bab ii fixed diabetes

22
II. TINJAUAN PUSTAKA A.Diabetes Melitus 1.Definisi Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, ateroslerotik, penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan

Upload: meta-sakina

Post on 15-Sep-2015

3 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

journal

TRANSCRIPT

II

6

II. TINJAUAN PUSTAKAA.Diabetes Melitus

1.Definisi

Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, ateroslerotik, penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes.

2.Etiologi

Etiologi diabetes melitus bermacam-macam. Determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus. Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan respons terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak.Terdapat bukti adanya peningkatan antibodi-antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans yang ditujukan terhadap komponen antigenik tertentu dari sel beta.Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya pada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisai pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam peningkatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin maka akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Kejadian obesitas sering berkaitan dengan pola hidup yang kurang sehat, seperti makan makanan cepat saji dan kurang banyak melakukan aktifitas. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa. Diabetes melitus tipe lain merupakan jenis diabetes yang banyak penyebabnya, diantaranya adalah defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, dan sindroma genetik lain. Sedangkan diabetes kehamilan adalah diabetes yang hanya terjadi pada saat kehamilan dan biasanya hilang setelah melahirkan.3.Klasifikasi

Klasifikasi diabetes melitus menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2009:

Tabel 1.Klasifikasi Diabetes Mellitus

4.Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya DM adalah:

1. aktifitas fisik kurang

2. riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama

3. masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native American, Asian American, Pacific Islander)

4. wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat>= 4000 gram atau riwayat diabetes melitus gestasional

5. hipertensi

6. kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserid >= 250 mg/dl

7. wanita dengan sindrom polikistik ovarium

8. riwayat toleransi glukosa terganggu atau glukosa darah puasa terganggu

9. riwayat penyakit kardiovaskuler5.Diagnosis Diagnosis DM dapat ditegakkan berdasarkan tabel di bawah ini,yaitu Tabel 2.Diagnosis Diabetes Mellitus

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 mmol/L)

puasa diartikan tidak mendapatkan kalori tambahn sedikitnya 8 jam

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO>=200 mg/dl (11,1 mmol/L)

TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara

dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994):

- 3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa

- berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan

- diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa

- diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit

- berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai

- diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

- selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat

hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3, yaitu:

1. 4000 gram, dan adanya elemen dari sindroma metabolik (obesitas, hipertensi, dislipidemia). Usaha-usaha untuk menurunkan resistensi insulin antara lain mencegah atau memperbaiki adanya obesitas, menghindari diet tinggi lemak, mengkonsumsi sumber karbohidrat yang diolah tidak terlalu bersih (unrefined), menghindari obat-obat yang bersifat diabetogenik dan meningkatkan aktivitas fisik yang berpengaruh menurunkan resistensi insulin terlepas dari penurunan berat badan (WHO, 2009).

Usaha-usaha tersebut tidak lain adalah perubahan gaya hidup. Perubahan gaya hidup tersebut dapat menurunkan berat badan, memperbaiki distribusi lemak tubuh (menurunkan lingkar pinggang) dan dengan demikian dapat mencegah atau menunda manifestasi dari DM tipe 2 .

Penelitian pada populasi IGT atau yang disebut prediabetes agar tidak berkembang menjadi DM tipe 2 menunjukkan bahwa penurunan berat badan 3 4 kg dalam 4 tahun dapat menurunkan kejadian DM tipe 2 sebesar 28% Demikian juga penelitian dari Diabetes Prevention Program (DPP) menunjukkan penurunan kejadian DM tipe 2.

Pada populasi IGT dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok yang diintervensi gaya hidupnya, kelompok yang mendapat obat metformin dan kelompok kontrol. Intervensi gaya hidup dengan target penurunan berat badan 7% dan aktivitas fisik berupa jalan cepat 150 menit tiap minggu. Hasilnya menunjukkan intervensi gaya hidup menurunkan kejadian DM sebesar 58% sedangkan pemberian metformin menurunkan sebesar 31%.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan menemukan diagnosis DM sedini mungkin dengan cara skrining. Skrining juga berguna untuk menemukan penderita DM yang belum terdiagnosis. Penelitian United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS, 1998) menunjukkan 14 bahwa penderita DM tipe 2 yang diagnosisnya baru saja ditegakkan

hampir 50% sudah terkena komplikasi kronis terutama komplikasi mikroangiopati. Komplikasi kronis biasanya muncul 5 7 tahun sesudah DM muncul. Karena DM tipe 2 perjalanan penyakitnya sangat perlahan-lahan maka sering penderita tidak menyadari kalau mulai mengidap DM. Untuk itu perlu dilakukan tes penyaring

(skrining).

Tes penyaring dapat ditujukan pada seluruh penduduk atau hanya pada golongan berisiko tinggi. Tes penyaring pada seluruh penduduk sangat mahal, karena itu tes penyaring biasanya hanya dilakukan pada golongan berisiko tinggi. Golongan berisiko tinggi ini antara lain usia > 45 tahun, berat badan lebih (berat badan relatif >

110% atau IMT > 23 kg/m2 ), hipertensi (140 / 90 mmHg), riwayat DM dalam garis keturunan, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan lahir bayi 4.000 gr, kadar kolesterol HDL 35 mg/dl atau trigliserida 250 mg/dl. Tes penyaring yang hasilnya negatif sebaiknya diulang setiap tahun, sedangkan pada usia > 45 tahun yang tanpa faktor risiko lain diulang tiap 3 tahun. Tes penyaring

dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu atau glukosa darah puasa. Hasil tes penyaring normal bila glukosa darah sewaktu atau puasa < 110 mg%. Bila didapatkan kadar glukosa darah puasa antara 110 125 mg/dl dinamakan glukosa darah puasa terganggu dan bila 126 mg/dl atau glukosa darah sewaktu 200 mg/dl maka diagnosis DM sangat mungkin dan bila tanpa gejala DM perlu

dilakukan tes pada waktu yang lain untuk memastikan diagnosis

(PERKENI, 2009)3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah usaha untuk mencegah terjadinya komplikasi pada DM. Komplikasi akut meliputi hipoglikemia, koma ketoasidosis diabetika, koma/keadaan hiperosmoler non ketotik dan terjadinya infeksi. Komplikasi kronis merupakan akibat

mikroangiopati maupun makroangiopati. Komplikasi kronis akibat mikroangiopati meliputi retinopati, nefropati dan neuropati, sedang komplikasi akibat makrongiopati berupa aterosklerosis dengan akibat dapat terjadinya stroke, penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah tepi terutama pada kaki. Pencegahan tersier terhadap

komplikasi kronis berupa pencegahan terhadap timbulnya komplikasi, pencegahan terhadap progresivitas komplikasi dan pencegahan 15 terhadap terjadinya cacat atau ketidakmampuan akibat kegagalan fungsi organ. Usaha terhadap timbulnya komplikasi ini antara lain pengendalian yang ketat dari kelainan metabolik pada DM (glukosa darah, lipid) dan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kerusakan pembuluh darah misalnya tekanan darah, merokok dan

sebagainya. Pengendalian glukosa darah yang ketat telah dibuktikan pada penelitian Diabetes Control and Complication Trial (DCCT, 1993) pada DM tipe 1 dimana pengendalian ketat tersebut dapat menurunkan risiko retinopati sebesar 35 74%, mikroalbuminuria sebesar 35% dan neuropati sebesar 60%. Penelitian United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS, 1998) pada DM tipe 2 juga

membuktikan penurunan HbA1c 1% dapat menurunkan risiko komplikasi mikrovaskuler 25% (PERKENI, 2009).

4. Pencegahan Diabetes Dengan Ekstrak Winter MelonWinter melon (Benincasa hispida) merupakan tanaman yang tumbuh alami di Asia Tenggara dan sekarang merupakan sayuran yang penting di Negara-negara Asia Timur. Dalam pengobatan tradisional china, winter melon digunakan sebagai terapi diet untuk antiinflamasi, antioksidan,dan antiangiogenesis. Winter melon juga digunakan sebagai terapi hiperglikemia, hiperlipidemia, obesitas, dan proteksi terhadap serangan ginjal (Ming Gu, 2013). Di Indonesia pemanfaatan winter melon (Benincasa hispida) saat ini hanya sebatas digunakan sebagai manisan bahkan untuk kulitnya sering kali dibuang tanpa ada pemanfaatan sedikitpun.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ming Gu menyebutkan bahwa kulit winter melon memiliki efek mencegah obesitas, menurunkan kadar kolesterol total dalam serum, menurunkan kadar LDL-c, menurunkan kadar trigliserida liver, menurunkan kadar glukosa puasa , memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki toleransi glukosa melalui proses inhibisi peroxisome proliferator-actived reseptor (PPAR) dan HMGCR (Ming Gu, 2013)

Aktivitas PPAR adalah nuclear reseptor yang terlibat dalam proses metabolism lipid dan glukosa . Keberadaan reseptor ini banyak di temui di jaringan adiposa, liver dan otot. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh C.-W. Wu, K.K. Biggar menunjukkan bahwa keberadaan PPAR berpengaruh pada resistensi insulin dan menginisiasi terjadinya DM tipe 2. (C.-W. Wu, K.K. Biggar, 2013).15