bab ii buku (baru)

69
BAB II PARADIGMA DAN PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASINYA DALAM PENELITIAN Berikut ini akan dijelaskan pengertian paradigma menurut beberapa ahli, paradigma dalam penelitian kuantitatif dan, berbagai macam paradigma penelitian kualitatif, serta serta prinsip-prinsip implementasinya dalam dua macam penelitian tersebut. 1. PENGERTIAN PARADIGMA Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic belief system or worldview that guides the investigator, not only in choices of method but in ontologically and epistomologically fundamental ways.” Pengertian tersebut mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metoda tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan epistomologis. Secara singkat, Denzin & Lincoln (1994:107) mendefinisikan “Paradigm as Basic Belief Systems Based on Ontological, Epistomological, and Methodological Assumptions.” Paradigma merupakan sistem keyakinan dasar berdasarkan asumsi ontologis, epistomologis, dan metodologi. Denzin & Lincoln (1994:107) menyatakan: “A paradigm may be viewed as a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principle.” Suatu paradigma dapat dipandang sebagai seperangkat kepercayaan dasar (atau yang berada di 29

Upload: dianna-elgrand

Post on 10-Aug-2015

39 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Buku (Baru)

BAB II

PARADIGMA DAN PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASINYA

DALAM PENELITIAN

Berikut ini akan dijelaskan pengertian paradigma menurut beberapa ahli,

paradigma dalam penelitian kuantitatif dan, berbagai macam paradigma penelitian

kualitatif, serta serta prinsip-prinsip implementasinya dalam dua macam penelitian

tersebut.

1. PENGERTIAN PARADIGMA

Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic

belief system or worldview that guides the investigator, not only in choices of

method but in ontologically and epistomologically fundamental ways.” Pengertian

tersebut mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau cara

memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metoda

tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan epistomologis.

Secara singkat, Denzin & Lincoln (1994:107) mendefinisikan “Paradigm as Basic

Belief Systems Based on Ontological, Epistomological, and Methodological

Assumptions.” Paradigma merupakan sistem keyakinan dasar berdasarkan asumsi

ontologis, epistomologis, dan metodologi. Denzin & Lincoln (1994:107)

menyatakan: “A paradigm may be viewed as a set of basic beliefs (or

metaphysics) that deals with ultimates or first principle.” Suatu paradigma dapat

dipandang sebagai seperangkat kepercayaan dasar (atau yang berada di balik fisik

yaitu metafisik) yang bersifat pokok atau prinsip utama. Sedangkan Guba

(1990:18) menyatakan suatu paradigma dapat dicirikan oleh respon terhadap tiga

pertanyaan mendasar yaitu pertanyaan ontologi, epistomologi, dan metodologi.

Selanjutnya dijelaskan:

a. Ontological: What is the nature of the “knowable?” or what is the nature of

reality? Ontologi: Apakah hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui? Atau

apakah hakikat dari realitas? Secara lebih sederhana, ontologi dapat dikatakan

mempertanyakan tentang hakikat suatu realitas, atau lebih konkret lagi,

ontologi mempertanyakan hakikat suatu fenomena.

29

Page 2: BAB II Buku (Baru)

b. Epistomological: What is the nature of the relationship between the knower

(the inquirer) and the known (or knowable)? Epistomologi: Apakah hakikat

hubungan antara yang ingin mengetahui (peneliti) dengan apa yang dapat

diketahui? Secara lebih sederhana dapat dikatakan epistomologi

mempertanyakan mengapa peneliti ingin mengetahui realitas, atau lebih

konkret lagi epistomologi mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi

atau dapat terjadi?

c. Methodological: How should the inquirer go about finding out knowledge?

Metodologi: Bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan? Secara lebih

sederhana dapat dikatakan metodologi mempertanyakan bagaimana cara

peneliti menemukan pengetahuan, atau lebih konkret lagi metodologi

mempertanyakan cara atau metoda apa yang digunakan oleh peneliti untuk

menemukan pengetahuan?

Sedang Denzin & Lincoln (1994:108) menjelaskan ontologi, epistomologi,

dan metodologi sebagai berikut:

– The ontological question: What is the form and nature of reality and,

therefore, what is there that can be known about

it? Pertanyaan ontologi: “Apakah bentuk dan

hakikat realitas dan selanjutnya apa yang dapat

diketahui tentangnya?”

– The epistomological question: What is the nature of the relationship between

the knower or would be-knower and what can be

known? Pertanyaan epistomologi: “Apakah

hakikat hubungan antara peneliti atau yang akan

menjadi peneliti dan apa yang dapat diketahui.”

– The methodological question: How can the inquirer (would-be knower) go

about finding out whatever he or she believes can

be known. Pertanyaan metodologi: “Bagaimana

cara peneliti atau yang akan menjadi peneliti dapat

menemukan sesuatu yang diyakini dapat

diketahui.”

30

Page 3: BAB II Buku (Baru)

Apabila dianalisis secara saksama dapat disimpulkan bahwa pandangan

Guba dan pandangan Denzin & Lincoln tentang ontologi, epistomologi serta

metodologi pada dasarnya tidak ada perbedaan. Dengan mengacu pandangan

Guba (1990) dan Denzin & Lincoln (1994) dapat disimpulkan paradigma adalah

sistem keyakinan dasar yang berlandaskan asumsi ontologi, epistomologi, dan

metodologi atau dengan kata lain paradigma adalah sistem keyakinan dasar

sebagai landasan untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa itu hakikat

realitas, apa hakikat hubungan antara peneliti dan realitas, dan bagaimana cara

peneliti mengetahui realitas.

Sedang Salim (2001:33), yang mengacu pandangan Guba (1990), Denzin

& Lincoln (1994) menyimpulkan paradigma merupakan seperangkat

kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak

dalam kehidupan sehari-hari. Atau seperangkat keyakinan mendasar yang

memandu tindakan-tindakan kita baik tindakan keseharian maupun dalam

penyelidikan ilmiah. Dalam bidang ilmu pengetahuan ilmiah paradigma

didefinisikan sebagai sejumlah perangkat keyakinan dasar yang digunakan untuk

mengungkapkan hakikat ilmu pengetahuan yang sebenarnya dan bagaimana cara

untuk mendapatkannya.

Dalam komunitas Sosiologi, definisi paradigma yang banyak digunakan

mengacu pada definisi dari George Ritzer. Menurut Ritzer dalam buku: Sociology

A Multiple Paradigm Science (1975): paradigma merupakan gambaran

fundamental tentang pokok permasalahan dalam suatu ilmu pengetahuan.

Paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari,

pertanyaan apa yang harus dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu

dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi

jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan suatu konsensus yang paling

luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas

ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain. Paradigma memasukkan,

mendefinisikan, dan menghubungkan eksemplar, teori, metode, dan instrumen

yang ada di dalamnya (Ritzer, 1975 dalam Lawang, 1998:2).

Catatan: eksemplar adalah contoh atau model penelitian yang secara konsisten

(kurang lebih) memperlihatkan hubungan antara gambaran fundamental tentang

pokok permasalahan, teori, dan metode yang digunakan (Lawang, 1999:4).

31

Page 4: BAB II Buku (Baru)

Gambar 14 : George Ritzer

Menurut pendapat penulis, definisi paradigma yang dikemukakan Ritzer

tersebut mengandung tiga asumsi yaitu ontologi, epistomologi, dan metodologi.

Ini dapat dilihat dari pernyataan: “paradigma membantu memberikan definisi

tentang apa yang harus dipelajari (asumsi ontologi), pertanyaan apa yang harus

dikemukakan (asumsi epistomologi), bagaimana pertanyaan itu dikemukakan,

dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasikan jawaban

yang diperoleh (asumsi metodologi). Dengan demikian definisi paradigma Ritzer

mengandung tiga asumsi mendasar yang sama dengan definisi paradigma dari

Guba, Denzin & Lincoln, yaitu asumsi ontologi, epistomologi, dan metodologi.

Menurut Creswell (1994: 6), paradigma merupakan landasan untuk

mencari jawaban atas lima pertanyaan mendasar, yaitu ontologi, epistomologi,

aksiologi, retorika, dan metodologi. Aksiologi adalah jawaban atas pertanyaan apa

peranan nilai, sedang retorika adalah jawaban atas pertanyaan apa bahasa yang

digunakan dalam penelitian.

Dari semua uraian di atas dapatlah dikemukakan bagaimana seseorang

mengembangkan dan menggunakan suatu paradigma ilmu pengetahuan dengan

melihat cara pandang yang digunakan dalam menjawab lima pertanyaan

mendasar, yaitu: ontologi, epistomologi, aksiologi, retorika, dan metodologi. Oleh

karena itu, uraian selanjutnya akan dikemukakan prinsip-prinsip implementasi,

dimensi-dimensi paradigma dalam penelitian kuantitatif dan dalam penelitian

kualitatif.

32

Page 5: BAB II Buku (Baru)

2. PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASI PARADIGMA DALAM PENELITIAN

Dalam penelitian ilmiah dikenal dua jenis penelitian yaitu penelitian

dengan pendekatan kuantitatif atau penelitian kuantitatif dan penelitian dengan

pendekatan kualitatif atau penelitian kualitatif. Sebelum dijelaskan paradigma dari

setiap jenis penelitian tersebut dan bagaimana implementasinya, akan diuraikan

terlebih dahulu perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif.

Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif

baik yang dikemukakan oleh Suparlan maupun oleh Creswell, Denzin & Lincoln,

Guba & Lincoln, Moustyan yang akan diuraikan di bawah ini merupakan prinsip-

prinsip implementasi dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.

Perbedaan Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif

Suparlan (1997) menjelaskan perbedaan penelitian kuantitatif dengan

penelitian kualitatif sebagai berikut:

a) Penelitian Kuantitatif

Landasan berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang

pertama kali diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan filsafat

positivisme adalah bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-

gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus

dipelajari secara objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai “benda,”

seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam. Caranya dengan melakukan

observasi atau mengamati fakta sosial untuk melihat kecenderungan-

kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan

demikian kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat

diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisis yang

dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data

dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas dan variabel

tergantung (Suparlan, 1997:95).

Pada buku yang lain Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif

memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik

tertentu dalam kehidupan manusia, yang dinamakan variabel. Hakikat

hubungan antara variabel-variabel dianalisa dengan menggunakan teori yang

objektif. Karena sasaran kajian dari penelitian kuantitatif adalah gejala-gejala,

33

Page 6: BAB II Buku (Baru)

sedangkan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu tidak terbatas

banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan

hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik. Statistik dalam

penelitian kuantitatif berguna untuk menggolong-golongkan dan

menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan ketepatan yang dapat

diukur, termasuk juga dalam penganalisaan dari data yang telah dikumpulkan

(Suparlan, 1994:6-7).

b) Penelitian Kualitatif

Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max

Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan

gejala-gejala sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-

tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial

tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama dalam sosiologi dari Max Weber

adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan erklaren atau penjelasan). Agar

dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang

peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat

memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat

pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam

gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan, 1997:95).

Pada buku yang lain, Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kualitatif

memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan

satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola.

Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan

dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai

pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi

dengan menggunakan teori yang objektif. Penelitian kualitatif sasaran

kajiannya adalah pola-pola yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip yang

secara umum dan mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas kehidupan

manusia, maka juga analisis terhadap gejala-gejala tersebut tidak dapat tidak

harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan sebagai kerangka

acuannya. Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka acuan

34

Page 7: BAB II Buku (Baru)

lainnya maka maknanya adalah menurut kebudayaan lain; tidak objektif,

sehingga pendekatan kualitatif tidak relevan (Suparlan, 1994:6-7).

Dari uraian Suparlan tersebut sudah jelas perbedaan yang fundamental

antara penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Agar terdapat

gambaran yang lebih rinci perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian

kualitatif akan dikemukakan pandangan Cresswell (1994), Denzin & Lincoln

(1994), Guba & Lincoln (1994), dan Moustyan (1995) (dalam Neuman,

1997:14) sebagai berikut.

Quantitative Style (Model Kuantitatif)

a. Measure objective facts (mengukur fakta yang objektif)

b. Focus on variables (terfokus pada variabel-variabel)

c. Reliability is key (reliabilitas merupakan kunci)

d. Value free (bersifat bebas nilai)

e. Independent of context (tidak tergantung pada konteks)

f. Many cases subjects (terdiri atas kasus atau subjek yang banyak)

g. Statistical analysis (menggunakan analisis statistik)

h. Researcher is detached (peneliti tidak terlibat)

Qualitative Style (Model Kualitatif)

a. Construct social reality, cultural meaning (mengonstruksi realitas sosial,

makna budaya)

b. Focus on interactive processes, events (berfokus pada proses interpretasi dan

peristiwa-peristiwa)

c. Authenticity is key (keaslian merupakan kunci)

d. Values are present and explicit (nilai hadir dan nyata / tidak bebas nilai)

e. Situationally constrained (terikat pada situasi / terikat pada konteks)

f. Few cases subjects (terdiri atas beberapa kasus atau subjek)

g. Thematic analysis (bersifat analisis tematik)

h. Researcher is involved (peneliti terlibat)

35

Page 8: BAB II Buku (Baru)

Penjelasan dan contoh Model Kuantitatif

a. Mengukur fakta yang objektif

Setiap fakta atau fenomena yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan

variabel (hal-hal yang pokok dalam suatu masalah) untuk mendapatkan

objektivitas, variabel tersebut harus diukur. Misalnya untuk mengetahui

kualitas atau kadar atau tinggi rendahnya motivasi kerja karyawan suatu

perusahaan dilakukan tes atau dengan kuesioner yang disusun berdasarkan

komponen-komponen/unsur-unsur/indikator-indikator dari variabel penelitian

yang dalam hal ini motivasi kerja karyawan.

b. Terfokus pada variabel-variabel

Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu ditentukan variabel-variabel

atau hal-hal pokok yang terdapat dalam suatu masalah/gejala/fenomena.

Penentuan variabel-variabel tersebut berdasarkan hukum sebab-akibat, suatu

gejala yang terjadi merupakan akibat dari gejala yang lain atau karena adanya

hubungan atau pengaruh gejala lain. Di sini terjadi cara berpikir nomotetik.

Misalnya dalam suatu perusahaan terjadi gejala penurunan produktivitas kerja

karyawan. Selanjutnya dilakukan pengkajian secara teoritis faktor-faktor apa

yang menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas kerja tersebut.

Misalnya secara teori ditemukan bahwa produktivitas kerja dipengaruhi oleh

faktor-faktor motivasi kerja dan kepemimpinan manajer. Kemudian pengaruh

atau hubungan dari data hasil pengukuran masing-masing variabel diuji secara

statistik apakah benar variabel motivasi kerja dan kepemimpinan manajer

mempunyai pengaruh atau mempunyai hubungan dengan variabel

produktivitas kerja. Dan apakah pengaruh atau hubungan tersebut signifikan

atau dapat dipercaya (mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi). Apabila

hasil analisis statistik menyatakan variabel-variabel tersebut mempunyai

pengaruh atau hubungan secara signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa

produktivitas kerja karyawan dipengaruhi oleh variabel motivasi kerja dan

kepemimpinan manajer atau mempunyai hubungan dengan motivasi kerja dan

kepemimpinan manajer.

Catatan: Analisis statistik yang dipergunakan untuk mengukur pengaruh suatu

variabel pada variabel lain berbeda dengan analisis statistik yang dipergunakan

36

Page 9: BAB II Buku (Baru)

untuk mengukur hubungan suatu variabel dengan suatu variabel yang lain atau

beberapa variabel. Analisis statistik untuk mengukur pengaruh suatu variabel

pada variabel yang lain di antaranya menggunakan analisis statistik multiple

regression (regresi ganda), sedangkan untuk mengukur hubungan suatu

variabel dengan variabel lain di antaranya menggunakan analisis statistik

correlation (korelasi) misalnya correlation product-moment (korelasi product-

moment) dari Carl Pearson atau Spearman-Brown.

c. Reliabilitas merupakan kunci

Reliabilitas atau keajegan suatu tes atau kuesioner mempunyai arti bahwa tes

atau kuesioner tersebut menghasilkan skor yang relatif sama walaupun

dilakukan pada waktu yang berbeda. Suatu alat ukur atau instrumen penelitian

(misalnya tes atau kuesioner) apabila memiliki reliabilitas yang tinggi akan

menyebabkan hasil penelitian itu akurat. Oleh karena itu, reliabilitas

merupakan kunci dalam penelitian kuantitatif, karena apabila alat ukur atau

instrumen penelitian reliabel (terpercaya), maka akan berdampak hasil

penelitian akurat. Di samping alat ukur harus reliabel dipersyaratkan pula

harus valid (sahih) atau memiliki validitas (kesahihan). Suatu instrumen

penelitian dikatakan valid atau memiliki validitas apabila dapat mengukur apa

yang seharusnya diukur.

Catatan: Uji statistik untuk mengukur reliabilitas diantaranya adalah Analisis

Alpha Cronbach dan KR-20 (Kuder-Richardson 20). Sedangkan uji statistik

untuk mengukur validitas dilakukan di antaranya dengan mengorelasikan skor

setiap item dengan skor total (jumlah seluruh skor item dikurangi skor item

yang dikorelasikan).

d. Bebas nilai

Dalam penelitian kuantitatif pengujian terhadap gejala/fenomena tidak

dikaitkan dengan budaya atau nilai-nilai budaya masyarakat yang

melatarbelakangi fenomena tersebut. Pengaruh nilai-nilai budaya terhadap

fenomena tidak diperhitungkan atau tidak diperhatikan. Sebagai contoh salah

satu komponen dari konsep diri adalah kelebihan dan kelemahan pada diri

individu. Dalam budaya Barat seorang individu untuk menyatakan kelebihan

dan kelemahan diri sendiri tidak menjadi masalah. Seorang individu untuk

37

Page 10: BAB II Buku (Baru)

dapat dikatakan memiliki konsep diri yang positif, individu tersebut dapat

menyatakan kelemahan dan kelebihannya di samping memiliki kriteria-

kriteria konsep diri yang lain. Sedangkan pada budaya Timur perilaku yang

demikian dapat dikategorikan perilaku sombong. Dalam penelitian kuantitatif

pengaruh nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan, karena menurut paradigma

yang dipergunakan sebagai landasan berpijak pada penelitian kuantitatif,

kriteria-kriteria konsep diri bersifat universal atau berlaku umum.

e. Tidak tergantung pada konteks

Suatu fenomena terkait dengan konteks artinya terkait dengan situasi atau

lingkungan yang menyertai fenomena tersebut. Fenomena yang sama,

konteksnya dapat berbeda. Misalnya fenomena aktualisasi diri atau kebutuhan

untuk mewujudkan kemampuan dirinya (Teori Motivasi Abraham Maslow)

bagi orang-orang perkotaan akan berbeda dengan orang-orang pedesaan.

Aktualisasi diri orang Jakarta akan berbeda dengan orang pedesaan yang

tinggal di lereng gunung Merapi, di lereng Merbabu, di pedalaman

Kalimantan, atau di pedalaman Irian Barat (Papua). Aktualisasi diri orang

Jakarta dimanifestasikan dalam kemampuan teknologi, teknologi informasi,

bahasa asing, manajemen, dan lain-lain, sedangkan orang-orang pedesaan di

lereng gunung Merapi dan Merbabu atau di pedalaman Kalimantan atau di

pedalaman Papua dimanifestasikan dalam kemampuan bertani atau bercocok

tanam, memelihara binatang, atau memburu binatang buas atau menguasai

seni lokal atau seni daerah setempat. Penelitian kuantitatif tidak tergantung

konteks dari fenomena yang diteliti.

38

Page 11: BAB II Buku (Baru)

Gambar 15 : Abraham Maslow

f. Terdiri dari kasus-kasus atau subjek-subjek yang banyak

Dalam penelitian kuantitatif diperlukan adanya kasus-kasus atau subjek-subjek

yang banyak. Hal ini bertujuan agar dapat digeneralisasikan atau dapat

diberlakukan secara umum. Untuk itu terdapat terminologi populasi, sampel,

dan technique sampling (teknik menentukan sampel). Populasi adalah seluruh

atau jumlah individu dari suatu wilayah atau organisasi atau instansi atau

perusahaan yang memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari selanjutnya untuk ditarik kesimpulan. Sedang sampel adalah

sebagian dari populasi yang mewakili populasi, oleh karena itu sampel harus

representatif (harus dapat mewakili) artinya sampel harus dapat

menggambarkan keadaan populasi. Terdapat beberapa teknik sampling (cara

pengambilan sampel), di antaranya: total sampling, yaitu apabila seluruh

individu atau seluruh anggota populasi dijadikan sampel; stratified random

sampling, yaitu apabila setiap strata/tingkat/bagian ada wakil yang dijadikan

sampel dan dilakukan secara acak (random); purposive sampling, yaitu apabila

individu yang dijadikan sampel memiliki persyaratan tertentu sesuai tujuan

penelitian; accidental sampling, yaitu individu yang dijadikan sampel adalah

individu yang dapat ditemui; dan lain-lain. Dengan adanya sampel yang

representatif terhadap populasinya, maka penelitian cukup dilakukan terhadap

sampel, dan hasil penelitian terhadap sampel tersebut dapat digeneralisir

39

Page 12: BAB II Buku (Baru)

artinya dapat menggambarkan populasi, walaupun penelitian hanya ditujukan

pada sampel, tetapi sudah dapat untuk menggambarkan keadaan populasi.

g. Menggunakan analisis statistik

Dalam penelitian kuantitatif digunakan analisis statistik bertujuan agar dapat

mendeskripsikan secara akurat suatu fenomena (erklaren). Sedangkan dalam

penelitian kualitatif tidak menggunakan analisis statistik karena tujuannya

tidak akan mendeskripsikan suatu fenomena tetapi mencari makna guna

mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen). Terdapat beberapa

macam teknik analisis statistik, misalnya sebagaimana telah diuraikan di

depan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel yang satu

dengan variabel yang lain digunakan teknik analisis statistik korelasi product-

moment dari Carl Pearson atau dari Spearman-Brown. Untuk mengetahui ada

tidaknya pengaruh antara variabel yang satu pada variabel yang lain digunakan

analisis statistik multiple regression. Untuk mengetahui ada tidaknya

perbedaan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain digunakan

rumus t-test. Dalam penelitian kuantitatif digunakan istilah-istilah yang

spesifik dan tidak digunakan dalam penelitian kualitatif, misalnya variabel,

validitas, reliabilitas, hipotesis, signifikan, dan lain-lain. Signifikan digunakan

untuk menggambarkan apabila hubungan, perbedaan, pengaruh antara suatu

variabel dengan variabel yang lain mempunyai makna, untuk itu kemungkinan

salah perhitungannya dibatasi maksimal 5%, atau dengan simbol statistik p <

0.05. Suatu hubungan atau perbedaan atau pengaruh antara variabel yang satu

dengan variabel yang lain apabila p < 0.05 (tingkat kesalahan sama atau lebih

kecil dari 5%) dinyatakan signifikan atau bermakna.

h. Peneliti tidak memihak

Dalam penelitian kuantitatif peneliti tidak memihak, artinya peneliti

menghindari subjektivitas dari subjek yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif

peneliti justru berusaha mengetahui persepsi subjektif dari subjek yang diteliti.

Hasil penelitian kualitatif merupakan hasil analisis persepsi subjektif dari

subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena. Sedangkan dalam penelitian

kuantitatif peneliti sejauh mungkin mengeleminir subjektivitas dari subjek

40

Page 13: BAB II Buku (Baru)

yang diteliti. Oleh karena itu dalam penelitian kuantitatif dikatakan peneliti

tidak memihak.

Penjelasan dan contoh Model Kualitatif

a. Mengonstruksi realitas sosial, makna budaya

Apabila penelitian kuantitatif berusaha mengukur fakta yang objektif atau

dengan kata lain mendeskripsikan suatu fenomena atau realitas, maka

penelitian kualitatif ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam. Untuk

itu harus mencari nomenon atau makna di balik fenomena. Atau dapat

dikatakan penelitian kuantitatif berusaha mendeskripsikan fenomena secara

akurat (erklaren), sedangkan penelitian kualitatif ingin mendapatkan makna di

balik fenomena, untuk itu perlu mendapatkan pemahaman yang mendalam

dari suatu fenomena (verstehen).

Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen), tidak cukup

apabila hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga

mengapa dan bagaimana dari suatu fenomena. Mengapa suatu fenomena ada

atau terjadi, bagaimana suatu fenomena terjadi atau bagaimana proses

terjadinya suatu fenomena. Dan hal ini, yaitu pengetahuan tentang apa,

mengapa, dan bagaimana, dapat dikuasai manusia, karena manusia

mempunyai metakognisi yang mampu menghasilkan pengetahuan deklaratif

(pengetahuan tentang apa), pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang

bagaimana), dan pengetahuan kondisional (pengetahuan tentang mengapa dan

kapan) (Micchenbaum, dkk, 1985 dalam Woolfolk, 1998:267). Untuk

mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen) tidak cukup hanya

mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga mengapa dan

bagaimana suatu fenomena terjadi. Pendapat penulis ini mengacu pendapat

Suparlan (1997: 99) sebagai berikut: “Dalam pendekatan kualitatif,

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan-pertanyaan

penelitian bukan hanya mencakup: apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana,

tetapi yang terpenting yang harus tercakup dalam pertanyaan-pertanyaan

penelitian tersebut adalah mengapa. Pertanyaan mengapa menuntut jawaban

mengenai hakikat yang ada dalam hubungan diantara gejala-gejala atau

konsep-konsep, sedangkan pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, dimana, dan

41

Page 14: BAB II Buku (Baru)

kapan menuntut jawaban mengenai identitas, dan pertanyaan bagaimana

menuntut jawaban mengenai proses-prosesnya.

Poerwandari (1998:17) menyatakan penelitian kualitatif dilakukan untuk

mengembangkan pemahaman. Penelitian kualitatif membantu mengerti dan

menginterpretasi apa yang ada di balik peristiwa: latar belakang pemikiran

manusia yang terlibat di dalamnya, serta bagaimana manusia meletakkan

makna pada peristiwa yang terjadi. Pengembangan hukum umum tidak

menjadi tujuan penelitian, upaya-upaya mengendalikan atau meramalkan juga

tidak menjadi aspek penting. Aspek subjektif manusia menjadi hal penting.

Penelitian kualitatif dinyatakan mengonstruksi realitas sosial, karena

penelitian kualitatif berlandaskan paradigma Konstruktivisme yang

berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil

pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi rasio

subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada

subjek dan bukan pada objek, ini berarti ilmu pengetahuan bukan hasil

pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh rasio.

b. Berfokus pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa

Penelitian kuantitatif berfokus pada variabel-variabel, bahkan sebelum

penelitian dilakukan telah ditentukan terlebih dahulu variabel-variabel yang

akan diteliti. Sedangkan dalam penelitian kualitatif, fokus perhatiannya pada

proses interaksi dan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadiannya itu sendiri,

bukan pada variabel-variabel. Bahkan fokus penelitian dapat berubah pada

waktu di lapangan setelah melihat kenyataan yang ada di lapangan. Dalam

penelitian kualitatif di antara teknik pengumpulan data yang dipergunakan

adalah observasi. Observasi tidak cukup apabila hanya diarahkan pada setting

saja, tetapi justru yang pokok adalah proses terjadinya peristiwa-peristiwa atau

kejadian-kejadian itu sendiri. Demikian pula observasi tidak cukup dilakukan

bersamaan dengan wawancara, tetapi observasi sebaiknya dilakukan tidak

bersamaan dengan wawancara. Apabila observasi dilakukan bersamaan

dengan wawancara, maka tidak dapat terfokus pada hal-hal yang akan

diobservasi. Walaupun memang ada perilaku yang dapat diobservasi pada

waktu diadakan wawancara, namun mengenai perilaku tersebut belum dapat

42

Page 15: BAB II Buku (Baru)

ditarik kesimpulan. Agar dapat ditarik kesimpulan maka hasil wawancara

harus dilengkapi dan dicek dengan hasil observasi yang dilakukan secara

khusus. Dengan observasi akan dapat diketahui tentang proses interaksi atau

kejadian-kejadiannya sendiri. Atau dengan kata lain, dengan observasi

terutama observasi langsung tidak hanya akan dapat menjawab pertanyaan

tentang apa, tetapi juga bagaimana dan mengapa. Dengan diketahuinya tentang

apa, bagaimana, dan mengapa, maka masalah akan dapat dipahami secara

mendalam (verstehen).

c. Keaslian merupakan kunci

Dalam penelitian kuantitatif, reliabilitas merupakan kunci, jadi analisis

statistik mempunyai fungsi yang sangat strategis. Dalam penelitian kualitatif

keaslian merupakan kunci, sehingga penelitian kualitatif ini juga dikatakan

sebagai penelitian alamiah (naturalist inquiry). Dalam penelitian kualitatif

tidak ada usaha untuk memanipulasi situasi maupun setting. Sebaliknya

penelitian kuantitatif justru sering melakukan manipulasi situasi maupun

setting penelitian. Misalnya dalam metoda eksperimen, situasi dapat

dimanipulasi dengan subjek diatur sehingga homogen dengan dipilih sesuai

kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu, dengan ditiadakannya pengaruh

dari variabel kontrol, adanya treatment (perlakuan khusus) misalnya diberikan

terapi khusus atau diberikan pelatihan khusus, dan lain-lain. Sebaliknya

penelitian kualitatif melakukan studi terhadap fenomena dalam situasi dan

setting sebagaimana adanya. Guba seperti yang dikutip Patton (1990 dalam

Poerwandari, 1998:30) mendefinisikan studi dalam situasi alamiah sebagai

studi yang berorientasi pada penemuan (discovery-oriented). Penelitian

demikian secara sengaja membiarkan kondisi yang diteliti berada dalam

keadaan sesungguhnya, dan menunggu apa yang akan muncul atau ditemukan.

d. Nilai hadir dan nyata (tidak bebas nilai)

Dalam penelitian kuantitatif, peneliti berusaha untuk tidak memperhatikan

atau tidak memperhitungkan nilai (bebas nilai), sebaliknya dalam penelitian

kualitatif nilai sangat diperhatikan atau diperhitungkan. Penelitian kuantitatif

memegang teguh prinsip menghindari pernyataan-pernyataan yang berkaitan

dengan nilai-nilai dalam laporan penelitian (juga dalam skripsi, tesis, disertasi)

43

Page 16: BAB II Buku (Baru)

dengan jalan menggunakan bahasa yang impersonal (misalnya tidak

menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua), membuat laporan penelitian,

mengajukan argumentasi berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam

penelitian. Sedang penelitian kualitatif menggunakan bahasa yang personal

(dapat menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua). Menurut Neuman

(1997 dalam Salim, 2001:36) dalam penelitian kualitatif para peneliti

mengetahui adanya sifat value-laden (sarat nilai-nilai subjektif si peneliti)

dalam penelitian, dan si peneliti pun secara aktif melaporkan nilai-nilai dan

bias-biasnya, serta nilai-nilai dari informasi yang dikumpulkan di lapangan.

e. Terikat pada situasi (terikat pada konteks)

Telah dijelaskan bahwa suatu fenomena terikat pada situasi yang

mengelilinginya, atau dengan kata lain selalu terikat pada konteks. Telah

dijelaskan pula di depan bahwa dalam penelitian kuantitatif karena ingin

menghasilkan data yang berlaku umum (universal), maka peneliti harus

menjaga jarak dan bebas dari pengaruh yang diteliti. Peneliti selalu berusaha

mengontrol bias, memilih percontohan yang sistematis dan berusaha objektif

dalam meneliti suatu fenomena. Sebaliknya penelitian kualitatif tidak menjaga

jarak dan tidak bebas dari yang diteliti karena ingin mengetahui persepsinya,

atau dengan kata lain ingin mengetahui persepsi subjektif dari yang diteliti.

Persepsi subjektif dari yang diteliti selalu terikat pada situasi atau terikat pada

konteks. Individu yang sedang mengalami kesedihan dapat berubah menjadi

senang atau gembira pada saat memasuki pesta ulang tahun anaknya atau

teman karibnya. Dengan adanya data yang bersifat subjektif, apa ini berarti

penelitian kualitatif tetap bersifat ilmiah? Walaupun datanya bersifat subjektif,

penelitian kualitatif tetap ilmiah, karena apabila data tersebut dimiliki

beberapa atau banyak individu atau dengan kata lain beberapa atau banyak

individu memiliki data yang sama dengan subjek yang diteliti, maka hasil

penelitian seperti ini disebut bersifat intersubjektif. Dalam penelitian

kualitatif, pengertian intersubjektif sama dengan objektif.

f. Terdiri dari beberapa kasus atau subjek

Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil

penelitiannya, maka penelitian kualitatif tidak perlu meneliti banyak kasus

44

Page 17: BAB II Buku (Baru)

atau subjek. Dalam studi kasus subjek yang diteliti dapat satu tetapi dapat juga

banyak, bahkan mungkin penduduk suatu negara. Karena dalam studi kasus

yang sangat penting adalah sifatnya yang sangat spesifik. Contoh penelitian

tentang “Perkembangan Demokrasi pada Negara-negara Sosialis.” Negara-

negara yang menganut paham Sosialis menentang paham Demokrasi. Jadi

penelitian perkembangan demokrasi di negara-negara sosialis bersifat spesifik.

Sebagai contoh tidak seperti dalam penelitian kuantitatif yang mematok

jumlah subjek minimal sebanyak 30 (tiga puluh) individu agar dapat dianalisis

dengan statistik parametrik, maka dalam penelitian kualitatif tidak mematok

jumlah subjek yang diteliti.

g. Bersifat analisis tematik

Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil

penelitiannya, maka yang diteliti adalah hal-hal yang bersifat khusus atau

spesifik, dan analisisnya bersifat tematik. Misalnya tindak kekerasan terhadap

perempuan, masalah-masalah jender: perjuangan perempuan mendapatkan

perlakuan yang adil dalam lapangan pekerjaan, kasus-kasus perilaku

menyimpang, masalah kesulitan belajar bagi anak-anak yang tidak normal

(learning-disabilities), dan lain-lain.

h. Peneliti terlibat

Berbeda dengan penelitian kuantitatif di mana peneliti mengambil jarak

dengan yang diteliti agar dapat menjaga objektivitas atau menghindari

subjektivitas dari yang diteliti, maka sebaliknya penelitian kualitatif peneliti

tidak mengambil jarak, agar peneliti benar-benar memahami persepsi subjek

yang diteliti terhadap suatu fenomena. Untuk itu peneliti dapat melakukan

misalnya observasi terlibat (participant observation). Dengan observasi

terlibat pemahaman terhadap subjek dapat mendalam.

3. PARADIGMA DALAM PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

a. Paradigma dalam penelitian kuantitatif

Paradigma dalam penelitian kuantitatif adalah Positivisme, yaitu suatu

keyakinan dasar yang berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan

bahwa realitas itu ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan

45

Page 18: BAB II Buku (Baru)

hukum alam (natural laws). Dengan demikian penelitian berusaha untuk

mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut

senyatanya berjalan (Salim, 2001:39).

Menurut Sarantakos (1993 dalam Poerwandari, 1998:17), Positivisme

melihat penelitian sosial sebagai langkah instrumental, penelitian dianggap

sebagai alat untuk mempelajari peristiwa dan hukum-hukum sosial pada

akhirnya akan memungkinkan manusia meramalkan kemungkinan kejadian

serta mengendalikan peristiwa.

Sedangkan Guba (1990:19) menjelaskan: “The basic belief system of

positivism is rooted in a realist ontology, that is, the belief that there exists a

reality out there, driven by immutable the natural laws.” Intinya sistem

keyakinan dasar dari Positivisme berakar pada ontologi realis yaitu percaya

akan keberadaan realitas di luar individu, yang dikendalikan oleh hukum-

hukum alam yang tetap.

Secara singkat, Positivisme adalah sistem keyakinan dasar yang

menyatakan kebenaran itu berada pada realitas yang terikat pada hukum-

hukum alam yaitu hukum kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya

menurut Guba (1990:20) sistem keyakinan dasar para peneliti positivis dapat

diringkas sebagai berikut:

“Ontology: Realist-reality exists “out there” and is driven by immutable

natural laws and mechanism. Knowledge of this entities, laws and mechanisms

is conventionally summarized in the form of time and context-free

generalizations. Some of these latter generalizations take the form of cause-

effect laws.”

Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya

realita itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam

dan mekanisme yang bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri

manusia (entities), hukum, dan mekanisme-mekanisme ini secara

konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi yang bersifat tidak terikat

waktu dan tidak terikat konteks. Sebagian dari generalisasi ini berbentuk

hukum sebab-akibat.

“Epistomology : Dualist/objectivist – it is both possible and essential for the

enquirer to adopt a distant, noninteractive posture. Value and other biasing

46

Page 19: BAB II Buku (Baru)

and confounding factors are thereby automatically excluded from influencing

the outcomes.”

Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi epistomologi: dualis/objektif, adalah

mungkin dan esensial bagi peneliti untuk mengambil jarak dan bersikap tidak

melakukan interaksi dengan objek yang diteliti. Nilai, faktor bias dan faktor

yang mempengaruhi lainnya secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.

“Methodology : Experimental/manipulate – questions and/or hypotheses are

studied in advance in propositional term and subjected to empirical tests

(falsification) under carefully controlled conditions.”

Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi metodologi: bersifat

eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesis-hipotesis

dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan dan diuji

secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol secara cermat.

Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh Sosiolog Aguste

Comte. Comte menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positivisme

yang hingga kini masih banyak digunakan. John Stuart Mill dari Inggris

(1843) memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte. Sedang Emile

Durkheim (Sosiolog Perancis) mengembangkan suatu versi positivisme dalam

Rules of the Sosiological Methods (1895), yang kemudian menjadi acuan bagi

para peneliti ilmu sosial yang beraliran positivisme. Menurut Emile Durkheim

(1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial tersebut

meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan dan lain-lain.

Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam

penelitian positivisme informasi kebenaran itu ditanyakan oleh peneliti kepada

individu yang dijadikan responden penelitian.

47

Page 20: BAB II Buku (Baru)

Gambar 16 : John Stuart Mill

b. Paradigma dalam penelitian kualitatif

Paradigma dalam penelitian kualitatif adalah Konstruktivisme, Post

Positivisme, dan Teori Kritis

a) Konstruktivisme

Guba (1990:25) menyatakan: “But philosophers of science now uniformly

believe that facts are facts only within some theoretical framework (Hesse,

1980). Thus the basis for discovering “how things really are” and “really

work” is lost. “Reality” exist only in the context of mental framework

(construct) for thinking about it.”

Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan

percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori (Hesse,

1980). Basis untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-

benar bekerja” adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu

kerangka kerja mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut.

Ini berarti realitas itu ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan

berpikir seseorang. Selanjutnya Guba (1990:25) menyatakan

“Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot

be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it

can equally be seen only through a value window. Many constructions are

possible.”

48

Page 21: BAB II Buku (Baru)

Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis setuju dengan

pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya

dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui

jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut

Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya

dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan

nilai. Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba

tetapi penjelasan Guba yang terakhir tetapi penting adalah sebagai berikut:

“Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human

activity; knowledge is a human construction, never certifiable as

ultimately true but problematic and ever changing” (Guba, 1990:26).

Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai

hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan

konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai

kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah.”

Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas

manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak

merupakan kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus.

Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan

bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu

terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil

konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.

Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan

Rene Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito

Ergo Sum,” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito

Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan

khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil

pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan

hasil/kerja dari indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/lidah), oleh

karena itu hasilnya kabur. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut

Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui

sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dimulai

dengan meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini

49

Page 22: BAB II Buku (Baru)

berada di samping materi. Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di satu

pihak berfikir, ini ada pada kesadaran, dan di pihak lain berpijak pada

materi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808).

Menurut Kant ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata merupakan

pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi oleh

rasio.

Selanjutnya menurut Guba (1990:27) sistem keyakinan dasar pada

peneliti Konstruktivisme dapat diringkas sebagai berikut:

Ontology : “Relativist – Realities exist in the form of multiple mental

constructions, socially and experientially based local and

specific, dependent for their form and content on the persons

who hold them.”

Asumsi ontologi: “Realitivis – realitas-realitas ada dalam bentuk

konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara

sosial dan pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya,

tergantung pada mereka yang mengemukakannya.”

Epistomogy : “Subjectivist – inquirer and inquired into are fused a single

(monistic) entity. Findings are literally the creation of the

process of interaction between the two.”

Asumsi epistimologi: “Subjektif – peneliti dan yang diteliti disatukan ke

dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic).

Temuan-temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses

interaksi antara peneliti dan yang diteliti.”

Methodology: “Hermeneutic – dialectic – individual constructions are

elicited and refined hermeneutically, with the aim of

generating one (or a few) constructions on which there is

substantisl consensus.”

Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi

individual dinyatakan dan diperhalus secara hermeneutik

dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi

yang secara substansial disepakati”

50

Page 23: BAB II Buku (Baru)

b) Postpositivisme

Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut:

“Postpositivism is best characterized as modified version of positivism.

Having assessed the damage that positivism has occured, postpositivists

strunggle to limited that damage as well as to adjust to it. Prediction and

control continue to be the aim.”

Kutipan tersebut mempunyai arti Postpositivisme mempunyai ciri utama

sebagai suatu modifikasi dari Positivisme. Melihat banyaknya kekurangan

pada Positivisme menyebabkan para pendukung Postpositivisme berupaya

memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya. Prediksi dan

kontrol tetap menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.”

Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut:

Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-

kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan

pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran

ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada

dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang

mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia

(peneliti). Oleh karena itu secara metodologi pendekatan eksperimental

melalui metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode,

sumber data, peneliti dan teori.

Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan antara

pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa

dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini

menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat

kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat

dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat

dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat

harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat

dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).

Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan

Guba, Denzin dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme

adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu

51

Page 24: BAB II Buku (Baru)

sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu

memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain

Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan

kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau

tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti

dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan

prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber

data, data, dan lain-lain.

Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan dasar pada

peneliti Postpositisme adalah sebagai berikut:

Ontology : “Critical realist – reality exist but can never be fully

apprehended. It is driven by natural laws that can be only

incompletely understood.”

Asumsi ontologi: “Realis kritis – artinya realitas itu memang ada, tetapi

tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya. Realitas diatur

oleh hukum-hukum alam yang tidak dipahami secara sempurna.”

Epistomology: “Modified objectivist – objectivity remains a regulatory

ideal, but it can only be approximated with special emphasis

placed on external guardians such as the critical tradition and

critical community.”

Asumsi epistomologi: “Objektivis modifikasi - artinya objektivitas tetap

merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun

objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus

pada penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang

kritis.”

Methodology: “Modified experimental/manipulative – emphasize critical

multiplism. Redress imbalances by doing inquiry in more

natural settings, using more qualitative methods, depending

more on grounded theory, and reintroducing discovery into the

inqury process.”

Asumsi metodologi: “Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi,

maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki

ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar

52

Page 25: BAB II Buku (Baru)

yang alamiah, yang lebih banyak menggunakan metode-metode

kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-

theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan

dalam proses penelitian.”

c) Teori Kritis (Critical Theory)

Guba (1990:23) menjelaskan Teori Kritis sebagai berikut: “The label

critical theory is no doubt inadequate to encompass all the alternatives

that can be swept into this category of paradigm. A more appropriate label

would be “ideologically oriented inquiry”, including neo-Marxism,

materialism, ferminism, Freireism, participatory inquiry, and other similar

movements as well as critical theory itself. These perspectives are properly

placed together, however because they converge in rejecting the claim of

value freedom made by positivists (and largely continuing to be made by

postpositivists).”

Kutipan tersebut mempunyai arti: “Nama teori kritis tidak diragukan lagi

bahwa tidak dapat mencakup semua alternatif yang dapat dimasukkan

dalam kategori paradigma. Lebih tepat diberi nama penelitian yang

berorientasi pada ideologi, meliputi neo-Marxisme, materialisme,

feminisme, Freireisme, penelitian terlibat, dan perspektif yang lain

termasuk teori kritis itu sendiri. Perspektif-perspektif ini pantas

ditempatkan bersama karena sama-sama menolak klaim bebas nilai yang

dibuat oleh kaum Positivis (dan yang umumnya terus dibuat kaum

Postpositivis).”

Sedang Salim (2001:41) dengan mengacu pada pandangan Guba,

Denzin dan Lincoln menjelaskan bahwa aliran ini (Critical Theory)

sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih

tepat disebut “ideologically oriented inquiry,” yaitu suatu wacana atau

cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis

terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo Marxisme,

Materialisme, Feminisme, Freireisme, Participatory inquiry, dan paham-

paham yang setara.

53

Page 26: BAB II Buku (Baru)

Selanjutnya dijelaskan bahwa dilihat dari segi ontologis, paham Teori

Kritis ini sama dengan Postpositivisme yang menilai objek atau realitas

secara kritis (Critical Realism), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh

pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi masalah ini, secara

metodologis paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi

untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara epistomologis,

hubungan antara pengamat dengan realitas merupakan suatu hal yang tidak

bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan konsep

subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai

yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan

kebenaraan tentang suatu hal (Salim, 2001:41).

Dari pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa Teori

Kritis (Critical theory) tidak dapat dikatakan sebagai paradigma, tetapi

lebih tepat dikatakan sebagai suatu cara pandang yang berorientasi pada

ideologi seperti Neo-Marxisme, Matrealisme, Feminisme, Freireisme, dan

lain-lain. Yang penting Teori Kritis ini menolak pandangan kaum Positivis

dan postpositivis yang menyatakan realitas itu bebas nilai. Karena Teori

Kritis ini berpandangan bahwa realitas itu tidak dapat dipisahkan dengan

subjek, nilai-nilai yang dianut oleh subjek ikut mempengaruhi kebenaran

dari realitas tersebut.

Selanjutnya menurut Guba (1990:25) sistem keyakinan dasar para

peneliti Critical Theory dapat diringkas sebagai berikut:

Ontology : “Critical realist, as in the case of postpositivism.”Artinya

ontologi: “bersifat realis – kritis, seperti Post-Positivisme.”

Epistomology : “Subjectivist, in the sense that values mediate

inquiry.”Artinya epistomologi: “subjektivis, dalam arti nilai-

nilai menjadi mediasi penelitian.”

Methodology: “Dialogic, transformastive; eliminate false consciousness

and energize and facilitate transformation.” Artinya

metodologi: “dialogis, transformatif; mengeliminasi

kesadaran palsu dan membangkitkan dan memasilitasi

transformasi.”

54

Page 27: BAB II Buku (Baru)

Selanjutnya akan digambarkan perbedaan asumsi-asumsi dari

paradigma Kuantitatif dengan Kualitatif lengkap dengan pertanyaan-

pertanyaan penelitian yang digunakan masing-masing paradigma serta

implementasi dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi dan

pertanyaan-pertanyaan penelitian dari masing-masing paradigma, sebagai

berikut:

55

Page 28: BAB II Buku (Baru)

56

Page 29: BAB II Buku (Baru)

4. INTERPRETIVE, HERMENEUTIK, FENOMENOLOGI

a. Interpretive

Pada bagian ini akan dijelaskan pengertian interpretive

(Geisteswissenschaften) dan ilmu budaya (Kulturwissenschaften).

Thomas A. Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) mencoba

menggambarkan secara lebih luas dan lebih mendalam tentang faham

interpretive dan menyatakan bahwa interpretive merupakan ide yang berasal

dari tradisi intelektual Jerman, yaitu hermeneutik, tradisi Verstehen dalam

sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik kepada aliran ilmu

pengetahuan alam (scientism) dan aliran Positivis (positivism) yang

dipengaruhi oleh kritik para filosuf terhadap logika empirisme.

Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin &

Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:

“Painted in broad strokes, the canvas of interpretivism is layered with ideas

stemming from the German intellectual tradition of hermeneutics and the

Verstehen tradition in sociology, the phenomenology of Alfred Schutz and

critiques of scientism and positivism of ordinary language philosophers

critical of logical emperism (e.g Peter Winch, A. R. Lough Isaiah Berlin).”

Selanjutnya Schwandt menjelaskan bahwa secara historis argumentasi

pengikut faham interpretive bahwa interpretive digunakan untuk penelitian

manusia yang bersifat unik. Terdapat bermacam sanggahan terhadap

interpretive naturalistik (alamiah) dari ilmu pengetahuan sosial (secara kasar

pandangan tentang tujuan dan metoda ilmu pengetahuan sosial disamakan

(identik) dengan tujuan dan metoda ilmu pengetahuan alam). Kaum

interpretive berpandangan bahwa ilmu pengetahuan mental

(Geisteswissenschaften) atau ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften)

berbeda dengan ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften). Tujuan ilmu

pengetahuan alam adalah menjelaskan secara ilmiah (erklaren), sedang tujuan

ilmu pengetahuan mental dan budaya adalah membentuk pemahaman

(verstehen) mengenai “makna” dari fenomena sosial.

57

Page 30: BAB II Buku (Baru)

Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin &

Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:

“Historically, at least, interpretivists argued for the uniqueness of human

inquiry. They crafted various refutations of naturalistic interpretation of the

social sciences (roughly the view that the aims and methods of the social

sciences are identical to those of the natural sciences). They held that the

mental sciences (Geisteswissenschaften) or cultural sciences

(Kulturwissenschaften) were different in kind than the natural sciences

(Naturwissenschaften): The goal of the latter is scientific explanation

(Erklaren), where as the goal of the former is the grasping or understanding

(Verstehen) of the “meaning” of social phenomena.”

Sebelum menjelaskan interpretive seperti tersebut di atas Schwandt

menjelaskan bahwa istilah-istilah Konstruktivis, Konstruktivisme, Interpretivis

dan Interpretivisme merupakan istilah-istilah yang sehari-hari dipergunakan

dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial dan oleh ahli-ahli filsafat. Arti dari

istilah-istilah tersebut dibentuk oleh maksud para penggunanya.

Konstruktivisme dan interpretivisme berfungsi memberikan alternatif

penjelasan lain yang meyakinkan secara metodologi dan filosofi yang

berpasangan. Istilah-istilah tersebut sangat tepat untuk disebut konsep yang

peka. Walaupun demikian istilah-istilah ini hanya memberikan arahan

terhadap apa yang harus diperhatikan dalam penelitian tetapi tidak

memberikan penjelasan.

Hal tersebut dapat dilihat dalam pandangan Schwandt (dalam Denzin &

Lincoln, 1994: 118) sebagai berikut:

“Constructivist, constructivism, interpretivist and interpretivism are terms that

routenely appear in the lexicon of social science methodologists and

philosophers. Yet, their particular meaning are shaped by the intent of their

user. As general descriptors for a loosely coupled family of methodological

and philosophical persuasions, these terms are best regarded as sentizing

concepts (Blumer, 1954). They steer the interest reader in the general

direction of where instances of particular kind of inquiry can be found.

58

Page 31: BAB II Buku (Baru)

However they “merely suggest directions along which to look” rather than

provide descriptions of what to see.”

Dari penjelasan-penjelasan Schwandt tersebut dapat disimpulkan bahwa

konstruktivisme, dan interpretivisme merupakan dua istilah yang dipahami

secara berpasangan untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena sosial.

Konstruktivisme dan interpretivisme ini biasanya dipergunakan oleh ilmu

pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya

(Kulturwissenschaften).

Sedang menurut Guba dan Denzin & Lincoln, konstruktivisme merupakan

paradigma. Hal ini telah dijelaskan secara memadai dalam Bab II. Dalam buku

Paradigm Dialog karangan Guba, maupun Handbook of Qualitative Research

karangan Denzin & Lincoln interpretivisme tidak disebut-sebut sebagai suatu

paradigma. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa interpretive hanyalah

merupakan metode analisis yang dipergunakan oleh kaum Konstruktivis untuk

mendapatkan makna dari suatu fenomena. Dan dari penjelasan Schwandt pada

alinea pertama di atas juga nyata/jelas bahwa interpretive juga digunakan oleh

hermeneutik dan fenomenologi, yang keduanya juga merupakan metode

analisis sebagai kritik terhadap aliran ilmu pengetahuan alam dan positivisme

yang menggunakan logika emperisme. Berbeda dengan ilmu pengetahuan

alam yang bertujuan memberikan penjelasan (erklaren) maka interpretive

bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen).

Untuk menjelaskan perbedaan fenomena dengan makna dibalik fenomena

(noumenon), penulis akan mengutip uraian Spradley (1997: 5-6) dalam

bukunya “The Etnographic Interview” yang telah diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia dengan judul “Metode Etnografi” sebagai berikut:

“Tiga orang anggota kepolisian yang sedang memberikan pijitan jantung

dan bantuan oksigen kepada seorang wanita korban serangan jantung, tetapi

malah diserang oleh segerombolan yang terdiri atas 75 sampai 100 orang yang

jelas-jelas tidak memahami upaya yang sedang dilakukan polisi. Anggota

polisi lain menghadang gerombolan yang kebanyakan berbahasa Spanyol itu

sampai sebuah ambulan datang. Para anggota kepolisian itu menjelaskan

kepada kerumunan orang itu mengenai apa yang mereka kerjakan, tetapi

59

Page 32: BAB II Buku (Baru)

kerumunan itu tetap beranggapan bahwa para anggota polisi itu memukul

wanita tersebut. Meskipun upaya keras telah dilakukan oleh anggota polisi

namun korban serangan jantung itu, Evangelica Echevacria, 59 tahun,

meninggal dunia.”

Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun menghadapi

peristiwa atau fenomena yang sama yaitu seorang wanita yang mendapat

serangan jantung, sehingga perlu diselamatkan kemudian diberi bantuan oleh

polisi, namun peristiwa tersebut diinterpretasikan sangat berbeda oleh

kelompok masyarakat tadi dengan polisi. Polisi berdasarkan kebudayaannya

menginterpretasikan wanita itu mengalami gangguan jantung, sehingga perlu

diselamatkan dengan memberikan pijitan jantung dan memberikan oksigen

kepada wanita itu. Sedang gerombolan itu mengamati peristiwa yang sama

tetapi dengan interpretasi yang berbeda. Gerombolan itu berdasarkan

kebudayaannya menginterpretasikan tingkah laku polisi sebagai tindak

kekerasan karena dipersepsikan memukul, dan gerombolan itu bertindak untuk

menghentikan perbuatan polisi yang mereka pandang sebagai perbuatan jahat.

Dari contoh peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa:

1) Interpretasi terhadap makna kejadian antara polisi dan gerombolan sangat

berbeda.

2) Perbedaan interpretasi terhadap makna kejadian tersebut disebabkan

latarbelakang budaya yang berbeda.

Untuk memantapkan penjelasan bahwa suatu peristiwa atau fenomena

yang sama dapat dimaknai secara berbeda, penulis mencoba menambah

contoh dengan mengutip contoh yang diberikan oleh Clifford Geertz (1992: 7 -

8) “The Interpretation of Cultures, Selected Essays” yang sudah diterjemahkan

dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Tafsir Kebudayaan”. Geertz

memberikan contoh tentang anak yang mengedipkan mata. Perilaku

mengedipkan mata dapat memiliki makna yang berbeda-beda. Pertama, anak

yang mengedipkan mata hanya karena kedutan. Di sini anak yang

mengedipkan matanya mempunyai makna adalah karena kedutan. Kedua, anak

yang mengedipkan mata karena memberi isyarat. Disini anak melakukan

60

Page 33: BAB II Buku (Baru)

kedipan mata dengan sengaja untuk memberi isyarat, misalnya saat

dimulainya suatu persekongkolan dengan sekelompok anak lain. Ketiga, anak

mengedipkan mata karena sedang latihan atau melatih orang lain untuk

bermain badut-badutan.

Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perilaku yang sama yaitu

mengedipkan mata ternyata dapat mengandung makna yang berbeda-beda.

Menurut Geertz (1992: 6) untuk dapat memahami makna tersebut seseorang

harus melakukan “thick description” (“lukisan mendalam”), yang pada

hakikatnya sama dengan melakukan interpretasi. Kesimpulan ini analog

dengan pernyataan Geertz (1992: 5) sebagai berikut: “Dengan percaya pada

Max Weber bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada

jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri, saya menganggap

kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atasnya tidak

merupakan ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu

yang bersifat interpretif untuk mencari makna.”

Gambar 17 : Clifford Geertz

61

Page 34: BAB II Buku (Baru)

b. Hermeneutik

Berikut akan dijelaskan pengertian Hermeneutik serta fungsi dan statusnya

dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan (Geisteswissenschaften) dan ilmu

pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).

Telah dijelaskan di atas (pada Bab II) bahwa interpertive, hermeneutik

maupun fenomenologi merupakan metode analisis yang mempunyai tujuan

yang sama yakni mencari pemahaman yang mendalam (verstehen) atau

dengan kata lain mencari makna di balik fenomena. Cara yang dilakukan

adalah melakukan interpretasi terhadap suatu fenomena. Kalau demikian apa

bedanya antara interpretive dengan hermeneutik? Untuk itu akan dijelaskan

apa yang dimaksudkan dengan hermeneutik.

Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani

hermeneuin yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneia secara

harfiah dapat diartikan penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini

mengingatkan pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu utusan yang

mempunyai tugas menyampaikan pesan dewa Jupiter kepada manusia. Tugas

Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dewa di Gunung Olympus ke

dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu fungsi

Hermes sangat penting karena apabila terjadi kesalahpahaman tentang pesan-

pesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes

harus mampu menginterpretasikan pesan dewa-dewa ke dalam bahasa yang

dipergunakan oleh para pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol

seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya

misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan

(Sumaryono, 1993: 24). Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan

sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi

mengerti”. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam

pandangan klasik maupun dalam pandangan modern (Palmer, 1969: 3 dalam

Sumaryono, 1993: 24).

62

Page 35: BAB II Buku (Baru)

Gambar 18 : Hermes dalam Mitologi Yunani

Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kepada apa yang

ditulis oleh Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu:

bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental

kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita

ucapkan. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan

dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa

ucapan dengan orang lain. Akan tetapi pengalaman-pengalaman mentalnya

yang disimbolkannya secara langsung itu adalah sama untuk semua orang

sebagaimana juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk

menggambarkan sesuatu (De Interpretatione, I. 16. a. 5 dalam Sumaryono,

1993: 24).

Pada masa itu Aristoteles sudah menaruh minat terhadap interpretasi.

Menurut Aristoteles, tidak ada satu pun manusia yang mempunyai baik bahasa

tulisan maupun bahasa lisan yang sama dengan lain. Bahasa sebagai sarana

komunikasi antara individu dapat juga tidak berarti sejauh orang yang satu

berbicara dengan yang lain dengan bahasa yang berbeda. Bahkan pengalihan

arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain juga dapat menimbulkan banyak

63

Page 36: BAB II Buku (Baru)

problem. Manusia juga mempunyai cara menulis yang berbeda-beda.

Kesulitan itu akan muncul lebih banyak lagi jika manusia saling

mengomunikasikan gagasan-gagasan mereka dalam bahasa tertulis

(Sumaryono, 1993: 24).

Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun manusia

mempunyai pengalaman mental yang sama, misalnya susah, gembira, kecewa,

bangga, simpati, benci, rindu dan lain-lain, tetapi pengungkapan dalam bahasa

baik bahasa tulisan maupun lisan berbeda. Begitu pula walaupun mempunyai

pengalaman mental yang sama seperti sakit, ekspresi lisan orang yang satu

dengan orang lain tidak sama. Demikian pula dalam berkomunikasi, walaupun

mereka berkomunikasi dalam bahasa yang sama, belum tentu mereka memiliki

pemahaman yang sama. Bahkan dalam pengalihan bahasa (penerjemahan) dari

bahasa yang satu ke bahasa yang lain dapat menimbulkan banyak persoalan.

Pengungkapan pengalaman mental ke dalam kata-kata yang diucapkan

atau ditulis ke dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis mempunyai

kecenderungan dasar untuk mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman

mental atau sebuah konsep mempunyai nuansa yang kaya dan beranekaragam.

Tetapi kekayaan dan keanekaragaman nuansa tersebut tidak dapat tercakup

seluruhnya dalam sebuah kata yang diucapkan atau ekspresi yang

diperlihatkan. Kita sering mengungkapkan pengalaman mental ke dalam kata-

kata atau ungkapan yang biasa dipakai orang pada umumnya, kita tidak

berusaha mengungkapkan dengan kata-kata yang lebih baik dan lebih jelas.

Orang pada umumnya mengungkapkan kesedihan atau kegembiraan

sebagaimana orang biasanya berbuat. Mereka pada umumnya tidak

mengungkapkan nuansa-nuansa dan corak khusus dari pengalamannya sendiri

yang bersifat pribadi. Apabila kita berbicara, maka kata-kata yang kita

ucapkan pada dasarnya lebih sempit bila dibandingkan dengan buah pikiran

atau pengalaman kita. Apabila kita menuliskan pengalaman kita, maka kata-

kata yang tertulis, juga menjadi lebih sempit artinya.

Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Manusia

menyampaikan hasil pemikirannya melalui bahasa, kita berbicara dan menulis

dengan bahasa. Kita memahami sesuatu dan menginterpretasikan sesuatu

64

Page 37: BAB II Buku (Baru)

melalui bahasa. Begitu pula mengapresiasi sesuatu seni dengan bahasa, atau

mengungkapkan kekaguman karya seni dengan bahasa, dan lain-lain.

Hermeneutik membantu kita untuk menginterpretasikan makna yang

terkandung dalam bahasa yang tertulis dalam buku, dokumen, majalah, surat

dan lain-lain, agar makna yang kita tangkap sesuai dengan makna yang

dimaksud oleh penulisnya.

Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik

adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi

Ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya

dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik (Sumaryono,

1993: 28).

c. Fenomenologi

1) Pengertian Fenomenologi

Sebelum diuraikan Fenomenologi sebagai metoda analisis dalam

Penelitian Kualitatif, akan diuraikan lebih dulu pengertian Fenomenologi.

Berdasarkan faham Fenomenologi, dalam / berkenaan dengan

pengetahuan manusia terdapat dua hal yang pokok yaitu subjek yang ingin

mengetahui dan objek yang akan diketahui. Subjek dan objek ini dapat

dibedakan secara jelas dan tegas, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Keduanya harus ada, keduanya merupakan satu kesatuan asasi bagi

terwujudnya pengetahuan manusia. Oleh Sonny Keraf dan Mikhael Dua

(2001: 19) dinyatakan: “Supaya ada pengetahuan, keduanya niscaya ada,

Yang satu tidak pernah ada tanpa yang lain…..”. Pendapat ini juga sejalan

dengan pendapat Merleau Ponty (dalam Bertens, 1985: 345) yang

menyatakan: “Ia (fenomenologi) sangat menekankan hubungan dialektis

antara subjek dan dunianya: tidak ada subjek tanpa dunia dan tidak ada

dunia tanpa subjek”. Oleh karena itu menurut Husserl agar terwujud

pengetahuan, subjek harus terarah pada objek agar dapat diketahui

sebagaimana adanya, sebaliknya objek harus terbuka kepada subjek agar dapat

pula diketahui sebagaiman adanya.

Di sini perlu dipahami bahwa keterarahan subjek kepada objek hanya

akan menghasilkan pengetahuan apabila subjek yaitu manusia memiliki

kesamaan-kesamaan dengan objek yang diamati. Kalau tidak, objek tidak

65

Page 38: BAB II Buku (Baru)

mungkin dapat diketahui, objek akan berlalu begitu saja. Dengan kata lain

pengetahuan itu hanya mungkin terwujud apabila manusia itu sendiri memiliki

kesamaan dengan objek sebagai realitas di alam semesta ini. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa hanya melalui dan berkat unsur jasmaninya manusia

dapat mengetahui objek yang berada di sekitarnya. Tanpa itu manusia tidak

mampu mengetahui dunia dan segala isinya. Pada tingkat ini pengetahuan

manusia dianggap bersifat temporal, kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi

manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani, melainkan juga memiliki jiwa

atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu mengangkat pengetahuan

yang bersifat temporal, kongkret, jasmani-inderawi ke tingkat pengetahuan

yang lebih tinggi yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini berarti manusia berkat

akal budinya tidak hanya dapat mengetahui pengetahuan yang kongkret yang

ditangkap melalui pengamatan indera tetapi dimungkinkan mencapai

pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku umum bagi objek apa

saja pada tempat dan waktu mana pun.

Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859 –

1938) merupakan metoda untuk menjelaskan fenomena dalam kemurniannya.

Fenomena adalah segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil

dalam kesadaran manusia. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun

berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun berupa kenyataan

(Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105). Selanjutnya dikatakan yang penting

ialah pengembangan suatu metoda yang tidak memalsukan fenomena,

melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya. Untuk tujuan itu

fenomenolog hendaknya memusatkan perhatiannya kepada fenomena tersebut

tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya

menanggalkan segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar dapat

memahami fenomena sebagaimana adanya.

Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali

kepada barangnya sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Barang

yang tampil sebagaimana adanya dalam kesadaran itulah fenomena (Husserl

dalam Delfgaauw, 1988: 105).

Usaha kembali kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik.

Tidak mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai pada hal-hal

66

Page 39: BAB II Buku (Baru)

yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat

fenomena-fenomena. Oleh karena itu metoda tersebut harus dapat

menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat mengungkapkan

diri sendiri. Yang demikian bukan suatu abstraksi, melainkan intuisi mengenai

hakekat sesuatu (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).

Selanjutnya dijelaskan bahwa kesadaran tidak pernah sacara langsung

terjangkau sebagaiman adanya, karena pada hakekatnya bersifat intensional,

artinya terarah pada sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri.

Pengamatan serta pemahaman, pembayangan serta penggambaran, hasrat serta

upaya, semuanya senantiasa bersifat intensional, terarah kepada sesuatu.

Hanya dengan melakukan analisis mengenai intensionalitas ini kesadaran itu

dapat ditemukan. Untuk itu seorang fenomenolog harus sangat cermat

“menempatkan diantara tanda kurung” kenyataan dunia luar agar fenomena ini

hanya tampil dalam kesadaran. Penyekatan dunia luar ini memerlukan metoda

yang khas. Metoda tersebut disebut reduksi fenomenologik atau epoche

(Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 106). Reduksi tersebut terdiri dari 2 (dua)

macam, yaitu reduksi eidetik yang memperlihatkan hakekat (eidos) dalam

fenomena, dan reduksi transendental yang menempatkan dalam “tanda

kurung” setiap hubungan antara fenomena dengan dunia luar. Melalui kedua

macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran transendental, sedangkan

kesadaran terhadap pengalaman emperik sebetulnya hanya merupakan bentuk

pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transendental.

Sedang Calra Willig (1999: 51) menjelaskan bahwa Fenomenologi

Transendental yang diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke 20

menekankan dunia yang menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai

manusia. Tujuannya ialah agar kembali ke barangnya/bendanya sendiri

sebagaimana mereka tampil kepada kita dan mengesampingkan atau

mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka. Dengan kata lain

fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia dengan

konteks khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataaan abstrak tentang

kealamiahan dunia secara umum. Fenomenologi menekankan fenomena yang

tampil dalam kesadaran kita ketika kita berhadapan dengan dunia sekeliling

kita (“Transendental phenomenologi, as formulated by Husserl in the early

67

Page 40: BAB II Buku (Baru)

twentieth century, is concerned with the world as it presents itself to us as

humans. Its aim was to return to things themselves, as they appear to us

perceivers, and to set aside, or bracket, that which we (think) we already know

about them. In other words, phenomenology is interested in the world as it is

experienced by human beings within particular contexts and at particular

times, rather than in abstract statements about the nature of the world in

general. Phenomenology is concerned with the phenomena that appear in our

consciousness as we engage with the world around us”).

Menurut perspektif fenomenologi, tidak masuk akal untuk

berpikir/berpendapat bahwa dunia objek dan subjek terpisah dari pengalaman

kita. Ini dikarenakan seluruh objek dan subjek pasti hadir kepada kita sebagai

sesuatu, dan manifestasinya seperti ini atau itu membentuk realitasnya pada

suatu saat manapun. Penampilan suatu objek sebagai fenomena perseptual

bervariasi menurut lokasi dan konteks, segi pandang subjek, dan terpenting,

orientasi mental dari subjek (misalnya hasrat, kebijakan, penilaian, emosi,

maksud dan tujuan). Inilah yang disebut intensionalitas. Intensionalitas

membiarkan objek menampakan diri sebagai fenomena. Ini berarti bahwa “diri

dan dunia merupakan komponen-komponen makna yang tidak dapat

dipisahkan” (Moustakas, 1994: 28). Di sini makna bukan merupakan sesuatu

yang ditambahkan pada persepsi, sebagai sesuatu yang dipikirkan sesudah

persepsi. Sebaliknya persepsi selalu bersifat intensional, oleh karena itu

merupakan unsur konstitutif pengalaman itu sendiri. Akan tetapi pada waktu

yang sama fenomenologi transendental mengakui bahwa persepsi kurang lebih

dapat menyatu dengan ide-ide atau keputusan-keputusan. Fenomenologi

mengidentifikasikan strategi-strategi yang dapat membantu putusan

memokuskan diri “di mana letak kemurnian fenomenologi” (Husserl, 1931:

262), dan memantulkan apa yang kita bawa serta pada aktivitas persepsi

dengan merasa, berpikir, mengingat dan memutuskan. Hal ini merupakan

implikasi metodologi fenomenologi (Willig, 1999: 51) (“According to a

phenomenological perspective, it makes no sense to think of the world of

objects and subjects as separate from our experience of it. This is because all

objects and subjects must present themselves to us as something, and their

manifestation as this or that something constitutes their reality at any one

68

Page 41: BAB II Buku (Baru)

time. The appearance of an object as a perceptual phenomenon varies

depending upon the perceiver’s location and context, angle of perception and

importanly, the perceiver’s mental oriention (e. q. desires, wishes, judgements,

emotions, aims and purposes). This is referred to as intentionality.

Intentionality allows objects to appear as phenomena. This means that “self

and world are inseparable components of meaning” (Moustakas 1994: 28).

Here, meaning is not something that is added on to perception as an

afterthought; instead, perception is always intentional and therefore

constitutive of experience itself. However, at the same time, transcendental

phenomenology acknowledeges that perception can be more or less infused

with ideas and judgements. It identifies strategies that can help us to focus on

“ that which lies before one in phenomenological purity” (Husserl, 1931:

262), and to reflect on that which we bring to the act of perception through

feeling, thingking, remembering and judging. This takes us on to the

methodological implications of phenomenology (Willig, 1999:51).

2) Metode Fenomenologi

Metode fenomenologi derivasi (diturunkan dari asalnya) fenomenologi,

membentuk bagian sentral yang disebut fenomenologi transendental. Husserl

menyatakan adalah mungkin mentransendensikan prasangka dan bias, dan

mengalami suatu keadaan kesadaran yang belum direfleksikan, yang

memungkinkan kita menggambarkan fenomena sebagai mana mereka yang

menampakkan dirinya sendiri kepada kita. Husserl mengidentifikasikan

serangkaian tahap akan membantu filsof dari persepsi segar tentang fenomena

yang dikenal ke upaya menggali ciri khusus fenomena. Pengetahuan yang

berasal dari cara ini akan bebas dari penjelasan akal sehat dan ilmiah dan

interpretasi-interpretasi atau abstraksi-abstraksi yang menjadi ciri pemahaman

yang lain. Pengetahuan seperti itu akan menjadi suatu pengetahuan tentang

dunia sebagai ia menampakkan kepada kita dalam hubungan kita dengannya.

(“The phenomenological method of deriving forms a central part of

transcendental phenomenology. Husserl suggested that it was possible to

transcend presuppositions and biases and to experience a state of pre-

reflective consciousness, which allows us to describe phenomena as they

69

Page 42: BAB II Buku (Baru)

present themselves to us. Husserl identified a series of steps that would take

the philosopher from a fresh perception of familiar phenomena to the

extraction of the essences that give the phenomena their unique character.

Knowledge derived in this way would be free from the common-sense notions,

scientific explanations and other interpretations or abstractions that

characterize most other forms of understanding. It would be a knowledge of

the world as it appears to us in our engagement with it” (Willig, 1999: 52).

Selanjutnya dijelaskan bahwa metoda fenomenologi dalam

memperoleh pengertian meliputi 3 (tiga) fase perenungan yang membedakan

yaitu: epoche, reduksi fenomenologi dan variasi imajinatif. Epoche

mensyaratkan penundaan perkiraan dan asumsi, penilaian dan interprestasi

untuk memungkinkan kita menyadari secara penuh keberadaan apa yang

nyata. Pada tahap reduksi fenomenologi kita menggambarkan fenomena yang

menampakkan dirinya kepada kita secara total/utuh. Penggambaran itu juga

meliputi ciri-ciri fisik seperti bentuk, ukuran, warna, dan juga ciri-ciri

pengalaman seperti pemikiran dan perasaan yang muncul dalam kesadaran kita

ketika kita mengarah ke fenomena. Melalui reduksi fenomenologi kita

mengidentifikasi unsur-unsur hakiki pengalaman kita akan fenomena. Dengan

kata lain kita menjadi sadar tentang pengalaman seperti adanya. Variasi

imajinatif meliputi usaha mencapai susunan komponen struktural fenomena

yaitu apabila reduksi fenomenologi bertalian dengan “apa” yang dialami

(yakni teksturnya), variasi imajinatif menanyakan “bagaimana” pengalaman

itu mungkin (yaitu strukturnya). Tujuan variasi imajinasi adalah

mengidentifikasikan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan fenomena dan

tanpa kondisi-kondisi tersebut tidak mungkin fenomena itu akan menjadi

sebagaimana adanya. Kondisi ini dapat meliputi waktu, ruang atau hubungan-

hubungan sosial. Akhirnya gambaran tekstural dan struktural diintegrasikan

untuk sampai pada pemahaman tentang esensi fenomena. (“The

phenomenological method of gaining understanding involves three distinct

phases of contemplation: ephoce, phenomenological reduction and

imaginative variation (for a detailed account of these, see Moustakas 1994).

Epoche requires the suspension of presuppositions and assumptions,

70

Page 43: BAB II Buku (Baru)

judgements and interpretations to allow ourselves to become fully aware of

what is actually before us. In phenomenological reduction we describe the

phenomenon that present itself to us it in totality. This includes physical

features such as shape, size, colour and texture, as well as experiential

features such as the thought and feelings that appear in our consiousness as

we attend to the phenomenon. Through phenomenological reduction, we

identify the constituens of our experience of the phenomenon. In other words,

we become aware of what makes the experience what it is. Imaginative

variation involves an attempt to access the structural components of the

phenomenon. That is, while phenomenological reduction is concerned with

“what”is experienced (i.e. its texture), imaginative variation asks “how” this

experience is made possible (i.e. its structure). The aim of imaginative

variation is to identify the conditions associated with the phenomenon and

whitout which it would not be what it is. This could involve time, space or

social relationships. Finally, textural and structural descriptions are

integrated to arrive at an understanding of the essence of the phenomenon”)

(Willig, 1999: 52).

3) Fenomenologi dan Psikologi

Menurut Willig (1999: 52) meskipun fenomenologi transcendental

dipahami sebagai sistem pemikiran filsafat, rekomendasi metodologinya telah

terbukti menarik minat peneliti ilmu pengetahuan sosial umumnya dan

psikologi khususnya. Hal ini disebabkan fenomenologi memfokuskan diri

pada isi kesadaran dan pengalaman individu tentang dunia, seperti yang

dinyatakan oleh Kvale (1996 b: 53) sebagai berikut:

Fenomenologi berminat menguraikan apa yang nampak maupun cara

bagaimana sesuatu itu menampakkan diri. Fenomenologi mempelajari

perspektif subjek tentang dunianya; berusaha menjelaskan secara detail isi dan

kesadaran subjek, berusaha menangkap keragaman kualitatif dari pengalaman-

pengalaman mereka dan mengungkapkan makna-makna yang esensiil

pengalaman-pengalaman tersebut.

(“Even though transcendental phenomenology was conceived as a

philosophical system of thought, its methodological recommendations have

71

Page 44: BAB II Buku (Baru)

proved to be of interest to researchers in the social sciences in general and

psychology in particular. This is because phenomenology focuses upon the

content of consciousness and individual’s experience of the word as Kvale

(1996 b:53) put it:

Phenomenology is interested in elucidating both that which appears and the

manner in which it appears. It studies the subjects perspectives of their word;

attempts to describe in detail the content and structure of the subjects

consciouness, to grasp the qualitative diversity of their experiences and to

explicate their essential meanings.

Selanjutnya dijelaskan: Penelitian fenomenologi empiris dalam psikologi telah

dirintis dan diaplikasikan secara ekstentif di Universitas Duquesne di Amerika

Serikat (lihat Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1990; Georgi et al 1975).

Topik-topik penelitian fenomenologi meliputi: “pemahaman perasaan” (Van

Kaam 1959), “belajar” (Georgi 1975, 1985), “jadi korban” (Fisher dan Wertz,

1979), “amarah” (Stevick 1971), dan banyak fenomena yang lain dari

pengalaman manusia. Kenyataanya pengalaman manusia dapat dianalisis

secara fenomenologis. Inilah alasan lain mengapa fenomenologi merupakan

pendekatan yang menarik bagi peneliti-peneliti psikologi. Akan tetapi terdapat

perbedaan dalam fokus dan penekanan antara fenomenologi transcendental

dan penggunaan metoda fenomenologi dalam psikologi. (“Empirical

phenomenonlogical research in psychology was pioneered and applied

extensively at Duquesne University in the USA (see Van Kaam 1959, 1994;

Georgi 1970, 1994; Georgi et al. 1975). Topics of phenomenological

investigation included “feeling understood” (Van Kaam 1959), “learning”

(Georgi 1975, 1985), “being victimized” (Fisher and Wentz 1979), “angry”

(Stevick 1971), and many other phenomena of human experience. In fact, any

human experience can be subjected to phenomenological analysis. This is

another reason why this approach appeals to psychological researchers.

However, there are differences in focus and emphasis between transcendental

phenomenology and the use of the phenomenological method in psychology

(Willig, 1999:52-53).

Spinelli (1989) menunjukan bahwa psikologi fenomenologi lebih

memperhatikan keberagaman dan variasi pengalaman manusia daripada

72

Page 45: BAB II Buku (Baru)

mengidentifikasi esensi-esensi dalam pengertian Husserl. Tambahan pula

penelitian-penelitian fenomenologi dalam psikologi, jika ada mengklaim

bahwa tidak mungkin “menyingkirkan” seluruh prasangka dan bias dalam

suatu perenungan tentang suatu fenomena. Agaknya, usaha memberi tanda

kurung pada fenomena, hanya untuk memungkinkan peneliti melakukan

pengujian secara kritis atas cara biasa untuk mengetahui sesuatu. Akhirnya

sangat penting untuk melakukan pembedaan antara perenungan fenomenologi

tentang suatu objek atau kejadian sebagaimana ia menampakan diri kepada

peneliti, dan analisis fenomenologi atas laporan pengalaman khusus seperti

yang disampaikan oleh peneliti terlibat. Perenungan fenomenologis menuntut

(mensyaratkan) intropeksi oleh seseorang terhadap pengalamannya sendiri,

sementara analisis terhadap laporan pengalaman terlibat merupakan upaya

“masuk ke dalam” pengalaman orang lain atas dasar deskripsi mereka tentang

pengalamannya. Dalam penelitian psikologi fenomenologis laporan

pengalaman terlibat dijadikan fenomena yang dianalisis oleh peneliti.

(“Spinelli (1989) pointed out that phenomenological psychology is more

concerned with the diversity and variability of human experience than with the

identification of essences in Husserl’s sense. In addition, few, if any,

phenomenological researchers in psychology would claim that it is possible to

suspend all presuppotions and biases in one’s contemplation of a

phenomenon. Rather the attempt to bracket the phenomenon allows the

researchers to engage in a critical examination of his or her customary ways

of knowing (about) it (see reflexity. p. 10). Finally, it is important to

differentiate between phenomenological contemplation of an object or event as

it present it self to the researcher, and phenomenological analysis of an

account of a particular experience as presented by a research participant. The

former requires introspective attention to one’s own experience, where as the

latter an attempt to “get inside” someone else’s experience on the basis of

their description of it. In phenomenological psychological research, the

research participotion’s account becomes the phenomenon with which the

researcher engages”) (Willig, 1999: 53).

73