bab i pengantar a. latar belakang...
TRANSCRIPT
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
“De Depokkers: Geschiedenis, Sociale Struktuur en
Taalgebruik van een Geisoleerde Gemeenschap”, merupakan judul
artikel dari de Vries yang ditulis pada 1976. Judul yang diangkat
oleh de Vries mencerminkan adanya keterasingan dari satu
komunitas yang tinggal di Depok.1 Daerah tersebut terletak di
perbatasan antara dua pusat administratif penting dalam sejarah
kolonial, yaitu Batavia dan Buitenzorg.
Artikel de Vries menunjukkan bahwa di Depok, ada kegiatan
dari masyarakat yang sering diidentikkan sebagai “Belanda
Depok.” Namun de Vries tidak menjelaskan kapan kehidupan di
Depok dimulai.
1Depok adalah nama desa di Jawa Barat, yang mempunyai
arti pertapaan, atau tempat untuk bertapa. Lihat Suparlan.Y.B., Kamus Kawi Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988) hlm.
30. Dalam Baoesastra Djawa, istilah dépok punya dua arti yaitu sebagai padoenoenganing adjar (pendita) atau tempat tinggal para pandita, dan arti yang lain adalah omah, yang dalam hal ini
diartikan sebagai perkampungan. Lihat W.J.S. Poerwadarminta, C.S. Hardjasoedarma, J.C.H.R. Poedjasoedira, Baoesastra Djawa (J.B. Wolters Uitgevens Maatschappij: Groningen, Batavia, 1939) hlm.104.
2
Dalam catatan Kuntowijoyo, sejarah kota muncul ketika
statusnya ditetapkan sebagai milik seorang pejabat tinggi.2
Dengan demikian sejarah Depok dapat dikatakan dimulai pada
abad ke- 17 ketika daerah itu dimiliki oleh Cornelis Chastelein,
pejabat tinggi VOC.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kajian tentang sejarah
perkotaan, muncul untuk pertama kalinya dalam Seminar Sejarah
Lokal Pertama, tahun 1982 di Bali. Dalam seminar tersebut topik
dan isue yang ada ditekankan pada sebuah sejarah yang problem
oriented, dengan penekanan pada sejarah desa dan kota.3
Munculnya kajian tentang sejarah kota berkaitan erat dengan
kondisi kota-kota pada awal abad ke-20. Menurut Kuntowijoyo,
kota-kota di Indonesia telah beranjak menjadi kekuatan sejarah
tersendiri dan turut berperan serta dalam menggerakkan sejarah
Indonesia”.4
Pertumbuhan kota-kota besar yang pesat diberbagai negara
telah mendapat perhatian para ahli dari berbagai bidang ilmu.
2Menurut Kuntowijoyo, pada abad ke-19 wilayah yang
dianggap sebagai kota negara biasanya di bawah pengawasan langsung oleh pejabat tinggi administratif. Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm.51.
3Ibid., hlm. 7.
4 Ibid., hlm.51.
3
Kota sebagai simbol peradaban5 merupakan tempat pemusatan
berbagai kegiatan sosial-ekonomi, sumber inovasi dan kreasi,
pusat kebudayaan, dan wahana untuk peningkatan kualitas
hidup. Hal ini merupakan daya tarik yang kuat yang menjadi
penyebab mengalirnya penduduk dari desa ke kota. Akan tetapi
jumlah penduduk yang terus meningkat menimbulkan sejumlah
permasalahan bagi kota besar seperti perumahan, serta sarana
dan prasarana kota lainnya.
Kondisi tersebut juga menimpa Batavia,6 yang didirikan
pada tahun 1619 sebagai sebuah benteng dan pos dagang di
wilayah pelabuhan Sunda Kalapa di bawah kekuasaan kerajaan
5Harold M. Meyer, “Definition of City”, dalam Larry. S.
Bourne, Internal Structure of The City. (New York: Oxford University Press, 1971), hlm. 28.
6Ketika berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda sekitar
abad ke-12, wilayah ini dikenal sebagai Sunda Kelapa, kemudian namanya diubah menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Pada
bulan Maret 1621 secara resmi nama Jayakarta diganti menjadi Batavia, yang kemudian dijadikan pusat perdagangan dan pemerintahan. Ketika peraturan perundangan desentralisasi yang
memungkinkan pembentukan daerah-daerah dengan otoritas lokal dikeluarkan pada 23 Juli 1903, maka status Batavia diubah
menjadi gemeente Batavia pada 1 April 1905. Ketika Pemerintah Balatentara Jepang memerintah di Batavia, nama Batavia diganti menjadi Jakarta (Jakaruto) berdasarkan Osamu Seirei No. 16,
Tahun 1942, tanggal 10 Desember 1942. Mengenai perubahan nama Jakarta, lihat Sukanto, Dari Djakarta ke Djajakarta.
(Djakarta: Soeroengan, 1954), hlm. 55-60; Lihat juga R.Z. Leirissa, “Dari Sunda Kalapa ke Jayakarta”, dalam Abdurrachman Surjomihardjo, Beberapa segi Sejarah Masyarakat-Budaya Jakarta (Jakarta: Dinas Museum dan sejarah DKI Jakarta, 1973), hlm. 14; Kan Po, No. 3 tahun I, bulan 9/1943, hlm. 10.
4
Pajajaran. Batavia kemudian jatuh ke tangan Pangeran Jayakarta
(kerajaan Banten). Kota dalam tembok itu tidak besar, hanya
berukuran 1 km kali 1,5 km.7 Di kota itu dibangun kanal, rumah-
rumah Belanda, gereja, kedai minum, balaikota, jembatan tarik,
gudang dan kincir angin. Di luar tembok, terdapat kawasan
pedesaan, yang dihuni oleh berbagai macam etnis.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pada awal berdirinya,
Batavia bukan merupakan kota besar. Hal ini juga dinyatakan
oleh Raffles yang melihat besar kecilnya suatu kota dari jumlah
penduduk. Dalam catatan Raffles, penduduk Batavia pada akhir
abad 19, lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk
Surabaya.8
Namun dalam perkembangannya, kota-kota di Jawa seperti
Jakarta, Surabaya, dan Semarang mulai mengalami berbagai
persoalan sebagai akibat munculnya liberalisasi yang berdampak
pada perubahan bentuk kota-kota tersebut. Proses liberalisasi
ekonomi mulai muncul di Indonesia, ketika Undang-Undang
7Luas kota Jakarta pada awalnya hanya 1,5 km2. Lihat Peter
H. van der Brug, “Batavia yang tidak sehat dan kemerosotan VOC pada abad kedelapan belas”, dalam Kees Grijns, dan Peter J.M. Nas, (ed.,) Jakarta-Batavia Esai Sosio-Kultural. (Jakarta: Banana,
KITLV-Jakarta, 2007), hlm. 49.
8T.S. Raffles, The History of Java, vol. II (Singapura: Oxford
University Press, 1988), hlm. 246. Menurut Raffles, pada 1900, penduduk Jakarta sekitar 116.000 jiwa, sementara jumlah
penduduk Surabaya sekitar 147.000 jiwa.
5
Agraria dan Undang-Undang Gula dicanangkan pada 1870. Hal
tersebut menyebabkan meningkatnya perdagangan dan industri,
memperluas administrasi sipil, dan mengakibatkan peningkatan
jumlah penduduk di perkotaan Jawa.9
Dalam sensus penduduk tahun 1930 penduduk Jakarta
misalnya, tercatat sebanyak 533.000 jiwa. Jumlah tersebut terus
mengalami peningkatan, dan pada tahun 1948 jumlah penduduk
Jakarta mencapai angka 1.174.252 jiwa.10 Peningkatan jumlah
penduduk yang tajam tersebut berakibat pada mutu kehidupan
sehari-hari para urban tersebut.11
Kehadiran mereka secara besar-besaran ke Jakarta, pada
waktu itu, sebagai akibat ketidakmampuan desa untuk memenuhi
kehidupan warganya, ditambah lagi adanya resesi ekonomi, dan
kekacauan yang timbul seperti pemberontakan DI/TII di daerah
Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jumlah kehadiran mereka yang
9W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm 138.
10Lihat Volkstelling Tahun 1930; lihat juga H.J. Heeren,
“Urbanisasi Djakarta”, dalam majalah Ekonomi dan Keuangan Indonesia, no. 3, Maret 1955, hlm. 112. Kotapradja Djakarta,
Djakarta Raja, Keadaan dan Pertumbuhannja (Djakarta: Kotapradja Djakarta Raja, 1953), hlm 11.
11Bambang Purwanto, “Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari. (ed.),
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, diterbitkan atas kerjasama Yayasan Obor dan KITLV Jakarta, (Jakarta: Pustaka
Larasan, 2008), hlm. 258.
6
tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja dan
lingkungan yang layak, menempatkan mereka sebagai pekerja
informal, dengan penghasilan kecil dalam kampung-kampung
kumuh.12
Kenyataan itu terjadi karena baik pemerintah kolonial
Belanda maupun pemerintah Indonesia, tidak pernah
mengantisipasi lonjakan penduduk di perkotaan yang sangat cepat
itu. Kenaikan jumlah penduduk juga tidak diikuti dengan daya
dukung kota yang memadai. Beberapa kota besar di Indonesia
harus menanggung beban yang lebih berat akibat kenaikan
jumlah penduduk terutama yang disebabkan oleh arus migrasi.
Hal itu terjadi karena jumlah kota-kota besar yang ada baru
sedikit, dengan demikian arus migrasi hanya mengalir ke kota-
kota tersebut.13 Sebagai salah satu kota besar yang ada di
Indonesia, Jakarta dalam perkembangannya menjadi kota yang
mendapat tekanan jumlah penduduk yang paling kuat. Hal ini
sebagai akibat, kota ini menjadi tujuan para pendatang untuk
mencari tingkat kehidupan yang lebih baik. Dalam catatan Susan
12Ibid. Lihat juga Lea Jellinek, Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta, (Jakarta: LP3ES, 1994).
13Lihat Gavin Jones, “Demografi dalam Kemiskinan di Kota,” dalam Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (ed.), Kemiskinan di Indonesia
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 35-86
7
Blackburn,14 kota ini telah berpenduduk 1.800.000 jiwa, dan
pada tahun 1980 penduduk kota Jakarta melonjak menjadi 6,5
juta jiwa.
Di samping itu, kota-kota di Indonesia, terutama pada masa
kolonial tidak pernah dirancang untuk menampung lonjakan
penduduk dalam jumlah besar. Kenyataan ini mengindikasikan
bahwa kota-kota pada masa kolonial di Jawa tersebut dibangun
untuk kepentingan kolonial dan komunitas barat. Akibatnya
ketika terjadi lonjakan penduduk yang semakin tinggi maka
masalah utama yang timbul di kota besar di Jawa adalah masalah
permukiman.15 Sejumlah upaya dilakukan untuk memperbaiki
realitas yang ada, mulai dari perbaikan kampung hingga
pembangunan kota satelit16 Kebayoran Baru. Ketika rencana
pembangunan kota satelit Kebayoran Baru, disetujui pada bulan
Agustus 1948, dapat dikatakan bahwa cakupan ruang geografis
Jakarta dari tahun ke tahun terus mengalami perubahan menjadi
semakin luas. Namun perubahan tersebut belum dapat
menyelesaikan permasalahan urbanisasi ke Jakarta.
14 Susan Blackburn, Sejarah Jakarta 400 Tahun (Jakarta: Mas’up Jakarta, 2011), hlm. 245.
15Ibid., hlm.124-125.
16Kota satelit adalah kawasan di luar kota induknya yang direncanakan untuk menampung penduduk yang masih memiliki
aktivitas di kota induknya. Lihat Paulus Haryono, Perencanaan Pembangunan Kota dan Perubahan Paradigma. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 126-127.
8
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa persoalan Jakarta
tidak dapat diselesaikan hanya dengan membuat rencana di kota
Jakarta saja, melainkan dilakukan bersama-sama agar dicapai
suatu kesatuan yang berimbang, dan saling mendukung. Untuk
menciptakan kesimbangan perkembangan tersebut, pemerintah
kota Jakarta kemudian “menggandeng” tiga kabupaten yang
mengelilinginya yaitu kabupaten Tangerang di sebelah barat,
kabupaten Bogor di sebelah selatan, dan kabupaten Bekasi di
sebelah timur untuk mengadakan pusat-pusat kegiatan baru di
luar kota, agar dapat menampung tekanan dan perkembangan
penduduk yang ada.17
Perencanaan dan proses pengembangan ini pada 1974
dituangkan dalam Jabotabek Metropolitan Development Plan
(JMDP), yang menekankan saling ketergantungan antara Jakarta,
dan pusat-pusat perkotaan disekitarnya yaitu Bogor, Tangerang,
dan Bekasi. Dalam pelaksanaannya, Depok yang berada di bawah
kabupaten Bogor, termasuk salah satu kota yang direncanakan
untuk menampung “kelebihan” penduduk Jakarta.
17Lloyd Rodwin, Nations and Cities: A Comparison of Strategies for Urban Growth, (Boston: Houghton Mifflin Co, 1970),
hlm. 6.
9
Hadi Sabari Yunus memaknai fenomena ini sebagai
centrifugal movement atau proses luberan penduduk.18 Dalam
sistem Jabo(de)tabek, Depok difungsikan sebagai salah satu sub-
pusat utama, dan menjadi kota satelitnya Jakarta bersama kota
Tangerang, Bekasi, dan Bogor, yang merupakan pusat
perkembangan utama. Mereka yang tinggal di kota satelit itu
kebanyakan secara ekonomis, sosial, dan budaya termasuk dalam
lingkungan kota induknya, akan tetapi secara administratif masuk
daerah lain. Pembangunan pemukiman baru oleh orang Eropa dan
Cina pada abad ke-19 dan oleh Perumnas pada tahun 1970-an
menunjukkan realitas itu. Gejala terjadinya kota satelit, menurut
Kuntowijoyo sudah ada sejak awal abad ke-20, yaitu ketika terjadi
pengelompokan kelas menengah dalam lokasi tertentu di luar
batas administratif kota.19
Dalam konteks Depok, proses sejarahnya tidak bisa
dipisahkan dengan kota metropolitan20 Jakarta yang sangat
18Hadi Sabari Yunus, Megapolitan: Konsep, Problematika dan Prospek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 379.
19Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 52.
20 Metropolitan adalah suatu pemukiman berskala besar yang terdiri dari satu atau lebih kota besar yang secara
keseluruhan terintegrasi, membentuk suatu sistem struktur ruang tertentu dengan satu atau lebih kota besar sebagai pusat dan beberapa kota lebih kecil yang berfungsi sebagai kota satelit, yang
memiliki keterkaitan ekonomi dan sosial. Lihat Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, Penjelasan Menteri Pekerjaan Umum Mengenai Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur
10
menentukan eksistensinya. Ketika Jakarta membutuhkan ruang
permukiman bagi warganya, Depok dijadikan kota satelit yang
menjadi wadah bagi pegawai negeri golongan kelas menengah ke
bawah. Hal ini menunjukkan bahwa tempat kerja mereka tetap
berada di Jakarta. Ini berarti bahwa untuk ke tempat kerjanya
mereka harus nglaju setiap hari.21
Dalam sistem Jabo(de)tabek, Depok difungsikan sebagai
tempat hunian berskala besar bagi penduduk kota Jakarta.
Namun perkembangan suatu kota satu sama lain berbeda,
tergantung pada kondisi masing-masing kota tersebut. Pada 1950
misalnya, pemerintah menerbitkan Undang-Undang No, 14 Tahun
1950: Tentang Pembentukan Kabupaten di lingkungan Propinsi
Jawa Barat. Undang-Undang tersebut secara administratif
sebagai Masukan Untuk RUU Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia. (Jakarta, 9 Maret 2006), hlm. 1. Sementara Eko Budihardjo dan Djoko Suyarto menyebut kota metropolitan sebagai kota raya. Lihat Eko
Budihardjo dan Djoko Suyarto, Kota Berkelanjutan. (Bandung: Penerbit Alumni, 2005), hlm. 22-23.
21Data mengenai penglaju dari Humas PT KCJ (Kereta Api Commuter Jabodetabek) menunjukkan bahwa rata-rata jumlah penumpang yang naik dari stasiun Depok Baru per hari selama
bulan Oktober 2009 pada senin-jumat adalah sebagai berikut: kereta Ekonomi (± 10.000 orang); kereta Ekonomi AC (± 4.000
orang) dan kereta Ekspres (3.000 orang). Sementara pada hari sabtu-minggu, jumlah rata-rata penumpang tercatat ± 4.000 orang (KRL ekonomi); 2.000 orang (KRL Ekonomi AC), dan 500 orang
(KRL. Ekspres). Data mutakhir (2014) dari Humas PT KCJ, mencatat sekitar 16.486 orang setiap hari turun di stasiun UI
Depok.
11
mengatur pembentukan Kabupaten Bekasi dan Kabupaten
Tangerang. Sementara pada tahun tersebut Depok masih
berstatus tanah partikelir, dan baru pada 1952 menjadi
Kecamatan, dalam lingkungan Kewedanaan Parung, Kabupaten
Bogor. Sekitar 30 tahun kemudian Depok dikukuhkan menjadi
Kotif dibawah Kabupaten Bogor, berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 1981.
B. Perumusan Masalah dan Lingkup Penelitian
Permasalahan yang diajukan tidak dapat dilepaskan dari
persoalan-persoalan yang ada di kota metropolitan Jakarta.
Masalah urbanisasi seringkali menimbulkan kecemasan dalam
menghadapi pesatnya perkembangan penduduk Jakarta.
Penyebab utama arus urbanisasi ke Jakarta dan tidak ke kota
lain, adalah karena adanya daya tarik kota itu terhadap
kehidupan masyarakat. Jakarta yang mempunyai sifat khusus,
antara lain karena fungsinya sebagai ibukota Republik Indonesia,
menjadi pusat percaturan dan pengambilan keputusan dalam
masalah politik, ekonomi, dan sosial tingkat nasional. Hal ini
tentu berdampak pada peranan kota Jakarta yang tidak hanya
mengurus wilayah Jakarta saja melainkan dalam lingkup
kehidupan nasional, dan internasional.
12
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini mengungkapkan
perubahan ruang kota dan identitas Depok. Perubahan tersebut
dikaitkan dengan kebijakan politis-ekonomis serta pengaruhnya
terhadap eksistensi Depok dari tanah partikelir menjadi kota
penyangga beban Jakarta, pada paruh kedua abad ke-20.
Penelitian ini menekankan pada pembahasan tentang usaha-
usaha yang dilakukan oleh pemerintah Depok agar dapat
memposisikan dirinya menjadi pusat pertumbuhan baru yang
dirancang baik dari segi ruang, pencitraan maupun identitas.
Untuk membahas permasalahan tersebut, ada beberapa
pertanyaan penelitian pokok yang diajukan yaitu:
1. Bagaimana perkembangan Depok hingga pertengahan abad
ke-20.
2. Apa yang terjadi dengan kota satelit Depok ketika harus
menanggung beban Jakarta.? Mengapa dan dalam hal apa
Depok harus menanggung beban itu
3. Upaya apa yang dilakukan untuk membebaskan Depok
keluar dari bayang-bayang Jakarta? dan kapan kesadaran
untuk menjadi pusat perkembangan baru mulai muncul.?
4. Mengapa Depok sulit untuk menjadi pusat perkembangan
baru seperti pusat-pusat yang lain? Mengapa berbagai faktor
pendukung yang ada seperti Universitas Indonesia, keadaan
13
demografi, dan status administratif Depok tidak
berpengaruh secara signifikan untuk mendukung proses itu.
Penelitian ini membatasi ruang lingkup pembahasan pada
perkembangan kota satelit Depok, yang terus berjuang untuk
menjadi pusat perkembangan yang mandiri. Dalam penelitian ini,
ruang yang dikaji adalah Depok, yang awalnya adalah tanah milik
Cornelis Chastelein dengan batas sungai besar (Sungai Ciliwung)
sampai ke Sungai Pasanggrahan, panjangnya 4½ roede dan
lebarnya 2½ roede.22 Dengan demikian luas tanah Depok waktu
itu adalah sekitar 42.378.75 m2 atau setara dengan 4, 237, 875
hektar. Dalam perkembangan selanjutnya, dinamika masyarakat
ikut serta mempengaruhi perkembangan daerah yang terletak di
selatan ibukota ini.
Setelah pengakuan Kedaulatan tahun 1949, tanah
partikelir ini menjadi sebuah desa, dan 30 tahun kemudian
melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 1981, Depok dikukuhkan menjadi Kota Administratif
(Kotif). Berdasarkan peraturan tersebut wilayah Kotif Depok terdiri
22 F. de Haan, Priangan, de Prianger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811, Batavia, 1910, deel I, Personalia, hlm. 236. Roede adalah ukuran yang digunakan untuk
mengukur luas tanah di Batavia dan sekitarnya pada abad 17-18. Satu roede setara dengan 3.767 m. Lihat S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), hlm. 547.
14
dari tiga kecamatan dan 17 desa, dengan luas: 6.794.902 hektar.
Pada 27 Maret 1999, status Depok ditingkatkan menjadi
Kotamadya Tingkat II berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 1999. Sesuai dengan Undang-Undang
tersebut Kotamadya Daerah Tingkat II Depok memiliki 6
kecamatan, dan 63 kelurahan, 719 RW dan 192.783 RT dengan
luas wilayah 20.029 hektar.
Berdasarkan aspek waktu, penelitian ini membatasi kajian
pada tahun 1950-an-1990-an. Tahun 1950-an dijadikan titik awal
pembahasan karena pada tahun itu terjadi pelepasan hak dan
penyerahan tanah-tanah partikelir kepada pemerintah RI. Tahun
1990-an dijadikan sebagai batas akhir pembahasan karena
adanya perubahan status Depok menjadi Kotamadya.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah, pertama, mendeskripsikan
perkembangan sosial ekonomi dan sosial politik dari suatu kota
kecamatan menjadi pusat pertumbuhan baru yang sarat dengan
berbagai kendala. Kedua, untuk mengetahui peran UI dalam
membantu Kota Depok mendapatkan identitas barunya dan
ketiga, untuk mengetahui bagaimana perjuangan kota satelit
Depok, dalam upayanya keluar dari bayang-bayang Jakarta dan
15
pencitraannya sebagai daerah pinggiran yang secara eksplisit
disebut oleh Pemerintah DKI Jakarta sebagai pedusunan.23
Manfaat dari penelitian ini adalah mengisi kekosongan
dalam historiografi Indonesia, khususnya sejarah perkotaan.
Dalam sejarah perkotaan kajian mengenai kota satelit belum
berkembang, atau agak terabaikan. Pemilihan kota Depok sebagai
unit kajian dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana kaum migran mencitrakan kota Depok. Manfaat lain
dari penelitian ini adalah menyumbangkan pengetahuan yang
dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mencegah
meningkatnya ketergantungan kota-kota satelit terhadap kota
metropolitan dan atau megapolitan. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa Depok merupakan contoh tipologi kota
satelit metropolitan yang mengalami kelambanan menjadi pusat
perkembangan baru, dan mengalami kesulitan untuk menemukan
identitasnya sebagai Deppokers yang akan datang.
D. Kajian Pustaka
Kajian tentang sejarah kota sudah banyak dilakukan, dan di
dalam pembahasannya selalu dikaitkan dengan kehadiran para
23Lihat Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Djakarta,
Dakarta Membangun, (Djakarta: Pemerintah Daerah Khusus Ibukota, 1972), hlm 16, 24, 33. Lihat juga Pemerintah Daerah
Khusus Ibu Kota Djakarta, Some Data about Djakarta, (Djakarta: Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Djakarta, 1972), hlm. 9; 82-
83.
16
urban ke kota besar. Namun pembahasan tentang perkembangan
kota satelit di Indonesia belum banyak dilakukan. Bahkan studi
mengenai tema yang sejenis di kota Depok belum ada yang
membahasnya.
Secara umum penelitian yang pernah dilakukan tentang
Depok, terutama pada periode awal kedatangan Cornelis
Chastelein banyak ditemukan dalam sumber-sumber kolonial,
baik dalam bentuk artikel maupun buku.24 Salah satu buku yang
menceriterakan Depok Tempo Dulu ditulis oleh Yano Jonathans.25
Buku ini mengulas tentang kehidupan sosial masyarakat Depok
pada masa sebelum kemerdekaan. Dalam buku tersebut juga
dibahas tentang infrastruktur perkotaan. Buku ini didukung oleh
sumber yang primer yang memadai, yang dimiliki oleh para
mantan budak Cornelis Chastelein. Akan tetapi ketika membahas
masa kemerdekaan, Yano tidak menggunakan sumber primer yang
memadai, seperti pada masa Cornelis Chastelein. Satu contoh,
24Beberapa penelitian tentang Depok masa awal antara lain: Cornelis Chastelein, “Invallende Gedaghten”, dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde, vol. 3, 1855; Jan-Karel
Kwisthout, Sporen uit het Verleden van Depok: Een Nalatenschap van Cornelis Chastelein (1657-1714) aan Zijn Vrijgemaakte Christenslaven, (Free Musketeers, Worden, 2007); N. Graafland, “Depok, eene etnografische studie”, dalam Mededeelingen van weege het Nederlandsche Zendelingengenootschap, deel XXXV. (Rotterdam), 1891.
25Yano Jonathans, Potret Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat Depok Tempo Doeloe. (Jakarta: Libri, 2011).
17
Yano tidak memperhatikan bagaimana karakter orang Betawi pada
masa itu, dan ia menjelaskan bahwa Margonda adalah lulusan
Analis Farmasi dari Institut Pertanian Bogor. Sementara Alwi
Shahab dan Ridwan Saidi, mengambarkan bahwa Margonda,
adalah nama khas Betawi, anak buah Tole Iskandar, yang tidak
pernah mengenyam pendidikan tinggi.
Jan-Karel Kwisthout mengisahkan sejarah Depok dan
reformasi yang diusahakan oleh Chastelein di Koloni Hindia
Timur. Melalui surat wasiatnya, Cornelis Chastelein tidak hanya
membebaskan para budaknya, tetapi juga memberikan tanah
miliknya di Depok. Pembebasan para budak ini kemudian
melahirkan sebuah komunitas yang seingkali dijuluki sebagai
“Belanda Depok”.
Disamping itu ada beberapa artikel dan buku-buku dari J.W
de Vries,26 Asep Suryana,27 dan Kano. Artikel dari J.W. de Vries,
mengulas perubahan sosial di Depok, dan memberikan informasi
tentang asal-usul daerah Depok dan ikatan yang tumbuh antara
komunitas awal ini dengan penguasa kolonial. Ia juga mengulas
26J.W de Vries, “De Depokkers: Geschiedenis, Sociale Structuur en Taalgebruik van een Geisoleerde Gemeenschap” dalam
BKI, 1976, Nr. 132.
27Asep Suryana, “Kota Baru Depok: A Study of
Suburbanization Proces in Jakarta”, dalam Kano Hiroyoshi, (ed.), Growing Metropolitan Suburbia: A Comparative Sosiological Study on Tokyo and Jakarta (Jakarta: Yayasan Obor, 2004).
18
mengenai kaum Deppokers yaitu komunitas ’Belanda’ Depok yang
secara sosial terisoler dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya
akibat diberlakukannya serangkaian aturan yang ditulis dalam
surat wasiat Cornelis Chastelein.
Sementara Asep Suryana, di dalam tulisannya yang berjudul
“Kota Baru Depok: A study of Suburbanization Proces in Jakarta,”
mengulas proses terbentuknya “Kota Baru” Depok, yang
berkembang dari sebuah suburban. Meskipun tidak ada definisi
yang jelas tentang “Kota Baru”, di dalam periodisasi yang diambil
dalam penelitiannya, khususnya tahun 1976 dapat dianggap
sebagai periode tinggal landas bagi Depok menuju suatu kota
modern. Namun sayangnya argumentasi Asep tidak didukung oleh
sumber-sumber primer yang memadai.
Dalam karyanya, Kano28 menunjukkan secara rinci tentang
persamaan dan perbedaan antara kota baru Tama (Tokyo) dan
Depok (Jawa Barat). Ia menunjukkan bahwa faktor terjadinya
perbedaan antara dua suburban tersebut sebenarnya adalah
masalah industrialisasi dan perpaduan dari faktor-faktor
industrialisasi dan struktur sosial masyarakat.
28Kano Hiroyoshi, “Tama and Depok: Comparative Anatomy
of Suburban New Towns in Tokyo and Jakarta” dalam Hiroyoshi Kano, (eds)., The Growing Metropolitan Cities: A Comparative Sociological Study on Tokyo and Jakarta. (Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 131-132.
19
Perkembangan masing-masing suburban berkaitan erat
dengan tingkat perkembangan industrialisasi, dan sistem ekonomi
nasional ke dua negara tersebut. Jepang telah melewati dua tahap
industrialisasi. Tahap pertama, terjadi pada akhir abad 19.
Sebelum Perang Dunia II, Jepang adalah negara dengan tingkat
industri paling tinggi di Asia. Meskipun hingga tahun 1950-an
mayoritas penduduknya masih bekerja di sektor pertanian.
Industrialisasi berikutnya terjadi pada 1950-an- 1970-an.
Jumlah penduduk yang bekerja di sektor industri makin
bertambah. Bersamaan dengan hal tersebut, terjadi perpindahan
penduduk dari desa ke kota. Dalam hal ini Kano kemudian
menyatakan bahwa ini adalah latar belakang terbentuknya kota
baru Tama. Sementara industrialisasi di Indonesia dimulai pada
tahun 1970-an, dan berakselarasi pada tahun 1980-an. Kondisi
ini melahirkan suburbanisasi di Depok.
Sementara struktur sosial masyarakat kedua negara
sebelum masa industrialisasi juga memberi warna terhadap corak
kehidupan sosial di masing-masing suburban. Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat heterogen, sementara di Jepang
cenderung homogen. Dengan demikian masyarakat Depok dari
segi etnis cenderung beragam, sedangkan Tama masyarakatnya
lebih homogen.
20
Karya lain yang membahas tentang Depok adalah hasil
penelitian Mumuh Muhsin Z, bersama R.M. Mulyadi dan Miftahul
Falah,29 mengenai jaman Jepang hingga masa Orde Lama. Dalam
ulasan mengenai Jaman Jepang di Depok, lebih banyak diulas
mengenai Bogor Syu pada masa pendudukan Jepang. Sementara
ulasan jaman Jepang di Depok hampir tidak ditemukan. Ulasan
mengenai Depok periode kemerdekaan, periode revolusi fisik, dan
periode orde lama disusun dengan tidak memperhatikan aspek
kronologis, sehingga banyak terjadi pengulangan data. Demikian
pula argumentasi yang disampaikan dalam penelitian tersebut,
sayangnya tidak didukung oleh sumber-sumber primer yang
memadai.
Hasil penelitian lain tentang Depok adalah Depok Masa Orde
Baru yang juga dilakukan oleh Mumuh Muhsin, bersama R.M.
Mulyadi dan Linda Sunarti.30 Penelitian ini mengulas tentang
keadaan Depok hingga tahun 2005, sementara Masa Orde Baru
berakhir pada 1998. Sama halnya dengan penelitian mengenai
Depok dalam Jaman Jepang, penelitian mengenai masa Orde Baru
pun di dalam ulasannya tidak menggunakan sumber primer yang
29Mumuh Muhsin Z (ed.). Depok 1942-1967: Masa Pendudukan Jepang hingga Masa Orde Lama. (Depok: Kantor Arsip
dan Perpustakaan Pemerintah Kota Depok, 2013)
30Mumuh Muhsin Z. (ed.), Depok Masa Orde Baru (Depok:
Kantor Arsip dan Perpustakaan Pemerintah Kota Depok, 2014).
21
memadai. Ulasan dalam penelitian ini diawali dengan
terbentuknya Kotif Depok dan perkembangannya hingga masa
awal reformasi. Banyak data yang seharusnya bisa diulas lebih
lanjut untuk memperjelas bagaimana situasi dan kondisi yang ada
di Depok pada masa itu, tidak dilakukan. Demikian pula data-data
yang digali melalui wawancara tidak didasarkan pada kaidah-
kaidah yang berlaku dalam sejarah lisan. Namun terlepas dari
kekurangan yang ada, dua penelitian tersebut, bermanfaat untuk
lebih mempertajam fokus penelitian saya.
Karya tentang Depok juga diulas oleh Wenri Wanhar.31
Dalam karya tersebut diceriterakan bagaimana kejadian yang
dialami oleh masyarakat Depok Lama pada awal kemerdekaan.
Orang-orang itu mengalami tindak kekerasan, dan harus
menjalani masa penahanan di Bogor, karena dianggap pro
Belanda. Wenri mengawali ceritera tentang peristiwa Gedoran ini
dengan mengulas Depok masa Cornelis Chastelein. Sayangnya,
meskipun dicantumkan sumber-sumber primer yang memadai,
namun Wenri sama sekali tidak menggunakan sumber tersebut,
dan hanya melampirkan sumber-sumber tersebut dalam
karyanya. Akibatnya di dalam penyajiannya banyak terdapat
anakronis dalam sejarah.
31Wenri Wanhar, Gedoran Depok: Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955. (Jakarta: Sadar Media, 2011).
22
Di samping karya mengenai pokok persoalan yang dibahas,
karya lain yang digunakan adalah karya tentang teori dan metode
tentang kota dan perkotaan. Salah satu diantaranya adalah kajian
mengenai suburban karya William A. Schwab.32 Schwab melihat
suburban sebagai wilayah yang memiliki tingkat kepadatan
penduduk yang rendah, rumah dengan status hak milik, serta
status sosial penghuni yang homogen, dan ditandai oleh proses
komutasi.
Pertumbuhan dan perkembangan suburban dilihat sebagai
alternatif hunian di tengah kota, karena wilayah tempat tinggal
yang terakhir ini sudah tidak nyaman lagi, meskipun mereka
masih tetap mencari nafkah di kota induknya. Dengan demikian
studi tentang suburban juga melihat faktor transportasi antara
wilayah ini dengan kota induknya. Fokus studi Schwab tertuju
pada dinamika sosial ekonomi para penghuni suburban dalam
pola hubungan dengan kota induknya yang bertumpu pada
asumsi bahwa suburban adalah hunian lapis menengah. Ia
kemudian menyimpulkan bahwa suburban berfungsi sebagai
32William A, Schwab, The Sociology of Cities, (New Yersey:
Prentice-Hall. Inc., 1992), hlm. 293-332.
23
dormitory town (kota untuk tidur). Gagasan yang sama juga
disampaikan oleh Allinson.33
Charles R. Tittle34 melengkapi konsep dan teori mengenai
suburban dengan membandingkan para pemukim kota besar,
pinggiran kota, dan pedesaan, berdasarkan lima karakter
perkotaan : (1) sifat anonim; (2) toleransi; (3) ikatan sosial
komunitas; (4) alienasi dan (5) tingkah laku yang menyimpang.
Dalam kenyataannya, tingkah laku para penghuni pinggiran kota
ternyata tidak banyak menunjukkan perbedaan dengan penghuni
kota. Perbedaan itu terlihat pada penataan ruang antara kota dan
non-kota. Hasil penelitian Charles R. Tittle yang melihat tiga teori
perkotaan yaitu teori klasik (Toennies, 1887, 1957; Simmel 1903,
1971; Wirth 1938, 1969; Redfield 1947, 1969; teori komposisi
sistem yang disajikan oleh Thomas, Park dan Burgess, yang
dimuat dalam beberapa artikel antara lain Gans (1962); Kasarda
dan Janowitz, 1974); serta teori sub-budaya (Fisher, 1971, 1981,
1982, 1984)35 menunjukkan bahwa teori-teori itu saling
33Garry P. Allinson, Suburban Tokyo: A Comparative Studie in Politics and Social Change, (London: University of California Press, 1979).
34
Charles R. Tittle, “Urban Theory, Urbanism, and Suburban Residence”, dalam http://www.jstor.org/stable/2579751, diunduh 15 Maret 2015.
35Mengenai karya-karya Toennies, Simmel, Wirth, Redfield, Thomas, Park, Burgess, Gans, Kasarda dan Janowitz serta Fisher lihat ibid.
24
melengkapi dan bersinggungan satu sama lain. Ketika
diaplikasikan untuk daerah perkotaan (Jakarta), pinggiran
(Depok), dan desa-desa di sekitarnya, maka nampak ada variabel-
variabel yang tidak terdapat di teori yang satu tapi ada di teori
yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing teori
tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan. Namun ketiga
teori itu tidak dapat menggambarkan sifat atau ciri-ciri pemukim
di daerah perkotaan, pinggiran kota, dan desa, secara mandiri.
Karya berikutnya adalah dari Wertheim, The Indonesian
Town: Studies in Urban Sociology. Dalam buku tersebut, Wertheim
melakukan analisis yang mendalam terhadap masyarakat
perkotaan berdasarkan data-data statistik jumlah penduduk,
upah, jenis pembelanjaan, dan faktor-faktor lain. Pada tahun
1930, Wertheim menyatakan bahwa satu daerah dapat dikatakan
sebagai kota, jika jumlah penduduknya 10.000 jiwa36. Dalam
tulisannya itu, Wertheim hanya membahas perkotaan pada masa
kolonial Belanda. Bahasan Wertheim hanya sebatas pada kasus-
kasus yang terjadi di kota besar seperti Semarang, Bandung, dan
Batavia, sementara kota-kota yang tergolong kota kabupaten tidak
mendapat perhatian khusus.
36W.F. Wertheim, The Indonesian Town Studies in Urban Sociology. (Bandung: van Hoeve, 1958), hlm. 11.
25
Larry R. Ford,37 dalam artikelnya yang berjudul “A Model of
Indonesian City Structure” mengambil Indonesia sebagai fokus
utama dalam pembahasannya tentang kota di Asia Tenggara.
Lebih lanjut dikatakan bahwa letak Indonesia yang berada di
tengah-tengah antara kota yang perkembangannya amat pesat
(Singapura) dan kota yang mengalami kelambatan perkembangan
(Burma). Kota-kota di Indonesia dalam posisi ini, sekaligus
memberikan wawasan dalam hal kesinambungan dan perubahan.
Model morfologi kota-kota di Indonesia, terutama didasarkan pada
ibukota propinsi, dan sejauh ini berlaku di semua kota di
Indonesia, menunjukkan kecenderungan politik dan ekonomi yang
bersifat urban di sepanjang waktu. Indonesia bukanlah negara
yang homogen. Kota-kota di Indonesia merefleksikan keragaman
budaya dalam wilayah kepulauan yang sangat luas. Struktur kota-
kota lama Indonesia pada dasarnya di sesuaikan dengan kondisi
dan struktur sosial masyarakatnya. Pembahasan artikel Larry
Ford tentang struktur kota Indonesia secara umum diawali pada
abad ke-8, dan pada abad 17-an hingga abad 20-an difokuskan ke
Batavia (Jakarta).
37Larry R. Ford. “A Model of Indonesian City Structure”,
dalam Geographical Review, vol. 83. No. 4 (Oct., 1993), pp. 374-396, diunduh dari http://www.jstor.org/stable/215821, tanggal
15 Maret 2015, pukul. 10.40
26
Kota-kota lama Indonesia dapat dibedakan atas dua tipe
yaitu kota pedalaman (agraris) dan kota pantai (perdagangan).
Kota-kota ini telah muncul pada masa kerajaan Buddha Sriwijaya
yang berpusat pada kota maritim dan berbasis pada kegiatan
perdagangan. Di samping itu juga pada masa Hindu Buddha
Majapahit yang memiliki pusat kota pedalaman agraris dan basis
perekonomian agraris yang kuat. Beberapa contoh kota lama pada
periode ini antara lain adalah Mataram, Kediri, Borobudur. Setelah
keruntuhan kedua model kerajaan itu, muncul kota-kota
pelabuhan maritim di era kerajaan-kerajaan Islam yang
berkembang sejak abad 16-17.38
Sejalan dengan Larry Ford, Djoko Suryo mencatat bahwa
struktur morfologi kota lama Indonesia juga dipengaruhi oleh
tradisi keagamaan. Tradisi Hindu dan Buddha yang datang dari
India misalnya, memiliki dampak yang kuat pada ritus-ritus dan
simbol-simbol kota. Demikian pula tradisi budaya Islam sangat
kuat dalam penyusunan tata ruang kota, bangunan-bangunan
arsitektual, dan simbol-simbol kota seperti yang tercermin pada
simbol-simbol tempat peribadatan, pakaian, dan tradisi upacara
keagamaan.39
38 Ibid., hlm. 374-375.
39Djoko Suryo, “Kota dan dinamika Kebudayaan: Proses Menjadi Kota dan Kebudayaan Indonesia Baru”, dalam Djoko Suryo (ed.) Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi
27
Stratifikasi sosial pada masa kolonial membagi
masyarakat Indonesia atas tiga golongan yaitu golongan Eropa,
Timur Asing, dan Pribumi. Orang Eropa ditempatkan pada pusat
kekuasaan, sementara orang Timur Asing, dalam hal ini orang
Cina berkedudukan di lapisan kedua, sementara orang pribumi
pada lapisan terbawah.
Stratifikasi sosial ini juga terwujud dalam pembagian tata
ruang kota, sebagaimana tercermin dalam pembagian zona
pemukiman, beserta ruang publiknya. Kondisi ini juga
mewujudkan bentuk dan pola hubungan sosial, politik, kultural,
yang semuanya dibatasi dan dilandasi oleh prinsip kolonial, yaitu
perbedaan ras, warna kulit, golongan, dan segregasi sosial.
. Buku lain yang mengulas tentang teori kota adalah karya
dari Hadi Sabari Yunus. Karya yang berjudul Megapolitan: Konsep,
Problematika dan Prospek mengulas tentang megapolitanisasi
Jabotabek yang merupakan suatu program pembangunan dan
pengembangan kawasan yang berbasis perkotaan dengan Jakarta
sebagai sentra utamanya. Meskipun karya ini bukan karya
sejarah, namun hasil riset geografi yang dilakukan menyimpan
banyak konsep dan teori perubahan dalam sebuah kota.
Indonesia Modern (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Press bekerjasama dengan Jurusan Sejarah Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2009), hlm. 101-116.
28
Tinjauan pustaka di atas secara umum menyiratkan bahwa
Depok merupakan kota yang sarat permasalahan dengan berbagai
dimensinya, yang pembahasannya melibatkan para pakar dari
berbagai bidang studi. Penelitian yang berjudul “Berkembang
Dalam Bayang-bayang Jakarta: Sejarah Depok (1950-an – 1990-
an)” mengupas permasalahan-permasalahan yang ada di kota
kecil, yang dalam perjalanan historiografi sejarah kota belum
pernah dimunculkan atau agak terabaikan. Kajian mengenai
sejarah kota selama ini hanya membahas permasalahan-
permasalahan di seputar kota besar.
E. Kerangka Pemikiran
Obyek kajian sejarah adalah masalah yang terjadi pada
masa lampau, akan tetapi tidak berarti sejarah adalah “sejarah
masa lampau”. Sejarah adalah juga sejarah masa kini dan sejarah
masa yang akan datang. Menanggapi hal tersebut, Djoko Suryo
kemudian menawarkan satu pendekatan yang dikenal sebagai
pendekatan visioner.40 Melalui pendekatan yang ditawarkan ini,
wawasan kajian sejarah tidak hanya terbatas mempersoalkan
40Pendekatan visioner pada hakekatnya adalah sebuah
model pendekatan integratif sejarah linear yang menyeimbangkan penekanan orientasi kajiannya secara integratif mencakup tiga dimensi temporal masa lampau, masa kini, dan masa yang akan
datang, agar mampu memberikan sumbangan pemikiran dalam menjawab persoalan masa kini dan masa yang akan datang. Ibid. hlm. 12-13.
29
tentang apa yang terjadi pada masa lampau”, akan tetapi juga
“apa yang terjadi saat ini” dan juga “apa yang akan terjadi di masa
depan”. Dengan pendekatan ini sejarah dapat menyajikan
gambaran keberlangsungan dan perubahan, dari masa lampau,
masa kini, dan masa yang akan datang, sehingga dapat
menjadikan kajian sejarah lebih bermakna (meaningfull) dan
berdaya guna lebih luas.41 Sejalan dengan pemikiran Djoko
Suryo, Nugroho Notosusanto dalam Pidato Pengukuhan Guru
Besarnya yang berjudul Sejarah Demi Masa Kini, juga mengungkap
hal yang sama.42
Kajian sejarah visioner pada dasarnya juga dapat menjadi
alat bantu dalam kajian multidisipliner atau interdisipliner bagi
kajian tentang masalah-masalah masa kini dan masa mendatang.
Dalam kaitannya dengan kajian sejarah di Indonesia, Djoko Suryo
menyatakan bahwa karya Widjojo Nitisastro43 dapat dianggap
sebagai salah satu contoh dari karya sejarah demografi yang
41Ibid., hlm. 24-25.
42Lihat Sejarah Demi Masa Kini, (Jakarta: UI Press, 1981).
43Menurut Djoko Suryo, karya Widjojo Nitisastro yang
berjudul, Population Trends in Indonesia mengulas kecenderungan perkembangan penduduk di Indonesia dari masa awal
pemerintahan kolonial sampai masa kemerdekaan, dengan analisis tentang kecenderungan pertumbuhan penduduk ke arah masa depan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
perekonomian di Indonesia. Kajian ini sekaligus dapat memberikan arah kebijakan yang harus ditangani oleh penentu kebijakan di Indonesia di masa yang akan datang. Ibid., hlm. 23.
30
menggunakan kajian visioner. Melalui pendekatan visioner ini,
perjuangan Depok untuk mencari identitas, dapat menjelaskan
mengapa daerah pinggiran ini tidak bisa menjadi pusat
pertumbuhan baru, dengan berbagai kemungkinannya untuk
masa yang akan datang.
Kerangka pemikiran yang digunakan untuk kajian ini
adalah kerangka pemikiran tentang kota baru, yang merupakan
salah satu cara yang ditempuh dalam Greater London Plan 1944.44
Kota baru yang dibentuk dalam Rencana London itu adalah
Letchworth (1903) dan Welwyn (1919), yang merupakan dua kota
satelit dalam bentuk garden city. Kedua kota itu merupakan
penerapan hasil pemikiran Ebenezer Howard, pada akhir abad ke -
19. Pemikirannya diilhami oleh keadaan yang tidak teratur akibat
adanya revolusi industri di Inggris. Ia mengemukakan perlunya
kebijakan untuk membatasi dan mendesentralisasi perkembangan
fisik kota London ke daerah pinggirannya pada jarak tertentu.45
Ebenezer Howard sampai pada satu kesimpulan bahwa
kunci masalah yang dihadapi adalah “….bagaimana
44Abercrombie, P., Greater London Plan 1944, (London: Her
Mayesty’s Stationary Office, 1945).
45J. Frederic Osborn, Preface in Ebenezer Howard, Garden Cities of Tomorrow, (London: Faber and Faber, 1946), hlm. 44-46. Garden City adalah suatu kota yang direncanakan untuk industri
dan untuk kehidupan yang lebih sehat.
31
mengembalikan kaum migran ke desanya….” Melalui garden city,
Howard ingin memberikan wajah baru bagi kehidupan kota,
dengan satu prinsip dasar yaitu menciptakan daya tarik
kehidupan kota di pedesaan. Prinsip tersebut dalam konsep kota
baru dikenal sebagai Town Counter Magnet,46 (kota penarik
tandingan) yang diharapkan dapat menahan dan mengalihkan
perhatian migran ke kota, dan dapat diciptakan suatu kehidupan
di pedesaan.47
Gagasannya itu dimaksudkan untuk pengembangan suatu
kota yang penduduknya sekitar 35.000-60.000, dan dituangkan
dalam suatu rencana yang komprehensif, yaitu tercapainya
keseimbangan antara industri dan pertanian; antara tempat
tinggal, tempat kerja, pusat pertokoan, dan fasilitas umum; antara
lapangan terbuka, rekreasi dan kepadatan penduduk. Dengan
kata lain, kehidupan di kota itu dapat berdiri sendiri, penduduk
pulang dan pergi ke tempat kerjanya dan tempat lain dilakukan
dengan berjalan kaki. Apabila terjadi kondisi yang melebihi kondisi
itu maka perlu dibuat suatu pusat baru lagi.48
46Ibid., hlm. 35.
47Ibid., hlm. 35-44.
48Rodwin, “Economic Problems in Developing New Towns” dalam United Nations, Planning of Metropolitan Areas and New Towns, New York, 1969, hlm. 149.
32
Garden City yang dirumuskan Ebenezer Howard merupakan
suatu kota dengan kehidupan lengkap yang terdiri dari berbagai
masyarakat, mempunyai struktur dasar ekonomi yang sehat;
tersedia berbagai lapangan kerja bagi warganya, dan kebutuhan
pelayanan sosial masyarakatnya dapat dipenuhi.
Di dalam kota taman itu selain terdapat fasilitas sosial-
ekonomi yang lengkap, dan disertai dengan pembatasan jumlah
penduduk, serta dikelilingi oleh green belt sebagai bagian integral
dari kota itu. Dengan kata lain, garden city direncanakan secara
komprehensif; secara ekonomi berdiri sendiri; serta adanya
kehidupan sosial yang seimbang.49
Meskipun kemandirian kota baru merupakan salah satu
prinsip dalam filosofi Ebenezer Howard, namun kemandirian di
satu kota dengan kota yang lain tidak sama, karena kondisi
masing-masing kota juga tidak sama. Menurut Perloff dan Sanberg
ada tiga hal yang merupakan ciri kota baru mandiri yaitu jumlah
penglaju; lapangan kerja yang memadai, dan keragaman lapangan
kerja yang ada di kota tersebut.50
Pandangan lain tentang kemandirian disampaikan oleh
Golany. Ia menyatakan bahwa kemandirian kota baru bukan
49Gideon Golany, New Town Planning: Principles and Practise
(New York: John Wiley and Sons, 1976), hlm. 135.
50Perloff, H., and Sanberg, N.C. New Towns: Why and For Whom. (New York: Preager Publisher, 1973), hlm. 67.
33
hanya bertumpu pada penyediaan lapangan kerja yang beragam
saja melainkan juga harus diimbangi dengan penyediaan fasilitas-
fasilitas perkotaan yang dibutuhkan oleh seluruh warganya.
Sementara itu ia juga membenarkan bahwa kemandirian satu kota
baru dengan kota baru yang lain berbeda satu sama lain. Menurut
Golany tidak ada satu kota pun yang benar-benar mandiri,
karena diantara kota-kota tersebut terjadi saling interaksi dan ada
ketergantungan.51
Lebih lanjut dikatakan bahwa perbedaan kemandirian itu
lebih disebabkan belum adanya batasan yang seragam untuk
mengetahui apakah suatu kota baru dapat dikatakan mandiri
atau tidak. Adanya penduduk yang melakukan perjalanan ulang-
alik antara kota satelit dan kota induknya merupakan suatu hal
yang tidak dapat dihindari, terutama pada awal dibangunnya kota
satelit tersebut. Pada tahap awal perkembangannya, kota satelit
belum mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup, dan
fasilitas kehidupan sosial budaya yang belum memadai sehingga
para penghuni kota satelit tersebut memenuhi kebutuhannya di
kota induknya.
Fenomena ini nampak pada kota-kota satelit di Inggris di
awal pembangunannya banyak mengalami hambatan dalam
proses perkembangannya, antara lain dalam menyediakan dan
51Gideon Golany, op.cit, hlm. 128-129.
34
menumbuhkan kesempatan kerja untuk para penghuni di kota
itu. Kondisi ini berpengaruh pada keterbatasan kesempatan kerja
di kota satelit yang mengakibatkan sebagian besar kebutuhan
pelayanan sosial-ekonomi tergantung pada kota induknya.52 Lebih
lanjut dikatakan bahwa ada tiga bentuk pengembangan kota
satelit berdasarkan orientasi tempat kerjanya yaitu (1) mayoritas
penduduknya bekerja di kota induknya; (2) sekitar 50-60% bekerja
di kota satelit; dan (3) hampir seluruh warga kota bekerja di kota
satelit.
Pertimbangan utama dalam menentukan lokasi kota satelit
seringkali dikaitkan dengan adanya potensi untuk penyediaan
lapangan kerja baru, baik di sektor industri maupun institusi-
institusi lain (perkantoran, universitas, riset dan sebagainya),53
yang dapat memberikan kesempatan kerja baru dalam jumlah
besar pada awal pengembangannya. Disamping lokasi,
pertimbangan lain adalah aksesibilitas ke kota induk, berupa
transportasi umum/massal, yang murah dan lancar.
Itu berarti bahwa kota satelit bukan hanya sekedar hunian
di pinggiran kota, melainkan merupakan suatu kota yang dapat
52Peter Self, “Cities in Flood” dalam The Problem of Urban Growth (London: Faber and Faber Ltd, 1957), hlm. 85.
53Frank Schaffer, “The New Town Movements in Britain”, dalam L.S. Bourne and J.W Simmons, Systems of Cities, (New
York: Oxford University Press, 1978), hlm. 528-534.
35
berdiri sendiri, meskipun masih tergantung pada kota induknya.54
Kota satelit adalah suatu kota yang dibangun dan dikembangkan
sedemikian rupa, punya batas wilayah tersendiri, terpisah dari
kota lainnya. Kota ini secara ekonomi maupun administrasi berdiri
sendiri, namun masih tetap dipengaruhi oleh kota induknya, yang
umumnya adalah kota metropolitan atau megapolitan. Hubungan
dengan kota induk dilakukan melalui sarana transportasi yang
baik.
Upaya yang dilakukan Pemerintah Inggris dalam menanggu-
langi masalah kota London, ternyata berpengaruh pada negara-
negara lainnya dalam menghadapi masalah yang hampir serupa.
Akibatnya setelah Perang Dunia II, banyak negara yang
menggunakan konsep pengembangan kota baru dalam mengatasi
masalah perkotaan di masing-masing negaranya.55
Di Indonesia, misalnya pengembangan kota baru diawali
dengan pembangunan kota satelit Kebayoran Baru, di selatan kota
Jakarta (1949), kota Palangka Raya, kota pemerintahan
Kalimantan Tengah (1957), dan beberapa kota lainnya seperti
Banjar Baru di Kalimantan Selatan, Pulo Mas, Jatiluhur, dan
54
Gideon Golany, op.cit., hlm. 28.
55Frank Schaffer, op.cit., hlm. 529.
36
Cilegon.56 Sementara di Jawa Barat, beberapa kota baru
dibangun sebagai suatu cara untuk membatasi pertumbuhan kota
metropolitan Jakarta dan sekaligus mengembangkan daerah
sekitarnya. Satu di antara kota baru itu adalah Depok yang
ditentukan sebagai salah satu sub-pusat utama dalam wilayah
Jabotabek dan mempunyai fungsi serta peran antara lain sebagai
(a) pusat pengembangan di Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor
bagian utara; (b) pusat pemukiman bagi pegawai negeri yang
bekerja di Jakarta; dan (c) pusat pelayanan pendidikan tinggi di
wilayah Botabek.57
Ketika Universitas Indonesia hadir di Depok, fungsi Kota
Depok sebagai Pusat Pendidikan Tinggi di wilayah Bo(de)tabek
yang tercantum dalam visinya, ternyata tidak berhasil menunjang
kemandirian Kota Depok. Integrasi antara kampus UI dengan
sistem masyarakat di sekitarnya tidak berjalan dengan baik,
karena UI berada dalam sistem masyarakat dengan tingkat
pendidikan yang rendah. Dengan demikian UI tidak dapat
menyerap tenaga kerja dari warga Depok, ketika di awal
kepindahannya di kota ini UI membutuhkan tenaga kerja. Padahal
56Djoko Sujarto, Pendekatan Pembangunan Perkotaan Ditinjau dari Segi Perencanaan Lokal, (Bandung: Departemen Planologi ITB, 1987), hlm. 14.
57DTKTD, Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Jabotabek Metropolitan Development Plan: Executive Summary,
Jakarta, 1981, hlm. 1
37
suatu kota yang menyandang nama sebagai kota Perguruan Tinggi
atau Pusat Pendidikan Tinggi, seharusnya memiliki integritas yang
relatif tinggi antara Perguruan Tinggi yang ada di kota tersebut
dengan kehidupan sosial ekonomi kotanya.
Pada beberapa kota Perguruan Tinggi di Inggris, fungsi
sosial ekonomi kotanya didominasi oleh berbagai kehidupan dan
kegiatan usaha yang berjaitan dengan perguruan tinggi mulai dari
yang berskala kecil sampai dengan kegiatan industri dan
kepariwisataan. Kondisi itu menunjukkan bahwa kegiatan yang
ada di perguruan tinggi merupakan kegiatan basis bagi kota-kota
itu.
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini mengacu pada metode penelitian sejarah yang
ditulis oleh Gilbert J. Garraghan.58 Penelitian ini menggunakan
sumber arsip, yang tersimpan di Arsip Nasional Jakarta. Koleksi
arsip yang digunakan adalah arsip karesidenan khususnya
Bundel Batavia. Dalam koleksi ini, ada laporan umum (algemeen
verslag), dan laporan administrasi (administratieve verslag),
laporan perkebunan (cultuur verslag), dan laporan politik (politiek
verslag), yang semuanya ditulis setiap tahun oleh residen Batavia.
58Gilbert J. Garraghan, A Guide to Historical Method (New
York: Fordham University Press, 1940).
38
Dalam empat laporan ini, informasi yang diperoleh adalah tentang
kondisi penduduk (bevolking), pengaturan mereka, aktivitas
perekonomian dan kehidupan sosial budayanya. Meskipun ditulis
bersama dengan keterangan tentang daerah-daerah lain, keempat
laporan ini menjadi sumber informasi yang penting karena
memberikan penjelasan secara kronologis dari tahun 1830 sampai
1890. Selain arsip manuskrip di atas, penelitian ini juga
memanfaatkan Staatsblad van Nederlandsch Indie (Lembaran
Negara Hindia Belanda), Bijblad van het Staatsblad (tambahan
Lembaran Negara), Regeeringsalmanak (Almanak Pemerintah), dan
Koloniaal Verslag (Laporan Kolonial).
Sumber-sumber primer penting lainnya berupa sumber-
sumber informasi yang dimuat dalam koran-koran yang terbit
pada masa tema penelitian. Koran-koran ini menjadi koleksi
Perpustakaan Nasional RI. Sejumlah koran memuat berita tentang
perluasan kota Batavia yang juga mencakup perkembangan kota
Depok. Koran tersebut antara lain adalah Kompas (1975, 1976,
1978, 1979, 1980, 1985, 1990), Keng Po (1947-1953), Kan Po
(1942-1943), Pos Kota (1986, 1987, 2005), dan Suara Karya
(1979).
Di samping koran, majalah yang terbit sezaman juga
menjadi salah satu bahan referensi. Majalah ini memuat berita,
laporan dan artikel-artikel yang ditulis oleh saksi peristiwa atau
39
oleh para ilmuwan yang menganalisisnya. Majalah-majalah
tersebut antara lain adalah De Banier; Medeedelingen van
Nederlandsch Zendelingsgenootschap (MNZG) antara 1864 dan
1930; Tempo (1976), Kan Po (1943-1944); Prisma (1976, 1977,
1979); dan Widyapura (1979). Untuk informasi pelengkap maupun
pembanding lainnya, penelitian ini menggunakan buku-buku
pendukung sebagai sumber sekunder. Buku-buku ini lebih
banyak dipilih dengan prioritas pada kajian teori tentang
perkotaan atau kehidupan sosial kota.
Penelusuran data juga dilakukan melalui metode sejarah
lisan. Sejarah lisan mengandung arti catatan mengenai suatu
tempat, orang atau peristiwa sejarah, kenangan langsung
mengenai masa lampau, yang dikisahkan oleh saksi mata.59
Pengertian lain dari Sejarah lisan atau oral history, adalah teknik
pengumpulan sumber sejarah melalui wawancara. Kegiatan ini
mempunyai kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya terletak pada
pelaku sejarah yang terlibat dalam peristiwa yang dikisahkannya
dapat menceriterakan pengalaman yang terjadi dalam
kehidupannya, dan bagaimana mereka mengalami atau
memandang peristiwa tersebut.
Dalam penggunaan bahan dari sejarah lisan, ada beberapa
kelemahan yang harus diperhatikan antara lain bahwa
59Kuntowijoyo, op.cit. hlm. 19-32
40
rekonstruksi dari peristiwa atau pengalaman 30-40 tahun yang
lalu melalui apa yang diucapkan oleh pengkisah tidak berarti
seluruhnya tepat dan akurat. Emosi yang dirasakan pada kejadian
waktu itu belum tentu sama dengan apa yang dirasakan pada
waktu pengkisah menceriterakannya, apalagi dengan memperha-
tikan kemampuan daya ingat manusia.60
Penelusuran sumber melalui sejarah lisan dimaksudkan
untuk melengkapi sumber tulis yang ditemukan. Dengan demikian
penggunaan pendekatan sejarah lisan tidak dimaksudkan sebagai
pengulangan dari keterangan yang diperoleh dan terdapat dalam
sumber tulis. Dalam penelitian mengenai Depok, sumber lisan
diperoleh melalui wawancara dengan generasi ketiga mantan
budak Cornelis Chastelein, yang masih menyandang nama 11
“marga” yang ada di Depok,61 tokoh masyarakat seperti Badrul
60Mona Lohanda, “Sumber Sejarah Lisan Dalam Penulisan Sejarah Kontemporer Indonesia”, dalam Mona Lohanda, Membaca Sumber Menulis Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011), hlm. 130-140.
61Sebetulnya ada 12 keluarga yang ada di Depok , yaitu
Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Sudira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob, dan Zadokh. Wawancara
dengan Bapak Boy Loen, tanggal 26 Agustus 2004. Dalam penuturannya dikatakan bahwa keluarga Zadokh sudah tidak ada lagi, karena tidak mempunyai keturunan laki-laki yang dapat
meneruskan keberadaan keluarga ini. Ada dugaan lain, bahwa ada kemungkinan keluarga Zadokh kembali memeluk agama semula. Dugaan ini muncul, karena 11 marga yang masih ada itu,
menurut penuturan Boy Loen sering bersilaturahmi dengan orang kampung (yang besar kemungkinannya adalah dari keluarga
Zadokh).
41
Kamal, mantan Walikota Depok, Comas Batubara, mantan Menteri
Perumahan Rakyat di era Presiden Suharto, Sumantri, mantan
penghuni asrama, Lauw Tek Liem, generasi ketiga keturunan
keluarga Lauw Koei Liong pemilik Tanah Partikelir Pondok Cina,
dan Na’am orang (kampung) Depok. Pilihan untuk melakukan
wawancara dengan mereka karena dianggap mengetahui
dinamika-dinamika yang terjadi dalam masyarakat Depok, dan
diantara mereka masih menyimpan dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan penelitian ini.
Sumber sekunder juga digunakan dalam penelitian ini, yaitu
surat wasiat dari Cornelis Chastelein yang beredar di kalangan
masyarakat Depok (para mardijkers). Penggunaan sumber
sekunder dilakukan karena surat wasiat yang tersimpan di Arsip
Nasional, sudah tidak dapat dibaca lagi, sebagian besar terkena
tumpahan tinta. Dalam surat wasiat yang beredar, ada satu
kejanggalan, karena ditulis dalam dua bahasa, Belanda dan
Melayu. sumber tersebut digunakan dalam batas-batas tertentu,
yaitu yang sesuai dengan pokok permasalahan dalam studi ini.
Berbekal pada satu diktum bahwa sejarah-sebagai-kisah
mempunyai dua komponen yaitu fakta dan interpretasi, maka
Berkembang Dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok tahun
1950-an—1990-an direkonstruksikan menjadi satu kisah yang
mendekati apa yang sesungguhnya terjadi. Rekonstruksi tersebut
42
didasarkan pada fakta yang dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya, kemudian dilakukan analisis terhadap fakta-fakta
tersebut, dan ditulis dalam bentuk hasil penelitian.
Secara konseptual lokasi penelitian dibagi dalam dua bagian
yaitu, pertama, yang sifatnya makro, dalam hal ini perkembangan
Depok, sekaligus hubungan kota satelit ini dengan kota
metropolitan Jakarta yang disangganya, terus diamati. Berbagai
penelitian tentang Depok yang ada dijadikan dasar pengamatan.
Pemahaman ini kemudian diperkaya oleh hasil riset sejenis yang
diperoleh di Perpustakaan Pusat UI, dan dilengkapi dengan data
statistik BPS Kota Bogor, bahan-bahan dari Bappeda Kota Depok,
serta data-data dari kecamatan di lingkungan kota Depok.
Kedua, yang sifatnya mikro, dalam hal ini penggalian data
dilakukan di komunitas Depok lama. Pencarian data disamping di
wilayah Jabodetabek, juga dilakukan di perpustakaan Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, perpustakaan Kolese St.
Ignatius, Perpustakaan Sono Budoyo, perpustakaan Pedesaan dan
Pusat Kependudukan UGM yang antara lain mengkoleksi buku
tentang demografi, Sensus Penduduk dan Survei Penduduk Antar
Sensus yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.
43
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibagi dalam tujuh bab. Bab pendahuluan
memuat pertanyaan-pertanyaan permasalahan yang merupakan
dasar untuk pembahasan pada bab-bab selanjutnya. Bab kedua
membahas beberapa macam persoalan yang timbul di Depok
sampai awal abad 20. Tujuannya adalah untuk melihat
perkembangan status Depok, mulai dari asal usul kepemilikan
tanahnya hingga menjadi tanah pemerintah dan kondisi awal
Komunitas “Belanda” Depok, dan masyarakat pendatang yang ikut
serta memberi corak pada Kota Depok. Bab III berisi tentang
permasalahan di seputar Jakarta yang berimbas terekslusinya
Depok dari Jakarta dan terinklusi ke Jawa Barat. Meskipun telah
terekslusi dari Jakarta, namun Jakarta tetap memerlukan Depok
sebagai daerah penyangga. Bab IV membahas mengenai
pemekaran kota Depok, yang diawali dengan menjadi pinggiran
kota Jakarta hingga menjadi kota Mandiri. Bab V menitik beratkan
pada pembicaraan mengenai kota hunian dan aktivitas baru
orang Jakarta di selatan ibukota, yang dilengkapi dengan fasilitas
perkotaan. Bagian ini merupakan suatu pemecahan dari
permasalahan yang dibahas pada bab III. Pembahasan pada
bagian ini mencoba untuk melihat demografi penduduk yang
menjadi pemukim baru di Depok dengan segala permasalahannya,
serta adanya kebijakan pemindahan Universitas Indonesia ke
44
Depok. Bab VI membahas tentang pergumulan tanpa henti
mencari identitas. Bagaimana sulitnya perjuangan Depok untuk
diterima sebagai suatu kota. Penelitian ini akan ditutup dengan
kesimpulan pada Bab VII yang intinya adalah menjawab
pertanyaan penelitian yang diajukan pada bab pendahuluan.