bab i - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51110001/9d4938... ·...

27
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Pemanasan Global sebagai Krisis Ekologi Saat ini, isu mengenai pemanasan global telah menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh umat manusia. Sebab, dampaknya pada bumi dan kehidupan seluruh makhluk hidup sungguh sangat mengerikan. Dampak itu merambah di hampir semua aspek kehidupan. Mulai dari masalah urusan pangan 1 hingga bencana sakit penyakit dan kematian karena sulitnya beradaptasi dengan perubahan temperatur yang ekstrem. Situs planetsave.com dalam artikelnya “Global Warming Effects and Causes: A Top 10 Listmemaparkan, pemanasaan global secara spesifik akan mengakibatkan; meningkat/naiknya permukaan air laut di seluruh belahan dunia, terjadinya peningkatan badai yang mematikan dengan kecepatan yang semakin tinggi, gagal panen secara masif (besar-besaran) dan berujung pada bencana kelaparan, mematikan makhkluk hidup dan spesies-spesies yang tersebar luas, dan musnahnya terumbu karang 2 . Penyebab terjadinya pemanasan global sebetulnya telah berlangsung sejak beberapa abad lampau, dimulai dari revolusi industri yang menimbulkan efek rumah kaca. Revolusi Industri di abad 19 memulai penggunaan bahan bakar secara besar-besaran untuk aktivitas industri. Industri-industri tersebut menciptakan lapangan pekerjaan dan memicu relokasi penduduk dari desa ke kota. Tren ini bahkan berlanjut sampai sekarang. Lahan yang tadinya hijau terus 1 Para ahli memprediksi hasil tanaman pangan pokok (beras, jagung, gandum, hingga kapas), akan mengalami penurunan hingga 30 persen, yang mengakibatkan peningkatan harga pangan. 2 Organisasi yang bergerak dalam bidang konservasi lingkungan hidup sedunia, World Wildlife Fund (WWF) melaporkan, kondisi terburuk akibat bencana pemanasan global adalah populasi terumbu karang akan punah pada tahun 2100 yang disebabkan oleh meningkatnya temperatur keasaman air laut. Terumbu karang yang telah memutih karena pemanasan suhu air laut berbahaya untuk ekosistem laut. Seperti kita ketahui, cukup banyak spesies yang mengandalkan kelangsungan hidupnya pada terumbu karang. ©UKDW

Upload: duongkhanh

Post on 03-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Pemanasan Global sebagai Krisis Ekologi

Saat ini, isu mengenai pemanasan global telah menjadi salah satu masalah

terbesar yang dihadapi oleh umat manusia. Sebab, dampaknya pada bumi dan

kehidupan seluruh makhluk hidup sungguh sangat mengerikan. Dampak itu

merambah di hampir semua aspek kehidupan. Mulai dari masalah urusan pangan1

hingga bencana sakit penyakit dan kematian karena sulitnya beradaptasi dengan

perubahan temperatur yang ekstrem.

Situs planetsave.com dalam artikelnya “Global Warming Effects and Causes: A

Top 10 List” memaparkan, pemanasaan global secara spesifik akan

mengakibatkan; meningkat/naiknya permukaan air laut di seluruh belahan dunia,

terjadinya peningkatan badai yang mematikan dengan kecepatan yang semakin

tinggi, gagal panen secara masif (besar-besaran) dan berujung pada bencana

kelaparan, mematikan makhkluk hidup dan spesies-spesies yang tersebar luas,

dan musnahnya terumbu karang2.

Penyebab terjadinya pemanasan global sebetulnya telah berlangsung sejak

beberapa abad lampau, dimulai dari revolusi industri yang menimbulkan efek

rumah kaca. Revolusi Industri di abad 19 memulai penggunaan bahan bakar

secara besar-besaran untuk aktivitas industri. Industri-industri tersebut

menciptakan lapangan pekerjaan dan memicu relokasi penduduk dari desa ke

kota. Tren ini bahkan berlanjut sampai sekarang. Lahan yang tadinya hijau terus

1 Para ahli memprediksi hasil tanaman pangan pokok (beras, jagung, gandum, hingga kapas),

akan mengalami penurunan hingga 30 persen, yang mengakibatkan peningkatan harga pangan.

2 Organisasi yang bergerak dalam bidang konservasi lingkungan hidup sedunia, World Wildlife

Fund (WWF) melaporkan, kondisi terburuk akibat bencana pemanasan global adalah populasi

terumbu karang akan punah pada tahun 2100 yang disebabkan oleh meningkatnya temperatur

keasaman air laut. Terumbu karang yang telah memutih karena pemanasan suhu air laut

berbahaya untuk ekosistem laut. Seperti kita ketahui, cukup banyak spesies yang mengandalkan

kelangsungan hidupnya pada terumbu karang.

©UKDW

2

diratakan untuk menyediakan tanah bagi perumahan. Sumber daya alam yang ada

terus digunakan secara intensif untuk kebutuhan konstruksi, industri, transportasi

dan konsumsi. Sampah dan limbah mengalami peningkatan debit volume berlipat

ganda. 3

Hal tersebut mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca

merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau

satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya. Kondisi ini

disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas

lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan

pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya

yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya.

Seperti kita ketahui, energi yang masuk ke bumi, sebanyak 25% dipantulkan oleh

awan atau partikel lain di atmosfer, 25% diserap awan, 45% diserap permukaan

bumi, dan 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi. Energi yang diserap

dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan dan permukaan

bumi. Namun sebagian besar inframerah yang dipancarkan bumi tertahan oleh

awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi.

Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan. Dengan adanya efek rumah

kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda.

Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah belerang

dioksida, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa

senyawa organik seperti gas metana dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas

tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.

Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-

rata bumi 1-5°C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti

sekarang, akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5°C

pada tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka

akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi

3 http://iklimkarbon.com/2010/05/04/penyebab-perubahan-iklim/ diakses 25 Maret 2013

©UKDW

3

diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi

meningkat.4

Namun yang patut dicermati, ternyata faktor aktivitas manusia sangat signifikan

dalam menyebabkan terjadinya pemanasan global.5 Salah satunya adalah

penebangan hutan (pohon) yang tak terkendali. Penebangan pohon lumrah

dilakukan untuk mengambil bahan baku kayu guna berbagai keperluan. Namun

penambangan besar-besaran tanpa menjaga keseimbangan ekosistem dan alih

fungsi hutan membuat area hutan sebagai tempat pohon bertumbuh menjadi

sempit. Padahal, hutan sangat penting sebagai paru-paru dunia dan dapat

digunakan untuk mendaur ulang karbondioksida yang terlepas di atmosfer bumi.

Banyak ahli kemudian sepakat bahwa pemanasan global adalah sebuah krisis

ekologi (krisis lingkungan hidup) yang telah melanda dunia secara menyeluruh.

Haskarlinus Pasang (2011)6, memaparkan bahwa krisis ini meliputi:

a. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Sekitar 90% dari

pertumbuhan penduduk tersebut terjadi di negara berkembang dengan

keluarga-keluarga miskin yang hidup dari mengolah kayu hutan untuk

bertahan hidup.

b. Kemerosotan sumber daya alam. Banyak negara berkembang menggunakan

lahan terbaik mereka untuk menanam produk-produk yang diekspor – supaya

mereka dapat membayar utang nasional yang besar—daripada untuk

menghasilkan dan memenuhi kebutuhan makanan bagi penduduknya.

4 http://id.wikipedia.org/wiki/Efek_rumah_kaca diakses 1 April 2013.

5 http://iklimkarbon.com/2010/05/04/penyebab-perubahan-iklim/ diakses 25 Maret 2013.

6 Haskarlianus Pasang, Mengasihi Lingkungan – Bagaimana Orang Kristen, Keluarga dan

Gereja Mempraktikkan Kebenaran Firman Tuhan untuk Menjadi Jawaban atas Krisis Ekologi

dan Perubahan Iklim di Bumi Indonesia, Perkantas-Divisi Literartur, Jakarta, 2011. hal. 22-29.

©UKDW

4

c. Lubang pada lapisan Ozon yang semakin meningkat. Jika pada tahun 1979

lubang ozon masih seluas 1,09 km persegi, maka pada tahun 2006 lubang

ozon telah mencapai lebih dari 29 juta km persegi, atau lebih dari 5 kali luas

Amerika Serikat.

d. Polusi. Negara maju adalah penghasil limbah terbesar.7 Sementara negara

berkembang meski dengan jumlah limbah tidak sebesar negara maju, namun

seringkali tidak memiliki teknologi yang aman untuk mengelola limbah

berbahaya.

e. Kehilangan keanekaragaman hayati karena terjadi konversi hutan secara

besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan akan pangan (melalui lahan-lahan

pertanian) dan pemukiman, akibat meningkatnya jumlah penduduk.

f. Erosi tanah. Praktik-praktik pertanian dewasa ini menunjukkan perhatian

yang hanya terbatas pada bentuk kehilangan sumber daya tanah yang terbesar

ini. Padahal, penggundulan hutan yang berlebihan menyebabkan kerusakan

tanah hingga 11% dari permukaan bumi hingga pada taraf yang sangat parah.

Kita membutuhkan biaya yang sangat besar untuk memulihkannya.

g. Deforestasi atau penghancuran hutan. Deforestasi di seluruh dunia berada

pada tingkat yang memprihatinkan, yakni sekitar 13 juta ha/tahun atau setara

dengan luas negara Yunani. Kehancuran ini disebabkan oleh penebangan

hutan dan pembukaan lahan untuk pemukiman, perkebunan, dan lain-lain.

Di Indonesia, krisis ekologi tidak jauh berbeda keadaannya. Masalah-masalah

seperti: peningkatan laju pertambahan penduduk8, urbanisasi,

9 konversi lahan

7 Lebih dari 1,8 milyar ton limbah dihasilkan Eropa setiap tahunnya atau setara dengan 3,5

ton/orang/tahun.

8 Dengan asumsi laju pertumbuhan 0,92% per-tahun antara tahun 2020-2025, maka pada tahun

2025 Indonesia akan menjadi negara keempat terbesar penduduknya di dunia (sekitar 273 juta

jiwa).

9 Urbanisasi akan berdampak pada peningkatan jumlah dan luas daerah perkotaan dengan segala

permasalahannya. Pertumbuhan daerah perkotaan biasanya diikuti pula dengan pertambahan

daerah kumuh. Kelompok penduduk di daerah kumuh ini rentan dengan penyakit dan

©UKDW

5

yang terjadi secara besar-besaran10

, pencemaran air, pencemaran udara,

pembukaan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pencemaran pesisir

pantai dan lautan,11

telah menjadi persoalan mendesak yang menuntut perhatian

dan tanggung jawab kita bersama.

2. Krisis Ekologi sebagai Krisis Cara pandang, Krisis Etika-Moral, dan Krisis

Spiritual

Namun, meski tampaknya krisis ekologi adalah persoalan lingkungan fisik,

sesungguhnya krisis yang kita hadapi adalah krisis yang bersumber pada hal-hal yang

lebih fundamental. Yakni krisis yang berkaitan dengan cara pandang (worldview) kita

di dalam menyikapi kehidupan di dunia khususnya sumber daya alam. Krisis cara

pandang ini yang kemudian melahirkan ketimpangan dalam moral dan etika manusia,

serta yang mau tak mau bahwa kita (gereja) pun sebenarnya tengah mengalami suatu

krisis spiritual dan krisis teologis.

a. Krisis Worldview12

atau Rusaknya Cara Pandang Manusia

Menurut Haskarlianus Pasang, salah satu masalah yang dihadapi dunia saat ini

(termasuk kekristenan) adalah orang tidak lagi setia mengembangkan cara

kemiskinan khas kota besar. Karena dengan kepadatan penduduk yang tinggi, mereka

mengalami masalah kurangnya pasokan air besih, sanitasi buruk, drainase buruk, pemukiman

becek dan sempit, serta tak ada akses terhadap jasa pembuangan sampah. Sebagian besar kepala

keluarga pun tidak berpenghasilan tetap karena rendahnya tingkat pendidikan mereka.

10

Areal hutan lindung mengalami pengurangan jutaan hektar untuk dijadikan pemukiman-

pemukiman baru, lahan pertanian (bahkan untuk areal pertambangan) akibat meledaknya

jumlah penduduk. Kemudan terjadi degradasi areal hutan di Indonesia yang menyebabkan erosi

dan berbagai pencemaran air dan tanah.

11

Robert Borrong dalam bukunya Etika Bumi Baru (2009: 58-121) memaparkan kurang lebih hal

yang sama,yakni krisis ekologi karena eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan baik

secara global, nasional, maupun lokal, telah menyebabkan krisis lahan pertanian dan kelestarian

hutan, krisis makhluk hidup dan keanekaragama hayati, krisis energi dan bahan-bahan material,

terjadinya pemanasan global karena krisis atmosfer (penipisan lapisan ozon), hujan asam, dan

krisis hidrosfer dan litosfer (karena pencemaran limbah industri, pupuk dan pestisida serta

sampah domestik.

12

Secara umum worldview didefinisikan sebagai ‘bagaimana seseorang melihat atau memahami

realitas’ atau ‘sebuah bingkai dengan mana seseorang menilai kehidupan’. Dimana worldview

selalu berakhir dengan tindakan. Sebab apa yang dipikirkan dan dinilai menuntun seseorang

pada apa yang diputuskan dan dilakukan. Worldview seseorang biasanya didasarkan pada

budaya atau kebiasaan-kebiasaan tertentu, keyakinan/agama, dan paham-paham yang

berkembang saat ini misalnya materialisme, hedonisme, humanisme, dll. (Pasang: 2011-77)

©UKDW

6

pandang yang benar. Misalnya, menuntaskan masalah dengan pendekatan

pragmatis tanpa fakta dan analisa mendalam.13

Termasuk di dalamnya cara

manusia memperlakukan alam semesta. Saat ini industri ekstraktif pertambangan

banyak dibangun tanpa analisa dampak lingkungan (AMDAL) yang memadai.

Yang penting hasil tambang dikeruk dan segera menghasilkan uang.

Fenomena tersebut seakan menjelaskan begitu banyak manusia saat ini

melakukan pelanggaran terhadap lingkungan yang didasari oleh paham

materialisme (mengutamakan materi) dan hedonisme (mengutamakan kenikmatan

hidup) dengan dalih kesejahteraan hidup.

Bukan berarti manusia tidak berhak atas kesejahteraannya. Akan tetapi

kesejahteraan seperti apa? Apakah yang dilandasi oleh rasa cukup (secukupnya)

atau sebaliknya, kesejahteraan yang didasarkan pada kebutuhan yang tak terbatas

(keserakahan).

b. Krisis Etika dan Moral

Cara pandang pada gilirannya akan menentukan sikap etis seseorang atau

sekelompok orang. Cara pandang manusia terhadap kekayaan alam dari bingkai

ekonomi dan keuntungan belaka, akan terwujud dalam cara mereka mengelola

SDA tanpa mempedulikan aspek-aspek lain seperti, dampak kerusakan ekologi,

dampak sosial, budaya, bahkan dampak-dampak lain yang bersifat politis dan

pelanggaran HAM.

Sebagaimana kita ketahui, lingkungan hidup di planet bumi dikategorikan dalam

tiga kelompok dasar, yakni; 1) Lingkungan fisik (benda-benda mati, seperti

batuan, tanah, udara, gas, mineral, air, dan energi matahari); 2) Lingkungan

biologis (semua mahkluk hidup di sekitar manusia, berupa binatang dan

tumbuhan); dan 3) Lingkungan sosial (manusia lain di sekitar kita).

Ketiga unsur ini meski secara kuantitas berbeda namun mempunyai peran yang

sama pentingnya di dalam menopang kehidupan ekosistem bumi dan ekosfer

13

Pasang, Mengasihi Lingkungan, hal. 77

©UKDW

7

yang seimbang. Dengan kata lain, manusia memiliki pengaruh yang signifikan di

dalam memperlakukan lingkungan fisik dan lingkungan biologis. Dan secara

timbal balik, kualitas hubungan sosial (termasuk dalam aspek politik dan

ekonomi), berpengaruh pula terhadap kualitas hubungan manusia dengan alam.14

Maka, apabila terjadi eksploitasi yang tak terbatas –dalam arti manusia

mengambil lebih dari yang diperlukannya—akan terjadi krisis lingkungan. Tidak

akan ada lagi keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan antara manusia dan

alam.15

Sebab, manusia hanya menilai alam sebatas sarana dan alat atau materi. Alam

atau lingkungan hidup tidak punya nilai lain pada dirinya sendiri kecuali materi

dan karena itu dipandang hanya bernilai ekonomi. Alam atau lingkungan,

khususnya planet bumi ini hanya berfungsi sebagai sarana untuk ditinggali oleh

manusia dan sebagai alat untuk menyejahterakan dan membahagiakan manusia.

Sebagai sarana atau alat, maka alam (ekologi) dilihat hanya sebatas materi

(ekonomi). Fungsi ekologi diganti menjadi fungsi ekonomi semata.16

Sikap dan tindakan demikian mencerminkan hilangnya etika dan tanggung jawab

moral dari manusia yang mendiami bumi ini. Maka, ketika krisis ekologi terjadi

dimana-mana itu merupakan akibat langsung dari pengelolaan lingkungan hidup

yang ‘nir-etik’17

.

Itulah sebabnya, satu-satunya sumber dari terganggunya ekosistem dan rusaknya

lingkungan adalah manusia yang menyalahgunakan kekuasaan mereka.

Manusialah penyebab dominan satu-satunya kerusakan lingkungan hidup.

Dengan dalih bahwa manusia berhak untuk mendayagunakan semua potensi atau

sumber daya alam bagi kepentingan mereka. Itulah yang melandasi manusia

mengeksploitasi sumber-sumber alam secara tidak terbatas.

14

Borrong, Etika Bumi Baru, hal.18-19 15

Borrong, Etika Bumi Baru, hal. 35-36 16

Borong, Etika Bumi Baru hal. 138-140 17

Borrong, Etika Bumi Baru, hal. 1

©UKDW

8

c. Krisis Spiritual (teologis)

Namun ada krisis yang lebih mendasar di dalam masalah ekologi yakni krisis

spiritual (teologis). Dengan menggunakan metafora alam semesta ini sebagai

wajah dan tubuh Allah, rusaknya bumi dan kehidupan mahkluk hidup oleh

pemanasan global, secara tidak langsung merupakan perwujudan dari rusaknya

wajah Allah sendiri. Gambaran mengenai ‘Wajah Allah’ hendak menggambarkan

persamaan antara manusia dengan Allah untuk menunjukkan bahwa esensi dan

eksistensi manusia memiliki relasi yang kuat dengan Allah. Ketika terjadi

degradasi moral pada diri manusia yang merusak alam semesta ciptaan Allah,

dengan sendirinya wajah Allah dalam diri manusia pun telah rusak. Penjelasan ini

juga dilandaskan pada Alkitab yang menyatakan bahwa manusia diciptakan

menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26-27). Dan oleh karenanya gereja

memandang manusia, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai cerminan wajah

Allah sendiri.18

Karel Phil Erari (2006) bahkan lebih tajam lagi di dalam menyoroti krisis ekologi,

yang ia sebut sebagai Ecocida. Ecocida menurut Erari merupakan pemusnahan

lingkungan hidup yang berdampak pada pengingkaran Hak Azasi Manusia

(HAM), yang tampil sebagai kejahatan terhadap ciptaan Allah.19

Sebuah proses

ecocida akan berlangsung ketika suatu ekosistem hutan dengan seluruh habitatnya

habis dibabat hanya karena motif ekonomi tanpa pertimbangan ekologis dan

kesejahteraan manusia setempat.20

Erari menyebutkan satu contoh yang terjadi pada suku Amungme di Papua yang

alamnya rusak oleh pertambangan emas PT. Freeport. Masyarakat suku

Amungme meyakini bahwa antara manusia dan alam terjalin suatu ikatan hidup

18

Juliana F. Harsanti & Laurinciana Sambuanga Sampebatu, Animasi Keadilan dan Perdamaian

– Modul bagi Fasilitator, Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau,

Konfererensi Waligereja Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 61

19

Erari, Karel Phil, “Gereja di Tengah Abad Ecocida” dalam Ngelow, Z, dkk., Teologi Bencana

–Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Yayasan Oase Intim –

Lembaga Praksis Pelayanan dan Kajian Teologi Kontekstual Indonesia Timur, Makassar, 2006,

hal. 327

20

Erari, Gereja di Tengah Abad Ecocida, hal. 329

©UKDW

9

yang sangat erat. Namun kehadiran pertambangan emas telah mendatangkan

melapetaka spiritual21

yang tak bisa diganti oleh apapun dan tak bisa dibayar

berapapun harganya. Penghancuran dua gunung yang memiliki kekuatan spiritual

itu merupakan simbol kuasa manusia terhadap alam.22

Oleh karenanya ketika terjadinya penurunan kualitas sumber daya alam (air,

tanah, dan udara) yang merupakan krisis ekologi, secara tidak langsung juga

merupakan persoalan teologis. Sebab dalam kenyataannya kini, kerusakan yang

ditimbulkan oleh manusia, yakni ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam

siklus kehidupan tak bisa lagi diatasi oleh peraturan-peraturan (UU dan produk

hukum lainnya) yang semula bertujuan melindungi kelestarian lingkungan.

Dengan demikian semakin jelas bahwa ecocida merupakan krisis teologis, karena

alam yang diciptakan secara sempurna oleh Allah kini menjadi cacat dan menuju

ambang kehancuran.

3. Krisis Ekologi karena Industri Pertambangan

Salah satu faktor yang turut menyumbang terjadinya krisis ekologi atau pemanasan

global adalah industri pertambangan. Ini karena untuk membangun industri

pertambangan dibutuhkan lahan yang sangat luas dan terutama sumber air yang

sangat besar. Perluasan lahan tambang meningkatkan aktivitas penebangan pohon

atau konversi lahan.

Siti Maimunah dalam Negara Tambang dan Masyarakat Adat menyebutkan, kebutuhan

lahan yang luas membuat industri ini kerap merusak kawasan tangkapan dan resapan

air akibat dari adanya aktivitas penggalian batuan. Apalagi sejak presiden Susilo

Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 02 tahun 2008,

tentang penyewaan hutan lindung sebagai kawasan pertambangan dengan patokan

21

Dalam hal ini, kekayaan spiritual melalui ritual dan pemaknaan yang melekat dalam

kehidupan suku/ komunitas asli di Papua telah musnah oleh kepentingan ekonomi.

22

Erari, Gereja di Tengah Abad Ecocida, hal. 330.

©UKDW

10

harga yang sangat murah.23

Itulah faktor utama dari dampak negatif pertambangan,

yang umumnya berkorelasi langsung dengan kerusakan lingkungan.

Pertambangan juga menyebabkan menyusutnya cadangan energi dengan cepat. Siti

Maimunah menulis, sepanjang lebih dari tiga dasawarsa Indonesia mengelola tiga

perempat cadangan minyak yang terus menyusut, serta seperenam cadangan gas

alam yang luar biasa. Laju produksi minyak bumi Indonesia terus menurun secara

teratur sejak 1995, dan cadangan yang tersisa akan habis pada 10-20 tahun

mendatang.24

Ini karena minyak dan gas bumi diperlakukan semata-mata sebagai

sumber keuangan negara, yang pada akhirnya untuk membayar bunga hutang luar

negeri yang membelit.25

Itu sebabnya, meskipun penanaman modal di Indonesia

telah berlangsung sedemikian luasnya, meliputi pertambangan, migas, perkebunan,

kehutanan, dan perikanan, akan tetapi kesemuanya tak kunjung menyejahterakan

rakyat Indonesia.

Pertambangan pun kerap memunculkan konflik-konflik sosial dan pelanggaran

HAM yang menimbulkan korban, baik korban meninggal maupun luka-luka.

Konflik dan pertikaian itu terjadi antara warga pro dan kontra, warga dengan

penambang tradisional, warga dengan aparat keamanan, dan kekerasan langsung

oleh aparat keamanan yang berpihak kepada perusahaan, termasuk warga dengan

perusahaan. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mendata, sejak tahun 1970

hingga Juli 2012, sebanyak 62 orang meninggal karea tertembak dan 432 orang luka

parah. Yang memprihatinkan, 54 dari 62 orang tersebut adalah korban dari lokasi

pertambangan emas.

Di luar poin-poin yang tertulis di atas, masih banyak dampak negatif yang

diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Dari berbagai sumber/dokumentasi dan

pengamatan, penulis mencatat ada puluhan dampak yang berkaitan dengan dampak

ekonomi baik makro maupun mikro, dampak sosial & budaya, dampak

23

Siti Maimunah, Negara Tambang dan Masyarakat Adat, hal.10-11 Siti Maimunah, Negara

Tambang dan Masyarakat Adat, – Perspektif HAM dalam Pengelolaan Pertambangan yang

berbasis Lingkungan dan Kearifan Lokal, In-Trans Publishing, Malang, 2012, hal. 10-11

24

Siti Maimunah, Negara Tambang dan Masyarakat Adat, hal. 2 25

Siti Maimunah, Negara Tambang dan Masyarakat Adat, hal. 3

©UKDW

11

ekologi/lingkungan hidup, dampak politik, serta dampak-dampak yang berkaitan

dengan pelanggaran hukum dan HAM, kriminalitas, dan konflik mutli dimensi.26

a. Tambang dan Kemiskinan

Tidak heran jika di daerah pertambangan tingkat kemiskinan dan pengangguran

sangat tinggi. Sebab sesungguhnya upaya eksploitasi SDA tidak mengubah nasib

rakyat. Apa yang didapat oleh rakyat dari masifnya eksploitasi tambang, minyak

dan gas, dari waktu ke waktu? Yakni, kemiskinan, kehancuran lingkungan,

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), rubuhnya sistem sosial budaya

masyarakat, marjinalisasi kaum perempuan dan berbagai dampak lainnya,

sebagaimana dirilis oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada tahun

2005.27

Berikut tabel prosentase penduduk miskin di beberapa propinsi di Indonesia yang

memiliki cukup banyak Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan juga kontrak

kerjasama migas. Namun data tersebut baru mencakup sebagian wilayah saja.

Kantong-kantong kemiskinan berikutnya ‘dicetak’ di wilayah lain di seluruh

provinsi Indonesia.

Tabel 1

Prosentase Penduduk Miskin di Indonesia yang Memiliki Izin Usaha Pertambangan

(IUP) dan Kontrak Kerjasama Migas

Propinsi Jumlah

Izin

Tambang*

Jumlah

Kontrak

Migas

Prosentase

Penduduk Miskin

Kota Desa

Sumatera Selatan 189 29 16,73 14,67

Bangka Belitung 303 - 4,39 8,45

Jawa Timur 209 24 10,58 19,74

Kalimantan Timur 788 25 4,02 13,66

26

Penjelasan secara khusus mengenai dampak negatif pertambangan tertera pada Bab II.

27

Siti Maimunah, Negara Tambang dan Masyarakat Adat, hal. 3

©UKDW

12

Kalimantan Selatan 261 2 4,54 5,69

NAD 75 4 14,65 23,54

NTT 56 1 13,57 25,10

Papua 9 22 5,55 46,02

Sumber: www.jatam.org

b. Masalah Pertambangan di Sulawesi Tenggara

Sulawesi Tenggara (Sultra) masuk dalam wilayah yang mengalami kerusakan akibat

pertambangan. Pertambangan di sejumlah daerah di wilayah Sultra telah

menyebabkan kerusakan lingkungan dan beberapa daerah sentra pertanian seperti di

Bombana, mengalami gagal panen. Gagal panen yang berkorelasi langsung dengan

meningkatnya harga beras di pasaran ini disebabkan oleh kekeringan dan sebaliknya

diguyur hujan deras. Rupanya, gagalnya pencapaian hasil produksi padi (gabah)

tidak hanya dirasakan para petani di Bombana, juga di beberapa daerah sentra

penghasil beras terbesar lainnya di Sultra, yakni di Kabupaten Konawe, Konawe

Selatan, dan sebagian di Kabupaten Kolaka dan Buton.28

Meski demikian, sudah banyak wilayah-wilayah di Sulawesi Tenggara (tidak

terkecuali pesisir dan pulau-pulau kecilnya) yang dikapling untuk pertambangan.

Misalnya di Pulau Kabaena, sebanyak 55% luas lahannya telah dikapling oleh

pertambangan.29

Penolakan dari warga sudah jelas ada. Tidak kurang dari tokoh adat masyarakat

Kabaena yang meminta kepada seluruh warga Pulau Kabaena untuk menolak

28

https://m3sultra.wordpress.com/2010/07/20/ratusan-hekter-sawah-bombana-gagal-panen/

diakses 30 Oktober 2011– parahnya, ketiga daerah tersebut merupakan wilayah yang banyak

berdiri perusahaan tambang -em.

29

www.jatam.org diakses 20 September 2012

©UKDW

13

kehadiran perusahaan tambang di pulau tersebut, karena hanya membawa

kesengsaraan dan penderitaan bagi warga.30

Menurut Ketua Lembaga Adat Moronene (LAM) Kabaena, kehadiran puluhan

perusahaan tambang di pulau Kabaena telah memberikan dampak negatif terhadap

lingkungan sosial. Antara lain; terjadinya kecemburuan sosial karena sejumlah

perusahaan tidak adil terhadap seluruh warga Pulau Kabaena dan sejumlah sumber

mata air di sekitar kawasan pesisir pantai tertutup oleh lumpur tanah yang meluber

dari kawasan penambangan. Bahkan lahan usaha yang menjadi sumber pencaharian

pokok masyarakat, seperti area budidaya rumput laut, lahan perkebunan, dan

tanaman enau sebagai bahan baku membuat gula aren rusak tercemar limbah

perusahaan.

Kabupaten Bombana yang berdiri pada tahun 2003 memiliki potensi SDA yang

melimpah. Namun demikian, potensi-potensi unggulan daerah ini bukan hanya

tambang. Pemerintah kabupaten (pemkab) Bombana pun mengelola komoditi

unggulan lainnya, seperti: pertanian, perkebunan (kakao, kopi, kelapa, cengkeh,

jambu mete, lada, pala), peternakan, dan jasa.31

Namun pada tahun 2008 Bombana menjadi sorotan ketika masyarakat setempat

menemukan emas di wilayah-wilayah yang bukan areal pertambangan resmi. Tidak

perlu teknologi tinggi, siapapun bisa menggali emas hanya dengan alat sederhana.

Saat itu hampir separuh tenaga kerja informal di kota Kendari dan sekitarnya

berbondong-bondong menambang emas di Bombana. Pendapatan instan dari hasil

menambang memang menggiurkan. Namun para penambang mengabaikan faktor

kerusakan lingkungan yang merugikan para petani. Bukan itu saja, dampak ikutan

dari aktivitas pertambangan ilegal ini turut memunculkan persoalan yang

memprihatinkan seperti pelacuran dan kriminalitas.

30

http://kabaenaonline.webs.com/apps/blog/show/10348606-lam-kabaena-serukan-penolakan-

perusahaan-tambang diakses 6 September 2012.

31

http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/displayprofil.php?ia=7406 diakses 17

September 2012.

©UKDW

14

c. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sultra dan Pro-Kontranya

Meski demikian, pemerintah bersama DPR RI pada tahun 2009 telah mencanangkan

Undang-

undang

Nomor 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus/KEK32

(selanjutnya disebut

dengan istilah KEK). Salah satu tujuan pembuatan UU ini adalah untuk mempercepat

pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi

pengembangan ekonomi nasional. Selain itu juga untuk menjaga keseimbangan

kemajuan suatu daerah dalam kesatuan ekonomi nasional.33

Adapun landasan dibuatnya UU tersebut antara lain; ketentuan di Pasal 31 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, serta Pasal 5 ayat

(1), Pasal 20, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun1945.34

Berdasarkan UU tersebut, yang termasuk dalam KEK adalah kawasan dengan batas

tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan

untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

Dimana KEK akan dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki

keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan

industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi

dan daya saing internasional.35

Dengan bentuk-bentuk usaha, seperti; pengolahan

ekspor, logistik; industri, pengembangan teknologi, pariwisata, energi; dan/atau,

ekonomi lain. Dalam UU tersebut telah ditetapkan kriteria yang sesuai dengan

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan tidak berpotensi mengganggu kawasan

lindung.

Sulawesi Tenggara (Sultra) masuk dalam wilayah KEK. Bahkan pada tahun 2011 lalu

presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyetujui rencana pemerintah provinsi

32

www.menpan.go.id/index.php? diakses 8 Agustus 2012 33

Pembukaan UU No. 3/2009 – Menimbang no. 2 34

Pembukaan UU No. 3/2009 - Menimbang no. 3 35

UU No. 3/2009 pasal 2

©UKDW

15

(pemprov) untuk menjadikan Sultra sebagai kawasan ekonomi khusus bidang

pertambangan.

Adalah Gubernur Sultra, H. Nur Alam yang bersemangat menjadikan wilayah

pemerintahannya sebagai KEK. Antara lain dengan memanfaatkan potensi tambang

unggulan yakni emas, nikel, dan aspal yang menjadi salah satu modal pembangunan

ekonomi. Menurutnya, potensi nikel di Sultra mencapai 97,4 miliar ton atau senilai Rp

48.000 triliun.36

Nur Alam pun berjanji bahwa pengelolaannya akan lebih efektif dan

terkendali sehingga tak merusak lingkungan.37

Faktor lain yang mendorong pemimpin Sultra ini memperjuangkan KEK adalah di

masa tiga tahun masa kepemimpinannya (tahun 2010) perkembangan indikator makro

ekonomi Sulawesi Tenggara menunjukkan kinerja baik. Rata-rata pertumbuhan

ekonomi tahun 2010 mencapai 8,51 %.38

Tingginya animo pemerintah Sulawesi Tenggara menjadikan kawasannya sebagai

KEK didasarkan pada asumsi bahwa KEK pertambangan dapat menunjang program

pembangunan ekonomi yang akan menyejahterakan rakyat.

Akan tetapi banyak pihak yang meragukan hal tersebut. Salah satunya adalah Prof.

Jusuf Abadi (Pembantu Rektor IV Universitas Haluoleo, Kendari). Ia mengatakan

bahwa potensi di Sultra cukup beragam dan seharusnya perolehan dari sumber daya

alam yang banyak bisa menyejahterakan rakyat di daerah ini. Tapi tidak demikian

yang terjadi. Bahkan kontribusi daerah terhadap nasional saja baru 0,5 persen. Jika

dimanfaatkan secara optimal, kontribusi Sultra terhadap perekonomian nasional bisa

mencapai 1 – 2 persen.39

36

http://metropolitan.inilah.com/read/detail/894782/URLTEENAGE diakses 9 September 2012.

37

http://www.politikindonesia.com/index.php?k=ekonomi&i=17272-Lewat-3-Komoditas-

Unggul,-Sultra-Siap-jadi-KEK diakses 9 September 2012.

38

http://ozzonradio.com/home/2011/01/ekonomi-sultra-tumbuh-signifikan/

January 10th, 2011 at 2:35 pm – diakses 9 September 2012 - Pertumbuhan ekonomi di periode

Januari- September 2010 meningkat cukup tinggi, dengan rincian; triwulan pertama 8,23 %,

triwulan kedua 8,98%, dan triwulan ketiga 8,32%.

39

http://ozzonradio.com/home/2011/03/pro-kontra-kek/ diakses 9 September 2012.

©UKDW

16

Pandangan yang lebih pesimis datang dari kalangan aktivis lingkungan seperti

WALHI Sultra. Menurut mereka, pembangunan perekonomian yang terfokus pada

pertambangan tidak menjamin akan membuat masyarakat sejahtera. WALHI

memaparkan bahwa selama ini tidak ada bukti empiris bila daerah pertambangan akan

menyejahterakan masyarakat. Yang terjadi malah sebaliknya. Pertambangan merusak

lingkungan, bahkan eksistensinya selalu menimbulkan konflik antar masyarakat.

Apalagi jika pengelolaan pertambangan selalu dilakukan oleh investor yang bersifat

kolonial. Namun ditegaskan oleh WALHI bahwa bukan berarti kelompok ini anti

investasi.40

Penolakan WALHI Sultra secara eksplisit pernah disampaikan dalam siaran persnya

pada tanggal 25 Januari 2010, yang pada prinsipnya mereka menolak rencana

pemerintah yang ingin menjadikan provinsi Sulawesi Tenggara sebagai Kawasan

Ekonomi Khusus (KEK) Pertambangan Nasional, karena: pertama, KEK bernafaskan

pembentukan zonasi perdagangan yang bebas dari campur tangan negara dan

merupakan adopsi sistem Free Trade Area (FTA).

Kedua, adanya sejumlah masalah fundamental yang harus dijadikan perhatian pokok

pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan menyetujui provinsi Sulawesi Tenggara

menjadi KEK Pertambangan Nasional, yaitu: (1) dari sisi demokrasi pemerintahan

rencana ini belum mendapat persetujuan dari DPRD Propinsi Sultra juga para

Bupati/Walikota yang wilayahnya akan menjadi KEK (Kabupaten Buton, Konawe,

Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka dan Kolaka Utara) sesuai Pasal 4 (b) UU

KEK 39/2009. Persetujuan ini juga mesti mendengarkan suara dan aspirasi luas dari

publik di Sultra. Kami mencatat, belum pernah Gubernur melakukan suatu sosialisasi

publik terkait dengan rencana ini. Padahal, sosialisasi dengan melibatkan komponen-

komponen masyarakat, utamanya yang miskin dan akan jadi korban dari kebijakan

KEK ini, adalah hal yang penting.

Ketiga, penetapan KEK harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah

(RTRW) dan tidak berpotensi mengancam hutan lindung sesuai Pasal 4 (a) UU KEK

39/2009. Padahal saat petisi ini disampaikan (2010) RTRW-P Sulawesi Tenggara

40

http://ozzonradio.com/home/2011/03/pro-kontra-kek/ diakses 9 September 2012.

©UKDW

17

sedang dalam tahap rencana revisi berdasarkan UU No.26/2007 tentang Tata Ruang

Nasional.

Keempat, penetapan Sultra sebagai KEK Pertambangan Nasional juga belum

didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Valuasi Ekonomi

Sumber Daya Alam sebagaimana amanat UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kelima, KEK berpotensi kuat melahirkan konflik atas tanah dan sumber daya alam

dimana penetapan KEK Pertambangan Nasional akan memaksa petani dan masyarakat

adat serta warga yang berdomisili di wilayah yang ditunjuk sebagai KEK, akan

berhadap-hadapan secara vertikal dengan gabungan kepentingan pemilik modal dan

aparatur negara. Warga yang menolak juga akan berpotensi konflik horizontal dengan

warga yang menerima wilayahnya jadi KEK Pertambangan Nasional.

Keenam, menjadikan Sultra sebagai kawasan pertambangan nasional juga akan

mengancam secara ekologis Kawasan Ekologi Genting (KEG) yang menjadi sumber-

sumber kehidupan rakyat. Pertambangan akan selalu identik dengan tindakan brutal

merusak alam, khususnya hutan dan pesisir-laut, mencemari lingkungan,

menyuburkan konflik vertikal dan horizontal di tengah rakyat, menyuburkan korupsi

aparat negara, menciptakan kemiskinan ekonomi-sosial-budaya struktural, serta

melestarikan rampokisasi sumber daya alam oleh pemodal asing maupun nasional.

Ketujuh, Pemerintah Sulawesi Tenggara harusnya belajar dari praktek-praktek

pertambangan di sejumlah wilayah seperti Bangka Belitung, Papua, Kalimantan

Timur, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara

Barat. Di wilayah-wilayah ini, negara jelas mendapatkan kerugian ekonomi, sosial

maupun ekologis dari industri ekstraktif pertambangan. Hadirnya perusahaan

tambang, bukan saja tak dapat menyejahterakan negeri, untuk menyejahterakan

masyarakat lingkar tambang beserta alamnya pun sulit. Hasil tambang habis dikuras

untuk kepentingan ekspor (pemilik modal), dan meninggalkan lubang-lubang tambang

beracun, serta derita kemiskinan dan kehancuran lingkungan hidup.

©UKDW

18

4. Sikap terhadap Kehadiran Perusahaan Tambang dan Antisipasi Warga Gereja

terhadap Dampak Negatif Pertambangan

Jika berbagai elemen masyarakat, misalnya sebagian warga setempat dan LSM-LSM

pemerhati lingkungan menolak keras kehadiran perusahaan tambang yang tidak

menyejahterakan masyarakat; bagaimana dengan sikap elemen masyarakat lainnya,

dalam hal ini warga gereja?

Sejauh pengamatan penulis selama beberapa tahun di Kendari, kehadiran investasi asing

dan investasi dari luar daerah disambut positif oleh warga gereja dan komunitas-

komunitas Kristen. Alasan yang paling umum adalah karena investasi bisa memberikan

lapangan pekerjaan bagi pemuda, para sarjana, maupun tenaga kerja yang sudah

berpengalaman di kota Kendari dan wilayah lainnya di Sulawesi Tenggara. Dalam

beberapa pertemuan komunitas Kristen, tersirat harapan yang kuat agar para investor

hadir di Sulawesi Tenggara, membuka lapangan pekerjaan dan pemanfaatan SDA secara

maksimal.

Oleh karena itu ketika pada tahun 2005-2010 banyak perusahaan/pabrik-pabrik

perkebunan kelapa sawit dan tambang (skala kecil maupun skala besar), masyarakat di

Sulawesi Tenggara termasuk warga gereja menyambut positif. Bahkan beberapa warga

gereja yang penulis kenal turut bergerak/berusaha dalam bidang pertambangan.

Tidak heran jika dalam dua dekade ini pengelolaan hasil-hasil tambang semakin digenjot.

Sebab potensi sumber daya mineral yang dimiliki provinsi Sultra sangat besar.

Berdasarkan data dari situs www.esdm.go.id sektor pertambangan yang masih memiliki

potensi untuk dikembangkan atara lain nikel di wilayah sekitar Pomala dan Kolaka, dan

aspal di Buton. Untuk produk-produk lainnya seperti, chromit, pasir, batu koral, marmer,

batu gamping, masih tersebar dalam jumlah yang cukup banyak dan dapat dikembangkan

lebih optimal.41

41

http://www.esdm.go.id/berita/artikel/56-artikel/2669-peluang-investasi-di-sulawesi-4-sulawesi-

tenggara.html diakses 30 Maret 2013.

©UKDW

19

Oleh karena itu pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara membuka kesempatan seluas-

luasnya bagi kalangan investor untuk berinvestasi di sektor pertambangan. Dan untuk itu

berbagai insentif dan kemudahan akan diberikan. Misalnya sarana jalan, jembatan, dan

pelabuhan. Diharapkan, fasilitas tersebut dapat mempermudah dan mempercepat tahap

eksploitasi. Akhirnya, sektor pertambangan di provinsi ini dapat menjadi perhatian

investor nasional maupun asing yang bergerak di bidang pertambangan.42

Akan tetapi, bagaimana dengan kesiapan warga gereja di dalam mengantisipasi dampak

negatif pertambangan? Antisipasi dalam pengertian umum adalah perhitungan

(meramalkan, memprediksi, menduga) sekaligus sebuah penyesuaian mental terhadap

hal-hal yang akan terjadi di masa depan.43

Bercermin dari praktek-praktek pertambangan di daerah lain yang tidak menyejahterakan

masyarakat setempat, apakah warga gereja --khususnya Gepsultra sebagai gereja lokal

yang memiliki jemaat terbesar-- sebagai bagian dari pemangku kepentingan (stake

holder) di wilayah Sulawesi Tenggara melakukan antisipasi?

Meskipun provinsi Sulawesi Tenggara memiliki sumber daya alam yang melimpah dan

dijadikan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus bidang Pertambangan Nasional namun

Sultra masuk dalam wilayah yang rawan bencana sosial dan bencana lingkungan akibat

pertambangan. Memang secara statistik tingkat kerusakannya masih di bawah daerah lain

di luar Sultra seperti Papua dan Kalimantan. Alam tetapi antisipasi seluruh pemangku

kepentingan bermanfaat untuk mencegah bencana serupa terjadi sehingga tingkat dan

kadar dampak negatif eksplorasi/eksploitasi pertambangan bisa diminimalisir di wilayah

ini.

Apalagi Gepsultra --baik secara langsung maupun tidak langsung-- memiliki kepedulian

terhadap keberlangsungan siklus alam. Misalnya dengan menerapkan pemberdayaan

42

http://m.energitoday.com/2013/01/29/potensi-tambang-sulawesi-tenggara-dalam-kepungan-

investor/ diakses 30 Maret 2013 - Daya tarik lainnya adalah populasi penduduk Indonesia yang

mencapai 250 juta orang, tersedianya bahan baku alam yang berlimpah, tingkat pertumbuhan

ekonomi yang terus berkembang hingga 6-7 persen per tahun, dan dinamika politik yang relatif

tidak menganggu iklim investasi.

43

Disarikan dari http://www.kbbi.web.id/ diakses 3 September 2012.

©UKDW

20

ekonomi jemaat melalui pengolahan lahan-lahan pertanian. Sebab sebagaian besar jemaat

Gepsultra adalah petani.44

Selain itu sejak awal berdirinya, Gepsultra turut berperan

dalam berbagai program pemerintah dalam melestarikan lingkungan melalui penghijauan

hutan dan penanaman pohon.45

Panggilan untuk menjaga keutuhan atau kelestarian lingkungan tampaknya juga diilhami

dari tradisi pada jemaat asli Gepsultra yakni suku Tolaki dan suku Moronene. Kedua

kelompok masyarakat tersebut memilki kearifan lokal dimana mereka pada dasarnya

sangat menjaga keberlangsungan ekosistem di sekitar mereka.46

Pada suku Tolaki, unsur

alam juga menyatu dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Seperti yang tampak pada

simbol Kalo yang menjadi fokus kebudayaan Tolaki. Mereka menggunakan Kalo sebagai

simbol yang mengekspresikan unsur-unsur manusia, unsur-unsur alam, unsur-unsur

masyarakat, dan unsur-unsur nilai budayanya.47

Unsur alam tidak dapat dilepaskan dalam

kehidupan orang Tolaki.

Pertambangan yang semakin banyak dan ke depannya akan semakin masif tentu tidak

hanya memberi kontribusi yang positif bagi penyediaan lapangan pekerjaan untuk

masyarakat setempat, khususnya warga gereja gespultra. Akan tetapi berpotensi

memunculkan dampak-dampak negatifnya. Baik itu dalam aspek ekologi, ekonomi,

sosial budaya, politik, dan pelanggaran hukum dan HAM.

44

Lihat catatan kaki no. 7 pada Bab II (hal. 33).

45

Ernawati Manurung, “Bencana Sosial sebagai Dampak dari Eksplorasi Pertambangan di

Sulawesi Tenggara” - Laporan Penelitian mata kuliah Teologi Bencana pada Program Magister

Ministry (M.MIN) Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Februari

2012, hal. 22-23

46

Sumber: Tempo Interaktif – “Di sana, Leluhur Mereka Dimakamkan” tanggal 13 Mei 2002

diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Moronene/diakses 3 Agustus 2010

47

A. Tarimana, Rangkuman Disertasi, Kalo sebagai Fokus Kebudayaan Tolaki, Jakarta, 1985,

hal. 1

©UKDW

21

B. Rumusan Masalah

Terkait persoalan-persoalan tersebut di atas, Penulis ingin mengetahui secara obyektif;

Pertama, bagaimana Sikap (variabel I) warga gereja Gepsultra --sebagai gereja lokal

yang kehadirannya sudah cukup lama dan memiliki akar yang kuat dengan kehidupan

sosial masyarakat setempat-- terhadap kehadiran perusahaan-perusahaan tambang di

wilayah mereka. Apakah positif/setuju/favorable atau negatif/tidak setuju/unfavorabel.

Kedua, bagaimana tingkat Antisipasi (variabel II) warga gereja Gepsultra terhadap

dampak negatif eksplorasi tambang (pertambangan) yang berdimensi pada aspek-aspek

kerusakan lingkungan (ekologis), persoalan-persoalan ekonomi, sosial budaya, politik,

dan pelanggaran hukum dan HAM. Apakah tingkat antisipasinya tinggi, sedang, atau

rendah.

Ketiga, apakah ada hubungan/korelasi antara Sikap warga gereja terhadap kehadiran

perusahaan-perusahaan tambang di wilayah mereka dengan tingkat Antisipasi warga

gereja terhadap dampak negatif pertambangan. Kemudian, apa makna dari ada atau

tidaknya hubungan/korelasi kedua variabel tersebut, yakni Sikap Menerima/Menolak

dengan Tingkat Antisipasi Rendah/Tinggi?

Keempat, bagaimana sikap/respon gereja Gepsultra terhadap keberadaan perusahaan-

perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara, khususnya di kabupaten Bombana.

C. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Untuk mendapatkan data mengenai permasalahan yang telah dirumuskan, Penulis

melakukan penelitian di lingkungan Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara (Gepsultra)

Klasis Bombana yang berlokasi di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara pada bulan

April 2013.

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data lapangan, Penulis menggunakan metode penelitian

kuantitatif dalam perolehan data primer (utama) dan metode kualitatif dalam

©UKDW

22

perolehan data sekunder (tambahan). Menurut Silalahi (2012) Penelitian kuantitatif

adalah sebuah penyelidikan tentang masalah sosial berdasarkan pada pengujian

sebuah teori yang terdiri dari variabel-varabel, diukur dengan angka dan dianalisis

dengan prosedur statitik untuk menentukan apakah generalisasi prediktif teori

tersebut benar. Sedangkan penelitian kualitatif merupakan proses penyelidikan untuk

memahami masalah sosial berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik yang

lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara

terperinci, dan disusun dalam sebuah latar ilmiah.48

2. Disain Penelitan

Adapun disain penelitian yang digunakan dalam metode kuantitatif adalah Disain

Korelasional. Disain korelasional bertujuan menyelidiki nilai-nilai dari dua atau lebih

variabel dan menguji atau menentukan hubungan-hubungan (relations) atau

antarhubungan-antarhubungan yang ada di antara mereka di dalam satu lingkaran

tertentu.49

3. Objek dan Pengukuran

a. Objek Penelitian

Yang dimaksud dengan Objek dalam penelitian ini (khususnya yang

menggunakan metode kuantitatif) adalah dua variabel yang akan diukur, yakni:

1) Variabel SIKAP;50

Variabel Sikap terbagi dalam dua kategori, yakni: Sikap yang

positif/setuju/favorabel dan Sikap yang negatif/tidak setuju/unfavorable; dan

48

Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Refika Aditama, Jakarta, 2010, hal.76-77 49

Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal. 181

50

Istilah ‘Sikap’ pertama kali digunakan oleh Herbert Spencer (1862) yang menggunakan kata

ini untuk menunjukkan suatu status mental seseorang. Kemudian pada tahun 1888 Lange

menggunakan konsep ini dalam eksperimen laboratorium. Konsep ini selanjutnya digunakan

oleh para ahli sosiologi dan psikologi. Bagi para ahli psikologi, perhatian terhadap sikap

berakar pada alasan perbedaan individual. Sedangkan para ahli sosiologi sikap memiliki arti

lebih besar untuk menerangkan perubahan sosial dan kebudayaan. Sedangkan L.L Thurstone

(1946) mendefinisikan sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau

negatif yang berhubungan dengan objek psikologi. Objek ini meliputi: simbol, kata-kata,

slogan, orang, lembaga, ide, dll. Orang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek

psikologi apabila ia suka atau memiliki sikap yang favorabel. Sebaliknya adalah negatif atau

unfavorabel (tak-favorabel). (Sumber: Ahmadi, A., Psikologi Sosial, Rinneka Cipta, Jakarta,

2002, hal. 161).

©UKDW

23

2) Variabel ANTISIPASI51

b. Pengukuran

Sedangkan yang dimaksud dengan pengukuran di sini adalah pemberian angka

atau bilangan pada objek-objek/variabel tersebut menurut aturan tertentu.52

1) Untuk mengukur variabel SIKAP, Penulis menggunakan 5(lima) macam

kategori jawaban, yakni:

a) SIKAP yang positif/setuju/favorabel

Sangat Setuju (SS) dengan bobot nilai = 4, Setuju (S) dengan bobot nilai =

3, Netral/Tidak Tahu/Ragu-ragu (N) dengan bobot nilai = 2, Tidak Setuju

(TS) dengan bobot nilai = 1, dan Sangat Tidak Setuju (STS) dengan bobot

nilai = 0, sebagaimana gambar berikut ini:

4 3 2 1 0

----------------------------------------------------------------------------

SS S N TS STS

b) SIKAP yang negatif/tidak setuju/unfavorabel

Sangat Tidak Setuju (STS) dengan bobot nilai = 4, Tidak Setuju (TS)

dengan bobot nilai = 3, Netral/Tidak Tahu/Ragu-ragu (N) dengan bobot

51

Teori atau konsep mengenai antisipasi memiliki begitu banyak dimensi dan nuansa. Oleh

karenanya anticipation merupakan sebuah fenomena studi yang sangat luas yang berada di

dalam disiplin ilmu yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya; biologi dan brain studies,

ilmu-ilmu sosial, teknik, dan arsitektur. Menurut beberapa ahli saat ini belum ada teori/konsep

yang umum mengenai Antisipasi. Untuk itu Penulis menggunakan Kamus Besar Bahasai

Indonesia (KBBI) yang mendefisinikan ‘antisipasi’ sebagai:

1. Noun/kata benda yang bermakna: perhitungan terhadap hal-hal yang akan (belum)

terjadi; bayangan; ramalan;

2. Kata sifat yang berarti: penyesuaian mental terhadap peristiwa yang akan terjadi.

3. Linguistik yang berarti: perubahan bunyi oleh alat ucap yang menyediakan posisi yang

diperlukan untuk menghasilkan bunyi berikutnya;

4. Kata kerja (ber-antisipasi/mengantisipasi/mengantisipasikan), yakni membuat (memiliki)

perhitungan terhadap hal-hal yang akan terjadi. Atau, membuat perhitungan (ramalan,

dugaan) terhadap hal-hal yang belum (akan) terjadi; memperhitungkan sebelum terjadi.

Contoh: Kebijaksanaan regional perlu diambil untuk mengantisipasi perkembangan

tahap berikutnya;

52

Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal. 191

©UKDW

24

nilai = 2, Setuju (S) dengan bobot nilai = 1, dan Sangat Setuju (SS)

dengan bobot nilai = 0, sebagaimana gambar berikut ini:

4 3 2 1 0

----------------------------------------------------------------------------

STS TS N S SS

2) Untuk mengukur variabel ANTISIPASI peneliti menggunakan kategori

jawaban YA/BENAR dan TIDAK/SALAH, namun dalam rentang lima

tingkatan, yaitu: apabila responden memilih jawaban di angka 4 menunjukkan

tingkat antisipasi Sangat Tinggi, di angka 3 untuk tingkat antisipasi Tinggi,

angka 2 untuk tingkat antisipasi Sedang, angka 1 untuk tingkat antisipasi

Rendah, dan angka 0 untuk tingkat antisipasi Sangat Rendah, sebagaimana

gambar berikut ini:

4 3 2 1 0

YA/BENAR ------------------------------------------------------------- TIDAK/SALAH

4. Subjek dan Penarikan Sample

a. Subjek penelitian ini adalah;

(1) Warga/jemaat Gepsultra yang berada di kabupaten atau Klasis Bombana,

Sulawesi Tenggara untuk sebagai subjek penelitian kuantitatif.

(2) Informan yang mewakili pimpinan gereja Gepsultra, baik di tingkat

Sinode, Klasis (Bombana), maupun di tingkat Cabang Kebaktian.

b. Penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan disain Deskripsi dengan

metode/tipe Probabilitas dan teknik kluster/kelompok. Disain deskripsi adalah

penarikan sampel yang bertujuan melakukan generalisasi dan dilakukan

dengan estimasi polulasi.53

Sedangkan metode/tipe probabilitas adalah metode

53

Eriyanto, Teknik Sampling – Analisa Opini Publik, LKiS, Yogyakarta, 2007 hal. 31

©UKDW

25

penarikan sampel untuk tujuan mencari keterwakilan.54

Adapun teknik kluster

adalah penetapan sampel penelitian berdasarkan kelompok (bukan individu).55

5. Analisa Data

Berdasarkan tujuan penelitian ini yakni hendak:

a melihat gambaran umum sikap responden terhadap kehadiran perusahaan

tambang, maka untuk menentukan nilai variabel Sikap, Penulis menggunakan

Cara Sederhana.56

b melihat gambaran umum tingkat antisipasi responden terhadap Dampak Negatif

Pertambangan, untuk menentukan nilai varibel Antisipasi Penulis menggunakan

Cara Sederhana.

c melihat ada tidaknya hubungan/korelasi antara variabel Sikap dengan variabel

Antisipasi, Penulis menggunakan Analisis Korelasional, yang bertujuan menguji

ada tidaknya hubungan antara kedua variabel, dengan bantuan perangkat uji

statistik SPSS (Statistical Package for Social Science) versi 17.

d melihat sikap/respon gereja Gepsultra terhadap keberadaan perusahaan-

perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara, khususnya di kabupaten Bombana,

Penulis menggunakan Analisis Kualitatif, yang terdiri dari alur kegiatan Reduksi

Data, Penyajian Data, dan Penarikan Kesimpulan.57

6. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data kuantitatif dari responden (warga gereja) digunakan

instrumen (alat ukur) penelitian berupa angket. Angket disusun berdasarkan variabel

SIKAP (angket I), dan variabel ANTISIPASI (angket II).58

a. Pada variabel SIKAP ada 3 indikator59

, yakni:

1) Aspek Kognitif, yang berkaitan dengan sistem kepercayaan responden

terhadap objek sikap. Pada aspek Kognitif dibagi lagi menjadi Kognitif

Positif dan Kognitif Negatif.

54

Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal. 258 55

Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal. 269 56

Azwar, hal. 146-147. Dalam penyusunan skala sikap Penulis menggunakan Skala Likert. 57

Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal. 339-341 58

Angket tertera dalam Lampiran 59

Azwar, S., Teori mengenai Sikap Manusia dan Pengukurannya, hal.23 – 28

©UKDW

26

2) Aspek Afektif, yang berkaitan dengan sistem keyakinan atau perasaan

responden terhadap objek sikap. Pada aspek Afektif dibagi lagi menjadi

Afektif Positif dan Afektif Negatif.

3) Aspek Konatif, yang berkaitan dengan kecenderungan perilaku responden

terhadap objek sikap. Pada aspek Konatif dibagi lagi menjadi Konatif Positif

dan Konatif Negatif.

Pembagian masing-masing indikator tersebut dikarenakan variabel Sikap

berkaitan dengan nilai positif/menerima/suka (favorabel) dan nilai

negatif/menolak/tidak suka (unfavorabel). Oleh karena itu dalam setiap setiap

item pernyataan pada instrumen (alat ukur) penelitian mengandung salah satu

nilai tersebut, yang ditandai dengan simbol (+) dan/atau (-)60

. Masing-masing

indikator berisi 10 item pernyataan positif dan negatif. Dengan demikian jumlah

seluruh pernyataan pada variabel ini sebanyak 30 item.

b. Pada variabel ANTISIPASI, Penulis hanya menggunakan 1(satu) indikator,

yakni: “Antisipasi dalam tataran sebagai verb (kata kerja)

(mengantisipasi/berantisipasi).”61

Indikator tersebut dipertalikan dengan 5(lima)

aspek Dampak Negatif Pertambangan, dimana masing-masing indikator dan

aspek berisi 6 item pernyataan. Dengan demikian jumlah seluruh pernyataan

pada variabel ini sebanyak 30 item.

Dengan demikian total jumlah item pernyataan kedua variabel pada angket sebanyak

60 item.62

Sedangkan untuk memperoleh data kualitatif dari informan yang mewakili pimpinan

gereja Gepsultra Penulis menggunakan metode wawancara dan pengamatan

(observasi).

E. Sistematika Penulisan

60

Dalam penyusunan angket yang akan dibagikan kepada repsonden, urutan setiap item akan

diacak dan simbol (+) atau (-) ditiadakan. 61

Lihat Catatan Kaki no. 49 poin 4 62

Lihat Tabel 9 dan Tabel 16 serta pada Lampiran

©UKDW

27

Dalam laporan hasil penelitian (tesis) ini, Penulis menyusun sistematika penulisan

sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

E. Metodologi Penelitian

F. Sistematika Penulisan

Bab II : Gepsultra dan Pertambangan di Sulawesi Tenggara

Bab III : Hasil Penelitian dan Analisanya

Bab IV : Refleksi Teologis

Bab V : Kesimpulan dan Saran Pastoral (Rekomendasi)

©UKDW