bab ii data dan analisa 2.1 data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2008-2-00093-ds bab...
TRANSCRIPT
6
BAB II
DATA dan ANALISA
2.1 Data
Data-data yang ada diperoleh melalui:
• Studi Pustaka
• Interview
• Survei Lapangan
• Literatur dari internet.
2.1.1 Sastra Peranakan Tionghoa
Sastra peranakan Tionghoa (Melayu-Tionghoa) yang tumbuh dan
berkembang di Indonesia sebenarnya digolongkan dalam kesusastraan etnis.
Sastra Melayu Tionghoa muncul dan hidup berdampingan dengan sastra etnis
Jawa dan sastra etnis Sunda. Kasus sastra Jawa waktu itu sekitar tahun 1850
sampai 1900 menggunakan media bahasa daerah dan cerita yang dilukiskan
berlatar budaya Jawa. Demikian juga kesusastraan Sunda dengan latar sosial
budaya Sunda yang sangat kental. Dari tiga sastra etnis itu -- Jawa, Sunda dan
Tionghoa -- yang paling cepat dan pesat mencapai bentuk sastra modern adalah
Sastra Melayu Tionghoa. Hal ini disebabkan kesusastraan Jawa dan Sunda
berakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat
di daerah lain. Berbeda dengan sastra Melayu Tionghoa yang menggunakan
7
bahasa Melayu rendah, penyebarannya sangat luas di masyarakat, sebab waktu
itu bahasa Melayu telah menjadi bahasa pergaulan.
Masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak memiliki tradisi kebudayaan
yang kuat. Masyarakat Tionghoa ini adalah kaum imigran yang datang dari Cina.
Keturunan mereka yang lahir dan besar di Indonesia makin lama makin tidak
menguasai bahasa Cina dan kebudayaan nenek moyangnya. Warga etnis
Tionghoa ini tinggal di kota-kota sehingga pengaruh kebudayaan modern
semakin dirasakan. Pengaruh inilah yang kemudian melahirkan karya-karya
sastra yang berkisah seputar pengaruh Barat dipadu dengan budaya Tiongkok
serta budaya lokal, sebagai cermin masyarakat waktu itu.
Masuknya kebudayaan Barat berpengaruh banyak pada warga Tionghoa
waktu itu, sebab mereka sendiri tidak menguasai budaya Jawa dan seni. Di
samping itu, sistem pemerintahan kolonialisme Belanda turut mempercepat
pembauran budaya itu. Pemerintah kolonial zaman itu membagi penduduk
Indonesia atas tiga golongan. Golongan pertama adalah masyarakat Eropa
(Belanda) yang ada di Indonesia. Golongan kedua, masyarakat Tionghoa dan
Timur Asing lainnya. Masyarakat pribumi ditempatkan sebagai golongan ketiga
atau masyarakat terendah.
Pembagian seperti itu memberi peluang lebih besar bagi masyarakat
Tionghoa untuk lebih dekat dengan kekuasaan kolonial. Di samping itu,
kehadiran warga ini sangat diharapkan karena pintar dalam soal berdagang.
Sedangkan masyarakat pribumi menjadi semakin tertindas, terlebih lagi sebagai
masyarakat jajahan. Penataan sistem politik dan ekonomi itu juga berimbas
pada kebudayaan.
8
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee
Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu
Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu
prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh
angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu.
Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal
perkembangan bahasa Indonesia.
Sastra Indonesia Modern yang dimulai tahun 1920-an memiliki
kemiripan dengan tema-teman dalam sastra Melayu Tionghoa. Sastra etnis
Tionghoa ini yang lebih awal menerima pengaruh kebudayaan Eropa, akhirnya
dijumpai juga pada kesusastraan Indonesia modern. Bahkan beberapa sarjana
menilai, sastra Melayu Tionghoa banyak memberikan pengaruh kepada sastra
Indonesia Modern.
Sarjana John B. Kwee dalam disertasinya yang berjudul "Chinesse Malay
Literature of The Peranakan Chinese in Indonesia 1880-1942" seperti dikutip
(Faruk dkk, 200:40-42), menyebutkan banyak pengaruh sastra peranakan
Tionghoa dijumpai dalam sastra Indonesia, seperti tampak dalam cerita
penyerahan penebusan "Sitti Nurbaya" atas utang ayahnya dipengaruhi oleh
"Allah yang Toelen" karya Om Kim Tat. Roman "Percobaan Setia" sama dengan
"Saltima" karya Tio Ie Soei. Roman "Salah Asuhan" sama dengan karya Njoo
Cheong Seng yang berjudul "Nona Olanda sebagai Istri Tionghoa". "Salah Pilih"
sama dengan karya Tan Boen Kim yang berjudul "Nona Iam Im". Dalam cerita
ini terdapat tokoh wanita yang bepekerti buruk karena telah mengecap
pendidikan Belanda. Dalam proses itu, sastra peranakanTionghoa memberi
9
makna yang mendalam. Karya sastra ini sebetulnya memiliki kelebihan dengan
corak bahasa Mandarin atau dialeknya yang memiliki pemahaman lebih dalam
terhadap deskripsi suasana, bau wewangian, dan rasa, seperti tergambar dalam
karya Kwee Tek Hoay. Kedalaman makna dalam deskripsi keindahan alam
adalah salah satu contoh kelebihan sastra peranakan Tionghoa. Itu merupakan
kelebihan yang dimiliki pengarang berlatar budaya Tionghoa yang menjadi
masukan berharga dalam sastra Nusantara. Karya sastra Melayu-Tionghoa juga
penting untuk diterima masyarakat karena makna mendalam yang dimilikinya.
Karya klasik ala Kwee Tik Hoay banyak berpesan tentang ketaatan perempuan,
kembali pada nilai keluarga, dan terutama menghapus kecurigaan antarkelompok
dan persoalan agama. Ini sangat sesuai dengan konteks Indonesia yang
sedang kita jalani.
Setelah Perang Pacific masa produktif pengarang keturunan Tionghoa
telah lewat. Sesudah tahun 1945, bahasa Indonesia mulai resmi dan berkembang
pesar. Para pengarang peranakan yang tidak dapat mengikuti perkembangan ini
menjadi ketinggalan zaman dan timbul jurang pemisah antara mereka dan para
pembaca. Beberapa surat kabar seperti Sin Po dan Keng Po masih teruskan
usahanya tetapi pada awal enam puluhan juga diberhentikan.
Pada masa Orde Baru, segala sesuatu yang berbau Tionghoa dihilangkan.
Pada masa inilah sastra peranakan benar-benar tenggelam dan terlupakan.
Seiring dengan bergantinya kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi,
kebudayaan peranakanTionghoa yang ada di Indonesia pun perlahan diangkat ke
permukaan dan diperkenalkan kepada saudara-saudaranya sebangsa yang berasal
dari etnis lain. Karya sastra peranakan Tionghoa sebetulnya sudah muncul
10
terlebih dahulu dibanding karya sastra angkatan pujangga lama dan pujangga
baru. Akibat kebijakan politik yang meniadakan kebudayaan peranakan ini,
membuat karya-karya sastrawan peranakan Tionghoa kurang dikenal di
negerinya sendiri.
Kini hanya sedikit pengarang keturunan Tionghoa yang masih aktif
menulis. Tulisan mereka sebenarnya tidak masuk kategori ini, karena mereka
menulis dalam bahasa Indonesia dan tidak lagi memakai bahasa Melayu
Tionghoa. Alm. Kho Ping Hoo terkenal dengan cerita-cerita silatnya. Beliau
sangat produktif dan daftar karyanya mencapai hampir dua ratus judul, di
antaranya ada beberapa cerita bukan silat. Yang unik ialah bahwa ia tidak
menterjemahkan dan juga tidak menyadur cerita silat dari bahasa Tionghoa tetapi
membuat karya ciptaan sendiri dengan setting di Tiongkok dan Indonesia zaman
dahulu. Marga T. dan Mira W. adalah dua pengarang wanita yang sangat
produktif dan karya-karya mereka sangat dinikmati oleh pembaca-pembaca
seluruh Indonesia.
2.1.2 Sastrawan Peranakan Tionghoa
2.1.2.1 Kwee Tek Hoay
Kwee Tek Hoay (1885-1951) (KTH) lahir di Bogor 1885, hidup
pada masa di mana pendidikan susah didapat. Setelah putus sekolah,
beliau membantu ayahnya menjajakan tektil dari rumah ke rumah dengan
mengayuh sepeda. Keluarganya tetap menganggap bahwa pendidikan
penting bagi putera-puterinya untuk maju dan memberinya kesempatan
belajar bahasa Belanda dan Inggris.
11
KTH mengawali karirnya di bidang jurnalistik, kemudian
menterjemahkan berbagai karya-karya asing ke dalam bahasa Melayu
agar orang yang tak berkesempatan belajar bahasa asing pun dapat
membaca buku. Beliau pernah mendirikan majalahnya sendiri untuk
menyuarakan pendapatnya yang tak jarang mengundang kontroversi.
KTH amat kritis di bidang pendidikan. Gagasannya bahwa sekolah yang
ideal adalah sekolah yang menitik beratkan pendidikan pada kebudayaan
leluhur, kesenian dan peran praktik. Terlebih untuk kaum perempuan
yang pada masanya mendapatkan posisi yang terjepit antara budaya dan
tradisi. Ia pun menyajikan cerita-cerita roman yang menyemangati dan
mengispirasi kaum perempuan untuk tidak salah memilih jalan hidup,
agar lebih berani menyuarakan hatinya.
KTH menulis karya sastra, kehidupan sosial, dan agama
masyarakat Tionghoa peranakan. Karyanya yang terkenal diantaranya
adalah Bunga Roos dari Tjikembang, Atsal Moelanja Timboel
Pergerakan Tionghoa di Indonesia, dan Drama dari Krakatau.
Kesuskesan KTH sebagai penulis novel dan drama terlihat pada
penulisannya yang selalu disesuaikan dengan konteks zaman. Ia juga
banyak mengadaptasi karya-karya luar kemudian ditulisnya sesuai dengan
latar belakang masyarakat Indonesia. Beliau juga menulis tentang agama
dengan dasar pemikiran yang humanist, komparatif dan historis.
KTH memimpin redaksi Moestika Romans (1932-1942), majalah
Tionghoa peranakan yang berbobot pada masa itu. Tulisannya "Atsal
Moelanja Timboel Pergerakan Tionghoa di Indonesia" yang merupakan
12
serial dalam Moestika Romans edisi Agustus 1936 - Januari 1939 telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh sinolog terkemuka Lea E.
Williams dengan judul "The Origins of the Modern Chinese Movement in
Indonesia"
Sebelum meninggal KTH banyak bergerak di bidang Tridarma,
yaitu ajaran keagamaan menggabungkan 3 ajaran agama Tionghoa (Kong
Hu Chu, Taoisme dan Buddha). Beliau juga mendirikan rumah
crematorium di Pluit, Muara Karang dan menjadi orang pertama yang
dikremasi di sana tahun 1951.
2.1.2.2 Njoo Cheong Seng
Nyoo Cheong Seng (1902-1962) (NCS), mengawali karir
menulisnya di usia yang amat muda. Usia 17 tahun telah menerbitkan
karya pertamanya bersama dengan So Chuan Hong, usia 21 tahun
menjadi editor utama bulanan Interocean. NCS pun telah menulis cerita
bersambung untuk harian Sin Po dan menjadi kontributor untuk majalah
Hoa Po. Hingga pada akhirnya ia meninggalkan jurnalistik dan beralih ke
teater, bergabung dengan kelompok sandiwara serta berkeliling nusantara
juga Asia Tenggara untuk pementasan.
NCS selama hidupnya menulis lebih dari 100 novel dengan
namanya sendiri dan dengan nama Monsieur d’Amour (M. d’Amour),
beberapa naskah sandiwara dan film, serta jumlah cerpen yang tidak
terhitung, karena tersebar di banyak majalah yang tidak semuanya dapat
ditelusuri. Bahasa Melayu dan bahasa Indonesianya pun bagus, lebih
bagus dari penulis-penulis lainnya. NCS juga sutradara teater dan
13
kemudian beralih ke film. Istrinya Fifi Young adalah seorang bintang film
yang sangat terkenal. NCS pernah juga turut dengan rombongan
sandiwara Dardanella, di bawah pimpinan Dewi Dja, tetapi setiba di India
dalam perjalan ke Eropa, mereka kembali ke Indonesia karena ada urusan
keluarga. Cerita-cerita yang disajikan NCS beraneka ragam dan ia sering
menulis cerita-cerita daerah, yang dicatatnya pada saat ia turut dengan
rombongan dan dibawa pulang sebagai oleh-oleh kepada pembacanya. Di
antara cerita-cerita ini adalah Timoeriana (mengenai Timor Timur) Balas
Membalas (mengenai Aceh) Ida Ayu (mengenai Bali) dan Tjinggalabi
Aoeah (Papua). NCS juga terkenal sebagai pengarang serie Gagaklodra,
serial detective yang masih diingat orang banyak.
Selama hidupnya NCS telah empat kali menikah. Dan tak jarang
ia menuangkan kisah sedih ataupun penyesalannya kepada anak istrinya
dalam karya pena. Beberapa karya biografi pun ia buat. Seperti karya
Manusia Sempurna yang Tidak Sempurna – Hoo Eng Djie Sebagai
Manusia yang menceritakan biografi teman sepenanya, Hoo Eng Djie.
NCS meninggal 30 November 1962 tanpa meninggalkan biografi tentang
dirinya satupun.
2.1.2.3 Nio Joe Lan
Nio Joe Lan (1904-1972) (NJL), adalah orang yang pertama kali
menulis tentang kesastraan Melayu Tionghoa. Dialah peletak batu
pertama mengenai kesastraan ini. Beliau seorang sosok yang sangat
mencintai kebersihan. Lahir di Batavia 1904. Keluarganya membuka
sebuah pabrik batik di Palmerah sehingga ia pun dapat menikmati
14
pendidikan di Hollandsch Chineesche School (HCS), sekolah untuk orang
Tionghoa dengan bahasa pengantar Belanda. Setelah tamat melanjutkan
ke Koningin Wilhelmina School (KWS), sebuah sekolah kejuruan.
Setelah tamat, keluarga NJL jatuh miskin. Manajer Belanda yang
menjadi kepercayaan keluarganya kabur begitu saja. NJL pun mulai
bekerja untuk membantu menyekolahkan adik-adiknya. Menjadi editor,
redaktur bahkan menulis riwayat Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) dan
menjadi dosen sejarah Tiongkok di IKIP.
Setelah Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942, banyak
para pemuka Tionghoa yang ditawan dan diperjarakan Jepang, tak
terkecuali NJL. Pengalamannya sebagai tawanan Jepang baik manis
pahitnya dituangkan dalam bentuk tulisan. Tidak banyak tulisan
mengenai zaman Jepang oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia,
khususnya mengenai tawanan dalam penjara dan kamp. Tulisan NJL
tentang pengalamannya sebagai tawanan Jepang NJL dengan gayanya
yang khas penuh detail dan sangat seksama membuat pembaca buku ini
dapat mengetahui dengan detail keadaan kamp-kamp tawanan khusus
orang-orang Tionghoa di jaman Jepang.
NJL tetap menulis sampai 1971. Yang menyebabkannya berhenti
menulis adalah penyakit “Sinofobi”, atau ketakutan terhadap segala
sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan Tionghoa. Padahal, hal
inilah yang banyak diangkatnya kedalam tulisan.
15
2.1.2.4 Tan Hong Boen
Tan Hong Boen (1905-1983) (THB), sang pengarang seribu
wajah. Beliau hanya memiliki satu karya yang ditulis menggunakan
namanya sendiri selama kurun hidupnya. Katya itu adalah Orang
Tionghoa yang terkemoeka di Java (Who’s who) , berupa kumpula data
pribadi sejumlah orang Tionghoa Indonesia. Beliau sering menggunakan
nama pena berbeda pada tiap karyanya, seperti nama Kihadjar
Dharmopralojo, Im Yang Tjoe, bahkan menggunakan nama wanita
Madame d’Eden Lovely.
THB juga banyak menulis tentang macam-macam subyek,
terutama mistik Jawa yang ditekuninya semasa dia masih bekerja sebagai
wartawan dan keliling Jawa naik sepeda. Ia membuat cerita-cerita
mengenai tuyul, gandaruwo, dll, tetapi ia juga menulis cerita-cerita
wayang seperti dipertunjukkan di pesisir utara pulau Jawa.
Karya-karyanya pun tak luput dengan seting setempat, antara lain
Hikayat Raden Patah, putra seorang putrid Tionghoa, Gandaroewo,
Ketesan Air Mata di Padang Lalang, Itoe Bidadari dari Rawa Pening,
dan masih banyak karya lainnya. Bisa dikatakan THB ahli dalam menulis
kisah sedih, tetapi dalam ceritanya ia justru lebih memaparkan
kemiskinan dan menyalahkan pemerintah colonial yang telah
mengeksploitasi rakyat. Ciri khas utama yang ada pada tulisannya adalah
“sensasionil” tetapi melankolis dan kadang menyeramkan.
THB menjadi kaya raya, bukan karena tulisannya, melainkan
karena pabrik obat yang menghasilkan Pil Kita, yang eksistensinya pun
16
masih sampai sekarang. Beliau menikah dengan wanita pilihan orang tua
namun tetap hidup harmonis walaupun tak memiliki anak. Seperti
pengarang peranakan lainnya, THB berhenti menulis pada tahun 1950-an
karena minat masyarakat kepada tulisan mereka mulai memudar dan
menghabiskan masa tua di pabrik farmasinya.
2.1.2.5 Ang Ban Tjiong
Ang Ban Tjiong (1910-1938) (ABT), lahir dan hidup di Makassar.
Pendidikannya adalah Hollandsch Chineesche School (HCS). Kemudian
mengawali karirnya di sebuah majalah hingga penulis harian di Pembrita
Makassar. Tulisannya banyak mengenai mistik, kehidupan spiritual serta
masalah sosial.
ABT menulis cerpen dengan nama samaran Mendoesin. Bakat
artistiknya hampir di segala bidang; musik, melukis dan juga sastra.
Kelemahannya adalah ia suka sekali minum minuman keras yang
menurut pengakuannya dapat memberinya inspirasi untuk menulis dan
berbicara sehingga meninggal dalam usia yang sangat muda (28 tahun).
ABT banyak menghasilkan karya syair dalam campuran bahasa
Melayu dan dialek Makassar. Buku kecil kumpulan syairnya, Pantoen
Melajoe Makassar, diterbitkan sebelum ABT meninggal. Syairnya
menggambarkan realitas. Ia selalu memulai segala sesuatunya dengan
sederhana, penuh kegembiraan dan kemungkinan membahagiakan, tetapi
mengakhirinya dengan serius, dengan menampilkan realitas zamannya
yang sulit dan menyedihkan.
17
2.1.2.6 Hoo Eng Djie
Hoo Eng djie (1906-1962) (HED) juga seorang sastrawan
peranakan asal Makassar. Namun berpendidikan rendah karena
keluarganya miskin. Ia harus bekerja keras untuk memenuhi hidup dan
harus ditolak meminang gadis pujaannya karena miskin.
Semuanya tertumpahkan pada syair-syairnya. Pasrah dan sedih. Ia
pun mulai belajar menyanyi lagu-lagu berbahasa Makassar. Hidupnya
terus mengalir dengan nyanyian,minuman dan pahitnya mengenal wanita.
Pada periode 1930-1941 HED amat produktif dengan
menghasilkan 3000 nyanyian yang di kemudian hari banyak dilantunkan
di berbagai acara perkawinan. Sampai pada akhirnya HED memiliki
orkesnya sendiri dan rekaman. Lagu-lagunya menjadi begitu popular dan
menjadi keharusan dalam pesta-pesta kaum peranakan.
7 Maret 1960 HED meninggal dengan tenang di rumahnya.
Syairnya pun dipahat di batu nisannya. Sampai sekarang nyanyian HED
masih hidup lewat senandung artis-artis masa kini. Syair-syairnya hanya
menggunakan dialek Makassar. Namun ia hanya meninggalkan ratusan
karya yang ditulis tangan dengan aksara Lontara tetapi tidak dicetak dan
diterbitkan sebagai sebuah buku.
2.1.2.7 Ong Pik Hwa
Ong Pik Hwa (OPH) lahir tahun 1906. Ia bershio kuda api, dan
tertuturkan pada kehidupannya yang amat menarik. OPH terlahir dari
keluarga pengusaha mapan. Sedari kecil ia begitu mandiri dan pandai. Ia
18
pun bersekolah dan berpendidikan lebih daripada perempuan umumnya
pada zaman ia dibesarkan.
Setelah menikah,ia menunggalkan anak-anak dan suaminya untuk
memulai karir di Batavia. Ayahnya yang mendukung keputusan OPH itu
memberinya modal untuk berdagang. Namun tetap saja OPH tak puas. Ia
menginginkan pekerjaan yang lebih intelektual.
Pada zamannya, selain dikenal sebagai pebisnis, juga mengelola
penerbitan majalah Fu Len. Majalah ini mungkin pada masa kini dapat
digolongkan sebagai "majalah kaum feminis" lantaran bobot materi
tulisan yang dikandungnya adalah memajukan kaum wanita dalam
wacana kritis walau ruang lingkup sasaran pembacanya adalah wanita
keturunan Tionghoa berpendidikan Belanda. Kendati sasaran pembacanya
adalah wanita berpendidikan Belanda, lewat majalah Fu Len, OPH tetap
nasionalis lantaran mengingatkan mereka pada hakikatnya adalah orang
Timur sehingga tak perlu hidup secara kebarat-baratan (halaman 133).
OPH sendiri sejak 1935 banyak menulis esai tentang kedudukan
perempuan yang masih dipandang rendah dalam bahasa Belanda di
majalah Sin Po. Keterlibatan lainnya sebagai redaktur majalah dan
penulis artikel tentang perempuan membuat namanya dicari tentara
Jepang. Maklum, ia juga menulis artikel politik yang tak simpatik pada
masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dikarenakan latar belakang inilah,
OPH yang dapat disebut sebagai satu-satunya esais dalam buku ini
mendirikan majalah Fu Len.
19
OPH menunggal 1972 dan diperabukan di Jelambar, di
krematorium yang didirikannya. Ia hidup sebagai pebisnis yang handal
dan seorang penulis yang berkarakter.
2.1.2.8 Kho Phing Hoo
Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo (KPH) terlahir di
Sragen, Solo, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926 dari keluarga Tionghoa
peranakan. KPH hanya mencecap bangku sekolah sampai kelas I HIS (
Hollandsche Inlandsche School ), namun minat baca dan keinginannya
untuk menulis tinggi.
Setelah gonta-ganti pekerjaan, akhirnya dia mulai menulis cerita
pendek sejak tahun 1952. Pada tahun 1958, cerpen pertamanya dimuat di
majalah terbesar Indonesia saat itu, Star Weekly. Nampaknya, hal inilah
yang mendorongnya untuk mengembangkan bakat kepenulisannya.
Namun, Ping Hoo tidak memilih menulis cerpen biasa, tapi menciptakan
cerita silat (cersil). Soal persilatan dikenal Ping Hoo dari ayahnya yang
mengajari silat keluarga kepadanya sejak kecil.
Cersil perdananya, Pedang Pusaka Naga Putih, dimuat
bersambung di majalah Teratai, majalah yang didirikannya bersama
beberapa pengarang lain. Cersilnya segera populer, apalagi setelah Ping
Hoo menerbitkannya dalam bentuk buku saku. Penerbit Gema di Solo
adalah penerbitan yang dibangunnya sendiri dan jadi penerbit tunggal
cerita-cerita silat dan novelnya hingga kini.
Berbeda dengan umumnya penulis cersil masa itu, seperti Gan KL
dan OKT, KPH tidak menerjemahkan cersil berbahasa Tionghoa, tapi
20
mengarang sendiri dengan meramu fantasi dan pengetahuannya. Cerita-
ceritanya kebanyakan berlatar sejarah Tiongkok dan Jawa. Meskipun
Ping Hoo tak menguasai bahasa Tionghoa, kesan yang didapat dari
karyanya seakan-akan pengarangnya menguasai betul sejarah dan
kebudayaan Tongkok, meski kadang-kadang keliru dalam penulisan
tahun-tahun dinastinya. Meski menulis cerita-cerita silat Tionghoa,
penulis yang produktif ini tidak bisa membaca dan menulis dalam. Ia
banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan.
Kontribusinya bagi sastra Indonesia khususnya Melayu Tionghoa tidak
dapat diabaikan.
Cersilnya yang yang terkenal adalah "Serial Bu-Kek Sian-Su"
yang terdiri dari 17 judul, dari "Bu-Kek Sian-Su" hingga "Pusaka Pulau
Es". Setiap judul terdiri dari 18 sampai 62 jilid. Dalam serial ini pula
terdapat judul "Pendekar Super Sakti" yang dianggap karyanya yang
paling populer. Selain itu, patut pula disebut serial lain, seperti "Pedang
Kayu Harum" dan "Pendekar Budiman". Sedangkan yang kini Anda
dapat nikmati di Detikcom adalah "Suling Emas" yang merupakan bagian
dari "Serial Bu-Kek Sian-Su".
Untuk karya berlatar Jawa, Ping Hoo terkenal dengan beberapa
karyanya, seperti "Darah Mengalir di Borobudur" dan "Badai di Laut
Selatan". "Darah Mengalir di Borobudur" bahkan pernah dipentaskan
berulangkali dalam bentuk sendratari Jawa dan disiarkan dalam bentuk
sandiwara radio.
21
Namun, pada akhirnya Ping Hoo harus berhenti berkarya. Pada
Jumat, 22 Juli 1994, serangan jantung telah membawanya menghadap
Sang Pencipta secara tiba-tiba.
2.1.3 Kebudayaan Peranakan Tionghoa
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebudayaan
peranakan Tionghoa adalah kebudayaan yang paling kaya di Asia
Tenggara. Beragam seni dan budaya yang dihasilkan di segala bidang
mengandung unsur-unsur campuran yang memiliki suatu semangat
tersendiri. Kebudayaan peranakan telah melahirkan produk-produk
budaya campuran seperti wayang potehi, cokek, dan gambang kromong,
bahkan ada sebagian masyarakat Tionghoa yang giat menekuni
kebudayaan lokal dan sama sekali melupakan kebudayaan leluhur
mereka berasal.
Salah satu pengaruh kebudayaan peranakan Tionghoa yang paling
menonjol dalam karya seni Indonesia adalah seni batik, terutama
yang dinamakan sebagai batik pesisir. Dinamakan pesisir, karena kota-
kota yang menghasilkan kain batik ini seperti Indramyu, Cirebon,
Pekalongan, Lasem dan Tuban terletak pada pesisir utara pantai pulau
Jawa. Dan orang Tionghoa yang datang ke pulau Jawa pertama-tama
dan sebagian besar tinggal di kota-kota pesisir ini dan telah
terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan lokal selama itu.
Setiap kota memiliki corak ragam hias dan keunikan yang berbeda
dan khusus, seperti motif Mega-mendung, Peksi naga liman, Wadasan,
dan Banji pada batik Cirebon, motif batik Encim, Pagi-Sore, dan
22
Sam Pek Eng Tay yang bermotifkan kupu-kupu, sebagai lambang
kesetiaan dan pernikahan bahagia pada batik Pekalongan dan motif
Tiga negeri, Bangbiru, Lok-Chan pada batik Lasem. Batik Lasem
adalah salah satu batik pesisir yang indah dan bernilai artistik,
serta digemari banyak orang, dalam dan luar negeri.
Tak hanya pada batik dan kebaya encim, pada cara hidup dan
kebiasaan keseharian kaum peranakan pun mengandung sintesa budaya
yang unik dan kaya. Banyak dari mereka masih mempertahankan tradisi
budaya China yang disesuaikan dengan tanah Indonesia, seperti perayaan
Capgome, midodaren, dan banyak lagi. Tak ketinggalan kepercayaan-
kepercayaan kuno yang dipercaya membawa keberuntungan, seperti
angka 8, warna merah ataupun hal-hal yang dipercaya membawa sial.
2.1.4 Spesifikasi Buku
2.1.4.1 Buku Biografi Delapan Penulis Peranakan
Buku “DARI PENJAJA TEKSTIL SAMPAI SUPERWOMAN” :
BIOGRAFI DELAPAN PENULIS PERANAKAN sebenarnya sudah
diterbitkan kepada masyarakat umum. Buku ini ditulis oleh peneliti
kesusastraan Melayu-Tionghoa, Myra Sidharta, setebal 162 halaman
dengan spesifikasi 14x21cm BW (Black and White). Buku ini diterbitkan
oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) September 2004 dan dijual
dengan harga Rp. 27.500,-. Buku ini dikemas dengan bahasa yang empuk
dan amat nyaman untuk dibaca sekaligus cover yang cukup menarik.
Buku ini adalah hasil penelitian Myra Sidharta selama bertahun-tahun
23
pergi berkelana ke berbagai macam tempat untuk menelusuri sastra
peranakan Tionghoa.
Sebagai sebuah biografi dan sebuah karya sastra, buku ini
memilki keunikan tersendiri dibandingkan dengan buku biografi yang
selama ini kita kenal. Selain temanya yang masih asing di telinga
masyarakat luas, dunia sastra sendiri pun bisa dikatakan kurang komersil.
Namun keunikan dari kekayaan yang dimiliki dari kebudayaan peranakan
amatlah kuat dan patut untuk mendapat perhatian lebih.
Buku yang berorientasi pada teks ini hanya menggunakan sedikit
gambar dan foto sebagai visualnya. Walaupun layoutnya sudah dapat
dikatakan mendukung, tetapi tetap saja secara sekilat terlihat
membosankan karena terlalu banyak teks, tanpa “melihat” bahwa esai
yang disajikan begitu berbobot, menggugah dan menginspirasi.
2.1.4.2 Buku Seri Esai “DARI PENJAJA TEKSTIL SAMPAI
SUPERWOMAN” : BIOGRAFI DELAPAN PENULIS
PERANAKAN
Buku esai “DARI PENJAJA TEKSTIL SAMPAI
SUPERWOMAN” : BIOGRAFI DELAPAN PENULIS PERANAKAN
yang baru diterbitkan dalam delapan seri. Masing-masing penulis
peranakan akan diterbitkan dalam satu buku. Diharapkan dengan
perancangan ulang buku esai ini secara seri akan lebih menarik minat
pembeli dan pembaca di mana nantinya kedelapan buku bisa menjadi
sebuah koleksi dan harga buku tidak menjadi kendala karena masing-
24
masing buku dijual dalam harga yang terjangkau dibandingkan menjadi
satu buku yang dijual jauh lebih mahal.
Berikut ini merupakan data mengenai rencana penyusunan dan
pembuatan desian buku yang baru, antara lain :
Penulis : Myra Sidharta
Desainer : Marryana Sutaryo
Ilustrasi : Marryana Sutaryo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Spesifikasi : 18 x 23 cm
Full Color
Tebal : 80 halaman (masing-masing buku)
Harga : Rp 125 000,- (masing-masing buku)
Struktur Buku :
a. Halaman judul dalam
b. Persembahan
c. Daftar Isi
d. Ucapan Terimakasih
e. Pengantar
f. Isi buku…
Seri Buku :
1. Kwee Tek Hoay : Dari Penjaja Tekstil Menjadi
Pendekar Pena
2. Njoo Cheong Seng : Penulis Novel, Drama dan Syair
3. Nio Joe Lan : Dalam Tawanan Jepang
25
4. Tan Hong Boen : Pengarang Seribu Wajah
5. Ang Ban Tjiong : Syair dan Pantun Mabuk Cinta
6. Hoo Eng Djie : Syair dan Pantun Mabuk Cinta
7. Ong Pik Hwa : Superwoman
8. Kho Ping Hoo : Jurus-Jurus Asmaraman Sukowati
2.1.4.3 Data Penerbit
Adalah sebuah penerbit buku di Indonesia yang berdiri sejak
1 Juni 1997. Begitu banyak buku-buku terkenal yang menjadi terbitan
KPG, antara lain novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer, novel-novel
karya Ayu Utami, seri kesastraan Melayu-Tionghoa, buku-buku literatur
dari para penulis ternama hingga seri kartun Benny and Mice.
2.1.4.4 Buku Pembanding Sejenis
Beberapa buku yang bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam
pengumpulan data yang berkenaan dengan rencana pembuatan desain
layout buku seri esai“DARI PENJAJA TEKSTIL SAMPAI
SUPERWOMAN” : BIOGRAFI DELAPAN PENULIS PERANAKAN,
antara lain :
26
• Buku Biografi Sampoerna
Judul Buku : “The Sampoerna Legacy :
A Family and Business History”
Pengarang : Diana Hollingsworth (juga illustrator)
Penerbit : Sampoerna Foundation
Spesifikasi : 14x18,5 cm
Full Color
Tebal : 212 halaman
Harga : Rp. 270.000,-
Terbit : 2007
2.1.4.5 Buku Kompetitor
Beberapa buku yang dirasa menjadi competitor yang sekarang
sudah ada di pasaran :
• Buku Biografi Anne Avantie
Judul Buku : “Aku, Anugrah dan Kebaya”
27
Pengarang : Alberthiene Endah
Penerbit : PT Gramedia Pusataka Utama
Spesifikasi : 17x23 cm
Full Color
Tebal : 221 halaman
Harga : Rp. 175.000,-
Terbit : Mei 2007
• Buku Biografi Chrisye
Judul Buku : “Sebuah Memoar Musikal”
Pengarang : Chrisye dan Alberthiene Endah
Penerbit : PT Gramedia Pusataka Utama
Spesifikasi : 15x27 cm
Full Color
Tebal : 276 halaman
Harga : Rp. 95.000,- (softcover)
Terbit : Februari 2007
• Buku Biografi Yuni Shara
Judul Buku : “Yuni Shara : 35 Cangkir Kopi”
Pengarang : Tamara Geraldine dan Darwis Triadi
28
Penerbit : PT Gramedia Pusataka Utama
Spesifikasi : 14x24 cm
Full Color
Tebal : 176 halaman
Harga : Rp. 90.000,- (softcover)
Terbit : Juni 2007
2.1.5 Target Audience
Target audience buku seri esai sastrawan peranakan Tionghoa ditijukan
pada masyarakat yang tertarik pada dunia seni pada umumnya dan seni sastra
secara khusus. Terlebih bagi mereka yang menghargai budaya Indonesia,
termasuk budaya peranakan Tionghoa.
2.2 Analisa
2.2.1 Strenght
• Budaya peranakan amat unik karena amat kaya dan terbentuk dari
berbagai macam kebudayaan, baik kebudayaan Tionghoa maupun
para penjajah dan kebudayaan lokal setempat.
• Adanya buku biografi delapan sastrawan peranakan ini
menjadikannya sebagai salah satu media komunikasi antar budaya
sekaligus antar bangsa.
29
2.2.2 Weakness
• Masih banyaknya masyarakat yang kurang meminati dan menikmati
bidang sastra sebagai seni yang kerap dianggap membosankan
karena terbatas oleh tulisan semata.
• Target dari buku esai sasatrawan peranakan Tionghoa sendiri sangat
terbatas, yang terdiri dari kalangan kecil saja.
2.2.3 Opportunity
• Kebangkitan budaya peranakan Tionghoa semenjak tahun 2000-an
(setelah era reformasi) membuat masyarakat mulai meminati segala
sesuatu yang berbau etnis Tionghoa, tak terkecuali sastra.
• Bangsa Indonesia dewasa ini banyak menerima ancaman dari dalam
maupun luar negri tentang kepemilikan sebuah budaya. Dengan
meningkatkan minat pada budaya peranakan, termasuk juga
menyelamatkan salah satu khasanah budaya bangsa.
2.2.4 Threat
• Tema sastra peranakan dianggap terlalu berat bagi sebagian
masyarakat.
• Buku biografi sastrawan peranakan nyaris tak pernah terdengar di
telinga pembaca umum, sehingga menjadi sesuatu yang sangat baru
dan asing.