mencari akar pluralisme dalam agama masing-masing
TRANSCRIPT
1
Mencari Akar Pluralisme dalam Agama Masing-Masing
Oleh: Aris Angwarmase
Dalam satu dekade terakhir ini di Indonesia, alih-alih terpinggirkan, agama malah
semakin menguat peranannya. Tidak (atau belum) ada tanda-tanda agama mengalami arus surut.
Sebaliknya, secara hiperbolis, mungkin juga sinikal, dapat dikatakan bahwa agama sedang
memainkan peranan besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menyikapi fenomena ini, soal yang patut diajukan adalah adakah agama-agama yang
memainkan peranan itu bisa duduk bersama dan berdialog? Ini mengingat berbagai konflik dan
kasus-kasus kekerasan yang bernuansa agama. Adakah agama-agama bisa meretas pluralisme
yang secara optimistis bolehlah diharapkan menjadi alas bagi terciptanya kerukunan bangsa yang
plural ini? Pertanyaan terakhir ini berangkat dari premis: semua orang Indonesia adalah orang
beragama. Kalau dalam agama-agama yang dianut terdapat nilai-nilai pluralistik maka seorang
beragama di Indonesia haruslah seorang pluralis. Kalau di antara orang beragama terjalin
kerukunan, hormat-menghormati dan kerja sama, dapat diharapkan bahwa sikap yang sama akan
menular ke bidang-bidang yang lain semacam politik, sosial, budaya.
Tulisan ini berangkat persis dari salah satu premis di atas bahwa dalam agama
sesungguhnya terkandung nilai pluralisme. Adalah pandangan-pandangan Nurcholish Madjid—
yang menggali dan menemukan akar pluralisme agama-agama dalam agamanya sendiri yakni
2
Islam1—yang hendak disajikan di sini. Sajian ini menjadi katakanlah semacam inspirasi bagi kita
semua untuk kembali pada agama kita masing-masing dan mencari jejak pluralisme di sana.
Sekilas Mengenai Pluralitas
Bahwa bangsa Indonesia plural, itu fakta yang sama sekali tak bisa terbantahkan. Bangsa
yang secara geografis terbentang dari Sabang sampai Merauke ini kaya akan beragam suku,
budaya, agama, bahasa, karakter, warna kulit. Nurcholish Madjid menyatakan sikapnya terkait
dengan fakta pluralitas ini dengan merujuk pada Kitab Suci Al-Qur’an. Al-Qur’an secara tegas
dan pasti mengatakan bahwa pluralitas bukan hanya keunikan suatu masyarakat, tetapi
merupakan kepastian (Arab: taqdîr) dari Allah. “Jika Tuhan menghendaki, tentu Dia menjadikan
manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang yang
mendapat rahmat Tuhan. Dan memang untuk itulah Allah menciptakan mereka” (Al-Qur’an S.
Hûd/11:118)
Dalam kaca mata Nurcholish Madjid jika direnungkan lebih jauh, ayat di atas
mengandung beberapa penegasan. Pertama, pluralitas atau kemajemukan masyarakat manusia
sudah merupakan kehendak dan keputusan Allah (sunnatullah). Bisa saja Allah menjadikan
manusia kumpulan umat yang monolitik tetapi itu tidak Dia lakukan. Kedua, pluralitas itu
membuat manusia senantiasa berselisih pendapat dengan sesamanya. Sekalipun demikian, ketiga,
1 Mengenai hal ini Abdurrahman Wahid menulis, “Nurcholish Madjid berangkat dari keterbukaan sikap
yang ditunjukkan Islam di puncak kejayaannya sekitar sepuluh abad yang lalu. Keterbukaan yang membuat Islam
mampu menyerap secara terbaik, dari mana pun datangnya. Proses penyerapan ini menjadikan Islam agama yang
sarat dengan nilai universal yang dianut umat manusia secara tidak berkeputusan. Karenanya, Nurcholish Madjid
selalu menekankan pentingnya mencari kesamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan”. Lih.
Abdurrahman Wahid, “Tiga Pendekar dari Chicago,” dalam Sukandi A.K., Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak
Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 19.
3
orang yang mendapat rahmat Allah tidak mudah berselisih karena ia akan bersikap penuh
pengertian, lemah lembut dan rendah hati kepada sesamanya. Dan keempat, persetujuan sesama
anggota masyarakat majemuk karena adanya rahmat Allah inipun ditegaskan sebagai kenyataan
diciptakannya manusia, jadi merupakan sebuah hukum ilahi. Pluralitas, dengan demikian, sama
sekali bukanlah hasil konstruksi masyarakat berdasarkan konsensus tertentu, entah politik, sosial
ataupun ekonomi. Pluralitas bukan pula hasil kerja budi, kehendak dan karya manusia. Pluralitas
adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan dan Islam sendiri mengakui pluralitas
seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an.2
Mengikuti jalan pikiran ini, pluralitas, dengan demikian, mengalami transendensi dari
material riil menuju yang abstrak; dari sekedar kumpulan orang yang berbeda latar belakang
menuju prinsip hidup yang harus diyakini dan dipegang.3
Sampai di sini pluralitas sebetulnya tidak lagi menjadi soal yang signifikan untuk
diperbincangkan. Sudah sangat terang benderang duduk perkaranya Lebih penting sesungguhnya
mengajukan pertanyaan ini, apakah sekumpulan orang yang terlahir berbeda ini diciptakan untuk
2 Lih. Nurcholish Madjid, Islam Agama kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, cet. ke-2, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2003), hlm. 196. Dalam kesempatan lain ia mengutip ayat lain dari Al-Qur’an: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (S. Al-Hujarât/49:13). Surat lainnya lagi yang dikutipnya, “… sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (S. Al-Ma’idah/5:48). Lih. Madjid “Etika Beragama dari Perbedaan menuju persamaan” dalam Nur Achmad (ed.), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. 4. Pandangan Nurcholish Madjid tentang pluralitas sebagai kehendak Tuhan ini dapat dibandingkan dengan pemikiran tokoh Islam lain yakni Alwi Shihab dalam “Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam: Sebuah Pengantar,” dalam Surunin (ed.), Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Terserak (Bandung: Penerbit Nuansa), hlm. 16.
3 Lih. Edward Schillebeeckx, The Church: The Human Story Of God (New York: Crossroad, 1990), hlm. 163.
4
saling berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain, apakah kita terhubung satu sama lain—
salah satu manifestasinya adalah dialog—secara terberi atau alamiah (by nature)? Ataukah
keterhubungan itu baru tercipta melalui kebetulan-kebetulan dan atau serangkaian usaha yang
sistematis (by design)?
Pluralitas Yang Terhubung
Paul F. Knitter dalam Introducing To Theologies of Religions menjawab pertanyaan di
atas dengan merangkum pandangan sejumlah filsuf dan teolog.4 Menurutnya, ada visi filosofis
tentang realitas yaitu bahwa dunia dengan segala isinya berada dalam proses evolusi. Dengan
evolusi berarti kita tidak berada dalam satu keadaan yang telah jadi dan sudah selesai tetapi
masih dalam proses untuk menjadi.
Menurut Knitte, Alfred North Whitehead dan Charles Hartshorne melihat dunia ini
berputar dalam satu proses kreativitas yang avonturir. Sementara Piere Teilhard de Chardin
berpendapat bahwa jagat raya ini berevolusi penuh kesulitan tetapi mantap dari biosfer ke
noosfer terus ke kesatuan Titik Omega, yang ia samakan dengan Kristus yang kosmis yang
berada di eskaton. Beberapa penganut Budha merinci lebih luas penemuan Gautama tentang
dunia yang terus berubah melalui satu proses penciptaan bersama (co-origination) yang tidak
bebas. Hinduisme Aurobindo memimpikan suatu dunia yang berevolusi ke arah keilahian.
“Kisah Jagat Raya” (Universe Story), suatu proses evolusi besar, yang diyakini oleh Thomas
4 Untuk sub pokok ini dapat dibaca secara lebih lengkap dalam Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, (terj. Nico A. Likumahuwa), (Jogjakarta: Kanisius, 2008), hlm. 9-12.
5
Berry dan Brian Swimme, banyak mempengaruhi mereka yang prihatin akan keterpurukan
lingkungan.
Lebih lanjut Knitter berpendapat bahwa visi dunia yang evolutif ini berseberangan
langsung dengan pandangan-pandangan yang mengemuka mulai abad pertengahan sampai
Renaissance. Pada abad-abad tersebut pandangan yang dominan adalah alam semesta diciptakan
oleh Tuhan sebagai produk jadi, stabil, dan teratur secara hierarkis. Orang tidak boleh mengutak-
atik keteraturan itu.
Baru pada Revolusi Perancis dan Revolusi Industri pandangan dan keyakinan di atas
bergeser kea rah pemikiran bahwa keteraturan sosial yang secara ilahi ditata bisa berubah.
Penemuan Charles Darwin di bidang evolusi biologis bisa dikatakan memicu pandangan
tersebut. Di dalam bukunya On The Origin Of Species, Darwin berpendapat bahwa penciptaan,
kalau masih mau diyakini, harus dilihat bukan sebagai peristiwa-satu-kali, tetapi sebagai satu
proses yang terus-menerus tanpa selesai dan tanpa putus.
Dari sana, Knitter mencatat kemunculan berbagai pemikiran dan penemuan di bidang
“fisika baru” yang dipelopori oleh Albert Einstein ikut memperkuat keyakinan dunia yang
evolutif sifatnya. Alam semesta bukan lagi suatu mesin keteraturan yang dibentuk dari bagian-
bagian yang berlainan yang dirangkai dengan baik. Sebaliknya justru merupakan kegiatan penuh
kebisingan, sebuah proses berkesinambungan, di mana bagian-bagiannya tidak bisa ditentukan
maupun ditempatkan dengan baik. Pada tingkat terdalam yakni tingkat sub-atomis, dunia bukan
merupakan suatu “blok bangunan” atau “bangunan jadi”, tetapi suatu proses aktivitas atau
menjadi yang bagian-bagiannya saling berhubungan satu dengan yang lain dan terus berubah-
ubah.
6
Kalau segala sesuatu berada dalam proses menjadi dan bukan telah jadi, maka proses
menjadi itu berlangsung melalui saling keterhubungan. Dalam konteks ini, kita berada dalam
proses menjadi, dan untuk ‘menjadi’ kita harus saling berhubungan. Tidak ada satu pun, elektron
maupun manusia, yang bisa menjadi “sebuah pulau dalam dirinya sendiri”. “Tiap-tiap benda”
dan “tiap-tiap orang” berada dalam keterhubungan yang sangat dinamis sampai pada titik di
mana satu “benda” atau “orang” ditentukan oleh berbagai hubungan yang terjadi.
Pada gilirannya pluralitas penciptaan harus dipahami sebagai satu potensi menuju
persatuan yang kokoh—walaupun tak bisa dikatakan di mana potensi ini akan berakhir. Yang
banyak lalu dihimbau menjadi satu. Namun yang satu ini tidak menghilangkan yang banyak.
Yang banyak menjadi satu dengan tetap menjadi banyak, dan yang satu dibawa oleh setiap yang
banyak sehingga terdapat kontribusi khusus untuk yang lainnya dan keseluruhannya. Terjadilah
satu proses yang mengarah ke konsentrasi yang dapat diresap oleh yang banyak dalam tiap-tiap
dan arena itu dalam keseluruhan yang lebih besar juga.
Jika diterapkan pada pluralitas manusia maka individu menemukan jati dirinya sebagai
bagian dari diri yang banyak lainnya. Jadi, ada satu gerakan, bukan menuju kesatuan absolut atau
monistik, tetapi menuju apa yang disebut Knitter sebagai “pluralisme yang menyatukan,” yaitu
pluralitas yang membentuk persatuan. Atau, secara sederhana dan lebih menarik dirumuskan
sebagai gerakan menuju suatu komunitas dialogis yang sungguh-sungguh, di mana tiap anggota
hidup dan berada dalam dialog dengan sesama.
7
Konsep Pluralisme
Dengan visi filosofis seperti diuraikan di atas, kita menoleh ke kenyataan kemajemukan
di negara kita. Dari sudut mana pun sudah jelas bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat
majemuk. Terutama kemajemukan etnis, bahasa, budaya, warna kulit, dan agama. Bagaimana
menghadapinya?
Nurcholish Madjid secara pasti dan tegas mengangkat pluralisme sebagai jawaban. Tetapi
ia menolak jika pluralisme dipahami hanya sebatas pernyataan bahwa masyarakat Indonesia itu
majemuk. Menurutnya, pluralisme tidak bisa hanya berhenti pada pengakuan akan kemajemukan
itu. Jika demikian sebenarnya justru hanya akan memberikan kesan fragmentaris—sesuatu yang
amat bertentangan dengan identitas Indonesia sebagai Negara kesatuan sebagaimana
diperjuangkan founding fathers.5 Tidak cukup hanya dengan mengakui bahwa bangsa Indonesia
begitu plural; tidak cukup hanya dengan mengatakan “kita berbeda, titik”.
Pluralisme juga tidak boleh hanya dipahami hanya semata-mata sebagai “kebaikan
negatif” (negative good), yang hanya ditilik dari manfaatnya untuk mengenyahkan atau
menyingkirkan fanatisme (to keep fanatism at bay). Artinya, pluralisme dikedepankan hanya
sejauh mencegah atau menanggulangi fanatisme dengan segala turunannya, semisal radikalisme.
Tidak pernah boleh pluralisme hanya dijadikan tujuan antara demi sebuah kepentingan
pragmatistik baik yang bersifat antisipatif maupun kuratif, yakni meredam fanatisme. Karena
jika ancaman fanatisme tidak lagi membayang, hampir bisa dipastikan bahwa yang akan terjadi
5 Lih, Nurcholish Madjid, “Pluralisme dan Toleransi”, dalam Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat (Jakarta: Penerbit Paramadina dan Tabloit Tekad, 2001), hlm. 63.
8
dalam masyarakat Indonesia adalah sebuah proses segregasi (pemisahan) entah atas dasar kultur,
ekonomi, ideologi, politik maupun agama.6
Maka, menurut Nurcholish Madjid, pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati
kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within bonds of
civility).7 Secara lebih lugas dan sederhana Nurcholish Madjid mendefinisikan pluralisme
sebagai “suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu
sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan
kenyataan itu”.8
Bahwa Indonesia adalah negara yang kaya dengan kemajemukan (kebhinekaan), itu
adalah sunatullah. Tetapi kemajemukan atau kebhinekaan Indonesia itu, merujuk pandangan
Nurcholish Madjid di atas, haruslah dipayungi dan dihidupi dalam ikatan-ikatan keadaban.
Dengan begitu pluralisme lalu bisa menjadi perangkat yang mendorong pengayaan budaya
bangsa. Keragaman berada pada posisi tali-temali, berkaitan satu sama lain. Dan kalau
kemajemukan bertali-temali dengan ikatan-ikatan keadaban maka pada dasarnya pluralisme
dapat dibaca secara lain sebagai keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan itu sendiri.
Kemajemukan tidaklah dilihat dan diperlakukan sebagai entitas yang beku, asing, sudah selesai
dan berdiri sendiri-sendiri. Sebaliknya pluralisme mengandung tuntutan agar tiap-tiap individu
dalam masyarakat majemuk mengambil posisi melibatkan diri secara aktif dengan
6 Ibid. Bdk. Nurcholish Madjid, “Tidak Boleh Partisan”, dalam Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995), hlm. 243.
7 Madjid, “Pluralisme dan Toleransi”, dalam Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, hlm. 63.
8 Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia Memasuki Zaman Baru,” dalam Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusian dan Kemodernan, cet. ke-5, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2005), hlm. lxxv.
9
mengedepankan sikap terbuka, semangat egalitarian, pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia
sambil pada saat yang sama membangun relasi interaksi (kerukunan dan dialog) dan kerja sama.9
Kendati sudah dirumuskan dengan tegas dan jelas, Nurcholish Madjid menyadari
sepenuhnya bahwa konsep pluralisme di atas bisa secara otomatis langsung dapat diterapkan.
Dibutuhkan beberapa prakondisi agar konsep ini bisa digiring ke tahap operasionalisasi.
Prakondisi-prakondisi ini bersifat mutlak ada (condition sine qua non).
a. Dekonstruksi Absolutisme
Pluralisme mensyaratkan agar segala bentuk absolutisme, klaim kebenaran dan
pembenaran terhadap diri sendiri sambil menafikan orang lain harus dihapuskan. Karena setiap
absolutisme tidak pernah mengakui kebenaran orang lain, agama lain, kelompok lain dan entitas
lain; karena setiap klaim kebenaran hanya mengakui kebenaran yang ada pada diri sendiri,
agamanya dan entitasnya; dan arena setiap pembenaran diri sendiri melibatkan emosi, tafsir,
kepentingan dan segala bentuk subjektivitas pribadi.
Menurut Nurcholish Madjid, segala bentuk absolutisme, klaim kebenaran dan
pembenaran terhadap diri sendiri hanya akan membawa orang pada gagasan sempit, komunal
dan eksklusif yang jauh dari pluralisme.
b. Penegasan Relativisme
Selain dekonstruksi absolutisme, pluralisme juga mengandaikan adanya relativisme
dalam pemahaman, penafsiran, artikulasi dan segala bentuk derivasi nalar kelompok. Karena
setiap masalah, persoalan, kasus dan pemecahannya bahkan terhadap ‘kebenaran’ itu sendiri
9 Bdk. Alwi Shihab, “Tantangan Pluralisme Agama,” dalam Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, cet. ke-7 (Bandung: Mizan bekerja sama dengan ANTEVE, 1999), hlm. 41.
10
sesungguhnya ditentukan oleh persepsi masyarakat yang amat dipengaruhi oleh konteks dan
budayanya. Itulah ‘kebenaran minimal’. Dengan begitu setiap kebenaran dalam pemahaman
manusia harus dianggap relatif, sebelum ada prosedur-prosedur yang disepakati bersama dalam
aras bangsa, komunitas bersama atau aturan bersama misalnya.
Nurcholish Madjid tidak memaksudkan relativisme ini sebagai tidak ada kebenaran sama
sekali. Justru relativisme di sini hendak menegaskan adanya kebenaran yang begitu banyak
sebagai bagian dari konteks ruang dan waktu. Kebenaran konteks ini tidak bisa dimutlakan.
Sebaliknya terbuka terhadap bentuk-bentuk inovasi, pembaharuan dan penelaahan kembali.
Dengan kata lain setiap kebenaran mengandung kemungkinan untuk didiskusikan. Tidak ada
kebenaran absolut. Apa yang dianggap benar tidak lain benar pada konteksnya. Dengan demikian
kebenaran tidak statis, sekali untuk selamanya. Dalam kaca mata Nurcholish Madjid, kebenaran
harus selalu dicari dan didialogkan. Setiap kebenaran adalah proses pencarian dan setiap
pencarian adalah kenisbian. Ini tidak otomatis berarti kita dibenarkan membiarkan relativisme
tidak terkendali sehingga tidak ada keberanian dan tidak ada pendirian untuk berbuat. Setiap
kebenaran yang diyakini, di satu sisi harus dilaksanakan dengan tulus dan sungguh tetapi di sisi
lain tetap terbuka untuk setiap perbaikan dan kemajuan. Dalam arti itu relativisme bisa dibaca
sebagai sikap terbuka dan masih mau belajar karena sadar bahwa manusia tidak pernah bisa
memahami maksud dan kekayaan wahyu Allah sehingga tidak secara arogan mengklaim
kebenaran.
c. Pembumian Toleransi
Prakondisi yang ketiga yang tak kalah pentingnya adalah toleransi (dari kata bahasa Latin
tolerare yang berarti membiarkan/mendiamkan yang lain sejauh tidak mengganggu). Toleransi
11
berarti setiap orang harus menghargai kemajemukan. Setiap orang harus menganggap perbedaan
sebagai bagian dari kehidupan dan kenyataan, sebab setiap orang hidup di tengah-tengah orang
lain. Toleransi bukan hanya persoalan tata cara pergaulan yang enak antarberbagai kelompok.
Lebih dari itu, toleransi adalah persoalan penerapan prinsip ajaran agama. Mengenai ini
Nurcholish Madjid menandaskan bahwa toleransi bukanlah sejenis netralisme kosong, yang
bersifat prosedural semata, melainkan suatu pandangan hidup yang berakar dalam ajaran agama.
Pluralisme Agama
Bagaimana konsep pluralisme dengan segala prakondisinya diterapkan dalam wilayah
agama-agama yang plural? Nurcholish Madjid secara jeli mengamati realitas keberagaman
agama-agama di Indonesia. Yang ia temukan adalah fakta keberagaman dan keharmonisan
antarumat beragama barulah sebatas verbalisme politik. Keberagaman agama dan pemeluknya
lebih banyak mewajah dalam jargon-jargon politik. Ini memprihatinkan. Karena itu Nurcholish
Madjid menggagas pluralisme agama-agama yang berbasis pada prinsip-prinsip substansial.
Sudah saatnya keberagaman agama di Indonesia memasuki tahapan baru: dari jargon politis ke
realitas prinsipil. Memasuki tahapan baru ini penting mengingat sinyalemen bahwa umat
beragama di Indonesia masing-masing menjadi tawanan dari kepentingan-kepentingan jangka
pendek yang politis sifatnya dan lupa pada prinsip-prinsip.
Maka berbicara tentang pluralisme agama berarti berbicara tentang inklusivisme agama,
semangat egalitarian-partisipatif, dialog dan kerja sama, saling mengakui dan menghargai
keberadaan agama masing-masing serentak saling mengakui dan menghargai hak-hak asasi
12
setiap umat beragama termasuk di dalamnya hak memeluk dan beribadah sesuai dengan
agamanya masing-masing. Ajaran kemajemukan agama menandaskan pengertian dasar bahwa
semua agama diberi kebebasan untuk hidup dengan resiko yang akan ditanggung oleh pengikut
agama itu masing-masing baik secara perseorangan maupun kelompok.
a. Titik Temu Agama-Agama
Selain tiga prakondisi di atas demi tercapainya pluralisme agama, Nurcholish Madjid
menambahkan lagi satu prakondisi yang vital yakni titik-temu agama-agama. Adakah hal yang
mempertemukan agama-agama? Secara gamblang jawabannya adalah ada, jika dilihat dari sudut
pandang Islam. Ini menjadi prakondisi yang keempat.
Titik temu yang pertama ialah semua agama berasal dari sumber yang satu dan sama
yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan sama-sama menyembah Tuhan yang satu dan sama itu. Asal
yang satu dan sama itu melahirkan sikap pasrah sepenuhnya hanya kepada-Nya. Sikap pasrah
dan berserah diri ini menjadi intisari semua agama. Oleh karena itu, dalam pandangan
Nurcholish Madjid, ini merupakan titik-temu yang kedua. Selain sikap pasrah, yang tidak bisa
dilepaskan dari kewajiban sebagai seorang beragama adalah mengemban misi profetik yaitu
menyampaikan ajaran tentang Tuhan Yang Maha Esa tersebut (Tauhid). Ini titik temu yang
berikutnya. Setiap agama dipertemukan dalam misi profetiknya. Yang membedakan hanyalah
bentuk-bentuk pelaksanaan misi profetik tersebut yang disesuaikan dengan konteks zaman dan
kebutuhannya. Perbedaan pelaksanaan inilah yang melahirkan perbedaan ekspresi-ekspresi
13
simbolik dan formalistik. Kesamaan Allah, sikap keagamaan dan misi profetik ini pada
gilirannya berujung pada konsep kesatuan umat beriman. Ini titik temu keempat.
Berdasarkan empat titik-temu ini Nurcholish Madjid menarik kesimpulan bahwa pada
dasarnya seluruh agama adalah sama walaupun memiliki jalan yang berbeda-beda untuk tujuan
yang satu dan sama.
Alwi Shihab mengatakan bahwa dengan mengajukan empat titik-temu agama-agama
yang demikian, tidak dengan sendiri berarti Nurcholish Madjid memaksudkan agama sebagai
sinkretisme agama: menciptakan suatu agama dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau
sebagian komponen ajaran berbagai agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru itu.
Agama-agama tetap diakui dan diberi kebebasan untuk hidup, bertumbuh dan berkembang.
b. Beragama secara Terbuka dan Lapang
Di samping titik-temu agama-agama, manakah sikap beragama yang ideal yang harus
dihidupi demi perwujudan pluralisme agama? “Sesungguhnya sebaik-baiknya agama ialah
semangat pencarian kebenaran yang lapang dan terbuka” (Hadits Riwayat Muslim 2580). Kata-
kata Nabi Muhammad ini ditafsirkan Nurcholish Madjid sebagai yang bersemangat mencari
kebenaran yang lapang, toleran, tanpa kemunafikan, dan tidak membelenggu jiwa. Tekanan
pengertian ini pada suatu cara beragama yang terbuka.
Beragama adalah sebuah pencarian akan kebenaran. Dan kebenaran yang murni dan tulus
hanya akan ditemukan dengan keterbukaan dan kelapangan. Dalam semangat komunalisme dan
sektarianisme, kebenaran yang tulus dan murni tidak bisa ditemukan. Semangat mencari
14
kebenaran dengan lapang dan terbuka ini, pada gilirannya, akan membawa setiap umat beragama
pada sikap toleran, terbuka, tidak sempit dan tidak membelenggu jiwa. Semangat beragama yang
terbuka dan lapang inilah yang menumbuhkan sikap keberagamaan yang terbuka yang secara
diametral bertentangan dengan semangat komunal-sekatrian.
Keterbukaan merupakan manisfestasi dari kerendahan hati untuk tidak selalu merasa
benar, bersedia untuk mendengarkan pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang
terbaik. Pencarian akan kebenaran secara tulus dan murni ini yang dimaksudkan Al-Quran
sebagai sikap alami yang memihak kepada yang benar dan baik, sebagai pencarian fitrahnya
yang suci dan bersih. Itu sebabnya pada dasarnya kelapangan dalam beragama akan memberi
makna hidup, karena kita tidak lagi terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan yang biasa
termuat dalam keberagamaan kita yang menjadikan kita “tertutup” dan hanya mau mencari jalan
pintas yang mudah. Dengan semangat tersebut diharapkan umat beragama dapat mengakhiri
mentalitas isolatif dan membuka diri bekerja sama dengan semua pihak manapun dengan
semangat persaudaraan guna meruntuhkan semangat-semangat yang totaliter.
Penutup
15
Pluralisme agama yang dimengerti sebagai keterlibatan aktif terhadap kemajemukan
agama adalah sebuah keharusan berhadapan dengan kenyataan di negara kita. Keberagaman,
dengan demikian, tidak hanya dihadapi dengan menutup diri dan nyaman dengan kelompok
agamanya masing-masing. Sebaliknya membuka diri menjalin relasi dialogis yang egaliter dan
partisipatif dengan pemeluk agama lainnya. Hanya dengan demikian keberagamaan dapat
dipandang sebagai kekayaan bangsa. Dan hanya dengan demikian agama menjadi relevan dan
bermanfaat bagi semua umat manusia, paling tidak di Indonesia.