bab i pendahuluan a. latar belakang masalah · awal kedatangan islam berikut dengan kebudayaannya,...

19
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat mengenal agama Islam sejak kedatangan agama tersebut ke Nusantara sekitar awal abad ke-16. Pada masa itu, masyarakat menyukai pola agama Islam yang egaliter 1 atau memperbolehkan siapa saja untuk mendalami agama Islam. Pola inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa masyarakat sangat menerima Islam sebagai sesuatu yang baru dan juga agama yang baru. Salah satu yang diterima oleh masyarakat adalah kebudayaan Islam. Kebudayaan Islam merupakan kebudayaan yang berkembang atas dasar-dasar agama yang mengacu kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Bentuk-bentuk kebudayaan Islam pun juga memiliki sifat yang sama dengan agamanya yaitu egaliter. Otomatis, kedatangan budaya Islam di Nusantara mendapatkan perhatian oleh masyarakat dan juga mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan Hindu- Budha yang telah hidup di sebagian lingkungan masyarakat di Nusantara. Proses Islamisasi di Nusantara datang dengan bertahap dan menyebar dengan baik. Beberapa diantaranya menyebar serempak di kota-kota pelabuhan atau pesisir, termasuk pesisir pantai yang ditinggali oleh masyarakat . Pada proses awal kedatangan Islam berikut dengan kebudayaannya, beberapa masyarakat di Nusantara mengalami tahap akulturasi budaya karena sebelum Islam datang telah 1 Marwati Djoened, dkk., Sejarah Nasional Indonesia II. (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hlm. 26.

Upload: vuongminh

Post on 11-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat mengenal agama Islam sejak kedatangan agama tersebut ke

Nusantara sekitar awal abad ke-16. Pada masa itu, masyarakat menyukai pola

agama Islam yang egaliter1atau memperbolehkan siapa saja untuk mendalami

agama Islam. Pola inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa masyarakat

sangat menerima Islam sebagai sesuatu yang baru dan juga agama yang baru.

Salah satu yang diterima oleh masyarakat adalah kebudayaan Islam.

Kebudayaan Islam merupakan kebudayaan yang berkembang atas dasar-dasar

agama yang mengacu kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Bentuk-bentuk

kebudayaan Islam pun juga memiliki sifat yang sama dengan agamanya yaitu

egaliter. Otomatis, kedatangan budaya Islam di Nusantara mendapatkan perhatian

oleh masyarakat dan juga mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan Hindu-

Budha yang telah hidup di sebagian lingkungan masyarakat di Nusantara.

Proses Islamisasi di Nusantara datang dengan bertahap dan menyebar

dengan baik. Beberapa diantaranya menyebar serempak di kota-kota pelabuhan

atau pesisir, termasuk pesisir pantai yang ditinggali oleh masyarakat . Pada proses

awal kedatangan Islam berikut dengan kebudayaannya, beberapa masyarakat di

Nusantara mengalami tahap akulturasi budaya karena sebelum Islam datang telah

1Marwati Djoened, dkk., Sejarah Nasional Indonesia II. (Jakarta : Balai Pustaka, 1994),

hlm. 26.

2

ada kebudayaan Hindu-Budha yang hidup di kehidupan bermasyarakat. Namun

karena berbedanya sifat agama Hindu-Budha dan Islam, masyarakat

menghilangkan sisa-sisa kebudayaan Hindu-Budha dan menerima kebudayaan

Islam secara penuh2. Tetapi, beberapa yang lain adapula yang menerima Islam

secara langsung tanpa harus mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan

Hindu-Budha sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya kelompok masyarakat di

Nusantara yang tidak terkena pengaruh Hindu-Budha sebelumnya. Kalimantan dan

Sumatera misalnya, ada beberapa kelompok masyarakat di Kalimantan dan

Sumatera yang struktur pemerintahannya tidak terkena pengaruh India atau

Indonesia-Hindu3.

Orang mengaku identitas kepribadiannya yang utama adalah adat-istiadat ,

bahasa dan agama Islam. Dengan demikian seseorang yang mengaku dirinya orang

harus beradat-istiadat, berbahasa , dan beragama Islam. Dari tiga ciri utama

kepribadian orang tersebut yang menjadi pondasi pokok adalah agama Islam.

Agama Islam menjadi sumber adat-istiadat orang . Dalam bahasa berbagai

ungkapan, pepatah, perumpamaan, pantun, syair dan sebagainya menyiratkan

norma sopan-santun dan tata pergaulan orang 4. Dari adat-istiadat melahirkan

kesusasteraan . Kesusasteraan merupakan identitas budaya dan peradaban suku .

Warisan ini telah hidup sejak orang-orang menjadi bagian dari sejarah peradaban

Nusantara dan lestari hingga sekarang. Kesusasteraan merupakan cakrawala karya

2 V.I. Braginsky,Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu dalam Abad

7-19, hlm. 63. 3_______,Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), hlm. 174. 4M. Dardi D Has,Kebudayaan, Adat Istiadat dan Hukum Adat Melayu Ketapang,

(Ketapang : Kantor Informasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ketapang, 2008), hlm. iii.

3

orang-orang yang tidak ternilai harganya. Bentuk semacam tata bahasa, cara

berbicara, adat-istiadat, bentuk tulisan hingga kesenian semuanya merupakan

contoh betapa luasnya bentuk kesusasteraan yang lahir seiring berkembangnya

peradaban Nusantara.

Salah satu bentuk kesusasteraan adalah syair. Syair merupakan kumpulan

tulisan yang tersusun dari bait dan baris yang berisi tentang penceritaan kehidupan

manusia . Syair adalah kesenian yang selalu hidup dalam sejarah Kesusasteraan

karena syair-lah adalah bentuk karya tulis masyarakat yang sekaligus menyumbang

kebudayaan menulis dalam sejarah peradaban Nusantara.

Jenis syair di dalam kesusasteraan terbilang banyak. Dari sekian banyak

kesusasteraan tersebut, ada sebuah jenis syair yang menonjol yang berbentuk

gulungan dan bukan hanya ditulis dan dibacakan dengan puitikal saja melainkan

juga dinyanyikan. Syair ini disebut Syair Gulong.

Pada zaman keemasan Kerajaan Tanjungpura, seni dan sastra berkembang

dengan pesat. Para raja dan para pangeran selalu memiliki penyair. Pada setiap

upacara kerajaan yang dilaksanakan oleh raja atau pangeran selalu ada penyair yang

melantunkan Syair Gulong untuk mengagung-agungkan raja di hadapan para tamu

atau sebagai bentuk penghormatan.

Kerajaan Tanjungpura merupakan Kerajaan terbesar di Kalimantan Barat.

Kerajaan Tanjungpura memiliki turunan kerajaan yang cukup panjang sejak

berdirinya kerajaan tersebut pada abad ke-14, atau sekitar tahun 1506. Tercatat di

dalam buku Sejarah Singkat Kerajaan-Kerajaan Kalimantan Barat, Tanjungpura

4

eksis hingga tahun 1900-an. Artinya, kerajaan Tanjungpura memiliki periode yang

sangat panjang dalam sejarah kerajaan di Kalimantan Barat.

Meskipun memiliki umur yang cukup panjang, kerajaan Tanjungpura

memiliki peninggalan-peninggalan yang anehnya sedikit. Sebagai ukuran kerajaan-

kerajaan Islam di nusantara lainnya semacam di Jawa misalnya, Mangkunegaran

dan Kasunanan Surakarta setidaknya memiliki peninggalan kebudayaan yang eksis

dan terlestarikan hingga dewasa ini. Kembali ke Tanjungpura, hal tersebut justru

sebaliknya. Banyak peninggalan-peninggalan kerajaan yang terkubur bersama

waktu dan masa lalu karena tidak terlestarikannya peninggalan-peninggalan

tersebut sehingga dibutuhkan pengamatan lanjut untuk mempelajari peninggalan

bersejarah-nya.

Termasuk Syair Gulong. Syair Gulong ini merupakan peninggalan kerajaan

Tanjungpura yang berbentuk karya sastra. Uniknya, Syair Gulong bukanlah sebuah

karya sastra pada umumnya. Mengapa Syair ini kemudian berubah yang semula

dari karya sastra kemudian menjadi kesenian adat adalah terletak pada adanya

pembacaan syair tersebut dalam lantunan nyanyian, lagu-lagu, bernuansa Islam dan

. Inilah sebabnya mengapa Syair Gulong merupakan kesusasteraan sekaligus

kesenian yang sangat unik dan berharga sekali yang dimiliki oleh khususnya

kebudayaan Ketapang dan masyarakat di Kalimantan Barat secara umum.

Awalnya sastra Syair Gulong ini hanyalah sebuah bentuk karangan atau

disebut kengkarangan atau ada juga yang menyebutnya sebagai syair layang karena

bentuknya yang hanya berisikan selayang pandang. Lambat laun berubah menjadi

Syair Gulong dikarenakan syair tersebut ditulis di atas kertas kemudian digulung

5

dan disimpan di dalam paruh burung, digantung di puncak dahan kayu. Beberapa

pendapat lainnya ada yang mengatakan gulungan teks syair tersebut digantung di

tanduk rusa, atau dipaku di salah satu tiang rumah. Masalah wadah atau tempat

menyimpan teks Syair Gulong kemudian akan dibahas dalam penelitian ini.

Kesusasteraan Syair Gulong dikembangkan di kalangan bangsawan dan

kerajaan saja. Namun seiring pesatnya perkembangan kesenian ini, masyarakat

Ketapang mencoba mengembangkan kesenian yang serupa pula untuk kalangan

rakyat sehingga terciptalah kesenian Syair Gulong untuk kalangan masyarakat

diluar lingkungan kerajaan.

Terdapat perbedaan diantara Syair Gulong yang dikembangkan pada kedua

lingkungan yang berbeda ini. perbedaan ini sangat mencolok. Syair Gulong

kalangan rakyat kecil adalah mereka menyisipkan hiburan sehingga bentuk

kesenian Syair Gulong ini lebih atraktif sedangkan Syair Gulong di lingkungan

kerajaan tidak sama sekali. Disini mereka sebenarnya hanya mengutamakan

hiburan mengingat Syair Gulong yang dikembangkan oleh masyarakat berbeda

dengan Syair Gulong milik kerajaan, namun konteks utama Syair Gulong mereka

juga tetap berisi permohonan kepada pembesar akan suatu hal atau juga kritik atas

tindakan pembesar yang tidak disetujui oleh rakyat.

Mengakhiri akhir abad ke-19 dan masuk ke tahun 1900, merupakan periode

dimana Kerajaan Tanjungpura didatangi oleh tamu kolonialisme Belanda.

Meskipun Belanda telah masuk ke Kalimantan Barat pada 1870-an, pengalihan

pemerintahan termasuk pembentukkan kolonialisasi Belanda di Kalimantan Barat

adalah bermula diawal abad ke-19 tersebut.

6

Mundurnya Kerajaan Tanjungpura menyebabkan lingkungan sosial

kerajaan pun mundur beserta penduduk Istana meninggalkan Kerajaan. Tahun 1920

merupakan periode dimana Kolonialisme Hindia-Belanda telah mengambilalih

pemerintahan di Kalimantan Barat sekaligus menandai berakhirnya zaman

kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat serta berawalnya kolonisasi Pemerintah

Hindia-Belanda. Kemunduran kesusasteraan Ketapang ditandai dengan

menghilangnya semangat berkarya di dalam kesenian-kesenian kecil yang hidup di

masyarakat Ketapang termasuklah didalamnya kesenian Syair Gulong. Kerajaan

sudah mundur, tetapi mundurnya kerajaan justru membuka pergaulan masyarakat

Kalimantan untuk bergabung dengan orang-orang Jawa, Sumatera, Ambon dalam

mengembangkan nasionalisme itu.

Masyarakat Kalimantan Barat pada masa pergerakan nasional terjadi mulai

mencari kebenaran akan pengetahuan berkebangsaan Indonesia. Buku-buku

ataupun bahan bacaan seperti surat kabar, majalah secara bernagsur-angsur mulai

banyak membicarakan persoalan kemerdekaan, memaknai pentingnya arti

persatuan berbangsa bernegara. Diantara 1920-1921 di Pontianak terbit berkala

“Borneo Barat Bergerak”. Isi berkala yang menjadi organ partai atau organisasi itu

memang tidak sebagaimana isi koran biasa, karena lebih banyak memuat berita

aktivitas organisasi dan tulisan yang bersangkutan dengan ideologi5. Dalam hal ini,

memasyarakatkan ideologi nasionalisme dan Indonesia. Dengan kata lain,

semangat masyarakat yang timbul mengalami pergeseran ke arah yang lebih politik

5 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak,Sejarah Kebangkitan

Nasional Daerah Kalimantan Barat,(Pontianak, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek

Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah 1978/1979), hlm. 25.

7

dan nasionalis. Kebudayaan bergeser, dan hal tersebut terjadi selama kemerdekaan

Indonesia. Pergeseran tersebut sedikit tidaknya mempengaruhi jalannya kesenian

dan kebudayaan Melayu di Kalimantan Barat. Kepenulisan sastra mandek akibat

ketegangan politik antara pemerintah dan elemen-elemen pergerakan. Hilangnya

dokumentasi tentang spirit kebudayaan membuat masa kolonial lebih diwarnai oleh

politik dan pergerakan sosial di Kalimantan Barat.

Pasca-kemerdekaan, Jepang datang ke Kalimantan Barat dan dimulailah

masa pendudukan Jepang. Meski secara periode penjajahan mereka terbilang

pendek, Jepang cukup meninggalkan trauma pada masyarakat dengan banyaknya

orang yang hilang, entah diculik atau dibunuh secara diiam-diam. Dampaknya,

adalah berhentinya kegiatan seni dan budaya hampir di seluruh wilayah Kalimantan

Barat. Jepang yang cukup memberikan trauma serius dengan banyaknya orang-

orang yang hilang diculik ataupun tewas terbunuh tentara Nippon, menimbulkan

efek tidak hanya secara psikologis tetapi juga melemahnya semangat

berkebudayaan . Kegiatan-kegiatan adat serta elemen-elemen budaya dan sastra

termasuk di dalamnya kesenian Syair Gulong akhirnya berhenti total, tetapi

sebagian bertahan di pelosok-pelosok perkampungan di Kabupaten Ketapang.

Hidup bersama kelompok lingkungan yang kecil dan jauh dari pusat kota. Kondisi

ini menimbulkan kecilnya harapan atas eksistensi kesenian Syair Gulong tersebut.

20 tahun berselang, sekitar tahun 1970 kebudayaan dan kesenian di

Kalimantan Barat kembali hidup. Pada saat itu seni bertutur syair dan penulisannya

8

merupakan satu aktivitas yang relatif banyak pendukung aktifnya ; dalam arti,

pembaca dan penikmatnya6.

Datuk Abdul Latif selaku Sekretaris Dunia Islam menyatakan bahwa Syair

Gulong ini merupakan sebuah sastra yang masih tersisa di Kabupaten Ketapang

ditengah kondisi di dunia lainnya sudah tergerus oleh masa dan zaman. Sejalan

dengan perkataanya, kenyataan tersebut terdapat pada kemunduran yang cukup

masif di dalam eksistensi kebudayaan dan kegiatan adat istiadat masyarakat

Ketapang, Kalimantan Barat.

Penelitian mengenai kesenian Syair Gulong ini penting dengan alasan

melestarikan kesenian kecil daerah, aktualisasi budaya daerah bangsa, dan kearifan-

kearifan lokal masyarakat Melayu Kalimantan Barat. Syair Gulong adalah bagian

kecil dari kesenian dan sastra Kalimantan Barat yang perlu dilestarikan sebagai

dedikasi kepada budaya bangsa Indonesia. Selain itu, jenis kesenian ini selayaknya

diperkenalkan secara luas sebagai wujud pelestarian budaya dan aktualisasi

kesenian tersebut dikancah nasional.

B. Rumusan Masalah

Syair Gulong merupakan kesenian yang berasal dari rumpun sastra yaitu

syair. Kesenian syair pada zaman itu secara umum dibacakan dalam bentuk puisi

dan teatrikal. Kesenian bertutur Syair Gulong memiliki keunikan sendiri jika

dibandingkan dengan jenis kesenian bertutur syair lainnya. Syair Gulong dibacakan

dalam bentuk lagu-lagu, menyisipkan nyanyian bernuansa Islam di dalamnya. Hal

6 Chairil Effendy, Bercerite dan Bedande Tradisi Kesastraan Melayu Sambas, (Pontianak

: STAIN Pontianak Press, 2006), hlm. 19.

9

ini didukung oleh latar belakang agama Islam di dalam masyarakat yang kemudian

mengangkat tema-tema Islam di dalam setiap Syair Gulong. Keunikan inilah yang

kemudian menjadikan Syair Gulong bertransformasi, bergeser dari rumpun sastra

menjadi kesenian bertutur syair yang dinamis. Perubahan inilah kemudian

menciptakan pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah artikulasi Syair Gulong sebagai karya sastra , kebudayaan,

dan kehidupan yang berkembang di masyarakat Kalimantan Barat tahun 1950-

1990?

2. Bagaimana perubahan-perubahan fungsi Syair Gulong sebagai sebuah

khazanah baik dalam konteks sosial maupun seni serta representasinya terhadap

kesusasteraan dan kebudayaan di Kalimantan Barat tahun 1950-1990?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berjudul Dinamika Fungsi Syair Gulong sebagai

Khasanah Sosial dan Seni Bagi Masyarakat Kalimantan Barat pada 1950-1990 ini

adalah sebagai berikut :

1. Memahami definisi artikulasi kesenian Syair Gulong sebagai salah satu

nilai kesusasteraan yang berkembang baik di masyarakat Kalimantan Barat tahun

1950-1990.

2. Mengetahui fungsi Syair Gulong sebagai khasanah sosial dan seni yang

merepresentasikan kesusasteraan yang hidup di masyarakat Kalimantan Barat

tahun 1950-1990.

10

D. Manfaat Penelitian

Secara akademis penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana

Syair Gulong mengalami perkembangan di bidang kesenian dan kebudayaan, dan

juga sebagai khasanah sosial masyarakat Kalimantan Barat, yang terjadi pada tahun

19501-1990. Tujuan ini diharapkan akan menjadi sebuah tulisan sejarah yang

mengalami pengkajian, penelitian, dan penceritaan secara historis, dan

didedikasikan untuk melestarikan kebudayaan lokal. Secara praktis penelitian ini

menjadi acuan dalam pengembangan wawasan mengenai kebudayaan lokal dan

dinamika sosial yang hidup dalam masyarakat Kalimantan Barat. Selain itu, juga

mendeskripsikan serta mengetahui fungsi sosial Syair Gulong yang dikembangkan

oleh masyarakat , baik sebagai khazanah dalam konteks sosial dan seni.

E. Tinjauan Pustaka

Secara tema dan konteks yang diangkat dalam penelitian ini, maka perhatian

ini akan memfokuskan terhadap kajian-kajian yang berkaitan dengan kesusasteraan

dan kebudayaan daerah, dengan latar belakang periode masa Kerajaan-Kerajaan

Islam di Kalimantan Barat hingga zaman pemerintahan kolonial Belanda awal abad

ke-20.

Terkait dengan kesenian Syair Gulong sebagai pembahasan utama dalam

penelitian ini, maka literatur yang dikaji harus berhubungan dengan kesenian lokal

tersebut. Dengan tujuan didapatkan penjelasan, pemahaman, serta pengetahuan

tentang Syair Gulong sebagai salah satu kesenian lokal daerah di Kalimantan Barat

yang memiliki nilai sosial dan seni dalam kehidupan masyarakat.

11

Sebagai salah satu warisan budaya tak benda, karya-karya sastra Syair

Gulong tidak pernah dibukukkan. Mereka hanya berupa tulisan dalam gulung-

gulungan kertas yang lalu disimpan di dalam paruh burung. Meskipun begitu, tetapi

ada syair-syair dengan tahun-tahun yang lama yang kemudian selamat dan ditulis

kembali. Tulisan-tulisan tersebut kemudian tersimpan dalam dokumen dan arsip

milik lembaga kajian sejarah daerah. Oleh karena itu, salah satu kajian pustaka yang

diambil adalah mengkaji tulisan-tulisan ulang mengenai Syair Gulong tersebut

sebagai salah satu nilai utama yang dibahas dalam penelitian ini.

Yudo Sudarto, “Upaya Menggali dan Melestarikan Warisan Budaya dan

Sejarah Kerajaan Tanjungpura di Kabupaten Ketapang”. Makalah pada Kongres

Budaya Kalimantan Barat I Tahun 2008. Kongres tersebut merupakan pertemuan

yang di adakan di Pontianak pada tahun 2008 yang mengkaji kembali peradaban

dan kebudayaan yang perlu dilestarikan di Negeri Khatulistiwa itu. Salah satu

seminar yang disampaikan adalah mengenai warisan budaya tak benda oleh Yudo

Sudarto ini yang coba diangkat kembali dalam bentuk kesenian Syair

Gulong.Makalah ini secara umum membahas bentuk pelestarian akan warisan

budaya dan sejarah peninggalan Kerajaan Tanjungpura yang masih banyak belum

dikaji dan perlu dikaji sepenuhnya demi melestarikan peninggalan Kerajaan Islam

terbesar yang pernah ada di Ketapang, Kalimantan Barat.

Koleksi Makalah oleh Baswedan Badjuri dan kawan-kawan dari Majelis

Adat Budaya Ketapang yang berpartisipasi di dalam pembuatan Makalah yang

kemudian disampaikan di Festival Seni Budaya Kalimantan Barat pada tahun 2007.

Baswedan Badjuri adalah sekretaris Budaya dan Ilmu Olahraga Majelis Adat

12

Budaya Ketapang yang menaruh perhatian baik terhadap kebudayaan dan adat-

istiadat masyarakat Kalimantan Barat khususnya di Kabupaten Ketapang.

M. Dardi D. Has, “Kebudayaan, Adat-Istiadat dan Hukum Adat Ketapang”

terbitan Kantor Informasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ketapang tahun

2008. Buku ini berisi tentang Peradaban yang ditinggalkan oleh masa lalu yang

kemudian dikaji ulang sebagai peninggalan budaya yang ada pada masyarakat

Ketapang. M. Darbi merupakan salah seorang penggiat kebudayaan yang menaruh

perhatian baik terhadap pelestarian kebudayaan di Kalimantan Barat secara umum

dan kebudayaan secara khusus. Praktisi Budaya ini mencoba memetakan

peninggalan-peninggalan kebudayaan atau warisan tak benda yang dimiliki oleh

masyarakat Kalimantan Barat dewasa ini.

V.I.Braginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Dalam

Abad 7-19. Buku ini akan dimanfaatkan untuk mengetahui sejarah pertumbuhan

kesusasteraan klasik di Nusantara, dari abad 7 hingga abad ke-19, yang mampu

mengantarkan penulis menyusun latar belakang polemik kesusasteraan hingga

sampai kepada sejarah perkembangan kesusasteraan tersebut di Kalimantan Barat.

Ibrahim Badjuri, “Sejarah Singkat Kerajaan Tanjungpura dan Kerajaan-

Kerajaan yang Asal-Usulnya dari Kerajaan Tanjungpura” yang diterbitkan oleh

lembaga yang sama yaitu Kantor Informasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten

Ketapang tahun 2006. Buku ini merupakan panduan umum mengenai sejarah

Kerajaan-Kerajaan yang pernah ada di Kalimantan Barat.

M.Salim bin H. Achmad Atik, “Serial Sejarah Sekuntum Mawar Tentang

Sejarah & Hari Jadi Ketapang”. Jurnal ini adalah penelitian Salim bin Achmad

13

Atik yang mencoba menuliskan kembali sejarah hari jadinya Kabupaten Ketapang,

salah satu kabupaten di Kalimantan Barat yang diketahui sebagai pusat

pemerintahan Kerajaan Tanjungpura yang pertama di Kalimantan Barat. Junral ini

disimpan oleh Balai Kajian Sejarah dan Kebudayaan, Pontianak. Peneliti telah

mendapatkan salinan aslinya dan akan menggunakan jurnal tersebut sebagai kajian

pustaka dalam penelitian ini.

Chairil Effendy, “Bercerite dan Bedande ; Tradisi Kesastraan Sambas”.

STAIN Pontianak Press, 2006. Buku ini memaparkan tentang kesenian bertutur

cerita masyarakat Sambas. Substansi bertutur cerita yang diuraikan dalam buku ini

akan membantu penelitian ini menemukan perubahan-perubahan kesenian bertutur

masyarakat di Kalimantan Barat yang tidak hanya berhenti pada Syair Gulong saja.

Syair Sultan Madi (1923). Syair ini adalah hikayat kuno yang terbit pada

tahun 1923 yang berisi syair yang menceritakan tentang seorang bernama Sultan

Madi. Buku kuno ini merupakan arsip konvensional yang di dapatkan dari Balai

Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Pontianak. Kitab sastra klasik ini akan

menjadi insight penelitian dalam menjelaskan perkembangan sejarah kesusasteraan

di Kalimantan Barat, sebelum selanjutnya membahas Syair Gulong.

Syair Peresmian Madrasah Benua Kayung 18 Februari 2005. Dokumen

tersebut merupakan naskah syair yang ditulis oleh Uti Saban, penyair gulong yang

berasal dari Benua Baru, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang telah

mengeluti kesenian ini sejak 19607. Teks ini merupakan representasi naskah syair

gulong era kontemporer dimana kesenian tersebut telah mengalami dinamika secara

7 Wawancara dengan Uti Saban, 1 Agustus 2014.

14

sosial maupun seni dan mengerucut kepada kearifan lokal masyarakat Melayu

Ketapang, Kalimantan Barat.

Syair Kayung Pernikahan Erlambang Ardiansyah dan Lisa Amalia,

Desember 2013. Merupakan naskah Syair Gulong yang ditulis oleh penyair gulong

dari Ketapang Mahmud Mursalin. Teks syair tersebut akan digunakan sebagai bukti

otentik tentang perubahan yang terjadi dalam kesenian Syair Gulong dengan sudut

pandang sosial maupun kesenian.

Pantoen Melajoe terbitan Balai Poestaka, 1920. Buku ini menceritakan

pantun-pantun lama yang pernah ada di dalam kehidupan masyarakat pada tahun

1920 dan menceritakan masa-masa sebelumnya. Pantun adalah salah satu bagian

dari keluarga besar kesusasteraan lama yang sangat mungkin merepresentasikan

hubungan antara kesusasteraan lainnya seperti halnya Syair Gulong. Teks-teks

pantun di dalam buku ini akan menunjukkan perbedaan mendasar syair dan pantun

yang akan menjadi salah satu pengantar latar belakang kesejarahan sastra dalam

penelitian ini.

Chairil Effendy, Sastra sebagai Wadah Integrasi Budaya, STAIN

Pontianak Press, 2006. Secara umum buku ini memetakan serta menyajikan

informasi mengenai pusat-pusat perkembangan sastra Kalimantan Barat. Istilah

pusat-pusat perkembangan merujuk kepada wilayah-wilayah yang masyarakatnya

relatif masih baik memproduksi dan mengembangkan berbagai bentuk karya sastra,

baik tulis maupun lisan8.

8 Chairil Effendy, Sastra sebagai Wadah Integrasi Budaya, (Pontianak : STAIN

Pontianak Press, 2006), hlm. 83.

15

Poltak Johansen, dkk, Jurnal Sejarah dan Budaya Kalimantan No.7/2005.

Jurnal ini merupakan hasil penelitian oleh tim peneliti yang diketuai oleh Poltak

Johansen, Juniar Purba, dkk, yang diterbitkan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai

Tradisional Pontianak. Dalam sala satu jurnal tersebut, ada penelitian yang berjudul

“Kesenian Tradisional Hadrah pada masyarakat di Kecamatan Pontianak Timur”.

Kesenian hadrah merupakan kesenian tradisional masyarakat Pontianak yang

memiliki kemiripan dengan kesenian bertutur syair gulong. Perbedaan konsep

bertutur hadrah ini mampu digunakan untuk mendeteksi sejauh mana dinamika

kesenian teks lisan masyarakat Mela yu di Kalimantan Barat.

Majalah dwimingguan Borneo Barat Bergerak tahun 1926. Sebuah majalah

yang pernah eksis pada tahun 1920-an di Kalimantan Barat. Di medio 1920-an,

Surat kabar dan majalah secara berangsur-angsur mulai banyak Buletin

dwimingguan ini merupakan wadah media organisasi atau partai yang banyak

memuat aktivitas organisasi atau partai. Media cetak yang hidup pada masa itu

banyak berbicara mengenai tujuan kehidupan yang lebih baik, dan sudah terdapat

ide-ide nasionalisasi yang hidup di masyarakat Kalimantan Barat. Arsip sezaman

ini akan digunakan sebagai insight aktivitas kesusasteraan yang hidup, serta

perubahan penulisan yang terjadi dalam sudut pandang sosial dan seni budaya.

F. Metode Penelitian

Dalam memahami peristiwa-peristiwa di masa lampau sebagai fakta sejarah

memerlukan adanya tahapan atau proses sehingga dibutuhkan metode serta

pendekatan agar terbentuk sebuah bangunan sejarah yang utuh. Penelitian sejarah

16

dalam studi ini memakai pandangan sejarah kritis yang didasarkan pada metode

historis yang didalamnya mencakup kegiatan pengumpulan sumber, menguji,

menganalisis secara kritis dari rekaman dan peningalan masa lampau, kemudian

diadakan rekontruksi dari data yang diperoleh sehingga menghasilkan penulisan

sejarah (historiografi).9

1. Heuristik

Heuristik adalah proses mencari untuk menemukan sumber-sumber.

Adapun penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data atau sumber dengan

studi dokumen dan studi pustaka, meliputi :

a. Studi Dokumen

Dalam melaksanakan pengumpulan data untuk penulisan penelitian ini

menggunakan studi dokumen. Baik itu berupa surat-surat resmi dan surat-surat

negara. Studi dokumen bertujuan untuk memperoleh dokumen yang benar-benar

berkaitan dengan penelitian. Studi dokumen ini untuk memperoleh data primer

berupa arsip, kitab-kitab syair, dan teks-teks syair sejaman mengenai kondisi umum

Kalimantan Barat awal abad-20 hingga tahun 1990, Aktifitas yang berkaitan dengan

kesenian Syair Gulong di Kalimantan Barat dan arsip-arsip yang berkaitan lainnya.

Dokumen otentik sezaman meliputi Syair Bulan Terbit 1922, Syair Tuan Madi,

Borneo Barat Bergerak 1920, dan naskah-naskah syair era kontemporer seperti

Syair Peresmian Madrasah Benua Kayung 18 Februari 2005, Syair Pernikahan

Erlambang Ardiansyah dan Lisa Amalia, Desember 2013.

9 Louis Gottshalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm.

32.

17

b. Studi Pustaka

Untuk menunjang penelitian ini juga menggunakan studi pustaka dalam

mengumpulkan data. Studi pustaka ini sangat berguna dalam mendukung,

melengkapi data-data penelitian dan juga sebagai referensi, artikel, laporan

penelitian dan karya ilmiah lainnya yang sesuai dengan tema dan permasalahan

yang akan dibahas. Studi pustaka ini sendiri diperoleh dari Perpustakaan Nasional,

Perpustakaan Arsip Nasional Republik Indonesia, Balai Kajian Sejarah dan Nilai

Tradisional, Perpustakaan Jurusan Ilmu Sejarah UNS, dan Perpustakaan Pusat

UNS.

2. Kritik Sumber

Kritik sejarah adalah menilai atau mengkritik sumber, baik itu kritik ekstern

bertujuan untuk mencari keaslian sumber, sedangkan kritik intern bertujuan untuk

mencari keaslian isi sumber atau data. Setelah pengumpulan sumber tadi telah

terlaksana, kemudian saling, mencocokkan kesamaan serta keaslian arsip maupun

sumber sejarah yang telah didapatkan. Mulai dari surat kabar yang sejaman kita

mencocokkan, memilah data, dan melakukan pengurutan sesuai dengan tahun terbit

surat kabar tersebut sehingga mampu membentuk suatu rentetan kronologi kejadian

dari tahun-tahun yang ada. Seperti yang sudah penulis temukan Syair Bulan Terbit,

Syair Tuan Madhi yang merupakan naskah syair klasik yang lestari hingga tahun

1990-an. Selain itu ada naskah-naskah syair kontemporer seperti Syair Peresmian

Madrasah Benua Kayung 18 Februari 2005, dan Syair Peresmian Madrasah Benua

Kayung 18 Februari 2005. Teks-teks tersebut akan digunakan sebagai komparasi

terhadap kitab-kitab syair klasik sebelumnya untuk menemukan Dinamika Fungsi

18

Syair Gulong sebagai Khasanah Sosial dan Seni masyarakat Kalimantan Barat

1970-1990.

3. Interpretasi

Interpretasi yaitu penafsiran terhadap data-data yag dimunculkan dari data-

data yang sudah terseleksi. Tujuan dari interpretasi adalah menyatukan sejumlah

fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah. Bersama teori disusunlah fakta

tersebut ke dalam interpretasi yang menyeluruh. Ini sama halnya dengan melakukan

analisis data yang diperoleh. Data yang telah diperoleh kemudian mencoba

mengaitkannya dengan fenomena sosial-ekonomi yang terjadi pada sesuai periode

tema dengan menggunakan beberapa teori yang serupa.

4. Historiografi

Historiografi yaitu menyajikan hasil penelitian berupa penyusunan fakta-

fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut teknik

penulisan sejarah.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran terperinci, skripsi ini disusun berdasarkan

kerangka sebagai berikut:

BAB I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian,

dan sistematika penulisan.

BAB II Gambaran Umum Kerajaan Tanjungpura awal abad-20, berisi mengenai

Sejarah Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat awal abad-20, Dinamika, gaya

19

hidup, hingga pertumbuhan lingkungan sosial di Kalimantan Barat awal abad-20,

dan perkembangan kesusasteraan di Kalimantan Barat awal abad-20

BAB III berisi Sejarah Perkembangan Syair Gulong tahun 1970-1990, terdiri atas

dua sub bab mengenai sekilas sejarah awal mula kengkarangan dan Perkembangan

Syair Gulong 1970-1990 di Kalimantan Barat.

BAB IV tentang Perubahan Fungsi Syair Gulong dalam Bidang Sosial dan Seni

Tahun 1970-1990. Bab ini terdiri atas dua sub bab mengenai Transformasi dari

kesusasteraan syair-syair kitab yang tekstual menuju kesenian pertunjukkan yang

hidup di tengah-tengah masyarakat sekaligus menjadi trigger tumbuhnya kesenian-

kesenian serupa di beberapa wilayah lainnya di Kalimantan Barat.

BAB V adalah kesimpulan yang merupakan hasil temuan penelitian dan merupakan

jawaban dari permasalahan yang ada.