bab ii triyantilibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/35/jtptiain-gdl-s1...demikianlah antara...
TRANSCRIPT
15
BAB II
BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM TERHADAP
KENAKALAN REMAJA 2.1. Bimbingan dan Konseling Islam
2.1.1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam
Berbagai batasan tentang bimbingan dapat ditemui dalam buku-
buku kepustakaan. Aneka macam batasan mi disebabkan oleh perbedaan
filsafat yang mendasari penulisan buku itu. Sering pula perbedaan itu
terjadi karena para penulis buku itu tidak sama berat penekanannya pada
aspek kemanusiaan tertentu yang menjadi pusat perhatian pembahasan
mereka masing-masing. Walaupun demikian, pada umumnya terdapat
kesesuaian dalam batasan-batasan itu. Kesesuaiannya ialah bimbingan (1)
bukan pemberian arah atau pengaturan kegiatan orang lain, (2) bukan
pemaksaan pandangan seseorang kepada orang lain, (3) bukan pengambilan
keputusan bagi orang lain, dan (4) bukan pemikulan beban orang lain.
Bukan empat hal yang baru disebutkan ini, melainkan kebalikannya.
Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan oleh orang yang
berwewenang dan terlatih baik kepada perseorangan dari segala umur
untuk (1) mengatur kegiatannya sendiri, (2) mengembangkan
pandangannya sendiri, (3) mengambil keputusannya sendiri, dan (4)
menanggung bebannya sendiri. Demikianlah antara lain yang dikemukakan
16
oleh Grow. Menurut Hamrin bimbingan meliputi dua lapangan tugas, yakni
(1) mempelajari individu manusia untuk mengetahui kemampuan, minat,
dan kepribadiannya, dan (2) membantu individu itu untuk menempatkan
dirinya dalam situasi yang memungkinkan dia berkembang. Secara singkat
Hamrin (1963: 8) merumuskan bahwa
" ... guidance is helping John to see through himself in order that he may see himself through... ". (bimbingan adalah membantu John melihat dirinya sendiri agar melalui dirinya itu ia dapat melihat apa yang menjadi tujuannya), batasan lain yang dikemukakan oleh Jones adalah sebagai berikut:
Guidance is the help given by one person to another in making choices and adjustments and in solving problems. Guidance aims at aiding the recipient to grow in his independence and ability to responsible for himself. It is a service that is universal — not confined to the school or the family. It is found in all phases of life — in the home, in business and industry, ini government, in social life, in hospitals, and in prisons; indeed it is present wherever there are people who need help and wherever there are people who can help. Dalam batasan Jones tersebut di atas terkandung empat hal, yakni
(1) adanya pertolongan yang diberikan oleh seorang manusia kepada
manusia lain, (2) pertolongan itu untuk menentukan pilihan-pilihan dan
penyesuaian-penyesuaian serta untuk memecahkan masalah, (3) adanya
tujuan, yakni agar yang dibantu dapat berkembang secara bebas sehingga
akhirnya ia dapat memikul tanggung jawab, dan (4) sebenarnya bimbingan
itu terdapat di mana-mana, asalkan ada seseorang yang memerlukan
pertolongan dan ada pula seseorang yang dapat menolongnya.
Berhubungan dengan pelayanan di sekolah, Ohlsen berpendapat
bahwa bimbingan merupakan usaha bersama antara konselor dan rekan-
17
rekannya untuk membantu individu dalam penyesuaiannya dan untuk
membantu individu itu dalam mengembangkan keterampilan-keterampilan.
Dengan demikian diharapkan individu itu lebih berhasil dalam menghadapi
masalah yang dijumpai dalam hidupnya. Yang dimaksudkan dengan
penyesuaian ialah suatu proses dinamis. Dalam proses ini individu
berangsur-angsur dapat mengenal dirinya sendiri secara lebih baik,
menemukan apa yang diinginkannya, menentukan bagaimana mencapai
tujuannya, dan memperbaiki cara-cara mengatasi saat-saat yang kritis
dalam hidupnya. Dengan maksud agar dapat diterapkan bagi sekolah-
sekolah di Indonesia, Natawidjaja (1972: 11) merumuskan:
Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu
yang dilakukan secara terus-menerus (continue) supaya individu tersebut
dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat
bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah,
keluarga, dan masyarakat. Dengan demikian dia dapat mengecap
kebahagiaan hidupnya serta dapat memberikan sumbangan yang berarti
kepada kehidupan masyarakat umumnya.
Menurut Walgito (1989: 4), “Bimbingan adalah bantuan atau
pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu
dalam menghadapi atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam
kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu itu dapat mencapai
kesejahteraan hidupnya” Dengan memperhatikan rumusan tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling merupakan pemberian
18
bantuan yang diberikan kepada individu guna mengatasi berbagai
kesukaran di dalam kehidupannya, agar individu itu dapat mencapai
kesejahteraan hidupnya.
Dalam tulisan ini, bimbingan dan konseling yang di maksud adalah
yang Islami, maka ada baiknya kata Islam diberi arti lebih dahulu. Biasanya
kata Islam diterjemahkan dengan “penyerahan diri”, penyerahan diri
kepada Tuhan atau bahkan kepasrahan (Arkoun, 1996: 17). Secara
terminologi sebagaimana dirumuskan oleh Ali (1977: 2), Islam
mengandung arti dua macam, yakni (1) mengucap kalimah syahadat; (2)
berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka yang di maksud bimbingan Islami
adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras
dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat. Menurut Adz-Dzaky (2002: 189) konseling
dalam Islam adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan
pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal
bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal
fikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi
problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri
yang berparadigma kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.
19
2.1.2. Dasar Pijakan dan Azas-Azas Bimbingan dan Konseling
Islam
Secara historis asal mula pengertian konseling adalah untuk
memberi nasehat, seperti penasehat hukum, penasehat perkawinan, dan
penasehat camping anak-anak pramuka. Kemudian nasehat itu berkembang
ke bidang-bidang bisnis, manajemen, otomotif, investasi, dan finansial.
Misalnya ada penasehat otomotif (automotive counselor), ada pula finance
counselor, investment counselor dan sebagainya.
Pengertian kooseling dalam kegiatan-kegiatan seperti tersebut di
atas menekankan pada nasehat (advise giving), mendorong, memberi
informasi, menginterpretasi hasil tes, dan analisa psikologis.
Kemudian muncul English & English pada tahun 1958
mengemukakan arti konseling adalah:
"Suatu hubungan antara seseorang dengan orang lain, di mana seorang berusaha keras untuk membantu orang lain agar memahami masalah dan dapat memecahkan masalahnya dalam rangka penyesuaian dirinya." Di antara konseling yang muncul kala itu yang menonjol adalah
konseling pendidikan, jabatan, dan hubungan sosial. Biasanya yang
menjadi klien adalah orang normal dan juga dapat memasuki batas bidang
psikoterapi.
Pada tahun 1955, yakni tiga tahun sebelum English, Glen E. Smith
mendefinisikan konseling yakni:
"Suatu proses di mana konselor membantu konseli (klien) agar ia dapat memahami dan menafsirkan fakta-fakta yang berhubungan
20
dengan pemilihan, perencanaan dan penyesuaian diri sesuai dengan kebutuhan individu." Milton E. Hahn (1955) mengatakan bahwa konseling adalah
suatu proses yang terjadi dalam hubungan seorang dengan seorang yaitu
individu yang mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan
seorang petugas profesional yang telah memperoleh latihan dan
pengalaman untuk membantu agar klien mampu memecah kesulitannya
Menurut analisa Shertzer, dan Stone (1980), definisi-definisi
konseling pada umumnya bernuansa kognitif, afektif, dan behavioral.
Semua definisi konseling mencerminkan relasi dyadic yakni hubungan
seseorang dengan seseorang, beragam tempat, beragam klien, beragam
materi dan tujuan.
Penjelasan Shertzer dan Stone itu menekankan bahwa tujuan
konseling dan berbagai definisi di atas tadi lebih cenderung kepada aspek
klinis/penyembuhan klien. Sedangkan aspek pengembangan potensi klien
belum disinggung. Mungkin hal ini disebabkan permulaan kegiatan
konseling banyak didominasi ahli-ahli medis seperti psikiater dan dokter.
Dalam era global dan pembangunan, maka konseling lebih
menekankan pada pengembangan potensi individu yang terkandung di
dalam dirinya, termasuk dalam potensi itu adalah aspek intelektual afektif,
sosial, emosional, dan religius. Sehingga individu akan berkembang dengan
nuansa yang lebih bermakna, harmonis, sosial, dan bermanfaat. Maka
definisi konseling yang antisipatif sesuai tantangan pembangunan adalah;
21
"Konseling adalah upaya bantuan yang diberikan seorang pembimbing
yang terlatih dan berpengalaman, terhadap individu-individu yang
membutuhkannya, agar individu tersebut berkembang potensinya secara
optimal, mampu mengatasi masalahnya, dan mampu menyesuaikan diri
terhadap lingkungan yang selalu berubah.''
Bimbingan dan konseling Islam mempunyai dasar pijakan utama al-
Qur'an sebagai sumber hukum Islam pertama dan hadis sebagai sumber
hukum kedua. Keduanya merupakan sumber hukum Islam atau dalil-dalil
hukum (Zahrah, 1980: 54).
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :
هليلى اهللا عول اهللا صسهم أن رلغهم بك أنالم نع كترقال ت لمسو بيهة ننساهللا و ابتا كبهم مكتسما تا مدلواابضت ن لنيرأم يكمرواه (ف
)مسلمArtinya :Dari Malik sesungguhnya Rasulullah bersabda: Aku tinggalkan
untuk kalian dua perkara atau pusaka, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian berpegang kepada keduanya; kitabullah (Qur’an) dan Sunnah Rasulnya (HR Muslim) (Muslim, 1967: 35)
Dalam al-Qur'an Allah berfirman:
)7: احلشر...(وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا... Artinya :Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah (Q.S. Al-Hasyr:7) (Depag RI, 1978: 915)
Sebagai dalil naqliyah, Al-Qur'an dan hadis merupakan sumber hukum
utama dan menjadi rujukan utama. Akan tetapi bimbingan dan konseling
22
Islam melengkapi pula dalam rujukannya yaitu pada hadis yang merupakan
penjabaran terhadap al-Qur'an. Sedangkan landasan lain yang dipergunakan
oleh bimbingan dan konseling Islam yang sifatnya aqliyah yaitu filsafat dan
ilmu, dalam hal ini filsafat Islam dan ilmu atau landasan ilmiah yang sejalan
dengan ajaran Islam, seperti falsafah-falsafah di bawah ini:
1. Falsafah tentang dunia manusia (citra manusia)
2. Falsafah tentang dunia dan kehidupan
3. Falsafah tentang pernikahan dan keluarga.
4. Falsafah tentang pendidikan.
5. Falsafah tentang masyarakat dan hidup kemasyarakatan.
6. Falsafah tentang upaya mencari nafkah atau falsafah kerja.
Dalam gerak dan langkahnya, bimbingan dan konseling Islam
berlandaskan pula pada berbagai teori yang telah tersusun menjadi ilmu.
Sudah barang tentu teori dan ilmu itu, khususnya ilmu-ilmu atau teori-teori
yang dikembangkan bukan oleh kalangan Islam yang sejalan dengan ajaran
Islam sendiri. Ilmu-ilmu yang membantu dan dijadikan landasan gerak
operasional bimbingan dan konseling Islam itu antara lain:
1. Ilmu jiwa (psikologi)
2. Ilmu hukum Islam (syari’ah)
3. Ilmu kemasyarakatan (sosiologi, antropologi sosial dan sebagainya)
(Musnamar,.1992; 6)
Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa al-Qur'an dan Hadis merupakan
landasan utama yang menjadi pijakan bimbingan dan konseling Islam.
23
Adapun asas-asas atau prinsip-prinsip bimbingan dan konseling Islam terdiri
dari:
1. Asas-asas kebahagiaan di dunia dan akhirat
Bimbingan dan konseling Islam tujuan akhirnya adalah membantu
klien, atau konseling, yakni orang yang dibimbing, mencapai kebahagiaan
hidup yang senantiasa didambakan oleh setiap muslim.
2. Asas fitrah
Bimbingan dan konseling Islam merupakan bantuan kepada klien
atau konseling untuk mengenal, memahami dan menghayati fitrahnya,
sehingga segala gerak tingkah laku dan tindakannya sejalan dengan
fitrahnya tersebut.
3. Asas “lillahi ta’ala
Bimbingan dan konseling Islam diselenggarakan semata-mata
karena Allah. Konsekuensi dari asas ini berarti pembimbing melakukan
tugasnya dengan penuh keikhlasan, tanpa pamrih, sementara yang
dibimbing pun menerima atau meminta bimbingan dan atau konseling pun
dengan ikhlas dan rela, karena semua pihak merasa bahwa semua yang
dilakukan adalah karena dan untuk pengabdian kepada Allah semata,
sesuai dengan fungsi dan tugasnya sebagai mahkluk Allah yang harus
senantiasa mengabdi pada-Nya.
4. Asas Bimbingan seumur hidup
Manusia hidup betapapun tidak akan ada yang sempurna dan
selalu bahagia, dalam kehidupannya mungkin saja manusia akan
24
menjumpai berbagai kesulitan dan kesusahan. Oleh karena itulah maka
bimbingan dan konseling Islam diperlukan selama hayat dikandung badan.
5. Asas kesatuan jasmaniah-rohaniah
Seperti telah diketahui dalam uraian mengenai citra manusia
menurut Islam, manusia itu dalam hidupnya di dunia merupakan satu
kesatuan jasmaniah-rohaniah. Bimbingan dan konseling Islam
memperlakukan kliennya sebagai makhluk jasmaniah-rohaniah tersebut,
tidak memandangnya sebagai makhluk biologis semata atau makhluk
rohaniah semata.
6. Asas keseimbangan rohaniah
Rohani manusia memiliki unsur daya kemampuan pikir,
merasakan atau menghayati dan kehendak atau hawa nafsu serta juga
akal. Kemampuan ini merupakan sisi lain kemampuan fundamental
potensial untuk:(1) mengetahui (=”mendengar), (2) memperhatikan atau
menganalisis (=”melihat”; dengan bantuan atau dukungan pikiran), dan
(3) menghayati (=”hati” atau af’idah, dengan dukungan kalbu dan akal).
7. Asas kemaujudan individu (eksistensi)
Bimbingan dan konseling Islami, memandang seorang individu
merupakan maujud (eksistensi) tersendiri. Individu mempunyai hak,
mempunyai perbedaan individu dari yang lainnya, dan mempunyai
kemerdekaan pribadi sebagai konsekuensi dari haknya dan kemampuan
fundamental potensial rohaniahnya.
25
8. Asas keahlian, bimbingan dan konseling Islam dilakukan oleh orang–
orang yang memang memiliki kemampuan keahlian dibidang
tersebut.(Musnamar, 1992: 20-33).
9. Asas kekhalifahan manusia
Manusia, menurut Islam diberi kedudukan yang tinggi sekaligus
tanggung jawab yang besar, yaitu sebagai pengelola alam semesta
(“khalifatullah fil ard”). Dengan kata lain, manusia dipandang sebagai
makhluk berbudaya yang mengelola alam sekitar sebaik baiknya. Sebagai
khalifah, manusia harus memelihara keseimbangan ekosistem sebab
problem-problem kehidupan kerap kali muncul dari ketidakseimbangan
ekosistem tersebut yang diperbuat oleh manusia itu sendiri. bimbingan dan
fungsinya tersebut untuk kebahagiaan dirinya dan umat manusia.
10. Asas keselarasan dan keadilan. Islam menghendaki keharmonisan,
keselarasan, keseimbangan, keserasian dalam segala segi.
11. Asas pembinaan akhlakul karimah, manusia menurut pandangan Islam
memiliki sifat-sifat yang baik (mulia). Sekaligus mempunyai sifat-sifat
lemah.
12. Asas kasih sayang. Setiap manusia memerlukan cinta kasih dan rasa kasih
sayang dari orang lain.
13. Asas saling menghargai dan menghormati. Dalam bimbingan dan
konseling Islam kedudukan pembimbing atau konselor dengan yang
dibimbing sama atau sederajat.
26
14. Asas musyawarah. Bimbingan dan konseling Islam dilakukan dengan asas
musyawarah.
15. Asas sosialitas manusia
2.1.3 Tujuan dan Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam
Bimbingan dan konseling Islam mempunyai tujuan dan fungsi. Secara
global, tujuan Bimbingan dan Konseling Islam itu dapat dirumuskan sebagai
membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Bimbingan dan Konseling sifatnya hanya merupakan bantuan, hal ini
sudah diketahui dari pengertian atau definisinya. Individu yang dimaksudkan
di sini adalah orang yang dibimbing atau diberi konseling, baik orang
perorangan maupun kelompok. Mewujudkan diri sebagai manusia seutuhnya
berarti mewujudkan diri sesuai dengan hakekatnya sebagai manusia untuk
menjadi manusia yang selaras perkembangan unsur dirinya dan pelaksanaan
fungsi atau kedudukannya sebagai makhluk Allah (makhluk religius),
makhluk individu, makhluk sosial, dan sebagai makhluk berbudaya.
Dalam perjalanan hidupnya, karena berbagai faktor, manusia bisa
seperti yang tidak dikehendaki yaitu menjadi manusia seutuhnya. Dengan kata
lain yang bersangkutan berhadapan dengan masalah atau problem, yaitu
menghadapi adanya kesenjangan antara seharusnya (ideal) dengan yang
senyatanya. Orang yang menghadapi masalah, lebih-lebih jika berat, maka
yang bersangkutan tidak merasa bahagia. Bimbingan dan konseling Islam
berusaha membantu individu agar bisa hidup bahagia, bukan saja di dunia,
27
melainkan juga di akhirat. Karena itu, tujuan akhir bimbingan dan konseling
Islam adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Bimbingan dan konseling Islam berusaha membantu jangan sampai
individu menghadapi atau menemui masalah. Dengan kata lain membantu
individu mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. Bantuan pencegahan
masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan. Karena berbagai faktor,
individu bisa juga terpaksa menghadapi masalah dan kerap kali pula individu
tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri, maka bimbingan berusaha
membantu memecahkan masalah yang dihadapinya itu. Bantuan pemecahan
masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan juga, khususnya
merupakan fungsi konseling sebagai bagian sekaligus teknik
bimbingan.(Musnamar, 1992: 33-34)
Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam
Dengan memperhatikan tujuan umum dan khusus bimbingan dan
konseling Islam tersebut, dapatlah dirumuskan fungsi (kelompok tugas atau
kegiatan sejenis) dari bimbingan dan konseling Islam itu sebagai berikut:
1. Fungsi preventif; yakni membantu individu menjaga atau mencegah
timbulnya masalah bagi dirinya.
2. Fungsi kuratif atau korektif; yakni membantu individu memecahkan
masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya.
3. Fungsi preservatif; yakni membantu individu menjaga agar situasi dan
kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik
(terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama (in state of good).
28
4. Fungsi developmental atau pengembangan; yakni membantu individu
memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar
tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkannya
menjadi sebab munculnya masalah baginya (Rahim, 2001: 37-41).
Untuk mencapai tujuan seperti disebutkan di muka, dan sejalan dengan
fungsi-fungsi bimbingan dan konseling Islam tersebut, maka bimbingan dan
konseling Islam melakukan kegiatan yang dalam garis besarnya dapat
disebutkan sebagai berikut:
Fungsi kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling Islam:
1. Membantu individu mengetahui, mengenal dan memahami keadaan
dirinya sesuai dengan hakekatnya, atau memahami kembali keadaan
dirinya, sebab dalam keadaan tertentu dapat terjadi individu tidak
mengenal atau tidak menyadari keadaan dirinya yang sebenarnya. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa bimbingan dan konseling
Islam"mengingatkan kembali individu akan fitrahnya.
نيفا فين حلدل كهجو مالفأق ة اللها الطرهليع اسالن ي فطريلتدبت مالقي ينالد كذل لق اللهخاس ال لالن أكثر نلكون ولمع30:الروم( ي(
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar Rum, 30: 30).
Fitrah Allah dimaksudkan bahwa manusia itu membawa fitrah
ketauhidan, yakni mengetahui Allah SWT Yang Maha Esa, mengakui
29
dirinya sebagai ciptaanNya, yang harus tunduk dan patuh pada
ketentuan dan petunjukNya. Manusia ciptaan Allah yang dibekali
berbagai hal dan kemampuan, termasuk naluri beragama tauhid (agama
Islam). Mengenal fitrah berarti sekaligus memahami dirinya yang
memiliki berbagai potensi dan kelemahan, memahami dirinya sebagai
makhluk Tuhan atau makhluk religius, makhluk individu, makhluk
sosial dan juga makhluk pengelola alam semesta atau makhluk
berbudaya. Dengan mengenal dirinya sendiri atau mengenal fitrahnya
itu individu akan lebih mudah mencegah timbulnya masalah,
memecahkan masalah, dan menjaga berbagai kemungkinan timbulnya
kembali masalah (Musnamar, 1992: 35).
2. Membantu individu menerima keadaan dirinya sebagaimana adanya, segi-
segi baik dan buruknya, kekuatan serta kelemahannya, sebagai sesuatu
yang memang telah ditetapkan Allah (nasib atau taqdir), tetapi juga
menyadari bahwa manusia diwajibkan untuk berikhtiar, kelemahan yang
ada pada dirinya bukan untuk terus menerus disesali, dan kekuatan atau
kelebihan bukan pula untuk membuatnya lupa diri (Rahim, 2001: 39).
Dalam satu kalimat singkat dapatlah dikatakan sebagai membantu
individu tawakkal atau berserah diri kepada Allah. Dengan tawakal atau
berserah diri kepada Allah berarti meyakini bahwa nasib baik buruk
dirinya itu ada hikmahnya yang bisa jadi manusia tidak tahu.
وعسى أن تكرهوا شيئا وهو خير لكم وعسىأن تحبوا شيئا...أنتو لمعي اللهو لكم رش وهونولمعال ت 216:البقرة (م(
30
Artinya: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu dan boleh jadi juga kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al Baqarah, 2 : 216).
لب فوال خو هبر ندع هرأج فله سنحم وهو لهل ههجو لمأس نى م )112:البقرة( عليهم وال هم يحزنون
Artinya: (Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri
kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. Al Baqarah, 2 : 112).
ذا الذي ينصركم إن ينصركم الله فال غالب لكم وإن يخذلكم فمنهدعن بكلموتفلي لى اللهعون ونمؤ160:آل عمران (الم(
Artinya: Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat
mengalahkanmu. Jika Allah membiarkanmu (tidak memberi pertolongan), siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah sajalah orang-orang mukmin bertawakkal. (Q.S. Ali lmran, 3 :160).
ةنالج نم مهئنوبلن اتحاللوا الصمعوا ونآم ينالذري وجفا تن غرمف يندالخ ارها الأنهتحترأج ما نعيه نيلام58{الع {ينوا الذربص )59-58: العنكبوت( وعلى ربهم يتوكلون
Artinya: Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, yaitu yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya (Q..S. Al-Ankabut, 29: 58- 59).
31
3. Membantu individu memahami keadaan (situasi dan kondisi) yang
dihadapi saat ini. Kerapkali masalah yang dihadapi individu tidak
dipahami si individu itu sendiri, atau individu tidak merasakan atau tidak
menyadari bahwa dirinya sedang menghadapi masalah, tertimpa masalah.
Bimbingan dan konseling Islam membantu individu merumuskan masalah
yang dihadapinya dan membantunya mendiagnosis masalah yang sedang
dihadapinya itu. Masalah bisa timbul dari bermacam faktor. Bimbingan
dan konseling Islam membantu individu melihat faktor-faktor penyebab
timbulnya masalah tersebut.
لكم دكم عدوان من أزواجكم وأواليا أيها الذين آمنوا إالله غفور رحيم فاحذروهم وإن تعفوا وتصفحوا وتغفروا فإن
عظيمفتنة والله عنده أجر دكم إنما أموالكم وأوال}14{ )15-14:التغابن(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-
isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu, dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan disisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S.At Tagabun, 64:14-15).
2.1.4. Materi Bimbingan dan Konseling Islam
Bimbingan dan konseling Islami berkaitan dengan masalah yang
dihadapi individu, yang mungkin dihadapi individu, atau yang sudah dialami
individu. Masalah itu sendiri, dapat muncul dari berbagai faktor atau bidang
32
kehidupan. Jika dirinci, dengan pengelompokan, masalah-masalah itu dapat
menyangkut bidang-bidang:
1. Pernikahan dan keluarga
Anak dilahirkan dan dibesarkan (umumnya) di lingkungan
keluarga, entah itu keluarga intinya (ayah dan ibunya sendiri), entah itu
keluarga lain, atau keluarga besar (sanak keluarga). Keluarga lazimnya
diikat oleh tali pernikahan. Pernikahan dan ikatan keluarga di satu sisi
merupakan manfaat, di sisi lain dapat mengandung mudarat atau
menimbulkan kekecewaan-kekecewaan. Dalam pada itu pernikahan dan
kekeluargaan sudah barang tentu tidak terlepas dari lingkungannya (sosial
maupun fisik) yang mau tidak mau mempengaruhi kehidupan keluarga
dan keadaan pernikahan. Karena itulah maka bimbingan dan konseling
Islami kerap kali amat diperlukan untuk menangani bidang ini.
2. Pendidikan
Semenjak lahir anak sudah belajar, belajar mengenal
lingkungannya. Dan manakala telah cukup usia, dalam sistem kehidupan
dewasa ini, anak belajar dalam lembaga formal (di sekolah). Dalam
belajar (pendidikan) pun kerapkali berbagai masalah timbul, baik yang
berkaitan dengan belajar itu sendiri maupun lainnya. Problem-problem
yang berkaitan dengan pendidikan ini sedikit banyak juga memerlukan
bantuan bimbingan dan konseling Islami untuk menanganinya.
3. Sosial (kemasyarakatan)
33
Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dan kehidupannya
sedikit banyak tergantung pada orang lain. Kehidupan kemasyarakatan
(pergaulan) ini pun kerapkali menimbulkan masalah bagi individu yang
memerlukan penanganan bimbingan dan konseling Islami (Musnamar,
1992: 41)
4. Pekerjaan (jabatan)
Untuk memenuhi hajat hidupnya, nafkah hidupnya, dan sesuai
dengan hakekatnya sebagai khalifah di muka bumi (pengelola alam),
manusia harus bekerja. Mencari pekerjaan yang sesuai dan membawa
manfaat besar, mengembangkan karier dalam pekerjaan, dan sebagainya,
kerapkali menimbulkan permasalahan pula, bimbingan dan konseling
Islami pun diperlukan untuk menanganinya.
5. Keagamaan
Manusia merupakan makhluk religius. Akan tetapi dalam
perjalanan hidupnya manusia dapat jauh dari hakekatnya tersebut. Bahkan
dalam kehidupan keagamaan pun kerapkali muncul pula berbagai masalah
yang menimpa dan menyulitkan individu. Dan ini memerlukan
penanganan bimbingan dan konseling Islami. Sudah barang tentu masih
banyak bidang yang digarap bimbingan dan konseling Islami di samping
apa yang tersebut di atas. Masing- masing bidang tersebut secara luas,
walau tetap masih dalam garis besar juga, akan dibicarakan dalam bab-bab
tersendiri (Faqih, 2001: 45).
34
Berdasarkan uraian tersebut bimbingan dan konseling Islam dapat
membantu menanggulangi kenakalan remaja, karena bimbingan dan
konseling Islam dapat dijadikan sarana untuk mencegah kenakalan remaja
dan sebagai upaya penanggulangan. Pentingnya bimbingan dan konseling
Islam adalah karena kenakalan remaja makin hari menunjukkan gejala
yang mencemaskan. Gejala ini berkembang seiring dengan perubahan atau
dinamika masyarakat. Menurut Kusuma (1988: 64) proses perubahan
sosial yang tengah berlangsung di Indonesia menandai pula perkembangan
kota-kota dengan kompleksitas fungsinya yang tidak hanya mempunyai
fungsi administratif dan komersial, melainkan tumbuh sebagai simpul
interaksi sosial yang mempengaruhi sistem nilai dan norma serta perilaku
warga masyarakat. Keseluruhan dampak perubahan itu sudah tentu
menyentuh pula aspek-aspek kehidupan remaja kota sebagai suatu
golongan masyarakat yang berjumlah besar dalam struktur kependudukan
di perkotaan.
Dalam konteks itu nampak mengedepan dua persoalan pokok,
yakni kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja serta bentuk-
bentuk kenakalan remaja. Bentuk pertama cenderung kriminal dan bentuk
kedua kenakalan biasa yang tidak sampai menjurus pada kejahatan.
Kenakalan remaja atau “juvenile delinquency”, menurut hukum
pidana tidak dapat dikategorikan sebagai “tindak kriminalitas” (kejahatan)
seperti yang dikenakan terhadap orang dewasa. Melainkan hanya
35
dipandang sebagai gejala perkembangan yang abnormal, yang masih dapat
diarahkan kepada perkembangan yang wajar (Kusuma, 1988: 64)
Istilah kenakalan remaja merupakan terjemahan dari kata” Juvenile
Delinquency” yang dipakai di dunia Barat. Istilah ini mengandung
pengertian tentang kehidupan remaja yang menyimpang dari berbagai
pranata dan norma yang berlaku umum. Baik yang menyangkut kehidupan
masyarakat, agama, maupun hukum yang berlaku. Menurut M Arifin,
pengertian kenakalan tersebut mengandung beberapa ciri pokok, sebagai
berikut:
- Tingkah laku yang mengandung kelainan-kelainan berupa perilaku atau
tindakan yang bersifat a-moral, a-sosial, atau anti sosial.
- Dalam perilaku atau tindakan tersebut terdapat pelanggaran terhadap
norma-norma sosial, hukum, dan norma agama yang berlaku dalam
masyarakat.
- Tingkah/perilaku, perbuatan serta tindakan-tindakan yang bertentangan
dengan nilai-nilai hukum atau undang-undang yang berlaku yang jika
dilakukan oleh orang dewasa hal tersebut jelas merupakan pelanggaran
atau tindak kejahatan (kriminal) yang diancam dengan hukuman
menurut ketentuan yang berlaku.
- Perilaku, tindakan dan perbuatan tersebut dilakukan oleh kelompok usia
remaja (Arifin, 1994: 79-80)
Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, artinya anak-anak,
anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada
36
periode remaja. Delinquent berasal dari kata Latin “delinquere” yang
berarti: terabaikan, mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya
menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut,
pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-
lain. Delinquency itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran,
kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah
usia 22 tahun (Kartono, 2003: 6)
Istilah juvenile delinquency dikemukakan oleh para sarjana dalam
rumusan yang bervariasi, namun substansinya sama misalnya:
Kartono (1986: 209) mengatakan juvenile delinquency (juvenilis =
muda, bersifat kemudaan; delinquency dari delinqucuere = jahat, durjana,
pelanggar, nakal) ialah anak-anak muda yang selalu melakukan kejahatan,
dimotivir untuk mendapatkan perhatian, status sosial dan penghargaan
dari lingkungannya. Sedangkan Salim (tth: 300) mengartikan juvenile
delinquency adalah kenakalan anak remaja yang melanggar hukum,
berperilaku, anti sosial, melawan orang tua, berbuat jahat, sehingga
sampai diambil tindakan hukum. Sedangkan Juvenile Delinquency ialah
anak remaja yang ditandai dengan juvenile delinquent adalah anak remaja
yang ditandai dengan Juvenile Delinquency.
Echols dan Shadily (1995: 339) menterjemahkan Juvenile
Delinquency sebagai kejahatan/kenakalan anak-anak/anak muda/muda-
mudi. Dalam Ensiklopedi Umum (1991: 472), Juvenile Delinquency
adalah pelanggaran hukum atau moral yang dijalankan oleh individu di
37
bawah umur biasanya pelanggaran ringan (pencurian, penipuan, kerusakan
dan sebagainya).
Lembaga Pengadilan di Amerika merumuskan Juvenile Delinquent
sebagai berikut:
Juvenile delinquency in most jurisdiction is technically speaking a child or young person (in most states under 16, 17, 18; in two states under 21) who has commited an offense for which he may referred to juvenile court authorities. Berdasarkan perumusan ini dapat digaris bawahi: (a) bahwa anak harus berumur 21 tahun, (b) termasuk yurisdiksi pengadilan anak. Faktor inilah yang menentukan status seseorang menjadi juvenile delinquent (Simanjuntak, 1977: 292)
Dengan mengkaji rumusan-rumusan di atas maka pada intinya
secara sederhana juvenile delinquency dapat diterjemahkan sebagai
kenakalan remaja. Kenakalan remaja yang dimaksud di sini, seperti yang
dikatakan Sarwono (1994: 207) yaitu perilaku yang menyimpang dari atau
melanggar hukum.
Masalah delinkuensi anak-anak atau remaja di Indonesia ternyata
menarik perhatian beberapa ahli ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
kehidupan remaja Soekanto (1982: 389-390) menguraikan secara singkat
sebagai berikut :
Delinkuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah “cross boy” dan cross girl” yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung dalam satu ikatan/organisasi formil atau semi formil dan yang mempunyai tingkah laku yang kurang/tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya. Delinkuensi anak-anak di Indonesia meningkat pada tahun-tahun 1956 dan 1958 dan juga pada tahun 1968-1969, hal mana sering disinyalir dalam pernyataan-pernyataan resmi pejabat-pejabat maupun petugas-petugas penegak hukum. Delinkuensi anak-anak tadi meliputi pencurian, perampokan, pencopetan, penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obat perangsang dan mengendarai mobil (atau kendaraan bermotor lainnya), tanpa mengindahkan norma-norma lalu lintas.
38
Seringkali dibedakan antara dua macam persoalan, yaitu antara
problem-problem masyarakat (scientific of societal problems) dengan
problem-problem sosial (ameliorative or social problems). Hal yang
pertama menyangkut analisa tentang macam-macam gejala kehidupan
masyarakat, sedangkan yang kedua meneliti gejala-gejala abnormal dalam
masyarakat dengan maksud untuk memperbaikinya atau bahkan untuk
menghilangkannya. Ukuran pokok dari suatu problem sosial adalah tidak
adanya persesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dengan
kenyataan-kenyataan serta tindakan-tindakan sosial. Sebagai unsur
pertama dan yang terpokok daripada problem sosial adalah adanya
perbedaan yang menyolok antara nilai-nilai atau ukuran-ukuran sosial
dengan kondisi-kondisi yang nyata dari kehidupan. Maksudnya ialah
munculnya kepincangan dan adanya ketimpangan antara anggapan-
anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi (das sollen)
dengan apa yang terjadi dalam kenyataan (das Sein), pergaulan
masyarakat.
Diteliti dalam kenyataan, banyak sekali cara hidup seseorang atau
beberapa orang yang menunjukkan adanya perbedaan dengan nilai-nilai
atau ukuran-ukuran sosial, misalnya :cara-cara hidup anak delinkuen.
Anak remaja yang menjadi delinkuen karena keadaan keluarga, sekolah
bahkan karena lingkungan masyarakat pada umumnya mereka suka
melakukan perbuatan yang meresahkan masyarakat dan mengancam
ketentramannya. Penganiayaan, pencurian, pemerkosaan, penipuan,
39
pengrusakan dan mabuk-mabukan merupakan perbuatan yang anti sosial,
tidak susila dan tidak bermoral. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
anak-anak delinkuen pada hakikatnya melanggar hak-hak orang lain, baik
harta, harga diri maupun jiwa.
Masalah generasi muda, terutama problem sosial yang timbul dari
delinkuensi anak-anak pada garis besarnya sebagai akibat dari adanya ciri
khas yang berlawanan, yakni: keinginan-keinginan untuk melawan dan
adanya sikap apatis. Soekanto (1982: 385-386), mengupas masalah ini
lebih tuntas antara lain.
“Sikap melawan tersebut disertai dengan suatu rasa takut bahwa,
masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang,
sedangkan sikap apatis biasanya disertai dengan rasa kekecewaan terhadap
masyarakat. Generasi muda biasanya menghadapi problem-problem sosial
dan biologis. Apabila seseorang mencapai usia remaja, secara fisik ia
sudah matang, akan tetapi untuk dapat dikatakan dewasa dalam arti sosial,
dia masih memerlukan faktor-faktor lainnya”.
2.2. Kenakalan Remaja dan Penanggulangannya
2.2.1. Batasan Remaja
Secara etimologi, kata "remaja" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti mulai dewasa, sudah sampai umur untuk kawin (Depdiknas, 2002:
944). Istilah asing yang sering dipakai untuk menunjukkan masa remaja,
antara lain: puberteit, adolescentia dan youth. Dalam bahasa Indonesia sering
pula dikatakan pubertas atau remaja. Dalam berbagai macam kepustakaan
40
istilah-istilah tersebut tidak selalu sama uraiannya. Apabila melihat asal kata
istilah-istilah tadi, maka akan diperoleh:
a. Puberty (Inggris) atau puberteit (Belanda) berasal dari bahasa Latin:
pubertas. Pubertas berarti kelaki-lakian, kedewasaan yang dilandasi oleh,
sifat dan tanda-tanda kelaki-lakian.
b. Adolescentia berasal dari kata Latin: adulescentia. Dengan adulescentia
dimaksudkan masa muda, yakni antara 17 dan 30 tahun (Gunarsa, 1981:
14-15).
Dari pemakaian istilah di beberapa negara dapat disimpulkan
bahwa tujuan penyorotan juga tidak selalu sama, walaupun batas-batas
umur yang diberikan dalam penelaahan mungkin sama. Dari kepustakaan
didapatkan bahwa puberteit adalah masa antara 12 dan 16 tahun.
Pengertian pubertas meliputi perubahan-perubahan fisik dan psikis, seperti
halnya pelepasan diri dari ikatan emosionil dengan orang tua dan
pembentukan rencana hidup dan sistem nilai sendiri. Perubahan pada masa
ini menjadi obyek penyorotan terutama perubahan dalam lingkungan
dekat, yakni dalam hubungan dengan keluarga.
c. Adolescentia adalah masa sesudah pubertas, yakni masa antara 17 dan 22
tahun. Pada masa ini lebih diutamakan perubahan dalam hubungan dengan
lingkungan hidup yang lebih luas, yakni masyarakat di mana ia hidup.
Tinjauan psikologis dilakukan terhadap usaha remaja dalam mencari dan
memperoleh tempat dalam masyarakat dengan peranan yang tepat
(Gunarsa, 1981: 14-15).
41
Menurut Monks (2004: 261–262) masa remaja sering pula disebut
adolesensi (Latin, adolescere = adultus = menjadi dewasa atau dalam
perkembangan menjadi dewasa).
Menurut Singgih dan Gunarsa (1981: 14-15) bahwa dari kepustakaan
lain diperoleh, istilah pubescence di samping istilah puberty. Pada istilah
pubescence jelas terlihat kata asalnya: pubis. Dengan istilah pubescence maka
lebih ditonjolkan hubungan antara masa dan perubahan yang terjadi
bersamaan dengan tumbuhnya "pubic hair", bulu (rambut) pada daerah
kemaluan. Penggunaan istilah ini lebih terbatas dan menunjukkan tercapainya
kematangan seksual. Pubescence dan puberty sering dipakai dengan
pengertian masa tercapainya kematangan seksual ditinjau terutama dari aspek
biologisnya. Sedangkan istilah adolescence menunjukkan masa yang terdapat
antara usia 12 sampai 22 tahun dan mencakup seluruh perkembangan psikis
yang terjadi pada masa_tersebut. Untuk menghindarkan kesalahpahaman
dalam pemakaian istilah pubertas dan adolescensia, akhir-akhir ini terlihat
adanya kecenderungan untuk memberikan arti yang sama pada keduanya. Hal
ini disebabkan sulitnya membedakan proses psikis pada masa pubertas dan
mulainya proses psikis pada adolescensia.
Secara terminologi, para ahli merumuskan masa remaja dalam
pandangan dan tekanan yang berbeda, di antaranya:
1. Menurut Daradjat (1988: 101), masa remaja (adolesensi) adalah
masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa, di mana anak-anak mengalami pertumbuhan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk jasmani, sikap, cara berfikir dan bertindak, tetapi
42
bukan pula orang dewasa yang telah matang. Masa ini mulai kira-kira pada umur 13 tahun dan berakhir kira-kira umur 21 tahun.
2. Menurut Hurlock (1980: 207), masa remaja merupakan priode peralihan,
priode perubahan, sebagai usia bermasalah, masa mencari identitas, usia
yang menimbulkan ketakutan, masa yang tidak realistis dan sebagai
ambang masa dewasa.
3. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (World Health
Organization) remaja adalah
suatu masa: (a) individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual; (b) individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; (c) terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono, 2003: 9).
4. Menurut Maqsood (1980: 108) masa remaja adalah suatu masa yang
dipenuhi dengan perubahan-perubahan psikologis dan emosional,
sehingga wajarlah jika pada masa ini terjadi banyak masalah emosional
yang dramatis.
5. Menurut Chaplin (1993: 12), adolescence (masa remaja) adalah priode
antara pubertas dan kedewasaan, usia yang diperkirakan: 12 sampai 21
tahun untuk anak gadis, yang lebih cepat menjadi matang daripada anak
laki-laki, dan antara 13 hingga 22 tahun bagi anak laki-laki.
6. Menurut Singgih dan Gunarsa (2000: 203), remaja adalah masa peralihan
antara masa anak dan masa dewasa yakni antara 12 sampai 21 tahun.
7. Menurut Harre dan Lamb (1986: 4), adolescence (masa remaja) adalah
43
Masa perkembangan manusia yang dimulai dengan masa cukup umur (puberty) dan berakhir dengan tercapainya kematangan sebagai orang dewasa. Masa ini tidak bisa diberi batasan-batasan yang seksama, tetapi pada umumnya masa itu meliputi jangka usia mulai dua belas sampai sembilan belas tahun. Dapat juga dikatakan bahwa masa remaja adalah masa perubahan psikologis dan fisiologis yang cepat, masa penyesuaian yang intensif pada keluarga, sekolah, kerja serta kehidupan sosial dan penyiapan untuk peran-peran dewasa.
2.2.2. Perkembangan Remaja
Menurut Elisabeth B. Hurlock, istilah perkembangan berarti
serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses
kematangan dan pengalaman. Selanjutnya Hurlock (1980: 2) dengan
mengutip perkataan Van den Daele menyatakan:
Perkembangan berarti perubahan secara kualitatif, ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Pada dasarnya ada dua proses perkembangan yang saling bertentangan yang terjadi secara serempak selama kehidupan, yaitu pertumbuhan atau evolusi dan kemunduran atau involusi.
Untuk mendapatkan gambaran pertumbuhan manusia dari masa kanak-
kanak hingga remaja, Sujanto (1996: 1) membagi tahapan sebagai berikut:
Pertama, masa Kanak-kanak, yaitu sejak lahir sampai 5 tahun
Kedua, masa Anak, yaitu umur 6 sampai 12 tahun
Ketiga, masa Pubertas, yaitu umur 13 tahun sampai kurang lebih 18 tahun
bagi anak putri dan sampai umur 22 tahun bagi anak putra
Keempat, masa Adolesen, sebagai masa transisi ke masa dewasa.
44
Menurut Mappiare (1982: 24–25) sebagaimana mengutip Elizabeth
B.Hurlock bahwa jika dibagi berdasarkan bentuk-bentuk perkembangan dan
pola-pola perilaku yang nampak khas bagi usia-usia tertentu, maka rentangan
kehidupan terdiri atas sebelas masa yaitu :
Prenatal : Saat konsepsi sampai lahir. Masa neonatal : Lahir sampai akhir minggu kedua setelah lahir.
Masa bayi : Akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
Masa kanak-kanak awal : Dua tahun sampai enam tahun.
Masa kanak-kanak akhir : Enam tahun sampai sepuluh atau sebelas tahun.
Pubertas/preadolescence : Sepuluh atau dua belas tahun sampai tiga belas
atau empat belas tahun
Masa remaja awal : Tiga belas atau empat belas tahun sampai tujuh
belas tahun.
Masa remaja akhir :Tujuh belas tahun sampai Dua puluh satu tahun.
Masa dewasa awal : Dua puluh satu tahun sampai empat puluh tahun.
Masa setengah baya : Empat puluh sampai enam puluh tahun
Masa tua : Enam puluh tahun sampai meninggal dunia.
Dalam pembagian usia menurut Sujanto dan Hurlock di atas, terlihat
jelas rentangan usia remaja antara 13-21 tahun; yang dibagi pula dalam masa
remaja awal usia 13/14 tahun sampai 17 tahun, dan remaja akhir 17 tahun
sampai 21 tahun.
Jersild, et.al, tidak memberikan batasan pasti rentangan usia masa
remaja. Mereka membicarakan remaja (adolescence) dalam usia rentangan
45
sebelas tahun sampai usia duapuluhan-awal. Menurut Jersild (1978: 85, 94,95,
111 dan 115):
Masa remaja melingkupi periode atau masa bertumbuhnya seseorang dalam masa tansisi dari masyarakat kanak-kanak ke masa dewasa. Secara kasarnya, masa remaja dapat ditinjau sejak mulainya seseorang menunjukkan masa pubertas dan berlanjut hingga dicapainya kematangan seksual, telah dicapai tinggi badan secara maksimum, dan pertumbuhan mentalnya secara penuh yang dapat diramalkan melalui pengukuran tes-tes intelegensi, dengan “pembatasan” semacam itu, para ahli ini lebih lanjut ada menyebut masa “preadolescence,” “early adolescence,” “middle and late adolescence.” Y. Byl yang dikutip Ahmadi (2004: 47) membagi fase anak sebagai
berikut:
a. Fase bayi 0,0 - 0,2.
b. Fase tetek 0,2 - 1,0.
c. Fase pencoba 1,0 - 4,0.
d. Fase menentang 2,0 - 4,0.
e. Fase bermain 4,0 - 7,0.
f. Fase sekolah 7,0 - 12,0.
g. Fase pueral 11,0 - 14,0.
h. Fase pubertas 15,0 - 18,0.
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, ada 3 tahap perkembangan
remaja;
1. Remaja awal (early adolescence)
Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan
perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-
dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka
46
mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan
mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh
lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini
ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap "ego" menyebabkan para
remaja awal ini sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa.
2. Remaja madya (middle adolescence)
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. La
senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan
"narcistic", yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman
yang punya sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu ia berada
dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang
mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau
pesimis, idealis atau materialis dan sebagainya. Remaja pria harus
membebaskan diri dari oedipoes complex (perasaan cinta pada ibu sendiri
pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-
kawan dari lain jenis.
3. Remaja akhir (late adolescence)
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan
ditandai dengan pencapaian 5 hal, yaitu:
a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain
dan dalam pengalaman-pengalaman baru.
c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
47
d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti
dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang
lain.
e. Tumbuh "dinding" yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
masyarakat umum (the public) (Sarwono, 2003: 24-25).
Dengan melihat pembagian yang berbeda-beda antara ahli satu dengan
lainnya, Asnely mengambil kesimpulan dengan melakukan pembagian:
1. Fase pranatal;
2. fase awal masa kanak-kanak, umur 0-5 tahun;
3. fase akhir masa kanak-kanak, umur 6-12 tahun;
4. fase remaja dan dewasa, umur 13-18 tahun.
Pembagian perkembangan ke dalam masa-masa perkembangan
hanyalah untuk memudahkan mempelajari dan memahami jiwa anak-anak.
Walaupun perkembangan itu dibagi-bagi ke dalam masa-masa perkembangan,
namun tetap merupakan kesatuan yang hanya dapat dipahami dalam hubungan
keseluruhan (Zulkifli, 1986: 23).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
secara teoritis dan empiris dari segi psikologis, rentangan usia remaja berada
dalam usia 12 tahun sampai 21 tahun bagi wanita, dan 13 tahun sampai 22
tahun bagi pria. Jika dibagi atas remaja awal dan remaja akhir, maka remaja
awal berada dalam usia 12/13 tahun sampai 17/18 tahun, dan remaja dalam
usia akhir dalam rentangan usia 17/18 tahun sampai 21/22 tahun. Sedangkan
periode sebelum masa remaja ini disebut sebagai “ambang pintu masa remaja”
48
atau sering disebut sebagai ‘Periode pubertas.” Pubertas jelas berbeda dengan
masa remaja, meskipun bertimpang-tindih dengan masa remaja awal.
2.2.3. Upaya Penanggulangan Kenakalan Remaja
Menurut Rogers, ada 5 ketentuan yang harus dipenuhi untuk
membantu remaja:
1. Kepercayaan
Remaja itu harus percaya kepada orang yang mau membantunya
(orang tua, guru, psikolog, ulama dan sebagainya). Ia harus yakin bahwa
penolong ini tidak akan membohonginya dan bahwa kata-kata penolong
ini memang benar adanya. Untuk memenuhi ketentuan pertama ini,
seringkali tenaga profesional (psikolog, konselor) lebih efektif dari pada
orang tua atau guru sendiri, oleh karena remaja yang bersangkutan sudah
terlanjur mempunyai penilaian tertentu kepada orang tua atau gurunya
sehingga apapun yang dilakukan orang tua atau guru tidak akan
dipercayainya lagi. Di pihak lain tenaga profesional ini tidak dikenal oleh
remaja kecuali dalam jam-jam konseling saja. Dengan demikian kata-kata
psikolog atau konselor itu lebih bisa dipercayainya karena tidak
dibandingkan dengan tingkah laku sehari-hari dari psikolog atau konselor
itu sendiri (Adams & Gullotta, 1983: 56-57).
2. Kemurnian hati
Remaja harus merasa bahwa penolong itu sungguh-sungguh mau
membantunya tanpa syarat. Ia tidak suka kalau orang tua misalnya
mengatakan “bener deh", mama sayang sama kamu, dan mama bantu
49
kamu, tapi kamu mesti ngerti dong, pelajaranmu itu kan penting.
Pelajaranmu dulu utamakan, nanti yang lainnya mama bantu deh, ini kan
buat kepentinganmu sendiri”. Buat remaja, kalau membantu, bantu saja,
tidak perlu ditambahi “tetapi-tetapi”. Karena itulah remaja lebih sering
minta nasihat teman-temannya sendiri walaupun temen-temennya itu tidak
bisa memberi nasihat atau mencarikan jalan keluar yang baik.
3. Kemampuan mengerti dan menghayati (emphaty) perasaan remaja.
Dalam posisi yang berbeda antara anak dan orang dewasa
(perbedaan usia, perbedaan status, perbedaan cara berpikir dan
sebagainya) sulit bagi orang dewasa (khususnya orang tua) untuk
berempathi pada remaja karena setiap orang (khususnya yang tidak
terlatih) akan cenderung untuk melihat segala persoalan dari sudut
pandangannya sendiri dan mendasarkan penilaian dan reaksinya pada
pandangannya sendiri itu. Di pihak remajanya sendiri ada kecenderungan
sulit untuk menerima uluran tangan orang dewasa, karena mereka tidak
ada emphati terkandung di dalam uluran tangan itu. Berbeda dari reaksi
teman-teman sebayanya sendiri yang bagaimanapun juga akan
memberikan reaksi yang penuh empathi karena merasa senasib, walaupun
mereka tidak bisa menawarkan bantuan yang maksimal (Sarwono, 2003:
230-232). Di sinilah diperlukan lagi bantuan tenaga profesional yang
memang sudah terlatih untuk membangun empathi terhadap klien-klien
yang dihadapinya.
50
4. Kejujuran
Remaja mengharapkan penolongnya menyampaikan apa adanya
saja, termasuk hal-hal yang kurang menyenangkan. Apa yang sudah
dikatakan salah, apa yang benar, dikatakan benar. Yang tidak bisa
diterimanya adalah jika ada hal-hal yang ada pada dia, disalahkan, tetapi
pada orang lain atau pada orang tuanya sendiri dianggap benar.
5. Mengutamakan persepsi remaja sendiri (Sarwono, 2003: 230-232)
Sebagaimana sudah dikatakan di atas, seperti halnya dengan semua
orang lainnya, remaja akan memandang segala sesuatu dari sudutnya
sendiri. Terlepas dari kenyataan atau pandangan orang lain yang ada, buat
remaja, pandangannya sendiri itulah yang merupakan kenyataan dan ia
bereaksi terhadap itu. Maka kalau misalnya ia memandang guru Bahasa
Inggrisnya jahat, maka jahatlah guru itu dan remaja itupun akan membenci
guru itu, walaupun misalnya semua orang mengatakan bahwa guru itu
baik. Kemampuan untuk mengerti pandangan remaja itu berikut seluruh
perasaan yang ada di balik pandangan itu merupakan modal untuk
membangun empathi terhadap remaja (Sarwono, 2003: 230-232).