bab ii diabetes mellitus diabêtês yang berarti pipa air...

15
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabêtês yang berarti pipa air melengkung (syphon). Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa di dalam darah tinggi dikarenakan tubuh tidak dapat menghasilkan atau menggunakan insulin secara cukup (Lawrence dalam Nugroho, 2006). Insulin merupakan salah satu hormon di dalam tubuh manusia yang dihasilkan oleh sel β pulau langerhans yang berada di dalam kelenjar pankreas. Insulin merupakan protein regulator yang berfungsi untuk mengontrol kadar gula (glukosa) di dalam tubuh. DM merupakan penyakit dengan konsentrasi gula darah tinggi (hiperglikemia), diakibatkan karena defisiensi insulin relatif maupun absolut. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat serta metabolisme glukosa yang terganggu. Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa >126 mg/dL dan pada saat tes >200 mg/dL. Kadar gula darah sepanjang hari bervariasi karena akan meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu dua jam. Kadar gula darah yang normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar gula darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada dua jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun karbohidrat lainnya.

Upload: lehanh

Post on 28-Aug-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus

Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabêtês yang berarti pipa air

melengkung (syphon). Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit dimana

kadar glukosa di dalam darah tinggi dikarenakan tubuh tidak dapat menghasilkan

atau menggunakan insulin secara cukup (Lawrence dalam Nugroho, 2006). Insulin

merupakan salah satu hormon di dalam tubuh manusia yang dihasilkan oleh sel β

pulau langerhans yang berada di dalam kelenjar pankreas. Insulin merupakan

protein regulator yang berfungsi untuk mengontrol kadar gula (glukosa) di dalam

tubuh. DM merupakan penyakit dengan konsentrasi gula darah tinggi

(hiperglikemia), diakibatkan karena defisiensi insulin relatif maupun absolut.

Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat serta

metabolisme glukosa yang terganggu.

Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia) 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula

darah puasa >126 mg/dL dan pada saat tes >200 mg/dL. Kadar gula darah

sepanjang hari bervariasi karena akan meningkat setelah makan dan kembali

normal dalam waktu dua jam. Kadar gula darah yang normal pada pagi hari

setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah.

Kadar gula darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada dua jam setelah

makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun karbohidrat lainnya.

7

Kadar gula darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif

(bertahap) setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif

bergerak. Peningkatan kadar gula darah setelah makan atau minum merangsang

pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar gula

darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar gula darah menurun secara

perlahan.

Berdasarkan sekresi insulin endogen untuk mencegah munculnya

ketoasidosis, diabetes mellitus dibagi menjadi 2 kategori utama, yaitu Diabetes

mellitus tergantung insulin (IDDM = insulin dependent diabetes mellitus) atau

tipe 1, dan Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM = non-insulin

dependent diabetes mellitus) atau tipe 2 (Rowland dan Bellush dalam Nugroho,

2006).

Diabetes mellitus (DM) tipe 1 disebabkan oleh degenerasi sel β Langerhans

pankreas akibat infeksi virus, pemberian senyawa toksin, atau secara genetik yang

mengakibatkan produksi insulin sangat rendah atau berhenti sama sekali. Hal

tersebut mengakibatkan penurunan pemasukan glukosa dalam otot dan jaringan

adiposa. Secara patofisiologi, penyakit ini terjadi lambat dan membutuhkan waktu

yang bertahun-tahun, biasanya terjadi sejak anak-anak atau awal remaja.

Penurunan berat badan merupakan ciri khas dari penderita DM tipe 1 yang tidak

terkontrol. Gejala yang sering mengiringi DM 1 yaitu poliuria, polidipsia, dan

polifagia.

Diabetes mellitus (DM) tipe 2 merupakan kelompok penyakit dengan

karakteristik terjadinya resistensi insulin yang dapat mengakibatkan gangguan

8

sel β Langerhans pankreas dalam mensekresi insulin. DM tipe 2 cenderung terjadi

pada individu usia lanjut dan biasanya didahului oleh keadaan sakit atau stres

yang membutuhkan kadar insulin tinggi. Secara patofisiologi, DM tipe 2

disebabkan karena dua hal yaitu (1) penurunan respon jaringan perifer terhadap

insulin, peristiwa tersebut dinamakan resistensi insulin, dan (2) Penurunan

kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon terhadap

beban glukosa.

Sebagian besar DM tipe 2 diawali dengan kegemukan akibat pola gaya

hidup yang tidak sehat. Sebagai kompensasi, sel β pankreas merespon dengan

mensekresi insulin lebih banyak sehingga kadar insulin meningkat

(hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor

insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri dengan cara menurunkan jumlah

reseptor. Hal ini membawa dampak pada penurunan respon reseptornya dan lebih

lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin.

Pada resistensi insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan

penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah

(hiperglikemia). Seiring dengan kejadian tersebut, sel β pankreas mengalami

adaptasi diri sehingga respon untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif

dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin (Nugroho, 2006).

2.2. Struktur dan Karakteristik DNA Mitokondria

Mitokondria adalah salah satu organel sel yang berfungsi melakukan

oksidasi. Energi yang dilepas dari hasil oksidasi tersebut digunakan untuk

mensintests ATP. Jumlah mitikondria dalam sebuah sel tergantung pada

kubutuhannya akan energi (Coffee,

banyak pada sel yang aktivitas metabolismenya tinggi, yaitu sel

seperti sperma pada bagian ekornya, sel otot jantung, dan sel yang aktif membelah

seperti epithelium, akar rambut, dan epidermis kulit

Struktur mitokondria terdiri dari empat sub

ruang antar membran, membran dalam, dan matriks. Membran luar berfungsi

untuk membatasi mitokondria dari sitoplasma sel,

yang membentuk lipatan

berlangsungnya proses fosforilasi oksidatif. Mitokondria merupakan organel khas

yang memiliki sejumlah ciri yang tidak dimiliki organel lainnya. Secara lengkap

struktur mitokondria ditunjukkan

Mitokondria memiliki materi genetiknya sendiri

mitokondria (mtDNA).

matriks mitokondria, berbentuk sirkuler serta memiliki untai ganda yang terdiri

Riboson

granula

mensintests ATP. Jumlah mitikondria dalam sebuah sel tergantung pada

ubutuhannya akan energi (Coffee, 1998). Mitokondria ditemukan dalam jumlah

banyak pada sel yang aktivitas metabolismenya tinggi, yaitu sel

seperti sperma pada bagian ekornya, sel otot jantung, dan sel yang aktif membelah

seperti epithelium, akar rambut, dan epidermis kulit (Ngili, 2003).

okondria terdiri dari empat sub-bagian, yaitu membran luar,

ruang antar membran, membran dalam, dan matriks. Membran luar berfungsi

mitokondria dari sitoplasma sel, sedangkan membran dalam

uk lipatan-lipatan yang disebut krista berfungsi sebagai tempat

berlangsungnya proses fosforilasi oksidatif. Mitokondria merupakan organel khas

yang memiliki sejumlah ciri yang tidak dimiliki organel lainnya. Secara lengkap

struktur mitokondria ditunjukkan oleh Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur mitokondria. (www.wikipedia.com)

Mitokondria memiliki materi genetiknya sendiri yang disebut DNA

mitokondria (mtDNA). mtDNA berukuran 16.569 pasang basa dan terdapat dalam

matriks mitokondria, berbentuk sirkuler serta memiliki untai ganda yang terdiri

DNA Membran luar

membran dalam

ATP Sintase

Matriks

ruang inter-membran

kista

9

mensintests ATP. Jumlah mitikondria dalam sebuah sel tergantung pada

kondria ditemukan dalam jumlah

banyak pada sel yang aktivitas metabolismenya tinggi, yaitu sel-sel kontraktil

seperti sperma pada bagian ekornya, sel otot jantung, dan sel yang aktif membelah

.

bagian, yaitu membran luar,

ruang antar membran, membran dalam, dan matriks. Membran luar berfungsi

edangkan membran dalam

rista berfungsi sebagai tempat

berlangsungnya proses fosforilasi oksidatif. Mitokondria merupakan organel khas

yang memiliki sejumlah ciri yang tidak dimiliki organel lainnya. Secara lengkap

yang disebut DNA

berukuran 16.569 pasang basa dan terdapat dalam

matriks mitokondria, berbentuk sirkuler serta memiliki untai ganda yang terdiri

10

dari untai heavy (H) dan light (L). Dinamakan seperti ini karena untai H memiliki

berat molekul yang lebih besar dari untai L, disebabkan oleh banyaknya

kandungan basa purin.

mtDNA terdiri dari daerah pengkode (coding region) dan daerah yang tidak

mengkode (non-coding region). MtDNA mengandung 37 gen pengkode untuk

2 rRNA, 22 tRNA, dan 13 polipeptida yang merupakan subunit kompleks enzim

yang terlibat dalam fosforilasi oksidatif, yaitu: subunit 1, 2, 3, 4, 4L, 5, dan 6 dari

kompleks I, subunit b (sitokrom b) dari kompleks III, subunit I, II, dan III dari

kompleks IV (sitokrom oksidase) serta subunit 6 dan 8 dari kompleks V. Secara

lengkap organisasi genom mitokondria manusia dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Organisasi genom mitokondria manusia. Gambar tersebut memperlihatkan dua rantai mtDNA dengan gen yang mengkode: 12 S rNRA dan 16S Rrna, 22 tRNA, protein (CO: subunit sitokrom c oksidase; B cyt: sitokrom b; ND: subunit NADH dehidrogenase; ATPase6 dan ATPase8). OH dan OL menandakan titik awal replikasi dari rantai H dan L. Pada gambar juga terlihat beberapa macam mutasi yang berhubungan dengan penyakit. (www.mitomap.org)

11

Kebanyakan gen pada mtDNA ditranskripsi dari untai H, yaitu 2 rRNA,

14 dari 22 tRNA dan 12 polipeptida. mtDNA tidak memiliki intron dan semua gen

pengkode terletak berdampingan, sedangkan protein lainnya yang juga berfungsi

dalam fosforilasi oksidatif seperti enzim-enzim metabolisme, DNA dan RNA

polimerase, protein ribosom dan faktor perbaikan mtDNA semuanya dikode oleh

gen inti, disintesis dalam sitosol dan kemudian diimpor ke organel.

mtDNA berbeda dengan DNA inti, walapun keduanya berada dalam satu

sel. Hal ini disebabkan karena mtDNA memiliki keunikan tersendiri dibandingkan

dengan DNA inti. Beberapa keunikan mtDNA diantaranya adalah pola

pewarisannya bersifat maternal (diturunkan melalui garis keturunan ibu), jumlah

kopinya yang banyak dan laju mutasinya yang sangat tinggi.

mtDNA memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi, ditandai laju mutasinya

yang tinggi, yaitu sekitar 10-17 kali DNA inti. Hal ini dikarenakan mtDNA tidak

memiliki mekanisme reparasi yang efisien, tidak memiliki protein histon, dan

terletak berdekatan dengan membran dalam mitokondria tempat berlangsungnya

reaksi fosforilasi oksidatif yang menghasilkan radikal oksigen sebagai produk

samping. Selain itu, DNA polimerase yang dimiliki oleh mitokondria adalah DNA

polimerase γ yang tidak mempunyai aktivitas proofreading (suatu proses

perbaikan dan pengakuratan dalam replikasi DNA). Tidak adanya aktivitas ini

menyebabkan mtDNA tidak memiliki sistem perbaikan yang dapat

menghilangkan kesalahan replikasi. Replikasi mtDNA yang tidak akurat ini akan

menyebabkan mutasi mudah terjadi (www.wikipedia.org, 2008).

12

2.3. Displacement Loop (D-loop) mtDNA

D-loop mtDNA berukuran 1122 pb, dimulai dari nukleotida 16024 hingga

576 dan terletak diantara gen tRNApro dan tRNAphe. D-loop memiliki dua

daerah dengan laju polimorfisme yang tinggi sehingga urutannya sangat bervariasi

antar individu, yaitu Hypervariabel I (HVI) yang terletak pada urutan nukleotida

16024-16383 dan Hypervariabel II (HVII) yang terletak pada nukleotida 57-372.

Dua daerah ini memiliki laju mutasi yang lebih tinggi dari daerah pengkode. Oleh

karena sifatnya yang polimorfik, daerah ini sangat beragam antar individu tetapi

sama untuk kerabat yang satu garis keturunan ibu. Laju mutasi sejauh ini

diketahui 1:33 generasi, jadi perubahan urutan nukleotida hanya akan terjadi

setiap 33 generasi. Oleh karena itu, daerah ini sering dianalisis dan sangat penting

untuk digunakan dalam proses identifikasi individu.

D-loop mengandung daerah pengontrol karena mempunyai origin of

replication untuk untai H (OH) dan promotor transkripsi untuk untai H dan L (PL

dan PH). Selain itu, D-loop juga mengandung tiga daerah lestari yang disebut

dengan conserved sequence block (CSB) I, II, III. Daerah yang lestari ini diduga

memiliki peranan penting dalam replikasi mtDNA (www.wikipedia.org , 2008).

D-loop sebagai daerah non-coding dari mtDNA memiliki beberapa urutan

nukleotida penting yakni sebagai promotor dalam replikasi rantai berat. D-loop

juga merupakan hotspot untuk mutasi gen dalam susunan sel normal maupun sel

kanker. Oleh karena itu untuk mempelajari pengaruh genetik pada berbagai jenis

penyakit para ahli biasanya mengidentifikasi mutasi yang terjadi pada daerah D-

loop daripada daerah lainnya dari mtDNA (Zhao, 2004).

13

2.4. Keterkaitan Antara Mitokondria dan Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes mellitus tipe 2 sering juga disebut noninsulin dependent diabetes

mellitus (NIDDM), sebab tidak membutuhkan penambahan hormon insulin untuk

mempertahankan keseimbangan glukosa darah (Carolyn dalam Fachreza, 2009).

Diabetes mellitus tipe 2 merupakan akibat dari lemahnya kemampuan pankreas

dalam mensekresikan insulin yang dikombinasikan dengan lemahnya aksi insulin,

yang mana menjadi penyebab menurunnya sensitivitas insulin (Jacquie et al.

dalam Fachreza, 2009). Penurunan sensitivitas insulin terjadi pada pintu masuk di

permukaan sel tubuh yang dinamakan reseptor insulin, reseptor insulin akan

memberikan signal pada glukosa transporter untuk memungkinkan lewatnya gula

(glukosa) yang dibawa oleh hormon insulin masuk ke dalam sel. Di dalam

mitokondria, gula tersebut kemudian akan digunakan untuk menghasilkan energi

atau tenaga yang diperlukan dalam pelaksanaan fungsi setiap sel tubuh (Hartono

dalam Fachreza, 2009).

Proses uptake glukosa yang dimediasi oleh insulin terlihat pada Gambar 2.3.

Insulin yang diproduksi pada sel beta pankreas akan menempati reseptornya, yang

kemudian akan memberikan sinyal transduksi pada transporter glukosa untuk

dapat melakukan penyerapan glukosa, sehingga glukosa yang terdapat dalam

darah akan masuk ke dalam sel. Penurunan sensitivitas insulin pada penderita

diabetes tipe 2 dapat disebabkan oleh kerusakan transduksi sinyal (Rimbawan dan

Siagian dalam Fachreza, 2009). Kerusakan ini dapat dimulai dari insulin abnormal

sampai kerusakan reseptor insulin pada pengangkut glukosa. Hubungan langsung

antara penurunan sensitivitas insulin dan kegemukan telah diketahui dengan baik,

14

dan kegemukan adalah salah satu faktor penting untuk memprediksi diabetes tipe

2. Kegemukan berhubungan dengan lemahnya signal insulin, sehinga dapat

menyebabkan terjadinya penurunan sensitivitas insulin.

Gambar 2.3. Mediasi insulin dalam proses uptake glukosa. (www. Lucablightblue.blogspot.com)

Selain disebabkan oleh faktor lingkungan (eksternal), kerusakan transduksi

sinyal dapat disebabkan oleh terjadinya disfungsi mitokondri (mutasi DNA

mitokondria). Disfungsi mitokondria ini disebabkan oleh penumpukan

mutasi-mutasi yang terjadi di mtDNA yang telah jauh berada diluar ambang batas

toleransi yang terjadi pada daerah D-loop mtDNA. Seperti diketahui bahwa

D-loop merupakan titik awal untuk proses replikasi dan transkripsi yang terjadi

pada mtDNA. Pada daerah tersebut banyak sekali terdapat protein-protein

penyandi baik yang berasal dari mitokondria maupun inti yang berguna untuk

berlangsungnya kedua proses tersebut. Terjadinya mutasi-mutasi pada daerah

D-loop mtDNA dapat mengubah ikatan DNA pada daerah tersebut, sehingga

dapat mempengaruhi interaksi antara protein-protein pengontrol proses transkripsi

dan replikasi dengan rantai DNA sendiri. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya

reseptor

Insulin

Proses glikolisis

glukosa

Aktif

Tidak

Aktif

transduksi sinyal

15

kesalahan dalam proses replikasi maupun transkripsi (Poulton, 2002).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Poulton,et al. (1998) ditemukan

bahwa mutasi yang paling banyak ditemukan pada penderita DM tipe 2 adalah

mutasi T16189C yang terdapat pada daerah HVI.

Data pada penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa variasi T16189C

dapat mengakibatkan terjadinya modest reduction pada pengkopian mtDNA jika

dibandingkan dengan DNA inti, yang mungkin mempengaruhi proses rantai

respirasi pada sel β. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadinya mutasi

T16189C cendrung dapat memnyebabkan terjadinya mutasi lain yang

berhungunggan dengan penyakit diabetes mellitus (Poulton,1998).

2.5. Polimerase Chain Reaction (PCR)

Polimerase Chain Reaction (PCR) atau reaksi polimerisasi berantai

merupakan proses pengamplifikasian (pengkopian) fragmen DNA yang dengan

cara in vitro (Gumilar, 2006). Pada prinsipnya teknik PCR terdiri dari tiga tahapan

reaksi yang berbeda, yaitu: denaturasi, annealing (penempelan primer) dan

polimerisasi (perpanjangan rantai). Pada proses tersebut digunakan enzim yang

tahan terhadap suhu tinggi yaitu DNA polimerase salah satunya adalah Taq DNA

polimerase. Enzim tersebut diisolasi dari bakteri yang hidup pada lingkungan

yang panas, oleh sebab itu Taq DNA polimerase dapat tahan pada suhu 95ºC.

Siklus PCR diawali oleh denaturasi untai ganda DNA pada suhu 94ºC.

Tahapan ini berfungsi untuk mengubah DNA untai ganda menjadi untai tunggal.

Selanjutnya adalah tahapan annealing (penempelan primer) pada DNA untrai

16

tunggal yang dilakukan pada suhu sekitar 50ºC, dan tepatnya ditentukan oleh

urutan dan panjangnya primer. Proses ini diperlukan penentuan suhu dengan teliti.

Hal ini disebabkan karena jika suhu annealing terlalu tinggi, maka dapat

mengakibatkan produk DNA yang dihasilkan ada dalam jumlah yang kecil,

sedangkan jika suhu annealing terlalu rendah, maka dapat menyebabkan

terjadinya penempelan yang tidak spesifik. Setelah terjadi proses penempelan

primer, suhu ditingkatkan hingga mencapai 72ºC. hal ini berfungsi untuk proses

polimerisasi rantai DNA. Pada tahapan polimerisasi diperlukan primer, buffer,

enzim DNA polimerase, dan campuran dNTP untuk proses pemanjangan rantai

(Gumilar, dkk., 2008).

Ketiga proses tersebut akan berulang sesuai dengan siklus yang kita

inginkan. Jumlah siklus yang akan dilakukan dapat ditentukan berdasarkan

banyaknya copy DNA yang diinginkan. Secara kasar, jumlah copy DNA yang

akan diperoleh dalam n siklus adalah 2n.

Beberapa komponen yang harus ada agar proses PCR dapat berlangsung

adalah templat DNA, primer, deoksinukleotida (dNTP), enzim polimerase (Taq),

dan buffer, Mg2+. Templat merupakan DNA target yang kita harapkan yang

umumnya berjumlah sedikit (secara teori cukup satu molekul). Sumber templat

dapat berupa darah, sperma, jaringan, koloni bakteri, phage plaques, dan lain-lain.

Primer yang diperlukan untuk PCR berupa DNA untai tunggal yang umumnya

memiliki panjang antara 18-30 nukleotida dengan jumlah kandungan G dan C

yang relatif sama.

17

Primer disiapkan berdasarkan urutan nukleotida target, dengan

menggunakan mesin DNA synthesizer. Tetapi bila urutan tersebut belum

diketahui, namun telah diketahui urutan asam amino fragmen proteinnya, maka

disusun degenerate primer yang didasarkan pada kodon-kodon dari asam amino

tersebut.

Deoksinukleotida (dNTP) berperan sebagai sumber monomer dalam proses

polimerisasi fragmen yang teramplifikasi. dNTP terdiri atas dATP, dGTP, dCTP,

dan dTTP. Enzim polimerase merupakan katalis yang membantu proses

perpanjangan primer yang menempel pada templat DNA.

2.6. Elektroforesis Gel Agarosa

Elektroforesis merupakan proses pemisahan berdasarkan perbedaan migrasi

molekul pada suatu medan listrik (Dinda, 2008). Kecepatan migrasi molekul yang

bergerak pada medan listrik dipengaruhi oleh muatan, bentuk dan ukuran dari

molekul tersebut. Hal inilah yang dijadikan sebagai dasar penggunaan

elektroforesis untuk pemisahan makromolekul seperti protein dan asam nukleat.

Pada proses pemisahan protein atau asam nukleat yang memiliki ukuran

molekul yang kecil, gel yang biasa dipergunakan adalah gel poliakrilamida.

Sedangkan untuk proses pemisahan asam nukleat yang ukuran molekulnya lebih

besar digunakan gel agarosa yang berasal dari ekstrak rumput laut yang sudah

dimurnikan.

Elektroforesis gel agarosa dapat memisahkan molekul DNA berdasarkan

pada perbedaan ukurannya melalui migrasi DNA pada suatu media yang

18

dipengaruhi oleh medan listrik dengan ukuran dari beberapa ratus hingga 20.000

pasang basa (bp) (Widyasari dan Suhandono, 2007). Laju migrasi molekul DNA

pada proses elektroforesis gel agarosa dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya adalah konsentrasi gel agarosa yang digunakan, ukuran molekul, serta

voltase yang diterapkan (Gumilar, dkk., 2008).

Molekul DNA bermuatan negatif sehingga di dalam medan listrik akan

bermigrasi melalui matriks gel menuju kutub positif (anoda). Makin besar ukuran

molekulnya, makin rendah laju migrasinya. Berat molekul suatu fragmen DNA

dapat diperkirakan dengan membandingkan laju migrasinya dengan laju migrasi

fragmen-fragmen molekul DNA standar (DNA marker) yang telah diketahui

ukurannya. Deteksi DNA selanjutnya dilakukan di bawah paparan sinar ultraviolet

setelah terlebih dahulu gel dalam pembuatannya ditambahkan larutan etidium

bromida. Cara lain untuk melihat visualisasi DNA adalah gel direndam di dalam

larutan etidium bromida sebelum dipaparkan di atas sinar ultraviolet.

Beberapa komponen dalam elektroforesis gel agarosa antara lain adalah

sampel DNA, agarosa, EtBr, loading buffer, running buffer, marker, dan lampu

UV (Gumilar, dkk., 2008).

2.7. Sekuensing

Sekuensing DNA merupakan suatu proses mengurutkan atau mensekuens

DNA yang terdapat dalam makhluk hidup agar dapat dibaca dengan mudah.

Terdapat dua metode untuk sekuensing DNA, yaitu metode terminasi rantai oleh

19

F. Sanger dan A.R. Coulson dan metode degradasi kimia yang ditemukan oleh A.

Maxam dan W. Gilbert.

Metode degradasi kimia (chemical degradation method) dikembangkan oleh

Maxam dan Gilbert pada tahun 1977, sedangkan metode terminasi rantai

ditemukan oleh F. Sanger dan A.R. Coulson pada tahun 1980. Kedua metode

tersebut awalnya sama-sama populer, tetapi dalam perkembangan berikutnya

metode terminasi rantai lebih disukai. Alasan utama adalah metode ini lebih

mudah di automasi. Metode degradasi kimia juga memiliki kelemahan lain karena

menggunakan bahan kimia yang beracun dan berbahaya bagi kesehatan peneliti

yang menggunakan metode tersebut.

Prinsip dasar dari metode dideoksi Sanger adalah terjadinya terminasi rantai

nukleotida sebagai akibat adanya nukleotida dideoksi (ddNTP) (Gumilar, dkk;

2007). Sekuensing DNA menggunakan metode dideoksi atau terminasi rantai

dilakukan pada empat reaksi yang terpisah. Keempat reaksi ini berisi dNTP

sehingga polimerisasi DNA dapat berlangsung. Namun, pada masing-masing

reaksi juga ditambahkan sedikit ddNTP sehingga kadang-kadang polimerisasi

akan terhenti di tempat-tempat tertentu sesuai dengan ddNTP yang ditambahkan.

Jadi, di dalam tiap reaksi akan dihasilkan sejumlah fragmen DNA yang ukurannya

bervariasi tetapi ujung 3’nya selalu berakhir dengan basa yang sama.

Enzim polimerase tidak bisa membedakan antara dNTP dan ddNTP.

Penggabungan ddNTP ke dalam untai nukleotida yang baru disintesis akan

menghentikan sintesis DNA, karena ddNTP tidak memiliki ujung 3′ hidroksil

yang diperlukan untuk mensintesis nukleotida berikutnya. Untuk memulai

20

percobaan sekuensing terminasi rantai, suatu primer oligonukleotida ditempelkan

ke DNA templat. Primer diperlukan karena DNA polimerase tidak dapat memulai

sintesis DNA pada suatu molekul yang seluruhnya untai tunggal. Harus ada

daerah untai ganda pendek untuk memberikan ujung 3′ dimana enzim dapat

menambahkan nukleotida yang baru. Primer juga memiliki peranan penting untuk

menentukan daerah mana pada molekul templat yang akan disekuensing.

Kebanyakan percobaan sekuensing digunakan suatu primer yang universal.

Primer ini komplemen dengan bagian dari DNA vektor yang langsung

bersambungan dengan DNA yang baru. Primer universal yang sama memberikan

sekuens dari setiap bagian DNA yang telah diligasikan ke vektor. Jika DNA yang

disisipkan ke vektor lebih panjang dari 750 pasang basa maka hanya sebagian dari

sekuen yang akan diperoleh.