21
BAB II
ETIKA MURID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
A. Hakikat Murid dan Kedudukannya Dalam Islam
1. Pengertian Murid
Kata “Murid” berasal dari bahasa Arab, yaitu „arada, yu‟ridu,
iradatan, muridan”( - - - ) yang berarti orang yang
menginginkan, dan menjadi salah satu sifat Allah SWT. yang berarti
“Maha Menghendaki”.1 Hal ini dapat dipahami karena seorang murid
adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan,
keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal
hidupnya agar berbahagia di dunia dan di akhirat dengan jalan belajar yang
sungguh-sungguh. Istilah murid ini banyak digunakan dalam tasawuf
sebagai orang yang belajar mendalami ilmu tasawuf kepada seorang guru
yang dinamai syekh.2 Selain kata murid dijumpai pula kata yang
berarti murid atau pelajar, yang bentuk jamaknya “ ,3 yang memiliki
arti beberapa pelajar. Istilah ini antara lain digunakan oleh Ahmad Shalaby.
Selanjutnya terdapat pula kata al-mudarris, berasal dari bahasa Arab, yaitu
orang yang mempelajari sesuatu.4 Kata ini dekat dengan kata madrasah,
sehingga lebih tepat digunakan untuk arti pelajar pada suatu madrasah.
Ketiga kata tersebut di atas, tampaknya digunakan untuk
menunjukkan pada pelajar tingkat dasar dan lanjutan yang disebut murid.
1 Engr Sayyid Khaim Husayn Naqawi. 1992. Dictionary Of Islamic Terms, Hlm. 235.
2 Abd al-Rahman, Abd al-Khaliq, Al-Fikr Al-Shufi Fi Dhau Al-Kitab Wa Al-Sunnah,(Maktabah Ibn
Taimiyah, Kuwait, 1986), Hlm. 316-349.. 3 Mahmud Yunus, Kamus Arab - Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, t.th), hlm. 79
4 Engr sayyid Khaim Husayn Naqawi. 1992. Dictionary Of Islamic Terms. Hlm. 375..
22
Istilah-istilah tersebut, menggambarkan sebagai orang yang masih
memerlukan bimbingan dan masih bergantung kepada guru, belum
menggambarkan kemandirian.
Istilah lain, berkaitan dengan murid adalah al-thalib. Kata ini berasal
dari bahasa Arab, yaitu thaba, yathlubu, thalaban, thalibun yang berarti
orang yang mencari sesuatu. Pengertian ini terkait dengan orang yang
tengah mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan
pembentukan kepribadian untuk bekal kehidupannya dimasa depan agar
berbahagia di dunia dan di akhirat. Kata al-thalib ini selanjutnya lebih
digunakan untuk pelajar pada perguruan tinggi yang disebut mahasiswa.5
Pengguna kata al-thalib untuk mahasiswa dapat dipahami karena seorang
mahasiswa sudah memiliki bekal untuk mencari, menggali, dan mendalami
bidang keilmuan yang diminatinya dengan cara membaca, mengamati,
memilih bahan-bahan bacaan untuk ditelaah, selanjutnya dituangkan dalam
berbagai karya ilmiah.
Dengan demikian pengertian murid dalam istilah al-thalib lebih
bersifat aktif, mandiri, kreatif, dan sedikit bergantung kepada guru. Althalib
dalam beberapa hal dapat mengkritik dan menambahkan informasi yang
disampaikan oleh guru atau dikenal dengan dosen, sehingga dapat
menghasilkan rumusan ilmu baru yang berbeda dengan gurunya. Dalam
konteks ini, seorang dosen dituntut bersikap terbuka, demokratis, memberi
5 Abuddin Nata. 2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. Hlm. 50.
23
kesempatan, dan menciptakan suasana belajar yang saling mengisi, dan
mendorong mahasiswa memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. 6
Berkaitan dengan istilah al-thalib tersebut, Imam Ghazali yang
dikutib Abudin Nata, mengatakan: Al-thalib adalah bukan kanak-kanak
yang belum dapat berdiri sendiri, dan dapat mencari sesuatu, melainkan
ditujukan kepada orang yang memiliki keahlian, manfaat bagi dirinya.
Bahwasanya ia adalah seseorang yang sudah mencapai usia dewasa dan
telah dapat bekerja dengan baik dengan menggunakan akal pikirannya. Ia
adalah seseorang yang sudah dapat dimintakan pertanggung jawaban dalam
melaksanakan kewajiban agama yang dibebankan kepadanya sebagai
fardhu‟ ain. Seorang al-thalib adalah manusia yang telah memiliki
kesanggupan memilih jalan kehidupan, menemukan apa yang dinilainya
baik, berusaha dalam mendapatkan ilmu dan sungguh-sungguh dalam
mencarinya.
Selanjutnya, istilah yang dimiliki hubungan erat dengan pengertian
murid yaitu al-muta‟allim. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yaitu allama
yu‟allimu, ta‟liman yang berarti orang yang mencari ilmu pengetahuan.
Istilah al-muta‟ allim yang menunjukkan pengertian murid sebagai orang
yang menggali ilmu pengetahuan.7 Istilah al-muta‟ allim lebih bersifat
universal, mencakup semua orang yang menuntut ilmu pada semua
tingkatan. Istilah al-muta‟ allim mencakup pengertian istilah-istilah murid,
6 Nana Syaodi Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Bandung:
Rosda Karya. Hlm. 196. 7 Engr Sayyid Khaim Husayn Naqawi, Dictionary Of Islamic Terms, Hlm. 323..
24
tilmidz, mudarris, dan thalib. Berdasarkan pengertian di sini, murid dan
mahasiswa dapat dicirikan sebagai orang yang tengah mempelajari ilmu.
Mengacu dari beberapa istilah mengenai murid di atas, murid diartikan
sebagai orang yang berada dalam taraf pendidikan, yang dalam berbagai
literatur disebut sebagai anak didik. Muhaimin dan Abdul Mujib
mendefinisikan anak didik dalam pendidikan Islam adalah sama dengan
teori Barat yaitu anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara
fisik maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui
lembaga pendidikan. 8
Menurut H.M. Arifin, menyebut “murid” dengan manusia didik
sebagai makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan atau
pertumbuhan menurut fitrah masing-masing yang memerlukan bimbingan
dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal yakni
kemampuan fitrahnya.9
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan mengenai
pengertian murid yaitu setiap orang yang memerlukan ilmu pengetahuan
yang membutuhkan bimbingan dan arahan untuk mengembangkan potensi
diri (fitrahnya) secara konsisten melalui proses pendidikan dan
pembelajaran, sehingga tercapai tujuan yang optimal sebagai manusia
dewasa yang bertanggung jawab dengan derajat keluhuran yang mampu
menjalankan fungsinya sebagai khalifah di bumi.
8 Muhaimin dan Abdul Mujib, Op.Cit., Hlm. 177
9 H.M. Arifin, 1996. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, Hlm. 144
25
2. Kedudukan Murid Dalam Pendidikan
Dalam pengelolaan belajar mengajar, guru dan murid memegang
peranan penting. Murid atau anak adalah pribadi yang “unik” yang
mempunyai potensi dan mengalami proses berkembang. Dalam proses
berkembang itu anak atau murid membutuhkan bantuan yang sifat dan
coraknya tidak di tentukan oleh guru tetapi oleh anak itu sendiri, dalam
suatu kehidupan bersama dengan individu-individu lain. Fungsi murid
dalam interaksi belajar mengajar adalah sebagai subyek dan obyek. Sebagai
subyek, karena murid menentukan hasil belajar dan sebagai obyek, karena
muridlah yang menerima pelajaran dari guru. Guru mengajar dan murid
belajar, jika tugas pokok guru adalah “mengajar”, maka tugas pokok murid
adalah “belajar”. Keduanya amat berkaitan dan saling bergantungan, satu
sama lain tidak terpisahkan dan berjalan serempak dalam proses belajar
mengajar.10
KH. M. Hasyim Asy`ari dalam kitabnya Adab al-Alim wa al-
Muta‟ allim, seperti yang dikutip Suwendi menjelaskan bahwa peserta didik
atau murid dapat didudukkan sebagai subyek pendidikan. Artinya, peluang-
peluang untuk pengembangan daya kreasi dan intelek peserta didik dapat
dilakukan oleh peserta didik itu sendiri, disamping memang harus adanya
peranan orang lain yang memberi corak dalam pengembangannya.11 Zakiah
Daradjat menjelaskan bahwa sebagai obyek, murid menerima pelajaran,
bimbingan dan berbagai tugas serta perintah dari guru atau sekolah dan
10
Zakiah Daradjat, dkk, 1995. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
Hlm. 268. 11
Suwendi, 2005. Konsep Kependidikan KH. M. Hasyim Asy‟ari, Ciputat: Lekdis, Hlm. 84.
26
sebagai subyek, murid menentukan dirinya sendiri sesuai dengan potensi
yang dimilikinya dalam rangka mencapai hasil belajar. Tugas-tugas murid
sebagai subyek senantiasa berkaitan dengan kedudukannya sebagai obyek.12
Dengan dasar pandangan tersebut di atas, maka tugas murid dapat
dilihat dari berbagai aspek yang berhubungan dengan belajar, aspek yang
berhubungan dengan bimbingan, dan aspek yang berhubungan dengan
administrasi. Selain itu murid juga bertugas pula untuk menjaga hubungan
baik dengan guru maupun dengan sesama temannya dan untuk senantiasa
meningkatkan keefektifan belajar bagi kepentingan dirinya sendiri.
3. Hak dan Kewajiban Murid
Sebagaimana guru yang memiliki tugas dan kewajiban, seorang murid
juga memiliki hak dan kewajiban (tugas–tugas) yang sangat penting dan
harus diperhatikan dalam pendidikan. Menurut Athiyah al-Abrasyi, bahwa
hak-hak murid yang paling utama adalah dimudahkannya jalan bagi
tercapainya ilmu pengetahuan kepada mereka serta adanya kesempatan
belajar tanpa membedakan kaya dan miskin.13 Oleh karena itulah Islam
selalu menghimbau kepada para pengikutnya untuk berusaha keras dalam
menuntut ilmu, kemudian mengamalkannya dan mengajarkannya serta
menyumbangkan ilmu yang telah didapat tersebut kepada segenab manusia
untuk kebaikan mereka hanya berharap mendapat kemudahan dari Allah
SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
12
Zakiah Daradjat, dkk, 1995. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: BumiAksara,
Hlm. 268. 13
Moh. Athiyah Al-Abrasyi, Op.Cit., hlm. 146
27
“Menceritakan Mahmud bin Ghailan, menceritakan Abu Uamah
A‟mas ari Abi Shalih dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah
SAW,bersabda: Dan barang siapa menempuh jalan untuk mencari
ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya untuk menuju
surga.” (HR.Tirmidzi) 14
Abdullah Nasihun Ulwan juga menjelaskan dalam bukunya, bahwa
seorang cendikiawan mengatakan, “Sesungguhnya negara Islam telah
mendahului seluruh dunia di dalam menyebarkan pengajaran secara gratis
bagi seluruh warga negaranya, tanpa pandang bulu atau pilih kasih. Pintu-
pintu sekolah terbuka lebar bagi seluruh masyarakat dan bangsa di masjid-
masjid, tempat-tempat belajar, dan Tempat-tempat umum disetiap negara
yang telah memeluk Islam. Diantara pengajaran yang bebas itu adalah al-
Azhar asy-Syarif, Kulliyat Darul Ulum dan seluruh perguruan–perguruan
atau sekolah-sekolah agama. Di sana para pelajar dan mahasiswa diberi
bantuan biaya untuk makan mereka seperti yang dilakukan secara merata
oleh beberapa negara di seluruh pelosok dunia. 15
Jadi jelaslah bahwa seorang murid memiliki hak-hak yang mutlak
untuk diterima dan dinikmati, sebab murid dipandang sebagai individu yang
memiliki derajat kemulyaan pula di samping seorang guru yang penuh
keikhlasan dan ketulusan hati meluangkan waktu dan tenaganya untuk
14
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Al-Jami‟us Shokhih Sunan Tirmidzi Juz V, (Beirut:
Darul Kutub al-Ilmiyah, 1987), hlm 28 15
Abdullah Nasih Ulwan, 2007. Pendidikan Anak Menurut Islam,( Terjemahan :Jamaludin Miri dari
judul Asli : Tarbiyatul Aulad fil Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakaryahlm. 363
28
mencari ilmu sebagai bekal hidup di dunia serta sebagai sarana untuk dekat
pada sang Khaliq-Nya, sehingga tercapai tujuannya di dunia dan akhirat. 16
Terdapat banyak ulama pendidikan Islam, yang mengemukakan
pemikirannya tentang kewajiban murid. Kewajiban tersebut sangat
signifikan, yakni lebih berorientasi pada akhlak sebagai dasar kepribadian
seorang muslim, yang harus ditegakkan oleh murid. Karena dasar utama
pendidikan Islam adalah bersumber dari al-Qur‟an dan Hadis yang sarat
dengan nilai dan etika.17 Diantara kewajiban–kewajiban tersebut adalah:
Menurut Asma Hasan Fahmi, bahwa murid memiliki beberapa kewajiban
terpenting, yaitu :
a. Seorang murid harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum
menuntut ilmu. sebab belajar sama dengan ibadah dan tidak sah suatu
ibadah kecuali dengan hati yang bersih.
b. Hendaklah tujuan belajar ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat
keutamaan, mendekatkan diri dengan Tuhan dan bukan untuk mencari
kedudukan.
c. Selalu tabah dan memiliki kemauan kuat dalam menuntut ilmu sekalipun
harus merantau pada tempat yang cukup jauh.
d. Wajib menghormati guru dan bekerja untuk memperoleh kerelaan guru,
dengan berbagai macam cara. 18
16
Ibnu Miskawaih. 1985. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Buku Daras Pertama tentang Filsafat
Etika. (Terjmh : Helmi Hidayat : judul asli Tahdzib Al-Akhlaq., (Bandung: Mizan.1998).
Hlm.56. 17
M. Abul Quasem, 1988. Etika A-Ghazali Etika Majemuk di Dalam Islam, Bandung: Pustaka
.Hlm. 87. 18
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husain, ( Jakarta:
29
Al-Ghozali juga membahas mengenai kewajiban murid yang
dituangkan dalam karya monumentalnya kitab al-Ihya‟ Ulumuddin,
dijelaskan bahwa :
1. Mendahulukan kesucian jiwa dan menjauhkan diri dari akhlak tercela,
sebab batin yang tidak bersih tidak akan dapat menerima ilmu yang
bermanfaat dalam agama dan tidak akan disinaridengan ilmu.
2. Mengurangi hubungan (keluarga) dan menjauhi kampung halamannya
sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu.
3. Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan yang
tidak terpuji kepada guru.
4. Menjaga diri dari perselisihan (pandangan–pandangan yang
kontroversi), khususnya bagi murid pemula, sebab hanya akan
mendatangkan kebingungan.
5. Tidak mengambil ilmu terpuji, selain hingga mengetahuui hakikatnya.
Karena mencari dan memilih yang terpenting hanya dapat dilakukan
setelah mengetahui suatu perkara secara keseluruhan.
6. Mencurahkan perhatian pada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat,
sebab ilmu akhirat merupakan tujuan.
7. Memiliki tujuan dalam belajar, yaitu untuk menghias batinnya dengan
sesuatu yang akan menghantarkannya kapada Allah SWT, bukan untuk
memperoleh kekuasaan, harta dan pangkat.19
19 Al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, terj. Purwanto, (Bandung: Marja‟, 2003), Hlm. 97-110
30
4. Hubungan Murid dengan Guru
Untuk menjadi pendidik yang professional tidaklah mudah, karena ia
dituntut memiliki berbagai kompetensi-kompetensi keguruan. Kompetensi
(professional keguruan) yakni “kewenangan yang ada pada individu yang
memiliki profesi sebagai guru. Kompetensi dari bobot dasar dan
kecenderungan yang dimiliki”.20
Adapun interaksi guru merupakan kemampuan guru dalam
melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab. Dengan gambaran
pengertian tersebut, dapatlah disimpilkan bahwa kompetensi merupakan
kemampuan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.
Mengapa interaksi dibutuhkan dalam prose pembelajaran ? Menurut
Alisuf Sabriada dua alasan, yaitu:
a. Mengajar itu kedudukan sebagai suatu profesi yang efektifitasnya akan
diukur dari kualitas pelayanan professional yang diberikan oleh guru
dalam membantu dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan
murid-muridnya.
b. Sekolah itu sebenarnya merupakan salah satu tempat bagi anak untuk
belajar memperoleh pengalaman-pengalaman yang berguna bagi
perkembangannya.21
Diantara kaidah-kaidah pendidikan yang disepakati oleh para
sosiolog, psikolog, dan ahli pendidikan ialah memperkuat hubungan
antara seorang pendidik dengan anak didik (murid), agar interaksi
20
Tim Penyusun Pusat Bahasa, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
Cet. IV, hal. 377. 21
Alisuf Sabri, 1994. Buletin Mimbar Agama dan Budaya, Jakarta: Hlm. 14-15.
31
pendidikan berjalan dengan sebaik-baiknya, dan agar proses
pembentukan ilmu, jiwa dan moral berhasil baik.22
Menurut Ibnu
Khaldun sebagaimana dikutip oleh Ali al-Jumbuladi al- Tuwanisi,
menyatakan bahwa hubungan tersebut akan menjadi akrab apabila
dilakukan di dalam kelas, karena tercipta rasa kebersamaaan yang
mendalam antara guru dan murid, disusul dengan hubungan di luar kelas.
Jika rasa kebersamaan ini berlangsung dalam batas-batas tertentu, maka
terjadilah pertemuan antara hati para murid, sehingga tercipta peluang
yang baik untuk berdiskusi dan bertukar fikiran antara mereka. Hal ini
dapat menjadi faktor yang memperlancar proses pengembangan akal
fikiran murid.23
Dari sini terdapat suatu petunjuk yang sejalan dengan
prinsip-prinsip baru dalam pendidikan modern, yaitu prinsip demokrasi
dalam kegiatan belajar mengajar.
Para ahli pendidikan Islam sepakat dalam menetapkan prinsip dasar
edukatif yang sangat penting, bahwa kitab atau buku tidak dapat
menggantikan posisi guru dalam pengajaran.24
Hal ini diindikasikan
bahwa para ahli pendidikan Islam mengecam gejala pemosisian buku
sebagai guru. Berpijak pada prinsip dasar tersebut mereka mengakui
urgensi peran guru dalam proses belajar mengajar, karena dalam pribadi
guru terdapat nilai-nilai dan cermin kepribadian yang berpengaruh sekali
22
Abdullah Nasih Ulwan, 2007. Pendidikan Anak Menurut Islam,( Terjemahan :Jamaludin Miri dari
judul Asli : Tarbiyatul Aulad fil Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 363 23
H.M. Arifin (Penerjemah), Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh al-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan
Islam, Cet.I, (Jakarta: Rineka Cipta; 1994), Hlm. 219 24
Moch. Jawwat Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Prespektif Sosiologis Filosofis),
Cet. I, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya; 2002), Hlm. 211
32
bagi pribadi murid yang dididiknya, sebab interaksi keseharian yang
bersifat kontinyu membawa konsekuensi sikap tersendiri serta
berperannya fungsi akal yang memposisikannya dalam derajat yang lebih
tinggi. Keberadaan dan posisi seorang guru dalam dunia pendidikan
terutama pendidikan Islam memang sangat dijunjung tinggi. Tingginya
penghargaan Islam terhadap guru menurut Ahmad Tafsir adalah dengan
menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi dan
Rasul karena guru selalu terkait dengan ilmu pengetahuan. 25
Hal ini menjadi faktor yang mempengaruhi hubungan guru dan
murid yang ada dalam masa klasik, yang dijadikan keyakinan dasar,
bahwa guru sebagai manusia yang membawa misi Muhammad sebagai
utusan Allah yang memiliki kelebihan-kelebihan spiritual seperti
karamah dan menjadi penyalur (barakah). Sehingga murid harus
menghormatinya dengan segala ketundukan dan kepatuhan. 26
Sebagaimana tesis sarjana barat non muslim Bayard Dodge, yang
dikutip oleh Abdurrahman Mas‟ud menyatakan, “in the middle of this
primitive culture sead, destined to blossom as the intellectual heritage of
islam” (Ditengah-tengah budaya primitif ini, ajakan kenabian
Muhammad bagaikan penyebaran benih yang ditakdirkan tumbuh
berkembang sebagai warisan kecendekiawanan Islam). 27
25
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Cet. II, (Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya; 1994), hlm. 76 26
Zamakhsari Dlofier, Tradisi Pesantren( Studi Tentangg Pandangan Hidup Kyai), (Jakarta: LP3ES,
1982), hlm. 70 27
Bayard Dodge dalam Abdurrahman Mas‟ud, Op.cit, hlm. 13
33
Berkaitan dengan hal ini Hasan Asari, mengutip paragraf dari Nasr,
yang dianggap relevan, yaitu:
“Hubungan guru murid dalam pendidikan Islam) selalu memiliki
aspek yang sangat personal, dimana seorang penuntut ilmu mencari
seorang guru, bukan lembaga, lalu mengabdikan dirinya
sepenuhnya pada guru tersebut. Hubungan guru dan murid selalu
intim, seorang murid menghormati gurunya seperti seorang ayah
dan mematuhinya, bahkan dalam hal-hal pribadi yang tak langsung
berkaitan dengan pendidikannya secara formal”. 28
Signifikansi hubungan guru dan murid diatas, merupakan ciri yang
ada pada zaman klasik. Menurut Fazlur Rahman, watak ilmu
pengetahuan pada masa itu ditandai oleh pentingnya individu guru yang
secara sentral fenomena ini dikenal sebagai mencari ilmu. Tersebarnya
ilmu pengetahuan Islam pada masa awal Islam berpusat pada individu-
individu bukan sekolah, sehingga pada akhir abad tersebut mayoritas
ilmuwan yang termasyhur bukanlah produk madrasah, tetapi bekas murid
informal dari guru individual. 29
5. Hubungan Murid dengan Sesama Temannya dan Lingkungannya
Istilah murid mengandung kesungguhan belajar, memuliakan
guru, keprihatinan guru terhadap murid. Dalam konsep murid ini
terkandung keyakinan bahwa mengajar dan belajar itu wajib, dalam
perbuatan mengajar dan belajar itu ada barokah. Pendidikan yang
dilakukan yang di situ murid dianggap mengandung muatan profane dan
transendental.30
28
Nasr dalam Hasan Asari, M.A, Nukilan Pemikiran Islam Klasik Gagasan Pendidikan Al-Ghozali,
Cet. I, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm.112 29
Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (terj.), cet. II, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm.269-270 30
Ahmad Tafsir, 200. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Hlm.165
34
Dalam memilih teman, al-Zarnuji berpandangan bahwa seorang
pelajar harus berteman atau memilih teman dengan orang yang tekun
belajar, bersifat wara‟ dan berwatak Istiqamah. Hindari teman yang
malas, banyak bicara, suka merusak, dan suka memfitnah. Hal ini
dijelaskan oleh al-Zarnuji sebagai beikut: 31
“Tentang memilih teman, hendaklah memilih yang tekun, waro,
bertabiat jujur serta mudah memahami masalah. Menyingkiri
orang pemalas, penganggur, banyak bicara, suka mengacau dan
gemar memfitnah”.32
.
Adapun tekun dalam menimba ilmu, al-Zarnuji berkata
“seorang tidak boleh menuruti keinginan hawa nafsunya”. Seperti kata
sebuah syair, “sungguh hawa nafsu itu rendah nilainya, barang
siapa terkalahkan oleh hawa nafsunya berarti ia terkalahkan oleh
kehinaan”.33 Seorang pelajar harus tabah menghadapi ujian dan
cobaan.
Dalam kitab Ta‟lim al-Muta‟allim, istilah murid juga disebut
dengan thalibulilmi, yaitu seorang yang mencari ilmu atau pelajar.
Dalam membahas tentang murid, menurut H. Busyairi Madjidi, Al-
Zarnuji tidak banyak membahas murid sebagai individu baik fitrahnya
maupun perkembangannya, tetapi ketika membicarakan partner dalam
31
Syekh al-Zarnuji, Tt. Ta‟lim Al-Muta‟alim, Hlm. 14. 32
Aliy As‟ad, 2007. Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Hlm. 32. 33
Aliy As‟ad, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Hlm. 30.
35
studi, al-Zarnuji menyinggung tentang fitrah dengan mengutip hadist
Rasul SAW, bahwa:
“Menceritakan Hajib bin Walid, menceritakan Muhammad bin Harib
tentang Zabidi bin Zuhri menceritakan saya Said bin musaib tentang
Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda : “tiada
manusia lahir (dilahirkan) kecuali dalam keadaan fitrah, maka orang
tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi Nasrani Atau Majusi.”.
(H.R.Muslim) 34
Dari hadits ini dapat dipahami betapa pentingnya peranan keluarga, guru
dan lingkungan, jika seorang anak dilahirkan dan dibesarkan orang tua dalam
lingkungan yang kurang baik, kemudian dilanjutkan di sekolah diajar oleh guru
yang kurang pandai mendidik, ditambah dengan lingkungan masyarakat yang
kurang mengindahkan akhlak maka hasilnya juga tidak baik.35
Lingkungan
sosial sekolah seperti para guru, para tenaga kependidikan, kepala sekolah dan
wakil-wakilnya dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat
belajar siswa. 36
Keluarga adalah sebagai kelompok sosial terkecil dan paling penting
dalam masyarakat, karena dalam proses perkembangan serta penanaman nilia-
34
Imam Abu Husain Muslim Al-Hajj. 1992. Shohih Muslim, jilid II. Beirut: Dar al-Ilmiah,
Hlm.458 35
Bambang Sujono.dan Yuliani. 2005. Mencerdasan Perilaku Anak Usia Dini: Jakarta. Elek
Media Komputindo. Hlm. 13. 36
Muhibbin Syah, 2014. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. Hlm. 130-135.
36
nilai religius dan akan sehat jasmani dan rohaninya ketika dikeluarganya
mendapat perhatian, bimbingan dan kasih sayang orang tua. Pada dasarnya
setiap orang tua sudah pasti menginginkan anaknya punya perilaku yang baik,
bermoral namun pada sisi lain masih banyak orang tua yang kurang
mengindahkan moral dari sini terdapat pokok masalah yang cukup krusial
yakni bagaimana orang tua dalam memerankan dirinya sebagai suritauladan
bagi anak-anaknya. Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi
anak-anaknya dilingkungan keluarga dalam keimanan dan akhlaknya (moral)
disebut pendidik utama karena sangat berpengaruh besar sekali terhadap anak-
anaknya. Sedangkan sebagai pendidik pertama karena orang tua adalah
pendidikan yang pertama sebelum mengenali pendidikan-pendidikan di luar
rumah.
Zakiyah Daradjat mengemukakan bahwa hubungan baik antara
seseorangg antara anak dan orang tuanya, mempunyai pengaruh besar terhadap
perkembangan anak. Anak yang merasakan hubungan hangat dengan orang
tuanya, disayangi, dilindungi dan mendapat perlakuan yang baik. Karena akna
lebih mudah menerima dan mengikuti kebiasaan orang tuanya dan selalu akan
cenderung kepada agama.37
Demikian hubungan murid dengan keluarga dan lingkungannya yang
dapat mempengaruhi kehidupan murid dan prestasi belajarnya. Karena prestai
murid itu dapat dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor yang menyangkut
seluru diri pribadi, termasuk fisik dan mental atau psikofisiknya yang ikut
37
Zakiah Daradjat, 2001. Penanaman Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung.
Hlm. 268.
37
menentukan berhasil tidaknya seseorang dalam belajar, dan faktor eksternal,
yaitu faktor yang bersumber dari suatu idividu yang bersangkutan, misalnya
ruang belajar yang tidak memadai dan lingkungan alamiahnya.38
B. Pendidikan Etika Dalam Islam
1. Pengertian Pendidikan
Istilah pendidikan berasal dari kata dasar “didik “ mendapat imbuhan
awalan “ pe“ dan akhiran “an“, yang mengandung arti “ perbuatan “, hal,
cara, dan sebagainya. Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa
Yunani, yaitu “Paedagogie”, kata ini yang berasal dari dasar kata “pais”
yang berarti anak dan “again” yang diterjemahannya adalah “membimbing”.
Dengan demikian maka paedagogie berarti “bimbingan yang diberikan
kepada anak”.39
Paedagogie atau pendidikan yang berarti bimbingan yang diberikan
kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
yaitu “Education“ yang berarti pengembangan atau bimbingan dan dalam
bahasa Arab. Istilah ini sering diterjemahkan dengan istilah “Tarbiyah“
yang berarti pendidikan.40
Sedangkan pengertian pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
38
Muhibbin Syah, 2014. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Hlm. 130-135. 39
Sudirman N dkk.1989. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Surabaya: Usaha Nasional.
Hlm.4. 40
Ramayulis. 1994. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta. Kalam Mulia. Hlm.1.
38
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.41
Istilah pendidikan dalam pendidikan Islam kadang-kadang disebut al-
Ta‟lim, biasanya disebut dengan al-Ta‟dib. Secara etimologi diterjemahkan
dengan perjamuan makan atau pendidikan sopan santun.42
Sedangkan al-
Ghazali menyebut pendidikan dengan sebutan ar-Rihayat. Ar-Rihayat dalam
Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan olahraga atau pelatihan. Kata ini
dikhususkan untuk pendidikan masa kanak-kanak, sehingga Al-Ghazali
menyebutnya dengan Riyadho Alshibyah. Menurut mu‟jam (kamus)
kebahasaan, kata al-Tarbiyat memiliki tiga akar kebahasaan,43
yaitu:
a. Rabba - Yarbu, yang memiliki arti tambah (Zad) dan berkembang
Nama). Pengertian ini berdasarkan atas Q.S. Al-Rum ayat 39.
Artinya: “Dan sesuatu (tambahan) yang kamu berikan agar dia
menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridho‟an Allah maka (yang berbuat demikian) itulah orang-
orang yang melipatgandakan (pahalanya).44
b. Rabbi - Yarbi, yang memiliki arti tumbuh (Nasya‟a) dan menjadi besar
(Tara‟a).
41
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991), Hlm. 232. 42
Mahmud Yunus.1987. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta:YP3A.Hlm. 149 43 Ibn Manzhur. Abiy Al-Fadl Al-Din Muhammad Mukarram.Tt. Lihat lisan Al-Arab. Jilid V. Bairut:
DarAl-Anya. Hlm. 94-96 44 Departemen Agama. RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara.
Hlm. 647.
39
c. Rabba - Yarbi, yang memiliki arti memperbaiki (Ashalala), menguasai
urusan, memelihara, merawat, menunaikan, memperindah, memberi
makan, mengasuh, tuan memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian dan
eksistensinya.45
Menurut Athiyah al-Abrasyi bahwa al-Tarbiyah adalah kata yang
mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan. Ia adalah upaya yang
mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna secara etika,
sistematis dalam berfikir, memiliki ketajaman instuisi, giat dalam berkreasi,
memiliki toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkap
bahasa lisan dan tulis, serta mamiliki beberapa ketrampilan.46
Musthafa al-Maraghi membagi kegiatan al-Tarbiyat dengan dua
macam. Pertama, Tarbiyah Kholqiyat. Yaitu, penciptaan, pembinaan dan
pengembangan jasmani peserta didik agar dapat dijadikan sebagai sarana
bagi pengembangan jiwanya. Kedua, Tarbiyat Diniyat Tahsiniyat. Yaitu,
pembinaan jiwa manusia dan kesempurnaannya melalui petunjuk wahyu
Allah.47
Berdasarkan pembagiannya, maka ruang lingkup al-tarbiyat
mencakup berbagai kebutuhan manusia,baik kebutuhan dunia maupun
akhirat. Serta kebutuhan terhadap kelestarian diri sendiri, sesamanya, alam,
lingkungan dan relasinya dengan Tuhan. Menurut Ki Hadjar Dewantara
menyatakan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi
45 Karim Al-Bastani. dkk. 1975. Al-Munjid Fi Lughat Wa‟Alam. Bairut:Dar Al-Masyriq. Hlm.243-246 46 Muh. Athiyah Al-Abrasyi. Tt. Al-Tarbiyah Al-Islamiyah. . Bairut: Dar Al-Fikr Al-Arabi. Hlm.100 47
Musthafa Al-Maraghi.Tt. Tafsir Al-Maraghiy.juz I. Bairut: Dan Al-Fikritt. Hlm.30
40
pekerti, pikiran, dan jasmani anak agar selaras dengan alam dan
masyarakatnya.48
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.49
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi
orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat dengan bukti adanya
perubahan ke arah positif yang lebih baik sehingga mereka melakukan apa
yang diharapkan oleh pelaku pendidikan yang bisa digunakan untuk
mengubah dunia. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk memperoleh
ilmu. Dan ketika orang sudah berilmu maka Allah akan meninggikan
derajatnya, sebagaimana disebutkan dalam al-qur‟an surat al mujadalah ayat
11 sebagai berikut:
48
Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan. (Yogyakarta: Majelis L. Persatuan Taman Siswa), Hlm. 14. 49
UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,
Hlm. 74
41
Artinya:“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya
Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Mujadalah:
11) 50
Jadi intinya pendidikan selain sebagai proses humanisasi, pendidikan
juga merupakan usaha untuk membantu manusia mengembangkan seluruh
potensi yang dimilikinya (olahrasa, raga dan rasio) untuk mencapai
kesuksesan dalam kehidupan dunia dan akhirat.
2. Pengertian Etika
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “etika” adalah ilmu
tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai
yang benar dan salah yang dianut masyarakat.” 51
Jika diteliti dengan baik,
etika tidak hanya sekadar sebuah ilmu tentang yang baik dan buruk ataupun
bukan hanya sekadar sebuah nilai, tetapi lebih dari itu bahwa etika adalah
sebuah kebiasaan yang baik dan sebuah kesepakatan yang diambil
berdasarkan suatu yang baik dan benar dari segala perbuatan.52
Dari asal usul kata, “Etika” berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang
berarti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Yang mula-mula memakai
kata itu ialah seorang filosof Yunani bernama Aristoteles (384-322 SM).
50 Departemen Agama. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm.
910-911. 51
Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “Etika” 52
Ahmad Amin, 1995. Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: PT. Bulan Bintang. Hlm. 3.
42
Perkembangan etika studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan
kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan
perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya.”53
Kemudian secara
etimologi Etika berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang biasanya
berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa
Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga
adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang
baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan
moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari
terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan
yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai
yang berlaku” 54
.
Menurut Rahmat Djatnika dalam bukunya Sistem Ethika Islami. Kata
Etika berasal dari bahasa Latin, yaitu Ethos yang berarti kebiasaan, dan kata
moral juga berasal dari bahasa Latin yaitu mores yang berarti kebiasaan.55
Sedangkan kata akhlak berarti budi pekerti yang memiliki sinonim
dengan kata moral, etika, susila (dari Bahasa Sangsekerta). Semua kata
tersebut memiliki persamaan arti dan memiliki pengertian yang berbeda-
beda.
Akhlak adalah bentuk masdar (infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu,
ikhlaqan yang memiliki arti perangai (as-sajiyah); kelakuan, tabiat atau
53 Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 88. 54
Anggi Sopiandi, “Pengertian Etika”, diakses 30 Juni 2014,
http://anggisopiandi.blogspot.com/2014/04/pengertian-etika-profesi-dan.html. 55
Rahmat Djatnika.1992. Sistem Ethika Islami. Jakarta : Pustaka Panjimas. Hlm. 26.
43
watak dasar (ath-thabi‟ah); kebiasaan atau kelaziman (al-„adat); peradaban
yang baik (al-muru‟ah); dan agama (ad-din).56
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan.
Selanjutnya Mahmud merujuk pendapat Ghazali mengatakan dari sisi
bahasa kata al-Khalaq (fisik) dan al-Khuluq (akhlak) adalah dua kata yang
sering dipakai secara bersamaan. Karena manusia terdiri dari dua unsur fisik
dan non-fisik. Unsur fisik dapat dilihat oleh mata kepala. Sedangkan unsur
non fisik dapat dilihat oleh mata batin.57
Menurut Shihab walaupun kata
akhlak memiliki makna tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan, agama tetapi
tidak ditemukan dalam al-Qur‟an, yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal
dari kata itu yaitu khuluq.58
Kata khuliuq ini bersumber dari kalimat yang
tercantum dalam al-Qur‟an surat al-Qalam ayat 4. :
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti
yang agung”. Al-Qalam :4.59
Selanjutnya kata akhlak tersebut menurut Ya‟qub mengandung segi-
segi persesuaian dengan kata kholqun yang berarti kejadian serta erat
hubungannya dengan kholiq (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan).
Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan
56
Ulil Amri Syarif. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an. Jakarta : Raja Grafindo Press,
Hlm.72. 57
Ali Abdul Halim Mahmud. 2004. Akhlak Mulia,Terj. Abdul Hayyi al-Kattienie dengan judul asli
al-Tarbiyah al-Khuluqiyah. Jakarta : Gema Insani Press. Hlm.28. 58
M. Quraish Shihab. 2004. Wawasan Al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan
Ummat, Bandung : Mizan. Hlm.253. 59
Depag. RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 920.
44
ada hubungan baik antara kholiq dan makhluq.60 Hal ini sesuai dengan kata-
kata Aisyah ra dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sa‟d ibn Hisham
sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Sa‟d ibn Hisham, dia berkata : Saya bertanya
kepada „A`ishah: “ Wahai Ummul Mukminin, ceritakan padaku
tentang akhlak Rasulullah saw”. „A`ishah menjawab : “Akhlak beliau
adalah al-Qur‟an”.61
Akhlak Rasulullah saw yang dimaksudkan di dalam kata-kata hadits di
atas ialah kepercayaan, keyakinan, pegangan, sikap dan tingkah laku
Rasulullah saw yang semuanya merupakan pelaksanaan ajaran al-Qur‟an.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perilaku / perbuatan manusia.
Dalam Da`irat al-Ma‟ru`f disebutkan :
Akhlak ialah sifat-sifat yang terdidik. (Luis Ma‟luf, al-Munjid fi al-
Lughah wa al-A‟lam.62
Sementara menurut istilah (terminologis) terdapat pengertian tentang
akhlak, diantaranya :
a. Ibnu Maskawih mengatakan bahwa akhlak :
60
Heri Gunawan. 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung:Alfabeta. Hl. 5 61
Ahmad Ibn Hanbal Abu „Abd Allah al-Saibani, 1999. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Juz
42( Mu‟assasah al-Risalah ), Hlm.183. 62
Da`irat al-Ma‟ru`f Beirut: 1986. Dar al-Maghrib,: Hlm. 194.
45
“Khulq/Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan”.63
b. Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak :
“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
macam-macam perbuatan dengan gamblang dan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.64
c. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak adalah suatu ilmu yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan
untuk melakukan apa yang harus diperbuat.65
d. Menurut Muhammad bin Ali al-Faruqi at-Tahanawi sebagaimana dikutip
oleh Mahmud akhlak adalah keseluruhannya kebiasaan, sifat, alami,
agama dan harga diri.66
e. Menurut Sa‟duddin, akhlak mengandung beberapa arti, antara lain :
1) Tabiat, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa
dikehendaki dan tanpa diupayakan.
2) Adat, yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan,
yakni berdasarkan keinginanannya.
63
Ibnu Miskawaih. 1985. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Buku Daras Pertama tentang Filsafat
Etika. (Terjmh : Helmi Hidayat : judul asli Tahdzib Al-Akhlaq., (Bandung: Mizan.1998).
Hlm.56. 64
Al-Ghazali. 2004. Ihya `Ulumuddin, Juz 3 Kairo-Mesir : Darul Hadist. Hlm. 70. 65
Ahmad Amin, 1995. Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: PT. Bulan Bintang. Hlm. 3. 66
Ali Abdul Halim Mahmud, 2004. Akhlak Mulia,Terj. Abdul Hayyi al-Kattienie dengan judul
asli al-Tarbiyah al-Khuluqiyah, Jakarta : Gema Insani Press, Hlm.34.
46
3) Watak, cakupannya meliputi hal-hal yang terjadi tabiat dan hal-hal
yang diupayakan hingga menjadi adat. Kata akhlak juga dapat berarti
kesopanan dan agama.67
Selanjutnya, akhlak dalam perspektif Islam, akhlak terkait erat dengan
ajaran dan sumber Islam tersebut yaitu wahyu. Sikap dan penilaian akhlak
selalu dihubungkan dengan ketentuan syari‟ah Islam dan aturannya.68
Karena dalam Islam, ada beberapa keistimewaan akhlak yang menjadi
karekteristik, salah satunya menurut Jauhari, guru besar Akidah Filsafat di
Universitas Al-Azhar, Kairo menjelaskan beberapa karakteristik akhlak, di
antaranya : 69
a. Bersifat universal.
b. Logis, menyentuh perasaan hati nurani.
c. Memiliki demensi tanggung jawab, baik pada sektor pribadi
ataupun masyarakat.
d. Tolak ukur tidak saja ditentukan dengan realita perbuatan tapi juga
di lihat dari segi motif perbuatan.
e. Dalam pengawasan pelaksanaan akhlak islami ditumbuhkan
kesadaran bahwa yang mengawasi adalah Allah SWT.
f. Akhlak islami selalu memandang manusia sebagai insan yang
terdiri dari aspek jasmani dan rohani yang harus dibangun secara
seimbang.
67
M. Furqon Hidayatulloh. 2010. Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa, Surakarta
: Yuma Pressindo. Hlm.13. 68
Ulil Amri Syarif, 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an,. Jakarta : Raja Grafindo
Press.Hlm.72 69
Ulil Amri Syarif, 2012. Hlm.73.
47
g. Kebaikan yang ditawarkan akhlak islam adalah untuk kebaikan
manusia, mencakup tiap ruang dan waktu.
h. Akhlak Islam selalu memberikan penghargaan di dunia maupun di
akhirat bagi setiap kebaikan, demikian pula setiap keburukan diberi
sanksi atau hukuman.
Dengan konsep akhlak ini, manusia diajarkan untuk selalu berbuat
baik dan mencegah perbuatan yang tidak baik dalam hubungannya dengan
Tuhannya, manusia dan makhluk lainnya sebagai tujuan akhir hidupnya di
akhirat nanti.70
Konsep ini berhubungan dengan sistem nilai yang mengatur
pola sikap dan tindakan manusia di dunia. Sistem nilai yang dimaksud
adalah ajaran Islam yang berpedoman kepada Al-Qur‟an dan Sunnah
Rasulullah sebagai sumber utama. Akhlak terbagi menjadi dua bagian.
Pertama, akhlak baik yang dinamakan akhlak mahmudah (akhlak terpuji),
akhlak al-karimah (akhlak mulia) adalah akhlak yang baik dan benar
menurut syari‟at islam. Kedua, akhlak mamdudah adalah akhlak tercela dan
tidak benar menurut syari‟at islam. 71
Dilihat dari ruang lingkupnya, akhlak
Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terhadap Khaliq (Allah Swt.)
dan akhlak terhadap makhluq (ciptaan Allah). Akhlak terhadap makhluk
masih dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti akhlak terhadap sesama
manusia, akhlak terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan
dan binatang), serta akhlak terhadap benda mati.
70
M. Abul Quasem, 1988. Etika A-Ghazali Etika Majemuk di Dalam Islam, Bandung: Pustaka
.Hlm.72. 71
Ulil Amri Syarif, 2012. Pendidikan Karakter Berbaisi Al-Qur`an. Hlm. 73
48
Berdasarkan penjelasan dan definisi akhlak di atas menurut filusuf dan
ajaran Islam, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah segala sesuatu yang
telah tertanam kuat atau terparti dalam diri seseorang, yang akan melahirkan
perbuatan-perbuatan yang tanpa melalui pemikiran atau perenungan terlebih
dahulu. Artinya bahwa perbuatan itu dilakukan dengan reflek dan spontan
tanpa difikirkan terlebih dahulu. Jika sifat yang tertanam itu darinya muncul
perbuatan-perbuatan terpuji menurut rasio dan syari‟at, maka sifat tersebut
dinamakan akhlak yang baik.72
Sedangkan jika terlahir perbuatan-perbuatan
buruk maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak buruk. Pada hakikatnya
khuluq (budi pekerti) atau akhlaq merupakan suatu kondisi atau sifat yang
telah meresap ke dalam jiwa dan menjadi kepribadian seseorang.73
Kemudian timbul berbagai macam kegiatan secara spontan dan mudah tanpa
dibuat-buat, tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Hal ini sesuai
dengan Al-Qur‟an surat Asy-Syams ayat 8-10 yang mengungkapkan
kecenderungan potensi baik dan buruk yang dimiliki manusia. 74
Artinya :“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya”.
Abuddin Nata dalam bukunya menjelaskan lima ciri perbuatan
akhlak, yaitu: Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah
tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehinggga menjadi kepribadian. Kedua,
72
.Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz III. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 66. 73
Rahmat Djatnika.1992. Sistem Ethika Islami. Hlm. 21. 74
Departemen Agama. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm.
920.
49
perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ketiga,
perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjakan, tanpa ada paksaan dari luar. Keempat, perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main- main.
Kelima, perbuatan akhlak (kususnya akhlak mahmudah) adalah perbuatan
yang dilakukan karena Allah semata.75
3. Dasar Pendidikan Etika dan Ruang Lingkupnya
Dasar pendidikan etika atau akhlak adalah al-Qur‟an dan al-Hadits,
karena akhlak merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam.
Al-Qur‟an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan
kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Al-Qur‟an sebagai dasar
akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan
bagi seluruh umat manusia. maka selaku umat Islam sebagai penganut
Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana
firman Allah SWT dalam Q.S. 33/Al-Ahzab : 21 :
Artinya :“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah”. (Q.S. al-Ahzab : 21) 76
75
Abuddin Nata. 1996. Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 6-7. 76
Depag. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 670.
50
Berdasarkan ayat tersebut di atas dijelaskan bahwasannya terdapat suri
teladan yang baik, yaitu dalam diri Rasulullah SAW yang telah dibekali
akhlak yang mulia dan luhur. Selanjutnya juga dalam Q.S. 68/Al-Qalam : 4 :
Artinya :” Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur”
(Q.S. al-Qalam : 4) 77
Bahwasannya Nabi Muhammad SAW dalam ayat tersebut dinilai sebagai
seseorang yang berakhlak agung (mulia).
Di dalam hadits juga disebutkan tentang betapa pentingnya akhlak di
dalam kehidupan manusia. Bahkan diutusnya rasul adalah dalam rangka
menyempurnakan akhlak yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
bahwa :
Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansur berkata :
menceritakan Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin „Ijlan
dari Qo‟qo‟ bin Hakim dari Abi Shalih dari Abi Hurairoh berkata
Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Aku hanya diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia. (H.R.Ahmad)78
Berdasarkan hadits tersebut di atas memberikan pengertian tentang
pentingnya pendidikan akhlak dalam kehidupan manusia, di mana dengan
pendidikan akhlak yang diberikan dan disampaikan kepada manusia tentunya
akan menghasilkan orang-orang yang bermoral, baik laki-laki maupun
77
Depag. RI. Terjemahan Al-Qur`an. 1993. . Hlm. 920. 78
Al-Imam Ahmad bin Hambal, t.th. Musnad Juz II. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah. Hlm. 504.
51
perempuan harus memiliki jiwa yang bersih, kemauan yang keras, cita-cita
yang benar dan akhlak yang mulia selalu mendapat taufik dan hidaya Allah
SWT.79
Mereka mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati
hak-hak manusia, mengetahui perbedaan buruk dan baik, memilih satu fadhilah
karena cinta pada fadhilah, menghindari suatu perbuatan yang tercela dan
mengingat Allah dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan sebagai dasar
ciri-ciri akhlak yang baik.80
Adapun ruang lingkup etika atau akhlak menurut Muhammad Daud Ali
menyatakan bahwa dalam garis besarnya akhlak terbagi dalam dua bagian,
pertama adalah akhlak terhadap Allah/Khaliq (pencipta) dan kedua adalah
akhlak terhadap makhluknya atau semua ciptaan Allah.81
Dan ruang lingkup
pendidikan akhlak, di antaranya adalah :
a. Akhlak Terhadap Allah SWT
Akhlak kepada Allah SWT dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan
yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Khaliq
yang telah menciptakannya.
Menurut Abudin Nata sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa
manusia perlu berakhlak kepada Allah :82
1) Karena Allah yang telah menciptakan manusia dan menciptakan manusia
di air yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang
rusuk. (Q.S. al-Thariq : 5-7). Dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa
79
Rahmat Djatnika,1992. Sistem Ethika Islami. Jakarta : Pustaka Panjimas. Hlm. 22. 80
.Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz III. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 66. 81
M. Dawud Ali. 2000. Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 352. 82
Abudin Nata. 1997. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 148.
52
manusia diciptakan dari tanah yang kemudian diproses menjadi benih
yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim) setelah ia menjadi
segumpal darah, daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging, dan
selanjutnya diberikan ruh. (Q.S. Al-Mu‟minun : 12-13)
2) Karena Allah lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera,
berupa pendengaran, penglihatan, akal, pikiran dan hati sanubari. Di
samping anggota badan yang kokoh dan sempurna pada manusia.
3) Karena Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang dan ternak dan
lain sebagainya. (Q.S.al Jatsiah : 12-13)
4) Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan
untuk menguasai daratan dan lautan. (Q.S. al-Isra‟ : 70).
Dalam berakhlak kepada Allah SWT., manusia mempunyai banyak cara,
di antaranya dengan taat dan persaan takut kepada Allah,83
karena Allah SWT
menciptakan manusia untuk berakhlak kepada-Nya dengan cara menyembah
kepada-Nya, sebagaimana fiman Allah SWT dalam Q.S. Adz-Dzariyat : 56 :
Artinya :“Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan
manusia,melainkansupaya mereka menyembah kepada-Ku”.
(Q.S. adz-Dzariyat : 56) 84
Ada dua dimensi dalam berakhlak kepada Allah SWT :
83
.Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz IV. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 195. 84
Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 862.
53
1) Akhlak kepada Allah karena bentuk ketaatan meruakan kewajiban
kepada Allah. Perintah untuk taat kepada Allah ditegaskan dalam
firman-Nya yaitu dalam Q.S. 4/An-Nisaa : 59 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu
dan lebih baik akibatnya”.(Q.S. An-Nisaa : 59)85
Akhlak kepada Allah adalah taat dan cinta kepada-Nya,
mentaati Allah berarti melaksanakan segala perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya,di antaranya melaksanakan shalat wajib
lima waktu dengan khusyu yang merupakan amalan hati.86
2) Akhlak kepada Allah karena bentuk tawadduk kepada Allah
(keikhlasan dalam melaksanakan perintah-Nya). Tawadduk adalah
sikap merendahkan diri terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Mukminun : 1-7 :
85
Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Hlm.126. 86
Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz I. Kairo: Darul Hadits. Hlm.217.
54
.
Artinya :“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
(yaitu) orang-orang yang khusyu‟ dalam sembahyangnya,
dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang
menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak
yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada tercela.” (Q.S. al-Mukminun : 1-7)87
Untuk menumbuhkan sikap tawadduk, manusia harus menyadari asal
kejadiannya, menyadari bahwa hidup di dunia ini terbatas, memahami
ajaran Islam, menghindari sikap sombong, menjadi orang yang pemaaf,
ikhlas, bersyukur, sabar dan sebagainya.88
b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Akhlak terhadap sesama manusia,antara lain meliputi akhlak terhadap
Rasul, orang tua (ayah dan ibu), guru, tetangga dan masyarakat.
1) Akhlak terhadap Rasulullah
Akhlak karimah kepada Rasulullah adalah taat dan cinta kepadanya,
mentaati Rasulullah berarti melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi
larangannya. Ini semua telah dituangkan dalam hadits (sunnah) beliau yang
berwujud ucapan, perbuatan dan penetapannya. Dan sebagaimana firman
Allah SWT dalamQ.S. An-Nisaa : 80 :
87
Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 526. 88
Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz IV. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 179.
55
Artinya :” Barangsiapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah
menaati Allah, dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan), maka
kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.
(Q.S.an-Nisaa : 80)89
2) Akhlak terhadap Ayah dan Ibu
Wajib bagi umat Islam untuk menghormati kedua orang tuanya, yaitu
dengan berbakti, mentaati perintahnya dan berbuat baik kepada
keluarganya, di antaranya :
a) Berbicara dengan perkataan yang baik. Firman Allah SWT dalam Q.S.
Al-Isra : 23 :
.
Artinya : ”Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur
lanjut dalam pemeliharanmu, maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada kaduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataanm yang mulia. (Q.S. al-Isra‟ : 23)90
b) Membantu orang ayah dan ibu
Membantu orang tua atau ayah dan ibu merupakan akhlak yang
termuji yang harus dilakukan oleh setiap anaknya kepada kedua orang
tuanya. 91
3) Akhlak terhadap guru
89
Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 132. 90
Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Hlm. 423. 91
Rachmat Djatnika. 1992. Etika Islami, Jakarta: Pusaka Mas. Hlm. 204.
56
Akhlak karimah kepada guru di antaranya dengan menghormatinya,
berlaku sopan di hadapannya, mematuhi perintah-perintahnya, baik itu di
hadapannya ataupun di belakangnya, karena guru adalah spiritual father atau
bapak rohani bagi seorang murid, yaitu yang memberi santapan jiwa dengan
ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya.
Penyair Syauqi telah mengakui pula nilainya seorang guru dengan kata-
katanya sebagai berikut : 92
Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu
hampir saja merupakan seorang Rasul.
4) Akhlak terhadap tetangga dan masyarakat
Pentingnya akhlak tidak terbatas pada perorangan saja, tetapi penting
untuk bertetangga, masyarakat, umat dan kemanusiaan seluruhnya. Di
antaranya akhlak terhadap tetangga dan masyarakat adalah saling tolong
menolong, saling menghormati, persaudaraan, pemurah, penyantun,
menepati janji, berkata sopan dan berlaku adil. Allah SWT berfiman dalam
al-Qur‟an Q.S. Al-Maaidah : 2 :
Artinya :“Dan tolonglah menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada
Allah,sesungguhnya Allah amat berat siksanya.” (Q.S. Al-
Maaidah : 2)93
92
M. Athiyah al-Abrsyi, Op. Cit., Hlm. 136. 93
Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 157.
57
c. Akhlak Terhadap Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang
berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-
benda tidak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Qur‟an
terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.94
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tidak bernyawa semuanya
diciptakan oleh SWT., dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki
ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang muslim
untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang seharusnya
diperlakukan secara wajar dan baik, seperti firman Allah SWT dalam Q.S.
Al-An‟aam : 38 :
Artinya : “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-
burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-
umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di
dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan”.(Q.S. Al-An‟aam : 38)95
4. Tujuan Pendidikan Etika
a. Tujuan Pendidikan Etika
Berkenaan dengan tujuan pendidikan, ditegaskan bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah pembentukan manusia yang bertindak sebagai
khalifah yang cirri-cirinya terkandung dalam konsep „ibadah dan amanah.
94
Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 423. 95
Ahmad Tafsir. 2013. Ilmu Pendidikan Islami, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 53.
58
Manusia sebagai khalifah ini mempunyai cirri-ciri yang membedakannya
dari makhluk lain, yaitu mempunyai fitrah yang baik, mempuyai roh,
disamping jasmani, mempunyai banyak kebebasan kemauan, dan
mempunyai akal yang menjadi inti manusia itu. Pendidikan dapat
Pendidikan dapat dipandang sebagai aplikasi dari pemikiran filsafi,
sedangkan filosof bergerak sesuai dengan jalan dan dasar pemikirannya.
Sedangkan tujuan pendidikan yang diinginkan oleh al-Ghazali adalah
taqarrub kepada Allah SWT dan kesempurnaan manusia untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Ghazali berkata :
“Hasil dari ilmu sesungguhnya ialah mendekatkan diri kepada
Allah, Tuhan semesta alam, dan menghubungkan diri dengan para
malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua
adalah kebesaran, pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan
penghormatan secara naluri”.96
Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan menonjolkan karakteristik
religious moralis dengan tidak tidak mengabaikan urusan keduniaan
sekalipun hal tersebut merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat.97 Tujuan pendidikan al-Ghazali didasari oleh pemikiran
tentang manusia. Manurutnya manusia terdiri dari dua unsur : jasad dan ruh
atau jiwa. Keduanya mempunyai sifat yang berbeda tetapi saling mengikat.
Artinya berbeda dalam sifat tetapi sama dalam tindakan. Jasad tidak akan
mampu bergerak tanpa ruh atau jiwa, begitu pula jiwa atau ruh tidak akan
mampu bertindak melaksanakan kehendak Sang Maha Penggerak kecuali
melaui jasad. Sedemikian menyatunya sehingga walau jasad terpisah untuk
96
Abidin Ibn Rusn. Tt. Pemikiran al-Ghazali, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offiset . Hlm. 5 97
Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz IV. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 402.
59
sementara waktu, kelak akan menyatu kembali untuk menerima balasan atau
tindakan yang dilakukan keduanya ketika hidup di dunia.
Tujuan pendidikan akhlak adalah agar manusia bisa membedakan
mana yang baik dan yang buruk, sehingga manusia akan mendapatkan
kebahagiaan.
Menurut al-Ghazali, ciri-ciri manusia yang berakhlak mulia ialah :
banyak malu, sedikit menyakiti orang, banyak perbaikan, lidah banyak yang
benar, sedikit bicara banyak kerja, sedikit terperosok pada hal-hal yang
tidak perlu, berbuat baik, menyambung silaturrahim, lemah lembut,
penyabar, banyak berterima kasih, rela kepada yang ada, dapat
mengendalikan diri ketika marah, kasih sayang, dapat menjaga diri dan
murah hati kepada fakir miskin, tidak mengutuk orang, Tidak suka memaki,
tidak tergesa-gesa dalam pekerjaan, tidak dengki, tidak kikir, tidak
penghasud, manis muka, bagus lidah, cinta pada jalan Allah, benci dan
marah karena Allah.98
Al-Ghazali tidak memiliki konsepsi yang jelas di sini. Etika mistiknya
hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib individu di akhirat dan
perhatian tertingginya adalah melihat Tuhan di akhirat. Dia tidak memiliki
konsepsi kehidupan “social” secara umum. Disamping itu, perhatian
tertingginya dicapai semata-mata melalui penyucian “hati” dan
hidup“menyendiri” di dunia sekarang.99 Tipe hidup menyendiri boleh jadi
benar pada masa al-Ghazali, ketika transformasi budaya yang luar biasa
98
Abidin Ibn Rusn. Tt. Pemikiran al-Ghazali, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offiset . Hlm. 5 99
M. Amin Abdullah. 2002. Antara al-Ghazali dan Kant (Filsafat Etika Islam), :Bandung : Mizan,
Hlm. 217
60
belum terjadi. Akan tetapi, pada abad modern yang di dalamnnya nilai-nilai
transbudaya berhadapan muka dengan kita melalui banak dan aneka ragam
cara, strategi “menyendiri” tidak lagi memadai. Membersihkan hati adalah
baik, tetapi tidak cukup. Adalah tugas “rasio” secara umum mengatur dan
menangani situasi. Rasio kita harus harus dilatih dan dipertajam dengan
memberikan dan melengkapi nya dengan alat analitis untuk melihat realitas
sosial dan mengevaluasi perubahan social secara kritis agar tidak membuat
kita hilang dalam gelombang besar transformasi budaya modernisme. Jika
kita tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk memahami realitas
transformasi budaya, transformasi modernisme hebat ini harus ada
perlawanan terhadap modernisme tersebut yang dilakukan oleh gerakan
yang dikenal dengan istilah “fundamenatalisme”.100
Sedangkan tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih
adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan
untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik,101 sehingga mencapai
kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. al-
Sa‟adah memang persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan
sekaligus bagi pendidikan akhlak. Makna al-Sa‟adah sebagaimana
dinyatakan M. Abdul Hak Ansari tidak mungkin dapat dicari padanan
katanya dalam bahasa Inggris walaupun secara umum diartikan sebagai
100
Seyyed Hossein Nasr, The Hearts of Islam; Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan,
terj., Nurasiah Faqih Sutan Harahap. (Bandung: Mizan, 2003), Hlm. 50. 101
Ibn Miskawaihi, Kitab as-Sa‟adat. Hlm. 34-45
61
happiness. 102 Menurutnya al- Sa‟a dah merupakan konsep komprehensif
yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran
(prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan
(blessedness) dan kecantikan (beautitude).103
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai
Ibn Miskawaihi bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup
manusia dalam arti seluas-luasnya. Adapun tujuan pendidikan ini sejalan
dengan tujuan pendidikan Islam yang dipaparkan oleh para ahli di antaranya
Ahmad D. Marimba dan Muhammad „Athiyah al-Abrasy, yang berpendapat
bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk membimbing perserta didik untuk
mewujudkan kepribadian yang utama atau berakhlak mulia.104 Dengan
demikian, pendidikan akhlak bisa dikatakan sebagai pendidikan moral
dalam diskursus pendidikan Islam.105
Dalam tujuan pendidikan akhlak juga dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu : tujuan umum dan tujuan khusus.
1) Tujuan Umum
Menurut Barnawy Umari, bahwa tujuan pendidikan akhlak secara
umum meliputi :
a) Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta
menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela.
102
M. Abdul Haq Ansari. 1963. Miskawayh‟s Conception Of Sa‟adat, dalam Islamic Studies, No.
11/3, 103
Lihat juga Hans Wehr, A Dictionary of Modern Writing Arabic, (Beirut dan London Maktabat
Lubnan-Mac Donald & Evans Ltd., 1980), cet. III, 410 104
Abudin Nata. 1997. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hlm. 49. 105
Abdul Majid, Dian Andayani. 2011. Pendidikan Karakter Prespektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya. Hlm. 10.
62
b) Supaya perhubungan kita dengan Allah SWT dan dengan sesama
makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis. 106
Menurut Ali Hasan bahwa tujuan pokok akhlak adalah agar setiap
orang berbudi (berakhlak), bertingkah laku (tabiat) berperangai atau beradat
istiadat yang baik atau yang sesuai dengan ajaran Islam.107
2) Tujuan Khusus
Adapun secara spesifik pendidikan akhlak bertujuan :
a) Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia da beradat
kebiasaan yang baik
b) Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri
berpegang pada akhlak mulia dan membenci akhlak yang rendah.
c) Membiasakan siswa bersikap rela, optimis, percaya diri, emosi, tahan
menderita dan sabar.
d) Membimbing siswa ke arah dikap yang sehat dan dapat membantu
mereka berinteraksi sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk
orang lain, suka menolong, sayang kepada yang lemah, dan
menghargai orang lain.
e) Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul
baik di sekolah maupun di luar sekolah.
f) Selalu tekun beribaah dan mendekatkan diri kepada Allah dan
bermuamalah yang baik.108
106
Barnawy Umar. 1984. Materi Akhlak, Salatiga: Ramadhani. Hlm. 2. 107
M. Ali Hasan. 1988. Tuntunan Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 11. 108
Chatib Thoha, Saefudin Zuhri, dkk. 1999. Metodologi Pengajaran Agama, (Fakultas Tabiyah,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 136.
63
Adapun menurut Muhammad „Athiyyah Al-Abrasyi menjelaskan
tujuan dari pendidikan moral dan akhlak dalam Islam adalah
membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan
dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat
bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa
dari pendidikan Islam adalah pendidikan moral dan akhlak.109
Dijelaskan juga menurut Ahmad Amin, bahwasannya tujuan
pendidikan akhlak (etika) bukan hanya mengetahui pandangan atau teori,
bahkan setengah dari tujuan itu adalah mempengaruhi dan mendorong
kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan
dan kesempurnaan dan memberi faedah kepada sesama manusia. maka
etika itu adalah mendorong kehendak agar berbuat baik, akan tetapi ia
tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.110
Pada dasarnya tujuan pendidikan akhlak juga hampir identik
dengan tujuan pendidikan karakter, yaitu untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh,
terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui
pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
109
Muhammad `Athiyyah al- Abrasyi. 2003. Prinsip-pinsip Dasar Pendidikan, Bandung: Pustaka
Setia. Hlm. 114. 110
Ahmad Amin. 1975. Etika Islami (ilmu Akhlak), terj. K.H. Farid Ma`ruf, Jakarta: Bulan
Bintang. Hlm. 6-7.
64
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak
mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.111
Pendidikan karakter juga merupakan proses kegiatan yang
mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budi
harmoni yang selalu mengajarkan, membimbing, dan membina setiap
menusiauntuk memiliki kompetensi intelektual, karakter, dan
keterampilan menarik. Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat
dihayati dalam penelitian ini adalah religius, nasionalis, cerdas, tanggung
jawab, disiplin, mandiri, jujur, dan arif, hormat dan santun, dermawan,
suka menolong, gotong-royong, percaya diri, kerja keras, tangguh,
kreatif, kepemimpinan, demokratis, rendah hati, toleransi, solidaritas dan
peduli. 112
Implementasi Pendidikan karakter dalam Islam tersimpul dalam
karakter pribadi Rasulullah saw. Dalam pribadi Rasul, bersemai nilai-
nilai karakter yang mulia dan agung.113
Allah berfirman dalam Al-Quran
surah al-Ahzab ayat 21 :
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut
Allah”. 114
111
Yahya Khan. 2010 Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, Yogyakarta : Pelangi
Publishing. Hlm. 34. 112
Thomas Lickona. 2013. Ibid. Hlm. 32. 113
Abdul Majid, Dian Andayani, Pendidikan Karakter, Ibid. h.59. 114
Departemen Agama. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm.
670.
65
Melalui pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas,
tidak hanya otaknya namun juga cerdas secara emosi. Kecerdasan emosi
adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa
depan. Dengan kecerdasan emosi, seseorang akan dapat berhasil dalam
menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis.
Hal ini sesuai dengan rumusan tujuan pendidikan nasional yang
terdapat pada UUSPN No.20 tahun 2003 Bab 2 pasal 3: Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi anak didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 115
Pendidikan karakter bukan hanya tanggung jawab guru, tapi juga
semua stakeholder pendidikan harus terlibat dalam rangka
mengembangkan pendidikan karakter ini, bahkan pemangku kebijakan
harus menjadi teladan terdepan. Sebagai seorang guru harus bekerja
secara profesional, memberikan pelayanan yang optimal kepada peserta
didiknya, dan bekerja dengan penuh kesabaran dalam membawa peserta
didiknya menuju cita-cita pendidikan.
115
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3
66
Tujuan pendidikan karakter adalah membentuk bangsa yang
tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong
royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu
pengetahuan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. 116
Tujuan pendidikan karakter dalam rangka dinamika proses
pembentukan individu, para insan pendidik seperti guru, orang tua, staff
sekolah, masyarakat dan lainnya, diharapkan semakin menyadari
pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman
perilaku, pengayaan nilai individu dengan cara memberikan ruang bagi
figurketeladanan bagi anak didk dan menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi proses pertumbuhan berupa kenyamanan dan keamanan
yang membantu suasana pengembangan diri satu sama lain dalam
keseluruhan dimensinya. 117
Secara operasional tujuan pendidikan karakter dalam setting sekolah
sebagai berikut:
1) Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang
dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian
kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang
dikembangkan. Tujuannya adalah memfasilitasi penguatan dan
116
Fakrur Rozi. 2012. Model Pendidikan Karakter dan Moralitas Siswa di Sekolah Islam Modern;
Studi pada SMP Pondok Pesantren Selamat Kendal. Semarang, IAIN Walisongo. Hlm. 44 117
Amirullah Syarbini. 2012. Buku Pintar Pendidikan Karakter; Panduan Lengkap Mendidik
karakter Anak di Sekolah, Madrasah, dan Rumah. Jakarta: As@-Prima Pustaka. Hlm. 22
67
pengembangan nilanilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku
anak, baik pada saat masih sekolah maupun setelah lulus.
2) Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan
nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. Tujuan ini memiliki
makna bahwa tujuan pendidikan karakter memiliki sasaran untuk
meluruskan berbagai perilaku negatif anak menjadi positif.
3) Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat
dalam memerankan tanggung jawab karakter bersama. Tujuan ini
bermakna bahwa karakter di sekolah harus dihubungkan dengan
proses pendidikan di keluarga.118 Tujuan pembentukan karakter
menghendaki adanya perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian
pada subjek peserta didik. 119
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tujuan diadakannya
pendidikan karakter, baik di sekolah, madrasah maupun rumah adalah
dalam rangka menciptakan manusia Indonesia yang seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia serta memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam
menjalankan kehidupan ini.
5. Perbedaan Pendidikan Akhlak dengan Pendidikan Karakter
Mengenai penjelasan akhlak secara luas, banyak sekali tokoh yang
memberikan pengertian secara bervariasi. Diantaranya M. Abdullah Darraz,
118
Novan Ardy Wiyani. 2013. Membumikan Pendidikan Karakter di SD;Konsep, Praktik dan
Strategi. Jakarta: Ar-Ruzz Media. Hlm. 70-72 119
Fakrur Rozi. 2012. Model Pendidikan Karakter dan Moralitas Siswa di Sekolah Islam
Modern; Studi pada SMP Pondok Pesantren Selamat Kendal. Semarang, IAIN Walisongo.
Hlm. 44
68
menurut beliau akhlak adalah sesuatu kekuatan dalam kehendak yang
mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa
kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (akhlak yang baik) atau
pihak yang jahat (akhlak yang jahat).120
Akhlak dipahami oleh banyak pakar dalam arti “kondisi kejiwaan yang
menjadikan pemiliknya melakukan sesuatu secara mudah, tidak
memaksakan diri, bahkan melakukannya secara otomatis.” Apa yang
dilakukan bisa merupakan sesuatu yang baik, dan ketika itu ia dinilai
memiliki akhlak karimah/mulia/terpuji, dan bisa juga sebaliknya, dan ketika
itu ia dinilai menyandang akhlak yang buruk. Baik dan buruk tersebut
berdasar nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dimana yang bersangkutan
berada.
Bentuk jamak pada kata akhlak mengisyaratkan banyak hal yang
dicakup olehnya. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa ia bukan saja
aktifitas yang berkaitan dengan hubungan antar manusia tetapi juga
hubungan manusia dengan Allah, dengan lingkungan. Baik lingkungan
maupun bukan, serta hubungan diri manusia secara pribadi. Di samping itu
juga perlu diingat bahwa Islam tidak hanya menuntut pemeluknya untuk
bersikap baik terhadap pihak lain dalam bentuk lahiriah, sebagaimana yang
ditekankan oleh sementara moralis dalam hubungan antar-manusia, tetapi
Islam menekankan perlunya sikap lahiriah itu sesuai dengan sikap batiniah.
120
Erwin Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam (Ponorogo: STAIN Po Press, 2009),
Hlm. 182.
69
Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Miskawaih dan
dikutip oleh Abudin Nata, merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap
batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan
yang bernilai baik dari seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kreteria
benar dan salah untuk menilai perbuatan yang muncul merujuk kepada al-
Qur‟an dan Sunah sebagai sumber tertinggi ajaran Islam. Dengan demikian
maka pendidikan akhlak bisa dikatakan sebagai pendidikan karakter dalam
diskursus pendidikan Islam.
Telaah lebih dalam terhadap konsep akhlak yang telah dirumuskan
oleh para tokoh pendidikan Islam masa lalu seperti Ibnu Miskawaih, Al-
Qabisi, Ibn Sina, Al-Ghazali dan Al-Zarnuji, menunjukkan bahwa tujuan
puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam
perilaku anak didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-
sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.121
Hadits Nabi yang berkaitan dengan konsep pendidikan karakter
adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari-Muslim sebagai
berikut:
) (
121
Siswanto, Perbedaan pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak, pendidikan moral, dan
pendidikan nilai, http:// siswantozheis.wordpress.com. Diakses tanggal 04 Mei 2014.
70
“Usamah bin Zaid ra. berkata: Saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda: Akan dihadapkan orang yang berilmu pada hari kiamat,
lalu keluarlah semua isi perutnya, lalu ia berputar-putar dengannya,
sebagaimana himar yang ber-putar-putar mengelilingi tempat
tambatannya. Lalu penghunineraka disuruh mengelilinginya seraya
bertanya: Apakah yang menimpamu? Dia menjawab: Saya pernah
menyuruh orang pada kebaikan, tetapi saya sendiri tidak
mengerjakan-nya, dan saya mencegah orang dari kejahatan, tetapi
saya sendiri yang mengerjakannya”. (Muttafaq Alaih)122
Dalam hadits riwayat Bukhori-Muslim di atas menguraikan bahwa
pembentukan karakter yang didasari keteladanan akan menuai kebaikan
bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Rasulullah Saw telah mengajarkan metodologi membentuk moralitas
yang mulia, terkait dengan akhlak manusia terhadap Allah, diri sendiri
maupun kepada sesama makhluk. Beliau tidak hanya memerintahkan fungsi
teori belaka, namun juga realitas konkrit suri teladan umatnya. Semua
akhlak yang diajarkan Rasulullah tak lain adalah moralitas yang bermuara
pada Al-Qur‟an.123
Dengan demikian, jelas bahwa Rasulullah Saw. memiliki
tingkah laku yang mulia, beliau selalu bertindak sesuai dengan petunjuk
yang berada dalam Al-Qur‟an. Dalam Islam sendiri, yang menjadi dasar
atau landasan pendidikan akhlak manusia adalah Al-Qur‟an dan al-Sunnah.
Segala sesuatu yang baik menurut Al-Qur‟an dan al-Sunnah, itulah yang
baik dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, segala
sesuatu yang buruk menurut Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, berarti tidak baik
dan harus dijauhi. 124
122
Abubakar Muhammad. 1997 Hadits Tarbawi III, Surabaya: Karya Abditama. Hlm. 70. 123
FKI LIM, Gerbang Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama‟ah
(Kediri: Bidang Penelitian dan Pengembangan LIM PP Lirboyo, 2010), 7. 124
Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Hlm. 20.
71
Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlak, terlihat bahwa pendidikan
karakter mempunyai orientasi yang sama dengan pendidikan akhlak yaitu
pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan timur
dan Islam sedangkan pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan
alasan yang dipertentangkan. Pada kenyataannya keduanya memiliki ruang
untuk saling mengisi. Bahkan Lickona sebagai Bapak Pendidikan Karakter
di Amerika justru mengisyaratkan keterkaitan erat antara karakter dengan
spiritualitas.
Adapun istilah karakter, kata karakter berasal dari bahasa latin
“kharakter”, “kharassein”, “kharax”, dalam bahasa Inggris: character dan
Indonesia “karakter”, Yunani character, dari charassein yang berarti
membuat tajam, membuat dalam.125
karakter juga bisa diartikan sikap,
tabiat, akhlak, kepribadian yang stabil sebagai hasil proses konsolidasi
secara progresif dan dinamis.126
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Karakter dapat
diartikan sebagai tabiat perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan
(kebiasaan).127
Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan baru
muncul pada akhir abad-18, dan untuk pertama kalinya dicetuskan oleh
125
Heri Gunawan. 2012 Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi,Bandung : Alfabeta.
Hlm.1. 126
Yahya Khan. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri: Mendongkrak Kualitas
Pendidikan. Yogyakarta: Pelangi Publishing. Hlm. 1. 127
WJS. Poerwardarminta. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.
Hlm..20.
72
pedadog Jerman F.W. Foerster. Terminologi ini mengacu pada pendekatan
idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori normatif
yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai
motor penggerak sejarah, baik bagi individu maupun bagi sebuah perubahan
sosial. 128
Sedangkan secara terminologi, istilah karakter diartikan sebagai sifat
manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang
tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok
orang. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,
dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan,
dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat.129
Menurut Simon Philips dalam buku Refleksi Karakter Bangsa,
karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem yang
melandasi pemikiran, sikap dan prilaku yang ditampilkan. Sementara itu,
Koesoema A, mengatakan bahwa karakter sama dengan kepribadian.130
Kepribadian disini dianggap beliau sebagai ciri atau karakteristik atau gaya
128
M. Mahbubi. 2012. Pendidikan Karakter Implementasi Aswaja sebagai Nilai Pendidikan
Karakter. Yogyakarta : Pustaka Ilmu. Hlm.41. 129
Tobroni, Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam. http://tobroni.
staff.umm.ac.id/2010/11/24/ Pendidikan-Karakter-dalam-Perspektif-Islam-pendahulan/,diakses
pada 19 Oktober 2012 130 Masnur Muslich.2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
Jakarta : Bumi Aksara. Hlm. 70
73
atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan
yang diterima dari lingkungan.
Sedangkan Imam Ghazali menganggap bahwa karakter lebih dekat
dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan
yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu
dipikirkan lagi. Hermawan Kertajaya, mendefinisikan karakter sebagai “ciri
khas” yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Hermawan Kertajaya,
mendefinisikan karakter sebagai “ciri khas” yang dimiliki oleh suatu benda
atau individu.131
Ciri khas tersebut adalah asli, dalam artian tabiat atau
watak asli yang mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut,
dan merupakan mesin pendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap,
berujar, serta merespon sesuatu.132
Hal ini juga menurut Imam Ghazali di atas, bahwa istilah karakter
dapat diartikan dengan akhlak dan budi pekerti, sebab keduanya
mengandung makna yang sama. Baik budi pekerti, akhlak maupun karakter
sama-sama mengandung makna yang ideal, tergantung pada pelaksanaan
atau penerapannya. Menurut Ibnu Miskawaih dan dikutip oleh Abudin Nata,
beliau mengemukakan bahwa, pendidikan akhlak merupakan upaya ke arah
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya
perbuatan-perbuatan yang bernilai baik dari seseorang.133 Sedangkan
sebagian ulama, mendefinisikan Akhlak sebagai suatu keadaan yang
131 Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Hlm. 11 132 Heri Gunawan. 2012 Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi. Bandung : Alfabeta
Hlm.2 133
Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Hlm.10
74
melekat pada jiwa manusia yang melahirkan perbuatan baik ataupun
buruk.134
Dalam kaitannya dengan hal ini, maka sikap/karakter atau budi pekerti
telah mengandung lima rumusan atau jangkauan atau integritas sebagai
berikut: a) sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan, b) sikap
dan perilaku dalam hubungannya dengan diri sendiri, c) sikap dan perilaku
dalam hubungannya dengan keluarga, d) sikap dan perilaku dalam
hubungannya dengan masyarakat dan bangsa, dan e) sikap dan perilaku
dalam hubungannya dengan alam sekitar. 135
Thomas Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat
alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang
dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik,
jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia
lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles,
bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus
menerus dilakukan. Lebih jauh, Thomas Lickona menekankan pada tiga
komponen karakter yang baik Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter
dimulai dengan pemahaman moral, perasaan moral dan tindakan moral.136
Dari beberapa definisi karakter tersebut dapat disimpulkan secara
ringkas bahwa karakter adalah sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang stabil
sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis; sifat alami
134
Muhammad Daud Ali. 1998. Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hlm. 345 135
Muchlas Samani, & Hariyanti. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya. Hlm. 46-47. 136
Thomas Lickona. 2013. Hlm. 84.
75
seseorang dalam merespons siruasi secara bermoral; watak, tabiat, akhlak,
atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbgai
kebajikan, yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, bersikap dan bertindak; sifatnya jiwa manusia, mulai dari
angan-angan sampai menjelma menjadi tenaga yang menjadi prilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan.137
Dari definisi yang telah disebutkan terdapat perbedaan sudut pandang
yang menyebabkan perbedaan pada pendefinisiannya. namun demikian, jika
melihat esensi dari definisi-definisi tersebut ada terdapat kesamaan bahwa
karakter itu mengenai sesuatu yang ada dalam diri seseorang, yang membuat
orang tersebut disifati.
Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi tentang pendidikan
dan karakter secara sederhana dapat diartikan bahwa pendidikan karakter
adalah upaya sadar yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
(pendidik) untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter pada seseorang
yang lain (peserta didik) sebagai pencerahan agar peserta didik mengetahui,
berfikir dan bertindak secara bermoral dalam menghadapi setiap situasi. 138
Selanjutnya pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan
pendidikan yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan
emosional, dan pengembangan etika para peserta didik. Merupakan suatu
upaya proaktif yang dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk
membantu siswa mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etik dan nilai-
137
Tim Penulis Rumah Kitab. 2014. Pendidikan Karakter Berbaisis Pesantren. Jakarta : Rumah
Kitab. Hlm. 11 138
Thomas Lickona. 2013. Hlm. 84.
76
nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, fairness, keuletan dan
ketabahan (fortitude), tanggung jawab, menghargai diri sendiri dan orang
lain.
Seperti apa yang diungkapkan oleh Scerenko bahwa, pendidikan
karakter dapat difahami atau dimaknai sebagai upaya yang sungguh-
sungguh dengan cara mana ciri kepribadian positif dikembangkan,
didorong, dan diberdayakan melalui keteladanan, kajian (sejarah, dan
biografi para bijak dan pemikir besar), serta praktik emulsi (usaha maksimal
untuk mewujudkan hikmah dari apa-apa yang diamati dan yang
dipelajari).139
Menurut Khan pendidikan karakter adalah proses kegiatan yang
dilakukan dengan segala daya dan upaya secara sadar dan terencana untuk
mengarahkan anak didik. Pendidikan karakter juga merupakan proses
kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan
pengembangan budi harmoni yang selalu mengajarkan, membimbing, dan
membina setiap menusia untuk memiliki kompetensi intelektual, karakter,
dan keterampilan menarik. Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat
dihayati dalam penelitian ini adalah religius, nasionalis, cerdas, tanggung
jawab, disiplin, mandiri, jujur, dan arif, hormat dan santun, dermawan, suka
menolong, gotong-royong, percaya diri, kerja keras, tangguh, kreatif,
kepemimpinan, demokratis, rendah hati, toleransi, solidaritas dan peduli.140
139
Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Hlm.45 140
Yahya Khan. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta : Pelangi
Publishing. Hlm. 34.
77
Jadi dari beberapa statement diatas dapat disimpulkan bahwa,
pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik
untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati,
pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai
pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan budi pekerti, pendidikan
watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
dapat memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan
mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Hal ini menjadi entry point bahwa pendidikan karakter memiliki ikatan
yang kuat dalam nilai-nilai spiritualitas dan agama141
Pendidikan karakter yang berbasis Al Qur‟an dan Assunnah,
gabungan antara keduanya yaitu menanamkan karakter tertentu sekaligus
memberi benih agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter khasnya
pada saat menjalani kehidupannya. Hanya menjalani sejumlah gagasan
atau model karakter saja tidak akan membuat peserta didik menjadi
manusia kreatif yang tahu bagaimana menghadapi perubahan zaman,
sebaliknya membiarkan sedari awal agar peserta didik mengembangkan
nilai pada dirinya tidak akan berhasil mengingat peserta didik tidak sedari
awal menyadari kebaikan dirinya.142
Melalui gabungan dua paradigma ini, pendidikan karakter akan bisa
terlihat dan berhasil bila kemudian seorang peserta didik tidak akan hanya
141
Marfu`, Perbedaan pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak, pendidikan moral, dan
pendidikan nilai, http:// risetpendidikangmarfu‟.com, Diakses pada tanggal 20 Mei 2014. 142
Ni‟matulloh.et. all, Pendidikan Karakter Dalam Persfektif Pendidikan Islam, (http://nimatlloh.
blogspot.com, diakses pada tanggal 20 Mei 2014)
78
memahami pendidikan nilai sebagai sebuah bentuk pengetahuan, namun
juga menjadikannya sebagai bagian dari hidup dan secara sadar hidup
berdasar pada nilai tersebut.143
C. Etika dan Urgensinya dalam Pendidikan Islam
1. Pentinya Etika dalam Pendidikan Murid
Etika atau akhlak merupakan hal yang sangat penting dan mendasar.
Etika adalah mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang.
Orang-orang yang berakhlak kuat dan baik secara individual maupun sosial
ialah mereka yang memiliki karakter, moral, dan budi pekerti yang baik.
Mengingat itu semua sangat penting harus di awali dari dunia pendidikan,
memulai dari masa kanak-kanak dimana pendidikan dasar di mulai , bahkan
dari usia dini dengan dilandasi keimanan kepada Allah SWT. Karena moral,
sikap dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang kuat.144
Pendidikan akhlak telah menjadi perhatian banyak pihak, pemerintah
misalnya, pemerintah telah mengagendakan pentingnya pendidikan akhlak
diterapkan di sekolah-sekolah dan telah menjadi kebijakan nasional yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Sekolah harus menyediakan
lingkungan moral yang menentukan nilai-nilai yang baik dan menyimpanya di
hadapan hati nurani setiap orang yang mencakup pengetahuan moral, perasaan
moral, dan tindakan moral merupakan komponen karakter yang baik. 145
143
Ni‟matulloh.et. all, Pendidikan Karakter Dalam Persfektif Pendidikan Islam, 20 Mei 2014. 144
Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Tarbiyah Aulad Fil Islam (Pendidikan Anak Dalam Islam :
Terjemahan Jamaluddin Miri). Jakarta : Pustaka Amani. Hlm. 193. 145
Thomas Lickona. 2013. Hlm. 101.
79
Akhlak tidak berfungsi dalam ruang hampa, akhlak berfungsi dalam
lingkungan sosial. Sebuah lingkungan seringkali menindas kepedulian moral
kita. Lingkungan sosial terkadang bahkan meciptakan keadaan yang membuat
banyak atau sebagian besar orang merasa bodoh jika melakukan halhal
bermoral.146
Berikut ini ada beberapa penomena yang terjadi di negara kita Indonesia
ini yang menjadi bukti batapa pentingnya pendidikan karakter untuk anak-anak
bangsa ini harus selalu dilaksanakan secara terus menerus dan harus ada
sebagaiamana yang disampaikan oleh Tobroni sebagaimana beikut : 147
1. Memudarnya Nasionalisme dan Jati Diri Bangsa
2. Merosotnya Harkat dan Martabat Bangsa
3. Mentalitas Bangsa yang Buruk
4. Krisis Multidimensional
Permasalahan bangsa tersebut di atas semakin diperparah dengan
tayangan telivisi yang sangat vulgar, life, tidak mengenal waktu tayang, dan
diulang-ulang oleh hampir semua stasiun TV dan juga surat kabar. Peristiwa
pembunuhan, pemerkosaan, perkelaian, perampokan, pembakaran, demo
yang anarkis, tidakan aparat yang represif, perceraian, terorisme dan
berbagai bentuk tindakan kejahatan justru menjadi menu utama dan
disiarkan dalam berbagai bentuk tayangan (berita, peristiwa, sinetron, dialog
dan lain-lain).
146
Thomas Lickona, Pendidikan Karakter; Panduan lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan
Baik, (Bandung, Nusa Media, 2013), Hlm. 88 147
Tobroni, Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam. http://tobroni
staff.umm.ac.id/2010/11/24/
80
Fenomena tersebut bisa menjadi sebab-sebab kenakalan pada anak-
anak yang merupakan faktor lain dari merosotnya moral atau etika bangsa
ini sebagaimana yang di sampaikan oleh Abdullah Nashin Ulwan sebagai
berikut: 148
1. Kemiskinan yang menerpa keluarganya.
2. Disharmoni antara bapak dan ibunya.
3. Perceraian dan kemiskinansebagai akibatnya.
4. Tidak bisa memanfaatkan waktu dan menyai-nyiakannya masa
anak dan remaja.
5. Pergaulan negatif dan teman yang jahat.
6. Buruknya errlakuan orang tua terhadap anaknya,
7. Film-film sadis dan porno.
8. Tersebarnya pengangguran di dalam masyarakat.
9. Keteledoran kedua orang tua terhada pendidikan anak.
10. Bencana keyatiman
Fenomena di atas, apabila kita renungkan akan menimbulkan
keprihatinan yang mendalam. Prihatin terhadap kualitas generasi muda di
masa depan, prihatin terhadap citra dan daya saing bangsa kita yang
semakin rendah dan direndahkan oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini juga
menurut Thomas Lickona ada beberapa kekewatiran terhadap tren anak
muda sekarang yang meliputi indikasi yang perlu mendapat perhatian agar
berubah ke arah yang lebih baik, yaitu : 1) Kekerasan dan tindakan anarki.
2) Pencurian. 3) Tindakan curang. 4) Pengabaian terhada aturan yang
berlaku. 5) Tawuran antar siswa. 6) Ketidaktoleran. 7) Penggunaan bahasa
yang tidak baik. 8) Kematangan seksual yang terlalu dini dan
penyimpangannya. 9) Sikap perusakan diri. 149
148
Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Tarbiyatul Aulad Fil Islam (Pendidikan Anak Dalam Islam:
Terjemahan Jamaluddin Miri.) Jakarta : Pustaka Amani. Hlm. 113 149
Thomas Lickona. 2013. Educating For Character . Hlm. 20-28.
81
Adanya krisis etika dan moral dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, bahkan juga krisis etika dan moral dalam
beragama lantas memunculkan pertanyaan tentang peranan dan sumbangan
Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam membentuk etika dan moral, karena
agama merupakan satu-satunya sumber yang dapat memelihara dan dapat
membedakan moral yang baik dan buruk.150 Walaupun variabel
perkembangan permasalahan tersebut sesungguhnya sangat kompleks,
namun seringkali secara langsung maupun tidak langsung dihubungkan
dengan permasalahan pendidikan agama di sekolah. Pertanyaan seperti ini
dianggap sah-sah saja karena sumber dari berbagai permasalahan tersebut
adalah akibat adanya krisis etika dan moral, sedangkan tugas pokok
pendidikan agama adalah membentuk anak didik memiliki moralitas dan
akhlak budi pekerti yang mulia, karena pendidikan moral digunakan untuk
mengajarkan etika, dan cenderung pada penyampaian nilai benar atau
salah.151
Kondisi tersebut tentu saja sangat memprihatinkan. Kondisi ini
menuntut semua pihak untuk mengambil peran masing-masing guna
menyelamatkan generasi muda dan bangsa. Kaum agamawan sebagai
penjaga etika dan moral masyarakat termasuk di dalamnya guru agama
harus diberdayakan agar dapat mengambil peran secara signifikan.152
Demikian juga pendidikan agama yang memiliki peran strategis harus
150
Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Tarbiyatul Aulad Fil Islam (Pendidikan Anak Dalam Islam:
Hlm. 197. 151
Tim Penulis Rumah Kitab. 2014. Pendidikan Karakter Berbaisis Pesantren. Jakarta : Rumah
Kitab. Hlm. 15. 152
Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Hlm. 302.
82
semakin ditingkatkan mutu dan relevansinya bagi upaya pembangunan
moral bangsa. Pendidikan agama di sekolah perlu direkonstruksi agar dapat
memerankan tugas dan fungsinya secara efektif yaitu membangun akhlak
(etika dan moral) generasi penerus bangsa. Rekonstruksi itu meliputi aspek
filosofis, substantif dan metodologis.
2. Pentingnya Pendidikan Islam Bagi Murid
Sedangkan kaitannya dengan Islam, ada tiga istilah umum yang sering
digunakan dalam pendidikan (Islam), yaitu : at-tarbiyyah (pengetahuan
tentang ar-Rabb), at-ta‟lim (ilmu teortitik, kreativitas, komitmen tinggi
dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang menjunjung tinggi
nilai-nilaiilmiah), dan at-ta‟dib (intergasi ilmu dan amal). 153
Adapun secara terminologi pendidikan Islam menurut para ahli :
a. Menurut al-Syaibani mendefinisikan pendidikan Islam dengan proses
mengubah tingkah laku individu kepada kehidupan pribadi, masyarakat,
dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas
asasi sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam
masyarakat.154
b. Menurut Marimba pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani,
berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Kepribadian menurut
ukuran-ukuran Islam adalah kepribadian yang memiliki nilai-nilai
153
Zuhairini, dkk. 1995. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cet.I, Hlm.121. 154
Omar Muahmmad al-Toumi al-Syaibanai.1979. Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung. Jakarta : Bulan Bintang, 1979. Hlm. 399.
83
agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-
nilai Islam dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.155
c. Menurut Al-Ghulayani pendidikan Islam adalah menanamkan akhlak
yang mulia didalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dengan
menyiraminya dengan air petunjuk dan nasihat, sehingga akhlak itu
menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian
buahnya berwujud keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja untuk
kemanfaatan tanah air. 156
d. Al-Jamali mengajukan pengertian pendidikan Islam dengan upaya
mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih
maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang
mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang
berkaitan dengan akal maupun perbuatan.157
e. Hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 merumuskan
pendidikan Islam dengan bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan
jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan,
mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua
ajaran Islam. Upaya pendidikan dalam pengertian ini diarahkan pada
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan perkembangan
jasmani, rohani, melalui bimbingan, pengarahan, pengajaran, pelatihan,
155
Nur Uhbaiti. 2005. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia. Hlm. 9-10. 156
Abdul Mujib Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Prena Media. Hlm.26. 157
Abdul Mujib Jusuf Mudzakkir. 2006. Hlm. 27.
84
pengasuhan, dan pengawasan yang kesemuanya dalam koridor ajaran
Islam. 158
Dari beberapa pengertian di atas, maka pendidikan Islam dapat
diartikan sebagai proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam
kepada kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan,
bimbingan, pengasuhan dan pengembangan potensinya, guna mencapai
keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. Definisi ini
memiliki lima unsur pokok pendidikan Islam, yaitu :
1) Proses Transinternalisasi. Upaya dalam pendidikan Islam dilakukan
secara bertahap, berjenjang, berjenjang, terencana, terstruktur,
sistemik, dan terus menerus dengan cara transformasi dan
internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai Islam pada peserta didik.
2) Pengetahuan dan nilai Islam. Materi yang diberikan kepada peserta
didik adalah ilmu pengetahuan dan nilai Islam, yaitu pengetahuan
dan nilai yang diturunkan dari Tuhan (Ilahiyah) atau materi yang
memiliki kriteria epistimologi dan aksiologi Islam, sehingga out put
pendidikan memiliki wajah-wajah islami dalam setiap tindak
tanduknya.
3) Kepada peserta didik. Pendidik diberikan kepada peserta didik
sebagai subjek dan objek pendidikan. Dikatakan subjek karena ia
mengembangkan dan aktualisasi potensinya sendiri, sedangkan
pendidik hanya menstimulasi dalam pengembangan dan aktualisasi
158
Ahmad Tafsir. 2013. Ilmu Pendidikan Islami: Bandung. Rosda Karya. Hlm. 306.
85
itu. Dikatakan objek karena ia menjadi sasaran dan transformasi ilmu
pengetahuan dan nilai Islam, agar ilmu dan nilai itu tetap lestari dari
generasi ke generasi berikutnya.
4) Upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan dan
pengembangan potensinya. Tugas pokok pendidikan adalah
memberikan pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan,
pengawasan, dan pengembangan potensi peserta didik agar terbentuk
dan berkembang daya kreativitas dan produktivitasnya tanpa
mengabaikan potensi dasarnya.
5) Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan
akhirat. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah tercipta insan kamil
(manusia sempurna) yaitu manusia yang mampu menyelaraskan dan
memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat; kebutuhan fisik, psikis,
sosial dan spiritual. Orientasi Pendidikan Islam tidak hanya
memenuhi hajat hidup jangka pendek, seperti pemenuhan kebutuhan
duniawi, tetapi juga memenuhi hajat hidup jangka panjang seperti
pemenuhan kebutuhan di akhirat kelak. 159
Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa pendidikan
Islam berupaya memadukan antara akal, qalb (perasaan), serta tindakan
individu dalam masyarakat (praksis). Ilmu sangatlah terkait dengan
tindakan praksis, yang kemudian mengarah kepada kebijaksanaan.160
Secara komprehensif, pendidikan Islam diartikan sebagai upaya yang
159
Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Prena Media, 2006), h.28-29. 160
Ahmad Tafsir, 2013 . Hlm. 21.
86
ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia
secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal, kecerdasan,
perasaan, dan panca indera. Oleh karena itu pendidikan Islam harus
mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia, baik spiritual,
intelektual, imajinasi, jasmaniah, keilmiahan, bahasanya baik secara
individual maupun kelompok serta mendorong aspek-aspek tersebut ke
arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.161
3. Indikator Murid Beretika Islami .
Tujuan pendidikan Nasional salah satunya adalah membentuk
peserta didik memiliki akhlak yang mulia. Hal ini bertentangan dengan apa
yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini. Lembaga pendidikan yang
seharusnya diarahkan untuk mendewasakan anak didik baik jasmani
maupun rohani, atau terciptanya pribadi yang utuh, dewasa dan cerdas
dalam pikiran dan tindakan, berubah menjadi alat negara untuk mengejar
ketertinggalan-ketertinggalan dalam bidang pembangunan materi.
Pada dasarnya Pendidikan Agama Islam juga diberikan dengan
mengikuti tuntunan bahwa agama diajarakan kepada manusia dengan visi
untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT. dan
berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur,
adil, berbudi pekerti, percaya diri, bertanggung jawab, bangga akan
kebudayaan sendiri, cinta dengan ilmu, baik personal maupun sosial.
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang
161
Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Tarbiyatul Aulad Fil Islam. Hlm. 306-318.
87
sempurna (insan kamil), yaitu selalu berupaya menyempurnakan iman,
Islam, takwa dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan
keharmonisan kehidupan. Khususnya dalam memajukan bangsa yang
bermartabat. 162 Insan al-Kamil berarti manusia yang kamil (suci, bersih,
bebas dari dosa). Sempurna. Lebih lengkapnya, yaitu manusia yang egonya
mencapai titik intensitas tertinggi , yakni ketika ego mampu menahan
pemilikan secara penuh, bahkan ketika mengadakan kontak langsung
dengan yang mengikat ego (ego mutlak atau Tuhan). 163
Menurut Syeikh Abdul Karim ibnu Ibrahim Al Jaili dalam bukunya
yang berjudul Insan al-Kamil, ketika seorang manusia telah menggapai
Maqom (pencapaian spiritual) Haqiqah al Haqaiq (hakekat segala hakekat)
yakni hakekat wujud universal, maka ia akan paham bahwasannya al Haq
(Tuhan) adalah Ahadiyah al Jam‟ah (kesatuan dari yang banyak) juga al
Wahdah al Mutlak (Ketunggalan Mutlak) yang termanifestasikan dalam diri
„Insan al-Kamil.164
Dari beberapa pendapat tersebut kesemuanya itu menuju pada akhir
tujuan, yakni membentuk akhlak mulia sesuai dengan tujuan Pendidikan
Nsaional. Jadi dapat dipahami bahwa indikasi murid yang beretika Islami
adalah murid yang berakhlak mulia. Menurut al-Ghazali ada beberapa
pokok-pokok akhlakul karimah atau akhlak mulia adalah empat keutamaan
162
Perangkat pembelajaran KTSP Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah
(MTS), Hlm. 3. 163
Muhammad Iqbal, 2002. Rekonstruksi Pemikiran Agama dan Islam, terj. Didik
Komaedi,Yogyakarta: Lzuardi, Hlm. 167. 164
Syeikh Abd. Karim ibnu Ibrahim al Jaili, Insan Kamil, terj: Misbah El Majid, (Surabaya:
Pustaka Hikmah Perdana, 2005), ix
88
ini, yaitu hikmah, syaja‟ah, „iffah, dan adil.165 Dengan penjelasan sebagai
berikut:
1. Hikmah adalah suatu keadaan jiwa atau kekuatan akal yang dapat
dipergunakan untuk mengatur marah dan nafsu syahwat dan
mendorongnya menurut kehendak akal dan syara.
2. Akhlak syaja‟ah atau keberanian, maka itu dapat menimbulkan sifat
pemurah, keberanian, keinginan pada hal-hal yang mengharuskan
penyebutan bagus, mengekang hawa nafsu, menanggung penderitaan,
penyantun, berpendirian teguh, menahan kekasaran, hati mulia, bercinta
kasih, dan lain sebagainya
3. Akhlak „iffah atau memelihara kehormatan diri, maka itu dapat
menimbulkan sifat pemurah, rasa malu, sabar, pemaaf, menerima
anugerah Allah, ridho, qona‟ah, wara‟, peramah, tolong-menolong, dan
tidak begitu tamak terhadap harta orang lain.
4. Akhlak adil ini adalah akhlak yang mengajak untuk selalu berbuat lurus,
baik tidak berbuat curang atas suatu kepentingan sesuai dengan
peraturan yang berlaku mencari kebenaran atas dasar Allah SWT.
Dengan demikian bahwa indikasi murid betika Islami, yaitu murid
yang selalu mengikuti ajaran-ajaran Islam, selalu taat beribadah, dan selalu
menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak sangat mungkin dilakukan,
walau ada yang mengatakan bahwa tabiat dan akhlak manusia tidak
165
Imam Al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, terj. Moh. Zuhri, (Semarang : Asy-Syifa‟, 2003), jilid
V,Hlm. 109.
89
mungkin dirubah sebagaimana bentuk tubuh manusia tidak dapat dirubah.
Ada tiga potensi kekuatan jiwa manusia yaitu kekuatan akal, kekuatan nafsu
amarah dan kekuatan nafsu syahwat.
D. Setrategi Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Pendidikan Islam
1. Setrategi Pendidikan Akhlak
Setrategi pelaksanaan pendidikan akhlak di satuan pendidikan
merupakan suatu kesatuan dari program manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah yang terimplementasikan dalam pengembangan,
pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum oleh setiap satuan pendidikan. Strategi
tersebut diwujudkan melalui pembelajaran aktif di sekolah. Seperti yang
diungkapkan oleh Brooks dan Goole dalam Elmmubarak, untuk
mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah terdapat tiga elemen
penting untuk diperhatikan, yaitu; prinsip, proses dan praktiknya. Dalam
menjalankan prinsip, nilai-nilai yang diajarkan harus termanifestasikan
dalam kurikulum sehingga semua siswa di suatu sekolah faham benar
tentang nilai-nilai tersebut dan mampu menerjemahkannya dalam praktik
nyata. 166
Kemendiknas, menyebutkan bahwa strategi pelaksanaan pendidikan
karakter dikembangkan melalui tahapan pengetahuan (knowing),
pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Akhlak tidak terbatas pada
pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum
166
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi, Hlm.93
90
tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih
(menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut.167
Sebagai langkah menuju terbentuknya akhlak mulia dalam diri setiap
siswa, ada tiga tahapan strategi yang harus dilakukan. Hal ini diperlukan
agar peserta didik yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut dapat
memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-
nilai kebijakan (moral), tiga tahapan atau komponen tersebut diantaranya:168
a. Moral Knowing/ Learning to Know
Learning to Know merupakan langkah awal dalam pendidikan
akhlak. Dalam tahapan ini tujuan diorientasikan pada penguasaan
pengetahuan tentang nilai-nilai. Disini siswa diharapkan mampu untuk
membedakan antara akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai-nilai
universal lainnya.
Brangkat dari hal tersebut di atas, maka dimensi-dimensi yang
termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif peserta
didik adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang
nlai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang
(perspektif taking), logika moral (moral reasoning), keberanian
mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self
knowledge).169
b. Moral Loving/ Moral Feeling
167
Heri Gunawan, Hlm. 93. 168
Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Hlm.112 169
Heri Gunawan, 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi, Hlm..193
91
Dalam tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan
menguatkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia
(aspek emosi). Dalam tahapan ini, yang menjadi sasaran guru adalah
dimensi emosional siswa. Untuk mencapai tahap ini guru bisa
memasukinya dengan kisah-kisah yang menyentuh hati, modeling atau
kontemplasi. Melalui tahap ini, siswa diharapkan mampu menilai dirinya
sendiri (muhasabah), serta membiasakan serta membiasakan bersikap
baik, dan bersikap empati kepada siapapun.170
c. Moral Doing / Learning to do
Moral Doing merupakan perbuatan atau tindakan moral yang
merupakan hasil (outcome) dari dua komponen akhlak lainnya. Dan
untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang
baik, maka harus dilihat tiga aspek lain dari akhlak yaitu; kompetensi,
keinginan, dan dan kebiasaan.
Di dalam Moral Doing inilah puncak dari keberhasilan dari
pendidikan karakter kepada siswa. Dimana siswa mampu mempraktikkan
nilai-nilai akhlak mulia itu dalam perilakunya sehari-hari. Siswa semakin
berprilaku ramah, sopan dan berbicara, hormat kepada guru dan orang
tua, penyayang, jujur dalam segala tindakan baik ucapan maupun
perbuatan, bersikap disiplin dalam belajar dan yang lainnya, cinta dan
kasih sayang, adil, murah hati, dan lain sebagainya. Maka dalam hal
170
Heri Gunawan, 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi, Hlm 194.
92
inilah contoh teladan dari guru dan semua warga sekolah menjadi hal
yang sangat penting.171
Dari ketiga tahapan atau komponen yang dijelaskan diatas, jelas
bahwa, pentingnya sebuah keseimbangan antara komponen satu dengan
komponen lainnya, antara Moral Knowing, Moral Feeling dan Moral
Action. Hal ini dipertegas lagi melalui ungkapan Lickona, yang
menekankan pentingnya tiga komponen akhlak yang baik (components of
good character), yaitu Moral Knowing atau pengetahuan tentang moral,
Moral Feeling atau perasaan tentang moral, dan Moral Action atau
perbuatan moral. Hal itu diperlukan agar anak mampu memahami,
merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.172
Menurut Muchlas Samani, & Hariyanto dalam bukunya; Konsep
dan Model Pendidikan akhlak menjelaskan, dalam desain induk
pendidikan akhlak antara lain diutarakan bahwa secara substantif
karakter terdiri atas 3 nilai operatif (operative value), nilai-nilai dalam
tindakan, atau tiga untuk perilaku yang satu sama lain saling berkaitan
dan terdiri atas pengetahuan tentang moral (moral knowing, aspek
pengetahuan), perasaan berlandaskan moral (moral feeling, aspek
afektif), dan perilaku berlandaskan moral (moral behavior, aspek
psikomotorik). Akhlak yang baik terdiri atas proses-proses yang meliputi,
tahu mana yang baik (knowing the good), keinginan melakukan yang
baik (desiring the good), dan melakukan yang baik (doing the good).
171
Heri Gunawan, 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi , Hlm. 195. 172
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
Hlm.133
93
Terlepas dari itu semua, karakter yang baik juga harus ditunjang oleh
kebiasaan piker (habit of the mind), kebiasaan kalbu (habit of the heart),
dan kebiasaan tindakan (habit of the action). 173
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa konfigurasi akhlak dalam
konteks realita psikologis dan juga sosial-kultural tersebut dikata gorikan
menjadi: olah hati (spiritual and emosional development), olah piker
(intellectual development), olahraga dan kinestetik (physical and
kinesthetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity
development). 174
2. Metode dan Pendekatan Pendidikan Akhlak dalam Islam
Dalam proses pendidikan, diperlukan metode-metode pendidikan
yang mampu menanamkan nilai-nilai karakter baik pada siswa, sehingga
siswa bukan hanya tahu tentang moral atau moral knowing, tetapi juga
diharapkan mereka mampu melaksanakan moral action yang menjadi
tujuan utama pendidikan karakter. Berkaitan dengan hal ini, berikut
beberapa metode yang ditawarkan An-Nahlawi tersebut adalah sebagai
berikut: 175
a. Metode Hiwar atau Percakapan
Metode Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua
pihak atu lebih melalui tanya jawab mengenai suatu topik, dan dengan
sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki. Pentingnya
sebuah komunikasi atau dialog antar pihak-pihak yang terkait dalam hal
173
Muchlas Samani & Hariyanto, 2012 Konsep dan Model Pendidikan Karakter., Hlm.49 174
Muchlas Samani & Hariyanto, 2012 Konsep dan Model Pendidikan Karakter Hlm. 50 175
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi., Hlm. 88-96
94
ini guru dan murid. Sebab, dalam prosesnya pendidikan hiwar
mempunyai dampak yang sangat mendalam terhadap jiwa pendengar
(mustami‟ ) atau pembaca yang mengikuti topik percakapan dengan
seksama dan penuh perhatian.
b. Metode Qishah atau Cerita
Menurut kamus Ibn Manzur (1200 H), kisah berasal dari kata
qashsha-yaqushshu-qishshatan, mengandung arti potongan berita yang
diikuti dan pelacak jejak. Menurut al-Razzi, kisah merupakan
penelusuran terhadap kejadian masa lalu. Dalam pelaksanaan pendidikan
karakter di sekolah, kisah sebagai metode pendukung pelaksanaan
pendidikan karakter disekolah, kisah sebagai metode pendukung
pelaksanaan pendidikan memiliki peran yang sangat penting, karena
dalam kisah-kisah terdapat berbagai keteladanan, edukasi dan
mempunyai dampak psikologis bagi anak.176
c. Metode Uswah atau Keteladanan
Dalam penanaman karakter kepada peserta didik di sekolah,
keteladanan merupakan metode yang lebih efektif dan efisien. Karena
peserta didik (terutama siswa pada usia pendidikan dasar dan menengah)
pada umumnya cenderung meneladani (meniru) sosok guru atau
pendidiknya.177
Hal ini memang disebabkan secara psikologis, pada fase-
fase itu siswa memang senang meniru, tidak saja yang baik, bahkan
terkadang yang jeleknya pun mereka tiru.
176
Muchlas Samani & Hariyanto, 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Hlm. 88-96. 177
Muhibbin Syah. 2014. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, Hlm. 132.
95
Begitu pula Al-qur‟ an menandaskan dengan tegas pentingnya
teladan dan pergaulan yang baik dalam usaha membentuk pribadi
seseorang. Sebagaimana Al-qur‟ an menyuruh kita untuk dapat tunduk
kepada Rasulullah Saw, dan menjadikannya sebagai uswatu hasanah.
Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang
agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan (habituation)
sebenarnya berintikan pada pengalaman yang dilakukan secara berulang-
ulang.178
Bagi anak usia dini, pembiasaan ini sangat penting. Karena
dengan pembiasaan itulah akhirnya suatu aktivitas akan menjadi milik
anak dikemudian hari. Pembiasaan yang baik akan membentuk sosok
manusia yang berkepribadian baik pula sebaliknya pembiasaa yang buruk
akan membentuk sosok manusia yang berkepribadian yang buruk pula.
Begitulah biasanya yang terlihat dan yang terjadi pada diri seseorang.179
Dalam realitanya memang benar jika menanamkan kebiasaan yang
baik terhadap anak memang tidak mudah, kadang-kadang makan waktu
yang lama. Tetapi suatu yang sudah menjadi kebiasaan sukar pula untuk
mengubahnya. Maka adalah penting pada awal kehidupan anak,
menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik saja dan jangan sekali-
sekali mendidik anak berdusta, tidak disiplin, suka berkelahi dan lain
sebagainya.180
Tetapi tanamkanlah kebiasaan seperti ikhlas melakukan
puasa, gemar menolong orang yang kesulitan, suka membantu fakir
178
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. (Bandung : PT Rosdakarya. 2007),
Hlm.144 179
Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Ibid. Hlm. 256. 180
Abdullah Nashin Ulwan. 2007. Hlm. 259.
96
miskin, gemar melakukan salat lima waktu, aktif berpartisipasi dalam
kegiatan yang baik-baik, dan lain sebagainya. Maka dari itu pengaruh
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat tidak bisa dielakkan dalam
hal ini.
Sedangkan menurut Doni Koesoema, metodologi pendidikan
karakter adalah sebagaimana berikut: 181
a. Pengajaran
Mengajarkan pendidikan karakter dalam rangka memperkenalkan
pengetahuan teoretis tentang konsep-konsep nilai. Pemahaman konsep ini
mesti menjadi bagian dari pemahaman pendidikan karakter itu sendiri.
Sebab, anak-anak akan banyak belajar dari pemahaman dan pengertian
tentang nilai-nilai yang difahami oleh para guru dan pendidik dalam
setiap perjumpaan mereka.
b. Keteladanan
Keteladanan menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya sebuah
tujuan pendidikan karakter. Tumpuan pendidikan karakter ada pada
pundak guru. Konsistensi dalam mengajarkan pendidikan karakter tidak
sekadar melalui sesuatu yang dikatakan melalui pembelajaran di kelas,
melainkan nilai itu juga tampil dalam diri sang guru, dalam
kehidupannya yang nyata di luar kelas. Karakter guru menentukan warna
kepribadian anak didik (meskipun tidak selalu).
181
Jamal M‟ mur Asmani.2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah.
Jogjakarta: DIVA press. Hlm.68.
97
Keteladanan sebagaimana yang telah dibicarakan merupakan
metode terbaik dalam pendidikan moral. Keteladanan selalu menuntut
adanya sikap yang konsisten serta kontinyu baik dalam perbuatan
ataupun budi pekerti yang luhur. Karena sekali memberikan contoh yang
buruk akan mencoreng seluruh budi pekerti luhur yang telah dibangun.182
c. Menentukan Prioritas
Lembaga pendidikan memiliki prioritas dan tuntutan dasar atas
karakter yang ingin diterapkan di lingkungan mereka. Pendidikan
karakter menghimpun banyak kumpulan nilai yang dianggap penting
bagi pelaksanaan dan realisasi atas visi lembaga pendidikan. Oleh karena
itu lembaga pendidikan pasti memiliki standar atas karakter yang akan
ditawarkan kepada peserta didik sebagai bagian dari kierja kelembagaan
mereka.183
d. Praktis Prioritas
Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah
bukti dilaksanakannya prioritas nilai pendidikan karakter tersebut.
Berkaitan dengan tuntutan lembaga pendidikan atas prioritas nilai yang
menjadi visi kinerja pendidikannya, lembaga pendidikan kemajuan.
Refleksi merupakan kemampuan sadar manusia. Dengan kemampuan
sadar ini, manusia mampu mengatasi diri dan meningkatkan kualitas
hidupnya dengan lebih baik. Jadi, setelah tindakan dan praksis
182
Khatib Ahmad Santhut. 1998. Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan Spiritual Anak Dalam
Keluarga Muslim. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Hlm..85 183
Jamal M‟ mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah Op.cit,
Hlm. 68
98
pendidikan karakter itu terjadi, perlulah diadakan semacam pendalaman
dan refleksi untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan telah
berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan akhlak atau
karakter.184
Dari beberapa metodologi pendidikan akhlak atau karakter tersebut
menjadi catatan penting bagi semua pihak, khususnya guru sebagai
pendidik yang berinteraksi langsung kepada anak didik. Meskipun lima
hal yang dijelaskan diatas bukan lah satu-satunya metode yang dapat
digunakan, sehingga masing-masing tertantang untuk menyuguhkan
alternative pemikiran dan gagasan baru untuk memperkaya metodologi
pendidikan karakter yang sangat dibutuhkan bangsa ini dimasa yang akan
datang.
3. Relasi Pendidikan Akhlak dengan Pendidikan Islam
Manusia adalah makhluk Allah. Manusia dan alam semesta bukan
terjadi sendirinya, tetapi dijadikan oleh Allah. Manusia diciptakan oleh
Allah sebagai penerima dan pelaksana ajaran. Oleh karena itu, manusia
ditempatkan pada kedudukan mulia.185
Manusia adalah makhluk
pedagogik yaitu makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat
dididik dan dapat mendidik. Manusia memiliki potensi dapat didik dan
mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi, pendukung dan
pengembang kebudayaan. Manusia dilengkapi dengan fitrah Allah,
berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan
184
Jamal M‟ mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah Op.cit,
Hlm. 69. 185
Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), Hlm. 1-3.
99
dan ketrampilan yang dapat berkembang, sesuai dengankedudukannya
sebagai makhluk mulia. Pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat
merupakan komponen dari fitrah itu. Itulah fitrah Allah yang melengkapi
penciptaan manusia. 186
Oleh karena itu, demi terlaksananya pencapaian kemuliaan
tersebut maka manusia harus tunduk dan patuh dengan penuh tanggung
jawab untukmerealisasikan kehendak Allah yang telah diamanahkannya
menjadi khalifah. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia
membutuhkan pendidikan karena manusia adalah makhluk pedagogik. Di
kalangan umat Islam, istilah populer yang digunakan dalam pendidikan
adalah al-tarbiyyah. Dengan demikian, secara populer istilah tarbiyyah
digunakan untuk menyatakan usaha pendidikan dalam membimbing dan
mengembangkan subyek didik agar benar-benar menjadi makhluk yang
beragama dan berbudaya.187
Pertumbuhan dan perkembangan subyek
didik perlu diupayakan mencapai kesempurnaannya. Oleh sebab itu, agar
kesempurnaan yang optimal dapat dicapai, maka berbagai potensi
bawaan yang ada pada dirinya harus dikembangkan sedemikian rupa
untuk mencapai kemampuan yang nyata dalam menjalani hidup dan
kehidupan yang semestinya dalam suatu kepribadian yang utuh.
Penjelasan tentang pengertian pendidikan akhlak dan pendidikan
akhlak di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep dasar pendidikan
karakter dalam pendidikan Islam berasal dari perkataan akhlaq bentuk
186
Abdullah Nashin Ulwan. Ibid. Hlm. 4. 187
Ahmad Tafsir. 2013. Hlm. 43.
100
jamak dari khuluq yang menurut bahasa diartikan budi pekerti, perangai,
tingkah laku atau tabiat. Rumusan pengertian akhlak timbul sebagai
media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dan
makhluk serta antara makhluk dan makhluk.
Implementasi Pendidikan akhlak dalam Islam tersimpul dalam
akhlak pribadi Rasulullah saw. Dalam pribadi Rasul, bersemi nilai-nilai
akhlak yang mulia dan agung. Allah berfirman dalam Al-Quran surah al-
Ahzab ayat 21:
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut
Allah”. 188
Sebagai usaha yang identik dengan ajaran agama, perlu dimengerti
bahwa Islam diturunkan oleh Allah SWT sebagai agama dan tuntunan
hidup bagi umat manusia yang ada di dunia. Islam sebagai rangkaian
nilai diharapkan mampu untuk membawa kedamaian dan kesejahteraan
bagi seluruh umat manusia. Islam tidak hanya diperuntukkan bagi
segelintir orang dan kelompok, melainkan kepada seluruh alam semesta,
serta pengejawantahan nilai-nilai keislaman seharusnya dirasakan oleh
seluruh manusia, termasuk kepada manusia yang tidak memeluk Islam.189
188
Departemen Agama. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm.
670. 189
Romie Ziadul Fadlan, Universalitas Ajaran Islam: Membangun Konsensus
PemahamanAgama,artikel.Dapatdiakses.dihttp://rhomiezf.wordpress.com/2010/03/16/univer
salitas-ajaran-Islam-membangun-konsensus-pemahaman-agama/(02 Desember 2012).
101
Implementasi nilai-nilai universal keislaman adalah ketika Rasul di
Mekkah al-Mukarramah yang telah membawa perubahan pada sistem
nilai kehidupan masyarakat pada waktu itu. Nilai-nilai universal Islam
yang sangat fundamental dalam membangun tatanan kehidupan manusia
yang tercerahkan dalam menopang sistem keyakinan. Dan bahkan pada
prinsipnya nilai-nilai ini berlaku bagi semua agama, terlebih dalam
Islam.190
Universalitas Islam berlaku sama untuk semua pemeluk Islam tanpa
mempertimbangkan perbedaan ruang dan waktu pelaksanaan ajaran. Hal
ini mengingat sumber dari universalitas Islam adalah al-Qur'an. Al-
Qur‟an merupakan sumber pendidikan terlengkap, baik pendidikan
kemasyarakatan, moral (akhlak), spiritual, material (kejasmanian) dan
alam semesta.191
Al-Qur‟an merupakan sumber nilai yang absolut dan
utuh dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Penerapan nilai-nilai
universal Islam dalam tataran empiris tidak dapat dipisahkan oleh Hadist
Nabi. Hal ini disebabkan, secara umum Al-Qur‟an masih bersifat global.
Hadist Nabi merupakan penjelas dan penguat hukum-hukum qur‟aniah
sekaligus petunjuk dan pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia
dalam semua aspeknya. Dengan demikian sebagai pemeluk Islam perlu
memperhatikan dua hal, yaitu produktivitas mencapai tujuan dan esensi
ajaran Islam yang bersifat universal serta penerapan nilai universal dalam
190
Tim Penulis Rumah Kitab. 2014. Pendidikan Karakter Berbaisis Pesantren. Jakarta : Rumah
Kitab. Hlm. 17. 191
Rahmat Djatnika.1992. Sistem Ethika Islami. Jakarta : Pustaka Panjimas. Hlm. 17.
102
tataran empiris adalah dengan menjujung nilai kebenaran, keadilan, anti
kekerasan, kesetaraan, kasih sayang, cinta dan toleransi.
Pendidikan akhlak dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan
dengan pendidikan akhlak di dunia Barat. Perbedaan-perbedaan
tersebutmencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi,
aturan dan hukum dalam memperkuat moralitas, perbedaan pemahaman
tentang kebenaran, penolakan terhadap otonomi moral sebagai tujuan
pendidikan moral, dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi
perilaku bermoral. Inti dari perbedaan-perbedaan ini adalah keberadaan
wahyu Ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu pendidikan akhlak dalam
Islam. Perbedaan-perbedaan diatas karena adanya pemahaman yang
berbeda tentang keyakinan yang dianut.
Dari penjelasan teoritis di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan karakter dan pendidikan akhlak memiliki kesamaan yaitu
untuk menjadikan manusia lebih baik, pendidikan akhlak bersumber pada
nilai-nilai kebaikan universal (nilai-nilai kehidupan yang baik atau
buruknya diakui oleh seluruh umat manusia), dan pada dasarnya ajaran
Islam adalah agama yang mengandung nilai-nilai universal yang dapat
diterima oleh seluruh umat manusia.
Dengan demikian maka pendidikan akhlak bisa dikatakan sebagai
pendidikan akhlak atau pembentukan karakter sesuai dengan nilai-nilai
Islam yang bersumber pada ajaran Islam yang universal (al-Qur‟an dan
Hadist).