bab i pendahuluan 1. 1 latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Masalah
Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel di Timur Tengah
menarik untuk dikaji, karena Pemerintahan di wilayah tersebut telah terlibat dalam
perebutan kekuasaan di Timur Tengah sejak Islam berkuasa di Bilad al-Sham dengan
berdirinya Dinasti Umayah (661-750 M). Kekuasaan Dinasti tersebut meliputi
wilayah negara Suriah, Palestina, Jordan, dan Lebanon saat ini. Dinasti ini berhasil
membangun armada laut dan merupakan kekuatan Islam di Utara dalam menghadapi
Bizantium, dan saat itu peta Islam melebar ke Timur sampai ke Kabul, Kandahar,
Ghazni, Bukhara, Samarkand, (Uzbekistan) dan Tirmiz, serta di front Barat adalah
Kartagena (ibu kota Bizantium di Ifriqiyah) (Karim,2012:84-14). Kekuatan Islam
juga mampu untuk mengambil alih Palestina yang dikuasai oleh tentara Perang Salib
(Kristen) semasa Panglima Besar Sultan Salahudin al-Ayyubi pada tahun 1187.
Masalah Palestina kemudian menjadi pemicu konflik yang menyeret Suriah setelah
Inggris mengambil alih kekuasaan dari kekaisaran Ottoman, dan memberikan wilayah
tersebut ke pada Zionis Yahudi untuk mendirikan negara Israel. Sejak negara itu
merdeka pada tahun 1948, Suriah terlibat dalam masalah Palestina, dan memilki
strategi dalam menghadapi konflik dengan Israel.
Suriah menjalankan strateginya dalam menghadapi Israel melalui jalan
perang secara langsung, perang tidak langsung di perbatasannya dengan di Lebanon
dan melalui perundingan. Suriah telah berperang langsung dengan Israel pada tahun
1948,1967, dan 1973, serta terlibat secara tidak langsung akibat serangan Israel ke
1
2
Lebanon pada tahun 1982, 1993, dan 1996, tetapi juga Suriah melakukan
perundingan dengan Israel melalui mediasi Amerika Serikat (AS) pada tahun 1991-
2000. Dalam kaitan ini, strategi Suriah dalam menghadapi Israel terkait dengan
upaya Suriah dalam mengambil kebijakan perang yang diperkuat dengan aliansi
militer dengan Rusia (Uni Soviet) dan melalui jalur perundingan. Suriah juga
mempertimbangkan aspek kekuatan militer dan negosiasi dalam menghadapi Israel
untuk melindungi kepentingan keamanannya di kawasan Timur Tengah. Dari kondisi
ini, pergolakan yang terjadi di Suriah pada awal Maret 2011 kemungkinan besar
strateginya dalam menghadapi Israel memiliki dampak atas pergolakan di Suriah.
Suriah dapat memengaruhi stabilitas keamanan regional, karena memiliki
perbatasan langsung dengan Israel di Dataran Tinggi Golan. Dalam hal ini, seperti
yang diutarakan oleh Henry Kissinger, bahwa there can be no war in the Middle East
without Egypt and no peace without Syria (Drysdale and Hinnebusch, 1991:2). Salah
satu alasan dari pernyataan tersebut adalah Suriah memiliki lokasi yang strategis
berada di jantung kawasan Timur Tengah, perbatasan dengan Israel, Turki, Jordan,
Irak dan Lebanon, berada di persimpangan Laut Tengah, dan Teluk Persia, serta
antara benua Afrika dan Eurosia. Posisinya yang strategis memudahkan Suriah untuk
membantu, dan mendukung kelompok perlawanan yang menentang keberadaan Israel
melalui perbatasan.
Posisi Suriah yang berada diperbatasan Israel dapat menjadi salah satu
ancaman militer bagi Israel. Selama Dataran Tinggi Golan masih berada dalam
pendudukan Israel, Suriah akan terus berupaya untuk dapat mengembalikan wilayah
tersebut. Negosiasi antara Suriah dan Israel, yang berlangsung sejak tahun 1991
hingga tahun 2000, mengalami kegagalan. Israel tidak ingin mengembalikan wilayah
tersebut. Penelitian ini menjadi penting, karena Suriah yang berada di garis depan
3
memiliki strategi dalam menghadapi Israel yang didukung dengan posisi geografi
yang strategis berada di perbatasan dengan Lebanon. Posisinya di berbatasan ini
menjadi pertahanan bagi Suriah dalam menerapkan strateginya untuk menghadapi
Israel di Lebanon.
Perbatasan Suriah-Lebanon menjadi salah satu keuntungan Suriah dalam
membantu kelompok perlawanan Hizbullah di Lebanon Selatan. Sejak militer Suriah
berada di wilayah tersebut pada tahun 1976, wilayah ini telah menjadi sasaran
serangan Israel. Dalam hal ini, Lebanon Selatan memiliki perbatasan dengan
wilayah Dataran Tinggi Golan yang juga berbatasan dengan Israel. Keberhasilan
Israel menduduki wilayah Dataran Tinggi Golan pada tahun 1967 merupakan
pukulan berat bagi Suriah. Negara-negara Arab yang terlibat konflik dengan Israel
yaitu Mesir, dan Jordan yang telah mendapatkan wilayahnya, dan membuka
hubungan diplomatik dengan Israel masing-masing tahun 1979, dan 1994, sedangkan
Suriah tidak dapat memperoleh wilayah yang diduduki Israel meskipun telah
melakukan negosiasi dengan Israel untuk mengembalikan Dataran Tinggi Golan sejak
tahun 1991-2000.
Dalam menghadapi konflik dengan Israel, Suriah didukung dengan kondisi
geografis bahwa Suriah berada di perbatasan dengan Israel di wilayah Dataran Tinggi
Golan. Keadaan posisi geografis yang berbatasan dengan Lebanon memudahkan
Suriah untuk memberikan bantuan, dan fasilitas kepada para pejuang Palestina yang
memiliki basis kekuatan perlawanan di Lebanon, dan menjadi target serangan Israel
ke Lebanon. Terbentuknya Hizbullah di Lebanon pada tahun 1982 yang didukung
Iran telah menjadikan Suriah berperan penting bagi kelompok dimaksud. Suriah
dapat berperan di Lebanon, karena sejak tahun 1976 telah menempatkan pasukannya
di Lebanon, dan kemudian telah ditarik mundur pada tahun 2005. Pidato Presiden
4
Hafiz al-Assad tanggal 27 Oktober 1994 ketika kunjungan Presiden William J.
Clinton ke Damaskus menyampaikan bahwa Suriah berpedoman bahwa penyelesaian
konflik Arab-Israel harus diselesaikan secara damai, komprehensif, dan sesuai dengan
resolusi DK PBB no.242, dan 338 yaitu pengembalian seluruh tanah Arab sesuai
batas 4 Juni 1967 secara adil, dan mengembalikan rakyat Palestina ke negaranya,
serta Jerusalem Ibukota Palestina. Suriah merupakan negara terdepan yang tidak
langsung terlibat konflik antara Israel-Lebanon, dan Israel-Palestina (Hamas) di Gaza.
Dukungan Suriah terhadap kelompok ini dapat dikatakan sebagai salah satu
strategi Suriah menghadapi Israel. Suriah masih belum mampu untuk merebut
wilayahnya yang diduduki oleh Israel, sedangkan Mesir sekutu terdekatnya pada
Perang 1967, dan Perang 1973 dengan Israel telah memperoleh wilayah Sinai. Mesir,
bahkan telah menandatangi perjanjian perdamaian dengan Israel pada tahun 1979,
dan Jordan pada tahun 1994 telah sepakat dengan Israel berkaitan dengan pembagian
air di Sungan Jordan. Strategi Suriah dalam menghadapi Israel tidak dapat membawa
kemajuan dalam menuju suatu perdamaian, dan bahkan ketika di masa presiden
Bashar konflik dengan Israel semakin menguat dengan dituduhnya Suriah melakukan
instabilitas politik di Lebanon, dan mendukung terorisme di Timur Tengah.
Upaya Suriah dalam menghadapi Israel sangat terkait dengan masalah
Dataran Tinggi Golan yang lokasinya sangat strategis. Wilayah Golan dengan luas
1860 km2, dibatasi dengan 4 negara yaitu Suriah, Israel, Jordan, dan Lebanon,
memiliki ketinggian antara 209 m hingga 2814 m dari permukaan laut. Bagi Israel,
Golan merupakan tempat yang sangat strategis, karena dataran tingginya dapat
mendeteksi negara lain seperti Lebanon, dan Suriah. Serangan Israel ke Lebanon
Selatan, dan kekuatan militer Suriah dapat segera dapat dideteksi melalui Dataran
tersebut. Posisi strategisnya ini menjadi tujuan Israel untuk mempertahankannya.
5
Suriah berupaya untuk memperoleh kembali Dataran Tinggi Golan dengan
kesediaannya menghadiri Konferensi Perdamaian Madrid, 30 Oktober 1991 bersama
Jordan, Lebanon, Palestina, dan Israel serta dihadiri pula oleh AS dan Rusia (Uni
Soviet). Konferensi Madrid merupakan awal negosiasi antara Suriah dan Israel
mengenai Dataran Tinggi Golan. Perundingan selanjutnya antara Suriah-Israel tetap
dilakukan secara informal dari tahun 1992 hingga 1995 hingga terbunuhnya PM
Israel Yitzak Rabin tahun 1995, dan terhenti setelah PM Netanyahu menduduki
Pemerintahan Israel tahun 1996. Selanjutnya, Pertemuan Tingkat Tinggi di Jenewa,
26 Maret 2000, yang diadakan atas mediasi AS dalam rangka pengembalian Dataran
Tinggi Golan tidak mencapai solusi, karena Israel tidak ingin mundur sesuai dengan
garis batas 4 Juni 1967.
Dalam proses perdamaian Road Map for Peace yang disponsori oleh PBB,
AS, Uni Eropa, dan Rusia (quartet) di bulan April 2003, quartet tidak melibatkan
Suriah. Mereka tidak mengikutsertakannya meskipun Suriah memiliki pengaruh atas
kelompok perlawanan Palestina di Damaskus, Suriah. Lebih dari itu, AS justru
mendesak Yaser Arafat menunjuk Mahmoud Abbas (Abu Mazen) seorang arsitek
perjanjian Oslo sebagai pengganti Perdana Menteri pada bulan Maret 2003 (Carter,
2007:158-159). Sebaliknya, Suriah justru dikesampingkan dalam masalah konflik
dengan Israel. Lebih dari itu, Suriah bahkan telah dituduh melakukan campur tangan
atas masalah dalam negeri Lebanon, dan Irak. Tuduhan ini membawa konsekwensi
bagi Suriah yaitu, pertama, AS secara formal menerapkan sanksi ekonomi terhadap
Suriah di tahun 2004, karena dianggap telah mendukung terorisme, menduduki
Lebanon, dan mengembangkan senjata pemusnah massal. Kedua, AS, dan Perancis
berhasil melakukan sanksi politik dengan mensponsori resolusi DK PBB No. 1559,
dan 1701, yang intinya penarikan Suriah dari Lebanon yang dilaksanakan akhir April
6
2005. Ketiga, penuduhan bahwa Suriah telah mengizinkan wilayahnya sebagai
tempat pelatihan terorisme. Menlu AS Powel mendesak Presiden Bashar al-Assad
bulan Mei 2003 agar Suriah menutup semua kantor organisasi teroris Palestina di
Damaskus, dan mengusir pemimpinnya termasuk juga melucuti Hizbullah di Lebanon
(Gabil, 2006:140). Dalam hal ini, pada tanggal 20 Mei 2005, Dubes Suriah di AS
mengatakan di harian New York Times, bahwa Syria has severed all links with US
military representatives and the Central Intelligence Agency during the last 10 days
because of what he called unjust allegations of Syrian Support to the Iraqi
insurgency. AS, dan sekutunya berusaha memperlemah Suriah dalam percaturan
konflik dengan Israel.
Suriah dengan upayanya untuk menghadapi Israel secara regional justru
sebaliknya semakin meningkat sesuai dengan laporan The Iraq Study Group Report
(ISG)(2006:38-40). Kelompok yang dipimpin oleh mantan Menlunya Presiden
George H. W. Bush, James Baker memberikan laporan, bahwa kerja sama dengan
Suriah dalam membantu AS selama Perang Teluk di tahun 1991 perlu dipertahankan.
Dalam laporannya ISG menjelaskan, bahwa untuk mengatasi stabilitas Irak, dan
konflik Arab-Israel semua negara yang tertarik pada keamanan regional harus bekerja
sama dengan Suriah, dan Iran. Laporan ini menujukkan pentingnya Suriah dalam
percaturan konflik dengan Israel dalam mewujudkan perdamaian di Timur Tengah.
Dalam mewujudkan perdamaian, Suriah berupaya melakukan perundingan
informal dalam rangka menghadapi Israel. Setelah delapan tahun mengalami
kebuntuhan, pada tanggal 21 Mei 2008 Suriah, dan Israel mengumumkan
dimulainya pembicaraan perdamaian di bawah mediasi Turki. Dalam wawancara
dengan Harian Qatar (SANA, 21 Mei 2008), Al-Watan, Presiden Bashar al-Assad
menekankan Erdogan’s role in the process and praised his efforts that intensified
7
since April 2007 hingga tanggal tersebut, Turki telah lima kali menfasilitasi
perundingan informal antara Suriah, dan Israel. Perundingan tersebut terhenti, karena
adanya serangan darat Israel ke Gaza akhir Desember 2008. Israel menuntut, bahwa
Suriah harus memutuskan hubungan dengan Hizbullah, dan Hamas serta Iran jika
pertemuan akan dilanjutkan ke arah yang lebih formal (Hadar, 2007:4). Tuntutan ini
tidak dapat dilaksanakan, dan dihentikan oleh Suriah ketika Israel melakukan
penyerangan ke Jalur Gaza pada akhir tahun 2008.
Perundingan informal merupakan salah satu upaya Suriah dalam
menghadapi Israel. Secara tidak langsung, Suriah memiliki posisi tawar menawar,
karena kelompok perlawanan yang didukungnya dapat bertahan terhadap serangan
membabi-buta Israel ke Lebanon Selatan tahun 2006, dan dapat bertahannya Hamas
di Jalur Gaza dari serangan keji Israel di tahun 2008. Strategi Suriah dalam
menghadapi Israel secara tidak langsung telah memperkuat pengaruh Suriah terhadap
kelompok dimaksud. Seperti yang diutarakan oleh David W, Lesch (2007: 20) bahwa
Victory for Hizbullah was a victory of Syria. Bashar had very few strategic assets left
as of early 2007, and Syrian Foreign Policy under Assad is all about having for quid
pro quos, particularly regarding a return of the Golan Heights. Pengaruh Suriah atas
atas kelompok perlawanan dapat dijadikannya sebagai posisi tawar-menawar dalam
menekan Israel untuk melakukan perundingan.
Strategi Suriah dalam menghadapi Israel ini menyebabkan Israel tidak dapat
menghancurkan kekuatan Hizbullah di Lebanon Selatan dan Hamas di Gaza. Upaya
ini kemungkinan besar berpengaruh atas terjadinya pergolakan senjata pada awal
Maret 2011 yang bertujuan untuk memperlemah kekuatan perlawanan Suriah
terhadap Israel, dan mengganti rezim di Suriah bagi kepentingan keamanan Israel.
Hal ini diindikasikan, bahwa AS sekutu Israel, dan beberapa negara sekutu AS
8
berusaha untuk menyudutkan, dan memperlemah kekuatan militer, dan ekonomi
Suriah dengan memberikan bantuan kepada para pemberontak, dan mensponsori
resolusi Dewan Keamanan PBB dengan tujuan memberikan sanksi kepada Suriah.
Dalam keadaan ini, Suriah mampu menghadapi tuntutan AS di PBB dengan
menggalang sekutunya Rusia, dan China yang memiliki hak veto di DK PBB yang
telah tiga kali menggagalkan penerapan sanksi kepada Suriah.
1.2. Rumusan Masalah
Pertanyaan-pertanyaan penelitian kemudian dikemukakan sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana strategi Suriah dalam menghadapi perang dengan Israel masa
Presiden Hafiz al-Assad?
1.2.2 Bagaimana strategi keseimbangan komprehensif dalam menghadapi Israel di
masa Presiden Hafiz al-Assad?
1.2.3 Mengapa dalam strateginya menghadapi Israel, dukungan Suriah terhadap
kelompok Perlawanan Palestina-Hamas, dan Hizbullah serta aliansinya
dengan Iran mendapatkan tekanan dari AS?
1.2.4 Bagaimana dampak strategi Suriah dalam menghadapi Israel terhadap
gejolak politik di Suriah?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah adalah:
1.3.1 Menerangkan strategi yang dilakukan Suriah dalam menghadapi perang
dengan Israel pada tahun 1948, 1963, dan 1973 serta perang tidak langsung
dengan Israel di Lebanon.
9
1.3.2 Menerangkan strategi keseimbangan komprehensif yang dilakukan oleh
Suriah dalam menghadapi Israel.
1.3.3 Menjelaskan strategi Suriah dalam menghadapi tekanan AS untuk
memutuskan hubungan dengan kelompok perlawanan Palestina-Hamas,
Hizbullah, dan Iran yang didasari hubungan antara Suriah-AS.
1.3.4 Menjelaskan hubungan antara strategi yang diambil Suriah dalam
menghadapi Israel dan pengaruhnya atas terjadinya pergolakan di Suriah
awal Maret 2011.
1.3.5 Selain sebagai bahan akademik untuk mengupas strategi Suriah dalam
menghadapi konflik dengan Israel,penulis juga memiliki kewajiban moral
sebagai seorang diplomat di Kementerian Luar Negeri untuk memberikan
rekomendasi kebijakan luar negeri Indonesia khususnya dalam mengambil
posisi atau sikap terhadap kondisi yang sedang terjadi di Suriah saat ini. Hal
ini mengingat Kementerian Luar Negeri terkait dengan masalah kebijakan
luar negeri Indonesia terhadap negara-negara Arab yang mana Indonesia
sesuai amanat Pembukaan UUD 45 adalah ikut serta dalam menjaga
ketertiban, dan perdamaian dunia.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka ini penulis menguraikan, bahwa terdapat hasil-hasil
penelitian atau pemikiran sebelumnya yang berkaitan dengan Suriah dalam konflik di
Timur Tengah. Tinjauan pustaka digunakan sebagai bahan dasar penulis untuk
penulisan disertasi sebagai inspirasi, pendukung, dan penjelas dalam kajian ini.
Tinjauan pustaka bertujuan untuk menunjukkan perbedaan pembahasan
mengenai Suriah yang dibahas atau diteliti oleh penulis lainnya, dan ditujukan untuk
10
memberikan teori-teori, dan konsep-konsep politik dari penelitian sebelumnya
sebagai bahan dasar dalam penyusunan disertasi selanjutnya. Tinjauan pustaka
berdasarkan pada lima buku yaitu Syria, The United States, and The War on Terror in
the Middle East oleh Robert G. Rabil; Last Chance: The Middle East in the Balance
ditulis oleh David Garder; Commanding Syria oleh Eyal Zisser; The Truth About
Syria oleh Barry Rubin Carsten: dan Assad: The Struggle of Middle East oleh Patrick
Seale. Buku-buku tersebut sebagai bahan referensi, dan rujukan untuk menguatkan
kajian disertasi.
Robert G Rabil (2006) mengkaji mengenai kebijakan luar negeri AS terhadap
Suriah, dan kebijakan AS di Timur Tengah. Dijelaskan, bahwa kebijakan luar negeri
AS atas Suriah mengalami fluktuasi yaitu antara komitmen AS terhadap keamanan
Israel, dan dukungan negara-negara Arab untuk mewujudkan kepentingannya. Suriah
merupakan salah satu negara yang telah masuk dalam daftar negara teroris oleh AS
sejak tahun 1979, dan menjadi faktor penting ketika Suriah tidak mendukung invansi
AS ke Irak tahun 2003, dan perang terhadap terorisme. AS menyadari, bahwa Suriah
memainkan peran penting atas ketidakstabilan keamanan di Irak. Penulis lebih
menfokuskan pada kepentingan invasi AS di Irak dengan menyudutkan dukungan
Suriah terhadap kelompok perlawanan Palestina sebagai kelompok terorisme. Selain
itu, penulis tidak menjelaskan bagaimana strategi Suriah dalam menghadapi Israel
melainkan lebih menganalisis kebijakan AS terhadap Suriah di Timur Tengah.
Tulisan lain mengenai Suriah yang ditulis oleh David Garder (2009)
menjelaskan, bahwa Suriah sebagai negara kunci dalam mempertahankan Lebanon
dari serangan Israel, sehingga memiliki memiliki posisi penting atas konflik dengan
Israel di Timur Tengah. Kedekatan Suriah dengan kelompok perlawanan Hizbullah
menjadikan Suriah sebagai salah satu negara yang arti peran penting dalam menjaga
11
stabilitas keamanan di Lebanon selama lebih kurang 30 tahun. Dalam tulisannya
dijelaskan, meskipun Suriah telah menarik mundur tentaranya dari Lebanon bulan
April 2005 tetapi keterkaitannya dengan Hizbullah menjadikan perannya, dan
pengaruhnya perlu diperhitungkan. Penulis hanya menfokuskan kebijakan Suriah di
Lebanon dalam menghadapi Israel. Peran, dan pengaruhnya di Lebanon berkaitan
dengan kekuatan Palestina di Lebanon menjadi bahan masukan berarti untuk
memberikan gambaran lebih lanjut terhadap strategi Suriah dalam menghadapi
konflik dengan Israel di Timur Tengah secara umum, dan konflik Arab-Israel
khususnya. Tulisan ini dapat menjadi bahan analisis bagi strategi Suriah menghadapi
Israel di Lebanon khususnya mengenai aliansi Suriah-Iran-Hizbullah.
Selanjutnya dalam buku karangan Eyal Zisser (2008) telah menjelaskan
mengenai naiknya Presiden Bashar al-Assad ketumpuk kekuasaan menggantikan
Presiden Hafiz al-Assad serta kebijakan luar negerinya yang berlanjut dalam masalah
konflik Arab-Israel. Pengarang menjelaskan kebijakan Suriah terhadap Amerika
Serikat, Israel, dan Lebanon, namun tidak selesai mengupas bagaimana strategi
Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel. Penulis lebih menekankan
analisisnya pada sisi kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah dalam menghadapi
Suriah, sehingga tidak mencerminkan masalah, dan realitas yang ada atas peran
Suriah. Buku ini lebih mengedepankan konflik Timur Tengah, dan terorisme dari
sudut pandang AS dan Israel. Kajian ini belum menjelaskan alasan dasar dari strategi
Suriah menghadapi Israel.
Penulis lain adalah Barry Rubin (2007) yang menjelaskan, bahwa Suriah
merupakan negara yang mengedepankan kebijakan luar negeri berdasarkan dukungan
kepada kelompok-kelompok yang dianggap teroris oleh AS antara lain Hamas,
Islamic Jihad, dan kelompok perlawanan di Lebanon yaitu Hizbullah. Rabin lebih
12
banyak mengamati, dan menekankan dari sudut pandang AS, dan Israel, bahwa
Suriah merupakan negara yang tidak akan pernah menginginkan perdamaian dengan
Israel. Penyelesaian konflik antara Israel, dan Palestina tidak pernah menyinggung
upaya Suriah ke arah perdamaian, karena penulis mengganggap Suriah
menginginkan hegemoni atas wilayah Timur Tengah. Dalam pengamatannya,
tulisannya secara jelas banyak menyudutkan kebijakan luar negeri Suriah sepihak
terutama tuduhannya memasok teroris ke Irak, sehingga tidak mungkin dapat
tercapai perdamaian mengingat Suriah tidak mau bekerja sama dengan AS untuk
memerangi terorisme di era Pemerintahan Bush. Dalam kaitan ini perlu dilanjutkan
kajian mengenai strategi Suriah dalam menghadapi Israel di Timur Tengah, dan
dalam menjelaskan bagaimana strategi Suriah menghadapi Israel, karena apa yang
telah dijelaskan sangat tidak mewakili kebijakan luar negeri Suriah dalam
menghadapi Israel, dan perannya saat ini yang selalu diabaikan oleh Israel yang
bersengketa dengan Hizbullah, dan Hamas.
Patrick Seale (1995) menjelaskan dengan baik mengenai kebijakan luar negeri
Suriah di kawasan Timur Tengah khususnya bagaimana Suriah di bawah Presiden
Hafiz al-Assad memainkan perannya dalam menghadapi Israel. Penulisan ini
menonjolkan riwayat Hafiz al-Assad, dan karirnya hingga menjadi Presiden Suriah.
Peran Suriah dalam konflik Arab-Israel memegang peranan penting dalam kebijakan
luar negerinya, termasuk hubungannya dengan negara-negara Arab lainnya dengan
spirit Pan-Arabisme untuk tindakan represif secara militer dengan Israel. Seale
berhasil mengkaji mengenai doktrin Assad berkaitan dengan keseimbangan
kekuataan masa Perang Dingin. Kajian ini dapat menjadi sumber inspiratif untuk
mengembangkan disertasi khususnya strategi Suriah dalam menghadapi konflik
dengan Israel pada masa Presiden Bashar al-Assad.
13
Hal utama yang membedakan disertasi ini dengan kajian lainnya tentang
Suriah adalah pembahasan yang komprehensif mengenai strategi Suriah dalam
menghadapi konflik dengan Israel. Strategi Suriah sangat terkait dengan posisi
geografinya yang strategis sebagai pedoman dalam menentukan geopolitiknya untuk
menekan Israel agar kembali melakukan negosiasi dalam masalah Dataran Tinggi
Golan dari masa Presiden Hafiz al-Assad hingga Pemerintahan Presiden Bashar al-
Assad. Disertasi ini juga membahas, bahwa posisi Suriah penting tidak saja, karena
berada di perbatasan tetapi secara geopolitik Suriah juga memiliki strategi dalam
memainkan peran yang lebih luas untuk menekan Israel melalui dukungan atau
koalisinya dengan Iran, dan terhadap kelompok perlawanan Palestina, dan Hizbullah.
Dalan disertasi ini lebih lanjut dikaji strategi yang diambil Suriah dalam menghadapi
konflik dengan Israel yang cenderung membawa dampak atas upaya AS, dan
sekutunya untuk menjatuhkan Presiden Bashar al-Assad. Posisi Suriah menjadi
sangat vital di mata negara-negara besar seperti Rusia, China, dan Iran.
1.5 Kerangka Konseptual
Dalam memahami judul “Strategi Suriah dalam Menghadapi Konflik dengan
Israel 1991-2013”, maka perlu untuk mengetahui arti kata-kata dalam judul
dimaksud untuk memudahkan melakukan analisis dalam penelitian.
1.5.1 Strategi
Strategi berasal dari turunan kata bahasa Yunani, “stratēgos”, yang dapat
diterjemahkan sebagai ‘komandan militer’ pada zaman demokrasi Athena. Kata
strategi adalah a word of military origin, refers to a plan of action designed to
achieve a particular goal. Strategi merupakan suatu rencana militer dalam mencapai
14
tujuan tertentu dengan target yang jelas. Strategi adalah bagaimana hubungan atas
berbagai pendekatan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. How a battle is fought is
a matter of tactics: the terms and conditions that it is fought on and whether it should
be fought at all is a matter of strategy. Taktik merupakan bagian dari suatu
pertempuran sedangkan strategi menerjemahkan suatu tindakan dalam arti yang lebih
luas dan dalam kondisi tertentu perang dapat dimulai atau tidak (Evans, 2011).
Dalam bukunya Strategy, Liddell Hart (1967:322) menjelaskan, bahwa military
strategy intrudes upon policy and, …it makes battle the only means of achieving
strategic ends. Hart lebih tertuju pada masalah strategi militer yang ditujukan sebagai
dasar bagi mulainya perang. Strategi militer dapat dikatakan sebagai akhir kebijakan
ketika perang sudah berlangsung. Berkaitan dengan strategi militer Hart menjelaskan
military strategy is "the art of distributing and applying military means to fulfil the
ends of policy. Strategi militer merupakan bagian dari seni untuk menyalurkan dan
menerapkan cara-cara militer. Strategi dalam kaitan ini merupakan bagian dari suatu
pertempuran yang telah ditetapkan dengan kebijakan dalam waktu lama.
Dalam bukunya The Power of Nations in the 1990s: A Strategic Assessment
(1995), Ray Cline mendefinsikan strategi adalah as a part of political decision
making process that conceptualizes and establishes goals and objectives designed to
protect and enhance…interests in the international arena. (Heater dan Berridge,
1998:47) Strategi digunakan sebagai proses pengambilan keputusan politik yang
diputuskan untuk mencapai sasaran, dan tujuan dalam melindungi, serta
meningkatkan kepentingannya di dunia internasional dalam menghadapi negara lain
bagi kepentingan politik dan keamanannya. Strategi ini menjadi dasar untuk mengaji
strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada tahun 1991-2013.
15
Strategi yang dijalankan oleh Suriah dalam menghadapi konflik dengan
Israel tidak lepas dari penggunaan kekuatan militer, dan penerapan negosiasi.
Berkaitan dengan itu, Irtiza Hussain dalam bukunya Strategic Dimensions of
Pakistan’s Foreign Policy menjelaskan Strategy has often been described as the art
or the science of the application of power for the achievement of political
goals….Strategy necessitates the interspersing of military action with political
negotiations (Hussain, 1989: 1-2). Hussain menekankan strategi dalam menerapkan
kekuataan militer. Kekuatan militer merupakan menjadi vital dalam membuat suatu
strategi, dan bahkan strategi sebagai suatu seni atau ilmu yang menerapkan kekuatan
dalam mencapai tujuan politik. Penggunaan kekuatan militer dalam suatu strategi
juga diselingi dengan pelaksanaan negosiasi atau perundingan
Dari definisi, dan arti mengenai strategi, maka dapat dikatakan bahwa
strategi adalah bagian dari suatu kebijakan untuk melindungi, dan meningkatkan
berbagai kepentingannya berdasarkan kemampuannya antara tindakan militer dan
negosiasi politik sesuai arah dan tujuannya.
1.5.2 Konflik
Konflik menurut Michael Nicholson dalam bukunya Rationality and the
Analysis of International Conflict menjelaskan, bahwa: A conflict exists when two
people wish to carry out acts which are mutually inconsistent. …the definition of
conflict can be extended from individuals to groups (such as states or nations)
(Nicholson, 1992:11). Konflik terjadi ketika dua pihak melakukan suatu tindakan
yang saling berlawanan, dan memiliki kepentingannya sendiri yang tidak sepaham.
Konfik meluas dari seorang individu hingga menjadi suatu kelompok seperti bangsa,
dan negara dalam mempertahankan kepentingan tertentu. Menurut John Burton,
16
Disputes…suggests are short-term disagreements that are relatively easy to resolve.
Sengketa secara garis besar cenderung lebih mudah untuk diselesaikan, dan sifatnya
adalah jangka pendek. Konflik menurut Burton: Long-term, deep-rooted problems
that involve seemingly non-negotiable issues and are resistant to resolution. Konflik
tidak sama dengan sengketa. Konflik masalahnya lebih mengakar, dan biasanya
cenderung dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga konflik cenderung akan
melibatkan isu-isu yang sulit dirundingkan untuk mencari solusi yang dapat
disepakati oleh kedua pihak (Burton,1993:55-64).
Dari berbagai pendapat, disimpulkan bahwa konflik adalah masalah yang
telah mengakar secara jangka panjang berdampak pada isu-isu yang muncul akibat
suatu tindakan yang tidak sepaham yang melibatkan individu, kelompok atau negara
yang sulit dirundingkan untuk mencapai solusi.
Penulisan mengenai “Strategi Suriah dalam Menghadapi Konflik Dengan
Israel” merupakan pengambilan keputusan politik oleh Suriah yang didasari atas
arah, dan tujuan dalam rangka melindungi, dan meningkatkan kepentingannya
berdasarkan kemampuan militer melalui negosiasi politik, dan tindakan militer dalam
menghadapi ketegangan politik, dan konflik terbuka dengan Israel. Strategi Suriah ini
didasari oleh geopolitiknya dalam mengambil kebijakan sesuai dengan kondisi
geografisnya yang berbatasan dengan Israel
1.6 Kerangka Pemikiran
Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel sangat terkait
dengan konflk Palestina-Israel yang berkaitan dengan keinginan suatu bangsa untuk
membentuk suatu negara. Tidak ada konflik di dunia yang sangat problematika
seperti konflik antara Yahudi Israel, dan Arab Palestina yang masing-masing
17
menuntut wilayah yang sama. Kaum Yahudi, Kristian, dan Muslim yang menuntut
wilayah suci yang sama, sehingga mengakibatkan peningkatan oposisi dari negara-
negara Arab atas keberadaan negara Israel. Karen A. Mingst dalam bukunya
Essentials of International Relation (2008) menjelaskan, bahwa Disputes over state
territories and the desire of nations to form their own state have been major source of
instability and even conflict. Konflik tersebut mengakibatkan instabilitas di kawasan
Timur Tengah, karena Israel secara bertahap meluaskan ekspansi wilayahnya melalui
perang, dan pemukiman-pemukiman baru.
Ekspansi Israel ke wilayah Dataran Tinggi menjadi dasar atas strategi Suriah
menghadapi Israel. Akibat dari pendudukan Israel, maka Suriah hanya mendapatkan
air 269 juta, kubik dari 435 juta meter, padahal pertaniannya memerlukan 13.000 juta
m kubik air. Israel memperoleh 700 juta meter kubik dari yang semestinya 260 juta
meter kubik. Banyaknya jumlah pasokan air, karena curah hujan setahun di Golan
mencapai 750 mm dibandingkan di Damaskus hanya 212 mm pertahunnya. (Zaitun,
2007:15-16) Di Dataran tersebut, Suriah menduduki seluas 610 kilometer persegi dari
185.179 km2, dengan kota provinsi Quneitra, berjarak 35 km dari ibukota Damaskus.
Israel menduduki area seluas 1250 kilometer persegi. Titik tertinggi dari wilayah
tersebut adalah Gunung Hermon (dinamakan Jabal Sheikh di Suriah) setinggi 2.224
meter di atas laut. Di sebelah Barat Suriah, berbatasan dengan Laut Mediteranian
sepanjang pantai Utara Lebanon. Perbatasan terpanjangnya dengan Turki di sebelah
Utara (822 km), dan kemudian di sebelah Timur dengan Irak (605).
Dalam melihat strategi Suriah dalam konflik dengan Israel, maka secara
geopolitik letak Suriah berada di wilayah konflik, karena adanya pendudukan Israel
di wilayah Palestina yang kemudian meluas ke Lebanon, dan Jordan. Dengan melihat
pada faktor geopolitik, maka lebih mudah untuk memahami perjuangan hidup suatu
18
negara dengan melakukan pengawasan atas wilayahnya. Pengembangan dari
pengertian tersebut dapat diterapkan salah satunya dalam melihat kebijakan luar
negeri. Alan Bullock, dan Oliver Stallbrass (1977:263) dalam The Fontana
Dictionary of Modern Thought menjelaskan By geopolitics, it understands that
‘nations or states are engaged in a perpetual struggle for life…which can be derived
from the study of geography and history and successfully applied to foreign policy.
Richard Murir dalam Modern Political Geography yang dikutip dalam bukunya
Alasdair Drysdale, dan Gerald H. Blake dalam The Middle East and North Africa:
Political Geography dengan jelas mengatakan, bahwa political geographer believe
that location matters and that they should show the spatial causes and effects of
political process. Masalah wilayah dapat berpengaruh, dan menjadi penyebab proses
politik yang terjadi di suatu negara.
Proses politik yang terjadi dikaji berdasarkan geopolitik sebagai pandangan
politik suatu negara yang diinspirasikan dengan posisinya dalam peta menurut
pandangan H. Van der Wusten, dan G. Dijkink dalam jurnal German, British and
French Geopolitics: Enduring Difference. Selain itu, E.H.Carr dalam bukunya
Twenty Years Crisis menekankan, bahwa geopolitik tidak dipisahkan dengan politik
internasional, dan tidak terkait dengan ideologi. Geopolitik menjadi dasar kebijakan
untuk mencapai tujuan sesuai kondisi geografis negara tersebut. Geopolitik menjadi
dasar pemikiran tradisi realis internasional yang menganalisis politik dari gambaran
geografi. Konsep geopolitik merupakan upaya pemikiran realis dalam
memperjuangkan kekuatannya dalam suatu wilayah (Drulak, 2006: 420-421).
Geopolitik suatu negara menjadi dasar, dan memiliki tujuan untuk
mendukung atau memberikan justifikasi perluasan kekuatan suatu negara atas dasar
kerangka kerja gambaran geografisnya. Keadaan ini dianggap sebagai strategi
19
nasionalis yang berorientasi pada politik geografi yang disebut geopolitik. Dalam
sistem internasional yang didasari oleh konflik, dan kompetisi, pemikiran ini akan
menjamin dominasi posisi masing-masing negara. Pemikiran geopolitik menurut
Guntram H. Herb dalam tulisannya the Politics of Political Geography menjelaskan
Political geography have engaged with states in three ways: … to facilitate the
process of maximizing its power over space; to maintain and manage its territorial
existence; and to actively resist and question its spatially manifested actions. (Drulak,
2006: 430-51). Geopolitik dapat menentukan kebijakan suatu negara dalam
menghadapi kondisi regional. Negara mendapatkan tiga pilihan apakah dengan
meningkatkan kekuatan militernya dalam menghadapi negara-negara di sekitarnya
atau berupaya untuk mempertahankan eksistensinya dengan bersikap netral di
wilayah kekuasaannya atau kemudian negara tersebut secara aktif melakukan
tranformasi ke arah perubahan dengan meningkatkan kekuatan ekonominya atau
menghadapi ketidakstabilan, karena adanya perlawanan atau revolusi. Keadaan ini
mempengaruhi geopolitik suatu negara dalam menghadapi masalah atau isu sesuai
dengan kondisi geografisnya.
Kondisi geografis suatu negara sangat terkait dengan sistem internasional
yang anarki menurut pendekatan realis. Realis menganggap, bahwa tidak ada
kewenangan di atas negara, dan negara sangat berdaulat. Sistem yang anarki akan
membatasi tindakan para pengambil keputusan, karena akan mempengaruhi
kapabilitas negara lain. Realis tradisional mengakui, bahwa negara bertindak, dan
membentuk sistem, sedangkan neorealis yakin, bahwa negara akan dihalangi oleh
struktur dari sistem yang berbentuk multipolar (multi kutub), bipolar (dua kutub), dan
unipolar (satu kutub). Dalam multipolar, ada beberapa negara, atau sedikitnya tiga
negara menikmati secara relatif kesamaan kekuatan militer. Dalam sistem bipolar
20
beberapa negara melakukan aliansi kepada dua kekuatan besar, sehingga menjadikan
perimbangan kekuatan. Setiap perang yang terjadi adalah untuk mempertahankan
perimbangan kekuasaan. Sedangkan dalam sistem unipolar, satu negara memiliki
pengaruh dalam sistem internasional (Mings, 2008:86-87).
Dalam kondisi sistem internasional yang anarkhi, negara yang kuat dari segi
politik, dan militer serta ekonomi akan berusaha membawa negara di sekitarnya
untuk mengikut arah kebijakan luar negerinya. Robert O. Kohane menyatakan
hegemony states are willing to pay the price to enforce norms unilaterally if
necessary in order to ensure the continuation of the system that benefit them. Dalam
suatu sistem yang unipolar, satu-satunya negara adi kuasa akan bertindak sesuai
ketentuannya secara unilateral, jika diperlukan untuk menjamin kelangsungan sistem
yang menguntungkannya. Satu negara yang dominan ditandai dengan pengeluaran
anggaran militer yang mana AS memiliki anggaran militer lebih besar dari lima belas
negara yang digabung (Mings, 2008:88).
Dalam suatu sistem internasional yang anarkhi, negarawan harus memilki
moralitas dalam membuat kebijakan luar negeri. Menurut Fareed Zakaria dalam
tulisannya Is Realism Finished?, dalam Jurnal National Interest 1992
(Genest,1996:124-126), dikatakannya, A Moral Statesman operating in a realist
world must hence keep in mind three caveats – chaos, competition, and caution.
Pertama, seorang negarawan harus dapat mengatasi kekacauan dalam kehidupan
internasional. Kedua, karena negara tergantung pada kemampuan keamanannya
sendiri, maka negarawan harus dapat dipercaya untuk tidak melakukan kecurangan,
dan kekerasan terhadap negara lain. Fareed Zakaria mengatakan, the competitive
nature of international life ensures that if one country alone acts out of moral rather
than strategic concern, it will encourage others to seek advantage; ketiga, seorang
21
negarawan harus bertindak sesuai dengan moral yang disebut ethic of responsbility.
Negara harus bertindak sesuai dengan pertanggung jawaban etika internasional dalam
sistem internasional.
Teori mengenai moralitas dalam sistem internasional ini mewarnai sikap
Suriah dalam membuat kebijakan luar negerinya, yang mana posisi yang berbatasan
dengan negara-negara yang terlibat konflik dengan Israel yang bertindak di luar
moral, sehingga menjadi perhitungan mendasar dalam menjalin hubungan dengan
kelompok perlawanan di Lebanon Selatan, dan Palestina. AS, sebagai negara
hegemoni dalam sistem unipolar, menjadi faktor utama penekan terhadap kebijakan
luar negeri Suriah. Secara geografis, geopolitik Suriah membawa konsekwensi atas
kebijakan luar negerinya dalam menghadapi konflik di Timur Tengah. Dengan
demikian, kekuatan negara mempengaruhi negara lain sangat tergantung dari potensi
kekuatannya. Keadaan menentukan strategi Suriah dalam menghadapi Israel.
Dengan dasar pemikiran ini, dalam disertasi dikaji mengenai strategi Suriah
yang memiliki kondisi posisi geografis yang strategis dapat memainkan pengaruhnya
terhadap konflik dengan Israel. Dari posisinya yang strategis, maka geopolitik Suriah
berupaya memperluas pengaruh, dan dukungannya dalam menentukan strateginya
menghadapi Israel. Geopolitik Suriah menentukan arah kebijakan politik luar negeri
Suriah berdasarkan atas faktor geografis dalam rangka mencari dukungan dalam
mengadapi konflik dengan Israel agar dapat memperoleh kembali wilayah Dataran
Tinggi Golan melalui penyelesaian damai atau cara-cara lain.
Kebijakan luar negeri dapat diorientasikan dengan suatu keputusan atau
tindakan suatu negara. Kal Holsti dalam bukunya The International Politics
menekankan, bahwa orientasi kebijakan luar negeri merupakan general attitude and
commitments toward the external environment and its fundamental strategy for
22
accomplishing its domestic and external objective and aspiration and for coping with
persisting threat. Strategi mendasar dalam kebijakan luar negeri dalam menghadapi
konflik adalah mengisolasi diri, atau menjauhi konflik, bersikap netral atau
nonalignment, dan membangun koalisi atau aliansi. Strategi ini dapat berubah sesuai
dengan kondisi regional dan perimbangan kekuatan dalam sistem global.
Kebijakan luar negerinya suatu negara diimplementasi menjadi kekuatan
yang efektif melalui diplomasi. Diplomasi biasanya dimulai dengan melakukan
tawar-menawar secara langsung atau tidak langsung agar dapat mencapai kesepakatan
dalam suatu negosiasi atas suatu masalah. Menurut Karen A. Mingst: …, yet for
bargaining to be successful, each party needs to be credible, that is, each party needs
to make believable statement, assume likely positions, and be able to back up its
position by taking action (Mingst, 2008:112). Hasil dari diplomasi mengarah pada
negosiasi. Suatu negara harus dapat menyakinkan pihak lain atas posisinya dalam
menghadapi posisi pihak lawan. Dalam ini proses negosiasi menurut Fred.C.Ikle
dalam bukunya How Nations Negotiate menjelaskan, bahwa to resolve conflict and
avoid the use of force, it is said, one must negotiate. Negotiation requires willingness
to compromise, and both sides must make concessions (Iragorri, 2003: 92-93). Inti
negosiasi adalah menghindari penggunaan kekuatan militer. Suatu negara harus
memiliki komitmen yang dipercaya dalam memberikan konsensi kepada pihak lawan.
Dalam kerangka pemikiran ini strategi Suriah dalam menghadapi Israel akan
dilihat dari sudut pandang geopolitik Suriah yang berbatasan dengan negara-negara
yang berkonflik dengan Israel. Di lain pihak, geopolitik mendasari strategi Suriah
dalam menghadapi konflik juga dipengaruhi oleh sistem internasional yang anarkhi
yang beralih dari bipolar menjadi unipolar dengan hegemoni AS di dunia
internasional. Strategi Suriah dengan geopolitiknya yang diimplementasikan melalui
23
kebijakan luar negeri telah mendorong Suriah untuk menyusun perimbangan
kekuatan dengan dukungan kepada aktor-aktor non-negara, seperti Hamas, dan
Hizbullah. Selain itu, strategi Suriah dalam menghadapi Israel juga menerapkan
negosiasi dalam mencapai kepentingannya.
1.7 Hipotesis
Hipotesis yang dibangun dalam menjelaskan rumusan masalah atas strategi
Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel sebagai berikut:
1.7.1 Strategi Suriah dalam menghadapi Israel di Timur Tengah pada masa
Presiden Hafiz al-Assad adalah:
1.7.1.1 Didasari kebijakan luar negeri anti Israel dan anti imperalis berdasar
ideologi Partai Baath yaitu persatuan, kebebasan dan sosialisme.
1.7.1.2 Memperkuat aliansi dengan Mesir, Jordan, Arab Saudi dan Irak
dalam perang menghadapi Israel.
1.7.1.3 Mendukung perjuangan bangsa Palestina dan mempertahankan
wilayah Lebanon dari serangan Israel.
1.7.2 Penerapan Strategi Keseimbangan Komprehensif pada masa Hafiz al-Assad
adalah:
1.7.2.1 Suriah melakukan aliansi dengan Iran, dan Rusia dalam mengatasi
serangan Israel.
1.7.2.2 Suriah melakukan konfrontasi dengan Israel yang digunakan untuk
menarik simpati negara Arab untuk memberikan bantuan ekonomi.
1.7.2.3 Suriah bersedia untuk melakukan perundingan dengan Israel dalam
rangka memperoleh kembali Dataran Tinggi Golan.
24
1.7.3 Strategi Suriah dengan mendukung kelompok perlawanan Palestina-Hamas,
dan serta aliansinya dengan Iran mendapatkan tekanan dari AS karena:
1.7.3.1 Suriah sanggup untuk meningkatkan pertahanan Hizbullah terhadap
serangan Israel di Lebanon Selatan, dan pertahanan Hamas di Gaza.
1.7.3.2 Suriah dituduh mendukung kelompok terorisme yang dibantu oleh
Iran untuk memerangi Israel.
1.7.3.3 Suriah dituduh atas ketidakstabilan politik di Lebanon
1.7.4 Dampak strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel terhadap
gejolak politik di Suriah adalah :
1.7.4.1 Semakin meningkatnya upaya AS dan sekutunya untuk melakukan
intervensi militer, dan menuntut mundurnya Presiden Bashar al-
Assad, serta semakin kuatnya dukungan Rusia, dan China.
1.7.4.2 Pemutusan hubungan kerja sama Turki dengan Suriah yang mulai
erat di bidang politik, ekonomi, dan militer.
1.7.4.3 Semakin memudahkan Israel, dan sekutunya untuk menghentikan
dukungan Suriah terhadap kelompok-kelompok perlawanan.
1.7.4.4 Semakin mudahnya AS, dan sekutunya untuk memetakan kembali
kekuatan militer di Timur Tengah, demi kepentingan Israel.
1.8 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif-eksplanatif dengan
menggunakan data kualitatif, dan data kuantitatif yang dimuat dalam tabel.. Metode
ini bertujuan untuk menjelaskan, dan menelaah fenomena yang terjadi berkaitan
dengan strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel sejak tahun 1991
hingga tahun 2013 pada masa Presiden Hafiz al-Assad, dan Presiden Bashar al-Assad
25
serta menjelaskan implikasi dari strategi Suriah tersebut berkaitan dengan terjadinya
pergolakan senjata yang terjadi pada mulai Maret 2011.
1.8.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode Library
Research (Studi Kepustakaan). Metode Studi kepustakaan dilakukan dengan
mengumpulkan dokumen-dokumen yang sekiranya dapat dipergunakan untuk
mengupas, dan mengeksplorasi masalah yang diambil dari buku, jurnal, majalah,
koran, dan situs-situs kajian yang diakses melalui internet serta sumber-sumber
lainnya yang diangggap relevan. Diharapkan dengan teknik pengumpulan data ini,
maka penulis dapat menemukan data-data, dan fakta-fakta yang relevan untuk
menelaah, dan menjelaskan serta menjawab rumusan-rumusan masalah.
1.8.2 Teknik Analisis Data
Data-data yang diperoleh dikelompokan secara sequent analysis data, data
diolah sebagai suatu rangkaian/urutan peristiwa penting yang terjadi dalam suatu
waktu. Peristiwa internasional yang terjadi dalam suatu kejadian adalah untuk
menganalisis, dan menjelaskan kondisi internasional yang diamati di masa lampau.
Menganalisis peristiwa-peristiwa penting yang terjadi atas strategi Suriah dalam
menghadapi konflik dengan Israel pada masa Presiden Hafiz al-Assad, dan kemudian
pada masa Presiden Bashar al-Assad, dan berlanjut pada dampak strategi Suriah
dalam menghadapi konflik dengan pergolakaan yang terjadi di Suriah.
*****