bab i i tinjauan pustaka

57
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karateristik Sapi Bali Bangsa (breed)) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, ternak-ternak tersebut dapat dibedakan dengan ternak lainnya meskipun masih dalam jenis hewan (species) yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut Blakely dan Bade (1992), Romans et al. (1994) sapi bali mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mamalia Sub class : Theria Infra class : Eutheria Ordo : Artiodactyla

Upload: rahimtiarnadia

Post on 22-Nov-2015

30 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

cdf

TRANSCRIPT

6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karateristik Sapi Bali

Bangsa (breed)) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, ternak-ternak tersebut dapat dibedakan dengan ternak lainnya meskipun masih dalam jenis hewan (species) yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya.

Menurut Blakely dan Bade (1992), Romans et al. (1994) sapi bali mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :

Phylum

: Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mamalia

Sub class : Theria

Infra class : Eutheria

Ordo : Artiodactyla

Sub ordo : Ruminantia

Infra ordo : Pecora

Famili : Bovidae

Genus : Bos (cattle)

Group : Taurinae

Spesies : Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)

Dinamakan Sapi Bali karena memang penyebaran populasi bangsa sapi ini terdapat di pulau bali. Sapi bali (Bos sondaicus) adalah salah satu bangsa sapi asli dan murni Indonesia, yang merupakan keturunan asli banteng (Bibos banteng) dan telah mengalami proses domestikasi yang terjadi sebelum 3.500 SM, sapi bali asli mempunyai bentuk dan karakteristik sama dengan banteng. Sapi Bali dikenal juga dengan nama Balinese cow yang kadang-kadang disebut juga dengan nama Bibos javanicus, meskipun sapi bali bukan satu subgenus dengan bangsa sapi Bos taurus atau Bos indicus. Berdasarkan hubungan silsilah famili Bovidae, kedudukan sapi Bali diklasifikasikan ke dalam subgenus Bibovine tetapi masih termasuk genus bos. Payne dan Rollinson (1973) menyatakan bahwa bangsa sapi ini diduga berasal dari pulau Bali, karena pulau ini sekarang merupakan pusat penyebaran/distribusi sapi untuk Indonesia, karena itu dinamakan sapi bali dan tampaknya telah didomestikasi sejak jaman prasejarah 3500 SM

Gambar 2.1.1 Sapi Bali Jantan dan Betina

Ditinjau dari sejarahnya, sapi merupakan hewan ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat petani di Bali. Sapi bali sudah dipelihara secara turun menurun oleh masyarakat petani Bali sejak zaman dahulu. Petani memeliharanya untuk membajak sawah dan tegalan, serta menghasilkan pupuk kandang yang berguna untuk mengembalikan kesuburan tanah pertanian

Secara fisik, sapi bali mudah dikenali karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Warna bulunya pada badannya akan berubah sesuai usia dan jenis kelaminnya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada saat masih pedet, bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah dewasa sapi bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi bali betina. Warna bulu sapi bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata kembali apabila sapi bali jantan itu dikebiri, yang disebabkan pengaruh hormon testosterone.

2. Kaki di bawah persendian telapak kaki depan (articulatio carpo metacarpeae) dan persendian telapak kaki belakang (articulatio tarco metatarseae) berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih juga dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Kadang-kadang bulu putih terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan bintik-bintik putih) yang merupakan kekecualian atau penyimpangan yang ditemukan sekitar kurang daripada 1% . Bulu sapi bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap.

3. Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang.

4. Badan padat dengan dada yang dalam.

5. Tidak berpunuk dan seolah-olah tidak bergelambir

6. Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau. 7. Pada tengah-tengah (median) punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor. 8. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam

9. Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam

Ditinjau dari karakteristik karkas dan bentuk badan yang kompak dan serasi, sapi bali digolongkan sapi pedaging ideal, bahkan nilai mutu dagingnya lebih unggul daripada sapi pedaging Eropa seperti Hereford, Shortorn (Murtidjo, 1990). Oleh karena itu dianggap lebih baik sebagai ternak pada iklim tropik yang lembab karena memperlihatkan kemampuan tubuh yang baik dengan pemberian makanan yang bernilai gizi tinggi (Williamson dan Payne, 1993). Sedangkan Saka et.al (2005) melaporkan untuk karkas sapi bali jantan (beef) tidak ideal karena perempatan karkas depan (nilai ekonominya lebih rendah) lebih besar (52%) daripada perempatan karkas belakang (48%), kecuali kalau dikastrasi ketika masih pedet. Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam suatu populasi. Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi, di antara individu tersebut. Keragaman pada sapi bali dapat dilihat dari ciri-ciri fenotipe yang dapat diamati atau terlihat secara langsung, seperti tinggi, berat, tekstur dan panjang bulu, warna dan pola warna tubuh, perkembangan tanduk, dan sebagainya.

Sapi bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (Banteng). Warna sapi betina dan anak atau muda biasanya coklat muda dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan adalah coklat ketika muda tetapi kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas. (Hardjosubroto dan Astuti, 1993)

Di samping pola warna yang umum dan standar, pada sapi bali juga ditemukan beberapa pola warna yang menyimpang seperti dikemukakan Hardjosubroto dan Astuti (1993), yaitu

1. Sapi injin adalah sapi bali yang warna bulu tubuhnya hitam sejak kecil, warna bulu telinga bagian dalam juga hitam, pada yang jantan sekalipun dikebiri tidak terjadi perubahan warna.2. Sapi mores adalah sapi bali yang semestinya pada bagian bawah tubuh berwarna putih tetapi ada warna hitam atau merah pada bagian bawah tersebut.3. Sapi tutul adalah sapi bali yang bertutul-tutul putih pada bagian tubuhnya.4. Sapi bang adalah sapi bali yang kaos putih pada kakinya berwarna merah.5. Sapi panjut adalah sapi bali yang ujung ekornya berwarna putih.6. Sapi cundang adalah sapi bali yang di dahinya berwarna putih.Abidin (2008) menyatakan bahwa kemampuan reproduksi sapi bali adalah terbaik di antara sapi-sapi lokal di Indonesia, karena sapi bali bisa beranak setiap tahun. Dengan manajemen yang baik penambahan berat badan harian bisa mencapai 0,7 kg per hari. Keunggulan yang lain bahwa sapi bali mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru, sehingga sering disebut ternak perintis.

2.2 Tata Cara Pemeliharaan Pedet Sapi Bali

Pedet adalah anak sapi yang baru lahir hingga umur 8 bulan. Selama 3-4 hari setelah lahir pedet harus mendapatkan kolostrum dari induknya, karena pedet belum mempunyai anti bodi untuk resistensi terhadap penyakit. Setelah dipisahkan dari induk sapi, barulah pedet dilatih mengkonsumsi suplemen makanan sedikit demi sedikit sehingga pertumbuhanya optimal (Sanuri, 2010). Pada saat lahir pedet memiliki ukuran tubuh yang kecil, tetapi dengan ukuran kepala yang relatif besar dengan kaki yang panjang. Hal ini disebabkan oleh karena proses pertumbuhan bagian tubuh yang memang berbeda-beda. Pada saat pedet lahir pencapaian berat badan baru mencapai sekitar 8%. Secara berurutan yang tumbuh atau terbentuk setelah lahir adalah saraf, kerangka, dan otot yang menyelubungi seluruh kerangka. Semua itu sudah terbentuk sejak dalam kandungan. Kepala dan kaki merupakan bagian tubuh yang tumbuh paling awal daripada bagan tubuh yang lain, sedangkan bagian punggung pinggang dan paha baru tumbuh kemudian. Jika dibandingkan dengan ternak sapi dewasa, pedet relatif kakinya lebih tinggi dan dadanya lebih sempit. Kaki belakang lebih panjang daripada kaki depan Badannya lebih pendek atau dangkal dan tipis (krempeng) serta ukuran kepalanya lebih pendek. Semakin bertambah umurnya semakin memanjang ukuran kepalanya (Dunia Sapi 2011).

Manajemen pemeliharaan pedet merupakan salah satu bagian dari proses penciptaan bibit sapi yang bermutu. Untuk itu maka sangat diperlukan penanganan yang benar mulai dari sapi itu dilahirkan sampai mencapai usia sapih/dara. Penanganan pedet pada saat lahir : semua lendir yang ada dimulut dan hidung harus dibersihkan demikian pula yang ada pada tubuhnya menggunakan handuk yang bersih. Buat pernapasan buatan bila pedet tidak bisa bernapas. Potong tali pusarnya sepanjang 10 cm dan diolesi dengan iodium untuk mencegah infeksi lalu diikat. Berikan jerami kering sebagai alas. Beri kolostrum secepatnya paling lambat 30 menit setelah lahir (Sanuri, 2010). Setelah lahir pedet harus segera mendapatkan kolostrum dari induknya, karena tingkat kematian dapat mencapai 16-20%, 3-4 hari setalah lahir pedet perlu mendapatkan perhatian tata cara pemeliharaan. Khusus pada periode kolostrum pedet belum bisa mengasilkan antibodi (Imonoglubulin) di minggu pertama setelah kelahiran dan harus mendapatkan dari kolostrum agar tahan terhadap serangan penyakit. Kolostrum juga berfungsi sebagai laxative (urus-urus) untuk mengeluarkan kotoran sisa-sisa metabolisnme. Pemeliharaan pedet secara alami dapat dilakukan dengan membiarkan pedet selalu bersama induknya sampai dengan pedet disapih umur 6 8 bulan, baik saat digembalakan maupun didalam kandang (Dunia Sapi 2011).

G

Gambar 2.3.1 Pedet Sapi Bali

Balai Embrio Ternak (2011) melaporkan bahwa. untuk dapat melaksanakan program pemberian pakan pada pedet, ada baiknya kita harus memahami dulu susunan dan perkembangan alat pencernaan anak sapi. Perkembangan alat pencernaan ini yang akan menuntun bagaimana langkah-langkah pemberian pakan yang benar.

Sejak lahir anak sapi telah mempunyai 4 bagian perut, yaitu : rumen (perut handuk), retikulum (perut jala), omasum (perut buku) dan abomasum (perut sejati). Pada awalnya saat sapi itu lahir hanya abomasum yang telah berfungsi, kapasitas abomasum sekitar 60 % dan menjadi 8 % bila nantinya telah dewasa. Sebaliknya untuk rumen semula 25 % berubah menjadi 80 % saat dewasa. Waktu kecil pedet hanya akan mengkonsumsi air susu melalui oesophageal groove yaitu langsung dari krongkongan (oesophagus) ke abomasum sedikit demi sedikit dan secara bertahap anak sapi akan mengkonsumsi calf starter (konsentrat untuk awal pertumbuhan yang padat akan gizi, rendah serat kasar dan bertekstur lembut) dan selanjutnya belajar menkonsumsi rumput. Pada saat kecil, alat pencernaan berfungsi mirip seperti hewan monogastrik.

Pada saat pedet air susu yang diminum akan langsung disalurkan ke abomasum, berkat adanya saluran yang disebut Oesophageal groove. Saluran ini akan menutup bila pedet meminum air susu, sehingga susu tidak jatuh ke dalam rumen. Bila ada pakan baik konsentrat atau rumput, saluran tersebut akan tetap membuka, sehingga pakan padat jatuh ke rumen. Proses membuka dan menutupnya saluran ini mengikuti pergerakan refleks. Semakin besar pedet, maka gerakan reflek ini semakin menghilang. Selama 4 minggu pertama sebenarnya pedet hanya mampu mengkonsumsi pakan dalam bentuk cair.

Zat-zat makanan atau makanan yang dapat dicerna pada saat pedet adalah : protein air susu casein, lemak susu atau lemak hewan lainnya, gula-gula susu (laktosa, glukosa), vitamin dan mineral. Ia mampu memanfaatkan lemak terutama lemak jenuh seperti lemak susu, lemak hewan, namun kurang dapat memanfaatkan lemak tak jenuh misalnya minyak jagung atau kedelai. Sejak umur 2 minggu pedet dapat mencerna pati-patian, setelah itu secara cepat akan diikuti kemampuan untuk mencerna karbohidrat lainnya (namun tetap tergantung pada perkembangan rumen). Vitamin yang dibutuhkan pada saat pedet adalah vitamin A, D dan E. Pada saat lahir vitamin-vitamin tersebut masih sangat sedikit yang terkandung di dalam kolostrum sehingga perlu diinjeksi ketiga vitamin itu pada saat baru lahir.

Dalam kondisi normal, perkembangan alat pencernaan dimulai sejak umur 2 minggu. Populasi mikroba rumennya mulai berkembang setelah pedet mengkonsumsi pakan kering dan menjilat-jilat tubuh induknya. Semakin besar pedet maka pedet tersebut akan mencoba mengkonsumsi berbagai jenis pakan dan akan menggertak komponen perutnya berkembang dan mengalami modifikasi fungsi. Anak sapi / pedet dibuat sedikit lapar, agar cepat terangsang belajar makan padatan (calf starter). Pedet yang baru lahir mempunyai sedikit cadangan makanan dalam tubuhnya. Bila pemberian pakan sedikit dibatasi (dikurangi), akan memberikan kesempatan pedet menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi pakan, tanpa terlalu banyak mengalami cekaman.

Tahap mencapai alat pencernaan sapi dewasa umunya pada umur 8 minggu, namu pada umur 8 minggu kapasitas rumen masih kecil, sehingga pedet belum dapat mencerna rumput atau pakan kasar lainnya secara maksimal. Umur mencapai tahapan ini sangat dipengaruhi oleh tipe pakannya (yaitu berapa lama dan banyak air susu diberikan, serta kapan mulai diperkenalkan pakan kering). Setelah disapih, pedet akan mampu memanfaatkan protein hijauan dan setelah penyapihan perkembangan alat pencernaan sangat cepat.

Jenis bahan pakan untuk anak sapi dapat digolongkan menjadi 2 yaitu: pakan cair/likuid : kolostrum, air susu normal, milk replacer, dan pakan padat/kering : konsentrat pemula (calf starter). Agar pemberian setiap pakan tepat waktu dan tepat jumlah, maka karakteristik nutrisi setiap pakan untuk pedet perlu diketahui sebelumnya. Penggunaan makanan produksi pabrik sebagai pengganti susu bisa dimulai sejak sapi berusia 10 hari, kemudian diganti setelah mencapai umur 4 minggu (Murtidjo, 1990).

Kolostrum adalah air susu yang dikeluarkan dari ambing sapi induk yang baru melahirkan, berwarna kekuning-kuningan dan lebih kental daripada air susu normal. Komposisi kolostrum dibandingkan susu sapi biasa, kolostrum lebih banyak mengandung energi, 6X lebih banyak kandungan proteinnya, 100X untuk vitamin A dan 3X lebih kaya akan mineral dibanding air susu normal. Juga mengandung enzym yang mampu menggertak sel-sel dalam alat pencernaan pedet supaya secepatnya dapat berfungsi (mengeluarkan enzim pencernaan). Kolostrum mengandung sedikit laktosa sehingga mengurangi resiko diare. Juga pada kolostrum mengandung inhibitor trypsin, sehingga antibodi dapat diserap dalam bentuk protein. Kolostrum kaya akan zat antibodi yang berfungsi melindungi pedet yang baru lahir dari penyakit infeksi. Kolostrum dapat juga menghambat perkembangan bakteri E. coli dalam usus pedet (karena mengandung laktoferin) dalam waktu 24 jam pertama (Balai Embrio Ternak, 2011). Murtidjo (1990) menyatakan kolostrum mengandung antibody yang membentuk kekebalan anak sapi terhadap infeksi atau terhadap penyakit dan kolostrum juga mengandung lebih banyak protein daripada susu normal.

Balai Embrio Ternak (2011) melaporkan nutrisi yang baik saat pedet akan memberikan nilai positif saat lepas sapih, dara dan siap jadi bibit yang prima, sehingga produktivitas yang optimal dapat dicapai. Pedet yang lahir dalam kondisi sehat serta induk sehat disatukan dalam kandang bersama dengan induk dengan diberi sekat agar pergerakan pedet terbatas. Praktik ini bertujuan agar pedet mendapat susu secara ad libitum, sehingga nutrisinya terpenuhi. Selain itu pedet dapat mulai mengenal pakan yang dikonsumsi induk yang kelak akan menjadi pakan hariannya pedet tersebut setelah lepas sapih atau juga melatih pedet agar perlahan-lahan bisa makan pakan pedet. Perlakuan ini haruslah dalam pengawasan yang baik sehingga dapat mengurangi kecelakaan baik pada pedet atau induk.

Pedet yang sakit, pedet dipisah dari induk dan dalam perawatan sampai sembuh sehingga pedet siap kembali disatukan dengan induk atau induk lain yang masih menyusui. Selama pedet dalam perawatan susu diberikan oleh petugas sesuai dengan umur dan berat badan.

2.3 Produktivitas Sapi BaliProduktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran waktu tertentu Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan. Wodzicka-Tomaszewska et al. (1988) menyatakan bahwa aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak yang bersangkutan, dapat dikatakan bahwa tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan terjadi produksi. Juga dijelaskan bahwa tingkat dan efisiensi produksi ternak dibatasi oleh tingkat dan efesiensi reproduksinya. Dalton (1987) menyatakan bahwa produktivitas nyata ternak merupakan hasil pengaruh genetik dan lingkungan terhadap komponen-komponen produktivitas dan interaksi antara keduanya. Dalam bentuk paling sederhana produksi sapi pedaging merupakan fungsi dari reproduksi dan laju pertumbuhannya, yaitu berapa pedet dilahirkan per tahun untuk jumlah induk yang tersedia dan seberapa cepat sapi-sapi tersebut tumbuh hingga mencapai berat jual, jika dua komponen ini dapat dimaksimalkan dengan masukan dan biaya minimal maka suatu sistem produksi sapi daging yang efisien tercapai (Saefent, 1978) Selanjutnya Warwick dan Lagetes (1979) menyatakan bahwa performan seekor ternak merupakan hasil dari pengaruh faktor keturunan dan pengaruh komulatif dari faktor lingkungan yang dialami oleh ternak bersangkutan sejak terjadinya pembuahan hingga saat ternak diukur dan diobservasi. Hardjosubroto (1994) dan Astuti (1999) menyatakan bahwa faktor genetik ternak menentukan kemampuan yang dimiliki oleh seekor ternak sedang faktor lingkungan memberi kesempatan kepada ternak untuk menampilkan kemampuannya. Ditegaskan pula bahwa seekor ternak tidak akan menunjukkan penampilan yang baik apabila tidak didukung oleh lingkungan yang baik dimana ternak hidup atau dipelihara, sebaliknya lingkungan yang baik tidak menjamin panampilan apabila ternak tidak memiliki mutu genetik yang baik.Astuti et al. (1983) dan Keman (1986) menyatakan bahwa produktivitas ternak potong di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan produktivitas ternak sapi di negara-negara yang telah maju dalam bidang peternakannya, namun demikian Vercoe dan Frisch (1980); Djanuar (1985); Keman (1986) menyatakan bahwa produktivitas sapi daging dapat ditingkatkan baik melalui modifikasi lingkungan atau mengubah mutu genetiknya dan dalam praktek adalah kombinasi antara kedua alternatif di atas.Tabel 2.4.1 Rataan persentase Kelahiran, Kematian dan calf crop Beberapa Sapi

Potong di Indonesia

BangsaKelahiranKematianCalf crop

Brahman

Brahman cross

Ongole

Lokal cross

Bali50,7147,7651,0462,4752,15a10,355,584,131,622,64b48,8045,8748,5362,0251,40c

Sumadi, (1985) aDarmadja, (1980)bSutan, (1988)cPane, (1989)

Trikesowo et al. (1993) menyatakan bahwa yang termasuk dalam komponen produktivitas sapi potong adalah jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (calf crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan.

Berdasarkan Tabel 2.4.1. dapat dilihat bahwa sapi bali memperlihatkan persentase kelahiran (52,15%) lebih tinggi di banding dengan sapi Brahman (50,71%), Brahman cross (47,76%) dan sapi Ongole (51,04%) kecuali Lokal cross (Lx) (62,47%), demikian pula calf crop sapi bali (51,40%) lebih tinggi dibanding sapi Brahman (48,80%), Brahman cross (45,87%) dan sapi Ongole (48,53%) kecuali Lokal cross sebesar (62,02%) serta persentase kematian yang rendah. Hal tersebut dapat memberi gambaran bahwa produktivitas sapi bali sebagai sapi asli Indonesia masih tinggi, namun jika dibandingkan dengan sapi asal Australia masih tergolong rendah yakni calf crop-nya dapat mencapai 85 % (Trikesowo et al., 1993).

Tabel 2.4.2 Penampilan Sapi Bali di Beberapa Provinsi di Indonesia*

KeteranganSul.SelNTTIrjaNTBBaliP3Bali

Berat Lahir (Kg)Berat Sapih (Kg)12

7012

7512,8

73,513

7216

8618

94

Berat 1 th,

Jantan (kg)Betina (Kg)115

110120

110118

111117,8

113135

125145

135

Berat 2 th,

Jantan (Kg)Betina (Kg)210

170220

180218

179222

182235

200260

225

Berat Dewasa,

Jantan (kg)Betina (Kg)350

225335

235352

235360

238,5395

264494

300

Ukuran Tubuh Dewasa :Jantan :Lingkar Dada (cm)Tinggu gumba (cm)Panjang badan (cm)181,4

122,3

125,6180,4

126,0

134,8180,6

125,6

132,1182.0

125,2

133,6185,5

125,4

142,3198,8

130,1

146,2

Betina :Lingkar Dada (cm)Tinggu gumba (cm)Panjang badan (cm)160,0

105,4

117,2158,6

114,0

118,4159,2

112,8

118,0160,0

112,5

118,0160,8

113,6

118,5174,2

114,4

120,0

Persentase beranak/th (%)767066726986

Sumber : PNPM Agibisnis Pedesaan http://nusataniterpadu.wordpress.com/ 2008 /06/07/42/

Vercoe dan Frisch (1980) menyatakan bahwa sifat produksi dan reproduksi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa sapi, keadaan tanah, kondisi padang rumput, penyakit dan manajemen. Oleh karena itu perbaikan mutu sapi potong haruslah ditekankan pada peningkatan sifat produksi dan reproduksi yang ditunjang oleh pengelolaan yang baik dari segi zooteknis dan bioekonomis

Ukuran tubuh sapi bali ternyata sangat dipengaruhi oleh tempat hidupnya yang berkaitan dengan manajemen pemeliharaan di daerah pengembangan. Sebagai gambaran umum ukuran tubuh yang dilaporkan Pane (1990) dari empat lokasi berbeda (Bali, NTT, NTB dan Sulawesi selatan) diperoleh data sebagai berikut : sapi bali jantan tinggi gumba 122-126 cm, panjang badan 125-142 cm, lingkar dada 180-185 cm, lebar dada 44 cm, dalam dada 66 cm, lebar panggul 37 cm dan beratnya 450 kg, sedangkan yang betina tinggi gumba 105-114 cm, panjang badan 117-118 cm lingkar dada 158-160 cm dan berat badannya 300-400 kg

Karateristik reproduksi dan produksi sapi bali berdasarkan Darmadja (1980) adalah sebagai berikut :

Lama bunting : 285-286 hari

Jarak beranak : 14-17 bulan

Persentase kebuntingan : 80-90%.

Persentase beranak : 70-85%

Persentase kematian sebelum dan sesudah disapih pada sapi bali berturut-turut adalah 7,03% dan 3,59%

Persentase kematian pada umur dewasa sebesar 2,7%.

Sedangan Wibisono (2011) melaporkan karateristik reproduksi dan produksi sapi bali adalah sebagai berikut :

Fertilitas sapi bali : 83 86 %, lebih tinggi dibandingkan sapi Eropa yang 60 %.

Periode kebuntingan: 280 294 hari.

Persentase kebuntingan (Conception rate) : 86,56 %.

Tingkat kematian kelahiran anak sapi : 3,65 %

Persentase kelahiran (Calving rate) : 83,4 %.

Interval penyapihan (Calving interval) : 15,48 16,28 bulan.

Umur dewasa kelamin betina : 18-24 bulan, kelamin jantan : 20-26 bulan

Umur kawin pertama betina: 18-24 bulan, jantan: 23-28 bulan

Beranak pertama kali : 28-40 bulan dengan rataan 30 bulan

Rata-rata siklus estrus : 18 hari, pada sapi betina dewasa muda berkisar antara 20 21 hari.

Sedangkan pada sapi betina yang lebih tua : 16-23 hari, selama 36 48 jam berahi dengan masa subur antara 18 27 jam dan menunjukkan birahi kembali setelah beranak antara 2-4 bulan .

Sapi bali menunjukkan estrus musiman (seasonality of oestrus), pada Bulan Agustus januari : 66%. Pada Bulan Mei Oktober : 71%

Data dari kelahiran terjadi bulan Mei Oktober,dengan sex ratio kelahiran jantan : betina sebesar 48,06% : 51,94% .

Berat lahir sapi Bali anak betina sebesar 15,1 kg,dan 16,8 kg untuk anak jantan

Berat lahir sapi bali pada pemeliharaan dengan monokultur padi, pola tanam padi-palawija dan tegalan masing-masing sebesar 13,6, 16,8 dan 17,3 kg.

Berat sapih kisaran antara 64,4-97 kg, untuk sapih jantan sebesar 75-87,6 kg dan betina sebesar 72-77,9 kg; 74,4 kg di Malaysia; 82,8 kg pada pemeliharaan lahan sawah, 84,9 kg dengan pola tanam padi palawija, 87,2 kg pada tegalan .

Berat umur setahun berkisar antara 99,2-129,7 kg dimana sapi betina sebesar 121-133 kg dan jantan sebesar 133-146 kg .

Berat dewasa berkisar antara 211-303 kg untuk ternak betina dan 337-494 kg untuk ternak jantan .

Pertambahan bobot badan harian sampai umur 6 bulan sebesar 0,32-0,37 kg dan 0,28-0,33 kg masing-masing untuk pedet jantan dan betina .

Pertambahan bobot badan pada berbagai manajemen pemeliharaan antara lain pemeliharaan tradisional sebesar 0,23-0,27 kg ; penggembalaan alam sebesar 0,36 kg; perbaikan padang rumput sebesar 0,25-0,42 kg; pemeliharaan intensif sebesar 0,87 kg.

Sapi bali memiliki sedikit lemak halus, kurang daripada 4% dari berat karkasnya (Payne dan Hodges, 1997) tetapi persentase karkasnya cukup tinggi berkisar antara 52-60% (Payne dan Rollinson, 1973) dengan perbandingan tulang dan daging sangat rendah; komposisi daging 69-71%, tulang 14-17% lemak 13-14% (Sukanten, 1991). Saka et.al (2005) melaporkan rata-rata sapi bali dari Nusa Penida pada berat rata-rata 257,5 kg (227,0 293,0 kg) rata-rata lemak karkasnya 16%

2.4 Seleksi Sapi Bali

Kemampuan memilih atau menyeleksi ternak untuk menghasilkan keturunan yang lebih baik daripada tetuanya merupakan faktor yang sangat penting dalam manajemen pembiakan sapi. Seleksi merupakan suatu tindakan terencana yang dilakukan untuk memilih ternak yang mempunyai sifat unggul dan mempunyai nilai ekonomi untuk dikembangkan. Panjahitan (2010) melaporkan bahwa, pada dasarnya memilih ternak dapat dilakukan melalui cara visual atau kualitatif dan melalui cara pengukuran atau kuantitatif. Pemilihan secara visual sering dilakukan peternak terutama sewaktu memilih ternak untuk dijadikan induk maupun bakalan untuk digemukkan serta pemacek. Seleksi dilakukan pada waktu memilih ternak sendiri maupun ternak yang dibeli dari tetangga atau pasar ternak. Karakter visual yang menjadi dasar memilih ternak meliputi bentuk tubuh, warna kulit, bentuk tanduk, bentuk kepala, bentuk moncong, panjang leher, warna rambut atau bulu, panjang ekor dan lain-lain. Bentuk luar ini selalu dihubungkan dengan potensi sifat unggul yang diharapkan dimiliki oleh ternak tersebut. Pada umumnya sifat unggul yang diinginkan peternak adalah kecepatan pertumbuhan, kejinakan atau temperamen yang baik, kemampuan mengkonsumsi pakan berserat tinggi, daya tahan terhadap penyakit, kesuburan reproduksi, produksi air susu dan banyak yang lainnya.

Peningkatan produktivitas ternak dapat dilakukan melalui perbaikan mutu pakan dan program pemuliaan melalui seleksi dan persilangan. Perbaikan mutu pakan dan manajemen dapat meningkatkan produktivitas, tapi tidak meningkatkan mutu genetik. Perbaikan produktivitas tersebut sering kali bersifat sementara dan tidak diwariskan pada turunannya. Perkawinan silang dapat meningkatkan produktivitas dan mutu genetik, namun membutuhkan biaya besar dan harus dilakukan secara bijak dan terarah, karena dapat mengancam kemurniaan ternak asli, (Rusfidra, 2006).

Pengelompokan, pemeringkatan dan pembobotan ciri visual terhadap hubungannya dengan sifat unggul akan membantu mengurangi keragaman fisik dan produksi yang besar kemungkinan merupakan turunan dari keragamaan genetik dan bila dilakukan secara partisipatif dapat menolong untuk mengetahui sifat-sifat unggul ternak yang diinginkan peternak. Sifat unggul pertumbuhan dan kemampuan produksi sebenarnya dapat diketahui dengan pengukuran terutama umur dan berat. Umur dihubungkan dengan perkembangan fisiologi ternak seperti umur sapih, pubertas, dewasa kelamin, dewasa tubuh, kawin pertama, beranak pertama dan lainnya. Berat dihubungkan dengan perkembangan fisik ternak seperti berat lahir, berat sapih, berat pubertas, berat kawin pertama dan lainnya. Pengukuran berat dikombinasi dengan dimensi tubuh seperti lingkar dada, tinggi gumba atau pinggul dan panjang badan untuk menggambarkan kondisi fisik ternak. Sapi terpilih berdasarkan visual dan pengukuran perlu dilengkapi silsilah keturunan atau riwayat kehidupan dan kesehatan ternak untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik akan potensi kemampuannya. Pertimbangan ekonomi sangat diperlukan dalam melakukan seleksi. Kemampuan ternak beradaptasi terhadap cekaman lingkungan alam dan pakan, temperamen dan persentase karkas merupakan sifat unggul yang dapat berdampak ekonomis. Kemampuan beradaptasi terhadap cekaman lingkungan alam dan pakan berkaitan langsung dengan daya tahan hidup, kesuburan reproduksi yang berhubungan dengan kemampuan menghasilkan pedet setiap tahun, kemampuan menggunakan pakan secara efisien untuk mengasilkan satu pedet dan kemampuan pedet untuk tetap tumbuh dalam kondisi pakan yang buruk. Sapi bali mempunyai kemampuan adaptasi yang baik pada wilayah kering beriklim panas kering dengan tingkat cekaman iklim dan lingkungan pakan yang berat dengan demikian biaya produksi lebih rendah. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui perbaikan manajemen untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya tersedia (Panjahitan, 2010).

Seleksi sapi Bali dapat menyebabkan perubahan keragaman genetik, tergantung pada cara seleksi yang digunakan. Seleksi secara langsung mengakibatkan ragam genetik berkurang sampai tercapainya keadaan konstan pada suatu generasi tertentu. Dengan seleksi terarah suatu sifat yang dikehendaki maka mutu genetik dapat ditingkatkan. Dalam memilih suatu sifat untuk dijadikan dasar seleksi perlu dipertimbangkan beberapa hal, yaitu tujuan program seleksi, nilai heritabilitas suatu sifat, nilai ekonomi dari adanya peningkatan sifat, korelasi antar sifat serta biaya dan waktu dari program seleksi. Beberapa sifat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi meliputi fertilitas, daya hidup, nilai karkas, bobot lahir, bobot sapih, tipe dan konformasi tubuh, bobot dan kualitas bulu (Rusfidra, 2006).

Manajemen pembibitan merupakan suatu upaya pembiakan untuk meningkatkan sifat unggul yang diinginkan dan bernilai ekonomi dari ternak yang dipelihara. Oleh karena itu tingkat keberhasilannya sangat ditentukan oleh strategi, manajemen dan sistim perkawinan. Keterbatasan kemampuan menyediakan input terutama pakan pada peternakan rakyat merupakan pertimbangan dalam mengembangkan sifat unggul. Kemampuan ternak sapi merubah rumput dan pakan berserat lainnya menjadi protein haruslah menjadi pertimbangan utama dalam mengembangkan peternakan rakyat Strategi yang harus dilakukan adalah memilih dan mengembangkan sapi yang dapat mempertahankan kesuburannya, beranak setiap tahun, pedet dapat bertumbuh dengan pakan rumput dan pakan berkualitas rendah lainnya. Pejantan yang dipilih haruslah pejantan yang tetap mampu menjaga kesuburan reproduksi dan mampu kawin dengan pakan kualitas rendah. Sapi betina yang tidak bunting dikawinkan dengan pejantan subur dengan pakan kualitas rendah sebaiknya segera dikeluarkan dari populasi. Pengeluaran pemacek dan betina yang tidak melakukan fungsi seperti yang diharapkan selama musim kawin mempercepat terbentuknya sapi bibit yang diinginkan. Sapi jantan dan betina mempunyai kemampuan yang sama dalam mewariskan sifat unggul pada generasi berikutnya. Namun perbaikan kualitas melalui sapi betina akan berjalan sangat lambat karena keterbatasan seekor betina produktif dalam menghasilkan pedet yang hanya berkisar 10 ekor selama hidupnya. Berbeda dengan sapi jantan yang dapat mengawini 50 sampai 100 ekor betina selama 6 bulan atau 8 sampai 16 betina per bulan. Perbaikan kualitas ternak akan lebih cepat tercapai melalui pejantan (Panjahitan, 2010). Murtidjo (1990) melaporkan dengan kawin alam seekor sapi jantan hanya mampu mengawini betina 120 ekor per tahun, sedangkan dengan insiminasi buatan mampu mengawini 20.000 ekor betina per tahun.

Penyapihan memberi waktu istirahat pada induk untuk memperbaiki kondisi tubuhnya. Hal ini sangat menentukan keberhasilan induk merawat kebuntingan sampai beranak berikutnya. Pada musim kering induk menyusui pedet sebaiknya tidak lebih daripada 5 bulan. Penyapihan dapat mengurangi cekaman bagi induk yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah dan mutu pakan selama musim kering. Pakan berkualitas baik yang masih tersisa sebaiknya diberikan pada pedet sapihan untuk menghindari terjadinya kekurangan nutrisi akibat penyapihan. Pada musim hujan dengan ketersediaan pakan yang cukup, induk dapat menyusui pedet sampai umur 6 bulan.

Secara umum, meningkatkan kualitas genetik dan sekaligus meningkatkan populasi ternak sapi bali yaitu: melakukan pengebirian terhadap semua sapi jantan atau anak sapi jantan yang bukan pejantan atau yang tidak akan digunakan sebagai pejantan; mendatangkan pejantan unggul untuk dijadikan pejantan atau sebagai donor sperma ; membangun pusat pembibitan pada tingkat kabupaten yang potensil dan pada tingkat propinsi. Solusi lainnya, dengan menggalakkan Inseminasi Buatan dengan menggunakan sperma dari pejantan sapi bali unggul yang ada ataukah mendatangkan sperma dari pusat IB, dengan menggalakkan Transfer Embrio yang dikombinasikan dengan IB (Rusfidra,2006).

2.5 Pertumbuhan Ternak

Kata pertumbuhan dapat diterapkan pada suatu sel, organ, jaringan, seekor ternak maupun populasi ternak. Pertumbuhan menurut Williams (1982) adalah perubahan bentuk atau ukuran seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa. Menurut Swatland (1984) dan Aberle et al.(2001) pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung yang layak. Peningkatan sedikit saja ukuran tubuh akan menyebabkan peningkatan yang proporsional dari bobot tubuh, karena bobot tubuh merupakan fungsi dari volume. Pertumbuhan mempunyai dua aspek yaitu: menyangkut peningkatan massa persatuan waktu, dan pertumbuhan yang meliputi perubahan bentuk dan komposisi sebagai akibat dari pertumbuhan diferensial komponen-komponen tubuh

Firman (2011) menyatakan bahwa pertumbuhan ternak menunjukkan peningkatan ukuran linear, bobot, akumulasi jaringan lemak dan retensi nitrogen dan air. Terdapat tiga hal penting dalam pertumbuhan seekor ternak, yaitu: proses-proses dasar pertumbuhan sel, diferensiasi sel-sel induk menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm, dan mekanisme pengendalian pertumbuhan dan diferensiasi. Pertumbuhan sel meliputi perbanyakan sel, pembesaran sel dan akumulasi substansi ekstraseluler atau material-material non protoplasma. Pertumbuhan dimulai sejak terjadinya pembuahan, dan berakhir pada saat dicapainya kedewasaan. Pertumbuhan ternak dapat dibedakan menjadi pertumbuhan sebelum kelahiran atau pralahir (prenatal) dan pertumbuhan setelah terjadi kelahiran pascalahir (postnatal)

Pertumbuhan prenatalis pada sapi dimulai sejak terjadinya konsepsi yakni saat pertemuan sel telur betina dengan sel jantan, bersatunya sel jantan dan sel telur tadi mengasilkan calon mahkluk baru di dalam kandungan yang disebut embrio atau foetus. Pada awal kebuntingan pertumbuhan foetus berjalan sangat lambat, sedangkan pada akhir kebuntingan pertumbuhan berlangsung sangat cepat. Foetus, hampir 2/3 bagian bagian pertumbuhan hanya berlangsung 1/3 dari dari seluruh waktu yang digunakan dalam kandungan (Sudarmono dan Sugeng, 2008).

Pertumbuhan pasca lahir biasanya dibagi menjadi pertumbuhan pra sapih dan pasca sapih. Pertumbuhan pra sapih sangat tergantung pada jumlah dan mutu susu yang dihasilkan oleh induknya Pada domba, pertumbuhan pra sapih dipengaruhi oleh genotip, bobot lahir, produksi susu induk, litter size, umur induk, jenis kelamin anak dan umur penyapihan. Pertumbuhan pasca sapih (lepas sapih) sangat ditentukan oleh bangsa, jenis kelamin, mutu pakan yang diberikan, umur dan bobot sapih serta lingkungan misalnya suhu udara, kondisi kandang, pengendalian parasit dan penyakit lainnya (Firman, 2011)..

Hill (1988) menyatakan pertumbuhan adalah hasil koordinasi proses biologis dan proses kimia sejak fertilisasi sel telur dan diakhiri pada saat ukuran tubuh dan fungsi fisiologis ternak dewasa tercapai. Pertumbuhan terjadi karena perbanyakan sel (hyperplasia) dan pembesaran sel (hyperthropy), juga karena adanya penimbunan nutrisi akibat adanya kebutuhan untuk hidup pokok. Sodarmono dan Sugeng (2008) menyatakan bahwa setelah pedet lahir pertumbuhan menjadi semakin cepat hingga usia penyapihan. Dari usia penyapihan hingga pubertas laju pertumbuhan masih bertahan pesat, tetapi dari usia pubertas hingga usia jual laju pertumbuhan mulai menurun dan terus menurun hingga usia dewasa, akhirnya pertumbuhan terhenti. Pada sapi bali terhenti pada umur 4 tahun, dan mencapai berat tubuh rata-rata 300-400 kg.

Pemeliharaan sapi dewasa untuk tujuan produksi daging disebut penggemukan, penggemukan sapi adalah pemeliharaan sapi dewasa untuk ditingkatkan berat badannya dan mengasilkan daging dalam waktu singkat yaitu 3-5 bulan (Departemen Pertanian, 2009). Guntoro (2002) melaporkan penggemukan sapi bali dengan bibit yang baik dan pakan berkualitas dapat mencapai berat potong 400 kg, dengan lama penggemukan sesuai dengan umur atau berat mulai digemukan. Sapi bali yang digemukkan mulai umur 1,5 tahun dengan berat 110-150 kg memelukan waktu selama 18 bulan, yang berumur 2 tahun dengan berat 200-250 kg memerlukan waktru 12 bulan, yang berumur 2,5 tahun dengan berat 275-300 kg memerlukan waktu 6-8 bulan dan yang berumur 3 tahun dengan berat 300-350 kg memelukan waktu 5-6 bulan Pemberian pakan tambahan berupa konsentrat akan dapat mempercepat pertumbuhan,namun respon pertumbuhan tertinggi saat penggemukan antara umur 2,5-3,5 tahun. Selama penggemukan sapi harus dikandangkan secara terus menerus dan tidak boleh dipekerjakan karena banyak kehilangan kalori sehingga menghambat pertumbuhan

Brody (1945) dalam Haripin (2005) melaporkan bahwa pertumbuhan dapat diukur dengan tiga cara, yakni: (1) laju pertumbuhan kumulatif (cumulative growth rate), (2) laju pertumbuhan relative (relative growth rate) dan (3) laju pertumbuhan absolute (absolute growth rate).

a. Pertumbuhan Kumulatif

Kurva laju pertumbuhan kumulatif adalah kurva bobot badan versus waktu, bentuk kurvanya sigmoid. Menurut Tulloh (1978) pertumbuhan sapi jantan di bawah kondisi lingkungan yang terkendali dapat digambarkan sebagai kurva yang berbentuk sigmoid (Gambar 2.6.1).

Kurva pertumbuhan kumulatif diperoleh dengan cara menimbang bobot hidup ternak sesering mungkin, selanjutnya dibuat kurva dengan aksisnya adalah umur dan ordinatnya adalah bobot hidup. Di bawah kondisi lingkungan yang terkendali, bobot ternak muda akan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang tinggi sampai dicapainya pubertas. Setelah pubertas dicapai bobot badan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang semakin menurun, dan akhirnya tidak terjadi peningkatan bobot badan setelah dicapai kedewasaan fisiologi. Pertumbuhan selanjutnya adalah pertumbuhan negatif atau tidak terjadi lagi penambahan bobot badan bahkan terjadi penurunan bobot badan karena ketuaan

b. Pertumbuhan Absolut

Menurut Brody (1945) dalam Haripin (2005) adalah pertambahan bobot badan per unit waktu atau laju pertumbuhan absolut (LPA). Dapat digambarkan dengan rumus :

Yang di dalamnya : W1 = bobot badan pada umur t1 W2 = bobot badan pada umur t2 Kurva ini diperoleh dengan cara menggambarkan pertambahan bobot badan harian versus umur. Pada saat lahir sampai pubertas terjadi peningkatan pertambahan bobot badan yang semakin meningkat. Setelah dicapai pubertas, pertambahan harian menurun sampai dicapai titik nol setelah dicapainya kedewasaan. Setelah kedewasaan laju pertumbuhannya menjadi negative..

c. Pertumbuhan Relatif

Menurut Brody (1945) dalam Haripin (2005) laju pertumbuhan relatif (LPR) pada self accelerating phase didefinisikan sebagai kecepatan tumbuh absolut dibagi dengan setengah jumlah bobot badan awal dan bobot badan akhir pengamatan. Dalam bentuk rumus adalah sebagai berikut : atau

Persentase laju pertumbuhan selalu menurun sepanjang hidup ternak, laju pertumbuhan tertinggi dicapai saat terjadinya pembuahan. Meskipun laju pertumbuhannya sama, ternak yang lebih kecil tumbuh tiga kali lebih cepat bila perbandingan dibuat dalam persentase laju pertumbuhan. Ternak dari bangsa yang besar kerangka tubuhnya meskipun pertambahan bobot badan hariannya lebih tinggi tetapi persentase laju pertumbuhannya lebih kecil bila dibandingkan dengan bangsa yang kerangka tubuhnya kecil

Gambar 2.6.1. Kurva Pertumbuhan Sejak Lahir sampai Ternak Dewasa

Keterangan :

Y = Bobot hidup, Pertambahan bobot badan harian atau persentase laju pertumbuhan

X = Umur C = Pembuahan B = Kelahiran P = Pubertas M = Dewasa tubuh D = Mati

Perkembangan tubuh ternak dapat dipelajari dengan mengukur pertumbuhan relatif komponen-komponen tubuh dan biasanya dilakukan dengan teknik pemotongan ternak secara beruntun (Butterfield, 1988). Dengan menggunakan persamaan alometrik Huxley dalam Haripin 2005 yaitu Y = aXb, dapat diketahui gambaran pertumbuhan organ atau komponen tubuh secara kuantitatif. Transformasi logaritma persamaan Huxley akan menghasilkan garis lurus untuk setiap komponen tubuh terhadap bobot tubuh. Bentuk tranformasi logaritmanya adalah :

log Y = log a + b log X. atau ln Y = ln a + b ln X

Gambar 2.6.2. Pertumbuhan Alometri Bagian Tubuh Sapi

Menurut Natasasmita (1979) dengan mengetahui besaran nilai koefisien pertumbuhan relatif (b) dari suatu bagian komponen tubuh (Y) terhadap bobot tubuh (X) di dalam persamaan Alometrik Huxley, dapat dipelajari fenomena pertumbuhan komponen bersangkutan. Jika prinsip allometrik Huxley diaplikasikan secara tepat pada sejumlah individu hewan, kita akan menghasilkan hewan yang mempunyai komposisi karkas dan bobot yang spesifik selama pertumbuhan (Mc Donald et al., 1975). Bila kemiringan atau koefisien pertumbuhan relatif b=1, maka kedua komponen tubuh tumbuh dengan laju yang sama. Bila b1 menunjukkan komponen tubuh (Y) bertambah sejalan dengan peningkatan bobot tubuh (X), atau dapat diinterpretasikan bahwa kecepatan pertumbuhan relatif komponen tubuh (Y) lebih tinggi, bila dibandingkan dengan peningkatan bobot tubuh (X) Koefisisen ini menunjukkan bahwa waktu perkembangan komponen tubuh (Y) termasuk masak lambat, sehingga potensi pertumbuhan relatif dari komponen tubuh (Y) termasuk tinggi.

Penggunaan persamaan ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan relatif komponen tubuh selama pertumbuhan lebih tergantung pada bobot hidup, dibandingkan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai ukuran tersebut dan pakan (Tulloh.1963). Hal ini berarti bahwa umur fisiologi (berdasarkan bobot hidup) lebih berpengaruh daripada umur kronologi (Natasasmita, 1978). Kemudian untuk mengetahui karakteristik tumbuh kembang komponen tubuh, Natasasmita (1979) mencoba menginterpretasikan dengan menguji nilai b terhadap satu dengan formula : (b-1) / Sb. Untuk mencegah penyimpangan hasil yang didapat dalam analisis ini, dianjurkan agar pemotongan ternak secara serial, sesuai dengan masa pertumbuhan atau pada selang bobot potong yang tidak terlalu besar. Tulloh (1963) menganjurkan pemakaian persamaan alometrik Huxley dalam bentuk linier dengan alasan penggunaan ratio ataupun persentase dari bagian tubuh terhadap bobot tubuh secara keseluruhan, dapat memperoleh gambaran tentang perubahan komponen tubuh selama pertumbuhan seekor ternak tidak terlalu besar.

Sampurna (1999) melaporkan bahwa koefisien pertumbuhan alometri itik bali jantan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan yang betina. Perkembangan bagian-bagaian itik bali dimulai dari kepala, leher, kemudian menuju kebagian punggung. Demikian pula mulai dari kaki, paha bawah, paha atas, dada dan berakhir pada bagian sayap. Sampurna dan Suatha (2010) berdasarkan pertumbuhan alometri diperoleh hasil bahwa pertumbuhan dimensi panjang sapi bali jantan di mulai dari panjang leher, panjang kepala, panjang tubuh bagian belakang dan paling akhir panjang tubuh bagian depan Sedangkan lingkar dada merupakan bagian tubuh yang tumbuh atau berkembang paling dini kemudian diikuti lingkar abdomen lingkar leher belakang dan lingkar leher depan tumbuh paling belakang

2.8 Kurva Pertumbuhan

Kurva pertumbuhan yang paling sederhana adalah model linier, tetapi umumnya pertumbuhan tidak mengikuti model linier. Kurva pertumbiuhan yang umum, ukuran tubuh mulai saat menetas atau lahir (Wo) dan ukuran tubuh pada umur tertentu (Wt), dengan kecepatan pertumbuhan k adalah eksponensial (Wt = bekt), monomolekuler/logestik (Wt = A - bekt), sigmoid ( ), gompertz () dan parabola (Wt = btk ) (Medawar dalam Swatland, 1984). Sedangkan Martono dan Hasibuan (1993) memperkenalkan tiga kurva pertumbuhan yaitu : Wt = Woekt, Wt = K Ce-kt dan , disini A atau K ukuran tubuh maksimum, C atau b konstanta dan e bilangan logaritma alami yang besarnya 2,71828.. Penggunaan bilangan dasar e yang ditemukan oleh Leonhard Euler (1707 - 1783) dimaksudkan untuk mempermudah pembicaraan turunan dan integral dari fungsi tersebut

Gambar 2.8.1 Kurva Sigmoid pada Ternak

Pertumbuhan hewan yang diukur dalam berat tubuh atau berat karkas maupun organ, jaringan atau bagaian tubuh tertentu, bila diplot pada kertas grafik terhadap umurnya, merupakan suatu kurva berbentuk sigmoid, dengan persamaan : Kurva pertumbuhan ini dibagi menjadi dua fase, yaitu: fase pertama self accelerating phase (fase percepatan diri), yang pada fase ini kecepatan tumbuh meningkat, dengan persamaan Wt = W0ekt , disini W0 ukuran tubuh pada saat lahir atau menetas dan k adalah kecepatan pertumbuhan. Fase kedua self inhibiting phase (fase penghambatan sendiri), yang pada fase ini pertambahan ukuran tubuh per unit waktu turun sampai pertambahan ukuran tubuh tersebut menjadi nol atau mencapai ukuran maksimum, dan dalam keadaan ini ukuran tubuh dewasa telah tercapai dengan persamaan Wt = A be-kt. Titik antara kedua fase ini disebut titik balik (inflection point). Jadi :

Bentuk sigmoid untuk semua jenis ternak ternak dan gambaran proses pertumbuhan yang terus menerus dan perkembangan ternak dari lahir hingga mencapai dewasa, rata-rata pertumbuhannya lebih cepat pada pertengahan atau saat infleksi (Acker, 1983). Sampurna (1992) mendapatkan bahwa pola pertumbuhan organ dan bagaian tubuh ayam Broiler berbentuk sigmoid. Ayam jantan mencapai titik infleksi pada umur yang lebih dewasa dibandingkan ayam betina, disamping itu ayam jantan mencapai ukuran maksimum yang lebih berat daripada ayam betina. Sedangkan plot data berat dan panjang bayi pada manusia dengan umurnya berbentuk logistik (Warson dan Lowrey, 1962). Sampurna et al. (2011) melaporkan bahwa pola pertumbuhan panjang dan lingkar tubuh babi Landrace berbentuk logistik

2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ternak.

Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal, faktor external yang paling berperan adalah pakan, faktor internal yang paling dominan mempengaruhi pertumbuhan adalah genetik dan endokrin atau sekresi hormon (Firman, 2011)Tumbuh-kembang dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan, jenis kelamin, hormon, lingkungan dan manajemen. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan sebelum lepas sapih adalah genotipe, bobot lahir, produksi susu induk, jumlah anak per kelahiran, umur induk, jenis kelamin anak dan umur sapih. Laju pertumbuhan setelah disapih ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain potensi pertumbuhan dari masing-masing individu ternak dan pakan yang tersedia . Potensi pertumbuhan dalam periode ini dipengaruhi oleh faktor bangsa, heterosis (hybrid vigour) dan jenis kelamin. Pola pertumbuhan ternak tergantung pada sistem manajemen (pengelolaan) yang dipakai, tingkat nutrisi pakan yang tersedia, kesehatan dan iklim (Sinaga, 2009)

Ternak yang kurang mendapat pakan baik selama menyusu yang disebabkan oleh karena induk kurang memproduksi susu, cenderung akan dikompensasi pada saat lepas menyusu sepanjang pakan yang diberikan kualitas dan kuantitasnya baik. Kebalikannya anak yang menyusu pada induk yang produksi susunya melimpah, pada saat disapih dan setelah mendapat makanan lain pada saat lepas sapih maka pertumbuhannya akan kurang memuaskan, tidak seperti pada saat anak tersebut masih menyusu. Meskipun anak yang pakannya kurang baik pada saat menyusu akan mengalami pertumbuhan kompensasi, namun tidak akan mencapai berat yang normal seperti anak yang menerima pakan yang baik pada saat menyusu (Firman, 2011).

Performan seekor ternak merupakan hasil dari pengaruh faktor keturunan dan pengaruh komulatif dari faktor lingkungan yang dialami oleh ternak bersangkutan Hardjosubroto (1994) dan Astuti (1999). Selanjutnya menyatakan bahwa faktor genetik ternak menentukan kemampuan yang dimiliki oleh seekor ternak sedang faktor lingkungan memberi kesempatan kepada ternak untuk menampilkan potensi genetiknya. Ditegaskan pula bahwa seekor ternak tidak akan menunjukkan penampilan yang baik apabila tidak didukung oleh lingkungan yang baik yang didalamnya ternak tersebut hidup atau dipelihara, sebaliknya lingkungan yang baik tidak menjamin penampilan apabila ternak tidak memiliki mutu genetik yang baik. Yulianto dan Suparinto (2010) menyatakan baha faktor ekternal yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu : iklim, musim, lahan pakan, kerusakan lingkungan dan kondisi pakan yang ada dilingkungannya

6

Kurva Pertumbuhan Relatif

Self accelerating phase Wt = W0ekt

Self inhibiting phase Wt = A be-kt.

A

EMBED Equation.3

_1395108949.unknown

_1395108951.unknown

_1395108953.unknown

_1395108954.unknown

_1395108952.unknown

_1395108950.unknown

_1395108947.unknown

_1395108948.unknown

_1395108946.unknown