bab i spadan ligitan

7
 Page 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sengketa Sipadan dan Ligitan dimulai dari pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°652.86N 118°3743.52E /4 .1146833°N 118.6287556°E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9N 118°53E /4 .15°N 118.883°E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi A SEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi t idak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya. Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama

Upload: dian-octaviani

Post on 14-Apr-2018

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I Spadan Ligitan

7/30/2019 BAB I Spadan Ligitan

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-spadan-ligitan 1/7

 Page 1 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang

Sengketa Sipadan dan Ligitan dimulai dari pertemuan teknis hukum laut antara

kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau

Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah

persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang

berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan

koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E /4 .1146833°N 118.6287556°E dan pulau

Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E /4 .15°N 118.883°E.

Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN

namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum

Mahkamah Internasional. 

Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan

status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia

membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karenaMalaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai

persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status

ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan

atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak

memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau

TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama

ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan

Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama

Page 2: BAB I Spadan Ligitan

7/30/2019 BAB I Spadan Ligitan

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-spadan-ligitan 2/7

 Page 2 

anggota ASEAN akan tetapi pihak

Malaysia menolak beralasan karena

terlibat pula sengketa dengan

Singapura untuk klaim pulau Batu 

Puteh , sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa

kepulauan  Spratley di Laut Cina

Selatan dengan Brunei Darussalam,

Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan.

Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu

menempatkan sepasukan polisi hutan

(setara Brimob) melakukan pengusiran

semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaimatas kedua pulau.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penyelesaian Sengketa

A. Secara Bilateral

Tiga tahun kemudian (1992) kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini

secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil

pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan

kelompok Kerja Bersama (Joint Commission /JC & Joint Working 

Groups /JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan

tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebuntuan. Pemerintah RI menunjuk

Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim

sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum

JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak

pernah mencapai hasil kesepakatan.

Page 3: BAB I Spadan Ligitan

7/30/2019 BAB I Spadan Ligitan

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-spadan-ligitan 3/7

 Page 3 

B. Mahkamah Internasional

Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan

PM. Mahathir menyetujui rekomendasiwakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei1997 disepakati “Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia 

& Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI)pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MImulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di

tangan RI.

Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisimasing-masing melalui “Written pleading “ kepada Mahkamah Memorial pada 2Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial ” pada 2 Agustus 2000 dan “reply ” pada 2Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada3–12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatasIndonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagaiinstitusi . Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selainitu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan.

ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir,mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteriapembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance 

dan ecology preservation ”. Dalam amar keputusannya, Mahkamah Internasionalmemutuskan bahwa “Indonesia’s argument that it was successor to the Sultanate ofBulungan … cannot be accepted”. Sementara itu, Mahkamah Internasional jugamenegaskan bahwa “Malaysia’s argument that it was successor to the Sultan of 

S ulu … cannot be upheld”. 

C. Dasar Pertimbangan Mahkamah Internasional 

Mahkamah kemudian menyatakan bahwa ukuran yang obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan menerpakan doktrineffective occupation . Dua aspek penting dalampenentuan effective occupation ini adalah keputusanadannya cut-off date atau sering disebut critical 

date dan bukti-bukti hukum yang ada.

Page 4: BAB I Spadan Ligitan

7/30/2019 BAB I Spadan Ligitan

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-spadan-ligitan 4/7

 Page 4 

Critical date yang ditentukan oleh Mahkamah Internasional adalah 1969. Artinyaadalah semua kegiatan setelah tahun 1969 seperti pembangunan resort dianggaptidak berdampak hukum sama sekali. Mahkamah hanya melihat bukti hukum sebelum1969. Dalam kaitan ini perlu digarisbawahi bahwa Federasi Malaysia baru terbentuksecara utuh dengan Sabah sebagai salah satu negara bagiannya pada 16 September1963.

Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri Mahkamah Internasional yang

terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada

pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia danfaktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulautersebut.

Mahkamah Internasional dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi

Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yangdiperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysiabahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudiandiserahkan kepada Malaysia berdasarkan teori rantai kepemilikan (Chain of Title 

Theory ). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yangdiajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet inimemuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.

Mahkamah Internasional juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau

sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkanpenafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas4° 10′ LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus kearah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terimaMahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidakterdapat dalam Memori van Toelichting . Peta Memori van Toelichting yangmemberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebutdinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi1891. Mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulausengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai

bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah KolonialBelanda.

D. Pertimbangan Putusan Mahkamah Internasionala)  Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah

menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkankedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pulahalnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapatmenunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia

Page 5: BAB I Spadan Ligitan

7/30/2019 BAB I Spadan Ligitan

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-spadan-ligitan 5/7

 Page 5 

atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapatmengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yangditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awalbagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara, juga tidakmemasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia.

b)  Berkaitan dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamahmenyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanyaberagam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yangdilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upayaInggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial,dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :

i.  Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu danpengumpulan telur penyu sejak 1917.

ii.  Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu diP. Sipadan pada tahun 1930-an;

iii.  Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, daniv.  Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di P.

Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan

E. Pembuktian masing-masing Negara di Mahkamah Internasional 

Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti

 yang diajukan kedua negara, yakni:

1.  Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini daritahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadanpada November-December 1921; dan adanyasurvei hidrografi kapal Belanda Macasser diperairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan olehpatroli TNI-AL. Selain itu, bukti yangdiajukan adalah adanya kegiatan perikanan

nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960andan bahkan awal 1970an.

2.  Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa buktihukum Inggris yakni Turtle PreservationOrdinance 1917; perijinan kapal nelayankawasan Sipadan Ligitan; regulasi suakaburung tahun 1933 dan pembangunan suarpada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalahproduk hukum pemerintah kolonial Inggris,bukan Malaysia.

Page 6: BAB I Spadan Ligitan

7/30/2019 BAB I Spadan Ligitan

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-spadan-ligitan 6/7

 Page 6 

F. Putusan Mahkamah Internasional 

Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskanbahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitansebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulauSipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal inimerupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangiperompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim.

Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa“activities by private persons cannot be seen as effectivitè, if they do not take place on 

the basis of official regulations or under governmental authority ” Oleh karena kegiatantersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau dibawah otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidakbisa dijadikan dasar sebagai adanya effective occupation .

Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukanbukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan buktiberupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagaiperaturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name ”. 

Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwanegara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkankeberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation ,tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumenhukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dariisi kegiatannya. Keputusan ini juga tidak memberikan makna hukum terhadappembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan juga kegiatanperikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan perundang-undangan.

Perlu digarisbawahi bahwa bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatanBelanda dan Indonesia melawan buktihukum Inggris. Jadi dari segi kacamatahukum internasional, Malaysiamendapatkan pulau-pulau tersebutbukan atas kegiatannya sendiri tetapiatas kegiatan hukum Inggris yangdilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962dan 1963 jauh sebelum Federasi

Malaysia dengan keanggotaan Sabahdibentuk pada 16 September 1963.

Page 7: BAB I Spadan Ligitan

7/30/2019 BAB I Spadan Ligitan

http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-spadan-ligitan 7/7

 Page 7 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

sengketa ini dimenangkan oleh Malaysia berdasarkan asas effective occupation yang

menjelaskan bahwa pemerintahan Malaysia telah menjalankan aktifitas administrasi

negera berupa pemungutan pajak atas tanah dan benda lainya dan juga menjalankan

beberapa aktifitas lainnya. Menurut Mahkamah Internsional Effective occupation  

sebagai suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan

pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang dianggap

tak bertuan dan disengketakan oleh negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan

kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau

registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas. Jadi mahkamah internasional

menetapkan kepemilikan dua pulau tersebut kepada Malaysia

Daftar Pustaka 

Sumardiman,Adi.2002.Sipadan dan Ligitan . Jakarta: SK Kompas.

Workala,Frans.2002. Sumber Kekayaan Alam Daerah Perbatasan Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional. Jakarta: Taskap KSA X Lemhannas

Djalal,Hasjim.2003. Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan. Jakarta: SK Kompas

http://ieiepp.blog.esaunggul.ac.id/2012/03/26/kasus-sipadan-ligitan/ Diakses tanggal28 mei 2013

http://eztrellaz.wordpress.com/2013/01/31/contoh-kasus-yang-ditangani-mi/ Diakses

tanggal 27 mei 2013