bab ii etika murid dalam perspektif pendidikan islam a

83
21 BAB II ETIKA MURID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM A. Hakikat Murid dan Kedudukannya Dalam Islam 1. Pengertian Murid Kata “Murid” berasal dari bahasa Arab, yaitu arada, yu‟ridu, iradatan, muridan”( - - - ) yang berarti orang yang menginginkan, dan menjadi salah satu sifat Allah SWT. yang berarti “Maha Menghendaki”. 1 Hal ini dapat dipahami karena seorang murid adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan di akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh. Istilah murid ini banyak digunakan dalam tasawuf sebagai orang yang belajar mendalami ilmu tasawuf kepada seorang guru yang dinamai syekh. 2 Selain kata murid dijumpai pula kata yang berarti murid atau pelajar, yang bentuk jamaknya “ , 3 yang memiliki arti beberapa pelajar. Istilah ini antara lain digunakan oleh Ahmad Shalaby. Selanjutnya terdapat pula kata al-mudarris, berasal dari bahasa Arab, yaitu orang yang mempelajari sesuatu. 4 Kata ini dekat dengan kata madrasah, sehingga lebih tepat digunakan untuk arti pelajar pada suatu madrasah. Ketiga kata tersebut di atas, tampaknya digunakan untuk menunjukkan pada pelajar tingkat dasar dan lanjutan yang disebut murid. 1 Engr Sayyid Khaim Husayn Naqawi. 1992. Dictionary Of Islamic Terms, Hlm. 235. 2 Abd al-Rahman, Abd al-Khaliq, Al-Fikr Al-Shufi Fi Dhau Al-Kitab Wa Al-Sunnah,(Maktabah Ibn Taimiyah, Kuwait, 1986), Hlm. 316-349.. 3 Mahmud Yunus, Kamus Arab - Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, t.th), hlm. 79 4 Engr sayyid Khaim Husayn Naqawi. 1992. Dictionary Of Islamic Terms. Hlm. 375..

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

21

BAB II

ETIKA MURID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

A. Hakikat Murid dan Kedudukannya Dalam Islam

1. Pengertian Murid

Kata “Murid” berasal dari bahasa Arab, yaitu „arada, yu‟ridu,

iradatan, muridan”( - - - ) yang berarti orang yang

menginginkan, dan menjadi salah satu sifat Allah SWT. yang berarti

“Maha Menghendaki”.1 Hal ini dapat dipahami karena seorang murid

adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan,

keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal

hidupnya agar berbahagia di dunia dan di akhirat dengan jalan belajar yang

sungguh-sungguh. Istilah murid ini banyak digunakan dalam tasawuf

sebagai orang yang belajar mendalami ilmu tasawuf kepada seorang guru

yang dinamai syekh.2 Selain kata murid dijumpai pula kata yang

berarti murid atau pelajar, yang bentuk jamaknya “ ,3 yang memiliki

arti beberapa pelajar. Istilah ini antara lain digunakan oleh Ahmad Shalaby.

Selanjutnya terdapat pula kata al-mudarris, berasal dari bahasa Arab, yaitu

orang yang mempelajari sesuatu.4 Kata ini dekat dengan kata madrasah,

sehingga lebih tepat digunakan untuk arti pelajar pada suatu madrasah.

Ketiga kata tersebut di atas, tampaknya digunakan untuk

menunjukkan pada pelajar tingkat dasar dan lanjutan yang disebut murid.

1 Engr Sayyid Khaim Husayn Naqawi. 1992. Dictionary Of Islamic Terms, Hlm. 235.

2 Abd al-Rahman, Abd al-Khaliq, Al-Fikr Al-Shufi Fi Dhau Al-Kitab Wa Al-Sunnah,(Maktabah Ibn

Taimiyah, Kuwait, 1986), Hlm. 316-349.. 3 Mahmud Yunus, Kamus Arab - Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, t.th), hlm. 79

4 Engr sayyid Khaim Husayn Naqawi. 1992. Dictionary Of Islamic Terms. Hlm. 375..

22

Istilah-istilah tersebut, menggambarkan sebagai orang yang masih

memerlukan bimbingan dan masih bergantung kepada guru, belum

menggambarkan kemandirian.

Istilah lain, berkaitan dengan murid adalah al-thalib. Kata ini berasal

dari bahasa Arab, yaitu thaba, yathlubu, thalaban, thalibun yang berarti

orang yang mencari sesuatu. Pengertian ini terkait dengan orang yang

tengah mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan

pembentukan kepribadian untuk bekal kehidupannya dimasa depan agar

berbahagia di dunia dan di akhirat. Kata al-thalib ini selanjutnya lebih

digunakan untuk pelajar pada perguruan tinggi yang disebut mahasiswa.5

Pengguna kata al-thalib untuk mahasiswa dapat dipahami karena seorang

mahasiswa sudah memiliki bekal untuk mencari, menggali, dan mendalami

bidang keilmuan yang diminatinya dengan cara membaca, mengamati,

memilih bahan-bahan bacaan untuk ditelaah, selanjutnya dituangkan dalam

berbagai karya ilmiah.

Dengan demikian pengertian murid dalam istilah al-thalib lebih

bersifat aktif, mandiri, kreatif, dan sedikit bergantung kepada guru. Althalib

dalam beberapa hal dapat mengkritik dan menambahkan informasi yang

disampaikan oleh guru atau dikenal dengan dosen, sehingga dapat

menghasilkan rumusan ilmu baru yang berbeda dengan gurunya. Dalam

konteks ini, seorang dosen dituntut bersikap terbuka, demokratis, memberi

5 Abuddin Nata. 2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada. Hlm. 50.

23

kesempatan, dan menciptakan suasana belajar yang saling mengisi, dan

mendorong mahasiswa memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. 6

Berkaitan dengan istilah al-thalib tersebut, Imam Ghazali yang

dikutib Abudin Nata, mengatakan: Al-thalib adalah bukan kanak-kanak

yang belum dapat berdiri sendiri, dan dapat mencari sesuatu, melainkan

ditujukan kepada orang yang memiliki keahlian, manfaat bagi dirinya.

Bahwasanya ia adalah seseorang yang sudah mencapai usia dewasa dan

telah dapat bekerja dengan baik dengan menggunakan akal pikirannya. Ia

adalah seseorang yang sudah dapat dimintakan pertanggung jawaban dalam

melaksanakan kewajiban agama yang dibebankan kepadanya sebagai

fardhu‟ ain. Seorang al-thalib adalah manusia yang telah memiliki

kesanggupan memilih jalan kehidupan, menemukan apa yang dinilainya

baik, berusaha dalam mendapatkan ilmu dan sungguh-sungguh dalam

mencarinya.

Selanjutnya, istilah yang dimiliki hubungan erat dengan pengertian

murid yaitu al-muta‟allim. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yaitu allama

yu‟allimu, ta‟liman yang berarti orang yang mencari ilmu pengetahuan.

Istilah al-muta‟ allim yang menunjukkan pengertian murid sebagai orang

yang menggali ilmu pengetahuan.7 Istilah al-muta‟ allim lebih bersifat

universal, mencakup semua orang yang menuntut ilmu pada semua

tingkatan. Istilah al-muta‟ allim mencakup pengertian istilah-istilah murid,

6 Nana Syaodi Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Bandung:

Rosda Karya. Hlm. 196. 7 Engr Sayyid Khaim Husayn Naqawi, Dictionary Of Islamic Terms, Hlm. 323..

24

tilmidz, mudarris, dan thalib. Berdasarkan pengertian di sini, murid dan

mahasiswa dapat dicirikan sebagai orang yang tengah mempelajari ilmu.

Mengacu dari beberapa istilah mengenai murid di atas, murid diartikan

sebagai orang yang berada dalam taraf pendidikan, yang dalam berbagai

literatur disebut sebagai anak didik. Muhaimin dan Abdul Mujib

mendefinisikan anak didik dalam pendidikan Islam adalah sama dengan

teori Barat yaitu anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara

fisik maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui

lembaga pendidikan. 8

Menurut H.M. Arifin, menyebut “murid” dengan manusia didik

sebagai makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan atau

pertumbuhan menurut fitrah masing-masing yang memerlukan bimbingan

dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal yakni

kemampuan fitrahnya.9

Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan mengenai

pengertian murid yaitu setiap orang yang memerlukan ilmu pengetahuan

yang membutuhkan bimbingan dan arahan untuk mengembangkan potensi

diri (fitrahnya) secara konsisten melalui proses pendidikan dan

pembelajaran, sehingga tercapai tujuan yang optimal sebagai manusia

dewasa yang bertanggung jawab dengan derajat keluhuran yang mampu

menjalankan fungsinya sebagai khalifah di bumi.

8 Muhaimin dan Abdul Mujib, Op.Cit., Hlm. 177

9 H.M. Arifin, 1996. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, Hlm. 144

25

2. Kedudukan Murid Dalam Pendidikan

Dalam pengelolaan belajar mengajar, guru dan murid memegang

peranan penting. Murid atau anak adalah pribadi yang “unik” yang

mempunyai potensi dan mengalami proses berkembang. Dalam proses

berkembang itu anak atau murid membutuhkan bantuan yang sifat dan

coraknya tidak di tentukan oleh guru tetapi oleh anak itu sendiri, dalam

suatu kehidupan bersama dengan individu-individu lain. Fungsi murid

dalam interaksi belajar mengajar adalah sebagai subyek dan obyek. Sebagai

subyek, karena murid menentukan hasil belajar dan sebagai obyek, karena

muridlah yang menerima pelajaran dari guru. Guru mengajar dan murid

belajar, jika tugas pokok guru adalah “mengajar”, maka tugas pokok murid

adalah “belajar”. Keduanya amat berkaitan dan saling bergantungan, satu

sama lain tidak terpisahkan dan berjalan serempak dalam proses belajar

mengajar.10

KH. M. Hasyim Asy`ari dalam kitabnya Adab al-Alim wa al-

Muta‟ allim, seperti yang dikutip Suwendi menjelaskan bahwa peserta didik

atau murid dapat didudukkan sebagai subyek pendidikan. Artinya, peluang-

peluang untuk pengembangan daya kreasi dan intelek peserta didik dapat

dilakukan oleh peserta didik itu sendiri, disamping memang harus adanya

peranan orang lain yang memberi corak dalam pengembangannya.11 Zakiah

Daradjat menjelaskan bahwa sebagai obyek, murid menerima pelajaran,

bimbingan dan berbagai tugas serta perintah dari guru atau sekolah dan

10

Zakiah Daradjat, dkk, 1995. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara,

Hlm. 268. 11

Suwendi, 2005. Konsep Kependidikan KH. M. Hasyim Asy‟ari, Ciputat: Lekdis, Hlm. 84.

26

sebagai subyek, murid menentukan dirinya sendiri sesuai dengan potensi

yang dimilikinya dalam rangka mencapai hasil belajar. Tugas-tugas murid

sebagai subyek senantiasa berkaitan dengan kedudukannya sebagai obyek.12

Dengan dasar pandangan tersebut di atas, maka tugas murid dapat

dilihat dari berbagai aspek yang berhubungan dengan belajar, aspek yang

berhubungan dengan bimbingan, dan aspek yang berhubungan dengan

administrasi. Selain itu murid juga bertugas pula untuk menjaga hubungan

baik dengan guru maupun dengan sesama temannya dan untuk senantiasa

meningkatkan keefektifan belajar bagi kepentingan dirinya sendiri.

3. Hak dan Kewajiban Murid

Sebagaimana guru yang memiliki tugas dan kewajiban, seorang murid

juga memiliki hak dan kewajiban (tugas–tugas) yang sangat penting dan

harus diperhatikan dalam pendidikan. Menurut Athiyah al-Abrasyi, bahwa

hak-hak murid yang paling utama adalah dimudahkannya jalan bagi

tercapainya ilmu pengetahuan kepada mereka serta adanya kesempatan

belajar tanpa membedakan kaya dan miskin.13 Oleh karena itulah Islam

selalu menghimbau kepada para pengikutnya untuk berusaha keras dalam

menuntut ilmu, kemudian mengamalkannya dan mengajarkannya serta

menyumbangkan ilmu yang telah didapat tersebut kepada segenab manusia

untuk kebaikan mereka hanya berharap mendapat kemudahan dari Allah

SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

12

Zakiah Daradjat, dkk, 1995. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: BumiAksara,

Hlm. 268. 13

Moh. Athiyah Al-Abrasyi, Op.Cit., hlm. 146

27

“Menceritakan Mahmud bin Ghailan, menceritakan Abu Uamah

A‟mas ari Abi Shalih dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah

SAW,bersabda: Dan barang siapa menempuh jalan untuk mencari

ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya untuk menuju

surga.” (HR.Tirmidzi) 14

Abdullah Nasihun Ulwan juga menjelaskan dalam bukunya, bahwa

seorang cendikiawan mengatakan, “Sesungguhnya negara Islam telah

mendahului seluruh dunia di dalam menyebarkan pengajaran secara gratis

bagi seluruh warga negaranya, tanpa pandang bulu atau pilih kasih. Pintu-

pintu sekolah terbuka lebar bagi seluruh masyarakat dan bangsa di masjid-

masjid, tempat-tempat belajar, dan Tempat-tempat umum disetiap negara

yang telah memeluk Islam. Diantara pengajaran yang bebas itu adalah al-

Azhar asy-Syarif, Kulliyat Darul Ulum dan seluruh perguruan–perguruan

atau sekolah-sekolah agama. Di sana para pelajar dan mahasiswa diberi

bantuan biaya untuk makan mereka seperti yang dilakukan secara merata

oleh beberapa negara di seluruh pelosok dunia. 15

Jadi jelaslah bahwa seorang murid memiliki hak-hak yang mutlak

untuk diterima dan dinikmati, sebab murid dipandang sebagai individu yang

memiliki derajat kemulyaan pula di samping seorang guru yang penuh

keikhlasan dan ketulusan hati meluangkan waktu dan tenaganya untuk

14

Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Al-Jami‟us Shokhih Sunan Tirmidzi Juz V, (Beirut:

Darul Kutub al-Ilmiyah, 1987), hlm 28 15

Abdullah Nasih Ulwan, 2007. Pendidikan Anak Menurut Islam,( Terjemahan :Jamaludin Miri dari

judul Asli : Tarbiyatul Aulad fil Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakaryahlm. 363

28

mencari ilmu sebagai bekal hidup di dunia serta sebagai sarana untuk dekat

pada sang Khaliq-Nya, sehingga tercapai tujuannya di dunia dan akhirat. 16

Terdapat banyak ulama pendidikan Islam, yang mengemukakan

pemikirannya tentang kewajiban murid. Kewajiban tersebut sangat

signifikan, yakni lebih berorientasi pada akhlak sebagai dasar kepribadian

seorang muslim, yang harus ditegakkan oleh murid. Karena dasar utama

pendidikan Islam adalah bersumber dari al-Qur‟an dan Hadis yang sarat

dengan nilai dan etika.17 Diantara kewajiban–kewajiban tersebut adalah:

Menurut Asma Hasan Fahmi, bahwa murid memiliki beberapa kewajiban

terpenting, yaitu :

a. Seorang murid harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum

menuntut ilmu. sebab belajar sama dengan ibadah dan tidak sah suatu

ibadah kecuali dengan hati yang bersih.

b. Hendaklah tujuan belajar ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat

keutamaan, mendekatkan diri dengan Tuhan dan bukan untuk mencari

kedudukan.

c. Selalu tabah dan memiliki kemauan kuat dalam menuntut ilmu sekalipun

harus merantau pada tempat yang cukup jauh.

d. Wajib menghormati guru dan bekerja untuk memperoleh kerelaan guru,

dengan berbagai macam cara. 18

16

Ibnu Miskawaih. 1985. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Buku Daras Pertama tentang Filsafat

Etika. (Terjmh : Helmi Hidayat : judul asli Tahdzib Al-Akhlaq., (Bandung: Mizan.1998).

Hlm.56. 17

M. Abul Quasem, 1988. Etika A-Ghazali Etika Majemuk di Dalam Islam, Bandung: Pustaka

.Hlm. 87. 18

Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husain, ( Jakarta:

29

Al-Ghozali juga membahas mengenai kewajiban murid yang

dituangkan dalam karya monumentalnya kitab al-Ihya‟ Ulumuddin,

dijelaskan bahwa :

1. Mendahulukan kesucian jiwa dan menjauhkan diri dari akhlak tercela,

sebab batin yang tidak bersih tidak akan dapat menerima ilmu yang

bermanfaat dalam agama dan tidak akan disinaridengan ilmu.

2. Mengurangi hubungan (keluarga) dan menjauhi kampung halamannya

sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu.

3. Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan yang

tidak terpuji kepada guru.

4. Menjaga diri dari perselisihan (pandangan–pandangan yang

kontroversi), khususnya bagi murid pemula, sebab hanya akan

mendatangkan kebingungan.

5. Tidak mengambil ilmu terpuji, selain hingga mengetahuui hakikatnya.

Karena mencari dan memilih yang terpenting hanya dapat dilakukan

setelah mengetahui suatu perkara secara keseluruhan.

6. Mencurahkan perhatian pada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat,

sebab ilmu akhirat merupakan tujuan.

7. Memiliki tujuan dalam belajar, yaitu untuk menghias batinnya dengan

sesuatu yang akan menghantarkannya kapada Allah SWT, bukan untuk

memperoleh kekuasaan, harta dan pangkat.19

19 Al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, terj. Purwanto, (Bandung: Marja‟, 2003), Hlm. 97-110

30

4. Hubungan Murid dengan Guru

Untuk menjadi pendidik yang professional tidaklah mudah, karena ia

dituntut memiliki berbagai kompetensi-kompetensi keguruan. Kompetensi

(professional keguruan) yakni “kewenangan yang ada pada individu yang

memiliki profesi sebagai guru. Kompetensi dari bobot dasar dan

kecenderungan yang dimiliki”.20

Adapun interaksi guru merupakan kemampuan guru dalam

melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab. Dengan gambaran

pengertian tersebut, dapatlah disimpilkan bahwa kompetensi merupakan

kemampuan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.

Mengapa interaksi dibutuhkan dalam prose pembelajaran ? Menurut

Alisuf Sabriada dua alasan, yaitu:

a. Mengajar itu kedudukan sebagai suatu profesi yang efektifitasnya akan

diukur dari kualitas pelayanan professional yang diberikan oleh guru

dalam membantu dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan

murid-muridnya.

b. Sekolah itu sebenarnya merupakan salah satu tempat bagi anak untuk

belajar memperoleh pengalaman-pengalaman yang berguna bagi

perkembangannya.21

Diantara kaidah-kaidah pendidikan yang disepakati oleh para

sosiolog, psikolog, dan ahli pendidikan ialah memperkuat hubungan

antara seorang pendidik dengan anak didik (murid), agar interaksi

20

Tim Penyusun Pusat Bahasa, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

Cet. IV, hal. 377. 21

Alisuf Sabri, 1994. Buletin Mimbar Agama dan Budaya, Jakarta: Hlm. 14-15.

31

pendidikan berjalan dengan sebaik-baiknya, dan agar proses

pembentukan ilmu, jiwa dan moral berhasil baik.22

Menurut Ibnu

Khaldun sebagaimana dikutip oleh Ali al-Jumbuladi al- Tuwanisi,

menyatakan bahwa hubungan tersebut akan menjadi akrab apabila

dilakukan di dalam kelas, karena tercipta rasa kebersamaaan yang

mendalam antara guru dan murid, disusul dengan hubungan di luar kelas.

Jika rasa kebersamaan ini berlangsung dalam batas-batas tertentu, maka

terjadilah pertemuan antara hati para murid, sehingga tercipta peluang

yang baik untuk berdiskusi dan bertukar fikiran antara mereka. Hal ini

dapat menjadi faktor yang memperlancar proses pengembangan akal

fikiran murid.23

Dari sini terdapat suatu petunjuk yang sejalan dengan

prinsip-prinsip baru dalam pendidikan modern, yaitu prinsip demokrasi

dalam kegiatan belajar mengajar.

Para ahli pendidikan Islam sepakat dalam menetapkan prinsip dasar

edukatif yang sangat penting, bahwa kitab atau buku tidak dapat

menggantikan posisi guru dalam pengajaran.24

Hal ini diindikasikan

bahwa para ahli pendidikan Islam mengecam gejala pemosisian buku

sebagai guru. Berpijak pada prinsip dasar tersebut mereka mengakui

urgensi peran guru dalam proses belajar mengajar, karena dalam pribadi

guru terdapat nilai-nilai dan cermin kepribadian yang berpengaruh sekali

22

Abdullah Nasih Ulwan, 2007. Pendidikan Anak Menurut Islam,( Terjemahan :Jamaludin Miri dari

judul Asli : Tarbiyatul Aulad fil Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 363 23

H.M. Arifin (Penerjemah), Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh al-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan

Islam, Cet.I, (Jakarta: Rineka Cipta; 1994), Hlm. 219 24

Moch. Jawwat Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Prespektif Sosiologis Filosofis),

Cet. I, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya; 2002), Hlm. 211

32

bagi pribadi murid yang dididiknya, sebab interaksi keseharian yang

bersifat kontinyu membawa konsekuensi sikap tersendiri serta

berperannya fungsi akal yang memposisikannya dalam derajat yang lebih

tinggi. Keberadaan dan posisi seorang guru dalam dunia pendidikan

terutama pendidikan Islam memang sangat dijunjung tinggi. Tingginya

penghargaan Islam terhadap guru menurut Ahmad Tafsir adalah dengan

menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi dan

Rasul karena guru selalu terkait dengan ilmu pengetahuan. 25

Hal ini menjadi faktor yang mempengaruhi hubungan guru dan

murid yang ada dalam masa klasik, yang dijadikan keyakinan dasar,

bahwa guru sebagai manusia yang membawa misi Muhammad sebagai

utusan Allah yang memiliki kelebihan-kelebihan spiritual seperti

karamah dan menjadi penyalur (barakah). Sehingga murid harus

menghormatinya dengan segala ketundukan dan kepatuhan. 26

Sebagaimana tesis sarjana barat non muslim Bayard Dodge, yang

dikutip oleh Abdurrahman Mas‟ud menyatakan, “in the middle of this

primitive culture sead, destined to blossom as the intellectual heritage of

islam” (Ditengah-tengah budaya primitif ini, ajakan kenabian

Muhammad bagaikan penyebaran benih yang ditakdirkan tumbuh

berkembang sebagai warisan kecendekiawanan Islam). 27

25

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Cet. II, (Bandung : PT. Remaja Rosda

Karya; 1994), hlm. 76 26

Zamakhsari Dlofier, Tradisi Pesantren( Studi Tentangg Pandangan Hidup Kyai), (Jakarta: LP3ES,

1982), hlm. 70 27

Bayard Dodge dalam Abdurrahman Mas‟ud, Op.cit, hlm. 13

33

Berkaitan dengan hal ini Hasan Asari, mengutip paragraf dari Nasr,

yang dianggap relevan, yaitu:

“Hubungan guru murid dalam pendidikan Islam) selalu memiliki

aspek yang sangat personal, dimana seorang penuntut ilmu mencari

seorang guru, bukan lembaga, lalu mengabdikan dirinya

sepenuhnya pada guru tersebut. Hubungan guru dan murid selalu

intim, seorang murid menghormati gurunya seperti seorang ayah

dan mematuhinya, bahkan dalam hal-hal pribadi yang tak langsung

berkaitan dengan pendidikannya secara formal”. 28

Signifikansi hubungan guru dan murid diatas, merupakan ciri yang

ada pada zaman klasik. Menurut Fazlur Rahman, watak ilmu

pengetahuan pada masa itu ditandai oleh pentingnya individu guru yang

secara sentral fenomena ini dikenal sebagai mencari ilmu. Tersebarnya

ilmu pengetahuan Islam pada masa awal Islam berpusat pada individu-

individu bukan sekolah, sehingga pada akhir abad tersebut mayoritas

ilmuwan yang termasyhur bukanlah produk madrasah, tetapi bekas murid

informal dari guru individual. 29

5. Hubungan Murid dengan Sesama Temannya dan Lingkungannya

Istilah murid mengandung kesungguhan belajar, memuliakan

guru, keprihatinan guru terhadap murid. Dalam konsep murid ini

terkandung keyakinan bahwa mengajar dan belajar itu wajib, dalam

perbuatan mengajar dan belajar itu ada barokah. Pendidikan yang

dilakukan yang di situ murid dianggap mengandung muatan profane dan

transendental.30

28

Nasr dalam Hasan Asari, M.A, Nukilan Pemikiran Islam Klasik Gagasan Pendidikan Al-Ghozali,

Cet. I, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm.112 29

Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (terj.), cet. II, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm.269-270 30

Ahmad Tafsir, 200. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Hlm.165

34

Dalam memilih teman, al-Zarnuji berpandangan bahwa seorang

pelajar harus berteman atau memilih teman dengan orang yang tekun

belajar, bersifat wara‟ dan berwatak Istiqamah. Hindari teman yang

malas, banyak bicara, suka merusak, dan suka memfitnah. Hal ini

dijelaskan oleh al-Zarnuji sebagai beikut: 31

“Tentang memilih teman, hendaklah memilih yang tekun, waro,

bertabiat jujur serta mudah memahami masalah. Menyingkiri

orang pemalas, penganggur, banyak bicara, suka mengacau dan

gemar memfitnah”.32

.

Adapun tekun dalam menimba ilmu, al-Zarnuji berkata

“seorang tidak boleh menuruti keinginan hawa nafsunya”. Seperti kata

sebuah syair, “sungguh hawa nafsu itu rendah nilainya, barang

siapa terkalahkan oleh hawa nafsunya berarti ia terkalahkan oleh

kehinaan”.33 Seorang pelajar harus tabah menghadapi ujian dan

cobaan.

Dalam kitab Ta‟lim al-Muta‟allim, istilah murid juga disebut

dengan thalibulilmi, yaitu seorang yang mencari ilmu atau pelajar.

Dalam membahas tentang murid, menurut H. Busyairi Madjidi, Al-

Zarnuji tidak banyak membahas murid sebagai individu baik fitrahnya

maupun perkembangannya, tetapi ketika membicarakan partner dalam

31

Syekh al-Zarnuji, Tt. Ta‟lim Al-Muta‟alim, Hlm. 14. 32

Aliy As‟ad, 2007. Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Hlm. 32. 33

Aliy As‟ad, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Hlm. 30.

35

studi, al-Zarnuji menyinggung tentang fitrah dengan mengutip hadist

Rasul SAW, bahwa:

“Menceritakan Hajib bin Walid, menceritakan Muhammad bin Harib

tentang Zabidi bin Zuhri menceritakan saya Said bin musaib tentang

Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda : “tiada

manusia lahir (dilahirkan) kecuali dalam keadaan fitrah, maka orang

tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi Nasrani Atau Majusi.”.

(H.R.Muslim) 34

Dari hadits ini dapat dipahami betapa pentingnya peranan keluarga, guru

dan lingkungan, jika seorang anak dilahirkan dan dibesarkan orang tua dalam

lingkungan yang kurang baik, kemudian dilanjutkan di sekolah diajar oleh guru

yang kurang pandai mendidik, ditambah dengan lingkungan masyarakat yang

kurang mengindahkan akhlak maka hasilnya juga tidak baik.35

Lingkungan

sosial sekolah seperti para guru, para tenaga kependidikan, kepala sekolah dan

wakil-wakilnya dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat

belajar siswa. 36

Keluarga adalah sebagai kelompok sosial terkecil dan paling penting

dalam masyarakat, karena dalam proses perkembangan serta penanaman nilia-

34

Imam Abu Husain Muslim Al-Hajj. 1992. Shohih Muslim, jilid II. Beirut: Dar al-Ilmiah,

Hlm.458 35

Bambang Sujono.dan Yuliani. 2005. Mencerdasan Perilaku Anak Usia Dini: Jakarta. Elek

Media Komputindo. Hlm. 13. 36

Muhibbin Syah, 2014. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya. Hlm. 130-135.

36

nilai religius dan akan sehat jasmani dan rohaninya ketika dikeluarganya

mendapat perhatian, bimbingan dan kasih sayang orang tua. Pada dasarnya

setiap orang tua sudah pasti menginginkan anaknya punya perilaku yang baik,

bermoral namun pada sisi lain masih banyak orang tua yang kurang

mengindahkan moral dari sini terdapat pokok masalah yang cukup krusial

yakni bagaimana orang tua dalam memerankan dirinya sebagai suritauladan

bagi anak-anaknya. Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi

anak-anaknya dilingkungan keluarga dalam keimanan dan akhlaknya (moral)

disebut pendidik utama karena sangat berpengaruh besar sekali terhadap anak-

anaknya. Sedangkan sebagai pendidik pertama karena orang tua adalah

pendidikan yang pertama sebelum mengenali pendidikan-pendidikan di luar

rumah.

Zakiyah Daradjat mengemukakan bahwa hubungan baik antara

seseorangg antara anak dan orang tuanya, mempunyai pengaruh besar terhadap

perkembangan anak. Anak yang merasakan hubungan hangat dengan orang

tuanya, disayangi, dilindungi dan mendapat perlakuan yang baik. Karena akna

lebih mudah menerima dan mengikuti kebiasaan orang tuanya dan selalu akan

cenderung kepada agama.37

Demikian hubungan murid dengan keluarga dan lingkungannya yang

dapat mempengaruhi kehidupan murid dan prestasi belajarnya. Karena prestai

murid itu dapat dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor yang menyangkut

seluru diri pribadi, termasuk fisik dan mental atau psikofisiknya yang ikut

37

Zakiah Daradjat, 2001. Penanaman Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung.

Hlm. 268.

37

menentukan berhasil tidaknya seseorang dalam belajar, dan faktor eksternal,

yaitu faktor yang bersumber dari suatu idividu yang bersangkutan, misalnya

ruang belajar yang tidak memadai dan lingkungan alamiahnya.38

B. Pendidikan Etika Dalam Islam

1. Pengertian Pendidikan

Istilah pendidikan berasal dari kata dasar “didik “ mendapat imbuhan

awalan “ pe“ dan akhiran “an“, yang mengandung arti “ perbuatan “, hal,

cara, dan sebagainya. Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa

Yunani, yaitu “Paedagogie”, kata ini yang berasal dari dasar kata “pais”

yang berarti anak dan “again” yang diterjemahannya adalah “membimbing”.

Dengan demikian maka paedagogie berarti “bimbingan yang diberikan

kepada anak”.39

Paedagogie atau pendidikan yang berarti bimbingan yang diberikan

kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,

yaitu “Education“ yang berarti pengembangan atau bimbingan dan dalam

bahasa Arab. Istilah ini sering diterjemahkan dengan istilah “Tarbiyah“

yang berarti pendidikan.40

Sedangkan pengertian pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau

38

Muhibbin Syah, 2014. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Hlm. 130-135. 39

Sudirman N dkk.1989. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Surabaya: Usaha Nasional.

Hlm.4. 40

Ramayulis. 1994. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta. Kalam Mulia. Hlm.1.

38

kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

pengajaran dan pelatihan.41

Istilah pendidikan dalam pendidikan Islam kadang-kadang disebut al-

Ta‟lim, biasanya disebut dengan al-Ta‟dib. Secara etimologi diterjemahkan

dengan perjamuan makan atau pendidikan sopan santun.42

Sedangkan al-

Ghazali menyebut pendidikan dengan sebutan ar-Rihayat. Ar-Rihayat dalam

Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan olahraga atau pelatihan. Kata ini

dikhususkan untuk pendidikan masa kanak-kanak, sehingga Al-Ghazali

menyebutnya dengan Riyadho Alshibyah. Menurut mu‟jam (kamus)

kebahasaan, kata al-Tarbiyat memiliki tiga akar kebahasaan,43

yaitu:

a. Rabba - Yarbu, yang memiliki arti tambah (Zad) dan berkembang

Nama). Pengertian ini berdasarkan atas Q.S. Al-Rum ayat 39.

Artinya: “Dan sesuatu (tambahan) yang kamu berikan agar dia

menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak

menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan

berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai

keridho‟an Allah maka (yang berbuat demikian) itulah orang-

orang yang melipatgandakan (pahalanya).44

b. Rabbi - Yarbi, yang memiliki arti tumbuh (Nasya‟a) dan menjadi besar

(Tara‟a).

41

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991), Hlm. 232. 42

Mahmud Yunus.1987. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta:YP3A.Hlm. 149 43 Ibn Manzhur. Abiy Al-Fadl Al-Din Muhammad Mukarram.Tt. Lihat lisan Al-Arab. Jilid V. Bairut:

DarAl-Anya. Hlm. 94-96 44 Departemen Agama. RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara.

Hlm. 647.

39

c. Rabba - Yarbi, yang memiliki arti memperbaiki (Ashalala), menguasai

urusan, memelihara, merawat, menunaikan, memperindah, memberi

makan, mengasuh, tuan memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian dan

eksistensinya.45

Menurut Athiyah al-Abrasyi bahwa al-Tarbiyah adalah kata yang

mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan. Ia adalah upaya yang

mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna secara etika,

sistematis dalam berfikir, memiliki ketajaman instuisi, giat dalam berkreasi,

memiliki toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkap

bahasa lisan dan tulis, serta mamiliki beberapa ketrampilan.46

Musthafa al-Maraghi membagi kegiatan al-Tarbiyat dengan dua

macam. Pertama, Tarbiyah Kholqiyat. Yaitu, penciptaan, pembinaan dan

pengembangan jasmani peserta didik agar dapat dijadikan sebagai sarana

bagi pengembangan jiwanya. Kedua, Tarbiyat Diniyat Tahsiniyat. Yaitu,

pembinaan jiwa manusia dan kesempurnaannya melalui petunjuk wahyu

Allah.47

Berdasarkan pembagiannya, maka ruang lingkup al-tarbiyat

mencakup berbagai kebutuhan manusia,baik kebutuhan dunia maupun

akhirat. Serta kebutuhan terhadap kelestarian diri sendiri, sesamanya, alam,

lingkungan dan relasinya dengan Tuhan. Menurut Ki Hadjar Dewantara

menyatakan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi

45 Karim Al-Bastani. dkk. 1975. Al-Munjid Fi Lughat Wa‟Alam. Bairut:Dar Al-Masyriq. Hlm.243-246 46 Muh. Athiyah Al-Abrasyi. Tt. Al-Tarbiyah Al-Islamiyah. . Bairut: Dar Al-Fikr Al-Arabi. Hlm.100 47

Musthafa Al-Maraghi.Tt. Tafsir Al-Maraghiy.juz I. Bairut: Dan Al-Fikritt. Hlm.30

40

pekerti, pikiran, dan jasmani anak agar selaras dengan alam dan

masyarakatnya.48

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan

adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.49

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi

orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat dengan bukti adanya

perubahan ke arah positif yang lebih baik sehingga mereka melakukan apa

yang diharapkan oleh pelaku pendidikan yang bisa digunakan untuk

mengubah dunia. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk memperoleh

ilmu. Dan ketika orang sudah berilmu maka Allah akan meninggikan

derajatnya, sebagaimana disebutkan dalam al-qur‟an surat al mujadalah ayat

11 sebagai berikut:

48

Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan. (Yogyakarta: Majelis L. Persatuan Taman Siswa), Hlm. 14. 49

UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,

Hlm. 74

41

Artinya:“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:

"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya

Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:

"Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan

meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-

orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah

Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Mujadalah:

11) 50

Jadi intinya pendidikan selain sebagai proses humanisasi, pendidikan

juga merupakan usaha untuk membantu manusia mengembangkan seluruh

potensi yang dimilikinya (olahrasa, raga dan rasio) untuk mencapai

kesuksesan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

2. Pengertian Etika

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “etika” adalah ilmu

tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.

Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai

yang benar dan salah yang dianut masyarakat.” 51

Jika diteliti dengan baik,

etika tidak hanya sekadar sebuah ilmu tentang yang baik dan buruk ataupun

bukan hanya sekadar sebuah nilai, tetapi lebih dari itu bahwa etika adalah

sebuah kebiasaan yang baik dan sebuah kesepakatan yang diambil

berdasarkan suatu yang baik dan benar dari segala perbuatan.52

Dari asal usul kata, “Etika” berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang

berarti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Yang mula-mula memakai

kata itu ialah seorang filosof Yunani bernama Aristoteles (384-322 SM).

50 Departemen Agama. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm.

910-911. 51

Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “Etika” 52

Ahmad Amin, 1995. Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: PT. Bulan Bintang. Hlm. 3.

42

Perkembangan etika studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan

kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan

perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya.”53

Kemudian secara

etimologi Etika berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang biasanya

berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa

Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga

adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang

baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan

moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari

terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan

yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai

yang berlaku” 54

.

Menurut Rahmat Djatnika dalam bukunya Sistem Ethika Islami. Kata

Etika berasal dari bahasa Latin, yaitu Ethos yang berarti kebiasaan, dan kata

moral juga berasal dari bahasa Latin yaitu mores yang berarti kebiasaan.55

Sedangkan kata akhlak berarti budi pekerti yang memiliki sinonim

dengan kata moral, etika, susila (dari Bahasa Sangsekerta). Semua kata

tersebut memiliki persamaan arti dan memiliki pengertian yang berbeda-

beda.

Akhlak adalah bentuk masdar (infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu,

ikhlaqan yang memiliki arti perangai (as-sajiyah); kelakuan, tabiat atau

53 Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 88. 54

Anggi Sopiandi, “Pengertian Etika”, diakses 30 Juni 2014,

http://anggisopiandi.blogspot.com/2014/04/pengertian-etika-profesi-dan.html. 55

Rahmat Djatnika.1992. Sistem Ethika Islami. Jakarta : Pustaka Panjimas. Hlm. 26.

43

watak dasar (ath-thabi‟ah); kebiasaan atau kelaziman (al-„adat); peradaban

yang baik (al-muru‟ah); dan agama (ad-din).56

Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan.

Selanjutnya Mahmud merujuk pendapat Ghazali mengatakan dari sisi

bahasa kata al-Khalaq (fisik) dan al-Khuluq (akhlak) adalah dua kata yang

sering dipakai secara bersamaan. Karena manusia terdiri dari dua unsur fisik

dan non-fisik. Unsur fisik dapat dilihat oleh mata kepala. Sedangkan unsur

non fisik dapat dilihat oleh mata batin.57

Menurut Shihab walaupun kata

akhlak memiliki makna tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan, agama tetapi

tidak ditemukan dalam al-Qur‟an, yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal

dari kata itu yaitu khuluq.58

Kata khuliuq ini bersumber dari kalimat yang

tercantum dalam al-Qur‟an surat al-Qalam ayat 4. :

“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti

yang agung”. Al-Qalam :4.59

Selanjutnya kata akhlak tersebut menurut Ya‟qub mengandung segi-

segi persesuaian dengan kata kholqun yang berarti kejadian serta erat

hubungannya dengan kholiq (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan).

Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan

56

Ulil Amri Syarif. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an. Jakarta : Raja Grafindo Press,

Hlm.72. 57

Ali Abdul Halim Mahmud. 2004. Akhlak Mulia,Terj. Abdul Hayyi al-Kattienie dengan judul asli

al-Tarbiyah al-Khuluqiyah. Jakarta : Gema Insani Press. Hlm.28. 58

M. Quraish Shihab. 2004. Wawasan Al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan

Ummat, Bandung : Mizan. Hlm.253. 59

Depag. RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 920.

44

ada hubungan baik antara kholiq dan makhluq.60 Hal ini sesuai dengan kata-

kata Aisyah ra dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sa‟d ibn Hisham

sebagai berikut:

“Diriwayatkan dari Sa‟d ibn Hisham, dia berkata : Saya bertanya

kepada „A`ishah: “ Wahai Ummul Mukminin, ceritakan padaku

tentang akhlak Rasulullah saw”. „A`ishah menjawab : “Akhlak beliau

adalah al-Qur‟an”.61

Akhlak Rasulullah saw yang dimaksudkan di dalam kata-kata hadits di

atas ialah kepercayaan, keyakinan, pegangan, sikap dan tingkah laku

Rasulullah saw yang semuanya merupakan pelaksanaan ajaran al-Qur‟an.

Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak

adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perilaku / perbuatan manusia.

Dalam Da`irat al-Ma‟ru`f disebutkan :

Akhlak ialah sifat-sifat yang terdidik. (Luis Ma‟luf, al-Munjid fi al-

Lughah wa al-A‟lam.62

Sementara menurut istilah (terminologis) terdapat pengertian tentang

akhlak, diantaranya :

a. Ibnu Maskawih mengatakan bahwa akhlak :

60

Heri Gunawan. 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung:Alfabeta. Hl. 5 61

Ahmad Ibn Hanbal Abu „Abd Allah al-Saibani, 1999. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Juz

42( Mu‟assasah al-Risalah ), Hlm.183. 62

Da`irat al-Ma‟ru`f Beirut: 1986. Dar al-Maghrib,: Hlm. 194.

45

“Khulq/Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang

mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran

dan pertimbangan”.63

b. Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak :

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan

macam-macam perbuatan dengan gamblang dan mudah, tanpa

memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.64

c. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak adalah suatu ilmu yang

menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya

dilakukan oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan

untuk melakukan apa yang harus diperbuat.65

d. Menurut Muhammad bin Ali al-Faruqi at-Tahanawi sebagaimana dikutip

oleh Mahmud akhlak adalah keseluruhannya kebiasaan, sifat, alami,

agama dan harga diri.66

e. Menurut Sa‟duddin, akhlak mengandung beberapa arti, antara lain :

1) Tabiat, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa

dikehendaki dan tanpa diupayakan.

2) Adat, yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan,

yakni berdasarkan keinginanannya.

63

Ibnu Miskawaih. 1985. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Buku Daras Pertama tentang Filsafat

Etika. (Terjmh : Helmi Hidayat : judul asli Tahdzib Al-Akhlaq., (Bandung: Mizan.1998).

Hlm.56. 64

Al-Ghazali. 2004. Ihya `Ulumuddin, Juz 3 Kairo-Mesir : Darul Hadist. Hlm. 70. 65

Ahmad Amin, 1995. Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: PT. Bulan Bintang. Hlm. 3. 66

Ali Abdul Halim Mahmud, 2004. Akhlak Mulia,Terj. Abdul Hayyi al-Kattienie dengan judul

asli al-Tarbiyah al-Khuluqiyah, Jakarta : Gema Insani Press, Hlm.34.

46

3) Watak, cakupannya meliputi hal-hal yang terjadi tabiat dan hal-hal

yang diupayakan hingga menjadi adat. Kata akhlak juga dapat berarti

kesopanan dan agama.67

Selanjutnya, akhlak dalam perspektif Islam, akhlak terkait erat dengan

ajaran dan sumber Islam tersebut yaitu wahyu. Sikap dan penilaian akhlak

selalu dihubungkan dengan ketentuan syari‟ah Islam dan aturannya.68

Karena dalam Islam, ada beberapa keistimewaan akhlak yang menjadi

karekteristik, salah satunya menurut Jauhari, guru besar Akidah Filsafat di

Universitas Al-Azhar, Kairo menjelaskan beberapa karakteristik akhlak, di

antaranya : 69

a. Bersifat universal.

b. Logis, menyentuh perasaan hati nurani.

c. Memiliki demensi tanggung jawab, baik pada sektor pribadi

ataupun masyarakat.

d. Tolak ukur tidak saja ditentukan dengan realita perbuatan tapi juga

di lihat dari segi motif perbuatan.

e. Dalam pengawasan pelaksanaan akhlak islami ditumbuhkan

kesadaran bahwa yang mengawasi adalah Allah SWT.

f. Akhlak islami selalu memandang manusia sebagai insan yang

terdiri dari aspek jasmani dan rohani yang harus dibangun secara

seimbang.

67

M. Furqon Hidayatulloh. 2010. Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa, Surakarta

: Yuma Pressindo. Hlm.13. 68

Ulil Amri Syarif, 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an,. Jakarta : Raja Grafindo

Press.Hlm.72 69

Ulil Amri Syarif, 2012. Hlm.73.

47

g. Kebaikan yang ditawarkan akhlak islam adalah untuk kebaikan

manusia, mencakup tiap ruang dan waktu.

h. Akhlak Islam selalu memberikan penghargaan di dunia maupun di

akhirat bagi setiap kebaikan, demikian pula setiap keburukan diberi

sanksi atau hukuman.

Dengan konsep akhlak ini, manusia diajarkan untuk selalu berbuat

baik dan mencegah perbuatan yang tidak baik dalam hubungannya dengan

Tuhannya, manusia dan makhluk lainnya sebagai tujuan akhir hidupnya di

akhirat nanti.70

Konsep ini berhubungan dengan sistem nilai yang mengatur

pola sikap dan tindakan manusia di dunia. Sistem nilai yang dimaksud

adalah ajaran Islam yang berpedoman kepada Al-Qur‟an dan Sunnah

Rasulullah sebagai sumber utama. Akhlak terbagi menjadi dua bagian.

Pertama, akhlak baik yang dinamakan akhlak mahmudah (akhlak terpuji),

akhlak al-karimah (akhlak mulia) adalah akhlak yang baik dan benar

menurut syari‟at islam. Kedua, akhlak mamdudah adalah akhlak tercela dan

tidak benar menurut syari‟at islam. 71

Dilihat dari ruang lingkupnya, akhlak

Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terhadap Khaliq (Allah Swt.)

dan akhlak terhadap makhluq (ciptaan Allah). Akhlak terhadap makhluk

masih dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti akhlak terhadap sesama

manusia, akhlak terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan

dan binatang), serta akhlak terhadap benda mati.

70

M. Abul Quasem, 1988. Etika A-Ghazali Etika Majemuk di Dalam Islam, Bandung: Pustaka

.Hlm.72. 71

Ulil Amri Syarif, 2012. Pendidikan Karakter Berbaisi Al-Qur`an. Hlm. 73

48

Berdasarkan penjelasan dan definisi akhlak di atas menurut filusuf dan

ajaran Islam, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah segala sesuatu yang

telah tertanam kuat atau terparti dalam diri seseorang, yang akan melahirkan

perbuatan-perbuatan yang tanpa melalui pemikiran atau perenungan terlebih

dahulu. Artinya bahwa perbuatan itu dilakukan dengan reflek dan spontan

tanpa difikirkan terlebih dahulu. Jika sifat yang tertanam itu darinya muncul

perbuatan-perbuatan terpuji menurut rasio dan syari‟at, maka sifat tersebut

dinamakan akhlak yang baik.72

Sedangkan jika terlahir perbuatan-perbuatan

buruk maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak buruk. Pada hakikatnya

khuluq (budi pekerti) atau akhlaq merupakan suatu kondisi atau sifat yang

telah meresap ke dalam jiwa dan menjadi kepribadian seseorang.73

Kemudian timbul berbagai macam kegiatan secara spontan dan mudah tanpa

dibuat-buat, tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Hal ini sesuai

dengan Al-Qur‟an surat Asy-Syams ayat 8-10 yang mengungkapkan

kecenderungan potensi baik dan buruk yang dimiliki manusia. 74

Artinya :“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan

ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang

mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang

mengotorinya”.

Abuddin Nata dalam bukunya menjelaskan lima ciri perbuatan

akhlak, yaitu: Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah

tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehinggga menjadi kepribadian. Kedua,

72

.Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz III. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 66. 73

Rahmat Djatnika.1992. Sistem Ethika Islami. Hlm. 21. 74

Departemen Agama. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm.

920.

49

perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ketiga,

perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang

mengerjakan, tanpa ada paksaan dari luar. Keempat, perbuatan akhlak

adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main- main.

Kelima, perbuatan akhlak (kususnya akhlak mahmudah) adalah perbuatan

yang dilakukan karena Allah semata.75

3. Dasar Pendidikan Etika dan Ruang Lingkupnya

Dasar pendidikan etika atau akhlak adalah al-Qur‟an dan al-Hadits,

karena akhlak merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam.

Al-Qur‟an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan

kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Al-Qur‟an sebagai dasar

akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan

bagi seluruh umat manusia. maka selaku umat Islam sebagai penganut

Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana

firman Allah SWT dalam Q.S. 33/Al-Ahzab : 21 :

Artinya :“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan

yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)

Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut

Allah”. (Q.S. al-Ahzab : 21) 76

75

Abuddin Nata. 1996. Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 6-7. 76

Depag. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 670.

50

Berdasarkan ayat tersebut di atas dijelaskan bahwasannya terdapat suri

teladan yang baik, yaitu dalam diri Rasulullah SAW yang telah dibekali

akhlak yang mulia dan luhur. Selanjutnya juga dalam Q.S. 68/Al-Qalam : 4 :

Artinya :” Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur”

(Q.S. al-Qalam : 4) 77

Bahwasannya Nabi Muhammad SAW dalam ayat tersebut dinilai sebagai

seseorang yang berakhlak agung (mulia).

Di dalam hadits juga disebutkan tentang betapa pentingnya akhlak di

dalam kehidupan manusia. Bahkan diutusnya rasul adalah dalam rangka

menyempurnakan akhlak yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

bahwa :

Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansur berkata :

menceritakan Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin „Ijlan

dari Qo‟qo‟ bin Hakim dari Abi Shalih dari Abi Hurairoh berkata

Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Aku hanya diutus untuk

menyempurnakan akhlak yang mulia. (H.R.Ahmad)78

Berdasarkan hadits tersebut di atas memberikan pengertian tentang

pentingnya pendidikan akhlak dalam kehidupan manusia, di mana dengan

pendidikan akhlak yang diberikan dan disampaikan kepada manusia tentunya

akan menghasilkan orang-orang yang bermoral, baik laki-laki maupun

77

Depag. RI. Terjemahan Al-Qur`an. 1993. . Hlm. 920. 78

Al-Imam Ahmad bin Hambal, t.th. Musnad Juz II. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah. Hlm. 504.

51

perempuan harus memiliki jiwa yang bersih, kemauan yang keras, cita-cita

yang benar dan akhlak yang mulia selalu mendapat taufik dan hidaya Allah

SWT.79

Mereka mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati

hak-hak manusia, mengetahui perbedaan buruk dan baik, memilih satu fadhilah

karena cinta pada fadhilah, menghindari suatu perbuatan yang tercela dan

mengingat Allah dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan sebagai dasar

ciri-ciri akhlak yang baik.80

Adapun ruang lingkup etika atau akhlak menurut Muhammad Daud Ali

menyatakan bahwa dalam garis besarnya akhlak terbagi dalam dua bagian,

pertama adalah akhlak terhadap Allah/Khaliq (pencipta) dan kedua adalah

akhlak terhadap makhluknya atau semua ciptaan Allah.81

Dan ruang lingkup

pendidikan akhlak, di antaranya adalah :

a. Akhlak Terhadap Allah SWT

Akhlak kepada Allah SWT dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan

yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Khaliq

yang telah menciptakannya.

Menurut Abudin Nata sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa

manusia perlu berakhlak kepada Allah :82

1) Karena Allah yang telah menciptakan manusia dan menciptakan manusia

di air yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang

rusuk. (Q.S. al-Thariq : 5-7). Dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa

79

Rahmat Djatnika,1992. Sistem Ethika Islami. Jakarta : Pustaka Panjimas. Hlm. 22. 80

.Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz III. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 66. 81

M. Dawud Ali. 2000. Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 352. 82

Abudin Nata. 1997. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 148.

52

manusia diciptakan dari tanah yang kemudian diproses menjadi benih

yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim) setelah ia menjadi

segumpal darah, daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging, dan

selanjutnya diberikan ruh. (Q.S. Al-Mu‟minun : 12-13)

2) Karena Allah lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera,

berupa pendengaran, penglihatan, akal, pikiran dan hati sanubari. Di

samping anggota badan yang kokoh dan sempurna pada manusia.

3) Karena Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang

diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan

yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang dan ternak dan

lain sebagainya. (Q.S.al Jatsiah : 12-13)

4) Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan

untuk menguasai daratan dan lautan. (Q.S. al-Isra‟ : 70).

Dalam berakhlak kepada Allah SWT., manusia mempunyai banyak cara,

di antaranya dengan taat dan persaan takut kepada Allah,83

karena Allah SWT

menciptakan manusia untuk berakhlak kepada-Nya dengan cara menyembah

kepada-Nya, sebagaimana fiman Allah SWT dalam Q.S. Adz-Dzariyat : 56 :

Artinya :“Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan

manusia,melainkansupaya mereka menyembah kepada-Ku”.

(Q.S. adz-Dzariyat : 56) 84

Ada dua dimensi dalam berakhlak kepada Allah SWT :

83

.Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz IV. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 195. 84

Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 862.

53

1) Akhlak kepada Allah karena bentuk ketaatan meruakan kewajiban

kepada Allah. Perintah untuk taat kepada Allah ditegaskan dalam

firman-Nya yaitu dalam Q.S. 4/An-Nisaa : 59 :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah

Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika

kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka

kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul

(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah

dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu

dan lebih baik akibatnya”.(Q.S. An-Nisaa : 59)85

Akhlak kepada Allah adalah taat dan cinta kepada-Nya,

mentaati Allah berarti melaksanakan segala perintah-Nya dan

menjauhi larangan-Nya,di antaranya melaksanakan shalat wajib

lima waktu dengan khusyu yang merupakan amalan hati.86

2) Akhlak kepada Allah karena bentuk tawadduk kepada Allah

(keikhlasan dalam melaksanakan perintah-Nya). Tawadduk adalah

sikap merendahkan diri terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT,

sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Mukminun : 1-7 :

85

Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Hlm.126. 86

Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz I. Kairo: Darul Hadits. Hlm.217.

54

.

Artinya :“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,

(yaitu) orang-orang yang khusyu‟ dalam sembahyangnya,

dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan

perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang

menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga

kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak

yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal

ini tiada tercela.” (Q.S. al-Mukminun : 1-7)87

Untuk menumbuhkan sikap tawadduk, manusia harus menyadari asal

kejadiannya, menyadari bahwa hidup di dunia ini terbatas, memahami

ajaran Islam, menghindari sikap sombong, menjadi orang yang pemaaf,

ikhlas, bersyukur, sabar dan sebagainya.88

b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia

Akhlak terhadap sesama manusia,antara lain meliputi akhlak terhadap

Rasul, orang tua (ayah dan ibu), guru, tetangga dan masyarakat.

1) Akhlak terhadap Rasulullah

Akhlak karimah kepada Rasulullah adalah taat dan cinta kepadanya,

mentaati Rasulullah berarti melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi

larangannya. Ini semua telah dituangkan dalam hadits (sunnah) beliau yang

berwujud ucapan, perbuatan dan penetapannya. Dan sebagaimana firman

Allah SWT dalamQ.S. An-Nisaa : 80 :

87

Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 526. 88

Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz IV. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 179.

55

Artinya :” Barangsiapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah

menaati Allah, dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan), maka

kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.

(Q.S.an-Nisaa : 80)89

2) Akhlak terhadap Ayah dan Ibu

Wajib bagi umat Islam untuk menghormati kedua orang tuanya, yaitu

dengan berbakti, mentaati perintahnya dan berbuat baik kepada

keluarganya, di antaranya :

a) Berbicara dengan perkataan yang baik. Firman Allah SWT dalam Q.S.

Al-Isra : 23 :

.

Artinya : ”Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan

menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik

pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah

seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur

lanjut dalam pemeliharanmu, maka sekali-kali janganlah

kamu mengatakan kepada kaduanya perkataan “ah” dan

janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada

mereka perkataanm yang mulia. (Q.S. al-Isra‟ : 23)90

b) Membantu orang ayah dan ibu

Membantu orang tua atau ayah dan ibu merupakan akhlak yang

termuji yang harus dilakukan oleh setiap anaknya kepada kedua orang

tuanya. 91

3) Akhlak terhadap guru

89

Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 132. 90

Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Hlm. 423. 91

Rachmat Djatnika. 1992. Etika Islami, Jakarta: Pusaka Mas. Hlm. 204.

56

Akhlak karimah kepada guru di antaranya dengan menghormatinya,

berlaku sopan di hadapannya, mematuhi perintah-perintahnya, baik itu di

hadapannya ataupun di belakangnya, karena guru adalah spiritual father atau

bapak rohani bagi seorang murid, yaitu yang memberi santapan jiwa dengan

ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya.

Penyair Syauqi telah mengakui pula nilainya seorang guru dengan kata-

katanya sebagai berikut : 92

Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu

hampir saja merupakan seorang Rasul.

4) Akhlak terhadap tetangga dan masyarakat

Pentingnya akhlak tidak terbatas pada perorangan saja, tetapi penting

untuk bertetangga, masyarakat, umat dan kemanusiaan seluruhnya. Di

antaranya akhlak terhadap tetangga dan masyarakat adalah saling tolong

menolong, saling menghormati, persaudaraan, pemurah, penyantun,

menepati janji, berkata sopan dan berlaku adil. Allah SWT berfiman dalam

al-Qur‟an Q.S. Al-Maaidah : 2 :

Artinya :“Dan tolonglah menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam

berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada

Allah,sesungguhnya Allah amat berat siksanya.” (Q.S. Al-

Maaidah : 2)93

92

M. Athiyah al-Abrsyi, Op. Cit., Hlm. 136. 93

Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 157.

57

c. Akhlak Terhadap Lingkungan

Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang

berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-

benda tidak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Qur‟an

terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.94

Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tidak bernyawa semuanya

diciptakan oleh SWT., dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki

ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang muslim

untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang seharusnya

diperlakukan secara wajar dan baik, seperti firman Allah SWT dalam Q.S.

Al-An‟aam : 38 :

Artinya : “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-

burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-

umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di

dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka

dihimpunkan”.(Q.S. Al-An‟aam : 38)95

4. Tujuan Pendidikan Etika

a. Tujuan Pendidikan Etika

Berkenaan dengan tujuan pendidikan, ditegaskan bahwa tujuan

pendidikan Islam adalah pembentukan manusia yang bertindak sebagai

khalifah yang cirri-cirinya terkandung dalam konsep „ibadah dan amanah.

94

Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 423. 95

Ahmad Tafsir. 2013. Ilmu Pendidikan Islami, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 53.

58

Manusia sebagai khalifah ini mempunyai cirri-ciri yang membedakannya

dari makhluk lain, yaitu mempunyai fitrah yang baik, mempuyai roh,

disamping jasmani, mempunyai banyak kebebasan kemauan, dan

mempunyai akal yang menjadi inti manusia itu. Pendidikan dapat

Pendidikan dapat dipandang sebagai aplikasi dari pemikiran filsafi,

sedangkan filosof bergerak sesuai dengan jalan dan dasar pemikirannya.

Sedangkan tujuan pendidikan yang diinginkan oleh al-Ghazali adalah

taqarrub kepada Allah SWT dan kesempurnaan manusia untuk mencapai

kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Ghazali berkata :

“Hasil dari ilmu sesungguhnya ialah mendekatkan diri kepada

Allah, Tuhan semesta alam, dan menghubungkan diri dengan para

malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua

adalah kebesaran, pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan

penghormatan secara naluri”.96

Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan menonjolkan karakteristik

religious moralis dengan tidak tidak mengabaikan urusan keduniaan

sekalipun hal tersebut merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan hidup di

dunia dan akhirat.97 Tujuan pendidikan al-Ghazali didasari oleh pemikiran

tentang manusia. Manurutnya manusia terdiri dari dua unsur : jasad dan ruh

atau jiwa. Keduanya mempunyai sifat yang berbeda tetapi saling mengikat.

Artinya berbeda dalam sifat tetapi sama dalam tindakan. Jasad tidak akan

mampu bergerak tanpa ruh atau jiwa, begitu pula jiwa atau ruh tidak akan

mampu bertindak melaksanakan kehendak Sang Maha Penggerak kecuali

melaui jasad. Sedemikian menyatunya sehingga walau jasad terpisah untuk

96

Abidin Ibn Rusn. Tt. Pemikiran al-Ghazali, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offiset . Hlm. 5 97

Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz IV. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 402.

59

sementara waktu, kelak akan menyatu kembali untuk menerima balasan atau

tindakan yang dilakukan keduanya ketika hidup di dunia.

Tujuan pendidikan akhlak adalah agar manusia bisa membedakan

mana yang baik dan yang buruk, sehingga manusia akan mendapatkan

kebahagiaan.

Menurut al-Ghazali, ciri-ciri manusia yang berakhlak mulia ialah :

banyak malu, sedikit menyakiti orang, banyak perbaikan, lidah banyak yang

benar, sedikit bicara banyak kerja, sedikit terperosok pada hal-hal yang

tidak perlu, berbuat baik, menyambung silaturrahim, lemah lembut,

penyabar, banyak berterima kasih, rela kepada yang ada, dapat

mengendalikan diri ketika marah, kasih sayang, dapat menjaga diri dan

murah hati kepada fakir miskin, tidak mengutuk orang, Tidak suka memaki,

tidak tergesa-gesa dalam pekerjaan, tidak dengki, tidak kikir, tidak

penghasud, manis muka, bagus lidah, cinta pada jalan Allah, benci dan

marah karena Allah.98

Al-Ghazali tidak memiliki konsepsi yang jelas di sini. Etika mistiknya

hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib individu di akhirat dan

perhatian tertingginya adalah melihat Tuhan di akhirat. Dia tidak memiliki

konsepsi kehidupan “social” secara umum. Disamping itu, perhatian

tertingginya dicapai semata-mata melalui penyucian “hati” dan

hidup“menyendiri” di dunia sekarang.99 Tipe hidup menyendiri boleh jadi

benar pada masa al-Ghazali, ketika transformasi budaya yang luar biasa

98

Abidin Ibn Rusn. Tt. Pemikiran al-Ghazali, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offiset . Hlm. 5 99

M. Amin Abdullah. 2002. Antara al-Ghazali dan Kant (Filsafat Etika Islam), :Bandung : Mizan,

Hlm. 217

60

belum terjadi. Akan tetapi, pada abad modern yang di dalamnnya nilai-nilai

transbudaya berhadapan muka dengan kita melalui banak dan aneka ragam

cara, strategi “menyendiri” tidak lagi memadai. Membersihkan hati adalah

baik, tetapi tidak cukup. Adalah tugas “rasio” secara umum mengatur dan

menangani situasi. Rasio kita harus harus dilatih dan dipertajam dengan

memberikan dan melengkapi nya dengan alat analitis untuk melihat realitas

sosial dan mengevaluasi perubahan social secara kritis agar tidak membuat

kita hilang dalam gelombang besar transformasi budaya modernisme. Jika

kita tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk memahami realitas

transformasi budaya, transformasi modernisme hebat ini harus ada

perlawanan terhadap modernisme tersebut yang dilakukan oleh gerakan

yang dikenal dengan istilah “fundamenatalisme”.100

Sedangkan tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih

adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan

untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik,101 sehingga mencapai

kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. al-

Sa‟adah memang persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan

sekaligus bagi pendidikan akhlak. Makna al-Sa‟adah sebagaimana

dinyatakan M. Abdul Hak Ansari tidak mungkin dapat dicari padanan

katanya dalam bahasa Inggris walaupun secara umum diartikan sebagai

100

Seyyed Hossein Nasr, The Hearts of Islam; Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan,

terj., Nurasiah Faqih Sutan Harahap. (Bandung: Mizan, 2003), Hlm. 50. 101

Ibn Miskawaihi, Kitab as-Sa‟adat. Hlm. 34-45

61

happiness. 102 Menurutnya al- Sa‟a dah merupakan konsep komprehensif

yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran

(prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan

(blessedness) dan kecantikan (beautitude).103

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai

Ibn Miskawaihi bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup

manusia dalam arti seluas-luasnya. Adapun tujuan pendidikan ini sejalan

dengan tujuan pendidikan Islam yang dipaparkan oleh para ahli di antaranya

Ahmad D. Marimba dan Muhammad „Athiyah al-Abrasy, yang berpendapat

bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk membimbing perserta didik untuk

mewujudkan kepribadian yang utama atau berakhlak mulia.104 Dengan

demikian, pendidikan akhlak bisa dikatakan sebagai pendidikan moral

dalam diskursus pendidikan Islam.105

Dalam tujuan pendidikan akhlak juga dapat dibedakan menjadi dua

macam, yaitu : tujuan umum dan tujuan khusus.

1) Tujuan Umum

Menurut Barnawy Umari, bahwa tujuan pendidikan akhlak secara

umum meliputi :

a) Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta

menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela.

102

M. Abdul Haq Ansari. 1963. Miskawayh‟s Conception Of Sa‟adat, dalam Islamic Studies, No.

11/3, 103

Lihat juga Hans Wehr, A Dictionary of Modern Writing Arabic, (Beirut dan London Maktabat

Lubnan-Mac Donald & Evans Ltd., 1980), cet. III, 410 104

Abudin Nata. 1997. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hlm. 49. 105

Abdul Majid, Dian Andayani. 2011. Pendidikan Karakter Prespektif Islam, Bandung: Remaja

Rosdakarya. Hlm. 10.

62

b) Supaya perhubungan kita dengan Allah SWT dan dengan sesama

makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis. 106

Menurut Ali Hasan bahwa tujuan pokok akhlak adalah agar setiap

orang berbudi (berakhlak), bertingkah laku (tabiat) berperangai atau beradat

istiadat yang baik atau yang sesuai dengan ajaran Islam.107

2) Tujuan Khusus

Adapun secara spesifik pendidikan akhlak bertujuan :

a) Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia da beradat

kebiasaan yang baik

b) Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri

berpegang pada akhlak mulia dan membenci akhlak yang rendah.

c) Membiasakan siswa bersikap rela, optimis, percaya diri, emosi, tahan

menderita dan sabar.

d) Membimbing siswa ke arah dikap yang sehat dan dapat membantu

mereka berinteraksi sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk

orang lain, suka menolong, sayang kepada yang lemah, dan

menghargai orang lain.

e) Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul

baik di sekolah maupun di luar sekolah.

f) Selalu tekun beribaah dan mendekatkan diri kepada Allah dan

bermuamalah yang baik.108

106

Barnawy Umar. 1984. Materi Akhlak, Salatiga: Ramadhani. Hlm. 2. 107

M. Ali Hasan. 1988. Tuntunan Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 11. 108

Chatib Thoha, Saefudin Zuhri, dkk. 1999. Metodologi Pengajaran Agama, (Fakultas Tabiyah,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 136.

63

Adapun menurut Muhammad „Athiyyah Al-Abrasyi menjelaskan

tujuan dari pendidikan moral dan akhlak dalam Islam adalah

membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan

dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat

bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa

dari pendidikan Islam adalah pendidikan moral dan akhlak.109

Dijelaskan juga menurut Ahmad Amin, bahwasannya tujuan

pendidikan akhlak (etika) bukan hanya mengetahui pandangan atau teori,

bahkan setengah dari tujuan itu adalah mempengaruhi dan mendorong

kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan

dan kesempurnaan dan memberi faedah kepada sesama manusia. maka

etika itu adalah mendorong kehendak agar berbuat baik, akan tetapi ia

tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.110

Pada dasarnya tujuan pendidikan akhlak juga hampir identik

dengan tujuan pendidikan karakter, yaitu untuk meningkatkan mutu

penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian

pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh,

terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui

pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri

meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan

109

Muhammad `Athiyyah al- Abrasyi. 2003. Prinsip-pinsip Dasar Pendidikan, Bandung: Pustaka

Setia. Hlm. 114. 110

Ahmad Amin. 1975. Etika Islami (ilmu Akhlak), terj. K.H. Farid Ma`ruf, Jakarta: Bulan

Bintang. Hlm. 6-7.

64

menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak

mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.111

Pendidikan karakter juga merupakan proses kegiatan yang

mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budi

harmoni yang selalu mengajarkan, membimbing, dan membina setiap

menusiauntuk memiliki kompetensi intelektual, karakter, dan

keterampilan menarik. Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat

dihayati dalam penelitian ini adalah religius, nasionalis, cerdas, tanggung

jawab, disiplin, mandiri, jujur, dan arif, hormat dan santun, dermawan,

suka menolong, gotong-royong, percaya diri, kerja keras, tangguh,

kreatif, kepemimpinan, demokratis, rendah hati, toleransi, solidaritas dan

peduli. 112

Implementasi Pendidikan karakter dalam Islam tersimpul dalam

karakter pribadi Rasulullah saw. Dalam pribadi Rasul, bersemai nilai-

nilai karakter yang mulia dan agung.113

Allah berfirman dalam Al-Quran

surah al-Ahzab ayat 21 :

Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan

yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)

Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut

Allah”. 114

111

Yahya Khan. 2010 Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, Yogyakarta : Pelangi

Publishing. Hlm. 34. 112

Thomas Lickona. 2013. Ibid. Hlm. 32. 113

Abdul Majid, Dian Andayani, Pendidikan Karakter, Ibid. h.59. 114

Departemen Agama. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm.

670.

65

Melalui pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas,

tidak hanya otaknya namun juga cerdas secara emosi. Kecerdasan emosi

adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa

depan. Dengan kecerdasan emosi, seseorang akan dapat berhasil dalam

menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil

secara akademis.

Hal ini sesuai dengan rumusan tujuan pendidikan nasional yang

terdapat pada UUSPN No.20 tahun 2003 Bab 2 pasal 3: Pendidikan

Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi anak didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 115

Pendidikan karakter bukan hanya tanggung jawab guru, tapi juga

semua stakeholder pendidikan harus terlibat dalam rangka

mengembangkan pendidikan karakter ini, bahkan pemangku kebijakan

harus menjadi teladan terdepan. Sebagai seorang guru harus bekerja

secara profesional, memberikan pelayanan yang optimal kepada peserta

didiknya, dan bekerja dengan penuh kesabaran dalam membawa peserta

didiknya menuju cita-cita pendidikan.

115

Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3

66

Tujuan pendidikan karakter adalah membentuk bangsa yang

tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong

royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu

pengetahuan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. 116

Tujuan pendidikan karakter dalam rangka dinamika proses

pembentukan individu, para insan pendidik seperti guru, orang tua, staff

sekolah, masyarakat dan lainnya, diharapkan semakin menyadari

pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman

perilaku, pengayaan nilai individu dengan cara memberikan ruang bagi

figurketeladanan bagi anak didk dan menciptakan lingkungan yang

kondusif bagi proses pertumbuhan berupa kenyamanan dan keamanan

yang membantu suasana pengembangan diri satu sama lain dalam

keseluruhan dimensinya. 117

Secara operasional tujuan pendidikan karakter dalam setting sekolah

sebagai berikut:

1) Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang

dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian

kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang

dikembangkan. Tujuannya adalah memfasilitasi penguatan dan

116

Fakrur Rozi. 2012. Model Pendidikan Karakter dan Moralitas Siswa di Sekolah Islam Modern;

Studi pada SMP Pondok Pesantren Selamat Kendal. Semarang, IAIN Walisongo. Hlm. 44 117

Amirullah Syarbini. 2012. Buku Pintar Pendidikan Karakter; Panduan Lengkap Mendidik

karakter Anak di Sekolah, Madrasah, dan Rumah. Jakarta: As@-Prima Pustaka. Hlm. 22

67

pengembangan nilanilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku

anak, baik pada saat masih sekolah maupun setelah lulus.

2) Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan

nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. Tujuan ini memiliki

makna bahwa tujuan pendidikan karakter memiliki sasaran untuk

meluruskan berbagai perilaku negatif anak menjadi positif.

3) Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat

dalam memerankan tanggung jawab karakter bersama. Tujuan ini

bermakna bahwa karakter di sekolah harus dihubungkan dengan

proses pendidikan di keluarga.118 Tujuan pembentukan karakter

menghendaki adanya perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian

pada subjek peserta didik. 119

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tujuan diadakannya

pendidikan karakter, baik di sekolah, madrasah maupun rumah adalah

dalam rangka menciptakan manusia Indonesia yang seutuhnya, yaitu

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia serta memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam

menjalankan kehidupan ini.

5. Perbedaan Pendidikan Akhlak dengan Pendidikan Karakter

Mengenai penjelasan akhlak secara luas, banyak sekali tokoh yang

memberikan pengertian secara bervariasi. Diantaranya M. Abdullah Darraz,

118

Novan Ardy Wiyani. 2013. Membumikan Pendidikan Karakter di SD;Konsep, Praktik dan

Strategi. Jakarta: Ar-Ruzz Media. Hlm. 70-72 119

Fakrur Rozi. 2012. Model Pendidikan Karakter dan Moralitas Siswa di Sekolah Islam

Modern; Studi pada SMP Pondok Pesantren Selamat Kendal. Semarang, IAIN Walisongo.

Hlm. 44

68

menurut beliau akhlak adalah sesuatu kekuatan dalam kehendak yang

mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa

kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (akhlak yang baik) atau

pihak yang jahat (akhlak yang jahat).120

Akhlak dipahami oleh banyak pakar dalam arti “kondisi kejiwaan yang

menjadikan pemiliknya melakukan sesuatu secara mudah, tidak

memaksakan diri, bahkan melakukannya secara otomatis.” Apa yang

dilakukan bisa merupakan sesuatu yang baik, dan ketika itu ia dinilai

memiliki akhlak karimah/mulia/terpuji, dan bisa juga sebaliknya, dan ketika

itu ia dinilai menyandang akhlak yang buruk. Baik dan buruk tersebut

berdasar nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dimana yang bersangkutan

berada.

Bentuk jamak pada kata akhlak mengisyaratkan banyak hal yang

dicakup olehnya. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa ia bukan saja

aktifitas yang berkaitan dengan hubungan antar manusia tetapi juga

hubungan manusia dengan Allah, dengan lingkungan. Baik lingkungan

maupun bukan, serta hubungan diri manusia secara pribadi. Di samping itu

juga perlu diingat bahwa Islam tidak hanya menuntut pemeluknya untuk

bersikap baik terhadap pihak lain dalam bentuk lahiriah, sebagaimana yang

ditekankan oleh sementara moralis dalam hubungan antar-manusia, tetapi

Islam menekankan perlunya sikap lahiriah itu sesuai dengan sikap batiniah.

120

Erwin Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam (Ponorogo: STAIN Po Press, 2009),

Hlm. 182.

69

Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Miskawaih dan

dikutip oleh Abudin Nata, merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap

batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan

yang bernilai baik dari seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kreteria

benar dan salah untuk menilai perbuatan yang muncul merujuk kepada al-

Qur‟an dan Sunah sebagai sumber tertinggi ajaran Islam. Dengan demikian

maka pendidikan akhlak bisa dikatakan sebagai pendidikan karakter dalam

diskursus pendidikan Islam.

Telaah lebih dalam terhadap konsep akhlak yang telah dirumuskan

oleh para tokoh pendidikan Islam masa lalu seperti Ibnu Miskawaih, Al-

Qabisi, Ibn Sina, Al-Ghazali dan Al-Zarnuji, menunjukkan bahwa tujuan

puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam

perilaku anak didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-

sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.121

Hadits Nabi yang berkaitan dengan konsep pendidikan karakter

adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari-Muslim sebagai

berikut:

) (

121

Siswanto, Perbedaan pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak, pendidikan moral, dan

pendidikan nilai, http:// siswantozheis.wordpress.com. Diakses tanggal 04 Mei 2014.

70

“Usamah bin Zaid ra. berkata: Saya mendengar Rasulullah saw.

bersabda: Akan dihadapkan orang yang berilmu pada hari kiamat,

lalu keluarlah semua isi perutnya, lalu ia berputar-putar dengannya,

sebagaimana himar yang ber-putar-putar mengelilingi tempat

tambatannya. Lalu penghunineraka disuruh mengelilinginya seraya

bertanya: Apakah yang menimpamu? Dia menjawab: Saya pernah

menyuruh orang pada kebaikan, tetapi saya sendiri tidak

mengerjakan-nya, dan saya mencegah orang dari kejahatan, tetapi

saya sendiri yang mengerjakannya”. (Muttafaq Alaih)122

Dalam hadits riwayat Bukhori-Muslim di atas menguraikan bahwa

pembentukan karakter yang didasari keteladanan akan menuai kebaikan

bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Rasulullah Saw telah mengajarkan metodologi membentuk moralitas

yang mulia, terkait dengan akhlak manusia terhadap Allah, diri sendiri

maupun kepada sesama makhluk. Beliau tidak hanya memerintahkan fungsi

teori belaka, namun juga realitas konkrit suri teladan umatnya. Semua

akhlak yang diajarkan Rasulullah tak lain adalah moralitas yang bermuara

pada Al-Qur‟an.123

Dengan demikian, jelas bahwa Rasulullah Saw. memiliki

tingkah laku yang mulia, beliau selalu bertindak sesuai dengan petunjuk

yang berada dalam Al-Qur‟an. Dalam Islam sendiri, yang menjadi dasar

atau landasan pendidikan akhlak manusia adalah Al-Qur‟an dan al-Sunnah.

Segala sesuatu yang baik menurut Al-Qur‟an dan al-Sunnah, itulah yang

baik dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, segala

sesuatu yang buruk menurut Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, berarti tidak baik

dan harus dijauhi. 124

122

Abubakar Muhammad. 1997 Hadits Tarbawi III, Surabaya: Karya Abditama. Hlm. 70. 123

FKI LIM, Gerbang Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama‟ah

(Kediri: Bidang Penelitian dan Pengembangan LIM PP Lirboyo, 2010), 7. 124

Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Hlm. 20.

71

Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlak, terlihat bahwa pendidikan

karakter mempunyai orientasi yang sama dengan pendidikan akhlak yaitu

pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan timur

dan Islam sedangkan pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan

alasan yang dipertentangkan. Pada kenyataannya keduanya memiliki ruang

untuk saling mengisi. Bahkan Lickona sebagai Bapak Pendidikan Karakter

di Amerika justru mengisyaratkan keterkaitan erat antara karakter dengan

spiritualitas.

Adapun istilah karakter, kata karakter berasal dari bahasa latin

“kharakter”, “kharassein”, “kharax”, dalam bahasa Inggris: character dan

Indonesia “karakter”, Yunani character, dari charassein yang berarti

membuat tajam, membuat dalam.125

karakter juga bisa diartikan sikap,

tabiat, akhlak, kepribadian yang stabil sebagai hasil proses konsolidasi

secara progresif dan dinamis.126

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,

karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau

budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Karakter dapat

diartikan sebagai tabiat perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan

(kebiasaan).127

Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan baru

muncul pada akhir abad-18, dan untuk pertama kalinya dicetuskan oleh

125

Heri Gunawan. 2012 Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi,Bandung : Alfabeta.

Hlm.1. 126

Yahya Khan. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri: Mendongkrak Kualitas

Pendidikan. Yogyakarta: Pelangi Publishing. Hlm. 1. 127

WJS. Poerwardarminta. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

Hlm..20.

72

pedadog Jerman F.W. Foerster. Terminologi ini mengacu pada pendekatan

idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori normatif

yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai

motor penggerak sejarah, baik bagi individu maupun bagi sebuah perubahan

sosial. 128

Sedangkan secara terminologi, istilah karakter diartikan sebagai sifat

manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang

tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah sifat kejiwaan,

akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok

orang. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan

dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,

dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan,

dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,

budaya, dan adat istiadat.129

Menurut Simon Philips dalam buku Refleksi Karakter Bangsa,

karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem yang

melandasi pemikiran, sikap dan prilaku yang ditampilkan. Sementara itu,

Koesoema A, mengatakan bahwa karakter sama dengan kepribadian.130

Kepribadian disini dianggap beliau sebagai ciri atau karakteristik atau gaya

128

M. Mahbubi. 2012. Pendidikan Karakter Implementasi Aswaja sebagai Nilai Pendidikan

Karakter. Yogyakarta : Pustaka Ilmu. Hlm.41. 129

Tobroni, Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam. http://tobroni.

staff.umm.ac.id/2010/11/24/ Pendidikan-Karakter-dalam-Perspektif-Islam-pendahulan/,diakses

pada 19 Oktober 2012 130 Masnur Muslich.2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,

Jakarta : Bumi Aksara. Hlm. 70

73

atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan

yang diterima dari lingkungan.

Sedangkan Imam Ghazali menganggap bahwa karakter lebih dekat

dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan

yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu

dipikirkan lagi. Hermawan Kertajaya, mendefinisikan karakter sebagai “ciri

khas” yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Hermawan Kertajaya,

mendefinisikan karakter sebagai “ciri khas” yang dimiliki oleh suatu benda

atau individu.131

Ciri khas tersebut adalah asli, dalam artian tabiat atau

watak asli yang mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut,

dan merupakan mesin pendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap,

berujar, serta merespon sesuatu.132

Hal ini juga menurut Imam Ghazali di atas, bahwa istilah karakter

dapat diartikan dengan akhlak dan budi pekerti, sebab keduanya

mengandung makna yang sama. Baik budi pekerti, akhlak maupun karakter

sama-sama mengandung makna yang ideal, tergantung pada pelaksanaan

atau penerapannya. Menurut Ibnu Miskawaih dan dikutip oleh Abudin Nata,

beliau mengemukakan bahwa, pendidikan akhlak merupakan upaya ke arah

terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya

perbuatan-perbuatan yang bernilai baik dari seseorang.133 Sedangkan

sebagian ulama, mendefinisikan Akhlak sebagai suatu keadaan yang

131 Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Hlm. 11 132 Heri Gunawan. 2012 Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi. Bandung : Alfabeta

Hlm.2 133

Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Hlm.10

74

melekat pada jiwa manusia yang melahirkan perbuatan baik ataupun

buruk.134

Dalam kaitannya dengan hal ini, maka sikap/karakter atau budi pekerti

telah mengandung lima rumusan atau jangkauan atau integritas sebagai

berikut: a) sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan, b) sikap

dan perilaku dalam hubungannya dengan diri sendiri, c) sikap dan perilaku

dalam hubungannya dengan keluarga, d) sikap dan perilaku dalam

hubungannya dengan masyarakat dan bangsa, dan e) sikap dan perilaku

dalam hubungannya dengan alam sekitar. 135

Thomas Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat

alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang

dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik,

jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia

lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles,

bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus

menerus dilakukan. Lebih jauh, Thomas Lickona menekankan pada tiga

komponen karakter yang baik Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter

dimulai dengan pemahaman moral, perasaan moral dan tindakan moral.136

Dari beberapa definisi karakter tersebut dapat disimpulkan secara

ringkas bahwa karakter adalah sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang stabil

sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis; sifat alami

134

Muhammad Daud Ali. 1998. Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Hlm. 345 135

Muchlas Samani, & Hariyanti. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung : PT

Remaja Rosdakarya. Hlm. 46-47. 136

Thomas Lickona. 2013. Hlm. 84.

75

seseorang dalam merespons siruasi secara bermoral; watak, tabiat, akhlak,

atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbgai

kebajikan, yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara

pandang, berpikir, bersikap dan bertindak; sifatnya jiwa manusia, mulai dari

angan-angan sampai menjelma menjadi tenaga yang menjadi prilaku

manusia yang berhubungan dengan Tuhan.137

Dari definisi yang telah disebutkan terdapat perbedaan sudut pandang

yang menyebabkan perbedaan pada pendefinisiannya. namun demikian, jika

melihat esensi dari definisi-definisi tersebut ada terdapat kesamaan bahwa

karakter itu mengenai sesuatu yang ada dalam diri seseorang, yang membuat

orang tersebut disifati.

Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi tentang pendidikan

dan karakter secara sederhana dapat diartikan bahwa pendidikan karakter

adalah upaya sadar yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang

(pendidik) untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter pada seseorang

yang lain (peserta didik) sebagai pencerahan agar peserta didik mengetahui,

berfikir dan bertindak secara bermoral dalam menghadapi setiap situasi. 138

Selanjutnya pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan

pendidikan yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan

emosional, dan pengembangan etika para peserta didik. Merupakan suatu

upaya proaktif yang dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk

membantu siswa mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etik dan nilai-

137

Tim Penulis Rumah Kitab. 2014. Pendidikan Karakter Berbaisis Pesantren. Jakarta : Rumah

Kitab. Hlm. 11 138

Thomas Lickona. 2013. Hlm. 84.

76

nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, fairness, keuletan dan

ketabahan (fortitude), tanggung jawab, menghargai diri sendiri dan orang

lain.

Seperti apa yang diungkapkan oleh Scerenko bahwa, pendidikan

karakter dapat difahami atau dimaknai sebagai upaya yang sungguh-

sungguh dengan cara mana ciri kepribadian positif dikembangkan,

didorong, dan diberdayakan melalui keteladanan, kajian (sejarah, dan

biografi para bijak dan pemikir besar), serta praktik emulsi (usaha maksimal

untuk mewujudkan hikmah dari apa-apa yang diamati dan yang

dipelajari).139

Menurut Khan pendidikan karakter adalah proses kegiatan yang

dilakukan dengan segala daya dan upaya secara sadar dan terencana untuk

mengarahkan anak didik. Pendidikan karakter juga merupakan proses

kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan

pengembangan budi harmoni yang selalu mengajarkan, membimbing, dan

membina setiap menusia untuk memiliki kompetensi intelektual, karakter,

dan keterampilan menarik. Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat

dihayati dalam penelitian ini adalah religius, nasionalis, cerdas, tanggung

jawab, disiplin, mandiri, jujur, dan arif, hormat dan santun, dermawan, suka

menolong, gotong-royong, percaya diri, kerja keras, tangguh, kreatif,

kepemimpinan, demokratis, rendah hati, toleransi, solidaritas dan peduli.140

139

Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Hlm.45 140

Yahya Khan. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta : Pelangi

Publishing. Hlm. 34.

77

Jadi dari beberapa statement diatas dapat disimpulkan bahwa,

pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik

untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati,

pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai

pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan budi pekerti, pendidikan

watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk

dapat memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan

mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

Hal ini menjadi entry point bahwa pendidikan karakter memiliki ikatan

yang kuat dalam nilai-nilai spiritualitas dan agama141

Pendidikan karakter yang berbasis Al Qur‟an dan Assunnah,

gabungan antara keduanya yaitu menanamkan karakter tertentu sekaligus

memberi benih agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter khasnya

pada saat menjalani kehidupannya. Hanya menjalani sejumlah gagasan

atau model karakter saja tidak akan membuat peserta didik menjadi

manusia kreatif yang tahu bagaimana menghadapi perubahan zaman,

sebaliknya membiarkan sedari awal agar peserta didik mengembangkan

nilai pada dirinya tidak akan berhasil mengingat peserta didik tidak sedari

awal menyadari kebaikan dirinya.142

Melalui gabungan dua paradigma ini, pendidikan karakter akan bisa

terlihat dan berhasil bila kemudian seorang peserta didik tidak akan hanya

141

Marfu`, Perbedaan pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak, pendidikan moral, dan

pendidikan nilai, http:// risetpendidikangmarfu‟.com, Diakses pada tanggal 20 Mei 2014. 142

Ni‟matulloh.et. all, Pendidikan Karakter Dalam Persfektif Pendidikan Islam, (http://nimatlloh.

blogspot.com, diakses pada tanggal 20 Mei 2014)

78

memahami pendidikan nilai sebagai sebuah bentuk pengetahuan, namun

juga menjadikannya sebagai bagian dari hidup dan secara sadar hidup

berdasar pada nilai tersebut.143

C. Etika dan Urgensinya dalam Pendidikan Islam

1. Pentinya Etika dalam Pendidikan Murid

Etika atau akhlak merupakan hal yang sangat penting dan mendasar.

Etika adalah mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang.

Orang-orang yang berakhlak kuat dan baik secara individual maupun sosial

ialah mereka yang memiliki karakter, moral, dan budi pekerti yang baik.

Mengingat itu semua sangat penting harus di awali dari dunia pendidikan,

memulai dari masa kanak-kanak dimana pendidikan dasar di mulai , bahkan

dari usia dini dengan dilandasi keimanan kepada Allah SWT. Karena moral,

sikap dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang kuat.144

Pendidikan akhlak telah menjadi perhatian banyak pihak, pemerintah

misalnya, pemerintah telah mengagendakan pentingnya pendidikan akhlak

diterapkan di sekolah-sekolah dan telah menjadi kebijakan nasional yang

dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Sekolah harus menyediakan

lingkungan moral yang menentukan nilai-nilai yang baik dan menyimpanya di

hadapan hati nurani setiap orang yang mencakup pengetahuan moral, perasaan

moral, dan tindakan moral merupakan komponen karakter yang baik. 145

143

Ni‟matulloh.et. all, Pendidikan Karakter Dalam Persfektif Pendidikan Islam, 20 Mei 2014. 144

Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Tarbiyah Aulad Fil Islam (Pendidikan Anak Dalam Islam :

Terjemahan Jamaluddin Miri). Jakarta : Pustaka Amani. Hlm. 193. 145

Thomas Lickona. 2013. Hlm. 101.

79

Akhlak tidak berfungsi dalam ruang hampa, akhlak berfungsi dalam

lingkungan sosial. Sebuah lingkungan seringkali menindas kepedulian moral

kita. Lingkungan sosial terkadang bahkan meciptakan keadaan yang membuat

banyak atau sebagian besar orang merasa bodoh jika melakukan halhal

bermoral.146

Berikut ini ada beberapa penomena yang terjadi di negara kita Indonesia

ini yang menjadi bukti batapa pentingnya pendidikan karakter untuk anak-anak

bangsa ini harus selalu dilaksanakan secara terus menerus dan harus ada

sebagaiamana yang disampaikan oleh Tobroni sebagaimana beikut : 147

1. Memudarnya Nasionalisme dan Jati Diri Bangsa

2. Merosotnya Harkat dan Martabat Bangsa

3. Mentalitas Bangsa yang Buruk

4. Krisis Multidimensional

Permasalahan bangsa tersebut di atas semakin diperparah dengan

tayangan telivisi yang sangat vulgar, life, tidak mengenal waktu tayang, dan

diulang-ulang oleh hampir semua stasiun TV dan juga surat kabar. Peristiwa

pembunuhan, pemerkosaan, perkelaian, perampokan, pembakaran, demo

yang anarkis, tidakan aparat yang represif, perceraian, terorisme dan

berbagai bentuk tindakan kejahatan justru menjadi menu utama dan

disiarkan dalam berbagai bentuk tayangan (berita, peristiwa, sinetron, dialog

dan lain-lain).

146

Thomas Lickona, Pendidikan Karakter; Panduan lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan

Baik, (Bandung, Nusa Media, 2013), Hlm. 88 147

Tobroni, Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam. http://tobroni

staff.umm.ac.id/2010/11/24/

80

Fenomena tersebut bisa menjadi sebab-sebab kenakalan pada anak-

anak yang merupakan faktor lain dari merosotnya moral atau etika bangsa

ini sebagaimana yang di sampaikan oleh Abdullah Nashin Ulwan sebagai

berikut: 148

1. Kemiskinan yang menerpa keluarganya.

2. Disharmoni antara bapak dan ibunya.

3. Perceraian dan kemiskinansebagai akibatnya.

4. Tidak bisa memanfaatkan waktu dan menyai-nyiakannya masa

anak dan remaja.

5. Pergaulan negatif dan teman yang jahat.

6. Buruknya errlakuan orang tua terhadap anaknya,

7. Film-film sadis dan porno.

8. Tersebarnya pengangguran di dalam masyarakat.

9. Keteledoran kedua orang tua terhada pendidikan anak.

10. Bencana keyatiman

Fenomena di atas, apabila kita renungkan akan menimbulkan

keprihatinan yang mendalam. Prihatin terhadap kualitas generasi muda di

masa depan, prihatin terhadap citra dan daya saing bangsa kita yang

semakin rendah dan direndahkan oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini juga

menurut Thomas Lickona ada beberapa kekewatiran terhadap tren anak

muda sekarang yang meliputi indikasi yang perlu mendapat perhatian agar

berubah ke arah yang lebih baik, yaitu : 1) Kekerasan dan tindakan anarki.

2) Pencurian. 3) Tindakan curang. 4) Pengabaian terhada aturan yang

berlaku. 5) Tawuran antar siswa. 6) Ketidaktoleran. 7) Penggunaan bahasa

yang tidak baik. 8) Kematangan seksual yang terlalu dini dan

penyimpangannya. 9) Sikap perusakan diri. 149

148

Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Tarbiyatul Aulad Fil Islam (Pendidikan Anak Dalam Islam:

Terjemahan Jamaluddin Miri.) Jakarta : Pustaka Amani. Hlm. 113 149

Thomas Lickona. 2013. Educating For Character . Hlm. 20-28.

81

Adanya krisis etika dan moral dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara, bahkan juga krisis etika dan moral dalam

beragama lantas memunculkan pertanyaan tentang peranan dan sumbangan

Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam membentuk etika dan moral, karena

agama merupakan satu-satunya sumber yang dapat memelihara dan dapat

membedakan moral yang baik dan buruk.150 Walaupun variabel

perkembangan permasalahan tersebut sesungguhnya sangat kompleks,

namun seringkali secara langsung maupun tidak langsung dihubungkan

dengan permasalahan pendidikan agama di sekolah. Pertanyaan seperti ini

dianggap sah-sah saja karena sumber dari berbagai permasalahan tersebut

adalah akibat adanya krisis etika dan moral, sedangkan tugas pokok

pendidikan agama adalah membentuk anak didik memiliki moralitas dan

akhlak budi pekerti yang mulia, karena pendidikan moral digunakan untuk

mengajarkan etika, dan cenderung pada penyampaian nilai benar atau

salah.151

Kondisi tersebut tentu saja sangat memprihatinkan. Kondisi ini

menuntut semua pihak untuk mengambil peran masing-masing guna

menyelamatkan generasi muda dan bangsa. Kaum agamawan sebagai

penjaga etika dan moral masyarakat termasuk di dalamnya guru agama

harus diberdayakan agar dapat mengambil peran secara signifikan.152

Demikian juga pendidikan agama yang memiliki peran strategis harus

150

Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Tarbiyatul Aulad Fil Islam (Pendidikan Anak Dalam Islam:

Hlm. 197. 151

Tim Penulis Rumah Kitab. 2014. Pendidikan Karakter Berbaisis Pesantren. Jakarta : Rumah

Kitab. Hlm. 15. 152

Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Hlm. 302.

82

semakin ditingkatkan mutu dan relevansinya bagi upaya pembangunan

moral bangsa. Pendidikan agama di sekolah perlu direkonstruksi agar dapat

memerankan tugas dan fungsinya secara efektif yaitu membangun akhlak

(etika dan moral) generasi penerus bangsa. Rekonstruksi itu meliputi aspek

filosofis, substantif dan metodologis.

2. Pentingnya Pendidikan Islam Bagi Murid

Sedangkan kaitannya dengan Islam, ada tiga istilah umum yang sering

digunakan dalam pendidikan (Islam), yaitu : at-tarbiyyah (pengetahuan

tentang ar-Rabb), at-ta‟lim (ilmu teortitik, kreativitas, komitmen tinggi

dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang menjunjung tinggi

nilai-nilaiilmiah), dan at-ta‟dib (intergasi ilmu dan amal). 153

Adapun secara terminologi pendidikan Islam menurut para ahli :

a. Menurut al-Syaibani mendefinisikan pendidikan Islam dengan proses

mengubah tingkah laku individu kepada kehidupan pribadi, masyarakat,

dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas

asasi sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam

masyarakat.154

b. Menurut Marimba pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani,

berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya

kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Kepribadian menurut

ukuran-ukuran Islam adalah kepribadian yang memiliki nilai-nilai

153

Zuhairini, dkk. 1995. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cet.I, Hlm.121. 154

Omar Muahmmad al-Toumi al-Syaibanai.1979. Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan

Langgulung. Jakarta : Bulan Bintang, 1979. Hlm. 399.

83

agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-

nilai Islam dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.155

c. Menurut Al-Ghulayani pendidikan Islam adalah menanamkan akhlak

yang mulia didalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dengan

menyiraminya dengan air petunjuk dan nasihat, sehingga akhlak itu

menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian

buahnya berwujud keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja untuk

kemanfaatan tanah air. 156

d. Al-Jamali mengajukan pengertian pendidikan Islam dengan upaya

mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih

maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang

mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang

berkaitan dengan akal maupun perbuatan.157

e. Hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 merumuskan

pendidikan Islam dengan bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan

jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan,

mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua

ajaran Islam. Upaya pendidikan dalam pengertian ini diarahkan pada

keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan perkembangan

jasmani, rohani, melalui bimbingan, pengarahan, pengajaran, pelatihan,

155

Nur Uhbaiti. 2005. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia. Hlm. 9-10. 156

Abdul Mujib Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Prena Media. Hlm.26. 157

Abdul Mujib Jusuf Mudzakkir. 2006. Hlm. 27.

84

pengasuhan, dan pengawasan yang kesemuanya dalam koridor ajaran

Islam. 158

Dari beberapa pengertian di atas, maka pendidikan Islam dapat

diartikan sebagai proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam

kepada kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan,

bimbingan, pengasuhan dan pengembangan potensinya, guna mencapai

keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. Definisi ini

memiliki lima unsur pokok pendidikan Islam, yaitu :

1) Proses Transinternalisasi. Upaya dalam pendidikan Islam dilakukan

secara bertahap, berjenjang, berjenjang, terencana, terstruktur,

sistemik, dan terus menerus dengan cara transformasi dan

internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai Islam pada peserta didik.

2) Pengetahuan dan nilai Islam. Materi yang diberikan kepada peserta

didik adalah ilmu pengetahuan dan nilai Islam, yaitu pengetahuan

dan nilai yang diturunkan dari Tuhan (Ilahiyah) atau materi yang

memiliki kriteria epistimologi dan aksiologi Islam, sehingga out put

pendidikan memiliki wajah-wajah islami dalam setiap tindak

tanduknya.

3) Kepada peserta didik. Pendidik diberikan kepada peserta didik

sebagai subjek dan objek pendidikan. Dikatakan subjek karena ia

mengembangkan dan aktualisasi potensinya sendiri, sedangkan

pendidik hanya menstimulasi dalam pengembangan dan aktualisasi

158

Ahmad Tafsir. 2013. Ilmu Pendidikan Islami: Bandung. Rosda Karya. Hlm. 306.

85

itu. Dikatakan objek karena ia menjadi sasaran dan transformasi ilmu

pengetahuan dan nilai Islam, agar ilmu dan nilai itu tetap lestari dari

generasi ke generasi berikutnya.

4) Upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan dan

pengembangan potensinya. Tugas pokok pendidikan adalah

memberikan pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan,

pengawasan, dan pengembangan potensi peserta didik agar terbentuk

dan berkembang daya kreativitas dan produktivitasnya tanpa

mengabaikan potensi dasarnya.

5) Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan

akhirat. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah tercipta insan kamil

(manusia sempurna) yaitu manusia yang mampu menyelaraskan dan

memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat; kebutuhan fisik, psikis,

sosial dan spiritual. Orientasi Pendidikan Islam tidak hanya

memenuhi hajat hidup jangka pendek, seperti pemenuhan kebutuhan

duniawi, tetapi juga memenuhi hajat hidup jangka panjang seperti

pemenuhan kebutuhan di akhirat kelak. 159

Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa pendidikan

Islam berupaya memadukan antara akal, qalb (perasaan), serta tindakan

individu dalam masyarakat (praksis). Ilmu sangatlah terkait dengan

tindakan praksis, yang kemudian mengarah kepada kebijaksanaan.160

Secara komprehensif, pendidikan Islam diartikan sebagai upaya yang

159

Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Prena Media, 2006), h.28-29. 160

Ahmad Tafsir, 2013 . Hlm. 21.

86

ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia

secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal, kecerdasan,

perasaan, dan panca indera. Oleh karena itu pendidikan Islam harus

mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia, baik spiritual,

intelektual, imajinasi, jasmaniah, keilmiahan, bahasanya baik secara

individual maupun kelompok serta mendorong aspek-aspek tersebut ke

arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.161

3. Indikator Murid Beretika Islami .

Tujuan pendidikan Nasional salah satunya adalah membentuk

peserta didik memiliki akhlak yang mulia. Hal ini bertentangan dengan apa

yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini. Lembaga pendidikan yang

seharusnya diarahkan untuk mendewasakan anak didik baik jasmani

maupun rohani, atau terciptanya pribadi yang utuh, dewasa dan cerdas

dalam pikiran dan tindakan, berubah menjadi alat negara untuk mengejar

ketertinggalan-ketertinggalan dalam bidang pembangunan materi.

Pada dasarnya Pendidikan Agama Islam juga diberikan dengan

mengikuti tuntunan bahwa agama diajarakan kepada manusia dengan visi

untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT. dan

berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur,

adil, berbudi pekerti, percaya diri, bertanggung jawab, bangga akan

kebudayaan sendiri, cinta dengan ilmu, baik personal maupun sosial.

Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang

161

Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Tarbiyatul Aulad Fil Islam. Hlm. 306-318.

87

sempurna (insan kamil), yaitu selalu berupaya menyempurnakan iman,

Islam, takwa dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan

keharmonisan kehidupan. Khususnya dalam memajukan bangsa yang

bermartabat. 162 Insan al-Kamil berarti manusia yang kamil (suci, bersih,

bebas dari dosa). Sempurna. Lebih lengkapnya, yaitu manusia yang egonya

mencapai titik intensitas tertinggi , yakni ketika ego mampu menahan

pemilikan secara penuh, bahkan ketika mengadakan kontak langsung

dengan yang mengikat ego (ego mutlak atau Tuhan). 163

Menurut Syeikh Abdul Karim ibnu Ibrahim Al Jaili dalam bukunya

yang berjudul Insan al-Kamil, ketika seorang manusia telah menggapai

Maqom (pencapaian spiritual) Haqiqah al Haqaiq (hakekat segala hakekat)

yakni hakekat wujud universal, maka ia akan paham bahwasannya al Haq

(Tuhan) adalah Ahadiyah al Jam‟ah (kesatuan dari yang banyak) juga al

Wahdah al Mutlak (Ketunggalan Mutlak) yang termanifestasikan dalam diri

„Insan al-Kamil.164

Dari beberapa pendapat tersebut kesemuanya itu menuju pada akhir

tujuan, yakni membentuk akhlak mulia sesuai dengan tujuan Pendidikan

Nsaional. Jadi dapat dipahami bahwa indikasi murid yang beretika Islami

adalah murid yang berakhlak mulia. Menurut al-Ghazali ada beberapa

pokok-pokok akhlakul karimah atau akhlak mulia adalah empat keutamaan

162

Perangkat pembelajaran KTSP Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah

(MTS), Hlm. 3. 163

Muhammad Iqbal, 2002. Rekonstruksi Pemikiran Agama dan Islam, terj. Didik

Komaedi,Yogyakarta: Lzuardi, Hlm. 167. 164

Syeikh Abd. Karim ibnu Ibrahim al Jaili, Insan Kamil, terj: Misbah El Majid, (Surabaya:

Pustaka Hikmah Perdana, 2005), ix

88

ini, yaitu hikmah, syaja‟ah, „iffah, dan adil.165 Dengan penjelasan sebagai

berikut:

1. Hikmah adalah suatu keadaan jiwa atau kekuatan akal yang dapat

dipergunakan untuk mengatur marah dan nafsu syahwat dan

mendorongnya menurut kehendak akal dan syara.

2. Akhlak syaja‟ah atau keberanian, maka itu dapat menimbulkan sifat

pemurah, keberanian, keinginan pada hal-hal yang mengharuskan

penyebutan bagus, mengekang hawa nafsu, menanggung penderitaan,

penyantun, berpendirian teguh, menahan kekasaran, hati mulia, bercinta

kasih, dan lain sebagainya

3. Akhlak „iffah atau memelihara kehormatan diri, maka itu dapat

menimbulkan sifat pemurah, rasa malu, sabar, pemaaf, menerima

anugerah Allah, ridho, qona‟ah, wara‟, peramah, tolong-menolong, dan

tidak begitu tamak terhadap harta orang lain.

4. Akhlak adil ini adalah akhlak yang mengajak untuk selalu berbuat lurus,

baik tidak berbuat curang atas suatu kepentingan sesuai dengan

peraturan yang berlaku mencari kebenaran atas dasar Allah SWT.

Dengan demikian bahwa indikasi murid betika Islami, yaitu murid

yang selalu mengikuti ajaran-ajaran Islam, selalu taat beribadah, dan selalu

menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak sangat mungkin dilakukan,

walau ada yang mengatakan bahwa tabiat dan akhlak manusia tidak

165

Imam Al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, terj. Moh. Zuhri, (Semarang : Asy-Syifa‟, 2003), jilid

V,Hlm. 109.

89

mungkin dirubah sebagaimana bentuk tubuh manusia tidak dapat dirubah.

Ada tiga potensi kekuatan jiwa manusia yaitu kekuatan akal, kekuatan nafsu

amarah dan kekuatan nafsu syahwat.

D. Setrategi Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Pendidikan Islam

1. Setrategi Pendidikan Akhlak

Setrategi pelaksanaan pendidikan akhlak di satuan pendidikan

merupakan suatu kesatuan dari program manajemen peningkatan mutu

berbasis sekolah yang terimplementasikan dalam pengembangan,

pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum oleh setiap satuan pendidikan. Strategi

tersebut diwujudkan melalui pembelajaran aktif di sekolah. Seperti yang

diungkapkan oleh Brooks dan Goole dalam Elmmubarak, untuk

mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah terdapat tiga elemen

penting untuk diperhatikan, yaitu; prinsip, proses dan praktiknya. Dalam

menjalankan prinsip, nilai-nilai yang diajarkan harus termanifestasikan

dalam kurikulum sehingga semua siswa di suatu sekolah faham benar

tentang nilai-nilai tersebut dan mampu menerjemahkannya dalam praktik

nyata. 166

Kemendiknas, menyebutkan bahwa strategi pelaksanaan pendidikan

karakter dikembangkan melalui tahapan pengetahuan (knowing),

pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Akhlak tidak terbatas pada

pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum

166

Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi, Hlm.93

90

tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih

(menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut.167

Sebagai langkah menuju terbentuknya akhlak mulia dalam diri setiap

siswa, ada tiga tahapan strategi yang harus dilakukan. Hal ini diperlukan

agar peserta didik yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut dapat

memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-

nilai kebijakan (moral), tiga tahapan atau komponen tersebut diantaranya:168

a. Moral Knowing/ Learning to Know

Learning to Know merupakan langkah awal dalam pendidikan

akhlak. Dalam tahapan ini tujuan diorientasikan pada penguasaan

pengetahuan tentang nilai-nilai. Disini siswa diharapkan mampu untuk

membedakan antara akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai-nilai

universal lainnya.

Brangkat dari hal tersebut di atas, maka dimensi-dimensi yang

termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif peserta

didik adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang

nlai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang

(perspektif taking), logika moral (moral reasoning), keberanian

mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self

knowledge).169

b. Moral Loving/ Moral Feeling

167

Heri Gunawan, Hlm. 93. 168

Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Hlm.112 169

Heri Gunawan, 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi, Hlm..193

91

Dalam tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan

menguatkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia

(aspek emosi). Dalam tahapan ini, yang menjadi sasaran guru adalah

dimensi emosional siswa. Untuk mencapai tahap ini guru bisa

memasukinya dengan kisah-kisah yang menyentuh hati, modeling atau

kontemplasi. Melalui tahap ini, siswa diharapkan mampu menilai dirinya

sendiri (muhasabah), serta membiasakan serta membiasakan bersikap

baik, dan bersikap empati kepada siapapun.170

c. Moral Doing / Learning to do

Moral Doing merupakan perbuatan atau tindakan moral yang

merupakan hasil (outcome) dari dua komponen akhlak lainnya. Dan

untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang

baik, maka harus dilihat tiga aspek lain dari akhlak yaitu; kompetensi,

keinginan, dan dan kebiasaan.

Di dalam Moral Doing inilah puncak dari keberhasilan dari

pendidikan karakter kepada siswa. Dimana siswa mampu mempraktikkan

nilai-nilai akhlak mulia itu dalam perilakunya sehari-hari. Siswa semakin

berprilaku ramah, sopan dan berbicara, hormat kepada guru dan orang

tua, penyayang, jujur dalam segala tindakan baik ucapan maupun

perbuatan, bersikap disiplin dalam belajar dan yang lainnya, cinta dan

kasih sayang, adil, murah hati, dan lain sebagainya. Maka dalam hal

170

Heri Gunawan, 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi, Hlm 194.

92

inilah contoh teladan dari guru dan semua warga sekolah menjadi hal

yang sangat penting.171

Dari ketiga tahapan atau komponen yang dijelaskan diatas, jelas

bahwa, pentingnya sebuah keseimbangan antara komponen satu dengan

komponen lainnya, antara Moral Knowing, Moral Feeling dan Moral

Action. Hal ini dipertegas lagi melalui ungkapan Lickona, yang

menekankan pentingnya tiga komponen akhlak yang baik (components of

good character), yaitu Moral Knowing atau pengetahuan tentang moral,

Moral Feeling atau perasaan tentang moral, dan Moral Action atau

perbuatan moral. Hal itu diperlukan agar anak mampu memahami,

merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.172

Menurut Muchlas Samani, & Hariyanto dalam bukunya; Konsep

dan Model Pendidikan akhlak menjelaskan, dalam desain induk

pendidikan akhlak antara lain diutarakan bahwa secara substantif

karakter terdiri atas 3 nilai operatif (operative value), nilai-nilai dalam

tindakan, atau tiga untuk perilaku yang satu sama lain saling berkaitan

dan terdiri atas pengetahuan tentang moral (moral knowing, aspek

pengetahuan), perasaan berlandaskan moral (moral feeling, aspek

afektif), dan perilaku berlandaskan moral (moral behavior, aspek

psikomotorik). Akhlak yang baik terdiri atas proses-proses yang meliputi,

tahu mana yang baik (knowing the good), keinginan melakukan yang

baik (desiring the good), dan melakukan yang baik (doing the good).

171

Heri Gunawan, 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi , Hlm. 195. 172

Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,

Hlm.133

93

Terlepas dari itu semua, karakter yang baik juga harus ditunjang oleh

kebiasaan piker (habit of the mind), kebiasaan kalbu (habit of the heart),

dan kebiasaan tindakan (habit of the action). 173

Selanjutnya dinyatakan pula bahwa konfigurasi akhlak dalam

konteks realita psikologis dan juga sosial-kultural tersebut dikata gorikan

menjadi: olah hati (spiritual and emosional development), olah piker

(intellectual development), olahraga dan kinestetik (physical and

kinesthetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity

development). 174

2. Metode dan Pendekatan Pendidikan Akhlak dalam Islam

Dalam proses pendidikan, diperlukan metode-metode pendidikan

yang mampu menanamkan nilai-nilai karakter baik pada siswa, sehingga

siswa bukan hanya tahu tentang moral atau moral knowing, tetapi juga

diharapkan mereka mampu melaksanakan moral action yang menjadi

tujuan utama pendidikan karakter. Berkaitan dengan hal ini, berikut

beberapa metode yang ditawarkan An-Nahlawi tersebut adalah sebagai

berikut: 175

a. Metode Hiwar atau Percakapan

Metode Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua

pihak atu lebih melalui tanya jawab mengenai suatu topik, dan dengan

sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki. Pentingnya

sebuah komunikasi atau dialog antar pihak-pihak yang terkait dalam hal

173

Muchlas Samani & Hariyanto, 2012 Konsep dan Model Pendidikan Karakter., Hlm.49 174

Muchlas Samani & Hariyanto, 2012 Konsep dan Model Pendidikan Karakter Hlm. 50 175

Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi., Hlm. 88-96

94

ini guru dan murid. Sebab, dalam prosesnya pendidikan hiwar

mempunyai dampak yang sangat mendalam terhadap jiwa pendengar

(mustami‟ ) atau pembaca yang mengikuti topik percakapan dengan

seksama dan penuh perhatian.

b. Metode Qishah atau Cerita

Menurut kamus Ibn Manzur (1200 H), kisah berasal dari kata

qashsha-yaqushshu-qishshatan, mengandung arti potongan berita yang

diikuti dan pelacak jejak. Menurut al-Razzi, kisah merupakan

penelusuran terhadap kejadian masa lalu. Dalam pelaksanaan pendidikan

karakter di sekolah, kisah sebagai metode pendukung pelaksanaan

pendidikan karakter disekolah, kisah sebagai metode pendukung

pelaksanaan pendidikan memiliki peran yang sangat penting, karena

dalam kisah-kisah terdapat berbagai keteladanan, edukasi dan

mempunyai dampak psikologis bagi anak.176

c. Metode Uswah atau Keteladanan

Dalam penanaman karakter kepada peserta didik di sekolah,

keteladanan merupakan metode yang lebih efektif dan efisien. Karena

peserta didik (terutama siswa pada usia pendidikan dasar dan menengah)

pada umumnya cenderung meneladani (meniru) sosok guru atau

pendidiknya.177

Hal ini memang disebabkan secara psikologis, pada fase-

fase itu siswa memang senang meniru, tidak saja yang baik, bahkan

terkadang yang jeleknya pun mereka tiru.

176

Muchlas Samani & Hariyanto, 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Hlm. 88-96. 177

Muhibbin Syah. 2014. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, Hlm. 132.

95

Begitu pula Al-qur‟ an menandaskan dengan tegas pentingnya

teladan dan pergaulan yang baik dalam usaha membentuk pribadi

seseorang. Sebagaimana Al-qur‟ an menyuruh kita untuk dapat tunduk

kepada Rasulullah Saw, dan menjadikannya sebagai uswatu hasanah.

Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang

agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan (habituation)

sebenarnya berintikan pada pengalaman yang dilakukan secara berulang-

ulang.178

Bagi anak usia dini, pembiasaan ini sangat penting. Karena

dengan pembiasaan itulah akhirnya suatu aktivitas akan menjadi milik

anak dikemudian hari. Pembiasaan yang baik akan membentuk sosok

manusia yang berkepribadian baik pula sebaliknya pembiasaa yang buruk

akan membentuk sosok manusia yang berkepribadian yang buruk pula.

Begitulah biasanya yang terlihat dan yang terjadi pada diri seseorang.179

Dalam realitanya memang benar jika menanamkan kebiasaan yang

baik terhadap anak memang tidak mudah, kadang-kadang makan waktu

yang lama. Tetapi suatu yang sudah menjadi kebiasaan sukar pula untuk

mengubahnya. Maka adalah penting pada awal kehidupan anak,

menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik saja dan jangan sekali-

sekali mendidik anak berdusta, tidak disiplin, suka berkelahi dan lain

sebagainya.180

Tetapi tanamkanlah kebiasaan seperti ikhlas melakukan

puasa, gemar menolong orang yang kesulitan, suka membantu fakir

178

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. (Bandung : PT Rosdakarya. 2007),

Hlm.144 179

Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Ibid. Hlm. 256. 180

Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Hlm. 259.

96

miskin, gemar melakukan salat lima waktu, aktif berpartisipasi dalam

kegiatan yang baik-baik, dan lain sebagainya. Maka dari itu pengaruh

lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat tidak bisa dielakkan dalam

hal ini.

Sedangkan menurut Doni Koesoema, metodologi pendidikan

karakter adalah sebagaimana berikut: 181

a. Pengajaran

Mengajarkan pendidikan karakter dalam rangka memperkenalkan

pengetahuan teoretis tentang konsep-konsep nilai. Pemahaman konsep ini

mesti menjadi bagian dari pemahaman pendidikan karakter itu sendiri.

Sebab, anak-anak akan banyak belajar dari pemahaman dan pengertian

tentang nilai-nilai yang difahami oleh para guru dan pendidik dalam

setiap perjumpaan mereka.

b. Keteladanan

Keteladanan menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya sebuah

tujuan pendidikan karakter. Tumpuan pendidikan karakter ada pada

pundak guru. Konsistensi dalam mengajarkan pendidikan karakter tidak

sekadar melalui sesuatu yang dikatakan melalui pembelajaran di kelas,

melainkan nilai itu juga tampil dalam diri sang guru, dalam

kehidupannya yang nyata di luar kelas. Karakter guru menentukan warna

kepribadian anak didik (meskipun tidak selalu).

181

Jamal M‟ mur Asmani.2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah.

Jogjakarta: DIVA press. Hlm.68.

97

Keteladanan sebagaimana yang telah dibicarakan merupakan

metode terbaik dalam pendidikan moral. Keteladanan selalu menuntut

adanya sikap yang konsisten serta kontinyu baik dalam perbuatan

ataupun budi pekerti yang luhur. Karena sekali memberikan contoh yang

buruk akan mencoreng seluruh budi pekerti luhur yang telah dibangun.182

c. Menentukan Prioritas

Lembaga pendidikan memiliki prioritas dan tuntutan dasar atas

karakter yang ingin diterapkan di lingkungan mereka. Pendidikan

karakter menghimpun banyak kumpulan nilai yang dianggap penting

bagi pelaksanaan dan realisasi atas visi lembaga pendidikan. Oleh karena

itu lembaga pendidikan pasti memiliki standar atas karakter yang akan

ditawarkan kepada peserta didik sebagai bagian dari kierja kelembagaan

mereka.183

d. Praktis Prioritas

Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah

bukti dilaksanakannya prioritas nilai pendidikan karakter tersebut.

Berkaitan dengan tuntutan lembaga pendidikan atas prioritas nilai yang

menjadi visi kinerja pendidikannya, lembaga pendidikan kemajuan.

Refleksi merupakan kemampuan sadar manusia. Dengan kemampuan

sadar ini, manusia mampu mengatasi diri dan meningkatkan kualitas

hidupnya dengan lebih baik. Jadi, setelah tindakan dan praksis

182

Khatib Ahmad Santhut. 1998. Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan Spiritual Anak Dalam

Keluarga Muslim. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Hlm..85 183

Jamal M‟ mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah Op.cit,

Hlm. 68

98

pendidikan karakter itu terjadi, perlulah diadakan semacam pendalaman

dan refleksi untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan telah

berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan akhlak atau

karakter.184

Dari beberapa metodologi pendidikan akhlak atau karakter tersebut

menjadi catatan penting bagi semua pihak, khususnya guru sebagai

pendidik yang berinteraksi langsung kepada anak didik. Meskipun lima

hal yang dijelaskan diatas bukan lah satu-satunya metode yang dapat

digunakan, sehingga masing-masing tertantang untuk menyuguhkan

alternative pemikiran dan gagasan baru untuk memperkaya metodologi

pendidikan karakter yang sangat dibutuhkan bangsa ini dimasa yang akan

datang.

3. Relasi Pendidikan Akhlak dengan Pendidikan Islam

Manusia adalah makhluk Allah. Manusia dan alam semesta bukan

terjadi sendirinya, tetapi dijadikan oleh Allah. Manusia diciptakan oleh

Allah sebagai penerima dan pelaksana ajaran. Oleh karena itu, manusia

ditempatkan pada kedudukan mulia.185

Manusia adalah makhluk

pedagogik yaitu makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat

dididik dan dapat mendidik. Manusia memiliki potensi dapat didik dan

mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi, pendukung dan

pengembang kebudayaan. Manusia dilengkapi dengan fitrah Allah,

berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan

184

Jamal M‟ mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah Op.cit,

Hlm. 69. 185

Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), Hlm. 1-3.

99

dan ketrampilan yang dapat berkembang, sesuai dengankedudukannya

sebagai makhluk mulia. Pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat

merupakan komponen dari fitrah itu. Itulah fitrah Allah yang melengkapi

penciptaan manusia. 186

Oleh karena itu, demi terlaksananya pencapaian kemuliaan

tersebut maka manusia harus tunduk dan patuh dengan penuh tanggung

jawab untukmerealisasikan kehendak Allah yang telah diamanahkannya

menjadi khalifah. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia

membutuhkan pendidikan karena manusia adalah makhluk pedagogik. Di

kalangan umat Islam, istilah populer yang digunakan dalam pendidikan

adalah al-tarbiyyah. Dengan demikian, secara populer istilah tarbiyyah

digunakan untuk menyatakan usaha pendidikan dalam membimbing dan

mengembangkan subyek didik agar benar-benar menjadi makhluk yang

beragama dan berbudaya.187

Pertumbuhan dan perkembangan subyek

didik perlu diupayakan mencapai kesempurnaannya. Oleh sebab itu, agar

kesempurnaan yang optimal dapat dicapai, maka berbagai potensi

bawaan yang ada pada dirinya harus dikembangkan sedemikian rupa

untuk mencapai kemampuan yang nyata dalam menjalani hidup dan

kehidupan yang semestinya dalam suatu kepribadian yang utuh.

Penjelasan tentang pengertian pendidikan akhlak dan pendidikan

akhlak di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep dasar pendidikan

karakter dalam pendidikan Islam berasal dari perkataan akhlaq bentuk

186

Abdullah Nashin Ulwan. Ibid. Hlm. 4. 187

Ahmad Tafsir. 2013. Hlm. 43.

100

jamak dari khuluq yang menurut bahasa diartikan budi pekerti, perangai,

tingkah laku atau tabiat. Rumusan pengertian akhlak timbul sebagai

media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dan

makhluk serta antara makhluk dan makhluk.

Implementasi Pendidikan akhlak dalam Islam tersimpul dalam

akhlak pribadi Rasulullah saw. Dalam pribadi Rasul, bersemi nilai-nilai

akhlak yang mulia dan agung. Allah berfirman dalam Al-Quran surah al-

Ahzab ayat 21:

Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan

yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)

Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut

Allah”. 188

Sebagai usaha yang identik dengan ajaran agama, perlu dimengerti

bahwa Islam diturunkan oleh Allah SWT sebagai agama dan tuntunan

hidup bagi umat manusia yang ada di dunia. Islam sebagai rangkaian

nilai diharapkan mampu untuk membawa kedamaian dan kesejahteraan

bagi seluruh umat manusia. Islam tidak hanya diperuntukkan bagi

segelintir orang dan kelompok, melainkan kepada seluruh alam semesta,

serta pengejawantahan nilai-nilai keislaman seharusnya dirasakan oleh

seluruh manusia, termasuk kepada manusia yang tidak memeluk Islam.189

188

Departemen Agama. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm.

670. 189

Romie Ziadul Fadlan, Universalitas Ajaran Islam: Membangun Konsensus

PemahamanAgama,artikel.Dapatdiakses.dihttp://rhomiezf.wordpress.com/2010/03/16/univer

salitas-ajaran-Islam-membangun-konsensus-pemahaman-agama/(02 Desember 2012).

101

Implementasi nilai-nilai universal keislaman adalah ketika Rasul di

Mekkah al-Mukarramah yang telah membawa perubahan pada sistem

nilai kehidupan masyarakat pada waktu itu. Nilai-nilai universal Islam

yang sangat fundamental dalam membangun tatanan kehidupan manusia

yang tercerahkan dalam menopang sistem keyakinan. Dan bahkan pada

prinsipnya nilai-nilai ini berlaku bagi semua agama, terlebih dalam

Islam.190

Universalitas Islam berlaku sama untuk semua pemeluk Islam tanpa

mempertimbangkan perbedaan ruang dan waktu pelaksanaan ajaran. Hal

ini mengingat sumber dari universalitas Islam adalah al-Qur'an. Al-

Qur‟an merupakan sumber pendidikan terlengkap, baik pendidikan

kemasyarakatan, moral (akhlak), spiritual, material (kejasmanian) dan

alam semesta.191

Al-Qur‟an merupakan sumber nilai yang absolut dan

utuh dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Penerapan nilai-nilai

universal Islam dalam tataran empiris tidak dapat dipisahkan oleh Hadist

Nabi. Hal ini disebabkan, secara umum Al-Qur‟an masih bersifat global.

Hadist Nabi merupakan penjelas dan penguat hukum-hukum qur‟aniah

sekaligus petunjuk dan pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia

dalam semua aspeknya. Dengan demikian sebagai pemeluk Islam perlu

memperhatikan dua hal, yaitu produktivitas mencapai tujuan dan esensi

ajaran Islam yang bersifat universal serta penerapan nilai universal dalam

190

Tim Penulis Rumah Kitab. 2014. Pendidikan Karakter Berbaisis Pesantren. Jakarta : Rumah

Kitab. Hlm. 17. 191

Rahmat Djatnika.1992. Sistem Ethika Islami. Jakarta : Pustaka Panjimas. Hlm. 17.

102

tataran empiris adalah dengan menjujung nilai kebenaran, keadilan, anti

kekerasan, kesetaraan, kasih sayang, cinta dan toleransi.

Pendidikan akhlak dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan

dengan pendidikan akhlak di dunia Barat. Perbedaan-perbedaan

tersebutmencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi,

aturan dan hukum dalam memperkuat moralitas, perbedaan pemahaman

tentang kebenaran, penolakan terhadap otonomi moral sebagai tujuan

pendidikan moral, dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi

perilaku bermoral. Inti dari perbedaan-perbedaan ini adalah keberadaan

wahyu Ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu pendidikan akhlak dalam

Islam. Perbedaan-perbedaan diatas karena adanya pemahaman yang

berbeda tentang keyakinan yang dianut.

Dari penjelasan teoritis di atas dapat disimpulkan bahwa

pendidikan karakter dan pendidikan akhlak memiliki kesamaan yaitu

untuk menjadikan manusia lebih baik, pendidikan akhlak bersumber pada

nilai-nilai kebaikan universal (nilai-nilai kehidupan yang baik atau

buruknya diakui oleh seluruh umat manusia), dan pada dasarnya ajaran

Islam adalah agama yang mengandung nilai-nilai universal yang dapat

diterima oleh seluruh umat manusia.

Dengan demikian maka pendidikan akhlak bisa dikatakan sebagai

pendidikan akhlak atau pembentukan karakter sesuai dengan nilai-nilai

Islam yang bersumber pada ajaran Islam yang universal (al-Qur‟an dan

Hadist).

103