bab i pendahuluan a. latar belakang...

44
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah J. N. D. Anderson mengungkapkan bahwa hukum publik, termasuk hukum pidana, merupakan aspek hukum yang kurang mendapat perhatian di kalangan dunia Islam. Selama abad XIX sampai awal abad XX hukum publik pada praktiknya di dunia Islam telah digantikan dengan hukum publik sekuler dan diterapkan dalam sistem peradilan yang sebagian besar berasal dari asing, khususnya sistem hukum Eropa. 1 Terjadinya penggantian hukum Islam dengan hukum Eropa melalui paradigma 5 (lima) lingkaran konsentris. Dengan menggunakan paradigma tersebut dapat dilihat bahwa hukum dagang merupakan aspek hukum Islam yang paling awal dan total digantikan oleh hukum Eropa. Setelah itu diikuti oleh aspek hukum pidana, pertanahan, dan kontrak. Sementara hukum keluarga dan kewarisan merupakan hukum yang paling sedikit dipengaruhi oleh hukum Eropa. Kedua hukum terakhir yang disebut masih tampak diterapkan oleh kebanyakan negara Islam atau Muslim. 2 Sementara hukum pidana Islam, baik hukum meterial maupun hukum formal sudah tidak diterapkan oleh kebanyakan negara Islam. Kajian bidang hukum pidana dapat dilakukan pada aspek substansi atau materi hukum, struktur hukum, dan budaya atau kultur hukum. Dua aspek terakhir 1 J. N. D. Anderson, Law Reform in The Muslim World, (London: University of London, 1976), h. 1-2 dan 33. 2 Abdullah Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Ar-Rany, Cet. IV, (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 10-11.

Upload: danghuong

Post on 06-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

J. N. D. Anderson mengungkapkan bahwa hukum publik, termasuk hukum

pidana, merupakan aspek hukum yang kurang mendapat perhatian di kalangan

dunia Islam. Selama abad XIX sampai awal abad XX hukum publik pada

praktiknya di dunia Islam telah digantikan dengan hukum publik sekuler dan

diterapkan dalam sistem peradilan yang sebagian besar berasal dari asing,

khususnya sistem hukum Eropa.1

Terjadinya penggantian hukum Islam dengan hukum Eropa melalui

paradigma 5 (lima) lingkaran konsentris. Dengan menggunakan paradigma

tersebut dapat dilihat bahwa hukum dagang merupakan aspek hukum Islam yang

paling awal dan total digantikan oleh hukum Eropa. Setelah itu diikuti oleh aspek

hukum pidana, pertanahan, dan kontrak. Sementara hukum keluarga dan

kewarisan merupakan hukum yang paling sedikit dipengaruhi oleh hukum Eropa.

Kedua hukum terakhir yang disebut masih tampak diterapkan oleh kebanyakan

negara Islam atau Muslim.2 Sementara hukum pidana Islam, baik hukum meterial

maupun hukum formal sudah tidak diterapkan oleh kebanyakan negara Islam.

Kajian bidang hukum pidana dapat dilakukan pada aspek substansi atau

materi hukum, struktur hukum, dan budaya atau kultur hukum. Dua aspek terakhir

1J. N. D. Anderson, Law Reform in The Muslim World, (London: University of London,

1976), h. 1-2 dan 33. 2Abdullah Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human

Right, and International Law, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Ar-Rany, Cet. IV, (Yogyakarta:

LKiS, 2004), h. 10-11.

2

sudah banyak dilakukan oleh para ahli, tetapi kajian pada aspek substansi atau

materi hukum masih langka dilakukan. Padahal aspek materi hukum merupakan

aspek penting dan utama sebelum ditransformasikan ke dalam struktur hukum dan

diterapkan oleh para penegak hukum. Di antara aspek penting dari materi hukum

pidana pada umumnya dan hukum pidana Islam khususnya adalah tentang asas

keberlakuan hukum pidana dan konsep pemidanaan.

Penerapan hukum pada suatu negara yang memiliki kewenangan dan

kekuasaan menjatuhkan pidana kepada setiap pelaku delik dengan tujuan untuk

mempertahankan ketertiban dan keamanan warga negara. Penjatuhan pidana

tersebut mempengaruhi kehidupan, kebebasan, dan martabat manusia.3

Konsekuensi-konsekuensi semacam ini dapat dibenarkan untuk terlaksananya

fungsi perlindungan umum dan kepemilikan pribadi yang bersifat vital atau dalam

bahasa hukumnya untuk mewujudkan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial

(social engineering) dan alat kontrol sosial (social control). Namun, perlu

dicermati secara kritis bahwa pemberian pidana kepada setiap pelaku delik juga

memiliki risiko terhadap penyalahgunaan dan manipulasi kekuasaan yang sangat

serius, bahkan dapat mengancam Hak Asasi Manusia (HAM).

Kajian tentang asas keberlakuan hukum pidana sangat penting dilakukan

karena hal tersebut berkaitan dengan kepada siapa dan di mana suatu hukum

diberlakukan, apalagi jika hukum tersebut didasarkan pada ajaran agama tertentu

dalam hal ini Islam. Selain itu, kajian hukum pidana tentang konsep pemidanaan

juga perlu dilakukan mengingat konsekuensi dari setiap tindak pidana atau delik

3Ibid.

3

ditujukan kepada pelaku dan korban, dimana pada era modern sekarang tidak ada

satu negarapun yang memiliki masyarakat dengan populasi homogen baik dari

segi etnis, bahasa, maupun agama. Adalah ironis dan merugikan jika delik yang

diterapkan menyebabkan kerugian atau derita bagi pihak tertentu. Penimpaan

sanksi kepada setiap pelaku harusnya bertujuan agar pelaku tidak mengulangi

kembali perbuatannya, di pihak lain bagi korban tidak berkehendak membalas

dendam kepada pelaku, atau bagi orang lain akan urung melakukan tindak

kejahatan (delik) yang dilarang oleh undang-undang. Pada prinsipnya,

pemidanaan juga bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Selama ini kontribusi

dan perhatian umat Islam terutama kaum ilmuwannya termasuk di negara-negara

Islam atau mayoritas Muslim tentang asas keberlakuan hukum pidana dan konsep

pemidanaan sangat minim, baik pada dataran teoretis-konsepsional maupun

praktis-operasional. Padahal setiap elemen masyarakat dan negara termasuk

akademisi atau intelektual Muslim memiliki tanggung jawab untuk memberikan

kontribusi dan perhatian serius pada bidang hukum publik, khususnya asas dan

konsep pemidanaan dalam materi hukum pidana.

Pada sisi lain, bentuk pidana penjara yang selama ini diterapkan di

Indonesia ditemukan banyak persoalan, di antaranya adalah masalah over capacity

lembaga pemasyarakatan seluruh Indonesia. Mengapa jumlah penghuni penjara di

Indonesia dari waktu ke waktu justru semakin meningkat bahkan ada orang yang

keluar masuk penjara? Salah satu faktor penyebabnya adalah (1) prosentase input

narapidana baru jauh lebih banyak dibandingkan output narapidana lama yang

belum habis menjalani masa hukuman penjaranya; (2) paradigma dan faktor

4

substansi hukum material itu sendiri yang berorientasi pada pidana institusional

(penjara); dan (3) penerapan pidana penjara itu sendiri yang masih menyisakan

banyak persoalan.4

Prisonisasi (pemenjaraan) merupakan suatu proses adaptasi yang

dilakukan oleh narapidana terhadap kepedihan atau penderitaan tertentu di dalam

penjara. Beberapa bentuk prisonisasi adalah perampasan sesama narapidana,

homoseksual, peloncoan, perkelahian kelompok, bisnis narkotika, perbedaan

perlakuan oleh petugas, kerusuhan, pengelompokan berdasarkan daerah, dan

perilaku menindas atau mengancam narapidana yang masih menunjukkan

loyalitasnya kepada dunia non-kriminal.5

Dalam merespon persoalan di atas, membutuhkan kajian terhadap konsep

pemidanaan yang bersumber kepada hukum yang hidup dan berkembang di dalam

kesadaran kolektif bangsa Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam dengan

segenap ajarannya menjadi salah satu sumber nilai utama dalam memperbarui,

membangun dan mengembangkan hukum nasional. Di antara aspek ajaran Islam

yang dapat berkontribusi bagi pembangunan dan pembaruan hukum nasional,

khususnya bidang pidana adalah hukum pidana Islam.

Uraian di atas menunjukkan bahwa kajian terhadap kontribusi hukum

pidana Islam dalam hal asas keberlakuan hukum pidana dan konsep pemidanaan

menemukan signifikansi dan urgensitas, terutama dalam rangka melakukan

pembaruan terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di tanah air

4Angkasa, “Over Capacity Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, Faktor Penyebab,

Implikasi Negatif, serta Solusi dalam Upaya Optimalisasi Pembinaan Narapidana”, dalam Jurnal

Dinamika Hukum, Vol. 10, No. 3 (2010), h. 214-215. 5Ibid., h. 215.

5

dan merespon Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum

Pidana6 yang telah disusun pada tahun 2013 lalu. Penelitian ini merupakan bagian

penting dari usaha untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan dan

pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia.

Materi hukum pidana yang menjadi obyek penelitian ini adalah Qanun

Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Qanun Jinayat (QAHJ) dan Kitab Undang-

undang Hukum Pidana Republik Islam Iran (KUHP RII).7 Pemilihan QAHJ dan

KUHP RII sebagai objek penelitian didasarkan pada beberapa alasan yang akan

dikemukakan lebih lanjut di bawah ini.

Dalam konteks Indonesia, Aceh adalah satu-satunya provinsi atau daerah

yang memiliki hukum tertulis berupa QAHJ yang berlaku sejak tahun 2003.

Qanun dimaksud adalah Qanun Nomor 12/2003 tentang Khamar, Qanun Nomor

13/2003 tentang Maisir, dan Qanun Nomor 14/2003 tentang Khalwat. Posisi

ketiga qanun tersebut secara yuridis semakin kokoh setelah diundangkannya

Undang-undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Di antara

kewenangan yang diberikan kepada Aceh oleh undang-undang tersebut dalam

bidang hukum pidana adalah kewenangan untuk memuat asas, bentuk, kadar,

batas, sifat, dan kesetaraan antarpidana yang berbeda dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.8

6Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Kitab Undang-undang Hukum

Pidana, 2013. 7Selanjutnya disebut QAHJ dan KUHP RII. 8Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

Aceh, khususnya Bab XXXV Pasal 241 dan Pasal 243, h. 130.

6

Setelah ketiga qanun tersebut diterapkan di Aceh ditemukan beberapa

permasalahan, yang di antaranya adalah materi QAHJ.9 Berkaitan dengan materi

qanun tersebut terdapat 2 (dua) persoalan yang muncul kepermukaan. Pertama,

asas keberlakuan yang dianut qanun dalam hubungannya dengan non-Muslim dan

Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, konsep pemidanaan yang meliputi bentuk,

kadar, batas, sifat, dan rasio kesetaraan antara bentuk pidana cambuk, denda, dan

penjara, yang oleh sebagian pihak dipandang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain itu, konsep pemidanaan

yang berlaku sekarang belum mampu mewujudkan tujuan pemidanaan

sebagaimana diinginkan Islam. Masalah lainnya adalah menyangkut penahanan,

kejelasan kewenangan antara polisi, kejaksaan, hakim, serta belum adanya hukum

acara pidana Islam.10

Untuk mengatasi berbagai kekurangan ketiga qanun di atas, kemudian

dilakukanlah revisi terhadap ketiga qanun tersebut dan telah disahkan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tanggal 14 September 2009, menjadi

QAHJ.11 Pengesahan qanun tersebut telah melahirkan kritik dari berbagai pihak,

baik akademisi, masyarakat, dunia internasional maupun pemerintah daerah

(eksekutif) dan pemerintah pusat. Pokok persoalan perdebatan sama seperti 3

(tiga) qanun sebelumnya, ditambah dengan pencantuman bentuk pidana baru,

9Danial, “Efektifitas ‘Uqūbat dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 dan DQHR tentang

Khalwat dan Ikhtilath”, Jurnal Asy-Syir’ah, Vol. 45, 2011, h. 980-981. 10Al Yasa’ Abubakar, “Beberapa Catatan Akademis atas Perubahan Qanun Propinsi

Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003 dan Penggabungannya Menjadi Satu Qanun”, Banda Aceh:

Dinas Syari’at Islam, 2007, h. 1-2. 11Qanun ini meskipun sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA),

tetapi karena desakan berbagai pihak tidak ditandatangani Gubernur Aceh sampai pada 15

September 2014.

7

yaitu rajam. Setelah dilakukan kajian ulang, maka qanun tersebut direvisi dan

disahkan oleh DPRA dan ditanda tangani Gubernur Aceh pada tanggal 16

September 2014 menjadi Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum

Jinayat, yang kemudian pada tanggal 23 Oktober 2014 diumumkan dalam

Lembaran Aceh Nomor 7 Tahun 2014.

Di samping itu, pelaksanaan syari`at Islam di Aceh dalam kerangka

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah “terobosan” yang

diberikan oleh negara modern untuk mencari dan merumuskan sebuah “model”

penerapan hukum berdasarkan syari`at Islam dalam masyarakat dan negara

modern. Dikatakan sebuah terobosan, karena dalam sejarah panjang perjalanan

umat Islam baik di nusantara ataupun di berbagai belahan dunia lainnya,

pelaksanaan syari`at (fikih) Islam dari segi ketatanegaraan selalu dalam bingkai

negara “khalifah”; sedangkan dari segi yang lain belum terpengaruh oleh budaya

Barat secara signifikan. Oleh karena itu, upaya menjadikan syar`iat Islam sebagai

sumber hukum positif sekarang ini relatif berbeda dengan masa sebelumnya

karena dilakukan dalam kerangka negara-bangsa. Fenomena ini baru muncul di

dunia Islam setelah perang dunia ke-II dan setelah bersentuhan atau dipengaruhi

oleh budaya dan penjajahan Barat.12 Maka dari itu, upaya yang diterapkan di Aceh

sekarang dari segi landasan epistemologi dan tata hukum, serta sistematikanya

merupakan hal baru yang belum mempunyai model atau preseden, baik di dalam

sejarah panjang umat Islam ataupun realitas kehidupan masyarakat (negara)

muslim internasional sekarang ini, terutama upaya positivisasi fikih jinayat Islam

12al-Yasa’, “Beberapa Catatan Akademis…”, h. 6.

8

menjadi hukum dalam konteks negara modern. Dengan demikian, upaya

pelaksanaannya memerlukan kajian mendalam terhadap pengalaman negara lain,

di samping perlu adanya evaluasi terus-menerus atas setiap langkah yang sudah

dan yang akan diambil, sehingga pelaksanaannya akan betul-betul sebagai

raḥmatan li al-`ālamīn.

Apabila berbagai persoalan di atas tidak dapat dipecahkan, maka

penerapan qanun jinayat di Aceh akan melahirkan berbagai masalah krusial, baik

yuridis (timbulnya kekacauan hukum, pelanggaran HAM, dan ketidakadilan

dalam penerapannya), sosiologis (lahirnya disharmoni sosial), maupun politis

(dapat memicu lahirnya disintegrasi bangsa). Oleh karena itu, dibutuhkan

langkah-langkah strategis, yuridis, dan akademis dalam melaksanakan hukum

pidana Islam di negara yang berbentuk republik seperti Indonesia.

Salah satu langkah penting adalah melakukan proses pengkajian

mendalam dan komprehensif terhadap berbagai qanun dan peraturan perundang-

undangan pidana Islam yang sudah berlaku, serta pengalaman negara lain dalam

perumusan dan pelaksanaan hukum pidana Islam khususnya tentang asas

keberlakuan hukum pidana dan konsep pemidanaan (‘uqūbah). Kajian tentang

asas keberlakuan hukum pidana berkaitan dengan kepada siapa dan di mana

hukum tersebut diberlakukan. Sedangkan kajian tentang konsep pemidanaan

berkaitan langsung dengan tujuan, bentuk, kadar, batas, sifat, kesetaraan

antarpidana, dan implikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu negara yang dapat dijadikan sasaran penelitian tentang asas

keberlakuan hukum pidana dan konsep pemidanaan adalah Iran. Pilihan terhadap

9

Iran didasarkan kepada beberapa argumentasi atau pertimbangan. Pertama, negara

Republik Islam Iran selama ini berhasil mendapat sorotan dan menarik perhatian

banyak pihak termasuk kalangan peneliti dan ilmuwan dunia. Akan tetapi,

perhatian para peneliti lebih terfokus pada isu politik dan demokrasi, Hak Asasi

Manusia (HAM), teknologi militer, terorisme, budaya, ekonomi, dan gender.

Sedangkan tentang isu hukum, khususnya materi hukum pidana Islam, masih

kurang mendapat sorotan dan perhatian dari para peneliti.

Kedua, karena sepanjang penelusuran penulis, hanya sedikit negara di

dunia Islam, terutama di kawasan Timur Tengah, yang menerapkan hukum pidana

Islam. Di antara yang sedikit itu, Iran merupakan salah satu negara yang memiliki

dan menerapkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Islam (Kodifikasi Hukum

Pidana Islam) yang relatif lengkap.13 Sementara negara Muslim lain yang berada

di kawasan Timur Tengah umumnya mempositifkan hukum Islam dalam bidang

perdata atau hukum keluarga. Di antara negara dimaksud adalah Maroko, Sudan,

Yordania, Aljazair, dan Tunisia.

Iran sudah memiliki KUHP RII sejak tahun 1991, yakni saat parlemen Iran

mengesahkan pada 30 Juli 1991 yang kemudian diratifikasi oleh Dewan

Kebijaksanaan Tinggi pada 28 November 1991. Hanya saja Buku V dari Kitab

Undang-undang tersebut yang materi hukumnya mengatur tentang ta’zīr baru

disahkan dan disetujui pada 26 Mei 1996. KUHP RII terdiri dari 5 (lima) buku, 27

(dua puluh tujuh) bagian, 56 (lima puluh enam) bab, dan 728 (tujuh ratus dua

13Selain Republik Islam Iran, Arab Saudi termasuk salah satu dari sedikit negara Islam

yang menerapkan hukum pidana Islam. Tetapi, negara ini tidak memiliki Kitab Undang-undang

tertulis tentang Pidana Islam, melainkan merujuk kepada keputusan hakim. Hakimlah yang

menjadi pemberi putusan hukum terhadap berbagai kasus yang diajukan kepadanya.

10

puluh delapan) pasal.14 Isi Buku I-V KUHP RII secara berurutan mengatur

tentang Ketentuan Umum, Delik H{udu>d, Qis}a>s}, Diyat, dan Ta’zi>r.

Ketiga, baik KUHP RII maupun QAHJ merupakan hukum publik yang

tetap menggunakan istilah-istilah atau simbol-simbol Islam. Meskipun KUHP RII

dan QAHJ disusun berdasarkan sumber hukum Islam (al-Qur’an dan Hadis),

tetapi penafsirannya disesuaikan dengan masalah dan kebutuhan masyarakat di

negara atau wilayah masing-masing yang tentu saja berbeda satu sama lain. Oleh

karena itu, perlu dilakukan penelitian mendalam untuk dapat menemukan common

core (inti yang sama). Penelitian common core akan memberikan kontribusi

penting bagi upaya pembaruan terhadap hukum pidana di tanah air, khususnya

QAHJ dan KUHP nasional, karena salah satu tujuan penelitian hukum komparatif

adalah untuk memperbaiki hukum nasional sebuah bangsa, selain untuk

meningkatkan pemahaman terhadap hukum negara lain, sehingga dapat

memberikan kontribusi bagi perbaikan hubungan internasional.15

Sampai saat ini Indonesia baru memiliki Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), tetapi belum memiliki KUHP yang digali dari nilai-nilai

dan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang agamis dan religius.

Padahal produk hukum suatu masyarakat atau bangsa harus mencerminkan

norma-norma sosial dan nilai-nilai yang hidup dan ada di dalam masyarakat dan

bangsa.16 Di antara nilai-nilai dimaksud yang menjadi salah satu sumber penting

pembangunan hukum adalah nilai-nilai Islam.

14Islamic Penal Code of Iran, 1996, h. 1-54. 15Werner Menski, Comparative Law in Global Context, (United Kingdom: Cambridge

University Press, 2008), h. 47. 16Ibid., h. 52.

11

Dari penjelasan di atas, melahirkan beberapa pertanyaan berikut: pertama,

apa dan bagaimana asas keberlakuan hukum pidana yang dianut KUHP RII bila

dikaitkan dengan isu kebebasan bagi setiap orang untuk beragama dan

menjalankan ajaran agamanya? Lalu, bagaimana pula dengan asas keberlakuan

hukum pidana yang dianut QAHJ, bila dikaitkan dengan ketertiban umum dan

keadilan di mana sebagian (Muslim) dihukum karena melakukan tindak pidana

yang diatur dalam qanun, sementara warga Aceh non-Muslim tidak mendapatkan

hukuman serupa? Kedua, bagaimana formulasi delik dan konsep pemidanaan

yang terkandung dalam hukum kedua negara yang khas Islam dan apakah jika

kedua peraturan perundang-undangan pidana diberlakukan juga bagi non-Muslim

tidak melanggar Hak Asasi manusia (HAM) atau kebebasan setiap orang untuk

menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya? Ketiga, apakah jenis,

kadar, batas, dan sifat pemidanaan yang terkandung dalam kedua peraturan pidana

di atas mampu dan efektif dalam mewujudkan tujuan hukuman dalam pidana

Islam? Keempat, apakah kajian ini kontribusi terhadap upaya pembaruan hukum

pidana nasional dan QAHJ, terutama berkaitan dengan asas keberlakuan dan

konsep pemidanaan?

Penelitian ini dilakukan dalam rangka memecahkan problematika di atas

kaitannya dengan fokus urgensitas dan signifikansi penelitian mengingat negara

Indonesia belum memiliki KUHP yang digali dari kultur dan khasanah bangsa

Indonesia sendiri, meskipun pada tahun 2013 lalu untuk kesekian kalinya

Indonesia telah berhasil menyusun Rancangan Undang-undang Republik

12

Indonesia tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana,17 tetapi RUU-KUHP

tersebut sampai hari ini belum disahkan menjadi Undang-undang. Pada sisi lain,

khususnya di Indonesia sistem penghukuman yang berlaku selama ini justru

melahirkan berbagai persoalan.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka pertanyaan

pokok yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana asas keberlakuan

hukum pidana, formulasi delik dan konsep pemidanaan yang dianut KUHP RII

dan QAHJ serta konstribusinya bagi upaya pembaruan hukum pidana di

Indonesia? Pertanyaan pokok ini dapat dirincikan dalam beberapa pertanyaan

berikut:

1. Apa dan bagaimana asas keberlakuan hukum pidana Islam, formulasi

delik, dan konsep pemidanaan yang dianut dalam KUHP RII dan QAHJ?

2. Apa dan bagaimana persamaan dan perbedaan asas keberlakuan hukum

hukum pidana, formulasi delik, dan konsep pemidanaan yang termaktub

dalam KUHP RII dan QAHJ kaitannya dengan tujuan hukuman dalam

hukum pidana Islam?

3. Apa kontribusi yang diberikan oleh konsep pemidanaan dalam KUHP RII

dan QAHJ bagi upaya pembaruan Hukum Pidana Indonesia, terutama

kaitannya dengan RUU KUHP?

17Selanjutnya disebut RUU-KUHP.

13

C. Keaslian Penelitian

Sepanjang penelusuran penulis, ada banyak penelitian yang sudah

dilakukan tentang Iran dan Aceh. Adapun hasil penelitian yang pernah dilakukan

tentang Aceh dapat dikelompokkan kepada 2 (dua), yaitu (1) studi hukum Islam

normatif dengan fokus pada formalisasi syari’at Islam dalam tata hukum

Indonesia, penghukuman dan perlindungan HAM dalam hukum pidana Islam, dan

(2) studi hukum empiris dengan fokus kajian pada isu penerapan dan formalisasi

syari’at Islam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), sistem hukum

Indonesia, politik hukum, penanggulangan kejahatan melalui hukuman badan,

serta syari’at Islam sebagai gerakan sosial.

Sedangkan penelitian tentang Iran dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)

tema, yaitu politik, Islam dan demokrasi, serta sistem hukum Islam. Tema terakhir

dapat diderivasi menjadi posisi wilāyat al-faqīh, hukum pers, sistem hukum dan

praktik kedokteran, hubungan antara penerapan hukum pidana Islam dengan

keadilan, demokrasi, dan non-Muslim. Hasil penelitian tentang hukum pidana

Islam di Iran lebih memfokuskan diri pada keterkaitan penerapan hukum pidana

Islam dengan isu-isu kontemporer seperti demokrasi, hak minoritas non-Muslim,

Hak Asasi Manusia (HAM), dan keadilan. Secara lebih detail dapat dilihat dalam

tabel 1.1 berikut ini:

14

15

16

Berbeda dengan beberapa kajian terdahulu, penelitian ini menfokuskan diri

tentang asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, dan konsep pemidanaan.

Secara spesifik konsep pemidanaan yang menjadi fokus kajian ini meliputi

bentuk, kadar, batas, dan sifat pidana yang terdapat dalam KUHP RII dan QAHJ.

Selain itu, penelitian ini juga membahas dan menemukan kontribusi apa terhadap

perbaikan QAHJ khususnya dan pembaruan hukum pidana Indonesia pada

umumnya, terutama kontribusi bagi perbaikan dan pengembangan RUU-KUHP

yang sudah dirumuskan, tetapi belum dibahas dan disahkan menjadi Kitab

undang-undang Pidana Indonesia yang baru.

D. Tujuan Penelitian

1. Menemukan dan menjelaskan asas keberlakuan hukum pidana, formulasi

delik dan konsep pemidanaan yang dianut oleh KUHP RII dan QAHJ.

2. Menemukan dan menjelaskan bagaimana persamaan dan perbedaan

KUHP RII dan QAHJ tentang asas keberlakuan hukum pidana, formulasi

delik, dan konsep pemidanaan, serta menemukan konsep baru tentang

konsep pemidanaan yang mampu mewujudkan tujuan pidana (maqāṣid

al-‘uqūbah) dalam hukum pidana Islam.

3. Menemukan dan menjelaskan common core dan kontribusi apa yang

dapat diberikan kedua peraturan pidana di atas dalam upaya pembaruan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya tentang asas

keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, dan konsep pemidanaan.

17

E. Manfaat Penelitian

Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk 2 (dua) hal; pertama,

merumuskan sebuah rumusan fikih baru yang belum mempunyai model atau

preseden, baik dalam sejarah panjang umat Islam ataupun dalam realitas

kehidupan masyarakat (negara) Muslim internasional sekarang ini. Kedua,

menemukan asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, dan konsep

pemidanaan baru yang lebih mampu mewujudkan tujuan pemidanaan dalam

hukum pidana, baik tujuan retributif, preventif, edukatif, maupun reformatif-

restoratif, sehingga efektif tidak hanya dalam mencegah terjadinya tindak pidana

dan penyadaran narapidana, melainkan juga untuk menciptakan hormonisasi

sosial dan ketentraman umum, serta pembangunan nasional.

Sementara secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi upaya pembaruan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia pada umumnya, terutama tentang

asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, dan konsep pemidanaan. Hal ini

diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi berbagai persoalan yang muncul di

Indonesia berkaitan dengan asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, dan

konsep pemidanaan yang selama ini berlaku di Indonesia dengan segenap

problematikanya.

F. Tinjauan Pustaka

Dalam rangka melihat dinamika, kecenderungan, bidang, dan model kajian

hukum Islam yang sudah pernah dilakukan peneliti terdahulu, serta menempatkan

18

di mana posisi penelitian yang akan dilakukan, maka di bawah ini akan

dikemukakan beberapa hasil penelitian yang relevan tentang Aceh dan Iran.

Menurut Syamsul Anwar, penelitian hukum Islam secara keseluruhan

dapat dibedakan menjadi 2 (dua) model, yaitu penelitian hukum Islam deskriptif

dan penelitian hukum Islam preskriptif. Model pertama mengkaji hukum Islam

sebagai sebuah fenomena sosial yang berinteraksi dengan fenomena sosial

lainnya. Dalam penelitian model ini hukum Islam dikaji dengan menggunakan

pendekatan ilmu sosial dan humaniora, seperti sejarah, sosiologi, politik,

antropologi, dan seterusnya. Penelitian model ini mencoba melihat hukum Islam

pada dataran praktis.18 Dengan demikian, penelitian model ini menjadikan hukum

Islam menjadi obyek kajian, sementara ilmu lainnya menjadi kacamata untuk

melihat. Sedangkan model kedua bertujuan menggali norma-norma hukum Islam

pada dataran ideal untuk dapat mengatur tingkah laku manusia dan menata

kehidupan masyarakat yang baik. Dengan kata lain, model ini meneliti bagaimana

hukum Islam seharusnya pada dataran normatif.

Berdasarkan klasifikasi model penelitian hukum Islam tersebut penelitian

tentang Aceh dan Iran yang sebelumnya pernah dilakukan dipetakan. Tujuan

klasifikasi tersebut ialah untuk melihat dinamika perkembangan dan

kecenderungan model penelitian yang pernah dilakukan sehingga posisi penelitian

ini dapat ditempatkan. Pertama, akan dijelaskan penelitian yang pernah dilakukan

tentang syari’ah Islam di Aceh pada umumnya dan hukum Islam di Aceh pada

khususnya. Kedua, dilanjutkan dengan pemaparan tentang hukum Islam di Iran.

18Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Cet. I, (Jakarta: RM Books, 2007),

h. 36.

19

Ada beberapa penelitian yang sudah dilakukan oleh para ahli mengenai Aceh dan

Iran, baik model penelitian deskriptif maupun preskriptif.

Model penelitian deskriptif tentang Aceh pernah dilakukan oleh Haedar

Nashir di bawah tajuk Gerakan Islam Syari’at; Reproduksi Salafiyah Ideologis di

Indonesia. Dalam laporan penelitiannya yang diterbitkan menjadi buku setebal

624 halaman menjadikan Aceh sebagai salah satu wilayah yang diteliti, di

samping Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Sementara organisasi massa Islam

yang menjadi sasaran peneitian adalah Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis

Mujahidin Indonesia (MII). Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa: Pertama,

formalisasi syari’at Islam dalam institusi negara hingga ke pembentukan negara

Islam untuk penerapan syari’at bagi kelompok Islam syari’at bukanlah persoalan

pragmatis bagi solusi untuk pemecahan masalah kehidupan, melainkan persoalan

teologis dan ideologis.19 Kedua, dari segi reproduksi gerakan, kelompok Islam

syari’at tampil secara terorganisasi, berbeda dengan gerakan sosial klasik yang

tidak melembaga. Proses dan strategi gerakan Islam syari’at menempuh jalur atas

di ranah nasional dan jalur bawah di tingkat lokal. Manifestasi gerakannya mulai

dari perjuangan menghidupkan kembali piagam Jakarta, legislasi syari’at Islam di

sejumlah daerah, dan gerakan menegakkan kekhalifahan Islam. Para pelaku

gerakannya lahir dari rahim yang memiliki nasab teologis dan ideologis dengan

gerakan Islam modern yang mengalami diskontinuitas karena tampil lebih

formalis dan doktriner. Ketiga, fenomena gerakan Islam syari’at yang bersifat

ideologis ini menampilkan pola islamisasi baru yang lebih skriptual, doktriner,

19 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syari’at; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,

(Jakarta: PSAP, 2007).

20

dan formalistik, sehingga selain menampilkan corak ideologis sekaligus juga

melakukan ideologisasi syari’at dalam struktur negara Indonesia bahkan

syari’atisasi Islam. Mereka berkeyakinan bahwa perjuangan menerapkan syari’at

Islam, selain merupakan keniscayaan politik juga merupakan kewajiban teologis.

Gerakan formalisasi syari’at Islam di daerah dipandang sebagai penerapan syari’at

jalur bawah. Sedangkan yang diperjuangkan HTI dan MII adalah gerakan

penerapan syari’at Islam jalur atas. Penelitian Haedar menjadikan HTI dan MII

sebagai sasaran penelitian, sedangkan Aceh sebagai salah satu wilayah yang

diteliti, isu syari’at Islam sebagai fokus kajian. Perspektif yang digunakan dalam

melihat fenomena gerakan Islam syari’at adalah sosiologi. Penelitian Haidar ini

dapat disebut sebagai model penelitian deskriptif dengan pendekatan sosiologis.

Pendekatan lain terhadap hukum Islam di Aceh adalah sejarah

sebagaimana yang dilakukan Ayang Utriza Nway dalam penelitiannya Hukum

Adat vis a vis Hukum Islam di Aceh: Tinjauan Sejarah Hukum di Kesultanan Aceh

Tahun 1516-1688 M. Ia menjelaskan bagaimana undang-undang pidana dan

penerapannya di era Kesultanan Aceh tahun 1516-1688 M.20 Menurutnya, secara

umum hukum yang dipraktikkan di Aceh adalah hukum adat, termasuk bidang

pidana. Hanya saja, dalam bidang pidana masih ditemukan unsur Islamnya.

Berdasarkan data historis menunjukkan bahwa di antara Sultan Aceh ada yang

menerapkan hukuman bagi pelaku tindak pidana yang sesuai dengan syari’at

Islam, seperti hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi pezina yang

sudah menikah. Akan tetapi, seringkali penerapan kadar hukumannya melebihi

20Ayang Utriza Nway, “Hukum Adat vis a vis Hukum Islam; Tinjauan Sejarah Hukum di

Kesultanan Aceh Tahun 1516-1688 M”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-38, No. 2,

2008.

21

ketentuan syari’at itu sendiri. Hal ini terjadi pada era Alauddin al-Kahhar, al-

Mukammil, Iskandar Muda, Iskandar Tsani, dan tiga ratu setelahnya. Secara

historis, dalam rentang waktu 1566-1688 M penerapan hukum pidana Islam

sangat sedikit. Kebanyakan yang diterapkan adalah hukum adat, bahkan juga

“Hukum Sultan”, tanpa didasarkan pada hukum tertulis yang menjadi dasar atau

patokan. Meski dalam penerapannya diberlakukan kepada siapa saja tanpa

membedakan terhukum berdasarkan status sosial, ekonomi, atau politik.

Dominannya hukum adat dalam bidang hukum pidana terlihat dari undang-undang

yang berlaku di Kesultanan Aceh. Undang-undang dimaksud terdiri dari 105 pasal

yang berisi norma adat (89 pasal atau 83%), hukum Islam (15 pasal atau 16%),

dan campuran keduanya (1 pasal atau 1%). Sepanjang abad XVI-XVII M, tidak

hanya substansi hukum yang didominasi oleh hukum adat atau hukum Sultan,

melainkan penerapan hukum pidanapun didominasi olehnya. Raja adalah hukum

sekaligus penegak hukum yang tidak pernah salah, sehingga undang-undang

pidana yang sudah dibuat dapat diabaikan begitu saja. Para pelaku tindak pidana

dihukum dengan hukuman yang melampaui tidak hanya hukum Islam, tetapi juga

rasa kemanusiaan. Kecuali untuk jenis tindak pidana tertentu seperti pembunuhan

dan dalam era tertentu (Ratu Safiatuddin Syah) ada kasus yang ditangani

berdasarkan hukum Islam. Bentuk-bentuk hukuman yang diterapkan antara lain

potong telinga, hidung, dilempar ke kawanan binatang buas, dibakar hidup-hidup,

dipancung, dan sejenisnya. Fenomena tersebut membuktikan bahwa penerapan

hukum pidana Islam jauh dari nilai-nilai hukum Islam bahkan agama Islam itu

sendiri.

22

Model penelitian hukum Islam deskriptif juga pernah dilakukan oleh Adi

Hermansyah. Dalam penelitian Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dengan

Pidana Badan (Corporal Punishment) di Indonesia; Studi Kasus di Nanggroe

Aceh Darussalam, Hermansyah menggunakan 3 (tiga) pendekatan sekaligus untuk

menjawab tiga pertanyaan penelitian yang berbeda, yaitu pendekatan yuridis-

normatif, yuridis-empiris, dan komparatif-normatif. Penelitian Hermansyah

memilih kota Banda Aceh sebagai wilayah penelitiannya, dengan alasan penduduk

Aceh terkonsentrasi di Banda Aceh. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa

pengaturan pidana badan berupa cambuk dalam qanun di Nanggroe Aceh Darussalam

dan penerapannya sangat berpengaruh terhadap penurunan tindak pidana yang diatur

dalam qanun-qanun syari’at dipandang dapat menjadi alternatif bagi pembaruan

hukum pidana nasional. Penerapan pidana badan berupa cambuk di NAD berbeda

dengan beberapa negara lain seperti Singapura, Fiji, Saudi Arabia, Malaysia dan Iran

yang juga menerapkan pidana badan berupa cambuk. Perbedaannya meliputi jenis

kejahatan yang diancam cambuk maupun teknis pelaksanaannya. Di Malaysia dan

Singapura misalnya pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan di tempat tertutup,

sedangkan di Aceh dilakukan di tempat terbuka. Selain itu, penelitian tersebut juga

menemukan beberapa faktor penghambat dalam pelaksanaan cambuk di Nanggroe

Aceh Darussalam, di antaranya adalah belum adanya qanun hukum acara jinayat

Islam. Akibatnya, dalam proses peradilan seringkali terdakwa ataupun tersangka

tidak dapat dihadirkan dalam proses penyidikan, penuntutan, persidangan ataupun

eksekusi karena melarikan diri. Dalam pelaksanaanya, pidana badan di Nanggroe

Aceh Darussalam telah mampu mencegah atau setidaknya mengurangi

pelanggaran norma-norma adat yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan telah

23

mampu meredam euforia masyarakat untuk menerapkan pengadilan jalanan

terhadap pelaku yang dianggap telah melanggar tata norma yang ada di dalam

kehidupan masyarakat Aceh.21 Studi yang dilakukan Hermansyah ini,

memfokuskan diri pada pengaturan bentuk hukuman cambuk dalam qanun-qanun

dan penerapannya di Aceh. Pemilihan Kota Banda Aceh sebagai wilayah

penelitian dengan alasan masyarakat Aceh terkonsentrasi di kota ini adalah kurang

tepat, karena setengah populasi masyarakat Aceh terkonsentrasi di pantai Utara

(khususnya Aceh Utara dan Bireuen) dan hukuman cambuk pertama kali

diterapkan adalah di wilayah ini (Kabupaten Bireuen).

Model penelitian serupa dengan pendekatan yang berbeda dilakukan oleh

Sirajuddin M yang berjudul Pemberlakuan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh

Darussalam Pasca Reformasi. Penelitian Sirajuddin M ini menggunakan tiga

pendekatan sekaligus yaitu pendekatan sosiologi, hukum, dan sejarah. Penelitian

ini memfokuskan diri pada 3 (tiga) hal, yaitu proses pembentukan qanun

(legislative drafting), penerapan (legal executing), dan prospek (legal review)

pemberlakuan syari’at Islam di NAD. Melalui pendekatan sosio-legal-historis

Sirajuddin menjelaskan bahwa proses legal drafting dalam pembentukan qanun

dilakukan melalui: (1) pengajuan rancangan qanun yang melibatkan eksekutif,

legislatif, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM), dan akademisi; (2) pengajuan hasil rancangan qanun ke

DPRA; (3) konsultasi dan pembahasan antara DPRA/ DPRK dengan MPU atau

antara pemerintah provinsi dengan MPU; dan (4) penyempurnaan dan perbaikan.

21Adi Hermansyah, “Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Badan

(Corporal Punishment) di Indonesia; Studi Kasus di Nanggroe Aceh Darussalam”, Tesis,

(Semarang: UNDIP, 2008).

24

Dalam pelaksanaannya, masih ditemukan berbagai permasalahan, di antaranya

karena upaya belum maksimal, diskriminatif, dan adanya dualisme hukum.

Penelitian ini juga menggarisbawahi bahwa teori politik hukum yang

menyebutkan bahwa teori konfigurasi pada pemerintahan yang demokratis atau

otonom bersifat responsif untuk pemberlakuan syari’at Islam di Aceh, khususnya

hukum jinayat tidak selamanya benar. Hukum jinayat bersumber dari wahyu yang

bersifat qaṭ’ī, sehingga bukan termasuk varian hukum responsif atau konservatif.

Berkaitan dengan prospek pelaksanaan syari’at Islam di Aceh akan baik bila

mampu mengeliminasi beberapa kendala yang selama ini ditemui, antara lain,

kurangnya kehendak politik pemerintah daerah, keterbatasan sarana-prasarana,

kuantitas dan kualitas penegak hukum, belum ada pembinaan pelanggar hukum,

dan kekaburan fungsi dan tugas Wilāyat al-Ḥisbah.22 Dari ruang lingkup dan hasil

temuan, penelitian ini belum menyentuh materi hukum pidana atau syari’at Islam

yang akan dibentuk dan diterapkan di Aceh.

Penelitian model deskriptif yang terbaru dilakukan oleh Abdul Gani Isa

dalam disertasinya yang berjudul Formalisasi Syari’at Islam di Aceh dan

Perwujudannya dalam Sistem Hukum Indonesia. Fokus penelitian Isa ialah lebih

pada tingkat pemahaman masyarakat Aceh tentang syari’at Islam yang diatur

dalam qanun Aceh, kedudukan syari’at Islam dalam sistem hukum nasional, dan

upaya pelaksanaan syari’at Islam di Aceh secara struktural. Menurut temuannya,

pemahaman masyarakat Aceh tentang syari’at Islam masih minim. Indikasinya

adalah masih rendahnya kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat dalam

22Sirajuddin M, “Pemberlakuan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam Pasca

Reformasi”, Disertasi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010).

25

mendukung pelaksanaan dan pengawasan qanun jinayat, ditemukannya

keberagaman tafsir terhadap qanun khalwat, khamar, dan maisir dalam

pelaksanaannya di lapangan, serta masih ada oknum pejabat dan elit politik pusat

yang kurang memahami perbedaan antara hukum jinayat yang besumber kepada

wahyu dan sunnah Rasul SAW. dengan hukum pidana umum warisan penjajah

Belanda. Sementara kedudukan syari’at Islam dalam sistem hukum nasional dari

segi substansi hukum, memiliki legalitas, konstitusionalitas, dan mendapat tempat

dalam susunan dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam

dataran praktis, pelaksanaan syari’at Islam secara struktural masih menemukan

beberapa hambatan yang meliputi: minimnya SDM yang mampu menyidik,

menyelidik dan melakukan penuntutan terhadap kasus syari’at di lembaga

kepolisian dan kejaksaan, Wilāyat al-Ḥisbah (WH) masih tergabung dalam Satuan

Pamong Praja, Mahkamah Syar’iyyah belum memiliki hukum acara jinayat dalam

menangani kasus jinayat, dan alokasi anggaran yang masih minim, sehingga

berdampak langsung terutama terhadap operasional lembaga WH dan eksekusi

cambuk.23

Di samping model penelitian deskriptif tentang Aceh, ditemukan juga

beberapa penelitian model preskriptif. Di antaranya adalah penelitian yang telah

dilakukan oleh Faisal A. Rani tentang Pembentukan Qanun Anti Korupsi:

Perspektif Prinsip dan Norma Syari’at. Penelitian Rani mengkaji tentang

bagaimana prinsip-prinsip dan norma syari’at dijadikan sumber pembentukan

hukum atau qanun anti korupsi. Prinsip yang ditawarkan Rani untuk dimasukkan

23Abdul Gani Isa, “Formalisasi Syari’at Islam dan Perwujudannya dalam Sistem Hukum

Indonesia”, Disertasi, (Banda Aceh: Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, 2012).

26

dalam qanun antara lain adalah prinsip amanah, larangan memakan harta secara

batil, larangan mengambil hak orang lain, saling menolong dalam berbuat baik

dan larangan menolong dalam berbuat jahat, menerima balasan ganjaran yang

sesuai dengan apa yang dikerjakan, dan larangan suap-menyuap. Karena

pembentukan qanun anti korupsi yang materi muatannya didasarkan pada prinsip-

prinsip syari’at, qanun tersebut mendapat tempat dalam sistem hukum nasional.

Dari penelitiannya Rani merekomendasikan bahwa penerapan sistem pemidanaan

terhadap tindakan korupsi perlu didasarkan pada prinsip syari’at yang diterapkan

bersamaan dengan hukuman yang telah diatur dalam sistem hukum nasional yaitu

undang-undang antikorupsi. Aceh perlu membentuk qanun antikorupsi, tetapi

tidak mengulang apa yang sudah diatur dalam hukum nasional tentang

antikorupsi.24 Persoalan yang belum dijawab adalah bagaimana menderivasikan

prinsip-prinsip di atas dalam peraturan perundang-undangan atau qanun yang akan

dirumuskan.

Jika Rani menjadikan prinsip dan norma syari’ah dalam pembentukan

qanun anti korupsi, maka Ridhwan Syah meneliti tentang Penghukuman dan

Perlindungan HAM dalam Hukum Pidana Islam. Penelitian ini memfokuskan diri

untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana penghukuman dan perlindungan

HAM dalam hukum pidana Islam. Dengan menggunakan pendekatan normatif-

filosofis dan normatif-komparatif tersebut ditemukan bahwa: pertama, HAM pada

hakikatnya adalah fitrah yang melekat pada setiap manusia, karena itu tidak bisa

24Faisal A. Rani, “Pembentukan Qanun Anti Korupsi Perspektif Prinsip dan Norma

Syari’ah”, hasil penelitian tidak dipublikasikan, (Banda Aceh: Badan Rehabilitasi dan

Rekonstruksi NAD-Nias, 2006), h 15-25.

27

dicabut dan dikurangi. Hukum Islam menghendaki adanya perlindungan HAM

pelaku, korban, dan masyarakat secara seimbang. Terdapat 4 (empat) bentuk

ancaman hukuman dalam hukum pidana sekuler, yaitu penjara (bentuk hukuman

utama), mati, pencabutan hak, dan denda. Sedangkan dalam Hukum pidana Islam

dikenal 6 (enam) bentuk hukuman yaitu dera (bentuk hukuman utama), amputasi,

mati, qisas-diyat, penjara, dan denda atau kerja sosial. Kedua, jika dibandingkan

antara hukuman penjara dan dera, maka hukuman penjara lebih kejam dan lebih

tidak manusiawi. Dikatakan kejam karena mencabut hak yang paling esensial

terpidana yaitu kebebasan. Dikatakan tidak manusiawi, karena memisahkan

terpidana dari pekerjaan dan keluarganya. Dengan demikian, hukuman tersebut

bertentangan dengan HAM. Sementara pelaksanaan dera di depan umum

memberikan rasa malu bagi terpidana dan keluarganya sebagaimana hukuman

penjara. Ketiga, untuk melindungi HAM terpidana, maka dalam pelaksanaan

hukuman tidak boleh dilakukan sewenang-wenang, tidak melebihi kesalahan

terpidana, dan tidak boleh menimbulkan akibat fatal bagi orang lain. Wewenang

menjalankan hukuman dilaksanakan oleh negara setelah dokter menyatakan

bahwa yang bersangkutan sehat. Begitu juga dengan hukuman amputasi dan

hukuman mati, keduanya juga bertujuan untuk melindungi HAM. Oleh karena itu,

penghukuman dalam hukum pidana Islam bertujuan untuk memenuhi rasa

keadilan terhadap terpidana, korban dan masyarakat, menjadi sarana taubat bagi

pelaku kejahatan, bahkan dapat menghapus dosanya di akhirat. Penulis

membuktikan bahwa hukuman fisik dalam hukum pidana Islam bukan merupakan

hukuman yang kejam, manusiawi, dan tidak bertentangan dengan HAM.

28

Sebaliknya, melindungi HAM terpidana, seimbang dengan perlindungannya

terhadap HAM korban dan masyarakat. Sedangkan hukuman penjara dalam

hukum pidana sekuler lebih kejam, tidak manusiawi, dan melanggar HAM, serta

perlindungan terhadap HAM terpidana kurang seimbang dengan perlindungannya

terhadap HAM korban dan masyarakat. Dengan demikian, hukuman fisik dalam

hukum pidana Islam lebih layak diterapkan dalam konteks negara bangsa yang

demokratis. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka anggapan yang menyatakan

bahwa hukum pidana Islam kejam, tidak manusiawi, dan melanggar HAM telah

dilemahkan, sekaligus juga melemahkan anggapan bahwa hukuman penjara dalam

pidana sekuler lebih manusiawi dan melindungi HAM.25

Model penelitian preskriptif terbaru tentang hukum Islam yang ditemukan

peneliti adalah penelitian Ali tentang Hubungan al-Qur’an dan Hadis; Kajian

Metodologis terhadap Hukuman Rajam. Pertanyaan pokok yang diajukan dalam

disertasi Ali tersebut adalah bagaimana hubungan al-Qur’an dan Hadis dalam

konteks hukuman rajam. Obyek yang dikaji Ali adalah dalil fikih, yaitu ayat dan

hadis tentang rajam. Melalui pendekatan multidisipliner,26 Ali menemukan

bahwa: (1) rajam yang dilakukan Nabi adalah sunnah yang berlaku berbatas

wilayah dan waktu, tidak dimaksudkan berlaku sepanjang waktu dan tempat. (2)

Kedudukan hadis atau sunnah adalah sebagai praktik pertama al-Qur’an untuk

masyarakat Arab abad VII M. Karena itu, kesahihan hadis tentang rajam juga

berlaku berbatas waktu. Artinya, sanad dan matan hadis-hadis rajam adalah sahih

25Ridhwan Syah, “Penghukuman dan Perlindungan HAM dalam Hukum Pidana Islam”,

Disertasi, (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2012). 26Ali, “Hubungan Al-Qur’an dan Hadis; Kajian Metodologis terhadap Hukuman Rajam”,

Disertasi, (Banda Aceh: Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, 2014), h. 13 dan 30-31.

29

dan dipastikan berasal dari Nabi Muhammad. Namun demikian, jika ukurannya

adalah semangat umum al-Qur’an sebagai pembaru, termasuk terhadap berbagai

bentuk hukuman yang dinilai tidak layak untuk dipakai, maka hadis-hadis rajam

tidak sahih untuk diamalkan. Dengan demikian, harus dibedakan antara sahih

keberadaan dan sahih untuk hujjah.27

Berdasarkan telaah terhadap beberapa penelitian terdahulu yang disebut di

atas menunjukan bahwa kajian hukum Islam atau syari’at Islam di Aceh

didominasi oleh kecenderungan model penelitian deskriptif ketimbang model

penelitian preskriptif. Model penelitian preskriptif tentang syari’at Islam di Aceh

mengangkat isu pada dataran penggalian norma dan prinsip syari’at (hukum

Islam), hubungan al-Qur’an dan Hadis tentang hukuman rajam, serta kaitan salah

satu bentuk hukuman dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

Selanjutnya, peneliti juga menemukan beberapa penelitian terdahulu

tentang Iran. Perhatian para peneliti tentang Iran lebih banyak kepada isu-isu

politik. Salah satunya adalah Islam and Democracy yang ditulis oleh John L.

Esposito dan John O. Voll. Tulisan tersebut fokus mengkaji keterkaitan antara

pemerintahan Iran pasca-revolusi dan demokrasi. Hasil kajian Esposito dan Voll

adalah bahwa Iran mewakili eksperimen penting dalam upaya menciptakan negara

agama yang modern dengan struktur politik yang berbeda dengan praktik

demokrasi di Barat. Dalam kaitan dengan isu-isu dasar demokrasi dan Republik

Islam, ada penegasan yang berkesinambungan atas pentingnya partisipasi rakyat,

konsensus, dan kebebasan. Meskipun praktik aktual republik ini terbuka bagi

27Ibid., h. 262-263.

30

kritik tajam, namun tingginya tingkat partisipasi rakyat di negara ini patut dicatat.

Di kawasan teluk Persia, dalam pengamatan para ahli, banyak orang percaya

bahwa pengalaman Iran membuktikan kesesuaian pemerintahan perwakilan

dengan nilai-nilai tradisional yang dihormati. Ironisnya, kerewelan Barat soal

hijab cenderung mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat Iran secara umum

lebih terbuka dan liberal dibandingkan para tetangga mereka di kawasan Teluk.

Pengalaman Iran tidak memberikan jawaban pasti bagi persoalan hubungan antara

Islam dan demokrasi. Karena bagi sebagian orang, pengalaman Iran menegaskan

kemungkinan untuk menciptakan suatu demokrasi Islam. Sementara bagi sebagian

lainnya, hanya menegaskan watak otoriter pranata-pranata dan praktik politik

Muslim.28

Dalam satu dekade terakhir, ditemukan beberapa peneliti yang menaruh

perhatian tentang isu hukum di Iran, baik model penelitian deskriptif maupun

preskriptif. Model penelitian deskriptif dengan pendekatan gender dan hukum

internasional serta isu hukum Iran dan diskriminasi terhadap perempuan di

antaranya adalah Muhammad Taqi Rafiei, dalam penelitiannya A Critical Study of

the Effect of Gender on Prohibition of Women Employment in Iranian Law. Rafiei

memfokuskan kajiannya pada diskriminasi terhadap pekerja perempuan dalam

beberapa produk hukum Iran dan mengkritik dominasi pendekatan fikih dalam

beberapa peraturan perundang-undangan Iran dengan menggunakan standar

hukum internasional. Hasil penelitian Rafiei menemukan bahwa undang-undang

Iran masih melarang perempuan untuk menjadi hakim dan memperoleh posisi

28John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and Democracy, terj. Rahmani Astuti,

(Bandung: Mizan, 1999).

31

penting dalam politik, pemerintahan, dan kemiliteran, kecuali bidang kesehatan

dan pengobatan. Demikian dengan undang-undang tenaga kerjapun masih

membatasi dan melarang perempuan untuk bekerja di luar rumah tanpa izin

suami. Larangan tersebut didasarkan pada ayat-ayat dan hadis yang melarang

perempuan berperan dan menduduki posisi atau profesi sebagaimana disebutkan.

Padahal ayat-ayat dan hadis yang dijadikan rujukan tidak dapat mengarah pada

kesimpulkan yang dimaksud. Hal tersebut berkaitan dengan pengaruh dan

pemahaman otoritas agama yang eksklusif dimana kepemimpinan dipandang

tersebut hanya kompenten untuk laki-laki. Di sisi lain, dapat ditemukan beberapa

ahli hukum Islam kontemporer yang berpendapat bahwa perempuan berhak

menduduki posisi di ranah politik pemerintahan, kehakiman, dan militer, tetapi

mereka hanya suara minoritas di Iran. Maka dari itu, berdasarkan otoritas agama

dan sistem tata negara Iran, perempuan tetap tidak memperoleh hak-haknya atau

mengalami diskriminasi yang berbasis gender. Kondisi demikian sebenarnya

bertentangan dengan standar hukum internasional yang sudah diratifikasi oleh

pemerintah Iran sendiri. Maka dari itu, untuk mengembalikan hak-hak perempuan

yang mengalami diskriminasi, penulis merekomendasikan untuk dilakukan

langkah-langkah reformasi terhadap sistem tata negara, peraturan perundang-

undangan, dan tafsir agama yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada

posisi setara, sebagaimana yang dipahami oleh ulama Iran kontemporer dan

hukum internasional. Dengan demikian, perempuan Iran berhak menjadi presiden,

hakim dan anggota wilāyat al-faqīh. Reformasi dimaksud juga meliputi hukum

keluarga Iran, yakni KUHPerdata Pasal 18 tahun 1974 tentang Undang-undang

32

Perlindungan Keluarga. Selain itu, juga terdapat berbagai hambatan lain seperti

dari aspek adat dan budaya. Maka dari itu, perlu dipersiapkan jalan bagi

penerapan peraturan perundang-undangan Iran dalam mengurangi diskriminasi

terhadap perempuan, yang di antaranya adalah melatih kaum perempuan tentang

peraturan dan hukum yang berkaitan dengan hak-hak mereka sebagai warga

negara. Pada intinya penelitian ini ingin mengevaluasi kesesuaian antara peraturan

perundang-undangan Iran dengan hukum internasional, termasuk beberapa

konvensi internasional yang berkaitkan dengan kesetaraan gender.29 Penelitian ini

memiliki kecenderungan untuk menelaah substansi (materi) hukum berbagai

produk perundang-undangan di Iran.

Model penelitian dengan isu penerapan atau penegakan hukum juga

dilakukan oleh Ciprian Masile Maftei dalam The Sanctions of the Islamic

Criminal Law Aspects Regarding Penalties of the Islamic Criminal Law of the

Islamic Republic of Iran: Religion and Tradition vs Observing Human Rights.

Maftei menemukan bahwa penerapan hukum pidana Islam sebagai sebuah sistem

hukum yang bersumber pada al-Qur’an dalam praktiknya terdapat beberapa

kejanggalan atau pertentangan dengan kondisi aktual dan demokrasi, yang di

antaranya berkaitan dengan pelestarian hidup manusia dan hartanya yang menjadi

prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang perlu diperhatikan. Maftei

merekomendasikan agar penerapan hukum pidana Islam di Iran hari ini dan ke

depan memungkinkan untuk diklasifikasikan dengan merujuk kepada hukum yang

aplikatif bagi perempuan dan kaum minoritas, sinergisasi antara hukum Islam dan

29Muhammad Taqi Rafiei, “A Critical study of The Effect of Gender on Prohibition of

Women Employment in Iranian Law”, dalam Eroupean Journal of Social Sciences, Vol. 25, No.

3, 2011.

33

sistem hukum demokrasi, penggalian hak asasi manusia dalam hukum Islam, dan

hubungan antara hukum Islam dan konteks demokrasi.30 Dalam penelitiannya,

Maftei cenderung mengangkat isu penerapan hukum pidana Islam dan demokrasi

dengan pendekatan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan hukum internasional.

Model penelitian yang sama dengan pendekatan yang berbeda dilakukan

oleh Nadernejad dan Mohsen dalam The Developments in the Legal System of the

Press in Iran from Beginning in 1906 to Domination of Reza-Khan in 1921.

Dengan menggunakan pendekatan sejarah, Nadernejad dan Mohsen mengkaji

tentang proses historis kodifikasi dan perkembangan historis yang berkaitan

dengan awal perumusan dan pelaksanaan hukum pers di Iran sejak tahun 1906-

1921 M. Kajian Nadernejad dan Mohsen difokuskan pada hak dan prosedur

penerbitan media massa, serta dinamika sosial, politik, dan sejarah kebudayaan

Iran. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebelum Iran melakukan perubahan

revolusioner terhadap konstitusi negara, Iran hanya memiliki 10 (sepuluh) media

cetak yang beredar di tengah masyarakat. Akan tetapi, belum 1 (satu) tahun pasca

perubahan konstitusi yang diikuti oleh diterbitkannya Undang-undang Pers tahun

1917, pertumbuhan dan perkembangan media massa di Iran sangat pesat. Lebih

dari 83 koran dan majalah diterbitkan, 30 di antaranya beredar di kota Taheran.

Fenomena ini menunjukkan bahwa konfigurasi politik dan dinamika sosial

mempengaruhi produk hukum sebuah negara, termasuk hukum tentang pers.

Semakin demokratis sebuah sistem politik dan kekuasaan, maka semakin

demokratis pula produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga negara, termasuk

30Ciprian Masile Maftei, “The Sanctions of The Islamic Criminal Law Aspects Regarding

Penalties of the Islamic Criminal Law of the Islamic Republic of Iran: Religion and Tradition vs

Observing Human Rights”, (t.t.: Carentu Juridic, 2010).

34

hukum pers berikut dinamika sosial-budaya masyarakatnya. Hukum yang

menjamin kebebasan pers merupakan hasil dari politik dan kehidupan sosial yang

demokratis. Dalam iklim yang demikian akan menumbuh-suburkan lahirnya

media massa. Sebaliknya, pada era di mana sistem politik yang otoriter akan

melahirkan produk hukum pers yang memperketat syarat dan prosedur penerbitan

pers, sehingga akan mematikan perkembangan pers baik secara kuantitatif

maupun kualitatif.31 Dengan demikian, penelitian Nadernejad dan Mohsen ini

menfokuskan diri pada isu sejarah hukum pers di Iran.

Karoubi dan Akhondi dalam How Does Iranian's Legal System Protect

Human Vulnerability and Personal Integrity in Medical Research mengangkat isu

perlindungan hukum terhadap kelompok rentan dan integritas pribadi dalam

penelitian kedokteran. Sementara data penelitian ini diperoleh dengan

mempelajari dokumen internasional yang dikeluarkan UNESCO. Tujuan

penelitian ini ialah untuk menguji signifikansi prinsip-prinsip respektif terhadap

kelompok rentan dan integritas pribadi dalam penelitian kedokteran. Maka dari

itu, penelitian yang dimaksud memfokuskan pada analisa ketegangan antara

prinsip menghormati kelompok rentan, integritas pribadi, dan kepentingan ilmu

pengetahuan medis. Hasil penelitian ini ialah menunjukkan bahwa dalam

menerapkan ilmu pengetahuan ilmiah dan praktik kedokteran yang meniscayakan

adanya perhitungan dan perhatian kepada individu dan kelompok yang rentan,

termasuk perlindungan dan penghormatan terhadap integritas pribadi. Sedangkan

analisis yang dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung di

31Ghafourian Nadernejad dan Muhammad Mohsen, “The Development in The Legal

System of The Press in Iran from Beginning in 1906 to Domination of Reza-Khan in 1921”, dalam

European Journal of Social Sciences, Vol. 23, No. 2, 2011.

35

dalam sistem hukum di Iran. Semua itu untuk melindungi subyek dan integritas

pribadi dari kekerasan. Maka dari itu, pemerintah Iran perlu memasukkan prinsip-

prinsip yang terdapat dalam hukum internasional ke dalam peraturan perundang-

undangan negara, karena prinsip-prinsip tersebut tidak bertentangan dengan

sumber hukum negara Iran.32 Dengan demikian, penting adanya regulasi negara

yang mengatur tentang eksperimen, penelitian, dan tindakan medis lainnya untuk

mencegah timbulnya bahaya epidemi yang akan menimpa pasien (subyek) dan

orang banyak. Isu penting yang harus menjadi perhatian adalah isu sosial dan

etika. Semua itu untuk melindungi subyek dan integritas pribadi dari kekerasan.

Selanjutnya, model penelitian deskriptif dengan perspektif DUHAM dan

isu penerapan asas legalitas hukum pidana Islam terhadap kejahatan di Iran

dilakukan oleh Mohammad Ja’far Habibzadeh dalam penelitiannya yang bertajuk

Legality Principles of Crime and Punishment in Iranian Legal System.

Habibzadeh memfokuskan penelitiannya tentang bagaimana prinsip legalitas

kejahatan dan hukuman dalam sistem hukum Iran. Hasil penelitian Habibzadeh

menyimpulkan bahwa prinsip legalitas kejahatan dan hukuman mengacu kepada

fakta bahwa seseorang tidak boleh dihukum terhadap kejahatan yang dilakukan

sebelum adanya peraturan perundang-undangan yang melarang dan menentukan

hukuman tindakan tersebut. Tujuan prinsip legalitas yakni untuk melindungi hak,

kebebasan individu, dan sosial dari kesewenang-wenangan antara masyarakat dan

pemerintah atau negara. Oleh karena itu, seorang hakim pidana tidak boleh

32Muhammad Taghi Karoubi, “How Does Iranian’s Legal System Protect Human

Vulnerability and Personal Integrity in Medical Research”, dalam Avicenna Journal of Medical

Biotechnology, Vol.3, No. 2, 2011.

36

memutuskan suatu perkara kejahatan atau menjatuhkan hukuman kepada pelaku

kecuali yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jika sebuah tindakan yang

dilakukan seseorang terkait dengan masalah moral atau tindakan tersebut tidak

diterima oleh masyarakat secara sosial, hakim juga tidak boleh menghukum

pelaku bila larangan itu tidak disebutkan dalam undang-undang karena yang

memiliki hak dan otoritas untuk menentukan sebuah tindakan adalah kejahatan

atau tidak bermoral serta menetapkan hukumannya adalah lembaga legislatif

(pembuat undang-undang atau hukum). Dalam sistem hukum Iran, sebelum dan

sesudah revolusi Islam, konstitusi atau produk hukum Iran menekankan secara

eksplisit tentang ketaatan terhadap prinsip legalitas tersebut. Apabila seorang

hakim menangani suatu kasus (terdakwa) dan tidak ditemukan teks hukum tentang

kasus terkait yang belum diatur dalam undang-undang, maka hakim pidana dalam

memutuskan ketetapan bahwa harus tidak bersalah kepada terdakwa. Hal

demikian terjadi akibat kesalahpahaman terhadap isi konstitusi yang mengatur

tentang hukum acara pidana.

Dalam beberapa tahun terakhir, hakim pengadilan agama, pengadilan

negeri dan pengadilan umum yang menangani suatu kasus pidana yang tidak

memiliki rujukannya dalam teks undang-undang atau undang-undang diam

tentang kasus itu, maka mereka merujuk kepada kitab-kitab fikih dan fatwa para

ulama untuk menetapkan bentuk tindak pidana dan hukuman yang akan

dijatuhkan kepada terdakwa. Persoalannya adalah apakah menghukum seseorang

yang melakukan tindak pidana yang tidak atau belum disebutkan dalam undang-

undang bertentangan dengan asas legalitas. Sedangkan, pada sisi lain,

37

membebaskan terdakwa atau pelaku kejahatan karena tidak atau belum ada

hukumnya, juga dapat melanggar hak asasi korban kejahatan dan mengacaukan

ketertiban umum. Untuk keluar dari problematika demikian, maka perlu reformasi

hukum material dan hukum formal (hukum acara pidana) agar konsisten dalam

menjalankan amanah konstitusi tentang prinsip legalitas dalam makna substantif,

bukan semata-mata formal legalistik. Meskipun demikian, tetap harus

memperhatikan tujuan nyata dari pembentukan kekuasaan kehakiman, yaitu

pembentukan prosedur terpadu antar lembaga pengadilan. Di samping itu, juga

harus sesuai dengan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang sudah

diratifikasi pemerintah Iran pada tahun 1957.33 Penelitian Mohammad Ja’far ini

merupakan model penelitian deskriptif dengan memilih isu asas legalitas sebagai

fokus kajian.

Penelitian hukum Islam model preskriptif adalah penelitian Ramin

Moschtaghi dalam Rule of Law in Iran, yang meneliti tentang dilema antara

signifikansi ilmu pengetahuan tentang prinsip pengaturan peraturan perundang-

undangan dan posisi wilāyat al-faqīh dalam konstitusi Iran. Hasil temuannya

menunjukkan bahwa peran dan posisi tokoh agama Islam yang tergabung dalam

lembaga wilāyat al-faqīh melebihi semua keputusan lembaga pemerintahan lain di

Iran, terutama dalam menentukan sesuai tidaknya segala sesuatu dengan syari’at

Islam. Karena itu, prinsip wilāyat al-faqīh dan penolakannya terhadap suatu kebijakan

atau peraturan memiliki dasar konstitusional serta dapat menggantikan semua temuan

dalam undang-undang yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Meskipun, penerapan

33Mohammad Ja’far Habibzadeh, “Legality Principles of Crime and Punishment in

Iranian Legal System”, Journal Educational Research and Review, Vol. 1, No. 3, 2006.

38

substansi hukum Islam mengalami defisit secara struktural, terutama keadilan antara

warga negara Iran dan perlindungan terhadap HAM.34

Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas, dapat dipetakan pada

beberapa persoalan, yakni bagaimana dinamika, kecenderungan, pendekatan, dan

wilayah penelitian yang sudah dilakukan oleh para sarjana terdahulu. Penelitian

tentang Aceh sebagaimana yang diuraikan di atas memiliki kecenderungan pada

model penelitian hukum deskriptif. Model penelitian ini mencoba untuk melihat

hukum Islam sebagai fenomena sosial yang berinteraksi dengan fenomena sosial

lainnya, baik politik, sosial-budaya, sistem pemerintahan, maupun sejarah.35 Pada

penelitian model ini dapat dilihat dari pendekatan yang digunakan, seperti Haedar

dengan pendekatan sosiologi, Nway dengan pendekatan sejarahnya, dan termasuk

Sirajuddin dengan pendekatan sosio-legal-historis. Sementara penelitian hukum

Islam model preskriptif sangat minim dilakukan. Penelitian model kedua ini

mencoba untuk menggali norma-norma hukum Islam yang dipandang ideal untuk

mengatur tingkah laku dan tatanan kehidupan masyarakat. Dalam penelitian

model ini dikaji tentang bagaimana seharusnya norma-norma hukum disusun dan

dirumuskan agar dapat mengatur dan menciptakan ketertiban dan kenyamanan

sosial masyarakat. Dilihat dari segi wilayah penelitian hukum, maka kebanyakan

penelitian tersebut cenderung memfokuskan diri pada penelitian pada level

penerapan hukum, ketimbang asas, filsafat, dan substansi hukum.

Selanjutnya penelitian tentang Iran dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)

tema, yaitu politik, Islam dan demokrasi, serta sistem hukum Islam di Iran. Tema

34Ramin Moschtaghi, “Role of Law in Iran”, dalam www.wiki.fu-

berlin.de/display/Sbprojectrole /Home, 2011, diakses tanggal 10 Maret 2012. 35Lebih lanjut baca Syamsul., Studi…, h. 36-37.

39

sistem hukum Islam ini dapat diderivasi lagi menjadi posisi wilāyat al-faqīh

dalam sistem hukum Iran (hukum tata negara), hukum pers, problem hukum dan

etika dalam penelitian medis, serta hukum pidana dan penerapannya di Iran.

Berkaitan dengan studi hukum pidana Islam di Iran, sejumlah penelitian terdahulu

memiliki kecenderungan pada model penelitian hukum deskriptif. Dari segi

wilayah kajian, penelitian hukum pidana Islam36 di atas memiliki kecenderungan

besar pada studi penerapan hukum yang meliputi: studi terhadap penerapan asas

hukum oleh lembaga hukum (Habib Zadeh) dan materi hukum atau formalisasi

fikih ke dalam peraturan perundang-undangan negara (Maftei dan Rafiei). Dalam

studi hukum pidana Islam Iran di atas, penerapan hukum pidana dan perumusan

substansi hukumnya dikaitkan dengan isu-isu kesetaraan gender, Hak Asasi

Manusia (HAM), kaum minoritas, hukum dan konvensi internasional, serta

demokrasi.

Dengan demikian, penelitian ini berbeda dengan beberapa kajian terdahulu

yakni dengan fokus mengkaji tentang asas keberlakuan hukum pidana, formulasi

delik, dan konsep pemidanaan. Secara spesifik konsep pemidanaan yang menjadi

fokus penelitian ini meliputi bentuk, kadar, batas, dan sifat pidana yang

terkandung dalam KUHP RII dan QAHJ. Selanjutnya dikaji pula apa kontribusi

yang dapat diberikan studi ini dalam upaya perbaikan QAHJ, khususnya dan

pembaruan hukum pidana Indonesia pada umumnya.

G. Metode dan Pendekatan Penelitian

36Lihat lebih rinci Cik Hasan Basri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata

Sosial, Cet. I, (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), h. 75-156. Lihat juga Cik Hasan Basri, Metode

Penelitian Fiqh I, Cet. I, (Jakarta: Grafindo Persada, 1999), bab I-III.

40

Penelitian ini merupakan studi normatif-yuridis tentang asas keberlakuan,

formulasi delik, dan konsep pemidanaan dalam KUHP RII dan QAHJ. Dalam

menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini

menggunakan 2 (dua) pendekatan yaitu statute approach (pendekatan peraturan

perundang-undangan) dan conceptual approach (pendekatan konseptual).37

Pendekatan peraturan perundang-undangan yang digunakan di dalam

penelitian ini diperlukan untuk mengkaji substansi atau materi hukum yang

terdapat dalam KUHP RII dan QAHJ serta kaitannya dengan hierarki peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Iran dan Indonesia untuk menemukan

sejauhmana asas keberlakuan hukum pidana dan konsep pemidanaan yang

terkandung di dalam kedua peraturan perundang-undangan pidana di atas

memiliki daya keberlakuan yuridis. Maka dari itu, untuk menemukannya perlu

menganalisa kesesuaian KUHP RII dan QAHJ dengan hierarki dan asas-asas

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Iran dan Indonesia.

Sementara pendekatan konseptual yang digunakan dalam penelitian

dimaksudkan untuk mengkaji konsep yang berkaitan dengan asas keberlakuan

hukum pidana, formulasi delik, dan konsep pemidanaan yang terkandung dalam

KUHP RII dan QAHJ.

1. Bahan Hukum

37Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. I, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h.

96-97 dan 136-137; Lihat juga Jonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Cet. II, (Malang: Bayu Media Publishing, 2006), Bab III.

41

Karena termasuk penelitian hukum normatif, maka bahan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah bahan hukum38 yang diperoleh melalui kajian pustaka,

yang dikelompokkan menjadi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Bahan hukum primer terdiri dari konstitusi kedua negara dan KUHP RII serta

QAHJ. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah literatur hukum atau laporan

ilmiah para ahli pidana, termasuk jurnal hukum (hukum Islam), laporan ilmiah

para ahli pidana Islam, tesis, disertasi, dan kamus hukum yang materinya

berkaitan dengan masalah penelitian.

Selain bahan hukum, penelitian ini juga membutuhkan bahan-bahan non-

hukum, yzitu al-Qur’an, kitab-kitab hadis, kitab tafsir, kitab fikih jinayat, filsafat

hukum Islam, kitab usul fikih, dan sebagainya yang masih relevan dan membantu

untuk memahami dan menganalisis masalah yang diteliti.

2. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Metode yang ditempuh untuk mengumpulkan bahan hukum dalam

penelitian ialah dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan

bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagaimana telah disebutkan di atas.

Semua bahan hukum yang berhasil dikumpulkan, diseleksi, diklasifikasi, dan

disistematisasikan sesuai dengan masalah dan ruang lingkup penelitian yang

sudah ditentukan, kemudian semua hasil pengolahan bahan hukum tersebut akan

dianalisis.

3. Metode Analisis Bahan Hukum

38Peter de Cruz, Comparative Law in The Changing World, Ed. II, (London: Cavendis

Publishing Limited, 1999), h. 28 dan 46.

42

Semua bahan hukum yang telah dikumpulkan dan diolah melalui tahap-

tahap sebagaimana disebutkan di atas kemudian dianalisis dengan menggunakan 3

(tiga) metode analisis, yaitu metode analisis dialektis, analisis deskriptif, dan

analisis komparatif. Metode analisis dialektis digunakan untuk menganalisis

konsep asas keberlakuan hukum pidana Islam di Iran dan Aceh. Metode ini

dioperasionalkan dengan mempertanyakan secara terus-menerus data dan analisis

sebelumnya sampai tidak bisa bertanya lagi dengan maksud agar menemukan

jawaban komprehensif. Selanjutnya, metode analisis deskriptif digunakan untuk

menganalisis kedua konsep pemidanaan dalam KUHP RII dan QAHJ dengan cara

memeriksa dan mengidentifikasi isi kedua peraturan perundang-undangan di atas

secara terperinci. Karena penelitian ini termasuk jenis studi komparatif, maka

digunakan metode analisis komparatif.39 Metode analisis terakhir ini digunakan

untuk membandingkan asas keberlakuan hukum pidana yang dianut kedua negara,

formulasi delik, konsep pemidanaan, dan untuk menemukan common core yang

terkandung dalam 2 (dua) peraturan perundang-undangan pidana Islam. Proses

analisis dilakukan melalui tahap deskripsi, identifikasi, dan eksplanasi.40 Pada

tahap deskripsi akan diuraikan secara rinci materi hukum yang terkandung dalam

2 (dua) peraturan perundang-undangan pidana Islam, khususnya berkaitan dengan

asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, dan konsep pemidanaannya.

Pada tahap identifikasi akan dikaji dan diklasifikasi perbedaan dan persamaan

kedua peraturan hukum yang berkaitan dengan aspek-aspek yang akan

diperbandingkan, yaitu asas keberlakuan, formulasi delik, dan konsep

39Ibid., h. 233-234. 40Ibid., h. 234. Baca juga penjelasan lebih rinci h., 235-238.

43

pemidanaan. Kemudian, pada tahap eksplanasi akan dilakukan untuk menjelaskan

kesamaan dan perbedaan antarkonsep yang terkandung di dalam kedua peraturan

perundang-undangan pidana yang menjadi bahan kajian dan fokus penelitian,

sehingga akan ditemukan common core antara kedua produk hukum tersebut.

Selain itu, dikaji pula apa kontribusi yang dapat diberikan bagi upaya pembaruan

QAHJ khususnya dan hukum pidana Indonesiapada umumnya, terutama yang

terkait dengan RUU KUHP. Setelah semua proses di atas dilakukan, kemudian

diambil kesimpulan sebagai hasil temuan penelitian ini.

H. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini terdiri dari enam bab, diawali dengan bab satu pendahuluan,

yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, keaslian

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode dan

pendekatan penelitian, serta sistematika pembahasan. Bab satu ini merupakan

landasan bagi pembahasan bab-bab berikutnya.

Pada bab kedua akan dibicarakan tentang landasan teori sebagai landasan

penelitian ini. Dalam bagian ini akan dikemukakan tentang teori-teori yang

berkaitan dengan asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik dan konsep

pemidanaan. Secara berurutan, uraian bab ini meliputi visi dan misi hukum Islam,

hakikat pemidanaan, asas hukum pidana, kaidah-kaidah pemidanaan, tujuan

pemidanaan, formulasi jenis delik dalam hukum pidana Islam, bentuk, kadar,

batas, dan sifat pidana, serta teknik pemberian pidana.

44

Pada bab ketiga akan dibahas tentang asas dan konsep pemidanaan dalam

KUHP RII dan QAHJ. Pembahasan tersebut terdiri dari deskripsi substansi atau

isi KUHP RII yang meliputi tentang asas keberlakuan hukum pidana, formulasi

delik, serta bentuk, kadar, batas, dan sifat pidana. Lalu, dilanjutkan dengan

deskripsi substansi atau isi QAHJ, yang meliputi penjelasan tentang asas

keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, serta bentuk, kadar, batas, sifat, dan

kesetaraan antarpidana.

Analisa dialektis dan komparatif tentang asas keberlakuan hukum pidana

dan konsep pemidanaan yang terdapat dalam KUHP RII dan QAHJ akan dikaji

dalam bab keempat. Hal-hal yang akan dianalisis dan dibandingkan dalam bagian

ini adalah asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, konsep pemidanaan,

dan kesetaraan antar bentuk pidana.

Dalam pembahasan bab lima akan dijelaskan kontribusi hukum pidana

Islam tentang asas keberlakuan hukum pidana dan konsep pemidanaan dalam

upaya pembaruan hukum pidana Indonesia. Pembahasanya meliputi latar belakang

pembaruan, deskripsi substansi atau isi KUHP, RUU KUHP, dan kontribusi

kajian ini bagi pembaruan KUHP nasional.

Berdasarkan kajian dan diskusi dalam bab-bab sebelumnya, maka akan

dirumuskan kesimpulan dan rekomendasi dalam bab keenam yaitu pada bagian

penutup. Penutup akan memuat hasil temuan dan rekomendasi bagi penelitian

lebih lanjut.