perpustakaanrsmcicendo.comperpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/01/... · web...
TRANSCRIPT
1
MANIFESTASI KLINIS PERMUKAAN OKULAR BERHUBUNGAN
DENGAN PENYAKIT KULIT NON INFEKSI
I. Pendahuluan
Peradangan pada permukaan okular terjadi pada palpebra dan segmen anterior.
Segmen anterior diantaranya dapat terjadi pada konjungtiva, kornea, dan sklera.
Peradangan pada segmen anterior ini dihubungkan dengan berbagai kelainan
organ lainnya, misalnya kelainan pada kulit.1
Kelainan kulit dapat dibagi menjadi infeksi dan non infeksi. Peradangan pada
okular bagian eksterna yang dihubungkan dengan penyakit kulit noninfeksi
diantaranya adalah; dermatitis kontak, psoriasis, dermatitis seborrhoic, dermatitis
atopi, rosasea, Steven-Johnson Syndrome (SJS), Toxic Epiderma Necrolysis
(TEN), sikatrik pemphigoid.2
II. Embriologi okular dan kulit
Perkembangan embriologi pada minggu ketiga masa kehamilan berbentuk plat
embrio yang terdiri dari tiga lapisan yaitu ectoderm, mesoderm dan endoderm.
Lapisan ectoderm dan mesoderm akan berperan dalam perkembangan struktur
okular. Penebalan lapisan ectoderm yang terlihat pada permukaan dorsal embrio
akan membentuk neural plate, kemudian membentuk sistem saraf pusat, termasuk
salah satunya struktur okular. Di bagian tengah plat embrio terbentuk suatu
lekukan yang disebut dengan neural grooves yang berkembang dan mengalami
invaginasi sehingga terbentuk neural folds. Fusi antara neural folds membentuk
neural crest, neural tube dan surface ectoderm.( gambar 2.1)3,4,5
a. b. c.
d. e.
Gambar 2.1. Proses embriologi mulai minggu ke-3 kehamilan Dikutip dari Remington4
2
Surface ectoderm yang akan membentuk lensa, epitel kornea, epitel konjungtiva,
epitel palpebra, cilia, glandula meibom, glandula zeiss, glandula moll dan, epitel
sistem nasolakrimal. Neural ectoderm berkembang menjadi epitel pigmen retina,
retina, serabut saraf optik, epitel badan siliar, epitel iris, otot sfingter pupil. Neural
crest akan membentuk stroma kornea, membran bowman, endotel kornea,
membran Descemet’s, sklera, struktur trabekula, sel pigmen uvea, jaringan
pengikat uvea, otot siliaris, meninges of optic nerve, perisit vascular.5,6
Pertumbuhan kulit masa embriologi dimulai minggu keempat kehamilan.
Surface ectoderm membentuk epidermis dan lapisan mesoderm akan membentuk
dermis. Minggu ke-21 terbentuk lapisan-lapisan epidermis; stratum corneum,
stratum lucidum, stratum granulosum, stratum spinosum, stratum germinativum.
Migrasi neural crest akan berkembang menjadi dermis (melanoblast) dimulai
pada hari ke 40-50 masa embriologi. Akhir minggu ke-11 terbentuk jaringan
kolagen dan jaringan penunjang lainnya pada dermis. 5,6
III. Imunologi okular dan kulit
Sistem imun terbagi menjadi dua kategori besar, yaitu sistem imun bawaan
dan adaptif. Respon imun adaptif dapat menimbulkan reaksi yang berlebihan dan
disebut sebagai reaksi hipersensitivitas.7,8
Klasifikasi hipersensitivitas terbagi menjadi reaksi anafilaksis (tipe I), antibodi
sitotoksik (tipe II), reaksi kompleks imun (tipe III), reaksi yang dimediasi selular
(tipe IV), dan Tipe V.7,8
3.1 Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai dengan produksi antibodi IgE melawan
alergen, yaitu protein asing yang biasa hadir di lingkungan dan tidak berbahaya,
misalnya serbuk sari, bulu hewan, atau tungau debu rumah.
APC berinteraksi dengan sel limfosit Th-2 CD4+ dan mensekresikan IL-4 yang
menginduksi sel limfosit B untuk memproduksi IgE. IgE kemudian berikatan
dengan sel mast melalui reseptor Fc-e. Kompleks antigen-IgE-Fc-e di permukaan
sel mast menyebabkan degranulasi dan pelepasan mediator berupa histamin,
prostaglandin, leukotriens, dan lain-lain dalam hitungan menit, menghasilkan
3
reaksi inflamasi akut yang ditandai dengan kebocoran plasma lokal dan rasa
gatal.7,8
Respons ini dapat menghasilkan reaksi sistemik yang disebut anafilaksis, yang
dapat mengakibatkan perubahan permeabilitas pembuluh darah disertai kebocoran
plasma ke dalam jaringan. Contoh reaksi tipe I pada mata adalah konjungtivitis
alergi.7,8
3.2 Hipersensitivitas Tipe II (hipersensitivitas sitotoksik)
Hipersensitivitas tipe II dimana terjadi interaksi antara imunoglobulin dengan
benda asing atau autoantigen membran sel. Sel yang lisis disebabkan oleh aktivasi
komplemen dan pengambilan leukosit , neutrofil, limfosit, makrofag. Berbagai
leukosit dapat mengenali Fc dari molekul antibodi dan diarahkan ke sel.7,8
Pada mata mekanisme efektor ini mungkin berkontribusi dalam penolakan
cangkok kornea dan kekebalan antiparasit.7,8
3.3 Hipersensitivitas Tipe III (reaksi komplek imun)
Keberadaan antigen yang menetap dalam jaringan, ditambah dengan infiltrasi
limfosit B spesifik dan pembentukan antibodi lokal, dapat menghasilkan reaksi
inflamasi kronis dengan pola histologis yang rumit. Mekanisme ini sering
menunjukkan infiltrasi limfositik, infiltrasi sel plasma, dan komponen
granulomatosa. Mekanisme ini dapat terjadi pada patofisiologi gangguan
autoimun kronis tertentu, seperti rheumatoid arthritis.7,8
Reaksi ini terjadi akibat deposit kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau
pembuluh darah dan menimbulkan reaksi inflamasi. Kompleks antigen-antibodi
mengaktivasi makrofag melalui reseptornya sehingga merangsang pengeluaran
sitokin proinflamasi seperti IL-1, TNF, reactive oxygen intermediate (ROI), dan
nitrit oxide (NO). Kompleks yang tertimbun juga dapat mengaktivasi komplemen.
Sistem komplemen dapat mengaktivasi sel mast dan menghasilkan zat-zat
kemotaksis yang memanggil sel PMN untuk fagositosis. Kompleks antigen-
antibodi yang berada pada membran basalis sulit untuk difagositosis, karena itu
sel PMN melepaskan enzim proteolitik, kinin, protein polikationik, ROI dan
4
reactive nitrogen intermediate. Zat-zat tersebut menyebabkan kerusakan jaringan
lebih lanjut. Contoh reaksi tipe III pada mata adalah keratitis herpes simpleks.7,8
3.4 Hipersensitivitas Tipe IV
Tipe hipersensitivitas lambat atau delayed-type hypersensitivity (DH) adalah
respons inflamasi yang dimediasi oleh sel limfosit T. Stimulasi sel efektor T
menyebabkan aktivasi makrofag, peradangan lokal dan edema dalam jaringan.
Reaksi terjadi 12-48 jam setelah paparan antigen. Pada mata, reaksi Th1 tipe
lambat ditemukan dalam uveitis anterior akut dan sympathetic ophthalmia.
Sedangkan sel Th2 tipe lambat menghasilkan IL-4, IL-5, dan sitokin lainnya. IL-4
dapat menginduksi limfosit B untuk mensintesis IgE. IL-5 dapat merekrut dan
mengaktifkan eosinofil dalam jaringan. IL-4 juga dapat menginduksi granuloma
makrofag sebagai respon terhadap antigen. Mekanisme hipersensitifitas tipe
lambat yang dimediasi Th2 berperan penting dalam reaksi alergi fase lambat,
asma, dan dermatitis atopik atau manifestasi lain dari penyakit atopik.7,8
3.5 Hipersensitivitas Tipe V
Klasifikasi tipe V atau stimulatoris diperkenalkan untuk respons imun yang
merangsang atau menghambat fungsi reseptor endokrin. Respons ini ditemukan
dalam penyakit autoimun. Reaksi agonis atau stimulasi terjadi pada penyakit
Graves ketika antibodi terhadap reseptor thyroid-stimulating hormone (TSH)
merangsang produksi hormon tiroid, dan sebagai akibatnya terjadi goiter dan
gejala lain dari tirotoksikosis.7
Sistem regulasi imun yang terpenting di permukaan mata adalah mucosa-
associated lymphoid tissue (MALT). Konsep MALT mengacu pada koneksi
antara jaringan mukosa (lapisan epitel saluran pernapasan, usus, dan saluran
urogenital dan permukaan okular dan adneksanya). Eye-associated lymphoid
tissue (EALT) adalah MALT yang berfungsi untuk perlindungan di permukaan
mata dan mukosa adneksanya anatomis, EALT berjalan dari kelenjar lakrimal ke
seluruh conjunctiva- associated lymphoid tissue (CALT) dan lacrimal drainage-
associated lymphoid tissue (LDALT). EALT terdiri dari jaringan limfoid difus
dari sel plasma yang mensekresi limfosit T dan IgA, termasuk populasi leukosit
5
aksesori pada semua organ dan folikel limfoid di CALT dan LDALT. Faktor-
faktor dalam lapisan air mata, yang menghubungkan bagian-bagian yang berbeda
di permukaan mata dan melindunginya dari lingkungan eksternal, merupakan
komponen imunitas utama di permukaan mata. Organ tersebut juga dihubungkan
oleh resirkulasi limfosit melalui pembuluh khusus antara satu sama lain dengan
seluruh sistem imun tubuh.8,9
Gambar 3.1 Eye-associated Lymphoid Tissue (EALT) Dikutip dari: Niederkorn JY, Kaplan HJ9
Organ-organ tertentu, seperti bilik anterior mata, otak, dan plasenta,
merupakan organ yang memiliki immune privilege sehingga masuknya antigen
asing ke dalam jaringan tersebut dapat menyebabkan keadaan toleransi. Adanya
immune privilege pada mata bergantung pada beberapa faktor yaitu sawar darah
okular, jalur drainase limfatik yang tidak konvensional, faktor imunomodulator
larut dalam aqueous humor, ligan imunomodulator di permukaan sel-sel parenkim
okular, regulasi sistem komplemen, dan toleransi APC yang tersebar dalam
jaringan-jaringan anatomis di mata. Strategi yang digunakan untuk memodifikasi
respons imun bawaan dan adaptif dalam mata adalah penolakan imunologis,
toleransi perifer terhadap antigen dan pengembangan lingkungan mikro
imunosupresif intraokular.8,9
Konjungtiva memiliki komponen khas jaringan mukosa. Sistem regulasi imun
mukosa di konjungtiva disebut conjunctiva- associated lymphoid tissue (CALT).
Konjungtiva tervaskularisasi dan memiliki drainase limfatik yang baik ke nodus
preaurikular dan submandibula. Jaringan ini kaya akan sel Langerhans dan sel
6
dendritik lainnya, serta makrofag yang berfungsi sebagai APC potensial. Folikel
konjungtiva yang membesar setelah beberapa tipe infeksi atau peradangan
menunjukkan penimbunan limfosit T, limfosit B, dan APC. Pengolahan imun
lokal terhadap antigen yang menembus epitel tipis di atas folikel mungkin
terjadi.8,9
Konjungtiva kaya akan infiltrasi sel efektor potensial yang mayoritas adalah sel
mast. Semua isotipe antibodi direpresentasikan, dan produksi lokal serta transpor
pasif mungkin terjadi. IgA adalah antibodi yang paling melimpah di lapisan film
air mata. Molekul terlarut dari sistem kekebalan tubuh bawaan, terutama
koplemen, juga direpresentasikan. Konjungtiva mendukung sebagian besar
respons efektor imun adaptif dan bawaan, terutama respons yang dimediasi oleh
antibodi dan limfosit. Degranulasi sel mast adalah salah satu respons yang paling
umum.7,9
Respons Imun Bilik Anterior, Uvea Anterior, dan Vitreous. Humor aqueous di
bilik mata anterior merupakan media komunikasi antar sitokin dan sel-sel imun
dengan jaringan iris, badan siliar, dan endotel kornea.7,9
Humor aqueous mengandung kompleks faktor biologis, seperti sitokin
imunomodulator, neuropeptida, dan komplemen inhibitor. Dalam badan siliar,
terdapat sawar darah-okular parsial. Kapiler berfenestra dalam badan siliar dan
tight junction antara epitel siliar berpigmen dan nonpigmen mencegah molekul
makro dari interstisial menyerap melalui badan siliar ke aqueous humor, meski
makromolekul plasma dalam jumlah kecil dapat melewati penghalang epitel
nonpigmen dan memasuki bilik anterior dengan difusi melalui permukaan iris
anterior. Mata bagian dalam tidak memiliki saluran limfatik yang berkembang
dengan baik. Pembersihan zat terlarut bergantung pada drainase humor, dan
pembersihan partikel bergantung pada endositosis oleh sel endotel trabecular
meshwork atau makrofag. Inokulasi antigen ke dalam bilik anterior adalah hasil
dari komunikasi dengan Respons imun sistemik. Antigen larut dapat masuk ke
sirkulasi vena, di mana mereka berkomunikasi dengan limpa.7,9
Mekanisme immune privilege yang paling banyak dipelajari pada mata adalah
anterior chamber-associated immune deviation (ACAID). Hipersensitivitas tipe
7
IV dapat ditekan oleh respons ACAID. Setelah penetrasi antigen ke bilik anterior,
fase aferen dimulai ketika makrofag di iris mengenali dan memfagositosis antigen.
Fungsi APC pada makrofag uveal telah diubah oleh paparan sitokin
immunoregulator yang biasa terdapat dalam aqueous humor dan jaringan uveal,
terutama TGF-b2. Makrofag okular TGF-B2 yang terstimulasi antigen
meninggalkan trabecular meshwork dan kanal Schlemm untuk memasuki sirkulasi
vena dan bermigrasi ke limpa. Sinyal antigen diproses dengan aktivasi tidak hanya
oleh limfosit T helper dan limfosit B tetapi juga limfosit Treg. Sel-sel Treg CD8
berfungsi untuk mengubah respons limfosit Th CD4 di limpa dan down-regulation
bagi respons limfosit T CD4 DH terhadap imunisasi spesifik antigen di semua
jaringan tubuh. Respons efektor yang dihasilkan ditandai dengan penekanan
selektif DH antigen-spesifik dan pengurangan produksi selektif dari isotipe
antibodi yang memperbaiki komplemen. ACAID merupakan mekanisme efektor
yang dilemahkan. Mata dilindungi dari peradangan berat oleh blokade efektor.
Limfosit Th1, limfosit T sitotoksik, sel-sel NK, dan komplemen aktivasi berfungsi
kurang efektif dalam uvea anterior dibandingkan di tempat lain. Salah satu
mekanisme blokade efektor melibatkan ligan Fas (FasL, atau CD95 ligan). FasL
konstitutif diekspresikan di iris dan endotel kornea. Protein ini merupakan pemicu
potensial kematian sel terprogram atau apoptosis pada limfosit yang
mengekspresikan reseptor Fas. Jika terjadi respons imun terhadap antigen,
peradangan dapat diregulasi oleh mekanisme blokade efektor ini.9
IV. Penyakit permukaan okular yang berhubungan dengan penyakit kulit
non infeksi.
Manifestasi klinis permukaan okular diantaranya infamasi di palpebra
(blefaritis), konjungtiva (konjungtivitis), kornea (keratitis), sklera (skleritis)
4.1 Blefaritis
Blefaritis adalah radang yang terjadi pada palpebra. Blefaritis dapat
diklasifikasikan berdasarkan letak anatominya. Blefaritis anterior mengenai kulit
palpebra, pangkal bulu mata, dan folikel bulu mata sedangkan blefaritis posterior
mengenai gandula meibom.1,10
8
Blefaritis yang berhubungan dengan kelainan kulit non infeksi diantaranya;
dermatitis kontak, dermatitis atopi, dermatitis seborrhoic, erythema multiforme
(Steven Johnson Syndrome), toxic epidermal necrolysis (Lyell’s disease), rosasea.2
Dermatitis kontak adalah kelainan inflamasi yang mengenai kulit yang tipis
pada palpebra. Dermatitis kontak dapat disebabkan oleh obat tetes mata, kosmetik,
substansi lainnya yang memicu reaksi alergi lokal. Dermatitis kontak dapat terjadi
langsung dan kronik. Hipersensitifitas tipe I terjadi beberapa menit setelah
terpapar dengan alergen. Tanda dan gejala klinis pada palpebra yaitu gatal,
eritema, edema, hiperemi konjungtiva dan kemosis. Hipersensitifitas lambat
berperan pada respon kulit terhadap alergen yang terjadi 24-72 jam setelah
terpapar. Tanda klinisnya yaitu; eksema, eritema, hiperpigmentasi, sisik halus,
keropeng, sikatrik di kulit palpebra, ektropion palpebra inferior.1,11
Penatalaksanaan reaksi hipersensitif terutama dengan memutuskan penyebab
alergi. Terapi tambahan dengan kompres dingin, artificial tears, antihistamin
topikal, sel mast stabilizers. Nonsteroidal anti-inflammatory (NSAID) diberikan
bila ditemukan nyeri. Penatalaksanaan reaksi hipersensitifitas lambat ditambahkan
dengan pemberian kortikosteroid topikal untuk mempercepat penyembuhan
palpebra dan inflamasi konjungtiva. Kortikosteroid diberikan selama beberapa
hari pada palpebra dan kulit periokular.1
Dermatitis atopi suatu kondisi kronis yang diturunkan secara genetik, dimulai
saat bayi dan anak-anak. Patogenesis dermatitis atopi dengan meningkatnya
hipersensitifitas IgE, yang akan meningkatkan pelepasan histamin dari sel mast,
basofil dan impaired cell-mediated. Tanda dan gejala klinis ditemukan gatal,
ditemukan lesi eksematous pada palpebra dan di tempat lain pada dewasa di
lipatan siku bagian dalam, pada anak-anak ditemukan di wajah dan siku.
Anamnesis ditemukan riwayat keluarga dengan asma, rinitis alergi, polip nasi,
hipersensitif terhadap aspirin. Penemuan di okular diantaranya warna kulit
periorbital yang lebih gelap, lipatan palpebra yang berlebihan, ektropion dan
konjungtivitis kronik. Gambaran klinis pada bayi tampak ruam, pada anak-anak
eksematous, pada dewasa tampak sisik yang menebal dan terlihat kering.10,11,12
9
Dermatitis atopi pada bayi mulai timbul sejak usia kurang dari 2 bulan.
Ditemukan gejala klinis berupa eksema, eritema, keropeng pada pipi. Lesi dapat
meluas hingga kulit kepala, leher, dahi, pergelangan tangan, ekstensor tungkai
ataupun lengan, dan bokong. Infeksi sekunder sering menyertai karena
ditimbulkan oleh garukan. Dermatitis atopi pada bayi dapat hilang akhir tahun ke-
2.11 (gambar 4.1)
Gambar 4.1 Lesi dermatitis atopi pada bayi Dikutip dari William D, James D, Timothy G, Berger MD11
Pada anak-anak lesi patognomonik ditemukan pada fossa poplitea, fossa cubiti, pergelangan tangan bagian luar, palpebra dan leher.11(gambar 4.2)
Gambar 4.2 Lesi dermatitis atopi pada anak-anak Dikutip dari William D, James D, Timothy G, Berger MD11
10
Lesi kulit pada usia muda terjadi pada 18 tahun. Tampak lesi yang mengalami
likenifikasi, plak. Lesi mengenai palpebra bilateral. Lesi terutama kambuh saat
cuaca dingin. (gambar 4.3)11
Gambar 4.3 Lesi dermatitis atopi pada dewasa Dikutip dari William D, James D, Timothy G, Berger MD11
Penatalaksanaan dengan menghindari penyebab, pelembab dan gel petroleum
untuk kulit kering. Lesi akut dapat diberikan kortikosteroid topikal dengan
sediaan krim atau oinment (clobetasone butyrate 0.05%), lesi kronik sebaiknya
tidak diberikan untuk menghindari penipisan kulit. Tacrolimus topikal lebih
efektif dengan efek samping yang minimal. Antihistamin oral dan sel mast
stabilizers dapat mengurangi gatal namun dapat memicu terjadinya dry eye.1,10
Dermatitis seborrhoic sering terjadi, bersifat kronis. Tanda klinis dermatitis
seborrhoic ditemukan sisik yang berminyak dan plak pada dasar yang eritem.
Kelainan ini terjadi pada 2-5% populasi. Lokasi kelainan ini terutama pada daerah
yang memiliki kelenjar minyak, diantaranya kulit kepala, kulit di belakang telinga,
bagian telinga luar, dada dan punggung. Etiologi belum diketahui dan tidak
terdapat keterlibatan hipersekresi dari sebum. Blefaritis seborrhoic sering terjadi
dan dapat dihubungkan dengan terjadinya keratokonjungtivitis.11 (gambar 4.4)
11
Gambar 4.4 Lesi dermatitis atopi pada dewasa Dikutip dari William D, James D, Timothy G,
Berger MD11
Terapi dengan menggunakan shampo yang mengandung tar, zinc pyrithione
atau ketokonazol, kortikosteroid topikal, antijamur topikal dan topical calcineurin
inhibitor. Blefaritis dikontrol dengan lid hygiene, antibiotik-kortikosteroid topikal
yang intermiten dan ocular lubricant.1
Stevens-Johnson Syndrome (SJS), Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
mengenai kulit dan membran mukosa, yang disebabkan oleh alergi obat, dimana
terdapatnya deposit kompleks imun di dermis kulit dan stroma konjungtiva. TEN
lebih berat dibandingkan SJS, karena dapat mengancam jiwa dan sulit untuk
diatasi. (gambar 4.5). Pasien dengan TEN melibatkan 30% epidermis, dan dapat
menyebabkan terkelupasnya kulit. Kelainan okular oleh SJS, lebih berat pada
TEN mengakibatkan perubahan pada konjuntiva tarsalis, konjungtiva bulbi,
kornea dan palpebra. Insidensi terjadinya SJS 1.1/juta-tahun, TEN
0,5-0,93/million juta-tahun.2,12 (gambar 4.6)
Gambar 4.5 TEN (Toxic Epidermal Necrolysis) Dikutip dari William D, James D, Timothy G, Berger MD11
12
Kelainan okular pada keadan akut yang bersamaan dengan kelainan kulit
ditemukan konjungtivitis bilateral dengan gambaran pesudomembran sebanyak
15-75%. Sedangkan ulkus kornea jarang ditemukan pada stadium akut. Kelainan
okular ini akan membaik setelah 2-4 minggu tanpa infeksi. Keadaan kronik
ditemukan simblefaron, sikatrik konjungtiva, entropion, trikiasis, dan instabilitas
lapisan air mata. Kerusakan pada permukaan okular menyebabkan terjadinya
sikatrik kornea, neovaskularisasi, kasus berat ditemukan keratinisasi. Sikatrik
pada duktus lakrimalis dihubungkan dengan destruksi sel goblet konjungtiva,
yang memicu terjadinya dry eye yang berat.12
Gambar 4.6 Stevens-Johnson Syndrome (SJS), Dikutip dari William D, James D, Timothy G, Berger MD11
Penatalaksanaan SJS bersifat suportif dengan artificial tears dan antibiotik
topikal sebagai profilaksis. Pemberian kortikosteroid peroral sebanyak
1mg/KgBb/hari pada keadaan akut, Simblefarectomi, dan rekonstruksi palpebra.12
4.2 Konjungtivitis, Keratokonjungtivitis, skleritis
Konjungtivitis adalah inflamasi konjungtiva ditandai dengan infiltrasi,
eksudasi sel dan dilatasi vaskular. Kemosis merupakan suatu keadaan terjadinya
akumulasi cairan di antara atau dibawah konjungtiva. Pasien datang dengan
keluhan sekret yang meyebabkan kelopak mata menjadi lengket. Kondisi ini bisa
terjadi unilateral ataupun bilateral. Konjungtivitis akut berlangsung kurang dari 3
minggu, sedangkan konjungtivitis kronis lebih dari 3 minggu. Respon morfologi
yang mengidentifikasikan konjungtivitis kronis yaitu papil, folikel, membran/
13
pseudomembran, sikatrik, granuloma. Hal ini penting dalam menegakkan
diagnosa.
Konjungtivitis dan keratokonjungtivitis yang berhubungan dengan penyakit
kulit non infeksi diantaranya dermatitis atopi, dermatitis seborrhoic, erythema
multiforme (Steven Johnson Syndrome), toxic epidermal necrolysis (Lyell’s
disease), rosasea.12
Membran merupakan massa padat putih yang menutupi konjungtiva tarsal.
Membran apabila diangkat akan menyebabkan perdarahan, dibedakan dengan
pseudomembran yang mudah terangkat. Steven-johnson syndrome (SJS) dan
toksic epidermal nekrolysis (TEN) menyebabkan membran/pseudomembran pada
membran mukosa dan kulit. Bilateral pseudomembran konjungtivitis sering terjadi
pada kondisi ini dan memicu terjadinya sikatrik konjungtiva yang berat, memicu
kehilangan sel goblet, entropion, trikiasis, kegagalan sel stem limbus. Perubahan
sikatrik akan terjadi bila mengenai stroma konjungtiva.2,12
Skleritis merupakan suatu kelainan inflamasi pada sklera. Inflamasi pada sklera
dapat disebabkan oleh suatu proses infeksi dan non infeksi. Pasien datang dengan
mengeluhkan perasaan yang tidak nyaman pada matanya. Pada pemeriksaan
oftalmologis ditemukan edema pada area sklera. Manifestasi skleritis yang
berhubungan dengan kelainan kulit non infeksi adalah rosasea sebanyak 7%,
dermatitis atopi 1-7% dan lyme disease sebanyak 1-6%.1
Rosasea adalah erupsi peradangan kronis di daerah aksial wajah yaitu dahi,
hidung, dan pipi. Kelainan ini terutama terjadi pada individu paruh baya atau lebih
tua dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Penyakit ini mengenai
10% populasi, diamati paling sering terjadi pada ras kulit putih keturunan eropa,
walaupun pada etnis asia dan afrika juga dapat ditemukan. Etiologi rosasea belum
diketahui. Ketidakstabilan vasomotor dapat diinduksi oleh paparan sinar matahari,
konsumsi teh, kopi, minuman dan makanan yang pedas, alkohol, kelainan
endokrin, menopause dan kecemasan. Suatu studi menunjukkan bahwa pada
peradangan konjungtiva menunjukkan reaksi hipersensitif tipe IV. Konsentrasi
interleukin-1α dan β dan aktivitas dari gelatinase B (metalloproteinase-9) dan
14
kolagenase-2 (MMP-8) meningkat dalam lapisan air mata pasien dengan okular
rosacea.14
Pemaran dengan UVB menginduksi terjadinya angiogenesis dan dapat
meningkatkan sekresi faktor angiogenik seperti faktor pertumbuhan endotel
vascular (VEGF) dari keratinosit. Paparan radiasi UV menyebabkan produksi
oksigen reaktif yang kemudian menginduksi peningkatan regulasi matriks
metaloproteinase, menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan matriks dermal.
Pemeriksaan histopatolgi dari rosasea papulopustular menunjukkan perubahan
inflamasi yang paling menonjol di folikel pilosebasea. Perubahan ini mungkin
terjadi akibat disfungsi respon imun bawaan yang melindungi kulit terhadap
infeksi serta rangsangan lingkungan lainnya seperti radiasi UV dan trauma kimia.
Sistem kekebalan tubuh bawaan melepaskan sitokin dan molekul antimikroba
seperti cathelicidin peptida. Pada rosasea, terdapat peningkatan regulasi
cathelicidin dan yang protease serin, menunjukkan disfungsi sistem kekebalan
tubuh bawaan. Hal ini diasosiasikan dengan papulopustular rosasea. Eritema
sentrofasial menetap, flushing, dan telangiektasis adalah karakteristik umum dari
rosasea. Peningkatan aliran darah kulit ditemukan pada kulit dengan rosasea
papulopustular. Adanya peningkatan ekspresi VEGF dan marker endotel pada lesi
kulit menunjukkan stimulasi pada pembuluh darah dan sel-sel limfatik.
Mekanisme termal kulit yang menyimpang juga dicurigai sebagai penyebab
vasodilatasi.inflamasi neurogenik (respon inflamasi yang disebabkan oleh saraf
sensorik yang melepaskan neuromediators di lokasi inflamasi) dapat
mengakibatkan vasodilatasi, ekstravasasi protein plasma dan perekrutan sel
inflamasi. Namun hal ini belum jelas relevansinya.14
Lesi di wajah ditandai dengan eritema, papula, pustula, dan telangiektasis.
Rosasea kronis ditandai dengan terdapatnya rhinophyma, terutama pada laki-laki.
Rhinophyma menunjukkan suatu proses terjadinya hipertrofi dan hiperemia pada
bagian distal hidung. Tanda awal dari rhinophyma adalah tampak pori-pori
melebar pada bagian distal hidung, seperti daging, dengan nodular yang
membesar. Perjalanan penyakit pada awalnya tidak kentara dan umumnya
15
menjadi lebih parah seiring berjalannya waktu. Aktivitas penyakit dapat
melambat, dan remisi spontan jarang terjadi.11,14
Rosacea sering diabaikan sebagai penyebab penting penyakit mata. Manifestasi
okular terjadi pada sekitar 50% pasien. Pengaruh rosasea okular dapat terjadi pada
wanita ataupun pria. Gejala klinis pada mata diantaranya rasa panas seperti
terbakar, fotofobia, dan sensasi benda asing. Gejala okular rosasea termasuk
berair, kemerahan, sensasi benda asing, rasa terbakar, gatal, fotofobia, dan
penglihatan kabur. Berbagai jenis penurunan ketajaman penglihatan dapat terjadi
bila kornea terlibat. Manifestasi okular bersifat bilateral dan tidak spesifik.14
Kelopak mata, konjungtiva, kornea dan episklera dapat terlibat. Blefaritis dan
disfungsi kelenjar meibom sering ditemukan. Margin kelopak mata menunjukkan
telangiektasis, penebalan dan pelebaran kelenjar meibom. Sekresi sebum yang
berlebihan, dan collaretes di sekitar bulu mata. Hordeolum dan chalazion yang
terjadi dapat berulang. Serta dapat menyebabkan insufuensi lapisan air mata yang
disebabkan akibat disfungsi kelenjar meibom. Pengujian schimer yang abnormal
pada 56% pasien rosasea dan TBUT berkurang juga telah dilaporkan di sebagian
pasien dengan okular rosasea.10,14
Edema periorbital juga dapat terjadi. Hiperemia kronis pada konjungtiva
bulbar interpalpebra dan reaksi papiler dapat terlihat di konjungtiva. Peningkatan
hiperemia pada ruang interpalpebral adalah karakteristik dari konjungtivitis
rosasea. Macdonald menggambarkan barisan gambar pembuluh darah melebar di
pleksus limbal superficial, lebih sering di kuadran inferior, yang tidak meluas ke
kornea. Pingekuela dan fibrosis konjungtiva dapat ditemukan pada sampai dengan
20% dari pasien dengan rosacea okular. Konjungtivitis sicatrical palpebra inferior
dideskripsikan sebagai salah satu temuan mata yang paling umum pada rossea.
Gejala pada kornea sekitar 5-30% pasien dengan rosasea kutaneus. Pada kornea
dapat terlihat adanya keratitis pungtata superficial di sepertiga inferior kornea.
Neovaskularisasi perifer muncul dengan infiltrat subepithelial marginal triangular
yang berbentuk seperti sekop sepanjang perbatasan vascular. Progresifitas pada
kelainan ini tampak perluasan infiltrat ke sentral kornea. Menyebabkan ulserasi
stroma dan bahkan dapt menyebabkan perforasi. Erosi epitel berulang pada kornea
16
juga dilaporkan pada pasien dega rosasea okular. Temuan pada kornea yang
jarang terjadi termasuk diantaranya keratitis yang disebabkan infeksi sekunder,
ulkus pseudodendritik, dan pseudokeratokonus.14
Mucous membran pemphigoid (MMP) merupakan penyakit autoimun, yang
melibatkan membran mukosa dan kulit. Pada kulit ditandai dengan gejala
terbentuknya bula subepitel yang mudah ruptur dan menimbulkan sikatrik. Pada
okular ditemukan inflamasi kronik konjungtiva yang progresif sampai
ditemukannnya pembentukan sikatrik. Insidensi MMP ini bervariasi 1/20.000-
1/46.000 dan ditemukan 1 dalam 15.000 pasien okular.15,16
Penyebab MMP belum diketahui. Patogenesis kelainan ini didasari dengan
respon hipersensitif tipe II dengan deposit imunoglobulin A (IgA), IgG, IgM dan
atau komplemen (C3) pada membran basal epitel konjungtiva. Autoantigen juga
ditemukan yaitu BP180, BP230, α6β4 integrin (berkaitan erat dengan MMP),
laminin 5 dan kolagen tipe VII. Penelitian terbaru mengatakan ditemukannya
peningkatan serum yang abnormal dari IL-4, IL-5, IL-6, TNF-α, dan TGF-β saat
fase aktif, menyebabkan regulasi sistem imun yang abnormal. Pada histopatologi
ditemukan infiltrasi makrofag, neutrofil, sel T, sel mast dan eosinofil pada
konjungtiva. Dengan ditemukannya sel-sel ini menyebaban terjadinya respon
inflamasi yang menyebabkan terbentuknya bula, yang mudah ruptur hingga
terbentuknya sikatrik.15,16
Psoriasis merupakan salah satu kelainan kulit yang terjadi secara kronik,
terdapatnya rekurensi, ditandai dengan lesi berbatas tegas, plak eritematosa yang
di atasnya terdapat sisik yang kering, berwarna putih. Onset awal terjadinya
psoriasis mulai dari bayi sampai remaja dengan umur rata-rata 27 tahun. Kelainan
histopatologi ditandai dengan hiperplasia epidermis disertai dengan atrofi pada
papila dermis, parakeratosis, dan infitrasi sel inflamasi. Psoriasis terjadi pada 2%
populasi dunia. Pada satu penelitian dari 1728 pasien psoriasis, 79,2% terjadi
perubahan pada kuku dan yang mengalami psoriasis arthtritis 5-30%.17
Lesi tipikal psoriasis terdapat pada kulit kepala, kuku, lutut, siku, gluteal cleft
dan bersifat simetris. Kelainan ini berfluktuasi dengan kecendrungan berulang dan
menetap. Pengangkatan squama yang berwarna putih akan memperlihatkan bintik-
17
bintik merah ( Auspitz sign ). Lesi dapat juga terjadi pada trauma mekanik (
koebner phenomenon). Remisi spontan dapat terjadi. Penyakit ini bervariasi
keparahannya dari ringan sampai berat. Keadaan yang menginduksi terjadinya
penyakit ini diantaranya Stress, infeksi streptococcus , obat-obatan, infeksi HIV.17
Tanda okular terdapat lebih dari 10% pada pasien psoriasis. Psoriasis okular
dapat menyebabkan terjadinya blefaritis, dry eye, konjungtivitis, keratitis,
xerophthalmia, abses kornea, katarak, orbital myositis, symblepharon,
choriorethinopathy, uveitis dan ectropion dengan trichiasis, madarosis sebagai
reaksi sekunder setelah terjadinya kelainan pada palpebra. Psoriasis terdapat
pada HLA haplotypes, terutama –Cw6, -B57, -DR7, dan –Cw2.17
Gambar 4.7 lesi pada psoriasis Dikutip dari William D, James D, Timothy G, Berger MD11
Psoriasis awalnya dideskripsikan sebagai Th1 disease, dimana ditemukan IL1,
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α ¿, dan interferon-γ. Penelitian terbaru
menyebutkan psoriasis merupakan populasi T-cell yang disebut sebagai Th17.
Proses ini terjadi dengan adanya interaksi Th 17 sebagai promotor sitokin dengan
interferon alpha sebagai proinflamasi sitokin akan menstimulasi sel dendrit
myeloid menghasilkan IL-12 dan IL-23. Th-17 memproduksi IL-17, TNF dan IL-
22 yang meningkatkan terjadinya psoriasis. Th1 dan Th17 keduanya berperan
dalam patogenesis psoriasis. Reaksi antara Th1 dan Th17 akan menghasilkan
TNF-α . TNF-α ditemukan tinggi pada lesi kulit dan pada cairan sendi pasien
psoriasis arthtritis. TNF-α berperan dalam aktivasi siklus lainnya seperti nuclear
factor-kappa B (NF-кB), suatu gen faktor transkripsi inflamasi. Atau mitogen-
18
activated protein kinase (MAPK) yang mengaktifkan aktivitas sel inflamasi.
Interleukin 1 mengaktivasi mastocytes; granulomacrofage colony stimulating
factor (GM-CSF) untuk mengaktivasi neutrofil.17
Blepharitis ditandai dengan scaling, edema, eritema, trichiasis, dan atau
terdapatnya madarosis. Ectropion, cicatricial juga dapat terjadi. Conjungtivitis
yang terjadi akibat dari palpebra yang bersisik atau gejala primer pada
konjungitva dengan lesi whitish-yellow plaque. Kelainan pada kornea jarang
terjadi dengan tanda klinis berupa infiltrat perifer dan vascularisasi, keratopati
epitel pungtata, erosi, kekeruhan superficial atau lebih dalam, dapat terjadi ulkus
kronis dan terjadinya melting.17
Penanganan lesi pada kulit dengan regimen topikal dan sistemik. Terapi topical
dengan hidrasi kulit, glucocorticoids, preparat tar, anthralin, tazarotene, dan
pemaparan dengan radiasi ultraviolet. Terapi sistemik denganretinoids oral,
methotrexate, ciclosporin atau bioimmunomodulator.17
Terapi kular secara langsung ada bagiannya yaitu dengan artifial tears,
lubricating oionment pada keratitis sicca, higiene pada bleparitis, kortokosteroid
eye drop untuk konjungtivitis, terapi surgical pada ektropion.17
V. Simpulan
Manifestasi klinis kelainan okular ekterna seperti blefaritis, konjungtivitis,
keratitis, yang mengiringi kelainan kulit non infeksi seperti psoriasis, rosasea,
dermatitis, sikatrical pemfigoid, steven johnson syndrome, Toxic epidermal
Necrolysis berhubungan karena okular ekterna dan epidermis kulit memiliki
kesamaan asal saat embriologi, yang berasal dari surface ectoderm.