bab ii gambaran wilayah 2.1 kabupaten enrekang 2.1.1
TRANSCRIPT
15
BAB II
GAMBARAN WILAYAH
2.1 KABUPATEN ENREKANG
2.1.1 Keadaan Geografis
Kabupaten Enrekang termasuk dalam salah satu wilayah dalam Provinsi Sulawesi
Selatan yang secara astronomis terletak pada 3° 14’ 36” - 3° 50’ 00” LS dan 119° 40’53” -
120° 06’ 33” BT dan berada pada ketinggian 442 m dpl, dengan luas wilayah sebesar
1.786,01 km². Kabupaten Enrekang berbatasan dengan Tana Toraja di sebelah utara, di
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Sidrap, di sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Sidrap dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Pinrang.
Selama setengah dasawarsa terjadi perubahan administrasi pemerintahan baik tingkat
kecamatan maupun pada tingkat kelurahan/desa, yang awalnya pada tahun 1995 hanya
berjumlah 5 kecamatan dan 54 desa/kelurahan, tetapi pada tahun 2008 jumlah kecamatan
menjadi 12 kecamatan dan 129 desa/kelurahan. Adapun pembagian kecamatan dalam
lingkup kabupaten Enrekang antara lain:
1. Kecamatan Alla 7. Kecamatan Cenrana
2. Kecamatan Anggeraja 8. Kecamatan Curio
3. Kecamatan Enrekang 9. Kecamatan Malua
4. Kecamatan Masalle 10. Kecamatan Baraka
5. Kecamatan Buntu Batu 11. Kecamatan Bungin
6. Kecamatan Baroko 12. Kecamatan Maiwa
16
Secara umum bentuk topografi wilayah Kabuparten Enrekang terbagi atas wilayah
perbukitan karst (kapur) yang terbentang di bagian utara dan tengah, lembah-lembah yang
curam, sungai serta tidak mempunyai wilayah pantai. Jenis flora yang banyak ditemukan
pohon bitti atau yang biasa disebut vitex cofassus, pohon hitam Sulawesi atau diospyros
celebica, pohon ulin/kayu besi eusideraxylon zwageri, pohon lithocarpus celebica, kayu
bayam, kayu agatis - agatis celebica, kayu kuning – arcangelisia flava merr. Selain itu
terdapat juga rotan lambang-calamus sp, rotan tohiti – calamus inops becc. Rotan taman.
Jenis angrek juga banyak ditemukan anggrek yaitu goodyera celebica, anggrek Sulawesi
dari species phalaenopsis venosa, anggrek kalajenigking arachnis celebica. Anggrek
pleomele angustifolia. Anggrek cymbidium finlaysonianum, dan jenis tanaman lainnya
(Alamendah, 2011).
Lokasi penelitian penulis berada di Kecamatan Maiwa, Desa Palakka, Dusun Labale.
Situs yang menjadi objek penulis berupa ceruk yang berada di atas bukit karst dan untuk
mencapai situs ini, harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati pinggir sungai, kebun
penduduk dan hutan dengan jarak ± 1,5 km dari pemukiman warga yang dapat ditempuh
selama 30 menit. Secara astronomis situs ini terletak titik S 03º 338’ 04,6” dan E 119º
49’24,6” dengan ketinggian 442 m dpl. Temuan arkeologis yang ditemukan berupa wadah
kubur berjumlah 27 buah.
17
18
2.1.2 Sistem Kepercayaan
Konsepsi kepercayaan mulai muncul ketika adanya kesadaran manusia bahwa, adanya
kekuatan lain yang lebih mengagumkan terhadap hal-hal atau gejala-gejala tertentu yang
sifatnya luar biasa, yang lebih besar diluar kekuatan manusia itu sendiri, yang tak bisa
dijelaskan oleh akal manusia yang disebut kekuatan supranatural. Hal serupa juga
dirasakan masyarakat Enrekang pada masa lampau dimana mereka mulai mengenal suatu
kepercayaan yang disebut Aluk Tojolo.
Aluk Tojolo ini berdasarkan tujuh asas yang terbagi dalam dua bagian, pertama yang
berkaitan dengan kepercayaan yang terdiri atas tiga asas yang dikenal “Tallu Aluk Pamula”
yaitu: 1. Percaya dan menyembah kepada Puang Matua sebagai sang pencipta alam, 2.
Percaya dan menyembah kepada Dewata-dewata yang memeliharan ciptaan Puang Matua.
Pengertian dewata berasal dari kata Den Watanna yang artinya memiliki suatu kekuatan,
ada beberapa Dewata yang dikenal pada masyarakat Enrekang yang namanya disesuai
dengan tempat mereka berada, seperti dewata jo palli yaitu dewata yang berada pada
gunung palli, dewata yang menguasai air dan sumber air disebut Dewata Jo Wai dan masih
banyak lagi dewata-dewata lain yang dikenal dalam masyarakat, 3. Percaya dan
menyembah kepada Tojolo sebagai pemberi berkah dan memelihara kepada keturunannya.
Kedua, berkaitan dengan kehidupan yang terdiri atas empat asas atau yang dikenal
dengan nama “A’pa’ Pamula Ada’” yaitu: 1. Ada’ Tojolo, yakni adat kelahiran manusia 2.
Ada’ Tolino, yakni adat kehidupan dari pada manusia 3. Ada’ Peta’da Damban, yakni adat
penyembahan kepada tuhannya 4. Ada’ Tomate, yakni adat kematian manusia. Sebagai
lambang penghormatan baik kepada dewata maupun kepada roh nenek moyang agar diberi
perlindungan/keselamatan terhadap pengaruh jahat dan memberikan berkat/kesejahteraan
19
kepada mereka. Bersumber dari kepercayaan tersebut maka timbulah upacara ritual.
Upacara-upacara ritual tersebut antara lain:
1. Upacara adat maccere manurung (untuk menghormati arwah leluhur)
2. Upacara mangkande-kande (pada saat turun sawah/panen)
3. Upacara mampejampi (pengobatan)
4. Upacara meta’da barakka (meminta berkah).
Kepercayaan Aluk Tojolo di Enrekang berintikan pada dua hal, yakni pandangan
terhadap kosmos dan kesetiaan kepada leluhur.
2.1.3 Sistem Sosial
Terbentuknya stuktur pelapisan sosial masyarakat Enrekang berawal dari konsep To
Manurung, dimana cara kedatangan To Manurung yang tiba-tiba turun dari langit dianggap
luar biasa dan memberikannya kewibawaan yang ampuh dalam menghadapi rakyat, hal ini
memberikan pula suatu anggapan pada masyarakat bahwa status sosial To Manurung dan
keturunannya lebih tinggi dari masyarakat biasa. Pada umumnya masyarakat Enrekang
mengenal tiga lapisan masyarakat yaitu:
- Golongan To Puang atau Arung (bangsawan), bagi masyarakat Enrekang, keturunan To
Puang dianggap titisan dewa sehingga mereka mempunyai peranan dalam memegang
pucuk pimpinan yang tertinggi dalam suatu daerah kekuasaan, seperti Raja Ada’,
Ambe’banua, Ambe’kampung atau Tomatua.
- Golongan To Mardeka (rakyat biasa) golongan ini menempati golongan tengah, dimana
mereka tidak sebagai kaum bangsawan (penguasa) dan bukan orang yang diperhamba.
- Golongan To Kaunan (hamba milik to puang). Golongan yang diperhamba atau abdi
dari orang lain.
20
Ketiga golongan tersebut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Enrekang sekarang
tidak difungsikan lagi, namun demikian keturunan puang masih tetap dihormati dengan
panggilan “puang”.
2.2. KABUPATEN TORAJA UTARA
2.2.1 Keadaan Geografis
Kabupaten Toraja Utara dulunya bagian dari kabupaten Tana Toraja tetapi terjadi
pemekaran, beradasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2008 dan kini menjadi sebuah
kabupaten tersendiri. Walaupun kini kedua kabupaten tersebut mempunyai bentuk
pemerintahan sendiri-sendiri tetapi unsur budayanya masih tetap sama yaitu Budaya
Toraja. Ibu kota Kabupaten Toraja Utara adalah Rantepao yang termasuk dalam wilayah
Kecamatan Rantepao, secara astonomis kabupaten ini berada pada 2° 40' - 3° 25' LS dan
119° 30' - 120° 25' BT dan berada pada ketinggian ± 800-1000 m dpl serta memiliki batas-
batas wilayah yaitu:
- Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat dan
Kabupaten Luwu Utara.
- Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu.
- Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja
- Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja.
Kabupaten Toraja Utara terbagi dalam 21 kecamatan, 44 kelurahan dan 111 desa
(lembang) antara lain:
1. Kecamatan Rantepao 12. Kecamatan Dende' Piongan Napo
2. Kecamtan Sesean 13. Kecamatan Buntu Pepesa
21
3. Kecamatan Nanggala. 14. Kecamatan Baruppu’
4. Kecamatan Rinding Allo 15. Kecamatan Kesu’
5. Kecamatan Buntao’ 16. Kecamatan Tondon
6. Kecamatan Sa’dan 17. Kecamatan Bangkelekila
7. Kecamatan Sanggalangi 18. Kecamatan Rantebua
8. Kecamatan Sopai 19. Kecamatan Sesean Suloara
9. Kecamatan Tikala 20. Kecamatan Kapala Pitu
10. Kecamatan Balusu 21. Kecamatan Awan Rante Karua
11. Kecamatan Tallungpilu
Bentuk topografi Toraja terdiri atas 60% perbukitan, 38% daratan, dan 2 % sungai.
Kondisi geologi umumnya adalah areal perbukitan dan areal persawahan yang terjal,
bentukan tanah yang terdiri dari tanah liat berwarna kuning keabu-abuan dan kuning
kecoklatan yang mengendap, kondisi ini menghasilkan pegunungan tertinggi yaitu gunung
Sesean yang mencapai 2,160 m dpl, pegunungan di Toraja umumnya jenis basalt dan
batuan kapur dengan ketinggian 1.300 – 1.600 meter. Bentuk sungai terpanjang yaitu
Sungai Sa’dan dengan panjang 800 m yang mengaliri dua lembah di selatan Makale dan
bagian utara Rantepao. Jenis flora yang banyak ditemukan yaitu pohon bambu, pohon
cempaka atau dalam bahasa lokalnya disebut kayu Uru. Pohon Nangka, Rambutan, pohon
Kopi Robusta jenis coffea canephora, pohon Kopi Arabika atau coffea Arabica. Pohon
Langsat, pohon Manggis, pohon Kakao, pohon Palm.(Devi,46:2007).
Lokasi penelitian berada di Situs Kete’Kesu, Kete’Kesu adalah sebuah perkampungan
inti dari kampung kesu’ dan merupakan zona inti kawasan kesu’ yang mencakup Situs
Buntu Pune, Rante Karassik, Pallawa, Bori Parinding, Kandeapi, Pala Tokke, Londa dan
Lemo. Luas wilayah kampung Kesu sendiri yaitu 93,5 km². Situs Kete’kesu memiliki luas
22
5,5 Ha dan secara astronomis terletak 03º 55’ 22” LS dan 120º 01’ 56” BT. Temuan
arkeologi berupa wadah kubur atau erong banyak ditemukan pada tebing kapur (karst)
baik yang di gantung maupun yang tergeletak di tanah, yang berada di areal belakang
Tongkonan. Jumlah erong yang ditemuakan 37 buah dengan berbagai macam variasi
temuan antara lain erong babi, perahu, rumah adat toraja dan kerbau (Deviyanti, 2007:43-
45).
23
24
2.2.2 Sistem Kepercayaan
Awalnya Puang Matua menurunkan Sukaran Aluk kepada Datu La Ukku’, dalam
Sukaran Aluk ada 2 hal pokok ketentuan atau aturan yaitu:
1. Ajaran percaya kepada puang matua, deata-deata dan tomembali puang
2. Azas pemujaan dan penyembahan.
Tetapi adanya pelanggaran yang dilakukan Puang Londong, yang kemudian menyusun
kembali Aluk itu yang dikenal dengan nama Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 yang sudah
lengkap mencakup seluruh pergaulan hidup dan kehidupan manusia serta aturan pemujaan
kepada Puang Matua, Deata-Deata dan Tomembali Puang.
1. Ajaran percaya dan memuja kepada puang matua, deata-deata dan tomembali
puang
Ada 3 unsur yang harus dipuja oleh penganut Aluk Todolo yaitu
1. Puang Matua sebagai pencipta segala isi bumi
2. Deata-deata (sang pemelihara) diberi kekuasaan oleh Puang Matua untuk memelihara
serta menguasai segala isi bumi ini, agar isi bumi ini dapat dipergunakan oleh manusia
untuk memuja dan menyembah kepada Puang Matua, Karena telah diberi kuasa untuk
itu maka Deata-deata juga harus dipuja. Deata-deata sendiri terbagi dalam 3 golongan
yaitu
- Deata Tangnganan Langi’ (sang pemelihara di langit) yaitu dewa yang
menguasai seluruh isi langit dan cakrawala.
- Deata Kapadanganna (sang pemelihara permukaan bumi). Yaitu dewa yang
menguasai seluruh apa yang terdapat di atas permukaan bumi.
25
- Deata Tangngana Padang (sang pemelihara isi dari pada tengah dari tanah)
yaitu dewa yang menguasai segala isi tanah, laut dan sungai.
Ketiga deata di atas kemudian terbagi-bagi lagi menjadi deata-deata kecil, yang
menghuni atau menempati tempat-tempat tertentu yang masih banyak jumlahnya,
Seperti di gunung, sungai, hutan, tanah dan masih banyak lagi.
3. Tomembali Puang yang juga disebut Todolo sebagai oknum yang mempunyai tugas
memperhatikan perbuatan dan perilaku manusia keturunannya, serta diberi kuasa oleh
Puang Matua untuk memberi berkat kepada manusia turunannya. Manusia juga
diwajibkan untuk menyembah Tomembali Puang.
2. Azas pemujaan dan penyembahan.
Ada empat asas yang dikenal dalam kepercayaan Aluk Todolo yaitu;
1. Aluk Simuane Tallang (aturan upacara agama berpasangan)
Salah satu media atau cara untuk melakukan pemujaan dituangkan dalam bentuk
upacara yang berpasangan/berlawanan yaitu:
1) Aluk Rambu Tuka atau Aluk Rampe Matallo adalah upacara keselamatan atau
upacara pengucapan syukur. Upacara ini biasanya dilaksanakan di sebelah timur
rumah tongkonan, yang pelaksanaannya dimulai pada waktu matahari mulai naik.
Aluk rambu tuka mempunyai beberapa tingkatan mulai dari yang sederhana
sampai pada tingkat yang kompleks beserta kurban persembahannya yang
digunakan yaitu, kapuran pangngan, piong sanglampa, ma’pallin atau manglika’
biang, ma’tadoran, ma’pakande deata do banua, ma’pakande deata doing
padang, massura’ tallang, merok,dan ma’bua atau la’pa’.
26
Tingkatan upacara di atas harus dilakukan secara berurut dan tidak boleh
diubah susunannya. Ada satu lagi upacara yang terpisah dari rambu tuka yang
dapat dilakukan kapan saja tanpa melewati upacara yang disebutkan di atas, yaitu
upacara pengobatan dan upacara menolak bala yang terdiri atas 3 yaitu:
1. Upacara Massalu-salu
2. Upacara Maro atau Ma’dampi
3. Upacara Ma’bungi.
2) Aluk Rambu Solo’ atau Aluk Rampe Matampu’ adalah upacara pemujaan dan
kurban persembahan yang dilakukan di sebelah barat rumah atau tongkonan yang
pelaksanaannya waktu matahari mulai terbenam dan tak lain dari upacara
kematian/pemakaman.
Aluk rambu solo adalah upacara kematian yang bisa dikatakan paling
menonjol dalam kebudayan Toraja jika dibandingkan dengan upacara-upacara
lainnya. Pelaksanaan aluk rambu solo harus dilakukan berdasarkan dua hal yaitu:
1. Upacara pemakaman ditentukan oleh kedudukan seseorang yang berdasarkan
pada kasta/kedudukan sosial dalam masyarakat.
2. Ditentukan oleh kemampuan keluarganya mengadakan kurban pemakaman.
Pelaksanaan aluk rambu tuka dan aluk rambu solo tidak lepas dari kurban
sajian yang memiliki tujuan yang berbeda. Aluk rambu tuka, sajian/kurban
persembahan diperuntukan pada puang matua, deata-deata dan tomembali puang
yang dipuja. Tetapi pada aluk rambu solo, kurban/persembahan tersebut
diperuntukan sebagai bekal kubur di alam baka atau puya bagi orang yang
meninggal dan dagingnya sebagai kurban sosial yang dibagiakan kepada
masyarakat menurut adat. Ada 4 tingkatan dalam pelaksanaan upacara rambu solo
27
yang didasarkan pada kasta atau tana’ yang berlaku dalam masyarakat tersebut
berikut beberapa penjabarannnya:
a. Upacaria disilli’, upacara untuk kasta tana’ kua-kua serta pemakaman bagi
anak-anak yang belum mempunyai gigi. Upacara ini terdiri dari, dipasilamun
toninna, didedek’kan, dipasilamun tallo manuk, dan dibai tungga’.
b. Upacara dipasang bongi, upacara pemakaman bagi kasta kua-kua dan tana’
karurung, yang diperuntukan pula pada kasta tana’ bulaan dan tana’ bassi
yang tidak mampu/miskin yang terdiri atas, di bai a’pa, di tedong tungga’, di
isi (diberi gigi) dan ma’tangke patomali (ma’tangke – membawa, patomali –
kedua tangan).
c. Upacara dibatang atau didoya tedong, upacara pemakaman yang mempunyai
tiang-tiang landasan yaitu sudah dibuat tiang tempat mengikat kerbau waktu
dipotong yang disebut batang dan duduk menunggu beberapa malam dan hari
selama upacara berlangsung yang disebut doya, dan upacara ini sudah
memerlukan lebih dari satu hari satu malam. Upacara untuk pemakaman
Kasta Tana’ Bassi atau Kasta Tana’ Bulaan yang kurang mampu, yang terdiri
atas, di patallung bongi, di palimang bongi, dan di papitung bongi.
d. Upacara Rapasan yaitu upacara pemakaman yang dilakukan dua kali upacara
dan upacara ini hanya diperuntukan bagi tana bulaan. Upacara rapasan terdiri
atas;
1. Upacara rapasan diongan atau dandan tana’: upacara dengan
mengurbankan paling sedikit 12 ekor Kerbau dan Babi untuk dua kali
upacara. Upacara pertama dilakukan selama 3 hari 3 malam dihalaman
yang dinamakan Aluk Pia atau Aluk Banua dengan mengurbankan ½ dari
28
kurban yang disediakan. Selama upacara ini mayat masih tetap berada
dalam rumah sampai menghadapi upacara kedua. Upacara kedua atau
yang biasa disebut Aluk Palao dilakukan setelah keluarga yang
bersangkutan siap dengan semua peralatan dan kurban upacara yang
waktunya tidak tentu, bahkan upacara ini bisa sampai bertahun-tahun
lamanya baru dilaksanakan upacara kedua tersebut.
2. Upacara Rapasan Sundun yaitu upacara dengan mengurbankan sekurang-
kurangnya 24 ekor kerbau dan kurban babi secukupnya. Upacara ini
sama halnya dengan upacara sebelumnya Ini juga dilakukan dua kali tapi
ada beberapa tambahan acara seperti sumbangan Suke. Baratu, Tanaman
pasa’ dan lain-lain.
3. Upacara Rapasan Sapu Randanan: upacara ini sama dengan upacara
sebelumnya yang dilakukan sebanyak dua kali, namun yang
membedakannya ialah dari jumlah kurbannya yang bisa mencapai 30
ekor Kerbau atau lebih dan Babi sebanyak-banyaknya.
Menghadapi upacara Rapasan terlebih dahulu dipersiapkan Duba-duba
atau Lantang Tomate (usungan mayat), dan Tau-tau (patung orang yang
meninggal yang dibuat dari kayu nangka) kedua benda tadi kemudian diarak
ke lapangan upacara atau Rante lalu kemudian menuju Liang. Berbicara
mengenai Tau-tau, ada dua macam Tau-tau yang dikenal oleh masyarakat
Toraja yaitu:
1. Tau-tau lampa: yang terbuat dari sepotong bambu yang dibentuk dan
diberi pakaian dan perhiasan menyerupai manusia.
2. Tau-tau kayu: tau-tau yang terbuat dari kayu nangka dan diperuntukan
pada upacara rapasan, tapi ini juga berlaku bagi upacara di palimang
29
bongi dan di papitung bongi, biasanya Tau-tau ini dipasang di depan
liang dari orang yang dikuburkan.
Bentuk dukacita yang dirasakan oleh keluaraga karena adanya kematian
disebut Maro’. Hal ini dilakukan oleh keluarga yang ditinggalkan, para petugas
upacara pemakaman yang disebut petoe Aluk Tomate dan bagi orang meninggal
pun diberlakukan hal yang sama. Baru setelah mayat dikuburkan orang-orang
yang melakukan maro’ bisa makan nasi kembali dengan suatu upacara yang
mengurbankan seekor Babi guna mengakhiri hubungannya dengan manusia yang
masih hidup dan acara ini dinamakan Kumande.
Sebelum melakukan suatu proses upacara yang begitu panjang, terlebih dahulu
ada hal-hal yang pada umunya harus dilakukan yang berlaku bagi semua kasta
yang ada di Toraja antara lain:
1. Ma’dio’ Tomate yaitu seseorang yang baru saja mati dimandikan kemudian
diberikan pakaian yang indah-indah serta perhiasan-perhiasan, dihadiri oleh
seluruh keluarganya. Mulai saat itu sampai dilakukannya upacara pemakaman
mayat masih tetap dinamakan Tomakula’ (To – orang; makula’ – sakit).
2. Ma’doya yaitu acara pertama dengan mangramba’ (memukul) seekor ayam
atau lebih sebagai tanda dimulainya upacara pemakaman pada sore harinya.
Mulai pada saat itu yang mati itu tidak lagi dinyatakan sebagai tomakula’
tetapi mulai dinamakan tomate (to – orang; mate – mati).
3. Ma’balun yaitu mayat orang mati di balun atau dibungkus dengan kain kafan
karena baru dinyatakan tomate sementara upacara berjalan, bungkusan mayat
itu berbentuk bulatan yang dilakukan oleh petugas membalut mayat namanya
to mebalun (to – orang; mebalun – membalut).
30
4. Ma’bolong yaitu acara resmi dimana seluruh keluarga dinyatakan dalam
berkabung atas adanya kematian, para keluarga yang berkabung akan
melakukan maro’ (pantang makan nasi).
5. Meaa yaitu pengantaran jenasah ke kubur/liang yang dalam perjalanan
biasanya diarak atau yang biasa disebut ma’palao (mengarak keluar).
6. Kumande artinya seluruh keluarga yang telah melakukan maro’ selama
upacara berjalan mulai makan nasi hal ini bertujuan untuk mengakhiri masa
berkabung mereka, dan untuk roh yang mati disajikan pula makanan berupa
nasi.
7. Untoe sero (melaksanakan pelunasan upacara), yaitu upacara yang dilakukan
dengan mengurbankan babi atau kerbau di tempat penguburan/liang.
8. Membase (membersihkan diri), yaitu keluarga dari orang yang meninggal
mengadakan kurban di rumah/tempat upacara pemakaman tadi, yang
bertujuan membersihkan diri dari hubungan-hubungan upacara pemakaman/
rambu solo’ dan sudah dapat mengadakan upacara rambu tuka’.
9. Pembalika tomate, yaitu setiap adanya upacara pemakaman harus ditutup
dengan upacara ini, hal ini bertujuan untuk meresmikan roh tadi menjadi
setengah dewa yang dinamakan tomembali puang/todolo. Selain bentuk
upacara-upacara kematian yang dijabarkan diatas, juga terdapat upacara-
upacara lainnya yaitu dipoyo angina dan mangrambu.
Setelah setahun atau lebih, orang yang telah meninggal itu dianggap akan
menjadi tomembali puang dan untuk itu harus dilakukan upacara. Upacara ini
dilakukan sesuai dengan upacara saat ia meninggal, adapun tingkatan-tingkatan
dalam pelaksanaannya antara lain:
31
1. Upacara pembalikan untuk orang yang diupacarakan dengan upacara
pemakaman di silli, upacaranya hanya dengan piong (lembang) sanglampa
(sebatang) atau satu buah lembang.
2. Upacara pembalikan untuk orang yang diupacarakan dengan upacara
pemakaman di pasang bongi, upacaranya disebut ma’tadoran dengan
mengurbankan seekor ayam.
3. Upacara pembalikan untuk orang yang diupacarakan dengan upacara
pemakaman di batang atau di doya tedong, upacaranya disebut mangnganta’
dengan mengurbankan beberapa ekor babi.
4. Upacara pembalikan untuk orang yang diupacarakan dengan upacara
pemakaman rapasan, upacaranya disebut merok dengan mengurbankan
seekor kerbau sebagai kurban utama dan beberapa ekor babi.
b). Lesoan Aluk (aturan dalam upacara).
Dalam melakukan pemujaan tentu tidak lepas dari ketentuan atau aturan dalam
melaksanakan sebuah proses upacara, yang didasarkan pada ajaran Sukaran Aluk atau
Aluk Todolo atau yang biasa disebut Lesoan Aluk. Lesoan Aluk di Toraja berbeda-beda
hal ini dikarenakan adanya penyesuaian kondisi hidup masyarakat, sehingga dalam
pelaksanaan upacara di masing-masing daerah adat pun berbeda-beda, walaupun berbeda
dalam hal proses pelaksanaannya tetapi tujuan dalam upacara ini pada dasarnya sama.
Pada umumnya ada tiga daerah adat yang dikenal sejak dulu yaitu:
1. Daerah adat bagian timur yang dinamakan Padang di Ambe’i dengan Lesoan Aluk
Padang di Ambe’i.
2. Daerah adat bagian tengah yang dinamakan Padang di Puangngi dengan Lesoan
Aluk Padang di Puangngi.
32
3. Daerah adat bagian barat yang dinamakan Padang Ma’dikai dengan Lesoan Aluk
Padang Di Ma’dikai.
Tetapi dalam perkembangannya, tidak seluruh daerah Padang di Puangngi
melakukan Aluk Sanda Saratu ini, seperti yang terjadi di daerah Kesu’ dan sekitarnya
yang lebih dikenal kelompok Adat Balimbing Kalua’, yang terletak di bagian utara masih
mempergunakan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 sepenuhnya, dan kelompok Tallu
Lembangina dan Tallu Batupapan yang terletak di bagian selatan masih menggunakan
Aluk Sanda Saratu’. Karena adanya perbedaan tersebut maka dalam struktur masyarakat
berbeda pula, dimana pada kelomok bagian selatan masyarakatnya masih memberlakukan
struktur kesatuan yang monokreis sesuai dengan ajaran Aluk Sanda Saratu’ sedangkan
kelompok bagian selatan mempergunakan struktur masyarakat yang kesatuan
kekeluargaan dan kegotong-royongan menurut ajaran Aluk Sanda Pitunna/aluk 7777
sama dengan daerah adat Padang di ambe’i dan daerah adat Padang di ma’dikai.
c). Pemali Sukaran Aluk (larangan-larangan dalam aturan-aturan agama).
Berisi tentang larangan-larangan atau pemali yang sudah diatur dan menjadi
ketentuan dalam Sukaran Aluk atau Aluk Todolo. Terdapat 4 macam Pemali (larangan)
dan setiap langgaran pemali tersebut mempunyai pula ketentuan hukum yang di jatuhkan
pada setiap pelanggaran.
1. Pemalinna’ Aluk Ma’lolo Tau (larangan-larangan yang menyangkut aturan dan
agama keyakinan untuk kehidupan manusia).
2. Pemalinna Aluk Patuoan (larangan atau aturan untuk pemeliharaan hewan ternak)
3. Pemalinna Aluk Tananan (larangan dan aturan untuk pemeliharaan tanaman
terutama yang dimakan manusia)
33
4. Pamalinna Aluk Bangunan Banua (larangan dan aturan untuk membangun dan
memakai bangunan rumah/tongkonan)
Dan sebagai hukumannya dilakukan sebagai berikut:
1) Mangaku-aku (pengakuan dosa).
2) Di dosa (denda).
3) Disisarakan/dirampanan.
d). Pa’kikki’ atau pantiti’ dan Pesang (bagian kuban untuk sajian persembahan).
Syarat utama dalam melakukan pemujaan dan persembahan dalam Aluk Todolo ialah
mengadakan kurban persembahan, yang diatur dalam satu aturan atau ketentuan sajian.
Setiap kurban persembahan kerbau, babi dan ayam dalam satu rentetan upacara pemujaan
dan persembahan, terdapat bagian-bagian daging dari kuban itu yang sudah tentu diambil
untuk dimasak tersendiri yang dinamakan Pa’kikki’ atau Pantiti’, yaitu bagian daging
yang sudah mencakup seluruh bagian tubuh dari pada kurban. Pengaturan sajian
persembahan itu didahulukan dari penyuguhan makanan kepada manusia (pesung).
Adapun bagian-bagian tubuh hewan yang biasa digunakan sebagai sajian antara lain;
jantung, hati, paru-paru, buah pinggang, rusuk, leher, kepala, dara dan masih banyak lagi.
2.2.3 Sistem Sosial
Sejak nenek moyang pertama orang Toraja telah mengenal sistem pelapisan
masyarakat, selain sebagai lambang pemisahan antara satu golongan dengan golongan
yang lain. Pelapisan sosial ini disebut Adat Tana-Tana yang juga berfungsi sebagai
pedoman dalam menentukan tingkatan rambu solo (upacara pemakaman), rambu tuka dan
sistem pemerintahan adat. Adapun sistem pelapisan sosial/kasta yang terdiri atas:
34
1. Tana’ Bulaan (kasta bangsawan tinggi), adalah kasta yang menjabat ketua/pemimpin
dan anggota pemerintahan adat seperti Puang Ma’dika dan Sokkong Bayu.
2. Tana’ Bassi (kasta bangsawan menengah), adalah kasta yang menjabat pembantu atau
anggota pemerintahan adat yaitu jabatan-jabatan To Parenginge, Tobara’ dan Anak
Patalo.
3. Tana’karurung (kasta rakyat merdeka), adalah kasta yang menjabat jabatan/pembantu
pemerintah adat serta menjadi tugas/pembina aluk todolo untuk urusan aluk patuonan,
Aluk Tananam yang dinamakan to’ indo atau to’indo padang
4. Tana’ kua-kua, adalah kasta yang menjabat jabatan petugas/pengatur pemakaman atau
kematian yang dinamakan to mebalun atau to ma’kayo (tomebalun=membungkus
orang mati) dan juga sebagai abdi /hamba dari tana’bulaan dan tana’ bassi.
Semua jabatan yang disebutkan di atas merupakan tugas dan jabatan yang diwariskan
secara turun temurun, pada masing-masing keluarga yang bersangkutan yang bersumber
dari masing-masing tongkonan. Namun dalam kehidupan sekarang ini tampaknya sudah
tidak banyak lagi dijumpai, tetapi tidak dapat dipungkiri sisa-sisa dari pelapisan
masyarakat itu masih dipraktekkan oleh sekelompok kecil masyarakat yang ada di daerah
Toraja.
35
2.3 KABUPATEN MAMASA
2.3.1 Keadaan Geografis
Kabupaten Mamasa termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Barat.
Kabupaten Mamasa sama halnya dengan Toraja Utara, yaitu merupakan daerah pemekaran
berdasarkan undang-undang No. 11 tahun 2002. Kabupaten Mamasa mempunyai batas-
batas wilayah yaitu disebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, di sebelah
timur berbatasan dengan Tanah Toraja dan Kabupaten Pinrang, di sebelah selatan
berbatasan dengan Polewali Mandar dan di sebelah barat berbatasan Kabupaten Mamuju
dan Kabupaten Majene. Ibukota kabupaten berada di sebuah lembah yang dikelilingi
gunung-gunung dan termasuk dalam Kecamatan Mamasa, luas wilayah kabupaten Mamasa
adalah 2.759,23 km² yang terdiri dari 13 kecamatan antara lain.
1. Kecamatan Sumaroron 8. Kecamtan Balla
2. Kecamatan Massawa 9. Kecamatan Seseana Padang
3. Kecamatan Pana 10. Kecamtan Mambi
4. Kecamatan Nosu 11. Kecamatan Bambang
5. Kecamatan Tabang 12. Kecamatan Tabulahan
6. Kecamtan Mamasa 13. Kecamatan Aralle
7. Kecamatan Tandu Kalua
Kata “Mamasa” berasal dari kata “Mamase” yang artinya pengasih. Dikatakan
pengasih karena menurut cerita nenek moyang mereka, dahulu daerah ini dikenal sebagai
tempat berburu Babi Rusa, Anoa, Rusa dan binatang liar lainnya yang dengan mudah
mendapatkannya. Pendapat tesebut diperkuat oleh Drs. W. M. Maanala.M. yang
menyatakan bahwa “Mamase’na Dewata”, begitu besar pengasihan Tuhan kepada alam
lingkungan Mamasa maka setiap orang berburu hewan dengan sangat mudah
36
mendapatkannya. Selain itu Sungai Mamasa yang kaya dengan Ikan, Udang, Kepiting
memberikan kenikmatan penduduk. Daerah Mamasa juga sering disebut daerah
“Kondosapata’waisapalelean” yang artinya sawah sepetak yang sangat luas satu pematang
airnya merata kesemua bagian, tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi
(Lenora,1989:13).
Ada dua golongan etnis yang bermukim di wilayah ini, yakni etnis Mandar yang
mayoritas tinggal di kota Mamasa dan etnis Toraja barat yang disebut suku Mamasa yang
kebanyakan memilih bermukim di desa-desa. Bahasa yang digunakan didominasi bahasa
Mamasa yang mirip dengan bahasa Toraja serta sebagian kecil lagi menggunakan bahasa
Mandar. Penduduk Mamasa menganut agama Kristen dan sebagian lagi beragama islam,
kendati masyarakat Mamasa sudah memeluk agama namun masih terdapat juga sisa-sisa
kepercayaan lama yaitu Aluk Tomatua.
Kabupaten ini terdiri atas gugusan pegunungan, lembah dan juga memiliki sungai yang
disebut Sungai Mamasa yang mengalir dari pegunungan Mambulilling melewati Kabupten
Enrekang, kemudian melewati Sungai Saddang di Pinrang dan akhirnya bermuara diselat
Makassar. Jenis tanah di daerah ini termasuk dalam tanah Vulkanik dan batuan Alkalikaya
lasit, demikian besarnya pengaruh tanah sehingga disini banyak ditemukan sumber air
panas, hal ini juga berdampak pada jenis vegetasi yang ada khususnya bagi para petani
dimana mereka hanya biasa menanam jenis padi di daerah lereng-lereng gunung, selain
padi mereka juga menanam Jagung, Ketela, Kacang-kacangan, Kopi, Kakao, Kemiri,
Sayur, buah dan beberapa jenis bunga, selain itu jenis-jenis kayu juga banyak ditemukan
seperti jenis kayu Meranti, kayu Uru, kayu Jati, kayu Sengon, jenis kayu Eboni, kayu
Gmelina, jenis kayu Rimba Campuran, dan jenis kayu Indah.
37
Lokasi penelitian penulis ada dua yaitu Situs Paladan dan Situs Buntu Balla. Situs
Paladan terletak di Desa Paladan yang terletak diatas perbukitan/gunung dan dapat
dijangkau dengan jalan kaki ± 6 km. Kata Paladan sendiri berasal dari kata tipaladan-
ladan yang artinya bertangga-tangga, memang tipologi dari desa ini berbukit seperti
tangga, pada situs ini terdapat 3 buah makam yaitu Tedong-tedong, Bangka-bangka dan
Batutu.
Situs Buntu Balla, yang merupakan lokasi penelitian kedua, terletak di Kecamtan Balla,
Desa Balla Barat. Letak astronomis 03º 00’ 040” LT dan 119 º 19’ 228” BT, Jaraknya ± 12
km sebelum tiba di kota Kecamatan Mamasa. Situs ini berbatasan dengan Sungai Sariayo,
bukit/gunung lembang wai, jalan setapak sawah penduduk, kebun kopi dan bukit/gunung
rante paku di sebelah utara, di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan kebun Kopi,
bukit/gunung Pokanba. Situs Buntu Balla merupakan salah satu peninggalan purbakala
yang telah dijadikan objek pariwisata, adapun tinggalan yang ditemukan berupa wadah
kubur dengan variasi seperti Tedong-tedong yang jumlahnya 11 buah, dan Bangka-bangka
yang jumlahnya 7 buah.
38
39
2.3.2. Sistem Kepercayaan
Orang Mamasa telah menganut suatu kepercayaan asli yang mereka warisi secara turun
temurun dari leluhur mereka. Warisan inilah dianggap sebagai kepercayaan asli yang
dikenal dengan sebutan Aluk Tomatua. Kepercayaan ini hampir sama dengan kepercayaan
dengan Aluk Todolo di Toraja. Aluk Tomatua dijadikan sebagai dasar aturan dalam hukum
adat yang digunakan dalam kehidupan masyarakat, baik upacara Rambu Tuka maupun
Rambu Solo.
Menurut kepercayaan Aluk Tomatua, setiap manusia percaya pada dewa (Tuhan) yang
berdiam di langit dan di awan-awan. Adapun dewa yang mereka kenal yaitu:
1. Dewata Tometampa: Dewa pencipta manusia.
2. Dewata Tomekambi: Dewa yang memelihara umat manusia selama berada di alam
fana.
3. Dewata Tomemana’: Dewa yang memberikan/mengaruniakan kekayaan dan
keuntungan hidup di dunia.
Ada beberapa rangkaian upacara yang berkaitan dengan kepercayaan Aluk Tomatua
yang masih sering dilakukan dalam masyarakat, secara garis besar dapat dibagi dalam dua
kelompok yaitu upacara Rambu Tuka dan upacara Rambu Solo. yang termasuk dalam
upacra Rambu Tuka antara lain:
1. Upacara lingkaran hidup
- Mangidam, pada waktu hamil tiga bulan pada upacara ini disajikan bermacam-
macam makanan.
- Dipalangngan para, waktu habis melahirkan diwajibkan memotong ayam’.
40
- Dipatama dondonan, waktu sang bayi lahir untuk pertama kalinya dimasukkan
ke ayunan dan diharuskan memotong Babi dan Ayam.
- Ma’tambolik, setelah anak berumur 4-5 tahun, diadakan upacara dengan
memotong beberapa ekor Babi.
- Ma’bisu (sunnatan), upacara ini dirangkaikan dengan upacara panen
2. Upacara panen mempunyai beberapa tingkatan yaitu:
- Ma’kabura, upacara panen yang dilakukan secara sederhana.
- Ma’pararu, upacara dengan memotong babi dan kerbau.
- Ma’rinding bai’ dan ma’rinding tedong, upacara ini diharuskan memotong lebih
dari 20 ekor kerbau dan babi.
- Ma’langi, upacara ini diharuskna memotong diatas 50 ekor kerbau.
- Ma’ karinggi, suatu upacara pemotongan sebagian padi yang telah menguning
dan diharuskan memotong seekor Babi, Ayam dan Ikan di sawah. Masa ini
diakhiri dengan upacara pa’sassaran yaitu upacara membuka kebun baru untuk
ditanami Jagung dan yang terakhir ialah melakukan upacara Ma’pararu.
Upacara yang berkaitan dengan kematian biasa disebut Pa’tomatean, yang
dilaksanakan berdasarkan status sosial mereka dalam masyarakat dan kemampuan
keluarga untuk melaksanakan upacara tersebut. Berikut beberapa tingkatannya:
1. Todilole, upacara kematian bagi masyarakat rendah yang dilaksanakan hanya satu
malam, mayat disimpan di atas rumah dengan pengorbanan tiga jenis hewan yaitu
Babi, Anjing dan Ayam. Dalam upacara ini keluarga yang ditinggalkan dilarang
makan nasi atau yang biasa disebut Meroo’.
41
2. Todisambu’i sura, hampir sama dengan di atas, tapi dengan tambahan waktu dua hari
dua malam, mayat disimpan di atas rumah lalu diselimuti dengan sura atau mawa
(semacam kain khusus pembungkus sementara mayat yang mahal harganya).
3. Todipa’tentenan, jenazah disemayamkan di atas kursi atau di lantai ditengah-tengah
perkabungan, kemudian dipakaikan pakaian tradisional yang cukup menakutkan.
4. Dipa’baladoam, upacara ini berlangsung empat hari empat malam dengan
pengorbanan tiga ekor Kerbau dan delapan ekor Babi ditambah seekor Anjing (tallu
rara).
5. Todiruran, dalam upacara ini ada yang dinamakan lombung penawa (penyambung
nyawa), dilaksanankan dengan pemotongan Babi. Pada upacara ini diadakan Pa’tau-
tauan (mendirikan sebuah patung yang terbuat dari kayu).
6. Todiallun’, upacara ini merupakan tingkatan upacara yang paling tinggi tingkatannya
dalam upacara kematian di Mamasa.
Adapun beberapa tingkatan yang dikenal dalam upacara pa’tomatean antara lain:
1. Di baba bai, pengorbanan seekor Ayam dan seekor Babi yang dilakukan pada hari
pertama setelah seorang meninggal, hari kedua pengorbanan seekor Babi lagi dan
juga hari ketiga dilakukan hal yang sama. Bagi keluarga yang ditinggalkan pantang
memakan nasi, mereka hanya makan umbi-umbian, hal semacam ini disebut Meroo’.
2. Dibaba’ tedong, upacara yang sama dengan dibaba’bai, tetapi upacara ini
diramaikan dengan bunyi gendang. Setelah mayat lewat pintu menuju penguburan
gendang berhenti dibunyikan diganti dengan pengorbaban seekor Kerbau.
3. Dibali gandang, upacara pa’tomatean yang sama dengan upacara sebelumnya, tetapi
disini ditambah lagi dengan pengorbanan Kerbau menjadi dua ekor, gendang
dibunyikan selama sehari semalam penuh.
42
4. Dipaturunan gandang, upacara yang sama dengan ketiga tingkatan tersebut di atas,
gendang diturunkan ke kolong rumah dekat tangga, dan gendang dibunyikan dua hari
dua malam.
Untuk menjaga hubungan baik antara manusia dan dewa-dewa tersebut maka,
manusia terikat dan diatur dalam empat pembagian waktu atau tabu (pemali
apa’randanna) yaitu:
1. Pa’totibayongan, serangkaian upacara dan pantangan yang tidak dapat dilaksanakan
setiap individu mulai pembukaan lahan sawah sampai penyimpanan hasil produk
lahan.
2. Bulan liang/paling tomate, ziarah ke makam orang telah meninggal atau orang telah
dimasukkan ke liang.
3. Pa’bisuan, waktu yang telah ditetapkan oleh adat untuk melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan pengucapan syukur dan hampir setiap kampung mengadakan
pesta rakyat.
4. Pa’bannetauan, tahap ini merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk
melaksanakan perkawinan.
43
2.3.3 Sistem Sosial
Sistem pelapisan sosial masyarakat juga ditemukan di daerah Mamasa (kondosapata),
hal ini didasarkan pada garis pertalian darah atau soal keturunan yang bertitik tolak pada
banua sura dari seseorang sebagai ukuran tinggi rendahnya status sosial seseorang dalam
masyarakat. Ada empat macam pelapisan sosial yang sudah sejak lama dikenal yaitu:
1. Tana’ bulawan, golongan bangsawan tinggi yang dikiaskan dengan emas.
2. Tana’ bassi, golongan bangsawan yang dikiaskan dengan besi
3. Tana’ karurung, golongan masyarakat biasa yang dikiaskan dengan karurung
yaitu jenis kayu yang berwana hitam.
4. Tana’ koa-koa, golongan masyarakat paling rendah atau budak yang dikiaskan
dengan semacam rumput yang hidup di pinggir sungai yang hidupnya tergantung
pada air dan tanah basah.
Pelapisan sosial masyarakat yang diuraikan di atas, sudah jarang ditemukan saat
ini. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari luar dan dari masyarakat
Mamasa sendiri yang kemudian merubah pola pikir mereka sendiri.