laporan ikt draft 3.word 2003

37
1 BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, keadaan cuaca yang panas dan kering atau lembab akan sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan ternak. Kesehatan ternak dapat dilakukan dengan mengamati tingkah laku ternak, keadaan fisik luar ternak maupun pemeriksaan kondisi fisiologis. Ternak sehat selalu bergerak aktif, sikapnya sigap, selalu sadar dan tanggap terhadap perubahan situasi sekitar yang mencurigakan, frekuensi makan, nafas dan nadi normal. Suhu dan kelembaban udara yang tinggi dapat menyebabkan penyebab penyakit berkembang pesat sehingga mengganggu kesehatan dari seekor ternak. Salah satu penyebab penyakit adalah parasit. Penyakit yang disebabkan oleh parasit merupakan hambatan pada pengembangan peternakan. Tujuan praktikum Ilmu Kesehatan Ternak adalah untuk mengetahui ciri-ciri ternak yang sehat serta dapat membedakan ternak yang sehat dengan melihat eksterior dari dekat dan dengan palpasi pada ternak tersebut, dapat mengenal bentuk-bentuk parasit. Manfaat yang diperoleh adalah mahasiswa dapat melakukan pengamatan tentang ternak yang sehat dari jarak dekat

Upload: lutvi-himawan

Post on 25-Oct-2015

113 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

1

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, keadaan cuaca yang

panas dan kering atau lembab akan sangat berpengaruh terhadap kondisi

kesehatan ternak. Kesehatan ternak dapat dilakukan dengan mengamati tingkah

laku ternak, keadaan fisik luar ternak maupun pemeriksaan kondisi fisiologis.

Ternak sehat selalu bergerak aktif, sikapnya sigap, selalu sadar dan tanggap

terhadap perubahan situasi sekitar yang mencurigakan, frekuensi makan, nafas

dan nadi normal. Suhu dan kelembaban udara yang tinggi dapat menyebabkan

penyebab penyakit berkembang pesat sehingga mengganggu kesehatan dari

seekor ternak. Salah satu penyebab penyakit adalah parasit. Penyakit yang

disebabkan oleh parasit merupakan hambatan pada pengembangan peternakan.

Tujuan praktikum Ilmu Kesehatan Ternak adalah untuk mengetahui ciri-

ciri ternak yang sehat serta dapat membedakan ternak yang sehat dengan melihat

eksterior dari dekat dan dengan palpasi pada ternak tersebut, dapat mengenal

bentuk-bentuk parasit. Manfaat yang diperoleh adalah mahasiswa dapat

melakukan pengamatan tentang ternak yang sehat dari jarak dekat maupun jarak

jauh dan mengetahui metode palpasi dan pemeriksaan yang tepat dalam

menentukan ternak yang sehat, dapat mengidentifikasi penyakit yang disebabkan

oleh parasit dan melakukan pemeriksaan feses ternak untuk mengetahui penyakit

apa yang diderita oleh ternak.

Page 2: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teknik Anamnesa dan Analisis Kondisi Peternakan

Anamnesa merupakan suatu metode untuk mengetahui riwayat suatu

penyakit dengan cara menanyakan secara langsung kepada orang yang

memelihara ternak (Akoso, 1996). Suatu riwayat penyakit yang baik hanya dapat

diperoleh dari seorang pengamat yang baik pula. Pertanyaan-pertanyaan harus

ditujukan kepada fakta-fakta penting yang telah dicertakan atau terhadap gejala-

gejala klinis yang telah diamati pemiliknya (Subronto, 1985).

Daya adaptasi kerbau sangat tinggi, kerbau mampu mempertahankan

hidupnya dengan kondisi baik sedangkan sapi akan memburuk kondisinya dengan

cepat apabila berada pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan kondisi

tubuhnya (Williamson, 1993). Jumlah ternak kerbau di Indonesia sekarang,

sebanyak 40% diantaranya terdapat di pulau Jawa. Ternak kerbau perah bangsa

Murrah diharapkan bisa berkembang dengan baik di Indonesia, terutama di daerah

yang beriklim hampir sama dengan habitat aslinya di India (Murti, 2002).

Kandang kerbau di daerah pertanian ditempatkan di luar atau di dalam

rumah peternak. Kandang di luar rumah dibuat sangat sederhana dan dari bahan-

bahan bangunan yang amat sederhana. Kandang kerbau di dalam ruangan rumah

umumnya ditempatkan di sebagai bagian dari ruangan depan atau dari ruangan

dapur, selain itu di daerah peternakan kerbau cukup dilepas di padangan tanpa

diawasi, orang membuat kandang terbuka yang hanya berfungsi untuk menjaga

agar kerbau-kerbau jangan sampai berkeliaran pada malam hari yang dapat

merusak tanaman atau dicuri orang. Luas kandang untuk kerbau betina lebih

kurang 4 m2 dan untuk kerbau jantan lebih kurang 12 m2 per ekor. Di daerah hulu

sungai Kalimantan Selatan dimana kerbau dipelihara di daerah rawa-rawa,

kandang dibuat di tengah rawa-rawa yang disebut kalang (Sosroamidjojo, 1981).

Kesehatan hewan adalah suatu status kondisi tubuh hewan dengan seluruh sel

Page 3: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

3

yang menyusun dan cairan tubuh yang dikandungnya secara fisiologis berfungsi

normal. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan hewan antara lain

faktor mekanis, termis (suhu), nutrisi (pakan), pengaruh zat kimia, keturunan dan

sebagainya (Akoso, 1996).

Ternak yang sakit berbeda dengan ternak yang sehat biasanya dapat dilihat

dari aktivitas dan nafsu makannya (Subronto, 1985). Kerbau lebih mudah diserang

beberapa penyakit menular daripada sapi. Kerbau lebih tahan terhadap beberapa

parasit sehingga merupakan pembawa penyakit untuk ternak-ternak lain terutama

sapi, sedangkan kerbau itu sendiri tidak menunjukkan tanda-tanda sakit

(Sosroamidjojo, 1981). Kerbau lebih sulit terkena penyakit mulut kuku dari pada

sapi. Penyakit anthrax pada kerbau bervariasi dari satu negara ke negara lainnya.

Kerbau secara relatif adalah resisten terhadap tuberculosis. Mastitis adalah salah

satu penyakit serius dari kerbau, terutama di negara-negara dimana kerbau

dipelihara untuk diambil susunya. Brucellosis dinyatakan bersifat sporadik pada

kerbau, walaupun dia bersifat endemik pada sapi (Williamson, 1993).

2.2. Penilaian Kesehatan Ternak

Kesehatan ternak merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan

usaha peternakan. Maka usaha menjaga kesehatan ternak harus menjadi salah satu

prioritas utama disamping kualitas makanan ternak dan tata laksana yang

memadai (Murtidjo, 1993). Ternak sakit merupakan kondisi terjadinya

penyimpangan dari kondisi normalnya atau suatu kondisi yang ditimbulkan oleh

suatu individu hidup atau oleh penyebab lain baik yang diketahui maupun tidak

yang dapat merugikan kesehatan hewan tersebut (Sugeng, 2008).

Faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan hewan antara lain faktor

mekanis, termis, nutrisi, pengaruh zat kimia, dan genetis (Akoso, 1996).

Pemeriksaan umum ternak dimulai dari suatu jarak yang tidak mengganggu

ketenangan ternak. Keadaan umum dan kelakuan hewan perlu diperhatikan,

hewan dalam keadaan berdiri atau tidur, tingkat kelesuan, kesadaran dan

kegelisahan sehingga dapat diketahui ternak tersebut sakit atau tidak, pemeriksaan

Page 4: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

4

hewan yang sakit diantaranya memeriksa pakan, minum serta penelitian meliputi

adanya tinja dan kemih (Siregar, 2008).

2.2.1. Tingkah laku ternak sakit dan sehat

Tingkah laku sapi memberikan gambaran tentang status kesehatan sapi

tersebut. Sapi yang sehat akan menampakkan gerakan yang aktif, sikapnya sigap,

selalu sadar dan tanggap terhadap perubahan situasi sekitar yang mencurigakan.

Kondisi tubuh sapi yang seimbang adalah tidak terlalu gemuk atau kurus, langkah

kakinya mantap dan teratur (Sugeng, 2008). Sudut mata pada sapi sehat terlihat

bersih tanpa adanya kotoran atau getah radang, dan tidak terlihat perubahan warna

diselaput lendir dan kornea matanya. Ekornya selalu aktif mengibas untuk

mengusir lalat, kulit dan bulu tampak halus dan mengkilat (Akoso, 1996).

Karakteristik sapi Peranakan Ongole antara lain berpunuk besar, kulit

longgar, mempunyai gumba, telinga panjang dan warna bulunya putih kusam

(Murtidjo, 1990). Pertumbuhan bulu merata dipermukaan tubuhnya. Hal ini

nampak jelas pada sapi bertipe rambut pendek seperti sapi Bali dan Ongole.

Daerah tertentu pada sapi terlihat bulu tumbuh panjang dan kasar terutama

didaerah iklim sejuk, namun akan terlihat bahwa dalam keadaan normal

penampilan bulu tidak kusam (Blakely and Bade, 1998). Kondisi fisik tubuh

ternak dapat diamati secara langsung seperti lubang tubuh. Sapi yang sehat dapat

terlihat dari lubang tubuhnya seperti hidung, telingga, anus tidak berlendir atau

tidak terdapat kotoran ( Sugeng, 2008).

2.2.2. Pemeriksaan fisik tubuh ternak

Pemeriksaan fisik tubuh ternak dilakukan dengan pengamatan keserasian

tubuh dan kesimetrisan pada kedua sisi tubuh ternak. Pemeriksaan simetri yang

terbaik dilakukan dari sisi depan dan belakang, sedang keselarasan dlihat dari

samping kanan dan kiri (Subronto, 1985). Sapi sehat bernafas dengan tenang dan

teratur. Sapi yang ketakutan, lelah akibat kerja berat, kondisi udara terlalu panas

Page 5: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

5

pernafasannya menjadi lebih cepat. Sapi sedang tiduran, pernafasannya lebih

cepat dari pada sapi yang berdiri. Frekuensi pernafasan bervariasi, tergantung

pada jenis sapid an umurnya. Frekuensi nafas rata-rata 20-30 kali permenit.

Angka rata-rata dapat naik bila tejadi kejutan atau latihan (Akoso, 1996). Suhu

tubuh biasanya diukur melalui rektum. Suhu tubuh yang normal untuk sapi

dewasa berkisar antara 30ºC- 39,5ºC. Frekuensi denyut nadi pada sapi normal

berkisar antara 36-80 kali per menit ( Sugeng, 2008).

2.2.3. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi kesehatan

Sanitasi kandang adalah suatu usaha yang dilakukan untuk membebaskan

kandang dari bibit penyakit maupun parasit lainnya dengan menggunakan obat

pengendali seperti desinfektan pada dosis yang dianjurkan (Murtidjo, 1990).

Kebersihan kandang harus terjaga dan dihindari adanya pakan yang masih tersisa

dimalam hari (Akoso, 1996). Kebersihan kandang harus tetap dijaga, kotoran sapi

harus selalu dibuang pada tempat yang telah disediakan. Jarak antara kandang

dengan pembuangan feses harus jauh dengan kandang minimal 10 meter dari

kandang (Siregar, 2008).

2.3. Pemeriksaan Parasit

Parasit adalah suatu organisme yang hidup diatas bantuan organisme lain

yang lazim dikenal sebagai induk semang (Sugeng, 2008). Parasit yang hidup di

dalam tubuh inang disebut endoparasit. Parasit tersebut mendapat makanan untuk

tumbuh dan berkembang biak dari organ atau jaringan inangnya. Suatu parasit

dapat membahayakan jika jumlahnya cukup banyak, tetapi tidak membahayakan

jika jumlahnya sedikit (Levine, 1994).

Page 6: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

6

2.3.1. endoparasit

2.3.1.1. Metastrongylus. Metastrongylus merupakan cacing paruyang berada pada

babi. Parasit ini adalah parasit pada saluran pernafasan babi sehingga dapat

mengakibatkan ternak lama-kelamaan mati karena tidak terdapat penanganan

cepat (Levine, 1994). Tanda-tandanya adalah ternak seperti sesak nafas, batuk,

kurus kering, nafsu makan turun dan hidung berlendir (Brotowidjaya, 1987).

2.3.1.2. Raillietina sp. Merupakan genus cacing pita pada ayam. Tubuhnya

mempunyai banyak proglotida. Terdapat restelum dengan kait berbentuk palu

yang tersusun dalam lingkaran ganda. Alat penghisap kadang-kadang

dipersenjatai dengan kait yang kecil dan bergenerasi yang tersusun dalam

beberapa lingkaran. Terdapat kantung parenkimatosa dalam proglotida bunting,

masing-masing dengan satu atau beberapa telur (Levine, 1994). Railetina sp

berbentuk pipih seperti pita beruas-ruas, berwarna putih atau kekuning-kuningan.

Salah satu jenis panjang cacing dewasa sekitar 0,4 cm dan hanya mempunyai ruas

yang sedikit. Cacing pita tumbuh dengan membentuk ruas baru tepat dibelakang

kepala yang disebut skolek untuk melewatkan irinya ke dinding usus. Dengan

kelangsungan pertumbuhan cacing pita, ruas bagian ekor menjadi dewasa dan

putus dari rantai (Jasin, 1984).

2.3.2. ekstoparasit

2.3.2.1. Diptera Hippobosciae. Diptera Hippobosciae adalah lalat sumba yang

memiliki ukuran tubuh sekitar 10 mm, tubuhnya melebar dan pipih dorsoventral,

berwarna cokelat kemerahan dengan bercak kuning pucat pada bagian dorsal

toraksnya (Levine, 1994). Seluruh tubuhnya ditutupi oleh bulu pendek, memiliki

sepasang sayap yang kuat dengan vena anterior yang jelas dan antenanya tidak

berkembang, apabila ternak terinfeksi oleh Diptera Hippobosciae adalah tubuh

ternak akan lemas seperti kekurangan darah atau anemia karena lalat ini

menghisap darah (Hadi dan saviana, 2000).

Page 7: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

7

2.3.2.2. Gasterophilus intestinalis. Gasterophilus intestinalis termasuk ke dalam

kelas Insecta, ordo Diptera, sub ordo Cyclurrhopha, famili Gasterophilidae. Lalat

dewasa G. Intestinalis tidak ditemukan di Indonesia, tetapi banyak ditemukan di

negara empat musim. Lalat dewasanya merupakan lalat yang banyak mempunyai

bulu dan bagian mulutnya tidak berkembang serta tidak berfungsi. Warnanya

coklat menyerupai lebah. Panjang tubuhnya sekitar 81 mm, dan sayapnya

mempunyai pita melintang yang gelap tidak teratur (Hadi dan Saviana, 2000).

Gasterophilus intestinalis berwarna merah dan biasanya terdapat di ujung bagian

kardiaka lambung (Levine, 1994).

2.3.2.3. Hippobosca. Hippobosca termasuk ke dalam kelas Insecta, ordo Diptera,

sub ordo Cyclurrhopha, famili Hippoboscidae. Hippobosca adalah lalat sumba.

Lalat ini berukuran sekitar 10 mm, tubuhnya melebar dan pipih dorsoventral,

berwarna coklat merah dengan bercak kuning pucat pada bagian dorsal toraksnya.

Seluruh tubuh ditutupi bulu pendek, memiliki sepasang sayap yang kuat dengan

vena anterior yang jelas. Antenanya tidak berkembang (Hadi dan Saviana, 2000).

Famili Hippoboscidae ini merupakan lalat-lalat yang mempunyai integumen yang

seperti kulit mentah dan ruas-ruas perutnya tidak jelas (Levine, 1994).

Page 8: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

8

BAB III

MATERI DAN METODE

Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak dengan materi Teknik Anamnesa dan

Analisis Kondisi Peternakan dilaksanakan pada hari Sabtu, tangga 1 Mei 2010 di

desa Mangunharjo RT 02/01, Semarang. Materi mengenai Penilaian Kesehatan

Ternak dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 2 Mei 2010 di Kandang Ilmu

Ternak Potong dan Kerja, sedangkan untuk materi Pemeriksaan Parasit

dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 11 Mei 2010 di Laboratorium Ilmu

Kesehatan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1. Materi

3.1.1. Teknik anamnesa dan analisis peternakan rakyat

Bahan yang digunakan dalam praktikum Ilmu Kesehatan Ternak dengan

materi teknik anamnesa dan analisis peternakan rakyat yaitu kerbau rawa

(Bubalus bubalus) dan peralatan yang digunakan yaitu alat tulis untuk mencatat

data.

3.1.2. Penilaian Kesehatan Ternak

Bahan yang digunakan dalam praktikum Ilmu Kesehatan Ternak dengan

materi penilaian kesehatan ternak yaitu sapi peranakan ongole, sedangkan

peralatan yang digunakan yaitu stetoskop untuk mengetahui denyut nadi,

termometer rektal untuk mengukur suhu rektal, stop watch untuk menghiung

waktu pemeriksaan dan alat tulis untuk menulis data.

Page 9: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

9

3.1.3. Pemeriksaan Parasit

Bahan yang digunakan dalam praktikum Ilmu Kesehatan Ternak dengan

materi pemeriksaan parasit yaitu feses kerbau, preparat parasit dan larutan gula

jenuh. Peralatan yang digunakan meliputi mikroskop untuk mengamati preparat,

pipet untuk memipet larutan, setrifuge untuk pemeriksaan parasit dengan metode

sentrifuse, mortir, objek glass sebagai tempat preparat yang akan di analisis,

tabung reaksi, timbangan untuk menimbang sampe, kaca penutup digunakan

untuk menutup preparat.

3.2. Metode

3.2.1. Teknik anamnesa dan analisis kondisi peternakan rakyat

Melakukan wawancara kepada perawat ternak/pekerja kandang tentang

riwayat penyakit yang menyerang ternaknya. Mengamati dan menilai kondisi

peternakannya, terutama kondisi yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak.

Mencatat hasil wawancara dan hasil pengamatan.

3.2.2. Penilaian kesehatan ternak

Penilaian kesehatan ternak meliputi pengamatan tingkah laku ternak dan

pemeriksaan fisik. Pengamatan tingkah laku ternak dilakukan dengan cara

pengamatan dari kejauhan yang meliputi mengamati aktivitas ternak, aktivitas

makan, minum, dan ruminansi. Mengamati kondisi kesehatan pergerakan dari

anggota tubuh ternak seperti gerakan daun telinga, kibasan ekor, kepala, kulit

dibagian gumba yang aktif mengusir lalat, kemudian mengamati ternak dari dekat.

Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara mengukur suhu tubuh, frekuensi nafas,

denyut nadi dan gerakan rumen, kemudian diperlukan juga pengamatan pada gigi

ternak untuk mengetahui umur ternak tersebut dengan membuka mulut ternak

tersebut.

Page 10: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

10

3.2.3. Pemeriksaan parasit

3.2.3.1. Metode peparat. Menggambar awetan preparat macam-macam parasit

yang telah disediakan pada tabel yang telah tersedia

3.2.3.2. Metode natif. Mengambil sedkit feses (± 1-2 gram), ditaruh di atas obyek

glass. Menteteskan air dan meratakan dengan kaca penutup. Memeriksa dibawah

mikroskop dengan perbesaran 10 x 10.

3.2.3.2. Metode sentrifuse. Mengambil 2 gram feses dimasukkan ke dalam

mortir, kemudian menambahkan sedikit air dan mengaduk-aduk sampai larut

merata. Menuangkan ke dalam tabung sentrifuse hingga ¾ tabung. Memutar

dengan alat centrifuse selam 5 menit, kemudian membuang cairan jenuh yang

berada di atas endapan. Menuangkan gula jenuh diatas endapan sampai ¾ tabung

dan mengaduknya hingga tercampur merata. Memutar kembali dengan alat

sentrifuse selama 5 menit, kemudian tabung diletakkan di atas rak dalam posisi

tegak. Meneteskan gula jenuh diatas cairan dalam tabung sampai penuh meluber

atau permukaan cembung, membiarkan selama 3 menit. Menempelkan obyek

glass pada permukaan yang cembung dengan hati-hati, kemudian dengan cepat

obyek glass dibalik. Menutup obyek glass yang ditempati cairan dengan kaca

penutup. Memeriksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10.

Mencocokkan telur cacing tersebut dengan gambar standar.

Page 11: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

11

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Teknik Anamnesa dan Analisis Kondisi Peternakan

Pratikum ilmu kesehatan ternak dengan materi teknik anamnesa dan

analisis kondisi peternakan dilakukan dengan melakukan wawancara secara tidak

langsung terhadap pemilik ternak. Pemilik ternak bernama ibu Marminah. Ibu

Marminah tinggal di di desa Mangunharjo RT 02/01, Semarang. Ibu Marminah

mengenyam pendidikan sampai SD (sekolah dasar) saja. Ibu Marminah mulai

berternak mulai tahun 1980 yang dilakukan secara turun menurun. Dalam

memelihara hanya belajar secara otodidak tidak pernah mendapat tambahan

pendidikan baik itu berupa kursus maupun penyuluhan. Jumlah kerbau yang

dipelihara 9 ekor. Riwayat kejadian penyakit tanda-tandanya yaitu badan kejang-

kejang, nafsu makan menurun dan badan kaku. Perlakuan yang diberikan pada

ternak yang sakit adalah langsung di jual dengan harga yang murah dan tidak ada

perlakuan khusus untuk ternak yang sakit.

Ilustrasi 1. Gambar Kerbau

Lokasi kandang kerbau jauh dari pemukiman masyarakat dan jauh dari

keramaian. Kandang menggunakan sistem kandang terbuka, dimana kerbau hanya

diikat pada pohon-pohon yang ada di area kandang terbuka. Kapasitas kandang

Page 12: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

12

besar karena menggunakan kandang terbuka. Sumber air berasal dari air sungai

yang mengalir di dekat kandang kerbau. Sanitasi tidak pernah dilakukan karena

tempat pembuangan feses tidak ada. Dijelaskan oleh Subronto (1985) bahwa suatu

riwayat penyakit yang baik hanya dapat diperoleh dari seorang pengamat yang

baik pula. Pertanyaan-pertanyaan harus ditujukan kepada fakta-fakta penting yang

telah dicertakan atau terhadap gejala-gejala klinis yang telah diamati pemiliknya.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Sosroamidjojo (1981) menyatakan bahwa di daerah

pertanian, kandang kerbau ditempatkan di luar atau di dalam rumah peternak.

Kandang di luar rumah dibuat sangat sederhana dan dari bahan-bahan bangunan

yang amat sederhana, selain itu kerbau dapat dilepas di padangan tanpa diawasi,

orang membuat kandang terbuka yang hanya berfungsi untuk menjaga agar

kerbau-kerbau jangan sampai berkeliaran pada malam hari yang dapat merusak

tanaman atau dicuri orang.

4.2. Penilaian Kesehatan Ternak

4.2.1. Pengamatan tingkah laku ternak

Sapi Peranakan Ongole (PO) yang berumur 3 tahun dengan jenis kelamin

jantan, terlihat bahwa aktivitas ternak tersebut tergolong lincah sering bergerak.

Berdiri tegak dengan 4 kaki, tatapan matanya aktif, kondisi pemukaan sedikit

kusam karena tidak rutin dimandikan. Gerakan ekor, kepala, gumba, kaki dan

daun telinga normal. Lubang tubuh dalam kondisi normal. Gerakan nafas adalah

dada dan perut bergantian, nafsu makan dan minum normal dan cukup tinggi.

Ruminansi normal, kondisi feses yang keluar normal. Kondisi sapi PO seperti

yang disebutkan di atas dinyatakan normal. Hal ini sesuai pendapat Akoso (1996)

yang menyatakan bahwa, tingkah laku sapi memberikan gambaran tentang status

kesehatan sapi. Sapi yang sehat akan menampakkan gerakan yang aktif, sikapnya

sigap, selalu sadar dan tanggap terhadap perubahan situasi sekitar yang

mencurigakan. Sugeng (1998) menambahkan bahwa, kerbau yang sehat nafsu

makan dan minumnya cukup besar. Pembuangan kotoran dan air kencing berjalan

Page 13: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

13

lancar dan teratur. Bila terjadi gangguan pencernaan, gerakan perut besar dan

proses untuk memamah biak pun terhenti.

Ilustrasi 2. Kondisi Ternak Sapi

Ilustrasi 3. Tempat Pembuangan Feses

Ilustrasi 4. Keadaan Lingkungan

Page 14: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

14

4.2.2. Pemerikaan fisik ternak

Pemeriksaan fisik ternak dapat dilihat dari pupil mata normal, tidak ada

kotoran di mata. Suhu tubuh 38,9°C. Frekuensi nadi (pulsus) 64 kali per menit.

Frekuensi nafas 28 kali per menit. Data di atas menunjukkan bahwa kondisi sapi

dalam keadaan sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (2004) yang

menyatakan bahwa pulsus ditentukan dari arteri ekor atau muka sapi, kadang-

kadang frekuensi pulsus lebih mudah ditentukan dengan jalan memeriksa detak

jantung. Frekuensi pulsus permenit bagi ternak sapi 60-80. Kisaran suhu yang

normal pada jenis ternak sapi adalah 37oC-39oC (Williamson dan Payne, 1993).

Frekuensi nafas sapi normal berkisar antara 12-37 kali/menit (Akoso, 1996).

4.2.3. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi kesehatan kernak

Kondisi yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak antara lain bangunan

kandang, sanitasi, pembuangan kotoran, pakan dan minum. Bangunan kandang

jauh dari tempat tinggal penduduk. Atap kandang dibuat dari bahan genteng

karena memadai untuk kandang pada daerah yang bersuhu relatif tinggi. Lantai

tidak licin dan tidak memungkinkan adanya genangan air sehingga sapi tidak

mudah terpeleset. Hal ini sesuai dengan pendapat Santosa (1995) yang

menyatakan bahwa segi lokasi kandang harus jauh dari pemukiman penduduk,

dekat dengan sumber pakan dan sumber minum serta dekat dengan sarana

transportasi dan komunikasi. Abidin (1992) menambahkan juga bahwa lantai

kandang harus dibuat dengan memperhatikan kemudahan dalam melakukan

pembersihan, memandikan dan tidak licin, sedangkan untuk atap dibuat dari

bahan yang ringan tetapi daya tahannya kuat dan mampu menjaga kehangatan di

dalam kandang. Atap seng cukup baik di daerah dingin dan atap genteng baik

untuk daerah yang mempunyai suhu yang relatif tinggi.

Jarak kandang dengan tempat pembuangan kotoran terlalu dekat kurang

dari 10 meter, jarak kandang yang terlalu dekat dengan pembuangan kotoran

dapat menyebabkan banyaknya lalat dan timbulnya bibit penyakit. Hal ini sesuai

Page 15: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

15

dengan pendapat Sugeng (2008) yang menyatakan bahwa pembuangan feses harus

jauh dari kandang minimal 10 meter dari kandang. Sanitasi kandang juga kurang

baik sehingga kandang terlihat masih kotor. Hal ini sesuai dengan pendapat

Siregar (2008), yang menyatakan bahwa kebersihan kandang harus tetap dijaga,

kotoran sapi harus selalu dibuang pada tempat yang telah disediakan.

4.3. Pemeriksaan Telur Cacing

Berdasarkan pemeriksaan telur cacing yang telah dilaksanakan, dapat

diketahui bahwa pada ternak kerbau yang telah diamati dalam keadaan sehat. Hal

ini ditunjukkan dari hasil pengamatan feses kerbau yang bersifat negatif yang

berarti pada ternak tersebut tidak terjangkit penyakit karena tidak ditemukan

tanda-tanda terdapatnya cacing pada feses tersebut. Pengamatan pada feses kerbau

ini menggunakan dua metode yaitu metode natif dan metode sentrifuse, keduanya

menunjukkan hasil yang negatif. Kerbau mempunyai daya tahan tubuh yang lebih

tinggi dibandingkan dengan sapi, termasuk juga daya tahan tubuhnya terhadap

parasit, kerbau tidak menunjukkan gejala-gejala sakit seperti sapi, biasanya kerbau

terserang penyakit tetapi tidak menampakkan gejala jika terserang penyakit. Hal

ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan

bahwa penyakit-penyakit virus, bakteri dan parasit yang umum terdapat pada

kerbau mirip yang timbul pada sapi, tetapi kepekaan kerbau dan sapi terhadap

penyakit-penyakit tersebut adalah berbeda.

4.4. Pemeriksaan Parasit

4.4.1. Metastrongylus

Metastrongylus merupakan endoparasit yang dapat menyerang saluran

pernafasan hewan khususnya pada babi. Penyakit bersumber dari cacing yang

dapat menyebabkan gangguan pada sistem pencernaan pada ternak. Memiliki

bentuk yang bulat dan berwarna coklat kehitaman. Hal ini sesuai dengan

Page 16: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

16

Brotowidjaya (1987) yang menyatakan bahwa Metastrongylus merupakan cacing

paru yang bersarang pada babi yang berada pada saluran pernafasannya dan dapat

mengakibatkan ternak lama-kelamaan mati karena tidak ada penanganan cepat.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Levine (1994) bahwa tanda-tanda apabila ternak

terinfeksi oleh Metastrongylus adalah ternak akan sesak nafas yang disertai

dengan batuk, badan kurus kering, nafsu makan turun dan hidung berlendir.

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Sumber : http://www.fsbio- hannover.de Kesehatan Ternak, 2010.

Ilustrasi 5. Metastrongylus sp

4.4.2. Raillietina sp.

Railietina sp berbentuk pipih seperti pita dan memiliki tubuh beruas-ruas,

selain itu tubuhnya mempunyai banyak proglotida berwarna putih, atau kekuning-

kuningan, panjang cacing dewasa dapat mencapai 0,4 cm. Hal ini sesuai dengan

pendapat Jasin (1984), yang menyatakan Railetina sp berbentuk pipih seperti pita,

tubuhnya beruas-ruas, berwarna putih atau kekuning-kuningan. Salah satu jenis

panjang cacing dewasa sekitar 0,4 cm dan hanya mempunyai ruas yang sedikit.

Cacing ini akan menghisap darah pada tubuh ternak umumnya dapat menyerang

pada ayam sehingga dapat mengakibatkan ternak akan kekurangan darah.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Levine (1994) yang menyatakan bahwa terdapat

restelum dengan kait berbentuk palu yang tersusun dalam lingkaran ganda. Alat

penghisap darah kadang-kadang dilengkapi dengan kait yang kecil dan

bergenerasi yang tersusun dalam beberapa lingkaran. Terdapat pula kantung

Page 17: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

17

parenkimatosa dalam proglotida bunting, masing-masing dengan satu atau

beberapa telur.

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Sumber : http://www.fsbio- hannover.de Kesehatan Ternak, 2010.

Ilustrasi 6. Raillietina sp

4.4.3. Diptera Hippobosciae

Diptera Hippobosciae merupakan jenis ektoparasit yang memiliki

karakteristik antara lain mempunyai sepasang sayap pada bagian tubuhnya,

berwarna coklat kemerahan, memiliki antenna pada kepalanya yang pendek,

memiliki 3 pasang kaki, perutnya bulat. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi dan

saviana (2000) yang menyatakan bahwa Diptera Hippobosciae adalah lalat sumba

yang berukuran sekitar 10 mm, tubuhnya melebar dan pipih dorsoventral,

berwarna cokelat merah dengan bercak kuning pucat pada bagian dorsal

toraksnya. Dijelaskan lebih lanjut oleh Levine (1994) bahwa seluruh tubuhnya

ditutupi oleh bulu-bulu pendek, memiliki sepasang sayap yang kuat pada

tubuhnya dengan vena anterior yang jelas dan antenanya tidak berkembang.

Akibat yang terjadi jika ternak diserang oleh Diptera Hippobosciae adalah ternak

akan terlihat lemas seperti kekurangan darah atau anemia karena Diptera

Hippobosciae ini menghisap darah pada ternak yang dihinggapinya.

Page 18: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

18

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Sumber:www.entomology.ualberta.ca Kesehatan Ternak, 2010.

Ilustrasi 7. Diptera Hippobosciae

4.4.4. Gasterophilus intestinalis

Gasterophilus intestinalis mepunyai karakteristik antara lain tubuh yang

berbuku-buku dan mempunyai dua sayap kecil pada bagian kanan dan kiri

tubuhnya, badan bagian belakang memanjang, berwarna coklat, antena tidak

berkembang, memiliki 3 pasang kaki. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi dan

Saviana (2000) yang menyatakan bahwa Gasterophilus intestinalis termasuk ke

dalam kelas Insecta, ordo Diptera, sub ordo Cyclurrhopha, famili

Gasterophilidae. Gasterophilus intestinalis saat dewasanya merupakan lalat yang

banyak mempunyai bulu pada bagian tubuhnya dan bagian mulutnya tidak

berkembang serta tidak berfungsi. Warnanya coklat menyerupai lebah. Panjang

tubuhnya sekitar 81 mm, dan sayapnya mempunyai pita melintang yang gelap

tidak teratur. Dijelaskan lebih lanjut oleh Levine (1994) yang menyatakan bahwa

Gasterophilus intestinalis berwarna merah dan biasanya terdapat di ujung bagian

kardiaka lambung.

Page 19: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

19

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.entomology.ualberta.ca Kesehatan Ternak, 2010.

Ilustrasi 8. Gasterophilus intestinalis

4.4.3. Hippobosca

Hippobosca memiliki karakteristik tubuh yang berkuku-buku dengan

warna kulit coklat muda, mempunyai 3 pasang kaki dengan 2 pasang kaki

menghadap ke depan dan sepasang kaki menghadap ke belakang, tubunya bulat,

antenna tidak berkembang. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi dan Saviana

(2000) yang menyatakan bahwa Hippobosca adalah lalat sumba. Lalat ini

berukuran sekitar 10 mm, tubuhnya melebar dan pipih dorsoventral, berwarna

coklat merah dengan bercak kuning pucat pada bagian dorsal toraksnya. Seluruh

tubuh ditutupi bulu pendek, memiliki sepasang sayap yang kuat dengan vena

anterior yang jelas. Antenanya tidak berkembang. Levine (1994) menyatakan

bahwa famili Hippoboscidae ini merupakan lalat-lalat yang mempunyai

integumen yang seperti kulit mentah dan ruas-ruas perutnya tidak jelas. Lebih

lanjut dijelaskan bahwa lalat ini menghisap darah dan kadang-kadang mempunyai

sayap.

Page 20: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

20

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.entomology.ualberta.ca Kesehatan Ternak, 2010.

Ilustrasi 9. Hippoboscidae

Page 21: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

21

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Peternak mampu mengidentifikasi kesehatan ternak dan mampu

melakukan pengobatan bagi ternak yang sakit. Kebersihan kandang selalu dijaga

sehingga menghasilkan ternak dengan performans yang bagus. Penyakit yang

sering dialami oleh kerbau rawa (Bubalus bubalus) antara lain kembung dan

penyakit kulit (scabies) namun peternak sudah mampu melakukan pengobatan.

Berdasarkan pengamatan bernagai jenis parasit pada ternak disimpulkan

bahwa parasit terbagi menjadi dua yaitu Endoparasit dan Ektoparasit. Yang

tergolong Endoparasit antara lain Raillietina sp dan Metastrongylus. Sedangkan

yang tergolong Ektoparasit antara lain Diptera hippobosciae, Rhipicephalus dan

Ctenocepahlides canis.

Materi penilaian kesehatan ternak dapat disimpulkan bahwa keadaan

fisiologis dan tingkah laku ternak yang diamati dalam keadaan sehat. Kondisi

lingkungan ternak juga dalam keadaan baik.

5.2. Saran

Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak sebaiknya tidak dalam keadaan

kotor serta lantai tidak tergenang air dan alat yang disediakan lebih banyak.

Penentuan jenis ternak untuk praktikum sebaiknya praktikan memilih undian

langsung, tidak ditentukan asisten.

Page 22: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

22

DAFTAR PUSTAKA

Akoso. 1996. Kesehatan Ternak. Kanisius, Yogyakarta.

Blakely, J and Bade, H.D. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan oleh B. Srigandono dan Soedarsono).

Brotowijaya, M. D. 1987. Parasit dan Parasitisme. Melton Putra, Jakarta.

Jasin, M. 1984. Sistematika Hewan (Invertebrate dan Vertebrata). Sinar Jaya, Surabaya.

Levine, D. N. 1994. Veteriner. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hadi, U. K dan Saviana, S. 2000. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis, dan Pengendaliannya. Institute Pertanian Bogor, Bogor.

Murti, T. W. 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Kanisus, Yogyakarta.

Murtidjo. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta.

Murtidjo. 1993. Memelihara Domba. Kanisius, Yogyakarta.

Siregar, S. B. 2008. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sosroamidjojo, S. 1981. Ternak Potong dan Kerja. Yasaguna, Jakarta

Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sugeng, B dan Sudarmono A. 2008. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.

Williamson, G. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan oleh S.G.N.D. Darmadja).

www.entomology.ualberta.ca. Tanggal Akses : 20 Mei 2010 jam 16.47 WIB.

www. fsbio-hannover.de. Tanggal Akses : 20 Mei 2010 jam 16.49 WIB.

Page 23: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

23

Lampiran 2. Teknik Anamnesa dan Analisis Usaha Peternakan Rakyat

Tabel 1. Identitas PeternakParameter HasilNama Pemilik MarminahAlamat Mangunharjo RT 02/01Pendidikan Akhir SDPendidikan Peternakan Tidak pernahMulai Memelihara Tahun 1980Jumlah Ternak 9 ekorRiwayat penyakit Terjadi tiba-tibaTanda sakit Tidak nafsu makan, badan kaku, kejangPenanganan sakit DijualPencegahan Tidak ada pencegahan khusus pada ternak yang

sakit.Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.

Page 24: Laporan IKT Draft 3.Word 2003

24

Lampiran 3. Penilaian Kesehatan Ternak

Tabel 2. Pengamatan Tingkah Laku Ternak dari JauhParameter HasilGerakan Ternak LincahPosisi Berdiri Normal (4 kaki bertumpu)Anggota Gerak Tubuh Kepala, Telinga, Ekor, Kaki, Pandangan Mata : Aktif

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.

Tabel 3. Pemeriksaan Fisiologis TernakKeterangan Sapi1 Sapi 2

Temperatur tubuh 38ºC 38ºCKecepatan Pernafasan 32 kali/menit 36 kali/menitDetak jantung 60 kali/menit 73 kali/menitGerakan ususKontraksi rumenSuara paru-paruPerasaan bila ditekan a. perut b. kepalaPupil mata

Normal4 kali/menit

Normal

Tidak sakitTidak sakit

Cerah

Normal5 kali/menit

Normal

Tidak sakitTidak sakit

Cerah Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.

Tabel 4. Kondisi TernakParameter HasilJumlah Ternak 9 ekorKepadatan Kandang 4 ekor/kandangPemisahan Umur Tidak adaRecording Tidak adaKondisi Kesehatan Ternak BaikGejala sakit yang terlihat Tidak nafsu makan, lemas

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.