bab ii data dan analisa 2.1 data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2008-2-00093-ds bab...

24
6 BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data Data-data yang ada diperoleh melalui: Studi Pustaka Interview Survei Lapangan Literatur dari internet. 2.1.1 Sastra Peranakan Tionghoa Sastra peranakan Tionghoa (Melayu-Tionghoa) yang tumbuh dan berkembang di Indonesia sebenarnya digolongkan dalam kesusastraan etnis. Sastra Melayu Tionghoa muncul dan hidup berdampingan dengan sastra etnis Jawa dan sastra etnis Sunda. Kasus sastra Jawa waktu itu sekitar tahun 1850 sampai 1900 menggunakan media bahasa daerah dan cerita yang dilukiskan berlatar budaya Jawa. Demikian juga kesusastraan Sunda dengan latar sosial budaya Sunda yang sangat kental. Dari tiga sastra etnis itu -- Jawa, Sunda dan Tionghoa -- yang paling cepat dan pesat mencapai bentuk sastra modern adalah Sastra Melayu Tionghoa. Hal ini disebabkan kesusastraan Jawa dan Sunda berakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat di daerah lain. Berbeda dengan sastra Melayu Tionghoa yang menggunakan

Upload: lyhanh

Post on 01-Apr-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

6

BAB II

DATA dan ANALISA

2.1 Data

Data-data yang ada diperoleh melalui:

• Studi Pustaka

• Interview

• Survei Lapangan

• Literatur dari internet.

2.1.1 Sastra Peranakan Tionghoa

Sastra peranakan Tionghoa (Melayu-Tionghoa) yang tumbuh dan

berkembang di Indonesia sebenarnya digolongkan dalam kesusastraan etnis.

Sastra Melayu Tionghoa muncul dan hidup berdampingan dengan sastra etnis

Jawa dan sastra etnis Sunda. Kasus sastra Jawa waktu itu sekitar tahun 1850

sampai 1900 menggunakan media bahasa daerah dan cerita yang dilukiskan

berlatar budaya Jawa. Demikian juga kesusastraan Sunda dengan latar sosial

budaya Sunda yang sangat kental. Dari tiga sastra etnis itu -- Jawa, Sunda dan

Tionghoa -- yang paling cepat dan pesat mencapai bentuk sastra modern adalah

Sastra Melayu Tionghoa. Hal ini disebabkan kesusastraan Jawa dan Sunda

berakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

di daerah lain. Berbeda dengan sastra Melayu Tionghoa yang menggunakan

Page 2: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

7

bahasa Melayu rendah, penyebarannya sangat luas di masyarakat, sebab waktu

itu bahasa Melayu telah menjadi bahasa pergaulan.

Masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak memiliki tradisi kebudayaan

yang kuat. Masyarakat Tionghoa ini adalah kaum imigran yang datang dari Cina.

Keturunan mereka yang lahir dan besar di Indonesia makin lama makin tidak

menguasai bahasa Cina dan kebudayaan nenek moyangnya. Warga etnis

Tionghoa ini tinggal di kota-kota sehingga pengaruh kebudayaan modern

semakin dirasakan. Pengaruh inilah yang kemudian melahirkan karya-karya

sastra yang berkisah seputar pengaruh Barat dipadu dengan budaya Tiongkok

serta budaya lokal, sebagai cermin masyarakat waktu itu.

Masuknya kebudayaan Barat berpengaruh banyak pada warga Tionghoa

waktu itu, sebab mereka sendiri tidak menguasai budaya Jawa dan seni. Di

samping itu, sistem pemerintahan kolonialisme Belanda turut mempercepat

pembauran budaya itu. Pemerintah kolonial zaman itu membagi penduduk

Indonesia atas tiga golongan. Golongan pertama adalah masyarakat Eropa

(Belanda) yang ada di Indonesia. Golongan kedua, masyarakat Tionghoa dan

Timur Asing lainnya. Masyarakat pribumi ditempatkan sebagai golongan ketiga

atau masyarakat terendah.

Pembagian seperti itu memberi peluang lebih besar bagi masyarakat

Tionghoa untuk lebih dekat dengan kekuasaan kolonial. Di samping itu,

kehadiran warga ini sangat diharapkan karena pintar dalam soal berdagang.

Sedangkan masyarakat pribumi menjadi semakin tertindas, terlebih lagi sebagai

masyarakat jajahan. Penataan sistem politik dan ekonomi itu juga berimbas

pada kebudayaan.

Page 3: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

8

Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee

Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu

Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu

prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh

angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu.

Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal

perkembangan bahasa Indonesia.

Sastra Indonesia Modern yang dimulai tahun 1920-an memiliki

kemiripan dengan tema-teman dalam sastra Melayu Tionghoa. Sastra etnis

Tionghoa ini yang lebih awal menerima pengaruh kebudayaan Eropa, akhirnya

dijumpai juga pada kesusastraan Indonesia modern. Bahkan beberapa sarjana

menilai, sastra Melayu Tionghoa banyak memberikan pengaruh kepada sastra

Indonesia Modern.

Sarjana John B. Kwee dalam disertasinya yang berjudul "Chinesse Malay

Literature of The Peranakan Chinese in Indonesia 1880-1942" seperti dikutip

(Faruk dkk, 200:40-42), menyebutkan banyak pengaruh sastra peranakan

Tionghoa dijumpai dalam sastra Indonesia, seperti tampak dalam cerita

penyerahan penebusan "Sitti Nurbaya" atas utang ayahnya dipengaruhi oleh

"Allah yang Toelen" karya Om Kim Tat. Roman "Percobaan Setia" sama dengan

"Saltima" karya Tio Ie Soei. Roman "Salah Asuhan" sama dengan karya Njoo

Cheong Seng yang berjudul "Nona Olanda sebagai Istri Tionghoa". "Salah Pilih"

sama dengan karya Tan Boen Kim yang berjudul "Nona Iam Im". Dalam cerita

ini terdapat tokoh wanita yang bepekerti buruk karena telah mengecap

pendidikan Belanda. Dalam proses itu, sastra peranakanTionghoa memberi

Page 4: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

9

makna yang mendalam. Karya sastra ini sebetulnya memiliki kelebihan dengan

corak bahasa Mandarin atau dialeknya yang memiliki pemahaman lebih dalam

terhadap deskripsi suasana, bau wewangian, dan rasa, seperti tergambar dalam

karya Kwee Tek Hoay. Kedalaman makna dalam deskripsi keindahan alam

adalah salah satu contoh kelebihan sastra peranakan Tionghoa. Itu merupakan

kelebihan yang dimiliki pengarang berlatar budaya Tionghoa yang menjadi

masukan berharga dalam sastra Nusantara. Karya sastra Melayu-Tionghoa juga

penting untuk diterima masyarakat karena makna mendalam yang dimilikinya.

Karya klasik ala Kwee Tik Hoay banyak berpesan tentang ketaatan perempuan,

kembali pada nilai keluarga, dan terutama menghapus kecurigaan antarkelompok

dan persoalan agama. Ini sangat sesuai dengan konteks Indonesia yang

sedang kita jalani.

Setelah Perang Pacific masa produktif pengarang keturunan Tionghoa

telah lewat. Sesudah tahun 1945, bahasa Indonesia mulai resmi dan berkembang

pesar. Para pengarang peranakan yang tidak dapat mengikuti perkembangan ini

menjadi ketinggalan zaman dan timbul jurang pemisah antara mereka dan para

pembaca. Beberapa surat kabar seperti Sin Po dan Keng Po masih teruskan

usahanya tetapi pada awal enam puluhan juga diberhentikan.

Pada masa Orde Baru, segala sesuatu yang berbau Tionghoa dihilangkan.

Pada masa inilah sastra peranakan benar-benar tenggelam dan terlupakan.

Seiring dengan bergantinya kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi,

kebudayaan peranakanTionghoa yang ada di Indonesia pun perlahan diangkat ke

permukaan dan diperkenalkan kepada saudara-saudaranya sebangsa yang berasal

dari etnis lain. Karya sastra peranakan Tionghoa sebetulnya sudah muncul

Page 5: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

10

terlebih dahulu dibanding karya sastra angkatan pujangga lama dan pujangga

baru. Akibat kebijakan politik yang meniadakan kebudayaan peranakan ini,

membuat karya-karya sastrawan peranakan Tionghoa kurang dikenal di

negerinya sendiri.

Kini hanya sedikit pengarang keturunan Tionghoa yang masih aktif

menulis. Tulisan mereka sebenarnya tidak masuk kategori ini, karena mereka

menulis dalam bahasa Indonesia dan tidak lagi memakai bahasa Melayu

Tionghoa. Alm. Kho Ping Hoo terkenal dengan cerita-cerita silatnya. Beliau

sangat produktif dan daftar karyanya mencapai hampir dua ratus judul, di

antaranya ada beberapa cerita bukan silat. Yang unik ialah bahwa ia tidak

menterjemahkan dan juga tidak menyadur cerita silat dari bahasa Tionghoa tetapi

membuat karya ciptaan sendiri dengan setting di Tiongkok dan Indonesia zaman

dahulu. Marga T. dan Mira W. adalah dua pengarang wanita yang sangat

produktif dan karya-karya mereka sangat dinikmati oleh pembaca-pembaca

seluruh Indonesia.

2.1.2 Sastrawan Peranakan Tionghoa

2.1.2.1 Kwee Tek Hoay

Kwee Tek Hoay (1885-1951) (KTH) lahir di Bogor 1885, hidup

pada masa di mana pendidikan susah didapat. Setelah putus sekolah,

beliau membantu ayahnya menjajakan tektil dari rumah ke rumah dengan

mengayuh sepeda. Keluarganya tetap menganggap bahwa pendidikan

penting bagi putera-puterinya untuk maju dan memberinya kesempatan

belajar bahasa Belanda dan Inggris.

Page 6: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

11

KTH mengawali karirnya di bidang jurnalistik, kemudian

menterjemahkan berbagai karya-karya asing ke dalam bahasa Melayu

agar orang yang tak berkesempatan belajar bahasa asing pun dapat

membaca buku. Beliau pernah mendirikan majalahnya sendiri untuk

menyuarakan pendapatnya yang tak jarang mengundang kontroversi.

KTH amat kritis di bidang pendidikan. Gagasannya bahwa sekolah yang

ideal adalah sekolah yang menitik beratkan pendidikan pada kebudayaan

leluhur, kesenian dan peran praktik. Terlebih untuk kaum perempuan

yang pada masanya mendapatkan posisi yang terjepit antara budaya dan

tradisi. Ia pun menyajikan cerita-cerita roman yang menyemangati dan

mengispirasi kaum perempuan untuk tidak salah memilih jalan hidup,

agar lebih berani menyuarakan hatinya.

KTH menulis karya sastra, kehidupan sosial, dan agama

masyarakat Tionghoa peranakan. Karyanya yang terkenal diantaranya

adalah Bunga Roos dari Tjikembang, Atsal Moelanja Timboel

Pergerakan Tionghoa di Indonesia, dan Drama dari Krakatau.

Kesuskesan KTH sebagai penulis novel dan drama terlihat pada

penulisannya yang selalu disesuaikan dengan konteks zaman. Ia juga

banyak mengadaptasi karya-karya luar kemudian ditulisnya sesuai dengan

latar belakang masyarakat Indonesia. Beliau juga menulis tentang agama

dengan dasar pemikiran yang humanist, komparatif dan historis.

KTH memimpin redaksi Moestika Romans (1932-1942), majalah

Tionghoa peranakan yang berbobot pada masa itu. Tulisannya "Atsal

Moelanja Timboel Pergerakan Tionghoa di Indonesia" yang merupakan

Page 7: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

12

serial dalam Moestika Romans edisi Agustus 1936 - Januari 1939 telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh sinolog terkemuka Lea E.

Williams dengan judul "The Origins of the Modern Chinese Movement in

Indonesia"

Sebelum meninggal KTH banyak bergerak di bidang Tridarma,

yaitu ajaran keagamaan menggabungkan 3 ajaran agama Tionghoa (Kong

Hu Chu, Taoisme dan Buddha). Beliau juga mendirikan rumah

crematorium di Pluit, Muara Karang dan menjadi orang pertama yang

dikremasi di sana tahun 1951.

2.1.2.2 Njoo Cheong Seng

Nyoo Cheong Seng (1902-1962) (NCS), mengawali karir

menulisnya di usia yang amat muda. Usia 17 tahun telah menerbitkan

karya pertamanya bersama dengan So Chuan Hong, usia 21 tahun

menjadi editor utama bulanan Interocean. NCS pun telah menulis cerita

bersambung untuk harian Sin Po dan menjadi kontributor untuk majalah

Hoa Po. Hingga pada akhirnya ia meninggalkan jurnalistik dan beralih ke

teater, bergabung dengan kelompok sandiwara serta berkeliling nusantara

juga Asia Tenggara untuk pementasan.

NCS selama hidupnya menulis lebih dari 100 novel dengan

namanya sendiri dan dengan nama Monsieur d’Amour (M. d’Amour),

beberapa naskah sandiwara dan film, serta jumlah cerpen yang tidak

terhitung, karena tersebar di banyak majalah yang tidak semuanya dapat

ditelusuri. Bahasa Melayu dan bahasa Indonesianya pun bagus, lebih

bagus dari penulis-penulis lainnya. NCS juga sutradara teater dan

Page 8: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

13

kemudian beralih ke film. Istrinya Fifi Young adalah seorang bintang film

yang sangat terkenal. NCS pernah juga turut dengan rombongan

sandiwara Dardanella, di bawah pimpinan Dewi Dja, tetapi setiba di India

dalam perjalan ke Eropa, mereka kembali ke Indonesia karena ada urusan

keluarga. Cerita-cerita yang disajikan NCS beraneka ragam dan ia sering

menulis cerita-cerita daerah, yang dicatatnya pada saat ia turut dengan

rombongan dan dibawa pulang sebagai oleh-oleh kepada pembacanya. Di

antara cerita-cerita ini adalah Timoeriana (mengenai Timor Timur) Balas

Membalas (mengenai Aceh) Ida Ayu (mengenai Bali) dan Tjinggalabi

Aoeah (Papua). NCS juga terkenal sebagai pengarang serie Gagaklodra,

serial detective yang masih diingat orang banyak.

Selama hidupnya NCS telah empat kali menikah. Dan tak jarang

ia menuangkan kisah sedih ataupun penyesalannya kepada anak istrinya

dalam karya pena. Beberapa karya biografi pun ia buat. Seperti karya

Manusia Sempurna yang Tidak Sempurna – Hoo Eng Djie Sebagai

Manusia yang menceritakan biografi teman sepenanya, Hoo Eng Djie.

NCS meninggal 30 November 1962 tanpa meninggalkan biografi tentang

dirinya satupun.

2.1.2.3 Nio Joe Lan

Nio Joe Lan (1904-1972) (NJL), adalah orang yang pertama kali

menulis tentang kesastraan Melayu Tionghoa. Dialah peletak batu

pertama mengenai kesastraan ini. Beliau seorang sosok yang sangat

mencintai kebersihan. Lahir di Batavia 1904. Keluarganya membuka

sebuah pabrik batik di Palmerah sehingga ia pun dapat menikmati

Page 9: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

14

pendidikan di Hollandsch Chineesche School (HCS), sekolah untuk orang

Tionghoa dengan bahasa pengantar Belanda. Setelah tamat melanjutkan

ke Koningin Wilhelmina School (KWS), sebuah sekolah kejuruan.

Setelah tamat, keluarga NJL jatuh miskin. Manajer Belanda yang

menjadi kepercayaan keluarganya kabur begitu saja. NJL pun mulai

bekerja untuk membantu menyekolahkan adik-adiknya. Menjadi editor,

redaktur bahkan menulis riwayat Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) dan

menjadi dosen sejarah Tiongkok di IKIP.

Setelah Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942, banyak

para pemuka Tionghoa yang ditawan dan diperjarakan Jepang, tak

terkecuali NJL. Pengalamannya sebagai tawanan Jepang baik manis

pahitnya dituangkan dalam bentuk tulisan. Tidak banyak tulisan

mengenai zaman Jepang oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia,

khususnya mengenai tawanan dalam penjara dan kamp. Tulisan NJL

tentang pengalamannya sebagai tawanan Jepang NJL dengan gayanya

yang khas penuh detail dan sangat seksama membuat pembaca buku ini

dapat mengetahui dengan detail keadaan kamp-kamp tawanan khusus

orang-orang Tionghoa di jaman Jepang.

NJL tetap menulis sampai 1971. Yang menyebabkannya berhenti

menulis adalah penyakit “Sinofobi”, atau ketakutan terhadap segala

sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan Tionghoa. Padahal, hal

inilah yang banyak diangkatnya kedalam tulisan.

Page 10: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

15

2.1.2.4 Tan Hong Boen

Tan Hong Boen (1905-1983) (THB), sang pengarang seribu

wajah. Beliau hanya memiliki satu karya yang ditulis menggunakan

namanya sendiri selama kurun hidupnya. Katya itu adalah Orang

Tionghoa yang terkemoeka di Java (Who’s who) , berupa kumpula data

pribadi sejumlah orang Tionghoa Indonesia. Beliau sering menggunakan

nama pena berbeda pada tiap karyanya, seperti nama Kihadjar

Dharmopralojo, Im Yang Tjoe, bahkan menggunakan nama wanita

Madame d’Eden Lovely.

THB juga banyak menulis tentang macam-macam subyek,

terutama mistik Jawa yang ditekuninya semasa dia masih bekerja sebagai

wartawan dan keliling Jawa naik sepeda. Ia membuat cerita-cerita

mengenai tuyul, gandaruwo, dll, tetapi ia juga menulis cerita-cerita

wayang seperti dipertunjukkan di pesisir utara pulau Jawa.

Karya-karyanya pun tak luput dengan seting setempat, antara lain

Hikayat Raden Patah, putra seorang putrid Tionghoa, Gandaroewo,

Ketesan Air Mata di Padang Lalang, Itoe Bidadari dari Rawa Pening,

dan masih banyak karya lainnya. Bisa dikatakan THB ahli dalam menulis

kisah sedih, tetapi dalam ceritanya ia justru lebih memaparkan

kemiskinan dan menyalahkan pemerintah colonial yang telah

mengeksploitasi rakyat. Ciri khas utama yang ada pada tulisannya adalah

“sensasionil” tetapi melankolis dan kadang menyeramkan.

THB menjadi kaya raya, bukan karena tulisannya, melainkan

karena pabrik obat yang menghasilkan Pil Kita, yang eksistensinya pun

Page 11: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

16

masih sampai sekarang. Beliau menikah dengan wanita pilihan orang tua

namun tetap hidup harmonis walaupun tak memiliki anak. Seperti

pengarang peranakan lainnya, THB berhenti menulis pada tahun 1950-an

karena minat masyarakat kepada tulisan mereka mulai memudar dan

menghabiskan masa tua di pabrik farmasinya.

2.1.2.5 Ang Ban Tjiong

Ang Ban Tjiong (1910-1938) (ABT), lahir dan hidup di Makassar.

Pendidikannya adalah Hollandsch Chineesche School (HCS). Kemudian

mengawali karirnya di sebuah majalah hingga penulis harian di Pembrita

Makassar. Tulisannya banyak mengenai mistik, kehidupan spiritual serta

masalah sosial.

ABT menulis cerpen dengan nama samaran Mendoesin. Bakat

artistiknya hampir di segala bidang; musik, melukis dan juga sastra.

Kelemahannya adalah ia suka sekali minum minuman keras yang

menurut pengakuannya dapat memberinya inspirasi untuk menulis dan

berbicara sehingga meninggal dalam usia yang sangat muda (28 tahun).

ABT banyak menghasilkan karya syair dalam campuran bahasa

Melayu dan dialek Makassar. Buku kecil kumpulan syairnya, Pantoen

Melajoe Makassar, diterbitkan sebelum ABT meninggal. Syairnya

menggambarkan realitas. Ia selalu memulai segala sesuatunya dengan

sederhana, penuh kegembiraan dan kemungkinan membahagiakan, tetapi

mengakhirinya dengan serius, dengan menampilkan realitas zamannya

yang sulit dan menyedihkan.

Page 12: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

17

2.1.2.6 Hoo Eng Djie

Hoo Eng djie (1906-1962) (HED) juga seorang sastrawan

peranakan asal Makassar. Namun berpendidikan rendah karena

keluarganya miskin. Ia harus bekerja keras untuk memenuhi hidup dan

harus ditolak meminang gadis pujaannya karena miskin.

Semuanya tertumpahkan pada syair-syairnya. Pasrah dan sedih. Ia

pun mulai belajar menyanyi lagu-lagu berbahasa Makassar. Hidupnya

terus mengalir dengan nyanyian,minuman dan pahitnya mengenal wanita.

Pada periode 1930-1941 HED amat produktif dengan

menghasilkan 3000 nyanyian yang di kemudian hari banyak dilantunkan

di berbagai acara perkawinan. Sampai pada akhirnya HED memiliki

orkesnya sendiri dan rekaman. Lagu-lagunya menjadi begitu popular dan

menjadi keharusan dalam pesta-pesta kaum peranakan.

7 Maret 1960 HED meninggal dengan tenang di rumahnya.

Syairnya pun dipahat di batu nisannya. Sampai sekarang nyanyian HED

masih hidup lewat senandung artis-artis masa kini. Syair-syairnya hanya

menggunakan dialek Makassar. Namun ia hanya meninggalkan ratusan

karya yang ditulis tangan dengan aksara Lontara tetapi tidak dicetak dan

diterbitkan sebagai sebuah buku.

2.1.2.7 Ong Pik Hwa

Ong Pik Hwa (OPH) lahir tahun 1906. Ia bershio kuda api, dan

tertuturkan pada kehidupannya yang amat menarik. OPH terlahir dari

keluarga pengusaha mapan. Sedari kecil ia begitu mandiri dan pandai. Ia

Page 13: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

18

pun bersekolah dan berpendidikan lebih daripada perempuan umumnya

pada zaman ia dibesarkan.

Setelah menikah,ia menunggalkan anak-anak dan suaminya untuk

memulai karir di Batavia. Ayahnya yang mendukung keputusan OPH itu

memberinya modal untuk berdagang. Namun tetap saja OPH tak puas. Ia

menginginkan pekerjaan yang lebih intelektual.

Pada zamannya, selain dikenal sebagai pebisnis, juga mengelola

penerbitan majalah Fu Len. Majalah ini mungkin pada masa kini dapat

digolongkan sebagai "majalah kaum feminis" lantaran bobot materi

tulisan yang dikandungnya adalah memajukan kaum wanita dalam

wacana kritis walau ruang lingkup sasaran pembacanya adalah wanita

keturunan Tionghoa berpendidikan Belanda. Kendati sasaran pembacanya

adalah wanita berpendidikan Belanda, lewat majalah Fu Len, OPH tetap

nasionalis lantaran mengingatkan mereka pada hakikatnya adalah orang

Timur sehingga tak perlu hidup secara kebarat-baratan (halaman 133).

OPH sendiri sejak 1935 banyak menulis esai tentang kedudukan

perempuan yang masih dipandang rendah dalam bahasa Belanda di

majalah Sin Po. Keterlibatan lainnya sebagai redaktur majalah dan

penulis artikel tentang perempuan membuat namanya dicari tentara

Jepang. Maklum, ia juga menulis artikel politik yang tak simpatik pada

masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dikarenakan latar belakang inilah,

OPH yang dapat disebut sebagai satu-satunya esais dalam buku ini

mendirikan majalah Fu Len.

Page 14: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

19

OPH menunggal 1972 dan diperabukan di Jelambar, di

krematorium yang didirikannya. Ia hidup sebagai pebisnis yang handal

dan seorang penulis yang berkarakter.

2.1.2.8 Kho Phing Hoo

Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo (KPH) terlahir di

Sragen, Solo, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926 dari keluarga Tionghoa

peranakan. KPH hanya mencecap bangku sekolah sampai kelas I HIS (

Hollandsche Inlandsche School ), namun minat baca dan keinginannya

untuk menulis tinggi.

Setelah gonta-ganti pekerjaan, akhirnya dia mulai menulis cerita

pendek sejak tahun 1952. Pada tahun 1958, cerpen pertamanya dimuat di

majalah terbesar Indonesia saat itu, Star Weekly. Nampaknya, hal inilah

yang mendorongnya untuk mengembangkan bakat kepenulisannya.

Namun, Ping Hoo tidak memilih menulis cerpen biasa, tapi menciptakan

cerita silat (cersil). Soal persilatan dikenal Ping Hoo dari ayahnya yang

mengajari silat keluarga kepadanya sejak kecil.

Cersil perdananya, Pedang Pusaka Naga Putih, dimuat

bersambung di majalah Teratai, majalah yang didirikannya bersama

beberapa pengarang lain. Cersilnya segera populer, apalagi setelah Ping

Hoo menerbitkannya dalam bentuk buku saku. Penerbit Gema di Solo

adalah penerbitan yang dibangunnya sendiri dan jadi penerbit tunggal

cerita-cerita silat dan novelnya hingga kini.

Berbeda dengan umumnya penulis cersil masa itu, seperti Gan KL

dan OKT, KPH tidak menerjemahkan cersil berbahasa Tionghoa, tapi

Page 15: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

20

mengarang sendiri dengan meramu fantasi dan pengetahuannya. Cerita-

ceritanya kebanyakan berlatar sejarah Tiongkok dan Jawa. Meskipun

Ping Hoo tak menguasai bahasa Tionghoa, kesan yang didapat dari

karyanya seakan-akan pengarangnya menguasai betul sejarah dan

kebudayaan Tongkok, meski kadang-kadang keliru dalam penulisan

tahun-tahun dinastinya. Meski menulis cerita-cerita silat Tionghoa,

penulis yang produktif ini tidak bisa membaca dan menulis dalam. Ia

banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan.

Kontribusinya bagi sastra Indonesia khususnya Melayu Tionghoa tidak

dapat diabaikan.

Cersilnya yang yang terkenal adalah "Serial Bu-Kek Sian-Su"

yang terdiri dari 17 judul, dari "Bu-Kek Sian-Su" hingga "Pusaka Pulau

Es". Setiap judul terdiri dari 18 sampai 62 jilid. Dalam serial ini pula

terdapat judul "Pendekar Super Sakti" yang dianggap karyanya yang

paling populer. Selain itu, patut pula disebut serial lain, seperti "Pedang

Kayu Harum" dan "Pendekar Budiman". Sedangkan yang kini Anda

dapat nikmati di Detikcom adalah "Suling Emas" yang merupakan bagian

dari "Serial Bu-Kek Sian-Su".

Untuk karya berlatar Jawa, Ping Hoo terkenal dengan beberapa

karyanya, seperti "Darah Mengalir di Borobudur" dan "Badai di Laut

Selatan". "Darah Mengalir di Borobudur" bahkan pernah dipentaskan

berulangkali dalam bentuk sendratari Jawa dan disiarkan dalam bentuk

sandiwara radio.

Page 16: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

21

Namun, pada akhirnya Ping Hoo harus berhenti berkarya. Pada

Jumat, 22 Juli 1994, serangan jantung telah membawanya menghadap

Sang Pencipta secara tiba-tiba.

2.1.3 Kebudayaan Peranakan Tionghoa

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebudayaan

peranakan Tionghoa adalah kebudayaan yang paling kaya di Asia

Tenggara. Beragam seni dan budaya yang dihasilkan di segala bidang

mengandung unsur-unsur campuran yang memiliki suatu semangat

tersendiri. Kebudayaan peranakan telah melahirkan produk-produk

budaya campuran seperti wayang potehi, cokek, dan gambang kromong,

bahkan ada sebagian masyarakat Tionghoa yang giat menekuni

kebudayaan lokal dan sama sekali melupakan kebudayaan leluhur

mereka berasal.

Salah satu pengaruh kebudayaan peranakan Tionghoa yang paling

menonjol dalam karya seni Indonesia adalah seni batik, terutama

yang dinamakan sebagai batik pesisir. Dinamakan pesisir, karena kota-

kota yang menghasilkan kain batik ini seperti Indramyu, Cirebon,

Pekalongan, Lasem dan Tuban terletak pada pesisir utara pantai pulau

Jawa. Dan orang Tionghoa yang datang ke pulau Jawa pertama-tama

dan sebagian besar tinggal di kota-kota pesisir ini dan telah

terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan lokal selama itu.

Setiap kota memiliki corak ragam hias dan keunikan yang berbeda

dan khusus, seperti motif Mega-mendung, Peksi naga liman, Wadasan,

dan Banji pada batik Cirebon, motif batik Encim, Pagi-Sore, dan

Page 17: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

22

Sam Pek Eng Tay yang bermotifkan kupu-kupu, sebagai lambang

kesetiaan dan pernikahan bahagia pada batik Pekalongan dan motif

Tiga negeri, Bangbiru, Lok-Chan pada batik Lasem. Batik Lasem

adalah salah satu batik pesisir yang indah dan bernilai artistik,

serta digemari banyak orang, dalam dan luar negeri.

Tak hanya pada batik dan kebaya encim, pada cara hidup dan

kebiasaan keseharian kaum peranakan pun mengandung sintesa budaya

yang unik dan kaya. Banyak dari mereka masih mempertahankan tradisi

budaya China yang disesuaikan dengan tanah Indonesia, seperti perayaan

Capgome, midodaren, dan banyak lagi. Tak ketinggalan kepercayaan-

kepercayaan kuno yang dipercaya membawa keberuntungan, seperti

angka 8, warna merah ataupun hal-hal yang dipercaya membawa sial.

2.1.4 Spesifikasi Buku

2.1.4.1 Buku Biografi Delapan Penulis Peranakan

Buku “DARI PENJAJA TEKSTIL SAMPAI SUPERWOMAN” :

BIOGRAFI DELAPAN PENULIS PERANAKAN sebenarnya sudah

diterbitkan kepada masyarakat umum. Buku ini ditulis oleh peneliti

kesusastraan Melayu-Tionghoa, Myra Sidharta, setebal 162 halaman

dengan spesifikasi 14x21cm BW (Black and White). Buku ini diterbitkan

oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) September 2004 dan dijual

dengan harga Rp. 27.500,-. Buku ini dikemas dengan bahasa yang empuk

dan amat nyaman untuk dibaca sekaligus cover yang cukup menarik.

Buku ini adalah hasil penelitian Myra Sidharta selama bertahun-tahun

Page 18: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

23

pergi berkelana ke berbagai macam tempat untuk menelusuri sastra

peranakan Tionghoa.

Sebagai sebuah biografi dan sebuah karya sastra, buku ini

memilki keunikan tersendiri dibandingkan dengan buku biografi yang

selama ini kita kenal. Selain temanya yang masih asing di telinga

masyarakat luas, dunia sastra sendiri pun bisa dikatakan kurang komersil.

Namun keunikan dari kekayaan yang dimiliki dari kebudayaan peranakan

amatlah kuat dan patut untuk mendapat perhatian lebih.

Buku yang berorientasi pada teks ini hanya menggunakan sedikit

gambar dan foto sebagai visualnya. Walaupun layoutnya sudah dapat

dikatakan mendukung, tetapi tetap saja secara sekilat terlihat

membosankan karena terlalu banyak teks, tanpa “melihat” bahwa esai

yang disajikan begitu berbobot, menggugah dan menginspirasi.

2.1.4.2 Buku Seri Esai “DARI PENJAJA TEKSTIL SAMPAI

SUPERWOMAN” : BIOGRAFI DELAPAN PENULIS

PERANAKAN

Buku esai “DARI PENJAJA TEKSTIL SAMPAI

SUPERWOMAN” : BIOGRAFI DELAPAN PENULIS PERANAKAN

yang baru diterbitkan dalam delapan seri. Masing-masing penulis

peranakan akan diterbitkan dalam satu buku. Diharapkan dengan

perancangan ulang buku esai ini secara seri akan lebih menarik minat

pembeli dan pembaca di mana nantinya kedelapan buku bisa menjadi

sebuah koleksi dan harga buku tidak menjadi kendala karena masing-

Page 19: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

24

masing buku dijual dalam harga yang terjangkau dibandingkan menjadi

satu buku yang dijual jauh lebih mahal.

Berikut ini merupakan data mengenai rencana penyusunan dan

pembuatan desian buku yang baru, antara lain :

Penulis : Myra Sidharta

Desainer : Marryana Sutaryo

Ilustrasi : Marryana Sutaryo

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Spesifikasi : 18 x 23 cm

Full Color

Tebal : 80 halaman (masing-masing buku)

Harga : Rp 125 000,- (masing-masing buku)

Struktur Buku :

a. Halaman judul dalam

b. Persembahan

c. Daftar Isi

d. Ucapan Terimakasih

e. Pengantar

f. Isi buku…

Seri Buku :

1. Kwee Tek Hoay : Dari Penjaja Tekstil Menjadi

Pendekar Pena

2. Njoo Cheong Seng : Penulis Novel, Drama dan Syair

3. Nio Joe Lan : Dalam Tawanan Jepang

Page 20: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

25

4. Tan Hong Boen : Pengarang Seribu Wajah

5. Ang Ban Tjiong : Syair dan Pantun Mabuk Cinta

6. Hoo Eng Djie : Syair dan Pantun Mabuk Cinta

7. Ong Pik Hwa : Superwoman

8. Kho Ping Hoo : Jurus-Jurus Asmaraman Sukowati

2.1.4.3 Data Penerbit

Adalah sebuah penerbit buku di Indonesia yang berdiri sejak

1 Juni 1997. Begitu banyak buku-buku terkenal yang menjadi terbitan

KPG, antara lain novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer, novel-novel

karya Ayu Utami, seri kesastraan Melayu-Tionghoa, buku-buku literatur

dari para penulis ternama hingga seri kartun Benny and Mice.

2.1.4.4 Buku Pembanding Sejenis

Beberapa buku yang bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam

pengumpulan data yang berkenaan dengan rencana pembuatan desain

layout buku seri esai“DARI PENJAJA TEKSTIL SAMPAI

SUPERWOMAN” : BIOGRAFI DELAPAN PENULIS PERANAKAN,

antara lain :

Page 21: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

26

• Buku Biografi Sampoerna

Judul Buku : “The Sampoerna Legacy :

A Family and Business History”

Pengarang : Diana Hollingsworth (juga illustrator)

Penerbit : Sampoerna Foundation

Spesifikasi : 14x18,5 cm

Full Color

Tebal : 212 halaman

Harga : Rp. 270.000,-

Terbit : 2007

2.1.4.5 Buku Kompetitor

Beberapa buku yang dirasa menjadi competitor yang sekarang

sudah ada di pasaran :

• Buku Biografi Anne Avantie

Judul Buku : “Aku, Anugrah dan Kebaya”

Page 22: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

27

Pengarang : Alberthiene Endah

Penerbit : PT Gramedia Pusataka Utama

Spesifikasi : 17x23 cm

Full Color

Tebal : 221 halaman

Harga : Rp. 175.000,-

Terbit : Mei 2007

• Buku Biografi Chrisye

Judul Buku : “Sebuah Memoar Musikal”

Pengarang : Chrisye dan Alberthiene Endah

Penerbit : PT Gramedia Pusataka Utama

Spesifikasi : 15x27 cm

Full Color

Tebal : 276 halaman

Harga : Rp. 95.000,- (softcover)

Terbit : Februari 2007

• Buku Biografi Yuni Shara

Judul Buku : “Yuni Shara : 35 Cangkir Kopi”

Pengarang : Tamara Geraldine dan Darwis Triadi

Page 23: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

28

Penerbit : PT Gramedia Pusataka Utama

Spesifikasi : 14x24 cm

Full Color

Tebal : 176 halaman

Harga : Rp. 90.000,- (softcover)

Terbit : Juni 2007

2.1.5 Target Audience

Target audience buku seri esai sastrawan peranakan Tionghoa ditijukan

pada masyarakat yang tertarik pada dunia seni pada umumnya dan seni sastra

secara khusus. Terlebih bagi mereka yang menghargai budaya Indonesia,

termasuk budaya peranakan Tionghoa.

2.2 Analisa

2.2.1 Strenght

• Budaya peranakan amat unik karena amat kaya dan terbentuk dari

berbagai macam kebudayaan, baik kebudayaan Tionghoa maupun

para penjajah dan kebudayaan lokal setempat.

• Adanya buku biografi delapan sastrawan peranakan ini

menjadikannya sebagai salah satu media komunikasi antar budaya

sekaligus antar bangsa.

Page 24: BAB II DATA dan ANALISA 2.1 Data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00093-DS bab 2.pdfberakar pada kebudayaannya masing-masing dan sulit dipahami oleh masyarakat

29

2.2.2 Weakness

• Masih banyaknya masyarakat yang kurang meminati dan menikmati

bidang sastra sebagai seni yang kerap dianggap membosankan

karena terbatas oleh tulisan semata.

• Target dari buku esai sasatrawan peranakan Tionghoa sendiri sangat

terbatas, yang terdiri dari kalangan kecil saja.

2.2.3 Opportunity

• Kebangkitan budaya peranakan Tionghoa semenjak tahun 2000-an

(setelah era reformasi) membuat masyarakat mulai meminati segala

sesuatu yang berbau etnis Tionghoa, tak terkecuali sastra.

• Bangsa Indonesia dewasa ini banyak menerima ancaman dari dalam

maupun luar negri tentang kepemilikan sebuah budaya. Dengan

meningkatkan minat pada budaya peranakan, termasuk juga

menyelamatkan salah satu khasanah budaya bangsa.

2.2.4 Threat

• Tema sastra peranakan dianggap terlalu berat bagi sebagian

masyarakat.

• Buku biografi sastrawan peranakan nyaris tak pernah terdengar di

telinga pembaca umum, sehingga menjadi sesuatu yang sangat baru

dan asing.