bab i word 2003

49
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan perairan dengan segenap aspek dinamikanya merupakan salah satu faktor penting dalam usaha pembudidayaan ikan, hal ini tidak lepas dari kegiatan manusia yang mana bila ditinjau dari dampak lingkungan secara langsung atau tidak langsung maka akan mempengaruhi komoditas perairan. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas dan kepentingan manusia adalah berupa pencemaran berbagai bahan essensial dan nonessensial yang dapat terjadi pada badan air dalam lingkungan perairan (Palar 1994). Logam merupakan salah satu bahan pencemar yang dapat menimbulkan suatu bahaya khususnya bagi ikan, hal ini dapat terjadi jika sejumlah logam telah mencemari dan ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam perairan sampai pada batas tertentu yang melebihi daya dukung lingkungan,maka keberadaan logan berat dapat bersifat racun bagi organisme perairan (Darmono 1995). Zat racun yang masuk ke dalam tubuh organisme dapat menyebabkan kelainan pada fungsi organ. Kelainan tergantung dari seberapa besar toksisitas zat racun yang masuk ke dalam tubuh organisme. Untuk mempelajari sejauh apa zat racun dapat merusak jaringan organ maka

Upload: eli-ell-ell-nurlaeli

Post on 25-Oct-2015

70 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

ekotoxx

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I word 2003

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan perairan dengan segenap aspek dinamikanya merupakan salah

satu faktor penting dalam usaha pembudidayaan ikan, hal ini tidak lepas dari

kegiatan manusia yang mana bila ditinjau dari dampak lingkungan secara

langsung atau tidak langsung maka akan mempengaruhi komoditas perairan.

Dampak yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas dan kepentingan manusia adalah

berupa pencemaran berbagai bahan essensial dan nonessensial yang dapat terjadi

pada badan air dalam lingkungan perairan (Palar 1994). Logam merupakan salah

satu bahan pencemar yang dapat menimbulkan suatu bahaya khususnya bagi ikan,

hal ini dapat terjadi jika sejumlah logam telah mencemari dan ditemukan dalam

konsentrasi tinggi dalam perairan sampai pada batas tertentu yang melebihi daya

dukung lingkungan,maka keberadaan logan berat dapat bersifat racun bagi

organisme perairan (Darmono 1995).

Zat racun yang masuk ke dalam tubuh organisme dapat menyebabkan

kelainan pada fungsi organ. Kelainan tergantung dari seberapa besar toksisitas zat

racun yang masuk ke dalam tubuh organisme. Untuk mempelajari sejauh apa zat

racun dapat merusak jaringan organ maka dilakukan pengamatan hispatologi.

Yaitu dengan cara melihat jaringan yang ingin diamati dibawah mikroskop.

Perubahan yang ditimbulkan akibat masuknya bahan pencemar pada tubuh

ikan terutama pada organ pernafasan (insang) dan hati, maka dilakukan

pengamatan secara histopatologi.Histologi adalah cabang ilmu biologi yang

mempelajari tentang jaringan.Patologi adalah kajian tentang penyakit atau kajian

tentang adaptasi yang tidak cukup terhadap perubahanperubahan lingkungan

eksternal dan internal (Spector, 1993). Histopatologi adalah cabang biologi yang

mempelajari kondisi dan fungsi jaringan dalam hubungannya dengan penyakit.

Page 2: BAB I word 2003

1.2 Tujuan Praktikum

Praktikum kali ini, yaitu tentang pengamatan preparat histopatologi

bertujuan untuk melihat penampakan kerusakan organ dalam pada ikan dan

mendiagnosis penyakit terhadap jaringan yang diduga terganggu, selain itu

histologi organ atau jaringan dengan pengamatan terhadap perubahan morfologi,

struktur dan indikasi kerusakan / infeksi / mutasi lainnya akibat pengaruh

penyakit, bahan toksik atau proses-proses mutagenisis lainnya, serta untuk

mengetahui gejala histopatologi terhadap organ biota uji yang terpapar bahan

toksik. Mengetahui tingkat kerusakan sel-sel pada organ dan membandingkannya

dengan organ hewan uji normal (tisak terpapar bahan toksik).

1.3 Manfaat Praktikum

Pengamatan preparat hispatologi dilakukan untuk dapat mengetahui

seberapa besar pengaruh bahan toksik terhadap organ ikan. Kerusakan yang

ditimbulkan oleh bahan toksik terhadap organ ikan berbeda pada tiap-tiap organ

dan dengan melakukan praktikum ini praktikan dapat mengetahui kerusakan yang

terjadi pada organ seperti usus, insang, hati dan ginjal, selain itu kita juga dapat

mengetahui tahapan-tahapan kerusakan organ tersebut sebelum polutan tersebut

mematikan organisme (ikan). Kita juga dapat mengetahui konsentrasi dan juga

bahan toksik yang paling berbahaya bagi kelangsungan hidup organisme perairan

terutama ikan.

Page 3: BAB I word 2003

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Analisis Histologi dan Histopatologi

2.1.1. Analisis Histologi

Histologi berasal dari bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan dan

logos yang berarti ilmu, jadi histologi berarti suatu ilmu yang menguraikan

struktur dari hewan secara terperinci dan hubungan antara struktur

pengorganisasian sel dan jaringan serta fungsi-fungsi yang mereka lakukan.

Jaringan merupakan sekumpulan sel yang tersimpan dalam suatu kerangka

struktur atau matriks yang mempunyai suatu kesatuan organisasi yang mampu

mempertahankan keutuhan dan penyesuaian terhadap lingkungan diluar batas

dirinya (Bavelander, 1998)

Cara pembuatan preparat histologis disebut mikroteknik. Pembuatan

preparat dari suatu jaringan dimulai dengan operasi, biopsi, atau autopsi. Jaringan

yang diambil kemudian diproses dengan fiksasi yang akan menjaga agar preparat

tidak akan rusak (bergeser posisinya, membusuk, atau rusak). Zat yang paling

umum digunakan adalah formalin (10% formaldehida yang dilarutkan dalam air).

Larutan Bouin juga dapat digunakan sebagai larutan untuk fiksasi alternatif

meskipun hasilnya tidak akan sebaik formalin karena akan meninggalkan bekas

warna kuning dan artefak. Artefak adalah benda yang tidak terdapat pada jaringan

asli, namun tampak pada hasil akhir preparat. Artefak ini terbentuk karena kurang

sempurnanya pembuatan preparat.

Sampel jaringan yang telah terfiksasi direndam dalam cairan etanol

(alkohol) bertingkat untuk menghilangkan air dalam jaringan

(dehidrasi).Selanjutnya sampel dipindahkan ke dalam toluena untuk

menghilangkan alkohol (dealkoholisasi).Langkah terakhir yang dilakukan adalah

memasukkan sampel jaringan ke dalam parafin panas yang menginfiltrasi

jaringan. Selama proses yang berlangsung selama 12-16 jam ini, jaringan yang

awalnya lembek akan menjadi keras sehingga lebih mudah dipotong

Page 4: BAB I word 2003

menggunakan mikrotom. Pemotongan dengan mikrotom ini akan menghasilkan

lapisan dengan ketebalan 5 mikrometer. Lapisan ini kemudian diletakkan di atas

kaca objek untuk diwarnai.

Pewarnaan perlu dilakukan karena objek dengan ketebalan 5 mikrometer

akan terlihat transparan meskipun di bawah mikroskop. Pewarna yang biasa

digunakan adalah hematoxylin dan eosin. Hematoxylin akan memberi warna biru

pada nukelus, sementara eosin memberi warna merah muda pada sitoplasma.

Masih terdapat berbagai zat warna lain yang biasa digunakan dalam mikroteknik,

tergantung pada jaringan yang ingin diamati. Ilmu yang mempelajari pewarnaan

jaringan disebut histokimia.

Klasifikasi histologis jaringan hewan

1) Epitelium: melapisi kelenjar, saluran pencernaan, kulit, dan beberapa

organ seperti hati, paru-paru, ginjal

2) Endotelium: melapisi pembuluh darah dan pembuluh limfamesotelium:

melapisi rongga pleural, peritoneal, dan pericardial

3) Mesenkima: sel yang mengisi ruangan antarorgan, misal sel lemak, otot,

dan tendon sel darah: terdiri dari sel darah merah dan darah putih, baik di

limfa maupun limpa

4) Neuron: sel-sel yang membentuk otak, saraf, dan sebagian kelenjar seperti

pituitari dan adrenal

5) Plasenta: organ terspesialisasi yang berperan dalam pertumbuhan fetus

dalam rahim sang ibu

6) Sel induk: sel-sel yang dapat berkembang menjadi satu atau beberapa jenis

sel di atas.

7) Jaringan dari tumbuhan, jamur, dan mikroorganisme juga dapat dipeljari

secara histologis, namun strukturnya berbeda dari klasifikasi di atas.

Page 5: BAB I word 2003

2.1.2 Analisis Histopatologi

Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi

jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi sangat penting

dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam

penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang

diduga terganggu.

Histopatologi dapat dilakukan dengan mengambil sampel jaringan

(misalnya seperti dalam penentuan kanker payudara) atau dengan mengamati

jaringan setelah kematian terjadi, dengan membandingkan kondisi jaringan sehat

terhadap jaringan sampel dapat diketahui apakah suatu penyakit yang diduga

benar-benar menyerang atau tidak.Ilmu ini dipelajari dalam semua bidang

patologi, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan.

Analisa organ ikan yang dilakukan pada praktikum adalah menganalisa

bagian tubuh ikan dan membandingkan organ yang normal dengan organ yang

terkena kontaminasi, baik kondisi lingkungan yang terkena pecemar seperti logam

berat (patologi). Perbedaan-perbaedaan antara organ kontrol (sehat/tidak

terkontaminasi) dan ogan patologi sangat jelas sekali dengan analisa histologi ini.

Organ yang terkena pencemar telah mengalami perubahan-perubahan atau

kerusakan-karusakna pada jaringan organ tersebut dilihat secara kasat mata

melalui mikroskop. Organ Ikan yang digunakan untuk analisis histologi pada

praktikum ini adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Organ-ogan yang dianalisa

adalah ren (ginjal), insang, intestinum, dan hepar (hati).

2.1 Tinjauan Umum Bahan Toksik

2.2.1 Pestisida

Sesuaidengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973, yang dimaksud

Pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang

Page 6: BAB I word 2003

dipergunakan untuk :

1) Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang

merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.

2) Memberantas rerumputan atau tanaman pengganggu/gulma.

3) Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.

4) Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian

tanaman, tidak termasuk pupuk.

5) Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan peliharaan

dan ternak.

6) Memberantas atau mencegah hama-hama air.

7) Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam

rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan.

8) Memberantas atau mencegah binatang-binatang

yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang perlu

dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air.

Dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya

Tanaman, yang dimaksud dengan pestisida adalah zat pengatur dan perangsang

tumbuh, bahan lain, serta organisme renik, atau virus yang digunakan untuk

melakukan perlindungan tanaman. Pestisida merupakan bahan yang banyak

memberikan manfaat sehingga banyak dibutuhkan masyarakat pada bidang

pertanian (pangan, perkebunan, perikanan, peternakan), penyimpanan hasil

pertanian, kehutanan (tanaman hutan dan pengawetan hasil hutan), rumah tangga

dan penyehatan lingkungan,pemukiman,bangunan, pengangkutan dan lain-lain.

Disamping manfaat yang diberikan, pestisida juga sekaligus memilki potensi

untuk dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan.

2.2.2 Alkil Benzen Sulfonat ( ABS )

Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang

mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe (suka

lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga

Page 7: BAB I word 2003

dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. ABS dalam

lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen ini

dikategorikan sebagai non-biodegradable. Pengolahan limbah secara

konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar 50% bahan aktif ABS lolos dari

pengolahan dan masuk dalam sistem pembuangan, hal ini dapat menimbulkan

masalah keracunan pada biota air dan penurunan kualitas air.

Surfaktan merupakan bahan utama deterjen, sejak tahun 1960 surfaktan

Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) digunakan sebagai formula didalam deterjen. Pada

deterjen ini, jenis muatan yang dibawa surfaktan adalah anionik. Kadang

ditambahkan surfaktan kationik sebagai bakterisida (pembunuh bakteri). Fungsi

surfaktan anionik adalah sebagai zat pembasah yang akan menyusup ke dalam

ikatan antara kotoran dan serat kain, hal ini akan membuat kotoran menggulung,

lama kelamaan menjadi besar, kemudian lepas ke dalam air cucian dalam bentuk

butiran.

Konsentrasi surfaktan di air permukaan dengan gas (udara), padatan

(kotoran), dan cair (minyak) dapat menyebabkan pembasahan dan menjadi media

pembersih yang sangat baik. Ini dikarenakan surfaktan memiliki struktur

amphiphilic, dimana salah satu bagian dari molekul tergolong ionik atau polar

dengan kekuatan tarik menarik pada air, dan pada bagian lain termasuk golongan

hydrocarbon dengan sifat menolak air. Jenis struktur yang ditunjukan dibawah ini

ialah struktur surfaktant Alkyl Benzene Sulfonate (ABS).

Gambar 1. Struktur Alkyl Benzene Sulfonate

(Sumber : Wikipedia)

Deterjen anionik atau surfaktan anionik adalah semua garam sodium dan

ion yang menghasilkan Na serta muatan negatif. Pada umumnya adalah sulfat dan

sulfonat. Alkohol berantai panjang bereaksi dengan asam sulfur menghasilkan

sulfat (ester anorganik) dengan surface active. Dedocyl atau laury alkohol pada

umumnya digunakan.

Page 8: BAB I word 2003

Alkohol sulfat digunakan dalam kombinasi dengan deterjen sintetis untuk

menghasilkan campuran sesuai yang diinginkan (McCarty, 2003).

Prinsip sulfonat di peroleh dari ester, amides dan alkil benzena. Ester dan

amid merupakan asam organik dengan 16 atau 18 atom karbon. Alkil benzena

sulfonat sebagian besar berasal dari polimer propilena dan golongan alkil, yang

mempunyai 12 atom karbon bercabang. Deterjen non-ionik tidak mengionisasi

dan hanya bergantung pada kelompok molekul soluble (dapat larut). Semuanya

tergantung pada polimer etilen oksid (C2H4O) sebagai persyaratannya. Deterjen

kationik merupakan garam yang berantai empat ammonium, surfaktan jenis ini

bisa bersifat toksik jika terjadi kontak dengan bahan-bahan lain, sebagai contoh

apabila ia bereaksi pada saat proses klorinasi, maka akan terbentuk senyawa

klorobenzena yang merupakan senyawa kimia yang bersifat beracun dan

berbahaya bagi kesehatan. (Zoller, 2004)

Awalnya surfaktan jenis Alkil Benzen Sulfonat (ABS) banyak digunakan

oleh industri deterjen sebagai bahan baku pembuat produk deterjen. Karena

ditemukannya bukti-bukti dan dari laporan hasil penelitian yang menerangkan

bahwa ABS mempunyai risiko tinggi terhadap lingkungan, maka bahan ini

sekarang digantikan dengan Linear Alkyl Sulfonate (LAS) yang memiliki

karakteristik lebih baik dari ABS meskipun belum dapat dikatakan ramah

lingkungan. Bila ditinjau dari daya urai (biodegradable), ABS didalam

lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen

ini tergolong non-biodegradable, dalam pengolahan limbah secara konvensional

sekitar 50% dari ABS lolos dari system pengolahan.

2.3 Tijauan Umum Kerusakan Jaringan/ Organ Akibat Bahan Toksik

2.3.1 Hiperplasia

Hiperplasia atau hipergenesis adalah istilah umum yang mengacu pada sel

dalam suatu organ atau jaringan di luar apa yang biasanya dilihat. hiperplasia

terjadi akibat adanya penambahan jumlah volume akibat adanya penyumbatan

antar permukaan glomerulus (Takashima dan Hibiya, 1995).

Page 9: BAB I word 2003

Hiperplasia adalah bertambahnya jumlah sel dalam suatu jaringan atau

organ sehingga jaringan atau organ menjadi lebih besar ukurannya dari normal.

Hiperplasia dapat dikelompokkan menjadi fisiologik dan patologik. Hiperplasia

fisiologis terjadi karena sebab yang fisiologi atau normal dalam tubuh.

Hiperplasia patologik disebabkan oleh stimulus hormonal yang berlebihan atau

efek berlebihan dari hormone pertumbuhan pada sel sasaran. Hiperplasia

patologik dapat berkembang menjadi tumor ganas.

Gambar 1. Hiperplasia pada Insang

(Sumber :Desrina, Sarjito, Rohita Sari. 2006. Histologi Ikan. Semarang:

Jurusan Perikanan,Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Diponegoro)

Gambar 2. Hiperplasia pada Ginjal

Sumber : www.pathologyoutlines.com

Page 10: BAB I word 2003

Gambar 3. Hiperplasia pada Hati

(Sumber : www.pathologyoutlines.com)

2.3.2 Hipoplasia

Hipoplasia adalah penurunan jumlah sel yang nyata dalam jaringan yang

mengakibatkan penurunan jaringan atau organ, akibatnya organ tersebut menjadi

kerdil. Hipoplasia dapat juga mengenai semua bagian tubuh, dapat mengenai salah

satu dari sepasang organ atau bahkan dapat mengenai kedua organ yang

berpasangan. (Zainal, 2010)

Hipoplasia adalah sebuah kelainan yang mengindikasikan sebuah

perkembangan / pertumbuhan yang terhambat, sehingga organ yang terkena

kelainan tersebut berukuran lebih kecil/mengecil dari ukuran normalnya.

Hipoplasia adalah terhambatnya perkembangan atau pertumbuhan sebagian atau

seluruh jaringan tumbuhan akibat serangan patogen (Abdul Fatah Alu, Rabu, 8

April 2009).

Hipoplasia merupakan perkembangan yang tidak sempurna dari suatu

organ. Suatu organ yang mengalami hipoplasia terbentuk normal. Namun, ukuran

organ terlalu kecil jika dibandingkan dengan ukuran normal. Pada atrofi, alat

tubuh pernah mencapai ukuran normal dan selanjutnya menjadi lebih kecil,

sedangkan pada hipoplasia, dari awal organ tersebut memang berukuran kecil dan

tidak akan mencapai ukuran yang normal (littleaboutme, 19 Juli 2009)

2.2.3 Nekrosis

Page 11: BAB I word 2003

Nekrosis adalah terjadinya kematian sel hati. Kematian sel terjadi bersama

dengan pecahnya membran plasma. Perlemakan hati adalah hati yang

mengandung berat lipid lebih dari 5% atau telah terjadi penimbunan lipid dalam

hati. Tingkat kerusakan hati menurut Darmono (1995), dibagi menjadi tiga yaitu

ringan, sedang dan berat. Perlemakan hati termasuk dalam tingkat ringan yang

ditandai dengan pembengkakan sel. Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan

hemoragi, sedangkan tingkat berat adalah kematian sel atau nekrosis. Nekrosis

menggambarkan keadaan dimana terjadi penurunan aktivitas jaringan yang

ditandai dengan hilangnya beberapa bagian sel satu demi satu dari satu jaringan

sehingga dalam waktu yang tidak lama akan mengalami kematian. (Takashima

dan Hibiya,1995).

2.3.4 Atrofi

Kata berasal dari bahasa Yunani jatropha atrofi yang berarti tanpa nutrisi,

dalam istilah biologis merupakan penurunan signifikan dalam ukuran sel dan

organ di mana hal ini terjadi, karena hilangnya massa sel. Atrofi menunjukkan

penurunan fungsi sel tetapi tidak mati. Atrofi merupakan suatu keadaaan yang

tidak wajar dimana jumlah dan volume sel berada di bawah normal dan garis luar

sel menjadi tidak dapat dibedakan bahkan sering kali nucleus menjadi kecil

bahkan hilang sama sekali sehingga dapat mengakibatkan kematian sel

(Takashima dan Hibiya, 1995).

Metabolisme sel yang sempurna tidak hanya tergantung pada kontribusi

yang efektif nutrisi, tetapi juga penggunaan yang benar dari mereka, ini hanya

mungkin bila sel-sel hidup dalam lingkungan yang sesuai untuk struktur

morfologis dan fungsional. Struktur morfologis sel dikondisikan oleh lingkungan

di mana mereka hidup, itulah mengapa beberapa bentuk sel-sel dalam tubuh kita

bereaksi terhadap masalah hidup adaptasi untuk kondisi-kondisi eksternal

diferensiasi sel didefinisikan dengan baik merupakan manifestasi luar dari suatu

adaptasi, yang terkumpul selama jutaan generasi.

Semua variasi dari karakter morfologi sel, dapat mempengaruhi sel-sel

tunggal atau kelompok mereka, maka modifikasi dari jaringan penuh. Semua

Page 12: BAB I word 2003

stimulus yang dapat bekerja pada sebuah rangsangan sel benar-benar fungsional

ketika mereka melampaui batas-batas fisiologis dapat melukai sel untuk

membalikkan proses kehidupan, atau menyebabkan perubahan yang signifikan

regresif.

2.3.5 Hipertropi

2.3.6 Edema

2.3.7 Intestinum Neoplasma

BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum

Pada praktikum kali ini, yaitu tentang pengamatan preparat histopatologi

pada ikan mas dilakukan pada :

Hari : Rabu

Tanggal : 13 November 2013

Pukul : 15.00 WIB s/d selesai

Tempat : Laboratorium Akuakultur Gedung Dekanat Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat- alat

1) Mikroskop sebagai alat untuk melihat preparat

2) Camera sebagai dokumentasi pangamatan

3.2.2 Bahan- bahan

1) Hati normal dan patologis (yang terpapar pestisida) sebagai objek preparat

2) Usus normal dan patologis (yang terpapar pestisida) sebagai objek

preparat

3) Ginjal normal dan patologis (yang terpapar pestisida) sebagai objek

preparat

Page 13: BAB I word 2003

4) Insang normal dan patologis (yang terpapar pestisida) sebagai objek

preparat

5) Insang dan Hati yang terpapar ABS 7,5 ppm sebagai objek preparat

Page 14: BAB I word 2003

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Pembuatan Preparat Uji Histopatologi

Hewan UJiHewan UJi

Hati, Insang, Ginjal dan

Usus

Fiksasi larutan

Bouin’s

Dehidrasi alkohol (80%, 90%,

95%, 100%)

Penjernihan (clearing)

alkohol-xilol (1:1)

Impregnasi xilol-

parafin (1:1)

Penanaman (embedding)

dalam parafin

Trimming

Pemotongan dengan

mikrotom

ketebalan ± 4 μm

Pelekatan pita parafin pada

gelas obyek

Pewarnaan

Hematoksilin-Eosin

Perekatan jaringan dengan

mounting agent

Preparat

awetan

Page 15: BAB I word 2003

3.3.2 Pengamatan Preparat Histopatologi

3.4 Analisis Data

Hasil dari pengamatan dituliskan pada tabel pengamatan agar dapat

mengetahui perbandingan dari organ normal dengan patologis.

Tabel X. Pengamatan Preparat Histopatologi

Parameter Kontrol Patologis

Warna

Ukuran

Tanda Hitam (Nekrosis)

Karakter Khusus

Page 16: BAB I word 2003

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Histologi Organ yang Terpapar Pestisida

4.1.1 Organ Insang

Tabel X. Pengamatan Preparat Analisis Histopatologi Organ

Insang

Parameter Kontrol Patologis

Warna Merah Merah tua/pucat

Ukuran Normal Membengkak

Tanda Hitam (Nekrosis) Tidak ada Tidak ada

Karakter Khusus Lamela tersusun rapi Lamela membengkak

dan tidak beraturan

(Hiperplasia, hipoplasia, dan

kongesti)

Insang yang normal dari ikan nila yaitu satu lembar insang terdiri dari

beberapa lamella primer dan satu lamela primer terdiri dari beberapa lamela

sekunder. Sel-sel pernapasan (insang) ikan yang sehat hanya terdiri dari dua atau

Page 17: BAB I word 2003

tiga lapis sel epitel yang rata dan terletak di membrane basal. Jika lebih atau

kurang maka insang tersebut dapat dikatakan abnormal. Lapisan epitel insang

yang tipis dan berhubungan langsung dengan lingkungan luar menyebabkan

berpeluang besar terpapar penyakit. Di antara sel-sel epitel insang terdapat sel-sel

klorid. Sel-sel tersebut berbentuk bulat dan berperan penting dalam osmoregulasi.

Panjang lamela insang bervariasi pada setiap spesies ikan. Umumnya

lamela insang yang terletak pada ujung filamen mempunyai panjang yang relatif

pendek dibandingkan lamela yang terletak dipertengahan. Letak insang yang

berhubungan langsung dengan lingkungan dan strukturnya yang tipis menjadikan

insang sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan serta menjadi tempat

yang tepat bagi berlangsungnya infeksi oleh agensia patogenik.

Pada pengamatan organ insang yang terpapar pestisida mengalami

hipertropi, dan hiperplasia. Hipertropi merupakan adanya peningkatan pada

komponen sel dalam jaringan atau sel. Hiperplasia terjadi dengan adanya

penambahan jumlah epitel-epitel lamella sekunder sehingga lamella sekunder

semakin membesar dan berhimpit, akibatnya antara lamella sekunder saling

menempel dan menyatu. Hal ini membuat lamella insang terlihat lebih besar dari

keadaan normal dan pada insang tersebut tidak terlihat lagi dengan jelas

perbedaan antara lamella primer dan sekundernya.

Kongesti pada lamela insang karena pembendungan darah yang

disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan

oksigen. Pada insang, kongesti didahului dengan pembengkakan sel dimana sel

membesar yang mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah

terganggu. Hal ini menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada beberapa

tempat (Ressang, 1984).

Pada saluran pernafasan pestisida dapat menyebabkan kerusakan pada

bagian insang dan organ-organ yang berhubungan dengan insang. Masuknya

pestisida dalam insang melalui kontak langsung, karena letaknya di luar.

Alasbaster dan Lloyd (1980) menyatakan kerusakan insang dapat berupa

penebalan lamella, degradasi sel atau bahkan kerusakan dan kematian jaringan

insang. Hal ini menyebabkan fungsi insang menjadi tidak wajar dan mengganggu

Page 18: BAB I word 2003

proses respirasi, akibatnya mengganggu pernafasan dan akhirnya menyebabkan

kematian.

(Alabaster, J. and Lloyd. 1980. Water Quality Criteria for Fish. FAO of United

Nations European Inland Fisheries Advisor Commision, Butterworth

London. Boston, 297 pp.)

Selain pestisida, racun yang dapat merusak organ/jaringan ikan

diantaranya logam (metal), formalin atau hidrogen peroksida dengan dosis yang

terlalu tinggi, selain itu juga dapat disebabkan oleh aflatoxikosis nutrisi akut yang

dapat menyebabkan edema hebat pada lemela. Stoev dan Lazarova (1998) dalam

Permana (2009) mengatakan bahwa kongesti, nekrosis, edema, serta hemoragi

dapat disebabkan oleh racun merkuri.

Adapun hasil pengamatan insang ikan yang telah terpapar oleh merkuri

adalah sebagai berikut :

Tabel X. Gambar Organ Insang Yang Telah Terpapar Merkuri

Kontrol

Gambar X. Insang normal

Perlakuan A (Insang yang

terpapar merkuri dengan

konsentrasi 0,16 ppm)

Gambar X. Insang patologis

Page 19: BAB I word 2003

Perlakuan B (Insang yang

terpapar merkuri dengan

konsentrasi 0,5 ppm)

Gambar X. Insang patologis

Perlakuan C (Insang yang

terpapar merkuri dengan

konsentrasi 0,1 ppm)

Gambar X. Insang patologis

Keterangan :

Perlakuan A (0.16 ppm) A : organ insang mengalami edema Perlakuan B (0.5 ppm) A : organ insang mengalami hyperplasia dan edema Perlakuan C (1.0 ppm) A : organ insang mengalami edema yang sangat parah dan terjadi deskuamasi, bentuk lamela insang sudah hancur.

Pengamatan insang pada perlakuan C sebagian sel pilarnya mengalami

penyusutan sel serta pada ujung lamella terjadi telangiektasis. Pada lamella yang

lain terjadi pembendungan yang ditandai dengan adanya penumpukan sel-sel

darah merah yang sangat padat pada pembuluh darah. Pada pengamatan hari ke

Page 20: BAB I word 2003

30, bentuk lamela insang sudah hancur dan terjadi deskuamasi yang sangat parah.

Sebagian besar epitel insang terlepas dari organ. Sebelum terjadi deskuamasi,

epitel tersebut mengalami edema. Menurut Robert (1978) telangiektasis dapat

terjadi pada insang ikan yang berada pada kualitas air yang buruk, adanya

serangan parasit, pemupukan sisa metabolisme dan polutan kimia. Telangiektasis

yang ekstensif membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih daripada luka-

luka hiperplasia pada insang.

Kerusakan pada insang dapat menyebabkan ikan sulit bernafas dan

kandungan oksigen dalam darah berkurang akibatnya sulitnya Hb dalam mengikat

oksigen. Akibatnya ikan kekurangan oksigen dan mengalami hipoksia sebagai

akibat dari kerusakan lamella sekunder dari insang. Akibat kesulitan dalam

bernafas, maka akan merangsang organisme untuk mengikat sel darah merah,

hematokrit dan hemoglobin untuk meningkatkan mekanisme transfer oksigen di

dalam tubuh (Alfonso, 2002 dalam Ishikawa, N 2007).

4.1.2 Organ Hati

Tabel 2. Pengamatan Preparat Analisis Histopatologi Organ Hati

Parameter Kontrol Patologis

Warna Merah Merah tua

Ukuran Normal Terjadi pembengkakan

Tanda Hitam (Nekrosis) Tidak ada Ada

Karakter Khusus Tidak ada kerusakan Terdapat rongga yang

menandakan sel mati

Hati penting diperiksa karena merupakan organ yang paling sering

mengalami kerusakan. Menurut Carlton (1995) dalam Permana (2009) ada dua

alasan yang menyebabkan hati mudah terkena racun. Hati menerima 89% suplai

darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal.

Substansi zat-zat toksik termasuk tumbuhan, fungi, logam, mineral dan zat-zat

kimia lainnya yang diserap ke dalam portal ditransportasikan ke hati. Kedua, hati

menghasilkan enzim-enzim yang mempunyai kemampuan sebagai

biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen yang dieliminasi

Page 21: BAB I word 2003

tubuh. Pada daerah nekrosis yang terjadi pada masing-masing perlakuan tampak

pada daerah tersebut rusak dan merenggang dan sel-sel pada daerah tersebut

terlihat mati. Semakin sering suatu daerah jaringan mengalami nekrosis, maka

peristiwa tersebut biasanya menimbulkan respon peradangan pada bagian jaringan

yang berdekatan.

Hasil pengamatan pada hati yang normal/kontrol pada jaringan hati ikan

mas, belum terjadi perubahan. Warna terlihat merah, ukuran hati masih normal

dan tidak ada kerusakan.

Pengamatan preparat hati patologis, terjadi perubahan struktur jaringan

hati. Perubahan struktur jaringan sel hati yang disebabkan oleh zat kimia yang

bersifat racun antara lain perlemakan hati, nekrosis dan sirosis (Lu, 1995).

Nekrosis menggambarkan keadaan dimana terjadi penurunan aktivitas

jaringan yang ditandai dengan hilangnya beberapa bagian sel satu demi satu dari

satu jaringan sehingga dalam waktu yang tidak lama akan mengalami kematian.

Necrosis dapat terjadi karena denaturasi protein plasma, dan pemecahan oraganel

sel. Dapat juga disebabkan karena terinfeksi bakterial sehingga menyebabkan

terakumulasinya sel darah putih.

Pada sel hati, kongesti didahului dengan pembengkakan sel hati dimana

sel hati membesar yang mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah

terganggu. Kongesti adalah terjadinya pembendungan darah pada hati yang

disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan

oksigen dan zat gizi.

Anderson (1995) mengatakan, dalam rangka menjaga kestabilan

lingkungan internal, sel harus mengeluarkan energi metabolik untuk mempompa

ion natrium keluar dari sel. Masuknya zat toksik ke dalam sel menyebabkan

terganggunya proses metabolisme, sehingga sel tidak mampu memompa ion

natrium yang cukup. Dengan demikian konsentrasi ion natrium didalam sel lebih

tinggi dan air dapat masuk kedalam sel (peristiwa osmosis). Lu (1995)

menyatakan bahwa hati sangat rentan terhadap pengaruh zat kimia dan menjadi

organ sasaran utama dari zat beracun.

Menurut Van Dyk et al.,(2005) salah satu penyebab kongesti dan buntunya

Page 22: BAB I word 2003

pembuluh darah adalah karena terpapar oleh agen kimia seperti cadmium, merkuri

dan zinc. Hal ini terjadi karena sebagian besar racun atau zat toksik yang masuk

ke dalam tubuh setelah diserap oleh sel akan dibawa ke hati oleh vena porta hati,

sehingga hati berpotensi mengalami kerusakan.

Selain pestisida, zat toksik yang dapat merusak organ hati adalah merkuri.

Berikuta adalah hasil pengamatan histopatologi hati ikan yang telah terpapar oleh

merkuri.

Tabel X. Gambar Organ Hati Yang Telah Terpapar Merkuri

Kontrol

Gambar X. Hati normal

Perlakuan A (Hati yang

terpapar merkuri dengan

konsentrasi 0,16 ppm)

Gambar X. Hati patologis

Page 23: BAB I word 2003

Perlakuan B (Hati yang

terpapar merkuri dengan

konsentrasi 0,5 ppm)

Gambar X. Hati patologis

Perlakuan C (Hati yang

terpapar merkuri dengan

konsentrasi 1 ppm)

Gambar X. Hati patologis

Keterangan :Perlakuan A (0.16 ppm)

B = organ hati mengalami nekrosis

C = organ hati mengalami kongesti dan sel-sel tampak mati

Perlakuan B (0.5 ppm)

C = organ hati mengalami kongesti

Perlakuan C (1.0 ppm)

B = organ hati mengalami kongesti

Kongesti yang terjadi pada perlakuan A, B dan C disebabkan oleh

Page 24: BAB I word 2003

masuknya zat toksik (Hg) kedalam hati. Pada sel hati, terjadinya kongesti

didahului dengan pembengkakan sel. Pembengkakan sel adalah bertambahnya

ukuran sel akibat penimbunan air dalam sel, dimana sel hati membesar yang

mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah terganggu, hal ini

menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada beberapa tempat (Ressang,

1984). Pembengkakan sel disebabkan peningkatan permeabilitas sel, dimana sel

tidak mampu mempertahankan homeostatis ion dan cairan sehingga terjadi

perpindahan cairan ekstrasel ke dalam sel. Kongesti adalah pembendungan darah

yang disebabkan karena gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan

kekurangan oksigen dan zat gizi, pada daerah nekrosis yang terjadi pada masing-

masing perlakuan tampak pada daerah tersebut rusak dan merenggang dan sel-sel

pada daerah tersebut terlihat mati. Semakin sering suatu daerah jaringan

mengalami nekrosis, maka peristiwa tersebut biasanya menimbulkan respon

peradangan pada bagian jaringan yang berdekatan.

Saleh (1996) dalam Permana (2009) mengatakan pembengkakan dapat

terjadi oleh infeksi, demam, keracunan, suhu yang terlalu rendah atau tinggi,

anoxia, gizi buruk dan gangguan sirkulasi, sedangkan nekrosis dijelaskan oleh

Darmawan (1996) bahwa kelainan ini adalah tingkat lanjut dari degenerasi.

Nekrosis sel hati dapat disebabkan rusaknya susunan enzim dari sel, malnutrisi,

deplesi glikogen dan anoxia menahun dapat menjadi penyebab untuk nekrosis sel

hati akibat hepatotoksin.

4.1.3 Ginjal

Tabel X. Pengamatan Preparat Analisis Histopatologi Organ GinjalParameter Kontrol Patologis

Warna Merah cerah Merah gelap

Ukuran Normal Terjadi pembengkakan

(lonjong besar)

Tanda Hitam (Nekrosis) Tidak ada Ada

Karakter Khusus Tidak ada kerusakan Terdapat rongga yang

menandakan sel mati

Page 25: BAB I word 2003

Hasil pengamatan kontrol pada ginjal belum terjadi perubahan, seperti

warna masih terlihat jelas, namun ukuran ginjal terlihat besar, masih terlihat

normal (tidak ada kerusakan). Ukuran glomerulus dan kapsul bowman normal

dimana tidak ada sel yang rusak/mati. Bentuk glomerulus tersebut masih bulat.

Ginjal normal pada ikan mas tampak adanya glomerolus yang berbentuk bulat,

ada juga tubuli-tubuli serta jaringan hematopoietik. Glomerolus yang dikelilingi

kapsula bowman yang terlihat seperti zona bening. Tubuli ginjal berbentuk mirip

kue donat dengan corak bergaris, corak ini karena pada bagian basal sel dari tubuli

terdapat mitokondria yang berderet-deret. Sedangkan jaringan hematopoietic

(pembentuk sel-sel darah merah) memiliki inti yang bulat.

Preparat ginjal patologis, berdasarkan hasil pengamatan keadaan ginjal

yang telah diuji patologis dengan bahan toksik berupa pestisida, memperlihatkan

kondisi dengan banyak kerusakan dimana warna jaringan merah gelap, dan ukuran

glomerulus berubah menjadi lonjong.

Kerusakan ini berupa hiperplasia yaitu pertambahan ukuran di mana

karena adanya penyumbatan akibat pemberian bahan toksik, sebelumnya

hyperplasia terjadi karena adanya penambahan jumlah volume akibat adanya

penyumbatan antar permukaan glomerulus.

Berikut merupakan hasil dari uji histopatologi terhadap ginjal ikan yang

terpapar merkuri (Hg)

Tabel X. Gambar Organ Ginjal Yang Telah Terpapar Merkuri

Kontrol

Gambar X. Ginjal normal

Page 26: BAB I word 2003

Perlakuan A (Ginjal yang

terpapar merkuri dengan

konsentrasi 0,16 ppm)

Gambar X. Ginjal patologis

Perlakuan B (Ginjal yang

terpapar merkuri dengan

konsentrasi 0,5 ppm)

Gambar X. Ginjal patologis

Perlakuan C (Ginjal yang

terpapar merkuri dengan

konsentrasi 1 ppm)

Gambar X. Ginjal patologis

Keterangan :

Page 27: BAB I word 2003

Perlakuan A (0.16 ppm)

C = rusaknya glomerulus, tubuli dan jaringan hematopoietik sehingga tidak nampak

Perlakuan B (0.5 ppm)

C = organ ginjal mengalami pembendungan darah yang semakin meluas Perlakuan C (1.0 ppm)

C = bentuk tubuli pada ginjal membesar D = tubuli, glomerlus, dan jaringan hematopoietik sudah tidak nampak

lagi.

Price dan Wilson (1992) dalam Permana (2009) mengatakan bahwa bila

sel mengalami cedera tapi tidak mati, maka sering sel-sel tersebut menunjukkan

perubahan-perubahan morfologis yang sudah dapat dikenali, umumnya sel yang

terlilbat adalah sel-sel aktif secara metabolik seperti pada ginjal. Ginjal yang

mengalami nekrosis menandakan adanya sel yang mati pada bagian tersebut.

Penyebabnya dapat berupa gangguan benda asing, pada ginjal yang tidak terlihat

lagi antara glomerulus, tubuli dan jaringan hematopoietik biasa disebut kariolisi

yaitu hilangnnya bentuk inti sel sehingga tidak nampak lagi.

4.1.4 Organ Usus

Tabel 3. Pengamatan Preparat Analisis Histopatologi Organ UsusParameter Kontrol Patologis

Warna Merah cerah Merah gelap

Ukuran Normal Terjadi pembengkakan

(lonjong besar)

Tanda Hitam (Nekrosis) Tidak ada Ada

Karakter Khusus Bentuk bulat Bentuk lonjong

Page 28: BAB I word 2003

Gambar x. A. Usus normal, B. Usus patologis

(Sumber : Dokumentasi pribadi)

Usus merupakan bagian saluran pencernaan yang berfungsi untuk

menyerap sari-sari makanan sehingga gangguan pada organ ini dapat berakibat

fatal bagi pertumbuhan ikan. Walaupun jarang ditemui gangguan yang berakibat

pada kematian tetapi beberapa penyakit ikan berakibat buruk pada keseluruhan

nilai produksinya, oleh karena itu pengetahuan tentang kondisi tidak normal organ

usus sangat penting untuk pengelolaan kesehatan ikan itu sendiri. Nekrosis dan

atropi lapisan epitel vili usus merupakan perubahan yang paling banyak

ditemukan. Beberapa vili juga mengalami deskuamasi epitel dan nekrosa sel-sel

epitel. Hal ini dapat terjadi karena terjadi hemoragi sehingga suplai darah ke sel-

sel epitel terganggu. Hemoragi atau perdarahan terlihat dari ditemukannya

eritrosit yang menyebar pada ujung vili usus. Kelainan vili ini akan menyebabkan

terganggunya penyerapan zat-zat makanan yang penting sehingga ikan akan

mengalami defisiensi nutrisi.

Pengamatan preparat usus ikan mas dengan kontrol, tidak terjadi

kerusakan sejumlah jaringan. Namun, pada gambar terlihat warna tampak merah ,

ukuran usus normal dan padat sehingga memadati ruangan jaringan usus, terdapat

bintik/tanda hitam. Sel juga masih tersebar di seluruh permukaan dan tidak

tampak terjadinya nekrosis serta rongga masih terlihat jelas.

Pengamatan preparat usus dengan patologis, terlihat perubahan struktur

jaringan pada usus ikan. Perubahan struktur jaringan pada usus ditandai dengan

terlihatnya kerusakan sejumlah sel pada vili-vili usus, namun warna terlihat merah

Page 29: BAB I word 2003

cerah, dan perubahan yang signifikan terjadi dimana permukaan menjadi lebih

renggang serta ukurannya membengkak, tidak padat seperti preparat pada usus

normal/kontrol (rongga menyusut).

Menurut literatur, organ usus yang terpapar bahan toksik akan mengalami

edema. Edema menyebabkan epitel usus terangkat dan pada kondisi parah dapat

berlanjut menjadi dequamasi dan ruptur epitel. Edema yang ditemukan

menandakan adanya masalah pada sistem sirkulasi darah. Adanya eritrosit yang

menyebar menandakan terjadi hemoragi sedangkan limfosit menandakan ada

peradangan karena gangguan parasit, bakteri atau virus. Proliferasi endotelium

arteri pernah ditemukan pada ikan Carp yang terinfeksi Sanguinicola inermis

(Prost dan Poland dalam Lucky 1964).

Gambar X. Edema epitel usus (panah), nekrosa epitel (kepala panah)

(Sumber : Gambaran histopatologi organ insang, otot, dan usus ikan mas ( Cyprinus carpio) di desa Cibanteng)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, P.S.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih bahasa: Peter Anugerah. Jakarta: EGC. Penerbit Buku Kedokteran.

Page 30: BAB I word 2003

Angka SL, I. Mokoginta, H Hamid, 1990. Anatomi dan Histologi beberapa Ikan Air Tawar yang Dibudidayakan di Indonesia. Depdikbud, Dikti. IPB. Bogor. 212 hlm.

Anonim. 2003. Model Pencemaran Perairan Umum dan Ikan Air Tawar oleh Logam Berat Limbah Industri. http:// portal.djmbp.esdm.go.id/modules/ news/index.php?. (2 Juli 2006).

Bastiawan, D, Taukhid, M. Alifudin, dan T. S. Dermawati. 1995. Perubahan

Hematologi dan Jaringan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) yang

diinfeksi Cendawan Aphanomyces sp. Jurnal Penelitian Perikanan

Indonesia. 106-115

Bond CE. 1979, Biology of Fishes. Saunders College Publishing. Philadelphia. 514 hlm.

Boyd CE. 1982. Water Quality Management For Pond Fish Culture. Auburn University. 4 th Printing, International Centre for Aquaculture Experiment Station. Auburn. Hlm 318

Brett JR. Environmental Factor and Growth, Fish Physiology Vol. VIII. Academic Press, New York. Hlm. 559-679.

Budiono, A. 2003. Pengaruh Pencemaran Merkuri terhadap Biota Air. http://www.achmadbud. net/ merkuri.pdf. (18 November 2013).

Connell, D.W. 1995. Bioakumulasi Senyawaan Xenobiotik. Jakarta: UI Press.

Connell, D.W dan G.J Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: UI Press.

Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Air. Jakarta: UI Press.

Destiany, M. 2007. Pengaruh Pemberian Merkuri Klorida Terhadap Struktur Mikroanatomi Hati Ikan Mas. [Skripsi]. Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Dinata, A. 2004. http ://www. pikiran-rakyat.com/cetak/0704/23/0106.htm (8 Agustus 2005).

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air : BagiPengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan IPB, Bogor.

Page 31: BAB I word 2003

Fernandez MN, Mazon AF. 2003. Environmental Pollution and Fish Gill Morphology. Sci. Pub. 203-231.

Heat AG. 1987.Water pollution and fish physiology. Florida. CRC Press Inc. Boca Raton,. 245 hal.

Jawad, LA, Al Mukhtar MA, Ahmed HK. 2004. The Relationship Between Hematocrit and Some Biological Parameters of The Indian Shad Temalosa ilisha. Animal Biodiversity an Concervation 27:47-52

Lagler KF, JE Bardach, RR Miller, DRM Passiono. 1977. Ichtyology. John Wiley and Sons Inc, New York-London.506 hal.

Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar. Penerjemah Donatus. Semarang: IKIP

Lu, C.F. 1995. Toksikologi Dasar. Jakarta: Universitas Indonesia

Martin ML, Namura DT, Myazaki DMY, Pilarsky F, Ribero K, De CaSTRO MP, De Campos CMF. 2004. Physiological ang Haemotological Response of Oreochromis niloticus Exposed to Single and Consecutive Stress of Capture. Annimal Science. 28 : 195-204.

Nabib R, FH Pasaribu. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. UPT Produksi Media Informasi LSI-IPB. Bogor.

Nurhasan. 1982. Pencemaran Merkuri. Warta Balai Industri. Semarang: BPPI.

Nugrahaningsih, K. A. 2008. Pengaruh Tekanan Osmotik Media Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Patin Pangasius sp. Pada Salinitas 5 ppt. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta.

Permana, R. 2009. Studi Histopatologi Pada Ikan Arwana Super Red Scleropages formosus. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rastogi SC. 1977. Essential of Animal Physiology. Wiley Eastern Limited. New Delhi, Belangmore, Calcutta. P : 204-233.

Roberts, R.J. 1978. Fish Pathology. Bailliere Tindal. London.

Ressang, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Denpasar: Bali Press.

Page 32: BAB I word 2003

Randall DJ. 1970. The Circulatory System. Didalam : Hoar WS, Randall DJ (Eds). Fish Physiology. Vol IV. Academic Publs. London, hlm 133-172.

Snieszko SF. 1960. Microhematocrit as a Tool in Fishery Research and Management. U. S. Wildl. Serv. Sci. Rep. Fish. 341-15.

Susanto , Dwi. 2008. Gambaran histopatologi organ insang, otot, dan usus ikan mas ( Cyprinus carpio) di desa Cibanteng. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Tandjung, S.D. 1995. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Fakultas BiologiUGM.

Takashima, F dan Hibiya, T. 1995. An Atlas of Fish Histology Normal and Pathological Feature. Second Edition. Kondasha LTD, Tokyo.

Van Dyk, J.C., Pieters, G.M. dan Van Vuren. J.H.J. 2005. Histological Changes in The Liver of Oreochromis mossambicus (Cichlidae) after Exposure to Cadmium and Zinc. Ecotoxicology an Environmental Safety 66:432-440.

Well RMG, Baldwin J, Seymour RS, Christian K, Britain T. 2005. Blood Cell Function and Haematology in Two Tropical Freshwater Fishes from Australia. Comparative Biochemistry and Physiology. (A) 141:87-93.

Yudha LG. 1999. Toksisitas akut dan pengaruh subletal endosulfan terhadap pertumbuhan dan kondisi hematologis ikan Lele dumbo (Clarian gariepinus). [Tesis]. Bogor. Pascasarjana. IPB. 60 hal.

Yosmaniar, 2009. Toksisitas Niklosamida terhadap pertumbuhan, kondisi hematologi dan histopatologi juvenile ikan mas (Cyprinus carpio). ). [Tesis]. Bogor. Pascasarjana. IPB.

Page 33: BAB I word 2003