bab ii kajian pustaka 2.1 2.1.1 2.1.1 -...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SD
2.1.1.1 Pengertian IPA
Pembelajaran IPA merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari
bagaimana gejala-gejala alam di bumi ini terjadi. Sehingga perlu dilakukan
pengenalan sejak dini tentang apa dan bagaimana pembelajaran IPA dikelas.
Pengenalan tersebut bisa dimulai dengan mencari tahu tentang apa pengertian dari
IPA.
Trianto (dalam Purwasari, 2013: 537) menyatakan bahwa IPA merupakan
kumpulan teori sistematis dalam penerapan secara umum terbatas pada gejala-gejala
alam yang berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen. IPA
juga menuntut siswa memiliki sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan
sebagainya. Sementara itu, menurut D. Indriati S.C.P (2012: 192-193) IPA
merupakan sebuah pengetahuan yang didapat dari proses mengumpulkan data melalui
eksperimen, pengamatan dan deduksi untuk menghasilkan suatu penjelasan tentang
sebuah gejala yang dapat dipercaya.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan ilmu
yang mempelajari tentang alam dengan sistematis dengan cara melakukan kegiatan
pengamatan dan percobaan untuk mengetahui fakta, konsep, prinsip dan juga
memiliki sikap ilmiah. Sehingga pembelajaran IPA dalam kelas menuntut agar siswa
aktif menemukan pengetahuan sendiri agar tujuan dari pembelajaran IPA tercapai.
2.1.1.2 Pembelajaran IPA SD
Pembelajaran IPA di SD sesuai dengan kurikulum 2013, dikembangkan
secara integrative science yang berorientasi aplikatif, meningkatkan kreatif
pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan
pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan
alam. Pembelajaran efektif adalah kegiatan pembelajaran yang berhasil mengantarkan
8
peserta didik pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Secara administrative
dan berlaku secara kedinasan, ukuran keberhasilan tersebut adalah pencapaian KKM
minimal 85% siswa. Menurut Piaget (dalam Winataputra, dkk 2007:3.40) tahap
perkembangan kognitif anak ada empat, yaitu 1) sensomotorik (0-2 tahun); 2)
praoperasional (2-7 tahun); 3) konkret operasional (7-11 tahun); 4) formal
operasional (11 tahun ke atas). Jika dikaitkan dengan teori piaget maka pada anak
usia SD berada pada tahap konkret operasional (7-11 tahun). Sehingga perlu
diciptakan pembelajaran dengan kondisi yang aktif dan ingin tahu. Untuk itu maka
guru perlu membimbing siswa berpikir secara induktif supaya siswa dapat memahami
konsep IPA.
Materi IPA di SD kelas I-III terintegrasi dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia dan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Pembelajaran dilakukan
secara terpadu dalam tema dengan mata pelajaran lain. Untuk SD kelas IV-VI, IPA
menjadi mata pelajaran tersendiri namun pembelajaran dilakukan secara tematik
terpadu. Ruang lingkup materi mata pelajaran IPA SD mencakup Tubuh dan panca
indra, tumbuhan dan hewan, sifat dan wujud benda-benda sekitar, alam semesta dan
kenampakannya, bentuk luar tubuh hewan dan tumbuhan, daur hidup makhluk hidup,
perkembangbiakan tanaman, wujud benda, gaya dan gerak, bentuk dan sumber energi
dan energi alternatif, rupa bumi dan perubahannya, lingkungan, alam semesta, dan
sumber daya alam, iklim dan cuaca, rangka dan organ tubuh manusia dan hewan,
makanan, rantai makanan, dan keseimbangan ekosistem, perkembangan makhluk
hidup, penyesuaian diri makhluk hidup pada lingkungan, kesehatan dan sistem
pernafasan manusia, perubahan dan sifat benda, hantaran panas, listrik dan magnet,
tata surya, campuran dan larutan.
Dari paparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPA di SD
hendaklah harus sesuai dengan tujuan dan kurikulum yang telah ditentukan.
Kemudian guru juga harus tetap memperahatikan karakteristik anak usia SD dengan
mengadakan proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Pembelajaran
yang dilakukan juga harus melibatkan siswa didalamnya dengan memberikan
9
kesempatan berpikir, bertindak, dan mengembangkan sikap-sikap tertentu melalui
pengalaman langsung ketika pembelajaran IPA.
2.1.1.3 Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pembelajaran IPA SD
Kompetensi inti merupakan terjemahan atau operasionalisasi Standar
Kompetensi Lulusan dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki oleh peserta didik
yang telah menyelesaikan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu. Gambaran
kompetensi utama dikelompokkan ke dalam aspek sikap, keterampilan, dan
pengetahuan yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas
dan mata pelajaran.
Sedangkan Kompetensi dasar merupakan kompetensi setiap mata pelajaran
untuk setiap kelas yang diturunkan dari kompetensi inti. Kompetensi dasar adalah
konten atau kompetensi yang terdiri dari sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
bersumber pada kompetensi inti yang harus dikuasai peserta didik. Kompetensi dasar
adalah kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas yang diturunkan dari
Kompetensi Inti. Kompetensi dasar SD/MI untuk setiap mata pelajaran mencakup
mata pelajaran: Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu
Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan Prakarya, dan Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan Kesehatan.
Kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) yang digunakan dalam
penelitian ini akan disajikan dalam tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar IPA Kelas 4 tema 4 Berbagai Pekerjaan
Semester I
Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
3. Memahami pengetahuan faktual dengan
cara mengamati (mendengar, melihat,
membaca) dan menanya berdasarkan rasa
ingin tahu tentang dirinya, makhluk
ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan
benda-benda yang dijumpainya di rumah,
sekolah, dan tempat bermain
3.8 Menjelaskan pentingnya upaya
keseimbangan dan pelestarian sumber
daya alam di lingkungannya
10
2.1.1.4 Penilaian IPA SD
IPA sangat menekankan pada pembelajaran yang mengkaitkan gejala-gejala
alam dan sumber belajar dari alam sekitar. Sehingga dari segi penilaiannya, IPA
mempunyai tiga tujuan yakni:
1. Penilaian pengetahuan, pemahaman dan penerapan konsep IPA, penilaian ini
bertujuan untuk melihat seberapa jauh peserta didik menguasai dan
memahami fakta, konsep, prinsip, dan hokum dalam IPA dan penerapannya.
2. Penilaian Ketrampilan dan proses, ada enam ketrampilan dasar yang harus
dikuasai untuk peserta didik yaitu observasi, komunikasi, klasifikasi,
pengukuran, inferensi, prediksi, dan percobaan sederhana.
3. Penilaian karakter dan sikap (sikap ilmiah, meliputi sikap obyektif, terbuka,
tidak menerima begitu saja suatu kebenaran, memiliki rasa ingin tahu, ulet,
tekun, dan pantang menyerah).
Dari beberapa paparan dapat ditarik kesimpulan bahwa IPA sangatlah terkait
dengan kegiatan yang melibatkan siswa untuk selalu belajar dan mencari tahu
mengenai fenomena dan gejala alam yang ada disekitarnya. Kegiatan itu dapat
dilakukan melalui proses ilmiah dan eksperimen yang mereka lakukan di lapangan.
Sehingga guru perlu menyediakan sumber belajar yang kongkret yaitu sumber belajar
dari alam yang ada disekitar yang sesuai dengan karakteristik dari anak SD. Untuk
melakukan kegiatan atau proses ilmiah maka siswa juga perlu seorang pendamping
(guru) untuk memecahkan masalah yang sedang diamati. Sehingga guru perlu
menciptakan pembelajaran kooperatif yaitu pembelajaran yang mengarahkan pada
siswa pada kegiatan untuk menemukan pengetahannya sendiri. Pembelajaran
kooperatif tipe Discovery Learning ini cocok guna mencapai tujuan dari
pembelajaran IPA SD.
2.1.1 Hasil Belajar IPA
2.1.2.1 Pengertian Hasil Belajar
Untuk mengetahui keberhasilan seseorang dalam belajar, maka perlu
dilakukan kegiatan evaluasi, tujuannya untuk mengetahui hasil belajar yang diperoleh
11
siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran yang berlangsung. Hasil belajar
merupakan hasil yang diperoleh siswa yaitu berupa perubahan perilaku maupun nilai
yang didapat siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Untuk mengetahui
sampai mana proses belajar bisa mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan,
maka perlu diadakan tes hasil belajar.
Menurut Prakoso (2015: 106) hasil belajar merupakan perubahan perilaku
secara menyeluruh bukan hanya pada satu aspek saja tetapi terpadu secara utuh.
Sementara itu, menurut Rahma Fitri, Helma, Syarifuddin (2014: 19) hasil belajar
merupakan penguasaan materi yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti proses
pembelajaran. Hasil belajar yang diperoleh siswa dari suatu kegiatan yang
mengakibatkan perubahan tingkah laku yang dinyatakan dengan skor/nilai yang
diperoleh dari tes hasil belajar setelah proses pembelajaran
Hasil belajar merupakan proses kemampuan yang diperoleh siswa setelah
melalui kegiatan belajar dalam waktu tertentu. Selain itu dapat dipahami bahwa
penilaian hasil belajar terhadap siswa untuk mengetahui sejauh mana siswa
memahami tentang materi yang telah diajarkan. (Setyorini, Sulasmono, Koeswanti,
2013: 60). Kingsley (dalam Sudjana, 2005: 22) mengklasifikasikan hasil belajar
menjadi 3 macam, yaitu ketrampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian,
sikap dan cita-cita. Hal tersebut senada dengan Benyamin Bloom yang membagi
kriteria hasil belajar menjadi 3 ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan
psikomotoris. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai
oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam
menguasai isi bahan pengajaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
adalah perubahan tingkah laku peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran
berupa kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa dari ranah kognitif, afektif dan
psikomotor yang dapat dinyatakan guru dalam bentuk skor/nilai.
Hasil belajar juga dipengaruhi oleh keberhasilan guru dalam menyampaikan
pelajaran. Hasil belajar siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut
Slameto (dalam Amin, Suardiman 2016: 13) ada 2 faktor yang mempengaruhi hasil
12
belajar peserta didik yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
faktor yang terdapat dalam diri individu yang sedang belajar antara lain faktor
jasmaniah (kesehatan dan cacat tubuh), faktor psikologis (intelegensia, perhatian,
Minat, bakat, motivasi), dan faktor kelelahan. Sedangkan faktor ekstern adalah faktor
yang terdapat di luar individu antara lain ; faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor
masyarakat.
Sudjana (2011:39) menyatakan hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi
oleh dua faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang datang dari luar diri siswa
atau faktor lingkungan. Faktor yang datang dari diri siswa terutama kemampuan yang
dimilikinya. Di samping faktor kemampuan yang dimiliki. siswa, juga ada faktor lain,
seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan,
sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis. Berdasarkan pendapat para ahli, dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan aspek kemampuan yang didaptkan siswa
sebagai hasil belajar dari aktivitas pembelajaran yang dilakukan meliputi kemampuan
kognitif, afektif, serta keterampilan siswa. Hasil belajar dalam penelitian ini diukur
dengan memberikan soal tes kepada siswa. Tes digunakan untuk menilai dan
mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil kognitif berkenaan dengan penguasaan
bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran.
2.1.2.2 Pengukuran Hasil Belajar Kognitif IPA SD
Menurut Fajri Ismail (2013: 232-233) pengukuran yaitu 1) pemberian atribut
kepada objek berupa angka atau skor; 2) proses pengumpulan data untuk mengukur
capaian kinerja atau performance seseorang; 3) proses menentukan dan membedakan
satu objek dengan objek lain. Pada hasil pengukuran yang berupa angka/skor, objek
yang diukur berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai satu kesatuan yang
utuh yang menunjukkan kualitas perilaku belajar dari peserta didik (Ismanto, 2014:
214).
I Wayan Subagia, I G. L. Wiratma2 (2016: 723) Penilaian hasil belajar
adalah kegiatan penyetandaran hasil belajar siswa yang dilakukan melalui dua
kegiatan pokok, yaitu kegiatan esesmen dan evaluasi. Esesmen dimaknai sebagai
13
kegiatan pengumpulan hasil belajar, sedangkan evaluasi dimaknai sebagai kegiatan
penyetandaran atau pengolahan hasil belajar. Bentuk-bentuk penilaian hasil belajar
siswa yang direkomendasikan mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian
berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan ahkir
semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional,
dan ujian sekolah/madrasah.
Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah
laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas mencakup ranah kognitif,
afektif dan psikomotoris.
a. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari
enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis, dan evaluasi.
b. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
c. Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan
kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris yaitu gerakan
refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan
atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks dan gerakan ekspresif dan
interpretatif.
Ranah kognitif menjadi penilaian utama yang diperhatikan oleh para guru di
sekolah karena berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menguasai isi bahan
pengajaran. Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan penelitian pada ranah
kognitif mata pelajaran IPA. Ranah kognitif yang diambil sebagai bahan penelitian
yaitu hasil belajar pengetahuan.
2.1.3 Model Pembelajaran Disovery Learning
2.1.3.1 Pengertian Model Discovery Learning
Model pembelajaran Discovery Learning merupakan cara untuk
mengembangkan keaktifan siswa dengan menemukan, menyelidiki sendiri, sehingga
hasil yang diperoleh bertahan lama dalam ingatan dan siswa tidak akan mudah lupa
14
(Ira Vahlia, 2014: 44). Illahi (2012: 33-34) juga berpendapat bahwa Discovery
Learning merupakan salah satu model yang memungkinkan peserta didik terlibat
langsung dalam kegiatan belajar-mengajar, sehingga peserta didik dapat
menggunakan proses mentalnya untuk menemukan konsep atau teori yang sedang
dipelajari.
Sementara itu, Rohim, Susanto, Ellianawati (2012: 2) mengemukaan Model
pembelajaran discovery merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan seluruh
kemampuan siswa dalam mencari dan menemukan sesuatu (benda, manusia, atau
peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan
sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Dari pendapat para ahli tersebut
dapat dipahami bahwa Discovery Learning merupakan sebuah model pembelajaran
yang menuntut siswa harus aktif untuk berfikir kritis menemukan pengetahuannya
sendiri dalam setiap pembelajaran, dengan melakukan kegiatan pengamatan alam
sekitar untuk menarik kesimpulan dan membangun pemahaman yang dimiliki
menjadi pengetahuan bermakna sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat bertahan
lebih lama.
Target dalam menggunakan model pembelajaran discovery learning antara
lain yaitu: (1) menuntut siswa aktif dalam proses pembelajaran; (2) menuntut siswa
menemukan dan menyelidiki sendiri suatu permasalahan; (3) pengetahuan yang
ditemukan sendiri merupakan pengetahuan yang dikuasai dan mudah digunakan
dalam situasi lain; (4) menuntut siswa dapat belajar berfikir analisis dan mencoba
memecahkan masalah yang dihadapi sendiri (Ainur Rochim dan Joko, 2014: 487).
2.1.3.2 Karakteristik Model Pembelajaran Discovery Learning
Herdian (dalam Istiana, Catur S, dan J.S Sukardjo 2015:66-67)
mengemukakan tiga ciri utama dari belajar menemukan (Discovery Learning) yaitu :
(1) mengeksplor dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan
menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3) menggabungkan
pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.
15
Model Discovery Learning mempunyai kelebihan dan kelemahan diantaranya:
a. Kelebihan Model pembelajaran Discovery Learning
Kelebihan model pembelajaran Discovery Learning menurut Mawardi,
Mariati (2016:132) adalah sebagai berikut:
1. memperbaiki dan meningkatkan keterampilan serta proses-proses kognitif
siswa
2. kunci dari model Discovery Learning adalah usaha penemuan
3. Menumbuhkan rasa senang pada diri siswa , karena tumbuh rasa untuk
menyelidiki dan berhasil
4. Memungkinkan unruk siswa berkembang lebih cepat sesuai dengan
kecepatannya sendiri;
5. menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan
melinatkan akalnya dan motivasi sendiri.
b. Kekurangan Model pembelajaran Discovery Learning
Kekurangan model pembelajaran Discovery Learning menurut Mawardi,
Mariati (2016:132) adalah sebagai berikut :
1. tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena
membutuhkan waktu yang lama untuk membantu menemukan teori atau
pemecahan masalah lainnya
2. harapan dalam model dapat buyar apabila siswa dan guru terbiasa belajar
dengan cara-cara belajar yang lama
3. lebih cocok untuk mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi
secara keseluruhan kurang mendapat perhatian
4. IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh
para siswa
5. tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan
ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.
16
2.1.3.3 Langkah-langkah Model Pembelajaran Discovery Learning
Syah (dalam Burais, M. Ikhsan, M. Duskri, 2016: 81) mengemukakan
prosedur pelaksanaan model pembelajaran Discovery Learning ke dalam 6 tahap
yaitu:
a. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Siswa pertama kali diberikan sebuah persoalan, tanpa guru memberikan
generalisasi terhadap masalah tersebut sehingga siswa memiliki rasa akan
menyelidiki permasalahan untuk mencari generalisasi.
b. Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)
Siswa akan mengidentifikasi masalah yang sesuai dengan materi pelajaran dan
kemudian harus dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
pertanyaan masalah)
c. Data collection (Pengumpulan Data)
Siswa akan mengumpulkan informasi yang sesuai dengan masalah sebanyak
mungkin dari berbagai sumber belajar untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis.
d. Data Processing (Pengolahan Data)
Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah
diperoleh siswa baik melalui wawancara, observasi dan sebagainya, lalu
ditafsirkan. Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi dan
sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi.
e. Verification (Pembuktian)
Berdasarkan hasil pengolahan data dari berbagai sumber, siswa melakukan
pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis
yang telah ditetapkan dari hasil pengolahan data.
f. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Siswa menarik kesimpulan pada masalah yang telah diselesaikan berdasarkan
hasil pembuktian.
17
2.1.3.4 Analisis Komponen Model Pembelajaran Discovery Learning
Bruce Joyce, Weil, dan Calhoun (2009: 104-106), mengemukakan bahwa
setiap model pembelajaran memiliki unsur-unsur berupa 1) Sintaks; 2) Prinsip reaksi;
3) Sistem sosial; 4) Sistem Penduukung 5) Dampak Instruksional dan dampak
pengiring. Berikut akan diuraikan analisis komponen pembelajaran Discovery
Learning berdasarkan teori Bruce Joyce diatas.
1. Sintaks
Sintaks merupakan langkah-langkah pembelajaran yang menunjuk pada tahapan-
tahapan yang harus dilaksanakan oleh guru apabila akan menggunakan model
pembelajaran tertentu. Menurut Syah (dalam Burais, M. Ikhsan, M. Duskri, 2016: 81)
sintaks model pembelajaran Discovery Learning dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Siswa pertama kali diberikan sebuah persoalan, tanpa guru memberikan
generalisasi terhadap masalah tersebut sehingga siswa memiliki rasa akan
menyelidiki permasalahan untuk mencari generalisasi.
b. Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah).
Siswa akan mengidentifikasi masalah yang sesuai dengan materi pelajaran dan
kemudian harus dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
pertanyaan masalah).
c. Data collection (Pengumpulan Data).
Siswa akan mengumpulkan informasi yang sesuai dengan masalah sebanyak
mungkin dari berbagai sumber belajar untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis.
d. Data Processing (Pengolahan Data).
Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah
diperoleh siswa baik melalui wawancara, observasi dan sebagainya, lalu
ditafsirkan. Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi dan
sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi.
18
e. Verification (Pembuktian)
Berdasarkan hasil pengolahan data dari berbagai sumber, siswa melakukan
pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis
yang telah ditetapkan dari hasil pengolahan data.
f. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Siswa menarik kesimpulan pada masalah yang telah diselesaikan berdasarkan
hasil pembuktian.
2. Prinsip Reaksi
Prinsip reaksi merupakan pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana
seharusnya guru melihat dan memperlakukan siswa, bagaimana seharusnya guru
memberikan respon terhadap siswa. Prinsip reaksi memberi arahan bagaimana
seharusnya guru menggunakan aturan permainan yang berlaku dalam sebuah model
pembelajaran.
Pembelajaran dengan menggunakan model Discovery Learning guru sebagai
fasilitator. Dalam keseluruhan proses pembelajaran guru bertanggungjawab atas
suasana belajar yang ada. Guru harus memancing siswa agar memiliki rasa ingin tahu
yang lebih terhadap permasalahan sehingga siswa akan mencari tahu pemecahannya
melalui kegiatan pengamatan dan percobaan yang bimbing oleh guru menggunakan
pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki. Kemudian guru juga akan
membimbing siswa untuk mengambil kesimpulan sesuai dengan target nilai yang
telah ditetapkan.
3. Sistem Sosial
Sistem sosial merupakan pola hubungan guru dengan siswa yang terjadi selama
proses pembelajaran atau dengan kata lain merupakan suasana dan norma yang
berlaku dalam penggunaan metode pembelajaran tertentu. Dalam pembelajaran
menggunakan model Discovery Learning kegiatan kelas yang berorientasi pada
pemecahan masalah baik secara individu maupun kelompok. Siswa difasilitatori oleh
guru agar siswa dapat menemukan sendiri, menganalisis dan mengambil kesimpulan
19
dari sebuah masalah. Peran siswa dan guru sederajat, walaupun dalam hal ini guru
dan siswa memiliki peran yang berbeda.
4. Sistem pendukung
Sistem Pendukung merupakan segala sarana, alat dan bahan yang diperlukan
untuk menunjang terlaksananya proses pembelajaran secara optimal. Dalam
pembelajaran menggunakan model Discovery Learning sistem pendukung yang
diperlukan dalam segi lingkungan fisik yaitu lingkungan sekitar, sarana dan prasarana
yang mendukung seperti papan tulis yang dapat menunjang rasa keingintahuan siswa
dalam menemukan sebuah masalah. Selain itu, guru juga harus mempersiapkan
rancangan pembelajaran berupa RPP, Lembar kerja siswa, dan lembar evaluasi.
5. Dampak instruksional dan dampak pengiring
Dampak instruksional merupakan hasil belajar yang dicapai langsung dengan
cara mengarahkan para siswa pada tujuan pembelajaran. Dampak instruksional
diperoleh siswa setelah dilaksanakannya pembelajaran. Secara khusus, dampak
instruksional yang dimiliki siswa setelah mengikuti pembelajaran IPA menggunakan
model pembelajaran Discovery Learning yaitu kemampuan mendeskripsikan
keseimbangan alam dan pelestarian SDA.
Dampak pengiring adalah hasil belajar sampingan (iringan) yang dicapai sebagai
akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para siswa dari
penggunaan model pembelajaran tertentu. Secara khusus, dampak pengiring yang
didapatkan siswa dalam pembelajaran IPA dengan materi keseimbangan alam dan
pelestarian SDA melalui model Discovery Learning adalah kemauan siswa untuk
menganggapi masalah, kepekaan terhadap masalah-masalah yang ada di lingkungan
sekitar, kreatif dalam menganalisis masalah, keaktifan bekerjasama dalam
menyelesaikan masalah, berpikir kritis dalam membuat keputusan.
2.1.3.5 Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning dalam Pembelajaran
IPA SD
Sebelum dilaksanakannya sebuah pembelajaran, diperlukan perencanaan
berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran menggunakan model pembelajaran
20
tertentu. Oleh karena itu, perlu dibuat pemetaan sintaks dan langkah-langkah
pembelajaran. Pemetaan ini berguna sebagai padoman dalam menyusun Rancangan
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Berikut ini akan dijelaskan tentang pemetaan
sintaks dan langkah-langkah pembelajaran yang harus dilaksanakan dalam
pembelajaran IPA menggunakan model pembelajaran Discovery Learning.
Tabel 2.2 Pemetaan Sintak Model Pembelajaran Discovery Learning KEGIATAN
GURU
SINTAKS DISCOVERY
LEARNING
KEGIATAN
SISWA
Guru mengajukan persoalan berupa
uraian yang memuat permasalahan Stimulation
Mempersiapkan pengetahuan
awal atau pengetahuan yang
telah dimilikinya
1. Guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk memilih
masalah yang relevan
2. Guru mengarahkan siswa
merumuskannya dalam bentuk
pertanyaan dan hipotesis.
Problem Statement
1. Siswa mengidentifikasi
masalah yang relevan
2. Siswa merumuskan
permasalahan dalam bentuk
pertanyaan dan hipotesis.
Guru memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengumpulkan
informasi Data Collection
Siswa mengumpulan informasi
yang relevan, mengamati objek
secara kelompok
Guru meminta siswa untuk
mengolah informasi yang telah
diperoleh
Data Processing
Siswa mengklasifikasi,
menghitung dan menafsirkan
informasi yang telah diperoleh
1. Guru meminta siswa untuk
melakukan pembuktian hipotesis
yang telah dibuat. Apakah
hipotesis telah terjawab/terbukti
2. Guru memberi kesempatan siswa
untuk mempresentasikan hasil
kerja
Verification
1. Siswa meninjau kembali
hipotesis yang telah dibuat
diawal pembelajaran sesuai
dengan informasi yang telah
diperoleh
2. Siswa mempresentasikan hasil
kerja
Guru mengarahkan siswa untuk
membuat kesimpulan dari hasil
kerja
Generalization
Siswa membuat kesimpulan
dari hasil kerja.
2.1.3.6 Higher Order Thinking Skills (HOTS) dalam Discovery Learning
Higher Order Thinking Skills (HOTS) dalam pembelajaran mengintegrasikan
level berfikir tingkat tinggi dalam proses belajar dan evaluasi. Ketrampilan berpikir
tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS) merupakan kegiatan
berpikir yang melibatkan level kognitif hirarki tingkat tinggi dari Blooms Taxonomy
(itc:2013) yang terdiri dari 6 level yaitu sebagai berikut :
21
1. Design
Acting like an inventor, experiencing ‘light bulb’ moments to generate new
products, ideals or ways of doing things
2. Evalute
Acting like the scales of jusctice to ‘weigh up’ the evidence to make and justify a
decision
3. Analyse
Acting like a magnifying glass to identify the component parts of an issue,
situation or object
4. Apply
Acting to apply new skills, rules and concepts to related and new situations
5. Understand
Acting like an expert, showing understanding of words, concepts, cause and
effect and ‘reasons for’!
6. Remember
Acting like an internet databese to recall information, facts and data?
Dalam penjelasan diatas berfikir tingkat tinggi dalam Taksonomi Bloom dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Desain
Mengalami untuk menghasilkan produk, ide atau cara baru
2. Evaluasi
Menimbang/bukti untuk membuat dan membenarkan keputusan
3. Menganalisis
Mengidentifikasi bagian komponen dari sebuah isu, situasi atau objek
4. Menerapkan
Menerapkan ketrampilan baru, aturan dan konsep terkait dan situasi baru
5. Memahami
Memahami kata-kata, konsep, sebab dan akibat
6. Mengingat
22
Mengingat data, fakta dan informasi
Dalam hal ini hubungan Higher Order Thinking Skills (HOTS) dengan
Discovery Learning saling berkaitan, karena Discovery Learning yang berarti
mengembangkan keaktifan dengan cara menemukan pengetahuannya sendiri dengan
cara menemukan, menyelidiki sendiri sehingga sehingga hasil yang diperoleh
bertahan lama dalam ingatan siswa dan tidak akan mudah lupa, maka untuk
mendukung hal tersebut pendekatan Discovery Learning sebagai salah satu
pendekatan yang dapat digunakan untuk melatih siswa dalam berpikir kritis, logis dan
sistematis dan mampu menemukan pengetahuannya sendiri dengan cara
menganalisis. Cara belajar untuk menganalisis termasuk dalam belajar berfikir tingkat
tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS).
2.1.4 Media Pembelajaran
Pada kegiatan pembelajaran guru perlu mengadakan penggunaan media
untuk mendukung model yang digunakannya agar lebih menarik. Dalam
perkembangan zaman dan teknologi saat ini guru dituntut agar mampu
mengoperasikan alat-alat yang telah disediakan oleh sekolah. Sehingga siswa menjadi
lebih tertarik dalam belajar. Untuk itu seorang guru harus memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang cukup tentang media pengajaran. Berbagai bentuk media dapat
digunakan utnuk meningkatkan pengalaman belajar ke arah yang lebih konkret.
Pengajaran dengan menggunakan media tidak hanya sekedar menggunakan kata-kata
(simbol verbal), sehingga dapat diperoleh hasil pengalaman belajar yang lebih berarti
bagi siswa. Dalam hal ini Gagne dan Briggs (1979) dalam Ibrahim dan Syaodih
(2003: 113) menekankan pentingnya media sebagai alat untuk merangsang proses
belajar-mengajar.
Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata
medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Metode adalah
perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Gagne dalam
Sadiman, dkk (2006: 6) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen
dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar.
23
Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menyalurkan pesan dan merangsang terjadinya proses belajar pada si pembelajar
(siswa) Zainal Aqib (2013: 50). Makna media pembelajaran lebih luas dari alat
peraga, alat bantu mengajar, media audio visual. Media pengajaran dapat diartikan
sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan atau isi
pelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan siswa, sehingga
dapat mendorong proses belajar mengajar.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa media
pembelajaran adalah media yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat
bantu untuk guru dalam proses belajar mengajar serta sarana penyampaian pesan dari
sumber belajar ke penerima pesan yaitu siswa itu sendiri.
Fungsi utama media pembelajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang
ikut mempengaruhi ilkim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan
oleh guru. Sedangkan menurut Sadiman, dkk (2006: 17-18) kegunaan media
pendidikan dalam proses belajar mengajar adalah:
1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam
benatuk kata-kata tertulis atau lisan belaka).
2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, seperti misalnya:
a. Objek yang terlalu besar – bisa digantikan dengan realita, gambar, film
bingkai, film, atau model.
b. Obek yang kecil dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai, film atau
gambar.
c. Gerak yang terlalu lambat atau cepat, dapat dibantu dengan timelapse atau
high-speed photography.
d. Kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat
rekaman film, video, film bingkai, foto maupun secara verbal.
e. Objek yang terlalu kompleks dapat disajikan dengan model, diagram, dan
lain-lain.
24
f. Konsep yang terlalu luas misal (gunung berapi, gempa bumi, iklim dan lain-
lain) dapat divisualkan dalam bentuk film, film bingkai, gambar dan lain-lain.
3) Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi
sikap pasif anak didik. Dalam hal ini media berguna untuk:
a. Menimbulkan kegairahan belajar siswa,
b. Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan
lingkungan dan kenyataan,
c. Memungkinkan anak didik belajar sendiri menurut kemampuan dan
minatnya.
4) Mengatasi sifat unik yang dimiliki tiap siswa ditambah dengan lingkungan
dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan
ditentukan sama untuk setiap siswa.
Menurut Ariani dan Haryanto (2010: 91-93) menggolongkan media menjadi tiga:
a. Media visual
Media yang hanya mengandalkan indera penglihatan. Media ini ada yang
menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti foto, gambar, lukisan.
b. Media audio
Media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja seperti radio,
cassette recorder, piringan hitam.
c. Media audiovisual
Merupakan media yang mempunyai unsur suara dan unsure gambar. Media
ini mempunyai kemampuan yang lebih baik karena meliputi kedua jenis
media yang pertama dan kedua contoh dalam media ini adalah media video,
media komputer.
2.1.4.1 Media Gambar
Terdapat banyak media pembelajaran yang bisa digunakan oleh guru dalam
pembelajaran. Salah satunya yaitu media gambar. Media gambar dipakai karena dapat
dibuat dengan mudah, praktis dan tidak memerlukan biaya yang mahal. Media
gambar juga merupakan sarana yang baik untuk membawa situasi dunia luar kedalam
25
ruang kelas. Siswa tidak perlu membayangkan materi yang disampaikan oleh guru,
karena dengan media gambar siswa dapat melihat langsung ilustrasi yang ada.
Menurut Hamalik dalam (Sri Fajarsih, 2012: 7), media gambar adalah segala
sesuatu yang diwujudkan secara visual ke dalam bentuk dua dimensi sebagai curahan
ataupun pikiran yang bermacam-macam seperti lukisan, potret, slide, film, strip,
opaque proyektor.
Menurut Sadiman dalam (Sri Fajarsih, 2012: 7) media gambar adalah media
yang paling umum dipakai, yang merupakan bahasan umum yang dapat dimengerti,
dan dinikmati dimana saja.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa media
gambar adalah suatu media yang dapat diwujudkan secara visual dalam bentuk dua
dimensi yang dapat dinikmati dimana saja.
2.1.4.2 Kelebihan dan Kelemahan Media Gambar
Media Gambar mempunyai kelebihan dan kelemahan diantaranya:
1) Sifatnya konkret, gambar/foto lebih realistis menunjukkan pokok masalah
dibandingkan dengan media verbal semata.
2) Gambar dapat mengatasi batasan ruang dan waktu.
3) Media gambar/foto dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita.
4) Foto dapat memperjelas suatu masalah, dalam bidang apa saja dan untuk tingkat
usia berapa saja, sehingga dapat mencegah atau membetulkan kesalahpahaman.
5) Foto harganya murah dan gampang didapat serta digunakan, tanpa memerlukan
peralatan khusus.
Selain kelebihan-kelebihan tersebut, gambar/foto juga mempunyai kelemahan-
kelemahan yakni:
1) Gambar/foto hanya menekankan persepsi indera mata.
2) Gambar/foto benda yang terlalu kompleks kurang efektif untuk kegiatan
pembelajaran.
3) Ukurannya sangat terbatas untuk kelompok besar.
26
2.1.4.3 Karakteristik Media Gambar
Menurut Rahadi (2003:27), media gambar harus memiliki beberapa
karakteristik anatara lain harus autentik, artinya dapat menggambarkan obyek atau
peristiwa seperti jika siswa melihat langsung. Media gambar juga harus sederhana,
komposisinya cukup jelas menunjukkan bagian-bagian pokok dalam gambar
tersebut.ukuran gambar harus proporsional, sehingga siswa mudah membayangkan
ukuran yang sesungguhnya benda atau objek yang di gambar. Media gambar juga
harus memadukan antara keindahan dengan kesesuaiannya untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang diinginkan. Media gambar harus message (mengandung pesan).
Karena tidak setiap gambar yang bagus merupakan media yang bagus. Sebagai media
yang baik, gambar hendaklah bagus dari sudut seni dan sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai.
2.1.4.4 Langkah-langkah Media Gambar
Dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan media gambar dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Persiapan
Selain menyiapakan media gambar yang akan digunakan guru harus benar-benar
memahami pembelajaran dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin
akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya.
b. Pembukaan
Siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan diperkenalkan
dengan media gambar, kemudian siswa diminta untuk mencermati media gambar
tersebut dengan cara mereka sendiri.
c. Proses Pembelajaran
Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan
pengamatannya dapat dilakukan secara perorangan, dengan mengerjakan LKS
(Lembar Kerja Siswa) yang diberikan oleh guru untuk dinilainya.
27
d. Penutup
Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi dalam mengerjakan LKS nya di
kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu, dan pada akhir
pembelajaran siswa harus mengerjakan soal evaluasi yang lain menuju tingkat
kesuksesan dan keaktifan siswa (Sudjana. 2009: 12).
2.1.5 Model Discovery Learning Berbantuan Media Gambar
2.1.5.1 Pengertian Model Discovey Learning Berbantuan Media Gambar
Discovery Learning berbantuan media gambar merupakan suatu
penggabungan antara model pembelajaran yang membantu siswa untuk membangun
keterkaitan makna dalam proses belajar melalui media (Trianto, 2012:104).
Pendekatan ini membantu siswa menemukan dan mengkonstruksikan sendiri
pengetahuannya untuk memperoleh keterampilan melalui kegiatan yang beraneka
ragam, proses bermain sambil belajar serta proses interaksinya dengan penggunaan
media gambar. Pendekatan ini diharpkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa
dalam belajar sehingga mereka memperoleh hasil belajar yang maksimal.
Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Relmasira (2013) "in
collaboration, teachers should put their trust in students to be creatively maintaining
their own learning. Teachers should be no longer control the learning and start to
empower meaningful collaboration for achieving successful learning where all
students achieve progress in learning." Dalam berkolaborasi, para guru harus
mempercayai siswa agar dapat secara kreatif mempertahankan pembelajaran mereka
sendiri. Guru juga harus mengontrol pembelajaran dengan cara mendorong siswa agar
pembelajaran lebih bermakna, dimana setiap siswa dapat mencapai kemajuan dalam
belajar." Untuk mendukung hal tersebut, model pembelajaran Discovery Learning
sebagai salah satu model pembelajaran yang berkolaborasi secara kelompok yang
dapat digunakan untuk melatih siswa dalam bekerjasama untuk menemukan
pengetahuannya sendiri.
28
2.1.5.2 Langkah-langkah Pembelajaran Model Discovery Learning Berbantuan
Media Gambar
Dalam penelitian ini, peneliti menggabungkan model Discovery Learning
dengan berbantuan Media Gambar. Adapun langkah-langkah pembelajaran dengan
model Discovery Learning berbantuan Media Gambar adalah sebagai berikut:
1. Guru menentukan tema pembelajaran yang akan diajarkan
2. Guru membuka pelajaran
3. Guru melakukan apersepsi untuk memotivasi siswa
4. Siswa mengamati lingkungan sekolah yang berhubungan dengan bagian-bagian
tumbuhan dan fungsinya
5. Siswa menjawab pertanyaan guru mengenai hal yang dapat ditemukan
dilingkungan sekolah yang berkaitan dengan bagian-bagian tumbuhan dan
fungsinya
6. Guru menampilkan gambar-gambar seputar materi yang ada di dalam tema
pembelajaran.
7. Siswa membentuk kelompok (3-4 siswa)
8. Siswa bersama kelompok mengidentifikasi permasalahan mengenai gambar yang
sedang ditampilkan
9. Siswa mengelompokkan masalah yang sesuai dengan gambar
10. Siswa berdiskusi menentukan hipotesis dari pertanyaan yang telah mereka
kelompokkan.
11. Siswa perwakilan kelompok menyampaikan hipotesis yang telah dibuat.
12. Siswa menerima sebuah LKS keseimbangan alam dan pelestarian SDA.
13. Siswa menyimak arahan yang diberikan guru tentang kegiatan selanjutnya yaitu
percobaan
14. Siswa mengambil peralatan yang diperlukan untuk melakukan percobaan
15. Siswa bersama kelompoknya melakukan percobaan berdasarkan langkah
percobaan yang ada dalam LKS
16. Siswa melakukan percobaan dengan waktu yang diberikan guru
29
17. Siswa bekerja kelompok untuk mendiskusikan permasalahan yang dirumuskan
dengan mengamati percobaan
18. Siswa mencatat hasil pengamatannya pada LKS
19. Siswa melihat/ mengecek kembali pertanyaan atau hipotesis yang telah dibuat
berdasarkan hasil percobaan
20. Siswa mempresentasikan hasil diskusi
21. Siswa bersama guru membahas hasil percobaan yang telah dilakukan
22. Siswa melakukan penguatan materi yang diberikan guru
23. Siswa bersama guru melakukan tanya jawab mengenai materi yang belum
dipahami
24. Siswa membuat kesimpulan berdasarkan diskusi kelas yang telah dilakukan
dilanjutkan dengan evaluasi dan tindak lanjut
Dengan menerapkan model Discovery Learning berbantuan dengan Media
Gambar, maka guru mampu menciptakan pembelajaran yang kreatif dan inovatif
sehingga dapat memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran IPA.
2.1.5.3 Analisis Komponen Model Pembelajaran Discovery Learning
1. Sistem Sosial
Sistem sosial dalam penerapan model Discovery Learning dengan Media
Gambar memberikan pengaruh terhadap peran guru dan siswa. guru berperan sebagai
fasilitator dalam pembelajaran IPA. Guru memberikan dan menyediakan berbagai
fasilitas untuk membantu siswa dalam pembelajaran seperti melalui gambar. Siswa
juga memaksimalkan proses belajarnya melalui berbagai fasilitas yang diberikan
guru.
2. Prinsip Reaksi
Dalam interaksi belajar mengajar yang terdapat pada pembelajaran dengan
penerapan model Discovery Learning berbantuan Media Gambar ini siswa lebih
ditekankan sebagai subjek belajar, sedangkan guru sebagai fasilitator dalam proses
belajar mengajar. Siswa belajar melalui proses membangun pengetahuannya sendiri
(kontruktivisme), menemukan (inquiry), dengan cara mengidentifikasi masalah
30
(problem statement), mengumpulkan data (data collection), pengolahan data (data
processing), pembuktian (verification) dan generalization (menarik kesimpulan), serta
hasil belajar siswa dimulai selama proses hingga akhir belajarnya (penilaian yang
sebenarnya).
3. Sistem Pendukung
Dalam pembelajaran tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya
dukungan berupa sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dalam pembelajaran
dengan menerapkan model Discovery Learning berbantuan Media Gambar, sarana
dan prasarana yang digunakan meliputi Media Gambar, laptop, pengeras suara, LCD,
proyektor, soal yang dikemas dalam LKS, lingkungan sekitar, media dan alat peraga
yang sesuai dengan tema pembelajaran.
4. Dampak Pengiring dan Dampak Instruksional
Penerapan model pembelajaran Discovery Learning berbantuan dengan Media
Gambar memberikan berbagai dampak dalam pembelajaran. Dampak-dampak
tersebut meliputi:
a. Dampak pengiringnya yakni berupa karakter-karakter yang diharapkan dapat
muncul setelah siswa belajar dengan model pembelajaran Discovery Learning
berbantuan dengan Media Gambar. Karakter-karakter yang diharapkan yaitu
bertanggung jawab, toleransi, bekerjasama, percaya diri, dan teliti.
b. Dampak interaksional dalam penerapan model pembelajaran Discovery Learning
berbantuan dengan Media Gambar adalah adanya peningkatan hasil belajar siswa
kelas 4 pada pembelajaran IPA.
2.2 Penelitian Yang Relevan
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Agus Supriyadi
(2012) yang berjudul “Peningkatan Hasil Belajar Metode Discovery Learning
Pembelajaran IPA Kelas IV SDN 03 Sungai Ambang Kubu Raya”. Dapat
disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif Discovery Learning dapat
meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA. Siklus I 65,55% dan
siklus II 75,55%dari jumlah siswa 27 orang. Hasil belajar siswa meningkat
31
ditunjukkan dari rata-rata nilai evaluasi belajar siswa pada siklus I menjadi 78,72%
dan terjadi peningkatan setelah adanya perbaikan pembelajaran pada siklus II menjadi
97,76.
Penelitian yang dilakukan oleh Gina Rosarina (2016) yang berjudul “Penerapan
Model Discovery Learning Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi
Perubahan Wujud Benda”. Dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran
dengan model Discovery Learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran IPA kelas IV. Peningkatan ini dilihat dari presentase ketentuan setiap
siklus. Siswa yang dinyatakan tuntas pada siklus I berdasarkan hasil tes ada 7 siswa
(26,92%), siklus II menjadi 17 siswa (65,38%) dan siklus III 23 siswa (88,46%).
Berdasarkan hasil penelitian dari Siti Maslaah di Banyumas dengan judul
Penggunaan Media Gambar Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar IPA Kelas V Sub
Pokok Bahasan Alat Peredaran Darah Pada Manusia Di MI Ma’arif Tamansari
Karanglewas Banyumas Tahun Pelajaran 2014/2015. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada siklus I dan siklus II semakin meningkat. Siklus I rata-
ratanya mencapai 63,91% dengan nilai tertinggi 90 dan terendah 30, siklus II rata-
ratanya 83,91, nilai tertinggi 100 dan terendah 60. Dari hasil tersebut menunjukkan
bahwa peningkatan hasil belajar Ilmu Pengetahuan Alam perlu adanya kreatifitas
guru untuk menggunakan media pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat
tercapai.
Dari kajian empiris tersebut didapatkan informasi bahwa model pembelajaran
Discovery Learning dengan Media Gambar dapat meningkatkan hasil belajar siswa,
aktivitas siswa dalam pembelajaran. Hasil penelitian tersebut menjadi pendukung
untuk melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas dengan judul “Penerapan Model
Pembelajaran Discovery Learning Berbantuan Media Gambar Untuk Meningkatkan
Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD Negeri 01 Tegalsari Kecamatan Kedu
Kabupaten Temanggung Semester I Tahun Pelajaran 2017/2018”.
32
2.3 Kerangka Pikir
Pembelajaran di sekolah dasar harus dilaksanakan secara kreatif. Karena pola
berfikir taraf usia anak-anak masih senang bermain atau berkelompok, jadi guru
dituntut harus mampu menciptakan pembelajaran yang menyenangkan agar
pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi peserta didik. Menggunakan model
pembelajaran Discovery Learning siswa menjadi aktif untuk berfikir kritis
menemukan pengetahuannya sendiri dalam setiap pembelajaran, dengan melakukan
kegiatan pengamatan alam sekitar untuk menarik kesimpulan dapat mningkatkan
minat siswa dalam mengikuti pembelajaran. Siswa tidak akan merasa jenuh karena
mereka bisa mengamati lingkungan sekitar tentang materi yang diajarkan guru.
Keinginan siswa untuk memperoleh nilai yang tinggi dapat memacu mereka untuk
terus belajar. Dengan menggunakan metode Discovery Learning siswa dapat berfikir
kritis menemukan pengetahuannya sendiri dalam setiap pembelajaran.
Penggunaan media gambar sebagai media pembelajaran diharapkan dapat
mempermudah pemahaman siswa tentang materi yang diajarkan yaitu bagian-bagian
tumbuhan dan fungsinya. Dengan media ini juga dapat membantu guru agar
pembelajaran mejadi lebih efektif, tidak menggunakan metode ceramah dan mencatat
di buku serta siswa menjadi lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran.
33
Gambar 1. Skema Peningkatan Hasil Belajar IPA Dengan Model Pembelajaran
Discovery Learning Berbantuan Media Gambar
2.4 Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka yang telah diuraikan, maka hipotesis yang menjadi
jawaban sementara dari penelitian ini adalah: Penggunaan model pembelajaran
Discovery Learning berbantuan media gambar dapat meningkatkan hasil belajar tema
4 (Berbagai Pekerjaan) pada mata pelajaran IPA pada siswa kelas 4 semester I SD
Negeri 01 Tegalsari Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung.
Diduga dengan menggunakan metode
Discovery Learning dan media gambar
menjadikan pembelajaran tema 4 pada
mata pelajaran IPA lebih menyenangkan
dan dapat meningkatkan hasil belajar
siswa.
1. Hasil belajar siswa masih banyak
belum mencapai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM)
2. Guru belum menerapkan model
pembelajaran yang melibatkan
siswa untuk menemukan
pengetahuannya sendiri, sehingga
menyebabkan kurangnya minat
siswa untuk mengikuti
pembelajaran.
3. Guru belum menggunakan media
pembelajaran yang relevan dengan
materi sehingga siswa pasif dalam
mengikuti pembelajaran.
Kondisi Awal Tindakan Kondisi Akhir
Menerapkan model
Discovery
Learning
berbantuan Media
Gambar
1.Pembelajaran lebih menarik, siswa dapat berfikir secara aktif
dan kreatif dan dapat menemukan pengetahuannya sendiri
2.Penggunaan media dapat membantu guru untuk menyajikan
materi pelajaran dengan contoh-contoh menggunakan gambar