kemudian mengembangkan lima kekuatan dalam analisis struktur
industri, yaitu: intensitas persaingan dalam industri, tantangan pendatang baru,
tekanan produk substitusi, daya tawar pembeli dan daya tawar pemasok. Dari lima
kekuatan ini ada tiga strategi dasar keberhasilan, yaitu: kepemimpinan biaya
keseluruhan (over-all cost leadership), diferensiasi (differentiation) dan fokus
(focus). Daya saing berhubungan pula dengan bagaimana efektivitas suatu
organisasi di pasar persaingan dibandingkan dengan organisasi lain yang
menawarkan produk atau jasa yang sama atau sejenis. Perusahaan-perusahaan
yang mampu menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas baik adalah
perusahaan yang efektif dalam arti akan mampu bersaing
Selain itu, Porter (2008) juga menyatakan “competition is at the core of the
success or failure of firms.” Persaingan merupakan inti dari kesuksesan atau
kegagalan perusahaan. Terdapat dua sisi yang ditimbulkan oleh persaingan, yaitu
sisi kesuksesan karena mendorong perusahaan untuk lebih dinamis dan bersaing
dalam menghasilkan produk serta memberikan layanan terbaik bagi pasarnya
sehingga persaingan dianggap sebagai peluang yang memotivasi. Sisi lainnya
adalah kegagalan karena akan memperlemah perusahaan yang bersifat statis, takut
akan persaingan, dan tidak mampu menghasilkan produk yang berkualitas
sehingga persaingan merupakan ancaman bagi perusahaannya. Menurut Muhardi
(2007), daya saing operasi merupakan fungsi operasi yang tidak saja berorientasi
ke dalam (internal), tetapi juga keluar (eksternal), yakni merespon pasar sasaran
usaha dengan proaktif.
81
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi daya saing diantaranya:
a) Lokasi
Upaya memperhatikan lokasi usaha sangat penting untuk kemudahan pembeli
dan menjadi faktor utama bagi kelangsungan usaha. Lokasi usaha yang
strategis akan menarik perhatian pembeli. Menurut Royan (2003), letak atau
lokasi akan menjadi sangat penting untuk memenuhi kemudahan pelanggan
dalam berkunjung, konsumen tentu akan mencari jarak tempuh terpendek,
walaupun tidak menutup kemungkinan konsumen dari jarak jauh juga akan
membeli namun persentasenya kecil.
b) Harga
Harga adalah jumlah seluruh nilai yang ditukar konsumen atas manfaat-
manfaat memiliki atau menggunakan produk atau jasa tersebut. Harga
menentukan apakah sebuah supermarket, minimarket, atau swalayan banyak
dikunjungi konsumen atau tidak. Faktor harga juga berpengaruh pada seorang
pembeli untuk mengambil keputusan. Harga juga berhubungan dengan diskon,
pemberian kupon berhadiah, dan kebijakan penjualan. Harga adalah nilai suatu
barang atau jasa yang diukur dengan sejumlah uang. Untuk mendapatkan
sebuah barang atau jasa yang diinginkannya seorang konsumen harus rela
membayar sejumlah uang. Bagi pelangggan yang sensitif biasanya harga murah
adalah sumber kepuasan yang penting karena mereka akan mendapatkan value
for money yang tinggi (Swasta dan Irawan, 2008).
c) Pelayanan
Program pelayanan / service sering kali menjadi pokok pemikiran pertama
seorang pengelola supermarket/minimarket. Pelayanan melalui produk berarti
82
konsumen dilayani sepenuhnya melalui persediaan produk yang ada, produk
yang bermutu. Pelayanan melalui kemampuan fisik lebih mengacu kepada
kenyamanan peralatan (trolley atau keranjang belanja), tempat parkir yang
nyaman, penerangan ruangan yang baik, juga keramahan karyawan.
d) Mutu atau kualitas
Keyakinan untuk memenangkan persaingan pasar akan sangat ditentukan oleh
kualitas produk yang dihasilkan perusahaan. Berkenaan dengan kualitas
produk, Adam dan Ebert (1995) yang menyatakan: “product quality is the
appropriateness of design specifications to function and use as well as the
degree to which the product conforms to the design specifications.” Kualitas
produk ditunjukkan oleh kesesuaian spesifikasi desain dengan fungsi atau
kegunaan produk itu sendiri, dan juga kesesuaian produk dengan spesifikasi
desainnya. Jadi, suatu perusahaan memiliki daya saing apabila perusahaan itu
menghasilkan produk yang berkualitas dalam arti sesuai dengan kebutuhan
pasarnya.
e) Promosi
Semakin sering suatu supermarket/swalayan melakukan promosi, semakin
banyak pengunjung dalam memenuhi kebutuhannya. Promosi bisa dilakukan
melalui berbagai iklan, baik di media cetak, elektronik, maupun media lain.
Sunarto (2004:298) menyatakan bahwa promosi penjualan terdiri atas insentif
jangka pendek untuk mendorong pembelanjaan atau penjualan produk atau
jasa. Promosi penjualan ini mencakup suatu variasi yang luas dari alat-alat
promosi yang didesain untuk merangsang respons pasar yang lebih cepat atau
yang lebih kuat.
83
Dimensi daya saing suatu perusahaan sebagaimana dikemukakan Ward et
al. (1998) adalah terdiri atas biaya (cost), kualitas (quality), waktu penyampaian
(delivery), dan fleksibilitas (flexibility). Keempat dimensi tersebut dengan
indikatornya sebagai berikut.
a) Biaya adalah dimensi daya saing operasi yang meliputi empat indikator yaitu
biaya produksi, produktivitas tenaga kerja, penggunaan kapasitas produksi dan
persediaan. Unsur daya saing terdiri atas biaya merupakan modal yang mutlak
dimiliki oleh suatu perusahaan yang mencakup pembiayaan produksi,
produktivitas tenaga kerjanya, pemanfaatan kapasitas produksi perusahaan, dan
adanya cadangan produksi (persediaan) yang sewaktu-waktu dapat digunakan
oleh perusahaan untuk menunjang kelancaran perusahaan tersebut.
b) Kualitas seperti yang dimaksudkan oleh Muhardi merupakan dimensi daya
saing yang juga sangat penting, yaitu meliputi berbagai indikator, di antaranya
tampilan produk, jangka waktu penerimaan produk, daya tahan produk,
kecepatan penyelesaian keluhan konsumen, dan kesesuaian produk terhadap
spesifikasi desain. Tampilan produk dapat tercermin dari desain produk atau
layanannya. Tampilan produk yang baik adalah yang memiliki desain
sederhana, tetapi mempunyai nilai yang tinggi. Jangka waktu penerimaan
produk dimaksudkan dengan lamanya umur produk dapat diterima oleh pasar.
Semakin lama umur produk di pasar menunjukkan kualitas produk tersebut
semakin baik. Adapun daya tahan produk dapat diukur dari umur ekonomis
penggunaan produk.
c) Waktu penyampaian merupakan dimensi daya saing yang meliputi berbagai
indikator di antaranya ketepatan waktu produksi, pengurangan waktu tunggu
84
produksi, dan ketepatan waktu penyampaian produk. Ketiga indikator tersebut
berkaitan, yaitu ketepatan waktu penyampaian produk dapat dipengaruhi oleh
ketepatan waktu produksi dan lamanya waktu tunggu produksi.
d) Fleksibilitas merupakan dimensi daya saing operasi yang meliputi berbagai
indikator, di antaranya macam produk yang dihasilkan, dan kecepatan
menyesuaikan dengan kepentingan lingkungan.
2.5 The Resource-Based Vew (RBV) Theory
Sumber daya dan kemampuan internal mempengaruhi penetapan pilihan-
pilihan strategis yang dibuat oleh perusahaan saat berkompetisi di lingkungan
bisnis eksternalnya. Kemampuan perusahaan juga memungkinkan untuk
menambah nilai dalam rantai nilai pelanggan, diversifikasi produk atau
pengembangan pasar baru. Beberapa aspek teori telah dirumuskan jauh sebelum
perusahaan mengadopsi sumber daya yang ada dalam kerangka kerja teori
akademik. Konsep itu kemudian dikenal sebagai pandangan yang berbasis sumber
daya atau the resource-based view (RBV). Kajian tentang RBV mulai marak
dilakukan era 90-an. Satu kontribusi terbesar artikel ini adalah strategi langsung
dari para sarjana ke arah sumber daya sebagai anteseden penting untuk produk
dan berakhir pada kinerja perusahaan. Warnelfelt (1984) mengatakan sumber daya
yang dimaksud adalah segala sesuatu yang bisa dianggap sebagai kekuatan dan
kelemahan perusahaan. Secara lebih formal, sumber daya perusahaan merupakan
tangible dan intangible aset yang diikat secara semi permanen pada perusahaan,
contohnya: nama merek, pengetahuan in-house, teknologi, tenaga kerja terampil,
kontrak perdagangan, mesin, prosedur efisien, modal.
85
Selanjutnya Barney (1991) dan Dierickx and Cool (1989),) memberikan
kontribusi pada perkembangan RBV manajemen strategik selanjutnya. Konsep
mereka berfokus pada sumber daya perusahaan yang dapat berkontribusi pada
SCA. Barney memberikan gambaran formal dari perspective business level
sumber daya. Sumber daya organisasi yang bernilai, langka, sulit ditiru, dan tidak
bisa digantikan dapat menghasilkan SCA. Mengikuti teori Penrose (1959) yang
menekankan pada bagaimana sumber daya berkontribusi untuk diversifikasi dan
bagaimana diversifikasi harus sesuai dengan “core competition” perusahaan untuk
mengoptimalkan kinerja. Teori Penrose ini memberikan pandangan dalam
ekspansi perusahaan ke dalam produk dan pasar baru. Pandangan berbasis sumber
daya telah menjadi minat bersama di kalangan peneliti manajemen dan peneliti di
bidang terkait. Wernerfelt (1984) menjelaskan bahwa RBV merupakan dasar
keunggulan kompetitif yang utamanya terletak pada sekumpulan aset berwujud
atau tidak berwujud perusahaan. RBV menggambarkan kemampuan perusahaan
untuk memberikan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan ketika sumber daya
dikelola sedemikian rupa sehingga apa yang dihasilkan sulit untuk ditiru atau
dibuat oleh pesaing, yang pada akhirnya menciptakan hambatan kompetisi
(Mahoney and Pandian,1992).
Pandangan tersebut didukung oleh Peteraf (1993), yang menyatakan
bahwa untuk mentransformasikan keunggulan kompetitif jangka pendek menjadi
keunggulan berkelanjutan, sumberdaya perusahaan harus bersifat heterogen dan
tidak mudah dipindahkan. Hal ini secara umum didukung oleh banyak penulis,
diantaranya Barney (1991), yang mendukung kesimpulan bahwa suatu perusahaan
mencapai keunggulan kompetitif berkelanjutan, melalui sumber daya yang unik
86
yang dimilikinya, dan sumber daya ini tidak dapat dengan mudah dibeli,
ditransfer, atau ditiru, dan secara bersamaan secara tidak langsung kelangkaannya
memberikan keuntungan bagi perusahaan. Penting, untuk membedakan antara dua
jenis sinergi, yang kita sebut contestable synergy and idiosyncratic bilateral
sinergy, yakni sinergi perebutan dan sinergi bilateral istimewa. Sinergi bilateral
istimewa melibatkan kombinasi dari sumber daya yang menciptakan nilai dan
persaingan. Sementara sinergi perebutan (Barney, 1986) sesuai dengan pasar
factor persaingan sempurna. Sinergi bilateral istimewa didefinisikan sebagai nilai
peningkatan yang istimewa dengan sumber daya yang digabung oleh perusahaan
dalam pencapaian target (Mahoney and Pandian,1992).
Teori RBV memandang perusahaan sebagai kumpulan sumber daya dan
kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan. RBV difokuskan pada kemampuan
perusahaan untuk mempertahankan kombinasi sumber daya yang tidak dapat
dimiliki atau dibangun dengan cara yang sama oleh pesaing. Perbedaan sumber
daya dan kemampuan perusahaan dengan perusahaan pesaing akan memberikan
keuntungan kompetitif bagi perusahaan. Asumsi RBV yaitu bagaimana
perusahaan dapat bersaing dengan perusahaan lain untuk mendapatkan
keunggulan kompetitif dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya, sesuai
dengan kemampuan perusahaan. Teori RBV menyatakan bahwa keunggulan
kompetitif yang berkelanjutan bertumpu pada sumber daya organisasi yang sangat
berharga (valuable), langka (rare), ditiru (in-imitable) dan sulit digantikan (non-
substitutable) (VRIN) dalam pengaturan organisasi yang memiliki kebijakan dan
prosedur untuk mengeksploitasi sumber daya (Barney, 1991; Barney and Clark,
2007; Knott, 2003; Kraaijenbrink, Spender, and Groen, 2010). Sejumlah kerangka
87
kerja dan teori berbagi platform RBV termasuk kompetensi inti (Hamel and
Prahalad, 1994), kemampuan dinamis (Helfat and Peteraf, 2003; Teece, Pisano
and Shuen, 1997) dan pandangan berbasis pengetahuan (Grant, 1996).Selain itu,
teori sumber daya manusia merupakan aspek dari pandangan berbasis sumber
daya yang memfokuskan perhatian pada pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki individu, baik pengusaha dan karyawan, berkontribusi untuk keunggulan
kompetitif (Barney and Clark, 2007; Davidson and Honig, 2003). Dengan
demikian, RBV memandang pada dua karakteristik yang berbeda namun saling
berhubungan antara individu dan faktor organisasi untuk mencapai sumber
keunggulan bersaing (Welch et al., 2011).
Sumber daya dan kemampuan perusahaan merupakan hal yang penting
dalam strategi tingkat bisnis. Sementara dalam tingkat korporasi juga
memperhatikan bagaimana aset strategis mempengaruhi kinerja perusahaan.
Pengaruhnya tidak hanya berdasarkan pada karakteristik sumber daya, tetapi juga
pada mekanisme komunikasi dan koordinasi perusahaan. Faktor-faktor ini
memungkinkan perusahaan mengembangkan asset strategis hingga pada kegiatan
usahanya. Kinerja suatu perusahaan bergantung pada konsistensi internal diantara
ketiga elemen “strategi segitiga korporasi” yaitu sumber daya, usaha, dan
mekanisme organisasi, dimana didalamnya termasuk struktur, sistem dan proses
organisasi. Kajian tentang penerapan strategi telah berlangsung lama sebagai
bidang yang independent, dan tampaknya cara terbaik untuk membicarakan
masalah strategi yang merupakan area penelitian independen adalah untuk
mengembangkan teori teori yang dapat memprediksi perilaku perusahaan yang
berbeda dari yang diperkirakan pada model lain, dengan hanya menerapkan pada
88
strategi itu sendiri pada masing-masing perusahaan (Montgomery et al., 1988).
RBV memberi perhatian terhadap dinamika organisasi dan penyesuaian terhadap
perubahan lingkungan. RBV menganggap variasi, pemilihan, retensi dan
kompetisi sebagai proses yang penting, serta pentingnya rutinitas dan peranan
aspirasi dalam mencapai perubahan. RBV memberi perhatian terhadap dinamika
organisasi dan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan yang penuh dengan
persaingan.
Adapun pemetaan hasil penelitian yang berkaitan dengan Enterpreneural
Marketing (EM), Customer Relationship Marketing (CRM), Product Innovation
(Prod. Inov) dan Daya Saing (Competitiveness) ditunjukkan pada Tabel 2.1
Tabel 2.1
Pemetaan Hasil Penelitian dan Konsep yang Berkaitan dengan EM, CRM,
Product Inovation dan Daya Saing
No. Penulis Jurnal EM CRM Prod.
Inov
Daya
Saing
1 Agbor E, (2008).
2 Alegre, J. and Chiva, R. 2008. - -
3 Boier Rodica, 2014. - - -
4 Berry, L.L. and Parasuraman, A. 1991. - -
5 Callaghan, M. B., McPhail, J., & Yau, O. H. M. 1995. - - -
6 Cristina, Sterpu, 2014. - -
7 Cheng, C., Chen, J-S. and Tsou, H-T. 2012. - - -
8 Cooper, Robert G., 2000. - -
9 Lumpkin, G. T., & Dess, G. G. 1996. - -
10 Morris, H.M., Schindehutte, M., Laforge, R.W. 2002. - - -
11 Jaworski, B.J. 1998. - - -
12 Velnampy and Sivesan, S., 2012. - -
13 Morgan, RM., and Hunt, S.D., 1994. - - -
14 Zimmerer, Thomas W. and Scarborough, Norman M.
(2008). - - -
15 Ward, Peter T., McCreery John K., Ritzman Larry P.,
Deven Sharma, 1998. - - -
16 Vanany, Iwan. 2002. - -
17 Gerald E. Hills, Claes M. Hultman., Morgan P. Miles.
2008. - - -
18 Lai, Kee-hung, T. C. E. Cheng, and Ailie KY Tang. 2010. - - -
89
Tabel 2.1 Lanjutan
Pemetaan Hasil Penelitian dan Konsep yang Berkaitan dengan EM, CRM,
Product Inovation dan Daya Saing
19 Niammuad, Damrongrit, Kulkanya Napompech,
Suneeporn Suwanmaneepong, 2014. - -
20 Thomas, Lisa C., Painbéni, Sandra & Barton, Harry.
2013. - -
21 Kocak, Akin & Abimbola, Temi. 2009. - -
22 Mort, Gillian Sullivan., Weerawardena, Jay., Liesch,
Peter. 2012. - -
23 Hacioglu Gungor, Selim S. Eren, M. Sule Eren, & Hale
Celikkan. 2012. - -
24
Kamakura, W. A., C. F. Mela, A. Ansari, A. Bodapati,
P. Fader, R. Iyengar, P. Naik, S. A. Neslin, B. Sun, P. C.
Verhoef. 2005.
- - -
25 Ngai, E.W.T., 2005. - - -
26 Gumusluoglu, L. and Ilsev, A. 2009. - -
27 Karkalakos, S. 2013. - -
28 Smith, Brock J. and Donald W. Barclay. 1997. - - -
29 Hitt, M.A., Hoskisson, R.E. and Kim, H. 1997. - -
30 Sarma, Ma’mun, Septiani Stevia, Farida Ratna Dewi,
Edward H. Siregar. 2013.. - -
31 Phyra Sok, Aron O’Cass, Keo Mony Sok.2013. - -
32 Suwarno, Henky Lisan. 2013. - - -
33 Triebswetter, Ursula and Johann Wackerbauer, 2008. - -
34 Reguia Cherroun, 2014. - -
35 Murat Ar, Ilker, 2012. - -
36 Thoumrungroje and Racela, 2013. - -
37 Kuratko, D.F., Montagno, R.V., and Hornsby, J.S. 1990. - -
38 Alrubaiee, Laith & Nahla Al-Nazer. 2008. - -
39 Gilaninia, S., Almani, A.M., Pournaserani, A., and
Mousavian, S.J., 2011. - -
40 Singh, J. & Sirdeshmukh, D. 2000. - -
41 Doney, Patricia M, and Cannon, Joseph P., 1997. - - -
42 Barney, J. B., and M. H. Hansen. 1994. - - -
43 Sivadas, E. & Dwyer, F. 2000. - - -
44 Barclay, Donald W and Smith, Brock J. 1997. - - -
45 Stokes, David, 2000.
46 Baark, E., Antonio, K.W. L., Lo, W., & Sharif, N. 2011.
47 Lavado, C. A., Cuevas-Rodríguez, G., & Cabello-
Medina, C. 2010. - -
48 Alrubaiee, Laith & Nahla Al-Nazer. 2008.
49 Collinson, E.M. and Shaw, E. 2001.
50 Franco, Mario, Maria de Fatima Santos, Isabel Ramalho
and Cristina Nunes, 2014.
51 Kurgun, H., Bagiran, D., Ozeren, E., and Mral, B.
(2011).
90
Berdasarkan Tabel 2.1 yang berisikan pemetaan yang mengkaitkan antara
EM, CRM, Product Innovation dan Daya Saing. Dari pemetaan yang dilakukan,
terdapat 5 (lima) jurnal atau artikel yang berisi keterkaitan antara EM dengan Inov
Prod, 5 (lima) jurnal atau artikel yang berisi keterkaitan antara EM dengan Daya
Saing, 5 (lima) jurnal atau artikel yang berisi keterkaitan antara CRM dengan
Inov. Prod dan 14 (empat belas) jurnal atau artikel yang berisi keterkaitan antara
Product Innovation dengan Daya Saing. Sementara ada 4 (empat) jurnal atau
artikel yang hanya membahas EM, 7 (tujuh) jurnal atau artikel yang hanya
membahas CRM, 3 (tiga) jurnal atau artikel yang hanya membahas Product
Innovation dan 2 (dua) artikel yang hanya membahas Daya Saing. Berdasarkan
pemetaan tersebut, belum ada jurnal atau artikel yang mengkaitkan antara EM ke
Daya Saing dengan mediasi Product Innovation, sehingga posisi penelitian ini
akan mencoba membuat model keterkaitan antar variabel atau konstruk yang
memberikan pengaruh paling kuat ke Daya Saing, sehingga akan terbentuknya
model yang baru sebagai pembeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.