bab i word 2003
DESCRIPTION
ekotoxxTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lingkungan perairan dengan segenap aspek dinamikanya merupakan salah
satu faktor penting dalam usaha pembudidayaan ikan, hal ini tidak lepas dari
kegiatan manusia yang mana bila ditinjau dari dampak lingkungan secara
langsung atau tidak langsung maka akan mempengaruhi komoditas perairan.
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas dan kepentingan manusia adalah
berupa pencemaran berbagai bahan essensial dan nonessensial yang dapat terjadi
pada badan air dalam lingkungan perairan (Palar 1994). Logam merupakan salah
satu bahan pencemar yang dapat menimbulkan suatu bahaya khususnya bagi ikan,
hal ini dapat terjadi jika sejumlah logam telah mencemari dan ditemukan dalam
konsentrasi tinggi dalam perairan sampai pada batas tertentu yang melebihi daya
dukung lingkungan,maka keberadaan logan berat dapat bersifat racun bagi
organisme perairan (Darmono 1995).
Zat racun yang masuk ke dalam tubuh organisme dapat menyebabkan
kelainan pada fungsi organ. Kelainan tergantung dari seberapa besar toksisitas zat
racun yang masuk ke dalam tubuh organisme. Untuk mempelajari sejauh apa zat
racun dapat merusak jaringan organ maka dilakukan pengamatan hispatologi.
Yaitu dengan cara melihat jaringan yang ingin diamati dibawah mikroskop.
Perubahan yang ditimbulkan akibat masuknya bahan pencemar pada tubuh
ikan terutama pada organ pernafasan (insang) dan hati, maka dilakukan
pengamatan secara histopatologi.Histologi adalah cabang ilmu biologi yang
mempelajari tentang jaringan.Patologi adalah kajian tentang penyakit atau kajian
tentang adaptasi yang tidak cukup terhadap perubahanperubahan lingkungan
eksternal dan internal (Spector, 1993). Histopatologi adalah cabang biologi yang
mempelajari kondisi dan fungsi jaringan dalam hubungannya dengan penyakit.
1.2 Tujuan Praktikum
Praktikum kali ini, yaitu tentang pengamatan preparat histopatologi
bertujuan untuk melihat penampakan kerusakan organ dalam pada ikan dan
mendiagnosis penyakit terhadap jaringan yang diduga terganggu, selain itu
histologi organ atau jaringan dengan pengamatan terhadap perubahan morfologi,
struktur dan indikasi kerusakan / infeksi / mutasi lainnya akibat pengaruh
penyakit, bahan toksik atau proses-proses mutagenisis lainnya, serta untuk
mengetahui gejala histopatologi terhadap organ biota uji yang terpapar bahan
toksik. Mengetahui tingkat kerusakan sel-sel pada organ dan membandingkannya
dengan organ hewan uji normal (tisak terpapar bahan toksik).
1.3 Manfaat Praktikum
Pengamatan preparat hispatologi dilakukan untuk dapat mengetahui
seberapa besar pengaruh bahan toksik terhadap organ ikan. Kerusakan yang
ditimbulkan oleh bahan toksik terhadap organ ikan berbeda pada tiap-tiap organ
dan dengan melakukan praktikum ini praktikan dapat mengetahui kerusakan yang
terjadi pada organ seperti usus, insang, hati dan ginjal, selain itu kita juga dapat
mengetahui tahapan-tahapan kerusakan organ tersebut sebelum polutan tersebut
mematikan organisme (ikan). Kita juga dapat mengetahui konsentrasi dan juga
bahan toksik yang paling berbahaya bagi kelangsungan hidup organisme perairan
terutama ikan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Analisis Histologi dan Histopatologi
2.1.1. Analisis Histologi
Histologi berasal dari bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan dan
logos yang berarti ilmu, jadi histologi berarti suatu ilmu yang menguraikan
struktur dari hewan secara terperinci dan hubungan antara struktur
pengorganisasian sel dan jaringan serta fungsi-fungsi yang mereka lakukan.
Jaringan merupakan sekumpulan sel yang tersimpan dalam suatu kerangka
struktur atau matriks yang mempunyai suatu kesatuan organisasi yang mampu
mempertahankan keutuhan dan penyesuaian terhadap lingkungan diluar batas
dirinya (Bavelander, 1998)
Cara pembuatan preparat histologis disebut mikroteknik. Pembuatan
preparat dari suatu jaringan dimulai dengan operasi, biopsi, atau autopsi. Jaringan
yang diambil kemudian diproses dengan fiksasi yang akan menjaga agar preparat
tidak akan rusak (bergeser posisinya, membusuk, atau rusak). Zat yang paling
umum digunakan adalah formalin (10% formaldehida yang dilarutkan dalam air).
Larutan Bouin juga dapat digunakan sebagai larutan untuk fiksasi alternatif
meskipun hasilnya tidak akan sebaik formalin karena akan meninggalkan bekas
warna kuning dan artefak. Artefak adalah benda yang tidak terdapat pada jaringan
asli, namun tampak pada hasil akhir preparat. Artefak ini terbentuk karena kurang
sempurnanya pembuatan preparat.
Sampel jaringan yang telah terfiksasi direndam dalam cairan etanol
(alkohol) bertingkat untuk menghilangkan air dalam jaringan
(dehidrasi).Selanjutnya sampel dipindahkan ke dalam toluena untuk
menghilangkan alkohol (dealkoholisasi).Langkah terakhir yang dilakukan adalah
memasukkan sampel jaringan ke dalam parafin panas yang menginfiltrasi
jaringan. Selama proses yang berlangsung selama 12-16 jam ini, jaringan yang
awalnya lembek akan menjadi keras sehingga lebih mudah dipotong
menggunakan mikrotom. Pemotongan dengan mikrotom ini akan menghasilkan
lapisan dengan ketebalan 5 mikrometer. Lapisan ini kemudian diletakkan di atas
kaca objek untuk diwarnai.
Pewarnaan perlu dilakukan karena objek dengan ketebalan 5 mikrometer
akan terlihat transparan meskipun di bawah mikroskop. Pewarna yang biasa
digunakan adalah hematoxylin dan eosin. Hematoxylin akan memberi warna biru
pada nukelus, sementara eosin memberi warna merah muda pada sitoplasma.
Masih terdapat berbagai zat warna lain yang biasa digunakan dalam mikroteknik,
tergantung pada jaringan yang ingin diamati. Ilmu yang mempelajari pewarnaan
jaringan disebut histokimia.
Klasifikasi histologis jaringan hewan
1) Epitelium: melapisi kelenjar, saluran pencernaan, kulit, dan beberapa
organ seperti hati, paru-paru, ginjal
2) Endotelium: melapisi pembuluh darah dan pembuluh limfamesotelium:
melapisi rongga pleural, peritoneal, dan pericardial
3) Mesenkima: sel yang mengisi ruangan antarorgan, misal sel lemak, otot,
dan tendon sel darah: terdiri dari sel darah merah dan darah putih, baik di
limfa maupun limpa
4) Neuron: sel-sel yang membentuk otak, saraf, dan sebagian kelenjar seperti
pituitari dan adrenal
5) Plasenta: organ terspesialisasi yang berperan dalam pertumbuhan fetus
dalam rahim sang ibu
6) Sel induk: sel-sel yang dapat berkembang menjadi satu atau beberapa jenis
sel di atas.
7) Jaringan dari tumbuhan, jamur, dan mikroorganisme juga dapat dipeljari
secara histologis, namun strukturnya berbeda dari klasifikasi di atas.
2.1.2 Analisis Histopatologi
Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi
jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi sangat penting
dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam
penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang
diduga terganggu.
Histopatologi dapat dilakukan dengan mengambil sampel jaringan
(misalnya seperti dalam penentuan kanker payudara) atau dengan mengamati
jaringan setelah kematian terjadi, dengan membandingkan kondisi jaringan sehat
terhadap jaringan sampel dapat diketahui apakah suatu penyakit yang diduga
benar-benar menyerang atau tidak.Ilmu ini dipelajari dalam semua bidang
patologi, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan.
Analisa organ ikan yang dilakukan pada praktikum adalah menganalisa
bagian tubuh ikan dan membandingkan organ yang normal dengan organ yang
terkena kontaminasi, baik kondisi lingkungan yang terkena pecemar seperti logam
berat (patologi). Perbedaan-perbaedaan antara organ kontrol (sehat/tidak
terkontaminasi) dan ogan patologi sangat jelas sekali dengan analisa histologi ini.
Organ yang terkena pencemar telah mengalami perubahan-perubahan atau
kerusakan-karusakna pada jaringan organ tersebut dilihat secara kasat mata
melalui mikroskop. Organ Ikan yang digunakan untuk analisis histologi pada
praktikum ini adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Organ-ogan yang dianalisa
adalah ren (ginjal), insang, intestinum, dan hepar (hati).
2.1 Tinjauan Umum Bahan Toksik
2.2.1 Pestisida
Sesuaidengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973, yang dimaksud
Pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang
dipergunakan untuk :
1) Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang
merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.
2) Memberantas rerumputan atau tanaman pengganggu/gulma.
3) Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
4) Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman, tidak termasuk pupuk.
5) Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan peliharaan
dan ternak.
6) Memberantas atau mencegah hama-hama air.
7) Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam
rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan.
8) Memberantas atau mencegah binatang-binatang
yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang perlu
dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air.
Dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman, yang dimaksud dengan pestisida adalah zat pengatur dan perangsang
tumbuh, bahan lain, serta organisme renik, atau virus yang digunakan untuk
melakukan perlindungan tanaman. Pestisida merupakan bahan yang banyak
memberikan manfaat sehingga banyak dibutuhkan masyarakat pada bidang
pertanian (pangan, perkebunan, perikanan, peternakan), penyimpanan hasil
pertanian, kehutanan (tanaman hutan dan pengawetan hasil hutan), rumah tangga
dan penyehatan lingkungan,pemukiman,bangunan, pengangkutan dan lain-lain.
Disamping manfaat yang diberikan, pestisida juga sekaligus memilki potensi
untuk dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan.
2.2.2 Alkil Benzen Sulfonat ( ABS )
Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang
mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe (suka
lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga
dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. ABS dalam
lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen ini
dikategorikan sebagai non-biodegradable. Pengolahan limbah secara
konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar 50% bahan aktif ABS lolos dari
pengolahan dan masuk dalam sistem pembuangan, hal ini dapat menimbulkan
masalah keracunan pada biota air dan penurunan kualitas air.
Surfaktan merupakan bahan utama deterjen, sejak tahun 1960 surfaktan
Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) digunakan sebagai formula didalam deterjen. Pada
deterjen ini, jenis muatan yang dibawa surfaktan adalah anionik. Kadang
ditambahkan surfaktan kationik sebagai bakterisida (pembunuh bakteri). Fungsi
surfaktan anionik adalah sebagai zat pembasah yang akan menyusup ke dalam
ikatan antara kotoran dan serat kain, hal ini akan membuat kotoran menggulung,
lama kelamaan menjadi besar, kemudian lepas ke dalam air cucian dalam bentuk
butiran.
Konsentrasi surfaktan di air permukaan dengan gas (udara), padatan
(kotoran), dan cair (minyak) dapat menyebabkan pembasahan dan menjadi media
pembersih yang sangat baik. Ini dikarenakan surfaktan memiliki struktur
amphiphilic, dimana salah satu bagian dari molekul tergolong ionik atau polar
dengan kekuatan tarik menarik pada air, dan pada bagian lain termasuk golongan
hydrocarbon dengan sifat menolak air. Jenis struktur yang ditunjukan dibawah ini
ialah struktur surfaktant Alkyl Benzene Sulfonate (ABS).
Gambar 1. Struktur Alkyl Benzene Sulfonate
(Sumber : Wikipedia)
Deterjen anionik atau surfaktan anionik adalah semua garam sodium dan
ion yang menghasilkan Na serta muatan negatif. Pada umumnya adalah sulfat dan
sulfonat. Alkohol berantai panjang bereaksi dengan asam sulfur menghasilkan
sulfat (ester anorganik) dengan surface active. Dedocyl atau laury alkohol pada
umumnya digunakan.
Alkohol sulfat digunakan dalam kombinasi dengan deterjen sintetis untuk
menghasilkan campuran sesuai yang diinginkan (McCarty, 2003).
Prinsip sulfonat di peroleh dari ester, amides dan alkil benzena. Ester dan
amid merupakan asam organik dengan 16 atau 18 atom karbon. Alkil benzena
sulfonat sebagian besar berasal dari polimer propilena dan golongan alkil, yang
mempunyai 12 atom karbon bercabang. Deterjen non-ionik tidak mengionisasi
dan hanya bergantung pada kelompok molekul soluble (dapat larut). Semuanya
tergantung pada polimer etilen oksid (C2H4O) sebagai persyaratannya. Deterjen
kationik merupakan garam yang berantai empat ammonium, surfaktan jenis ini
bisa bersifat toksik jika terjadi kontak dengan bahan-bahan lain, sebagai contoh
apabila ia bereaksi pada saat proses klorinasi, maka akan terbentuk senyawa
klorobenzena yang merupakan senyawa kimia yang bersifat beracun dan
berbahaya bagi kesehatan. (Zoller, 2004)
Awalnya surfaktan jenis Alkil Benzen Sulfonat (ABS) banyak digunakan
oleh industri deterjen sebagai bahan baku pembuat produk deterjen. Karena
ditemukannya bukti-bukti dan dari laporan hasil penelitian yang menerangkan
bahwa ABS mempunyai risiko tinggi terhadap lingkungan, maka bahan ini
sekarang digantikan dengan Linear Alkyl Sulfonate (LAS) yang memiliki
karakteristik lebih baik dari ABS meskipun belum dapat dikatakan ramah
lingkungan. Bila ditinjau dari daya urai (biodegradable), ABS didalam
lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen
ini tergolong non-biodegradable, dalam pengolahan limbah secara konvensional
sekitar 50% dari ABS lolos dari system pengolahan.
2.3 Tijauan Umum Kerusakan Jaringan/ Organ Akibat Bahan Toksik
2.3.1 Hiperplasia
Hiperplasia atau hipergenesis adalah istilah umum yang mengacu pada sel
dalam suatu organ atau jaringan di luar apa yang biasanya dilihat. hiperplasia
terjadi akibat adanya penambahan jumlah volume akibat adanya penyumbatan
antar permukaan glomerulus (Takashima dan Hibiya, 1995).
Hiperplasia adalah bertambahnya jumlah sel dalam suatu jaringan atau
organ sehingga jaringan atau organ menjadi lebih besar ukurannya dari normal.
Hiperplasia dapat dikelompokkan menjadi fisiologik dan patologik. Hiperplasia
fisiologis terjadi karena sebab yang fisiologi atau normal dalam tubuh.
Hiperplasia patologik disebabkan oleh stimulus hormonal yang berlebihan atau
efek berlebihan dari hormone pertumbuhan pada sel sasaran. Hiperplasia
patologik dapat berkembang menjadi tumor ganas.
Gambar 1. Hiperplasia pada Insang
(Sumber :Desrina, Sarjito, Rohita Sari. 2006. Histologi Ikan. Semarang:
Jurusan Perikanan,Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Diponegoro)
Gambar 2. Hiperplasia pada Ginjal
Sumber : www.pathologyoutlines.com
Gambar 3. Hiperplasia pada Hati
(Sumber : www.pathologyoutlines.com)
2.3.2 Hipoplasia
Hipoplasia adalah penurunan jumlah sel yang nyata dalam jaringan yang
mengakibatkan penurunan jaringan atau organ, akibatnya organ tersebut menjadi
kerdil. Hipoplasia dapat juga mengenai semua bagian tubuh, dapat mengenai salah
satu dari sepasang organ atau bahkan dapat mengenai kedua organ yang
berpasangan. (Zainal, 2010)
Hipoplasia adalah sebuah kelainan yang mengindikasikan sebuah
perkembangan / pertumbuhan yang terhambat, sehingga organ yang terkena
kelainan tersebut berukuran lebih kecil/mengecil dari ukuran normalnya.
Hipoplasia adalah terhambatnya perkembangan atau pertumbuhan sebagian atau
seluruh jaringan tumbuhan akibat serangan patogen (Abdul Fatah Alu, Rabu, 8
April 2009).
Hipoplasia merupakan perkembangan yang tidak sempurna dari suatu
organ. Suatu organ yang mengalami hipoplasia terbentuk normal. Namun, ukuran
organ terlalu kecil jika dibandingkan dengan ukuran normal. Pada atrofi, alat
tubuh pernah mencapai ukuran normal dan selanjutnya menjadi lebih kecil,
sedangkan pada hipoplasia, dari awal organ tersebut memang berukuran kecil dan
tidak akan mencapai ukuran yang normal (littleaboutme, 19 Juli 2009)
2.2.3 Nekrosis
Nekrosis adalah terjadinya kematian sel hati. Kematian sel terjadi bersama
dengan pecahnya membran plasma. Perlemakan hati adalah hati yang
mengandung berat lipid lebih dari 5% atau telah terjadi penimbunan lipid dalam
hati. Tingkat kerusakan hati menurut Darmono (1995), dibagi menjadi tiga yaitu
ringan, sedang dan berat. Perlemakan hati termasuk dalam tingkat ringan yang
ditandai dengan pembengkakan sel. Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan
hemoragi, sedangkan tingkat berat adalah kematian sel atau nekrosis. Nekrosis
menggambarkan keadaan dimana terjadi penurunan aktivitas jaringan yang
ditandai dengan hilangnya beberapa bagian sel satu demi satu dari satu jaringan
sehingga dalam waktu yang tidak lama akan mengalami kematian. (Takashima
dan Hibiya,1995).
2.3.4 Atrofi
Kata berasal dari bahasa Yunani jatropha atrofi yang berarti tanpa nutrisi,
dalam istilah biologis merupakan penurunan signifikan dalam ukuran sel dan
organ di mana hal ini terjadi, karena hilangnya massa sel. Atrofi menunjukkan
penurunan fungsi sel tetapi tidak mati. Atrofi merupakan suatu keadaaan yang
tidak wajar dimana jumlah dan volume sel berada di bawah normal dan garis luar
sel menjadi tidak dapat dibedakan bahkan sering kali nucleus menjadi kecil
bahkan hilang sama sekali sehingga dapat mengakibatkan kematian sel
(Takashima dan Hibiya, 1995).
Metabolisme sel yang sempurna tidak hanya tergantung pada kontribusi
yang efektif nutrisi, tetapi juga penggunaan yang benar dari mereka, ini hanya
mungkin bila sel-sel hidup dalam lingkungan yang sesuai untuk struktur
morfologis dan fungsional. Struktur morfologis sel dikondisikan oleh lingkungan
di mana mereka hidup, itulah mengapa beberapa bentuk sel-sel dalam tubuh kita
bereaksi terhadap masalah hidup adaptasi untuk kondisi-kondisi eksternal
diferensiasi sel didefinisikan dengan baik merupakan manifestasi luar dari suatu
adaptasi, yang terkumpul selama jutaan generasi.
Semua variasi dari karakter morfologi sel, dapat mempengaruhi sel-sel
tunggal atau kelompok mereka, maka modifikasi dari jaringan penuh. Semua
stimulus yang dapat bekerja pada sebuah rangsangan sel benar-benar fungsional
ketika mereka melampaui batas-batas fisiologis dapat melukai sel untuk
membalikkan proses kehidupan, atau menyebabkan perubahan yang signifikan
regresif.
2.3.5 Hipertropi
2.3.6 Edema
2.3.7 Intestinum Neoplasma
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum
Pada praktikum kali ini, yaitu tentang pengamatan preparat histopatologi
pada ikan mas dilakukan pada :
Hari : Rabu
Tanggal : 13 November 2013
Pukul : 15.00 WIB s/d selesai
Tempat : Laboratorium Akuakultur Gedung Dekanat Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat- alat
1) Mikroskop sebagai alat untuk melihat preparat
2) Camera sebagai dokumentasi pangamatan
3.2.2 Bahan- bahan
1) Hati normal dan patologis (yang terpapar pestisida) sebagai objek preparat
2) Usus normal dan patologis (yang terpapar pestisida) sebagai objek
preparat
3) Ginjal normal dan patologis (yang terpapar pestisida) sebagai objek
preparat
4) Insang normal dan patologis (yang terpapar pestisida) sebagai objek
preparat
5) Insang dan Hati yang terpapar ABS 7,5 ppm sebagai objek preparat
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Pembuatan Preparat Uji Histopatologi
Hewan UJiHewan UJi
Hati, Insang, Ginjal dan
Usus
Fiksasi larutan
Bouin’s
Dehidrasi alkohol (80%, 90%,
95%, 100%)
Penjernihan (clearing)
alkohol-xilol (1:1)
Impregnasi xilol-
parafin (1:1)
Penanaman (embedding)
dalam parafin
Trimming
Pemotongan dengan
mikrotom
ketebalan ± 4 μm
Pelekatan pita parafin pada
gelas obyek
Pewarnaan
Hematoksilin-Eosin
Perekatan jaringan dengan
mounting agent
Preparat
awetan
3.3.2 Pengamatan Preparat Histopatologi
3.4 Analisis Data
Hasil dari pengamatan dituliskan pada tabel pengamatan agar dapat
mengetahui perbandingan dari organ normal dengan patologis.
Tabel X. Pengamatan Preparat Histopatologi
Parameter Kontrol Patologis
Warna
Ukuran
Tanda Hitam (Nekrosis)
Karakter Khusus
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Histologi Organ yang Terpapar Pestisida
4.1.1 Organ Insang
Tabel X. Pengamatan Preparat Analisis Histopatologi Organ
Insang
Parameter Kontrol Patologis
Warna Merah Merah tua/pucat
Ukuran Normal Membengkak
Tanda Hitam (Nekrosis) Tidak ada Tidak ada
Karakter Khusus Lamela tersusun rapi Lamela membengkak
dan tidak beraturan
(Hiperplasia, hipoplasia, dan
kongesti)
Insang yang normal dari ikan nila yaitu satu lembar insang terdiri dari
beberapa lamella primer dan satu lamela primer terdiri dari beberapa lamela
sekunder. Sel-sel pernapasan (insang) ikan yang sehat hanya terdiri dari dua atau
tiga lapis sel epitel yang rata dan terletak di membrane basal. Jika lebih atau
kurang maka insang tersebut dapat dikatakan abnormal. Lapisan epitel insang
yang tipis dan berhubungan langsung dengan lingkungan luar menyebabkan
berpeluang besar terpapar penyakit. Di antara sel-sel epitel insang terdapat sel-sel
klorid. Sel-sel tersebut berbentuk bulat dan berperan penting dalam osmoregulasi.
Panjang lamela insang bervariasi pada setiap spesies ikan. Umumnya
lamela insang yang terletak pada ujung filamen mempunyai panjang yang relatif
pendek dibandingkan lamela yang terletak dipertengahan. Letak insang yang
berhubungan langsung dengan lingkungan dan strukturnya yang tipis menjadikan
insang sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan serta menjadi tempat
yang tepat bagi berlangsungnya infeksi oleh agensia patogenik.
Pada pengamatan organ insang yang terpapar pestisida mengalami
hipertropi, dan hiperplasia. Hipertropi merupakan adanya peningkatan pada
komponen sel dalam jaringan atau sel. Hiperplasia terjadi dengan adanya
penambahan jumlah epitel-epitel lamella sekunder sehingga lamella sekunder
semakin membesar dan berhimpit, akibatnya antara lamella sekunder saling
menempel dan menyatu. Hal ini membuat lamella insang terlihat lebih besar dari
keadaan normal dan pada insang tersebut tidak terlihat lagi dengan jelas
perbedaan antara lamella primer dan sekundernya.
Kongesti pada lamela insang karena pembendungan darah yang
disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan
oksigen. Pada insang, kongesti didahului dengan pembengkakan sel dimana sel
membesar yang mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah
terganggu. Hal ini menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada beberapa
tempat (Ressang, 1984).
Pada saluran pernafasan pestisida dapat menyebabkan kerusakan pada
bagian insang dan organ-organ yang berhubungan dengan insang. Masuknya
pestisida dalam insang melalui kontak langsung, karena letaknya di luar.
Alasbaster dan Lloyd (1980) menyatakan kerusakan insang dapat berupa
penebalan lamella, degradasi sel atau bahkan kerusakan dan kematian jaringan
insang. Hal ini menyebabkan fungsi insang menjadi tidak wajar dan mengganggu
proses respirasi, akibatnya mengganggu pernafasan dan akhirnya menyebabkan
kematian.
(Alabaster, J. and Lloyd. 1980. Water Quality Criteria for Fish. FAO of United
Nations European Inland Fisheries Advisor Commision, Butterworth
London. Boston, 297 pp.)
Selain pestisida, racun yang dapat merusak organ/jaringan ikan
diantaranya logam (metal), formalin atau hidrogen peroksida dengan dosis yang
terlalu tinggi, selain itu juga dapat disebabkan oleh aflatoxikosis nutrisi akut yang
dapat menyebabkan edema hebat pada lemela. Stoev dan Lazarova (1998) dalam
Permana (2009) mengatakan bahwa kongesti, nekrosis, edema, serta hemoragi
dapat disebabkan oleh racun merkuri.
Adapun hasil pengamatan insang ikan yang telah terpapar oleh merkuri
adalah sebagai berikut :
Tabel X. Gambar Organ Insang Yang Telah Terpapar Merkuri
Kontrol
Gambar X. Insang normal
Perlakuan A (Insang yang
terpapar merkuri dengan
konsentrasi 0,16 ppm)
Gambar X. Insang patologis
Perlakuan B (Insang yang
terpapar merkuri dengan
konsentrasi 0,5 ppm)
Gambar X. Insang patologis
Perlakuan C (Insang yang
terpapar merkuri dengan
konsentrasi 0,1 ppm)
Gambar X. Insang patologis
Keterangan :
Perlakuan A (0.16 ppm) A : organ insang mengalami edema Perlakuan B (0.5 ppm) A : organ insang mengalami hyperplasia dan edema Perlakuan C (1.0 ppm) A : organ insang mengalami edema yang sangat parah dan terjadi deskuamasi, bentuk lamela insang sudah hancur.
Pengamatan insang pada perlakuan C sebagian sel pilarnya mengalami
penyusutan sel serta pada ujung lamella terjadi telangiektasis. Pada lamella yang
lain terjadi pembendungan yang ditandai dengan adanya penumpukan sel-sel
darah merah yang sangat padat pada pembuluh darah. Pada pengamatan hari ke
30, bentuk lamela insang sudah hancur dan terjadi deskuamasi yang sangat parah.
Sebagian besar epitel insang terlepas dari organ. Sebelum terjadi deskuamasi,
epitel tersebut mengalami edema. Menurut Robert (1978) telangiektasis dapat
terjadi pada insang ikan yang berada pada kualitas air yang buruk, adanya
serangan parasit, pemupukan sisa metabolisme dan polutan kimia. Telangiektasis
yang ekstensif membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih daripada luka-
luka hiperplasia pada insang.
Kerusakan pada insang dapat menyebabkan ikan sulit bernafas dan
kandungan oksigen dalam darah berkurang akibatnya sulitnya Hb dalam mengikat
oksigen. Akibatnya ikan kekurangan oksigen dan mengalami hipoksia sebagai
akibat dari kerusakan lamella sekunder dari insang. Akibat kesulitan dalam
bernafas, maka akan merangsang organisme untuk mengikat sel darah merah,
hematokrit dan hemoglobin untuk meningkatkan mekanisme transfer oksigen di
dalam tubuh (Alfonso, 2002 dalam Ishikawa, N 2007).
4.1.2 Organ Hati
Tabel 2. Pengamatan Preparat Analisis Histopatologi Organ Hati
Parameter Kontrol Patologis
Warna Merah Merah tua
Ukuran Normal Terjadi pembengkakan
Tanda Hitam (Nekrosis) Tidak ada Ada
Karakter Khusus Tidak ada kerusakan Terdapat rongga yang
menandakan sel mati
Hati penting diperiksa karena merupakan organ yang paling sering
mengalami kerusakan. Menurut Carlton (1995) dalam Permana (2009) ada dua
alasan yang menyebabkan hati mudah terkena racun. Hati menerima 89% suplai
darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal.
Substansi zat-zat toksik termasuk tumbuhan, fungi, logam, mineral dan zat-zat
kimia lainnya yang diserap ke dalam portal ditransportasikan ke hati. Kedua, hati
menghasilkan enzim-enzim yang mempunyai kemampuan sebagai
biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen yang dieliminasi
tubuh. Pada daerah nekrosis yang terjadi pada masing-masing perlakuan tampak
pada daerah tersebut rusak dan merenggang dan sel-sel pada daerah tersebut
terlihat mati. Semakin sering suatu daerah jaringan mengalami nekrosis, maka
peristiwa tersebut biasanya menimbulkan respon peradangan pada bagian jaringan
yang berdekatan.
Hasil pengamatan pada hati yang normal/kontrol pada jaringan hati ikan
mas, belum terjadi perubahan. Warna terlihat merah, ukuran hati masih normal
dan tidak ada kerusakan.
Pengamatan preparat hati patologis, terjadi perubahan struktur jaringan
hati. Perubahan struktur jaringan sel hati yang disebabkan oleh zat kimia yang
bersifat racun antara lain perlemakan hati, nekrosis dan sirosis (Lu, 1995).
Nekrosis menggambarkan keadaan dimana terjadi penurunan aktivitas
jaringan yang ditandai dengan hilangnya beberapa bagian sel satu demi satu dari
satu jaringan sehingga dalam waktu yang tidak lama akan mengalami kematian.
Necrosis dapat terjadi karena denaturasi protein plasma, dan pemecahan oraganel
sel. Dapat juga disebabkan karena terinfeksi bakterial sehingga menyebabkan
terakumulasinya sel darah putih.
Pada sel hati, kongesti didahului dengan pembengkakan sel hati dimana
sel hati membesar yang mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah
terganggu. Kongesti adalah terjadinya pembendungan darah pada hati yang
disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan
oksigen dan zat gizi.
Anderson (1995) mengatakan, dalam rangka menjaga kestabilan
lingkungan internal, sel harus mengeluarkan energi metabolik untuk mempompa
ion natrium keluar dari sel. Masuknya zat toksik ke dalam sel menyebabkan
terganggunya proses metabolisme, sehingga sel tidak mampu memompa ion
natrium yang cukup. Dengan demikian konsentrasi ion natrium didalam sel lebih
tinggi dan air dapat masuk kedalam sel (peristiwa osmosis). Lu (1995)
menyatakan bahwa hati sangat rentan terhadap pengaruh zat kimia dan menjadi
organ sasaran utama dari zat beracun.
Menurut Van Dyk et al.,(2005) salah satu penyebab kongesti dan buntunya
pembuluh darah adalah karena terpapar oleh agen kimia seperti cadmium, merkuri
dan zinc. Hal ini terjadi karena sebagian besar racun atau zat toksik yang masuk
ke dalam tubuh setelah diserap oleh sel akan dibawa ke hati oleh vena porta hati,
sehingga hati berpotensi mengalami kerusakan.
Selain pestisida, zat toksik yang dapat merusak organ hati adalah merkuri.
Berikuta adalah hasil pengamatan histopatologi hati ikan yang telah terpapar oleh
merkuri.
Tabel X. Gambar Organ Hati Yang Telah Terpapar Merkuri
Kontrol
Gambar X. Hati normal
Perlakuan A (Hati yang
terpapar merkuri dengan
konsentrasi 0,16 ppm)
Gambar X. Hati patologis
Perlakuan B (Hati yang
terpapar merkuri dengan
konsentrasi 0,5 ppm)
Gambar X. Hati patologis
Perlakuan C (Hati yang
terpapar merkuri dengan
konsentrasi 1 ppm)
Gambar X. Hati patologis
Keterangan :Perlakuan A (0.16 ppm)
B = organ hati mengalami nekrosis
C = organ hati mengalami kongesti dan sel-sel tampak mati
Perlakuan B (0.5 ppm)
C = organ hati mengalami kongesti
Perlakuan C (1.0 ppm)
B = organ hati mengalami kongesti
Kongesti yang terjadi pada perlakuan A, B dan C disebabkan oleh
masuknya zat toksik (Hg) kedalam hati. Pada sel hati, terjadinya kongesti
didahului dengan pembengkakan sel. Pembengkakan sel adalah bertambahnya
ukuran sel akibat penimbunan air dalam sel, dimana sel hati membesar yang
mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah terganggu, hal ini
menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada beberapa tempat (Ressang,
1984). Pembengkakan sel disebabkan peningkatan permeabilitas sel, dimana sel
tidak mampu mempertahankan homeostatis ion dan cairan sehingga terjadi
perpindahan cairan ekstrasel ke dalam sel. Kongesti adalah pembendungan darah
yang disebabkan karena gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan
kekurangan oksigen dan zat gizi, pada daerah nekrosis yang terjadi pada masing-
masing perlakuan tampak pada daerah tersebut rusak dan merenggang dan sel-sel
pada daerah tersebut terlihat mati. Semakin sering suatu daerah jaringan
mengalami nekrosis, maka peristiwa tersebut biasanya menimbulkan respon
peradangan pada bagian jaringan yang berdekatan.
Saleh (1996) dalam Permana (2009) mengatakan pembengkakan dapat
terjadi oleh infeksi, demam, keracunan, suhu yang terlalu rendah atau tinggi,
anoxia, gizi buruk dan gangguan sirkulasi, sedangkan nekrosis dijelaskan oleh
Darmawan (1996) bahwa kelainan ini adalah tingkat lanjut dari degenerasi.
Nekrosis sel hati dapat disebabkan rusaknya susunan enzim dari sel, malnutrisi,
deplesi glikogen dan anoxia menahun dapat menjadi penyebab untuk nekrosis sel
hati akibat hepatotoksin.
4.1.3 Ginjal
Tabel X. Pengamatan Preparat Analisis Histopatologi Organ GinjalParameter Kontrol Patologis
Warna Merah cerah Merah gelap
Ukuran Normal Terjadi pembengkakan
(lonjong besar)
Tanda Hitam (Nekrosis) Tidak ada Ada
Karakter Khusus Tidak ada kerusakan Terdapat rongga yang
menandakan sel mati
Hasil pengamatan kontrol pada ginjal belum terjadi perubahan, seperti
warna masih terlihat jelas, namun ukuran ginjal terlihat besar, masih terlihat
normal (tidak ada kerusakan). Ukuran glomerulus dan kapsul bowman normal
dimana tidak ada sel yang rusak/mati. Bentuk glomerulus tersebut masih bulat.
Ginjal normal pada ikan mas tampak adanya glomerolus yang berbentuk bulat,
ada juga tubuli-tubuli serta jaringan hematopoietik. Glomerolus yang dikelilingi
kapsula bowman yang terlihat seperti zona bening. Tubuli ginjal berbentuk mirip
kue donat dengan corak bergaris, corak ini karena pada bagian basal sel dari tubuli
terdapat mitokondria yang berderet-deret. Sedangkan jaringan hematopoietic
(pembentuk sel-sel darah merah) memiliki inti yang bulat.
Preparat ginjal patologis, berdasarkan hasil pengamatan keadaan ginjal
yang telah diuji patologis dengan bahan toksik berupa pestisida, memperlihatkan
kondisi dengan banyak kerusakan dimana warna jaringan merah gelap, dan ukuran
glomerulus berubah menjadi lonjong.
Kerusakan ini berupa hiperplasia yaitu pertambahan ukuran di mana
karena adanya penyumbatan akibat pemberian bahan toksik, sebelumnya
hyperplasia terjadi karena adanya penambahan jumlah volume akibat adanya
penyumbatan antar permukaan glomerulus.
Berikut merupakan hasil dari uji histopatologi terhadap ginjal ikan yang
terpapar merkuri (Hg)
Tabel X. Gambar Organ Ginjal Yang Telah Terpapar Merkuri
Kontrol
Gambar X. Ginjal normal
Perlakuan A (Ginjal yang
terpapar merkuri dengan
konsentrasi 0,16 ppm)
Gambar X. Ginjal patologis
Perlakuan B (Ginjal yang
terpapar merkuri dengan
konsentrasi 0,5 ppm)
Gambar X. Ginjal patologis
Perlakuan C (Ginjal yang
terpapar merkuri dengan
konsentrasi 1 ppm)
Gambar X. Ginjal patologis
Keterangan :
Perlakuan A (0.16 ppm)
C = rusaknya glomerulus, tubuli dan jaringan hematopoietik sehingga tidak nampak
Perlakuan B (0.5 ppm)
C = organ ginjal mengalami pembendungan darah yang semakin meluas Perlakuan C (1.0 ppm)
C = bentuk tubuli pada ginjal membesar D = tubuli, glomerlus, dan jaringan hematopoietik sudah tidak nampak
lagi.
Price dan Wilson (1992) dalam Permana (2009) mengatakan bahwa bila
sel mengalami cedera tapi tidak mati, maka sering sel-sel tersebut menunjukkan
perubahan-perubahan morfologis yang sudah dapat dikenali, umumnya sel yang
terlilbat adalah sel-sel aktif secara metabolik seperti pada ginjal. Ginjal yang
mengalami nekrosis menandakan adanya sel yang mati pada bagian tersebut.
Penyebabnya dapat berupa gangguan benda asing, pada ginjal yang tidak terlihat
lagi antara glomerulus, tubuli dan jaringan hematopoietik biasa disebut kariolisi
yaitu hilangnnya bentuk inti sel sehingga tidak nampak lagi.
4.1.4 Organ Usus
Tabel 3. Pengamatan Preparat Analisis Histopatologi Organ UsusParameter Kontrol Patologis
Warna Merah cerah Merah gelap
Ukuran Normal Terjadi pembengkakan
(lonjong besar)
Tanda Hitam (Nekrosis) Tidak ada Ada
Karakter Khusus Bentuk bulat Bentuk lonjong
Gambar x. A. Usus normal, B. Usus patologis
(Sumber : Dokumentasi pribadi)
Usus merupakan bagian saluran pencernaan yang berfungsi untuk
menyerap sari-sari makanan sehingga gangguan pada organ ini dapat berakibat
fatal bagi pertumbuhan ikan. Walaupun jarang ditemui gangguan yang berakibat
pada kematian tetapi beberapa penyakit ikan berakibat buruk pada keseluruhan
nilai produksinya, oleh karena itu pengetahuan tentang kondisi tidak normal organ
usus sangat penting untuk pengelolaan kesehatan ikan itu sendiri. Nekrosis dan
atropi lapisan epitel vili usus merupakan perubahan yang paling banyak
ditemukan. Beberapa vili juga mengalami deskuamasi epitel dan nekrosa sel-sel
epitel. Hal ini dapat terjadi karena terjadi hemoragi sehingga suplai darah ke sel-
sel epitel terganggu. Hemoragi atau perdarahan terlihat dari ditemukannya
eritrosit yang menyebar pada ujung vili usus. Kelainan vili ini akan menyebabkan
terganggunya penyerapan zat-zat makanan yang penting sehingga ikan akan
mengalami defisiensi nutrisi.
Pengamatan preparat usus ikan mas dengan kontrol, tidak terjadi
kerusakan sejumlah jaringan. Namun, pada gambar terlihat warna tampak merah ,
ukuran usus normal dan padat sehingga memadati ruangan jaringan usus, terdapat
bintik/tanda hitam. Sel juga masih tersebar di seluruh permukaan dan tidak
tampak terjadinya nekrosis serta rongga masih terlihat jelas.
Pengamatan preparat usus dengan patologis, terlihat perubahan struktur
jaringan pada usus ikan. Perubahan struktur jaringan pada usus ditandai dengan
terlihatnya kerusakan sejumlah sel pada vili-vili usus, namun warna terlihat merah
cerah, dan perubahan yang signifikan terjadi dimana permukaan menjadi lebih
renggang serta ukurannya membengkak, tidak padat seperti preparat pada usus
normal/kontrol (rongga menyusut).
Menurut literatur, organ usus yang terpapar bahan toksik akan mengalami
edema. Edema menyebabkan epitel usus terangkat dan pada kondisi parah dapat
berlanjut menjadi dequamasi dan ruptur epitel. Edema yang ditemukan
menandakan adanya masalah pada sistem sirkulasi darah. Adanya eritrosit yang
menyebar menandakan terjadi hemoragi sedangkan limfosit menandakan ada
peradangan karena gangguan parasit, bakteri atau virus. Proliferasi endotelium
arteri pernah ditemukan pada ikan Carp yang terinfeksi Sanguinicola inermis
(Prost dan Poland dalam Lucky 1964).
Gambar X. Edema epitel usus (panah), nekrosa epitel (kepala panah)
(Sumber : Gambaran histopatologi organ insang, otot, dan usus ikan mas ( Cyprinus carpio) di desa Cibanteng)
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, P.S.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih bahasa: Peter Anugerah. Jakarta: EGC. Penerbit Buku Kedokteran.
Angka SL, I. Mokoginta, H Hamid, 1990. Anatomi dan Histologi beberapa Ikan Air Tawar yang Dibudidayakan di Indonesia. Depdikbud, Dikti. IPB. Bogor. 212 hlm.
Anonim. 2003. Model Pencemaran Perairan Umum dan Ikan Air Tawar oleh Logam Berat Limbah Industri. http:// portal.djmbp.esdm.go.id/modules/ news/index.php?. (2 Juli 2006).
Bastiawan, D, Taukhid, M. Alifudin, dan T. S. Dermawati. 1995. Perubahan
Hematologi dan Jaringan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) yang
diinfeksi Cendawan Aphanomyces sp. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. 106-115
Bond CE. 1979, Biology of Fishes. Saunders College Publishing. Philadelphia. 514 hlm.
Boyd CE. 1982. Water Quality Management For Pond Fish Culture. Auburn University. 4 th Printing, International Centre for Aquaculture Experiment Station. Auburn. Hlm 318
Brett JR. Environmental Factor and Growth, Fish Physiology Vol. VIII. Academic Press, New York. Hlm. 559-679.
Budiono, A. 2003. Pengaruh Pencemaran Merkuri terhadap Biota Air. http://www.achmadbud. net/ merkuri.pdf. (18 November 2013).
Connell, D.W. 1995. Bioakumulasi Senyawaan Xenobiotik. Jakarta: UI Press.
Connell, D.W dan G.J Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: UI Press.
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Air. Jakarta: UI Press.
Destiany, M. 2007. Pengaruh Pemberian Merkuri Klorida Terhadap Struktur Mikroanatomi Hati Ikan Mas. [Skripsi]. Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Dinata, A. 2004. http ://www. pikiran-rakyat.com/cetak/0704/23/0106.htm (8 Agustus 2005).
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air : BagiPengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan IPB, Bogor.
Fernandez MN, Mazon AF. 2003. Environmental Pollution and Fish Gill Morphology. Sci. Pub. 203-231.
Heat AG. 1987.Water pollution and fish physiology. Florida. CRC Press Inc. Boca Raton,. 245 hal.
Jawad, LA, Al Mukhtar MA, Ahmed HK. 2004. The Relationship Between Hematocrit and Some Biological Parameters of The Indian Shad Temalosa ilisha. Animal Biodiversity an Concervation 27:47-52
Lagler KF, JE Bardach, RR Miller, DRM Passiono. 1977. Ichtyology. John Wiley and Sons Inc, New York-London.506 hal.
Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar. Penerjemah Donatus. Semarang: IKIP
Lu, C.F. 1995. Toksikologi Dasar. Jakarta: Universitas Indonesia
Martin ML, Namura DT, Myazaki DMY, Pilarsky F, Ribero K, De CaSTRO MP, De Campos CMF. 2004. Physiological ang Haemotological Response of Oreochromis niloticus Exposed to Single and Consecutive Stress of Capture. Annimal Science. 28 : 195-204.
Nabib R, FH Pasaribu. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. UPT Produksi Media Informasi LSI-IPB. Bogor.
Nurhasan. 1982. Pencemaran Merkuri. Warta Balai Industri. Semarang: BPPI.
Nugrahaningsih, K. A. 2008. Pengaruh Tekanan Osmotik Media Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Patin Pangasius sp. Pada Salinitas 5 ppt. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta.
Permana, R. 2009. Studi Histopatologi Pada Ikan Arwana Super Red Scleropages formosus. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rastogi SC. 1977. Essential of Animal Physiology. Wiley Eastern Limited. New Delhi, Belangmore, Calcutta. P : 204-233.
Roberts, R.J. 1978. Fish Pathology. Bailliere Tindal. London.
Ressang, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Denpasar: Bali Press.
Randall DJ. 1970. The Circulatory System. Didalam : Hoar WS, Randall DJ (Eds). Fish Physiology. Vol IV. Academic Publs. London, hlm 133-172.
Snieszko SF. 1960. Microhematocrit as a Tool in Fishery Research and Management. U. S. Wildl. Serv. Sci. Rep. Fish. 341-15.
Susanto , Dwi. 2008. Gambaran histopatologi organ insang, otot, dan usus ikan mas ( Cyprinus carpio) di desa Cibanteng. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Tandjung, S.D. 1995. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Fakultas BiologiUGM.
Takashima, F dan Hibiya, T. 1995. An Atlas of Fish Histology Normal and Pathological Feature. Second Edition. Kondasha LTD, Tokyo.
Van Dyk, J.C., Pieters, G.M. dan Van Vuren. J.H.J. 2005. Histological Changes in The Liver of Oreochromis mossambicus (Cichlidae) after Exposure to Cadmium and Zinc. Ecotoxicology an Environmental Safety 66:432-440.
Well RMG, Baldwin J, Seymour RS, Christian K, Britain T. 2005. Blood Cell Function and Haematology in Two Tropical Freshwater Fishes from Australia. Comparative Biochemistry and Physiology. (A) 141:87-93.
Yudha LG. 1999. Toksisitas akut dan pengaruh subletal endosulfan terhadap pertumbuhan dan kondisi hematologis ikan Lele dumbo (Clarian gariepinus). [Tesis]. Bogor. Pascasarjana. IPB. 60 hal.
Yosmaniar, 2009. Toksisitas Niklosamida terhadap pertumbuhan, kondisi hematologi dan histopatologi juvenile ikan mas (Cyprinus carpio). ). [Tesis]. Bogor. Pascasarjana. IPB.