bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
J. N. D. Anderson mengungkapkan bahwa hukum publik, termasuk hukum
pidana, merupakan aspek hukum yang kurang mendapat perhatian di kalangan
dunia Islam. Selama abad XIX sampai awal abad XX hukum publik pada
praktiknya di dunia Islam telah digantikan dengan hukum publik sekuler dan
diterapkan dalam sistem peradilan yang sebagian besar berasal dari asing,
khususnya sistem hukum Eropa.1
Terjadinya penggantian hukum Islam dengan hukum Eropa melalui
paradigma 5 (lima) lingkaran konsentris. Dengan menggunakan paradigma
tersebut dapat dilihat bahwa hukum dagang merupakan aspek hukum Islam yang
paling awal dan total digantikan oleh hukum Eropa. Setelah itu diikuti oleh aspek
hukum pidana, pertanahan, dan kontrak. Sementara hukum keluarga dan
kewarisan merupakan hukum yang paling sedikit dipengaruhi oleh hukum Eropa.
Kedua hukum terakhir yang disebut masih tampak diterapkan oleh kebanyakan
negara Islam atau Muslim.2 Sementara hukum pidana Islam, baik hukum meterial
maupun hukum formal sudah tidak diterapkan oleh kebanyakan negara Islam.
Kajian bidang hukum pidana dapat dilakukan pada aspek substansi atau
materi hukum, struktur hukum, dan budaya atau kultur hukum. Dua aspek terakhir
1J. N. D. Anderson, Law Reform in The Muslim World, (London: University of London,
1976), h. 1-2 dan 33. 2Abdullah Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human
Right, and International Law, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Ar-Rany, Cet. IV, (Yogyakarta:
LKiS, 2004), h. 10-11.
2
sudah banyak dilakukan oleh para ahli, tetapi kajian pada aspek substansi atau
materi hukum masih langka dilakukan. Padahal aspek materi hukum merupakan
aspek penting dan utama sebelum ditransformasikan ke dalam struktur hukum dan
diterapkan oleh para penegak hukum. Di antara aspek penting dari materi hukum
pidana pada umumnya dan hukum pidana Islam khususnya adalah tentang asas
keberlakuan hukum pidana dan konsep pemidanaan.
Penerapan hukum pada suatu negara yang memiliki kewenangan dan
kekuasaan menjatuhkan pidana kepada setiap pelaku delik dengan tujuan untuk
mempertahankan ketertiban dan keamanan warga negara. Penjatuhan pidana
tersebut mempengaruhi kehidupan, kebebasan, dan martabat manusia.3
Konsekuensi-konsekuensi semacam ini dapat dibenarkan untuk terlaksananya
fungsi perlindungan umum dan kepemilikan pribadi yang bersifat vital atau dalam
bahasa hukumnya untuk mewujudkan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial
(social engineering) dan alat kontrol sosial (social control). Namun, perlu
dicermati secara kritis bahwa pemberian pidana kepada setiap pelaku delik juga
memiliki risiko terhadap penyalahgunaan dan manipulasi kekuasaan yang sangat
serius, bahkan dapat mengancam Hak Asasi Manusia (HAM).
Kajian tentang asas keberlakuan hukum pidana sangat penting dilakukan
karena hal tersebut berkaitan dengan kepada siapa dan di mana suatu hukum
diberlakukan, apalagi jika hukum tersebut didasarkan pada ajaran agama tertentu
dalam hal ini Islam. Selain itu, kajian hukum pidana tentang konsep pemidanaan
juga perlu dilakukan mengingat konsekuensi dari setiap tindak pidana atau delik
3Ibid.
3
ditujukan kepada pelaku dan korban, dimana pada era modern sekarang tidak ada
satu negarapun yang memiliki masyarakat dengan populasi homogen baik dari
segi etnis, bahasa, maupun agama. Adalah ironis dan merugikan jika delik yang
diterapkan menyebabkan kerugian atau derita bagi pihak tertentu. Penimpaan
sanksi kepada setiap pelaku harusnya bertujuan agar pelaku tidak mengulangi
kembali perbuatannya, di pihak lain bagi korban tidak berkehendak membalas
dendam kepada pelaku, atau bagi orang lain akan urung melakukan tindak
kejahatan (delik) yang dilarang oleh undang-undang. Pada prinsipnya,
pemidanaan juga bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Selama ini kontribusi
dan perhatian umat Islam terutama kaum ilmuwannya termasuk di negara-negara
Islam atau mayoritas Muslim tentang asas keberlakuan hukum pidana dan konsep
pemidanaan sangat minim, baik pada dataran teoretis-konsepsional maupun
praktis-operasional. Padahal setiap elemen masyarakat dan negara termasuk
akademisi atau intelektual Muslim memiliki tanggung jawab untuk memberikan
kontribusi dan perhatian serius pada bidang hukum publik, khususnya asas dan
konsep pemidanaan dalam materi hukum pidana.
Pada sisi lain, bentuk pidana penjara yang selama ini diterapkan di
Indonesia ditemukan banyak persoalan, di antaranya adalah masalah over capacity
lembaga pemasyarakatan seluruh Indonesia. Mengapa jumlah penghuni penjara di
Indonesia dari waktu ke waktu justru semakin meningkat bahkan ada orang yang
keluar masuk penjara? Salah satu faktor penyebabnya adalah (1) prosentase input
narapidana baru jauh lebih banyak dibandingkan output narapidana lama yang
belum habis menjalani masa hukuman penjaranya; (2) paradigma dan faktor
4
substansi hukum material itu sendiri yang berorientasi pada pidana institusional
(penjara); dan (3) penerapan pidana penjara itu sendiri yang masih menyisakan
banyak persoalan.4
Prisonisasi (pemenjaraan) merupakan suatu proses adaptasi yang
dilakukan oleh narapidana terhadap kepedihan atau penderitaan tertentu di dalam
penjara. Beberapa bentuk prisonisasi adalah perampasan sesama narapidana,
homoseksual, peloncoan, perkelahian kelompok, bisnis narkotika, perbedaan
perlakuan oleh petugas, kerusuhan, pengelompokan berdasarkan daerah, dan
perilaku menindas atau mengancam narapidana yang masih menunjukkan
loyalitasnya kepada dunia non-kriminal.5
Dalam merespon persoalan di atas, membutuhkan kajian terhadap konsep
pemidanaan yang bersumber kepada hukum yang hidup dan berkembang di dalam
kesadaran kolektif bangsa Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam dengan
segenap ajarannya menjadi salah satu sumber nilai utama dalam memperbarui,
membangun dan mengembangkan hukum nasional. Di antara aspek ajaran Islam
yang dapat berkontribusi bagi pembangunan dan pembaruan hukum nasional,
khususnya bidang pidana adalah hukum pidana Islam.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kajian terhadap kontribusi hukum
pidana Islam dalam hal asas keberlakuan hukum pidana dan konsep pemidanaan
menemukan signifikansi dan urgensitas, terutama dalam rangka melakukan
pembaruan terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di tanah air
4Angkasa, “Over Capacity Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, Faktor Penyebab,
Implikasi Negatif, serta Solusi dalam Upaya Optimalisasi Pembinaan Narapidana”, dalam Jurnal
Dinamika Hukum, Vol. 10, No. 3 (2010), h. 214-215. 5Ibid., h. 215.
5
dan merespon Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana6 yang telah disusun pada tahun 2013 lalu. Penelitian ini merupakan bagian
penting dari usaha untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan dan
pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia.
Materi hukum pidana yang menjadi obyek penelitian ini adalah Qanun
Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Qanun Jinayat (QAHJ) dan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana Republik Islam Iran (KUHP RII).7 Pemilihan QAHJ dan
KUHP RII sebagai objek penelitian didasarkan pada beberapa alasan yang akan
dikemukakan lebih lanjut di bawah ini.
Dalam konteks Indonesia, Aceh adalah satu-satunya provinsi atau daerah
yang memiliki hukum tertulis berupa QAHJ yang berlaku sejak tahun 2003.
Qanun dimaksud adalah Qanun Nomor 12/2003 tentang Khamar, Qanun Nomor
13/2003 tentang Maisir, dan Qanun Nomor 14/2003 tentang Khalwat. Posisi
ketiga qanun tersebut secara yuridis semakin kokoh setelah diundangkannya
Undang-undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Di antara
kewenangan yang diberikan kepada Aceh oleh undang-undang tersebut dalam
bidang hukum pidana adalah kewenangan untuk memuat asas, bentuk, kadar,
batas, sifat, dan kesetaraan antarpidana yang berbeda dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.8
6Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, 2013. 7Selanjutnya disebut QAHJ dan KUHP RII. 8Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, khususnya Bab XXXV Pasal 241 dan Pasal 243, h. 130.
6
Setelah ketiga qanun tersebut diterapkan di Aceh ditemukan beberapa
permasalahan, yang di antaranya adalah materi QAHJ.9 Berkaitan dengan materi
qanun tersebut terdapat 2 (dua) persoalan yang muncul kepermukaan. Pertama,
asas keberlakuan yang dianut qanun dalam hubungannya dengan non-Muslim dan
Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, konsep pemidanaan yang meliputi bentuk,
kadar, batas, sifat, dan rasio kesetaraan antara bentuk pidana cambuk, denda, dan
penjara, yang oleh sebagian pihak dipandang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain itu, konsep pemidanaan
yang berlaku sekarang belum mampu mewujudkan tujuan pemidanaan
sebagaimana diinginkan Islam. Masalah lainnya adalah menyangkut penahanan,
kejelasan kewenangan antara polisi, kejaksaan, hakim, serta belum adanya hukum
acara pidana Islam.10
Untuk mengatasi berbagai kekurangan ketiga qanun di atas, kemudian
dilakukanlah revisi terhadap ketiga qanun tersebut dan telah disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tanggal 14 September 2009, menjadi
QAHJ.11 Pengesahan qanun tersebut telah melahirkan kritik dari berbagai pihak,
baik akademisi, masyarakat, dunia internasional maupun pemerintah daerah
(eksekutif) dan pemerintah pusat. Pokok persoalan perdebatan sama seperti 3
(tiga) qanun sebelumnya, ditambah dengan pencantuman bentuk pidana baru,
9Danial, “Efektifitas ‘Uqūbat dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 dan DQHR tentang
Khalwat dan Ikhtilath”, Jurnal Asy-Syir’ah, Vol. 45, 2011, h. 980-981. 10Al Yasa’ Abubakar, “Beberapa Catatan Akademis atas Perubahan Qanun Propinsi
Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003 dan Penggabungannya Menjadi Satu Qanun”, Banda Aceh:
Dinas Syari’at Islam, 2007, h. 1-2. 11Qanun ini meskipun sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA),
tetapi karena desakan berbagai pihak tidak ditandatangani Gubernur Aceh sampai pada 15
September 2014.
7
yaitu rajam. Setelah dilakukan kajian ulang, maka qanun tersebut direvisi dan
disahkan oleh DPRA dan ditanda tangani Gubernur Aceh pada tanggal 16
September 2014 menjadi Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum
Jinayat, yang kemudian pada tanggal 23 Oktober 2014 diumumkan dalam
Lembaran Aceh Nomor 7 Tahun 2014.
Di samping itu, pelaksanaan syari`at Islam di Aceh dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah “terobosan” yang
diberikan oleh negara modern untuk mencari dan merumuskan sebuah “model”
penerapan hukum berdasarkan syari`at Islam dalam masyarakat dan negara
modern. Dikatakan sebuah terobosan, karena dalam sejarah panjang perjalanan
umat Islam baik di nusantara ataupun di berbagai belahan dunia lainnya,
pelaksanaan syari`at (fikih) Islam dari segi ketatanegaraan selalu dalam bingkai
negara “khalifah”; sedangkan dari segi yang lain belum terpengaruh oleh budaya
Barat secara signifikan. Oleh karena itu, upaya menjadikan syar`iat Islam sebagai
sumber hukum positif sekarang ini relatif berbeda dengan masa sebelumnya
karena dilakukan dalam kerangka negara-bangsa. Fenomena ini baru muncul di
dunia Islam setelah perang dunia ke-II dan setelah bersentuhan atau dipengaruhi
oleh budaya dan penjajahan Barat.12 Maka dari itu, upaya yang diterapkan di Aceh
sekarang dari segi landasan epistemologi dan tata hukum, serta sistematikanya
merupakan hal baru yang belum mempunyai model atau preseden, baik di dalam
sejarah panjang umat Islam ataupun realitas kehidupan masyarakat (negara)
muslim internasional sekarang ini, terutama upaya positivisasi fikih jinayat Islam
12al-Yasa’, “Beberapa Catatan Akademis…”, h. 6.
8
menjadi hukum dalam konteks negara modern. Dengan demikian, upaya
pelaksanaannya memerlukan kajian mendalam terhadap pengalaman negara lain,
di samping perlu adanya evaluasi terus-menerus atas setiap langkah yang sudah
dan yang akan diambil, sehingga pelaksanaannya akan betul-betul sebagai
raḥmatan li al-`ālamīn.
Apabila berbagai persoalan di atas tidak dapat dipecahkan, maka
penerapan qanun jinayat di Aceh akan melahirkan berbagai masalah krusial, baik
yuridis (timbulnya kekacauan hukum, pelanggaran HAM, dan ketidakadilan
dalam penerapannya), sosiologis (lahirnya disharmoni sosial), maupun politis
(dapat memicu lahirnya disintegrasi bangsa). Oleh karena itu, dibutuhkan
langkah-langkah strategis, yuridis, dan akademis dalam melaksanakan hukum
pidana Islam di negara yang berbentuk republik seperti Indonesia.
Salah satu langkah penting adalah melakukan proses pengkajian
mendalam dan komprehensif terhadap berbagai qanun dan peraturan perundang-
undangan pidana Islam yang sudah berlaku, serta pengalaman negara lain dalam
perumusan dan pelaksanaan hukum pidana Islam khususnya tentang asas
keberlakuan hukum pidana dan konsep pemidanaan (‘uqūbah). Kajian tentang
asas keberlakuan hukum pidana berkaitan dengan kepada siapa dan di mana
hukum tersebut diberlakukan. Sedangkan kajian tentang konsep pemidanaan
berkaitan langsung dengan tujuan, bentuk, kadar, batas, sifat, kesetaraan
antarpidana, dan implikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah satu negara yang dapat dijadikan sasaran penelitian tentang asas
keberlakuan hukum pidana dan konsep pemidanaan adalah Iran. Pilihan terhadap
9
Iran didasarkan kepada beberapa argumentasi atau pertimbangan. Pertama, negara
Republik Islam Iran selama ini berhasil mendapat sorotan dan menarik perhatian
banyak pihak termasuk kalangan peneliti dan ilmuwan dunia. Akan tetapi,
perhatian para peneliti lebih terfokus pada isu politik dan demokrasi, Hak Asasi
Manusia (HAM), teknologi militer, terorisme, budaya, ekonomi, dan gender.
Sedangkan tentang isu hukum, khususnya materi hukum pidana Islam, masih
kurang mendapat sorotan dan perhatian dari para peneliti.
Kedua, karena sepanjang penelusuran penulis, hanya sedikit negara di
dunia Islam, terutama di kawasan Timur Tengah, yang menerapkan hukum pidana
Islam. Di antara yang sedikit itu, Iran merupakan salah satu negara yang memiliki
dan menerapkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Islam (Kodifikasi Hukum
Pidana Islam) yang relatif lengkap.13 Sementara negara Muslim lain yang berada
di kawasan Timur Tengah umumnya mempositifkan hukum Islam dalam bidang
perdata atau hukum keluarga. Di antara negara dimaksud adalah Maroko, Sudan,
Yordania, Aljazair, dan Tunisia.
Iran sudah memiliki KUHP RII sejak tahun 1991, yakni saat parlemen Iran
mengesahkan pada 30 Juli 1991 yang kemudian diratifikasi oleh Dewan
Kebijaksanaan Tinggi pada 28 November 1991. Hanya saja Buku V dari Kitab
Undang-undang tersebut yang materi hukumnya mengatur tentang ta’zīr baru
disahkan dan disetujui pada 26 Mei 1996. KUHP RII terdiri dari 5 (lima) buku, 27
(dua puluh tujuh) bagian, 56 (lima puluh enam) bab, dan 728 (tujuh ratus dua
13Selain Republik Islam Iran, Arab Saudi termasuk salah satu dari sedikit negara Islam
yang menerapkan hukum pidana Islam. Tetapi, negara ini tidak memiliki Kitab Undang-undang
tertulis tentang Pidana Islam, melainkan merujuk kepada keputusan hakim. Hakimlah yang
menjadi pemberi putusan hukum terhadap berbagai kasus yang diajukan kepadanya.
10
puluh delapan) pasal.14 Isi Buku I-V KUHP RII secara berurutan mengatur
tentang Ketentuan Umum, Delik H{udu>d, Qis}a>s}, Diyat, dan Ta’zi>r.
Ketiga, baik KUHP RII maupun QAHJ merupakan hukum publik yang
tetap menggunakan istilah-istilah atau simbol-simbol Islam. Meskipun KUHP RII
dan QAHJ disusun berdasarkan sumber hukum Islam (al-Qur’an dan Hadis),
tetapi penafsirannya disesuaikan dengan masalah dan kebutuhan masyarakat di
negara atau wilayah masing-masing yang tentu saja berbeda satu sama lain. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian mendalam untuk dapat menemukan common
core (inti yang sama). Penelitian common core akan memberikan kontribusi
penting bagi upaya pembaruan terhadap hukum pidana di tanah air, khususnya
QAHJ dan KUHP nasional, karena salah satu tujuan penelitian hukum komparatif
adalah untuk memperbaiki hukum nasional sebuah bangsa, selain untuk
meningkatkan pemahaman terhadap hukum negara lain, sehingga dapat
memberikan kontribusi bagi perbaikan hubungan internasional.15
Sampai saat ini Indonesia baru memiliki Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), tetapi belum memiliki KUHP yang digali dari nilai-nilai
dan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang agamis dan religius.
Padahal produk hukum suatu masyarakat atau bangsa harus mencerminkan
norma-norma sosial dan nilai-nilai yang hidup dan ada di dalam masyarakat dan
bangsa.16 Di antara nilai-nilai dimaksud yang menjadi salah satu sumber penting
pembangunan hukum adalah nilai-nilai Islam.
14Islamic Penal Code of Iran, 1996, h. 1-54. 15Werner Menski, Comparative Law in Global Context, (United Kingdom: Cambridge
University Press, 2008), h. 47. 16Ibid., h. 52.
11
Dari penjelasan di atas, melahirkan beberapa pertanyaan berikut: pertama,
apa dan bagaimana asas keberlakuan hukum pidana yang dianut KUHP RII bila
dikaitkan dengan isu kebebasan bagi setiap orang untuk beragama dan
menjalankan ajaran agamanya? Lalu, bagaimana pula dengan asas keberlakuan
hukum pidana yang dianut QAHJ, bila dikaitkan dengan ketertiban umum dan
keadilan di mana sebagian (Muslim) dihukum karena melakukan tindak pidana
yang diatur dalam qanun, sementara warga Aceh non-Muslim tidak mendapatkan
hukuman serupa? Kedua, bagaimana formulasi delik dan konsep pemidanaan
yang terkandung dalam hukum kedua negara yang khas Islam dan apakah jika
kedua peraturan perundang-undangan pidana diberlakukan juga bagi non-Muslim
tidak melanggar Hak Asasi manusia (HAM) atau kebebasan setiap orang untuk
menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya? Ketiga, apakah jenis,
kadar, batas, dan sifat pemidanaan yang terkandung dalam kedua peraturan pidana
di atas mampu dan efektif dalam mewujudkan tujuan hukuman dalam pidana
Islam? Keempat, apakah kajian ini kontribusi terhadap upaya pembaruan hukum
pidana nasional dan QAHJ, terutama berkaitan dengan asas keberlakuan dan
konsep pemidanaan?
Penelitian ini dilakukan dalam rangka memecahkan problematika di atas
kaitannya dengan fokus urgensitas dan signifikansi penelitian mengingat negara
Indonesia belum memiliki KUHP yang digali dari kultur dan khasanah bangsa
Indonesia sendiri, meskipun pada tahun 2013 lalu untuk kesekian kalinya
Indonesia telah berhasil menyusun Rancangan Undang-undang Republik
12
Indonesia tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana,17 tetapi RUU-KUHP
tersebut sampai hari ini belum disahkan menjadi Undang-undang. Pada sisi lain,
khususnya di Indonesia sistem penghukuman yang berlaku selama ini justru
melahirkan berbagai persoalan.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka pertanyaan
pokok yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana asas keberlakuan
hukum pidana, formulasi delik dan konsep pemidanaan yang dianut KUHP RII
dan QAHJ serta konstribusinya bagi upaya pembaruan hukum pidana di
Indonesia? Pertanyaan pokok ini dapat dirincikan dalam beberapa pertanyaan
berikut:
1. Apa dan bagaimana asas keberlakuan hukum pidana Islam, formulasi
delik, dan konsep pemidanaan yang dianut dalam KUHP RII dan QAHJ?
2. Apa dan bagaimana persamaan dan perbedaan asas keberlakuan hukum
hukum pidana, formulasi delik, dan konsep pemidanaan yang termaktub
dalam KUHP RII dan QAHJ kaitannya dengan tujuan hukuman dalam
hukum pidana Islam?
3. Apa kontribusi yang diberikan oleh konsep pemidanaan dalam KUHP RII
dan QAHJ bagi upaya pembaruan Hukum Pidana Indonesia, terutama
kaitannya dengan RUU KUHP?
17Selanjutnya disebut RUU-KUHP.
13
C. Keaslian Penelitian
Sepanjang penelusuran penulis, ada banyak penelitian yang sudah
dilakukan tentang Iran dan Aceh. Adapun hasil penelitian yang pernah dilakukan
tentang Aceh dapat dikelompokkan kepada 2 (dua), yaitu (1) studi hukum Islam
normatif dengan fokus pada formalisasi syari’at Islam dalam tata hukum
Indonesia, penghukuman dan perlindungan HAM dalam hukum pidana Islam, dan
(2) studi hukum empiris dengan fokus kajian pada isu penerapan dan formalisasi
syari’at Islam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), sistem hukum
Indonesia, politik hukum, penanggulangan kejahatan melalui hukuman badan,
serta syari’at Islam sebagai gerakan sosial.
Sedangkan penelitian tentang Iran dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)
tema, yaitu politik, Islam dan demokrasi, serta sistem hukum Islam. Tema terakhir
dapat diderivasi menjadi posisi wilāyat al-faqīh, hukum pers, sistem hukum dan
praktik kedokteran, hubungan antara penerapan hukum pidana Islam dengan
keadilan, demokrasi, dan non-Muslim. Hasil penelitian tentang hukum pidana
Islam di Iran lebih memfokuskan diri pada keterkaitan penerapan hukum pidana
Islam dengan isu-isu kontemporer seperti demokrasi, hak minoritas non-Muslim,
Hak Asasi Manusia (HAM), dan keadilan. Secara lebih detail dapat dilihat dalam
tabel 1.1 berikut ini:
16
Berbeda dengan beberapa kajian terdahulu, penelitian ini menfokuskan diri
tentang asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, dan konsep pemidanaan.
Secara spesifik konsep pemidanaan yang menjadi fokus kajian ini meliputi
bentuk, kadar, batas, dan sifat pidana yang terdapat dalam KUHP RII dan QAHJ.
Selain itu, penelitian ini juga membahas dan menemukan kontribusi apa terhadap
perbaikan QAHJ khususnya dan pembaruan hukum pidana Indonesia pada
umumnya, terutama kontribusi bagi perbaikan dan pengembangan RUU-KUHP
yang sudah dirumuskan, tetapi belum dibahas dan disahkan menjadi Kitab
undang-undang Pidana Indonesia yang baru.
D. Tujuan Penelitian
1. Menemukan dan menjelaskan asas keberlakuan hukum pidana, formulasi
delik dan konsep pemidanaan yang dianut oleh KUHP RII dan QAHJ.
2. Menemukan dan menjelaskan bagaimana persamaan dan perbedaan
KUHP RII dan QAHJ tentang asas keberlakuan hukum pidana, formulasi
delik, dan konsep pemidanaan, serta menemukan konsep baru tentang
konsep pemidanaan yang mampu mewujudkan tujuan pidana (maqāṣid
al-‘uqūbah) dalam hukum pidana Islam.
3. Menemukan dan menjelaskan common core dan kontribusi apa yang
dapat diberikan kedua peraturan pidana di atas dalam upaya pembaruan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya tentang asas
keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, dan konsep pemidanaan.
17
E. Manfaat Penelitian
Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk 2 (dua) hal; pertama,
merumuskan sebuah rumusan fikih baru yang belum mempunyai model atau
preseden, baik dalam sejarah panjang umat Islam ataupun dalam realitas
kehidupan masyarakat (negara) Muslim internasional sekarang ini. Kedua,
menemukan asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, dan konsep
pemidanaan baru yang lebih mampu mewujudkan tujuan pemidanaan dalam
hukum pidana, baik tujuan retributif, preventif, edukatif, maupun reformatif-
restoratif, sehingga efektif tidak hanya dalam mencegah terjadinya tindak pidana
dan penyadaran narapidana, melainkan juga untuk menciptakan hormonisasi
sosial dan ketentraman umum, serta pembangunan nasional.
Sementara secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi upaya pembaruan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia pada umumnya, terutama tentang
asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, dan konsep pemidanaan. Hal ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi berbagai persoalan yang muncul di
Indonesia berkaitan dengan asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, dan
konsep pemidanaan yang selama ini berlaku di Indonesia dengan segenap
problematikanya.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam rangka melihat dinamika, kecenderungan, bidang, dan model kajian
hukum Islam yang sudah pernah dilakukan peneliti terdahulu, serta menempatkan
18
di mana posisi penelitian yang akan dilakukan, maka di bawah ini akan
dikemukakan beberapa hasil penelitian yang relevan tentang Aceh dan Iran.
Menurut Syamsul Anwar, penelitian hukum Islam secara keseluruhan
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) model, yaitu penelitian hukum Islam deskriptif
dan penelitian hukum Islam preskriptif. Model pertama mengkaji hukum Islam
sebagai sebuah fenomena sosial yang berinteraksi dengan fenomena sosial
lainnya. Dalam penelitian model ini hukum Islam dikaji dengan menggunakan
pendekatan ilmu sosial dan humaniora, seperti sejarah, sosiologi, politik,
antropologi, dan seterusnya. Penelitian model ini mencoba melihat hukum Islam
pada dataran praktis.18 Dengan demikian, penelitian model ini menjadikan hukum
Islam menjadi obyek kajian, sementara ilmu lainnya menjadi kacamata untuk
melihat. Sedangkan model kedua bertujuan menggali norma-norma hukum Islam
pada dataran ideal untuk dapat mengatur tingkah laku manusia dan menata
kehidupan masyarakat yang baik. Dengan kata lain, model ini meneliti bagaimana
hukum Islam seharusnya pada dataran normatif.
Berdasarkan klasifikasi model penelitian hukum Islam tersebut penelitian
tentang Aceh dan Iran yang sebelumnya pernah dilakukan dipetakan. Tujuan
klasifikasi tersebut ialah untuk melihat dinamika perkembangan dan
kecenderungan model penelitian yang pernah dilakukan sehingga posisi penelitian
ini dapat ditempatkan. Pertama, akan dijelaskan penelitian yang pernah dilakukan
tentang syari’ah Islam di Aceh pada umumnya dan hukum Islam di Aceh pada
khususnya. Kedua, dilanjutkan dengan pemaparan tentang hukum Islam di Iran.
18Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Cet. I, (Jakarta: RM Books, 2007),
h. 36.
19
Ada beberapa penelitian yang sudah dilakukan oleh para ahli mengenai Aceh dan
Iran, baik model penelitian deskriptif maupun preskriptif.
Model penelitian deskriptif tentang Aceh pernah dilakukan oleh Haedar
Nashir di bawah tajuk Gerakan Islam Syari’at; Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesia. Dalam laporan penelitiannya yang diterbitkan menjadi buku setebal
624 halaman menjadikan Aceh sebagai salah satu wilayah yang diteliti, di
samping Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Sementara organisasi massa Islam
yang menjadi sasaran peneitian adalah Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis
Mujahidin Indonesia (MII). Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa: Pertama,
formalisasi syari’at Islam dalam institusi negara hingga ke pembentukan negara
Islam untuk penerapan syari’at bagi kelompok Islam syari’at bukanlah persoalan
pragmatis bagi solusi untuk pemecahan masalah kehidupan, melainkan persoalan
teologis dan ideologis.19 Kedua, dari segi reproduksi gerakan, kelompok Islam
syari’at tampil secara terorganisasi, berbeda dengan gerakan sosial klasik yang
tidak melembaga. Proses dan strategi gerakan Islam syari’at menempuh jalur atas
di ranah nasional dan jalur bawah di tingkat lokal. Manifestasi gerakannya mulai
dari perjuangan menghidupkan kembali piagam Jakarta, legislasi syari’at Islam di
sejumlah daerah, dan gerakan menegakkan kekhalifahan Islam. Para pelaku
gerakannya lahir dari rahim yang memiliki nasab teologis dan ideologis dengan
gerakan Islam modern yang mengalami diskontinuitas karena tampil lebih
formalis dan doktriner. Ketiga, fenomena gerakan Islam syari’at yang bersifat
ideologis ini menampilkan pola islamisasi baru yang lebih skriptual, doktriner,
19 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syari’at; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,
(Jakarta: PSAP, 2007).
20
dan formalistik, sehingga selain menampilkan corak ideologis sekaligus juga
melakukan ideologisasi syari’at dalam struktur negara Indonesia bahkan
syari’atisasi Islam. Mereka berkeyakinan bahwa perjuangan menerapkan syari’at
Islam, selain merupakan keniscayaan politik juga merupakan kewajiban teologis.
Gerakan formalisasi syari’at Islam di daerah dipandang sebagai penerapan syari’at
jalur bawah. Sedangkan yang diperjuangkan HTI dan MII adalah gerakan
penerapan syari’at Islam jalur atas. Penelitian Haedar menjadikan HTI dan MII
sebagai sasaran penelitian, sedangkan Aceh sebagai salah satu wilayah yang
diteliti, isu syari’at Islam sebagai fokus kajian. Perspektif yang digunakan dalam
melihat fenomena gerakan Islam syari’at adalah sosiologi. Penelitian Haidar ini
dapat disebut sebagai model penelitian deskriptif dengan pendekatan sosiologis.
Pendekatan lain terhadap hukum Islam di Aceh adalah sejarah
sebagaimana yang dilakukan Ayang Utriza Nway dalam penelitiannya Hukum
Adat vis a vis Hukum Islam di Aceh: Tinjauan Sejarah Hukum di Kesultanan Aceh
Tahun 1516-1688 M. Ia menjelaskan bagaimana undang-undang pidana dan
penerapannya di era Kesultanan Aceh tahun 1516-1688 M.20 Menurutnya, secara
umum hukum yang dipraktikkan di Aceh adalah hukum adat, termasuk bidang
pidana. Hanya saja, dalam bidang pidana masih ditemukan unsur Islamnya.
Berdasarkan data historis menunjukkan bahwa di antara Sultan Aceh ada yang
menerapkan hukuman bagi pelaku tindak pidana yang sesuai dengan syari’at
Islam, seperti hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi pezina yang
sudah menikah. Akan tetapi, seringkali penerapan kadar hukumannya melebihi
20Ayang Utriza Nway, “Hukum Adat vis a vis Hukum Islam; Tinjauan Sejarah Hukum di
Kesultanan Aceh Tahun 1516-1688 M”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-38, No. 2,
2008.
21
ketentuan syari’at itu sendiri. Hal ini terjadi pada era Alauddin al-Kahhar, al-
Mukammil, Iskandar Muda, Iskandar Tsani, dan tiga ratu setelahnya. Secara
historis, dalam rentang waktu 1566-1688 M penerapan hukum pidana Islam
sangat sedikit. Kebanyakan yang diterapkan adalah hukum adat, bahkan juga
“Hukum Sultan”, tanpa didasarkan pada hukum tertulis yang menjadi dasar atau
patokan. Meski dalam penerapannya diberlakukan kepada siapa saja tanpa
membedakan terhukum berdasarkan status sosial, ekonomi, atau politik.
Dominannya hukum adat dalam bidang hukum pidana terlihat dari undang-undang
yang berlaku di Kesultanan Aceh. Undang-undang dimaksud terdiri dari 105 pasal
yang berisi norma adat (89 pasal atau 83%), hukum Islam (15 pasal atau 16%),
dan campuran keduanya (1 pasal atau 1%). Sepanjang abad XVI-XVII M, tidak
hanya substansi hukum yang didominasi oleh hukum adat atau hukum Sultan,
melainkan penerapan hukum pidanapun didominasi olehnya. Raja adalah hukum
sekaligus penegak hukum yang tidak pernah salah, sehingga undang-undang
pidana yang sudah dibuat dapat diabaikan begitu saja. Para pelaku tindak pidana
dihukum dengan hukuman yang melampaui tidak hanya hukum Islam, tetapi juga
rasa kemanusiaan. Kecuali untuk jenis tindak pidana tertentu seperti pembunuhan
dan dalam era tertentu (Ratu Safiatuddin Syah) ada kasus yang ditangani
berdasarkan hukum Islam. Bentuk-bentuk hukuman yang diterapkan antara lain
potong telinga, hidung, dilempar ke kawanan binatang buas, dibakar hidup-hidup,
dipancung, dan sejenisnya. Fenomena tersebut membuktikan bahwa penerapan
hukum pidana Islam jauh dari nilai-nilai hukum Islam bahkan agama Islam itu
sendiri.
22
Model penelitian hukum Islam deskriptif juga pernah dilakukan oleh Adi
Hermansyah. Dalam penelitian Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Badan (Corporal Punishment) di Indonesia; Studi Kasus di Nanggroe
Aceh Darussalam, Hermansyah menggunakan 3 (tiga) pendekatan sekaligus untuk
menjawab tiga pertanyaan penelitian yang berbeda, yaitu pendekatan yuridis-
normatif, yuridis-empiris, dan komparatif-normatif. Penelitian Hermansyah
memilih kota Banda Aceh sebagai wilayah penelitiannya, dengan alasan penduduk
Aceh terkonsentrasi di Banda Aceh. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa
pengaturan pidana badan berupa cambuk dalam qanun di Nanggroe Aceh Darussalam
dan penerapannya sangat berpengaruh terhadap penurunan tindak pidana yang diatur
dalam qanun-qanun syari’at dipandang dapat menjadi alternatif bagi pembaruan
hukum pidana nasional. Penerapan pidana badan berupa cambuk di NAD berbeda
dengan beberapa negara lain seperti Singapura, Fiji, Saudi Arabia, Malaysia dan Iran
yang juga menerapkan pidana badan berupa cambuk. Perbedaannya meliputi jenis
kejahatan yang diancam cambuk maupun teknis pelaksanaannya. Di Malaysia dan
Singapura misalnya pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan di tempat tertutup,
sedangkan di Aceh dilakukan di tempat terbuka. Selain itu, penelitian tersebut juga
menemukan beberapa faktor penghambat dalam pelaksanaan cambuk di Nanggroe
Aceh Darussalam, di antaranya adalah belum adanya qanun hukum acara jinayat
Islam. Akibatnya, dalam proses peradilan seringkali terdakwa ataupun tersangka
tidak dapat dihadirkan dalam proses penyidikan, penuntutan, persidangan ataupun
eksekusi karena melarikan diri. Dalam pelaksanaanya, pidana badan di Nanggroe
Aceh Darussalam telah mampu mencegah atau setidaknya mengurangi
pelanggaran norma-norma adat yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan telah
23
mampu meredam euforia masyarakat untuk menerapkan pengadilan jalanan
terhadap pelaku yang dianggap telah melanggar tata norma yang ada di dalam
kehidupan masyarakat Aceh.21 Studi yang dilakukan Hermansyah ini,
memfokuskan diri pada pengaturan bentuk hukuman cambuk dalam qanun-qanun
dan penerapannya di Aceh. Pemilihan Kota Banda Aceh sebagai wilayah
penelitian dengan alasan masyarakat Aceh terkonsentrasi di kota ini adalah kurang
tepat, karena setengah populasi masyarakat Aceh terkonsentrasi di pantai Utara
(khususnya Aceh Utara dan Bireuen) dan hukuman cambuk pertama kali
diterapkan adalah di wilayah ini (Kabupaten Bireuen).
Model penelitian serupa dengan pendekatan yang berbeda dilakukan oleh
Sirajuddin M yang berjudul Pemberlakuan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam Pasca Reformasi. Penelitian Sirajuddin M ini menggunakan tiga
pendekatan sekaligus yaitu pendekatan sosiologi, hukum, dan sejarah. Penelitian
ini memfokuskan diri pada 3 (tiga) hal, yaitu proses pembentukan qanun
(legislative drafting), penerapan (legal executing), dan prospek (legal review)
pemberlakuan syari’at Islam di NAD. Melalui pendekatan sosio-legal-historis
Sirajuddin menjelaskan bahwa proses legal drafting dalam pembentukan qanun
dilakukan melalui: (1) pengajuan rancangan qanun yang melibatkan eksekutif,
legislatif, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dan akademisi; (2) pengajuan hasil rancangan qanun ke
DPRA; (3) konsultasi dan pembahasan antara DPRA/ DPRK dengan MPU atau
antara pemerintah provinsi dengan MPU; dan (4) penyempurnaan dan perbaikan.
21Adi Hermansyah, “Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Badan
(Corporal Punishment) di Indonesia; Studi Kasus di Nanggroe Aceh Darussalam”, Tesis,
(Semarang: UNDIP, 2008).
24
Dalam pelaksanaannya, masih ditemukan berbagai permasalahan, di antaranya
karena upaya belum maksimal, diskriminatif, dan adanya dualisme hukum.
Penelitian ini juga menggarisbawahi bahwa teori politik hukum yang
menyebutkan bahwa teori konfigurasi pada pemerintahan yang demokratis atau
otonom bersifat responsif untuk pemberlakuan syari’at Islam di Aceh, khususnya
hukum jinayat tidak selamanya benar. Hukum jinayat bersumber dari wahyu yang
bersifat qaṭ’ī, sehingga bukan termasuk varian hukum responsif atau konservatif.
Berkaitan dengan prospek pelaksanaan syari’at Islam di Aceh akan baik bila
mampu mengeliminasi beberapa kendala yang selama ini ditemui, antara lain,
kurangnya kehendak politik pemerintah daerah, keterbatasan sarana-prasarana,
kuantitas dan kualitas penegak hukum, belum ada pembinaan pelanggar hukum,
dan kekaburan fungsi dan tugas Wilāyat al-Ḥisbah.22 Dari ruang lingkup dan hasil
temuan, penelitian ini belum menyentuh materi hukum pidana atau syari’at Islam
yang akan dibentuk dan diterapkan di Aceh.
Penelitian model deskriptif yang terbaru dilakukan oleh Abdul Gani Isa
dalam disertasinya yang berjudul Formalisasi Syari’at Islam di Aceh dan
Perwujudannya dalam Sistem Hukum Indonesia. Fokus penelitian Isa ialah lebih
pada tingkat pemahaman masyarakat Aceh tentang syari’at Islam yang diatur
dalam qanun Aceh, kedudukan syari’at Islam dalam sistem hukum nasional, dan
upaya pelaksanaan syari’at Islam di Aceh secara struktural. Menurut temuannya,
pemahaman masyarakat Aceh tentang syari’at Islam masih minim. Indikasinya
adalah masih rendahnya kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat dalam
22Sirajuddin M, “Pemberlakuan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam Pasca
Reformasi”, Disertasi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010).
25
mendukung pelaksanaan dan pengawasan qanun jinayat, ditemukannya
keberagaman tafsir terhadap qanun khalwat, khamar, dan maisir dalam
pelaksanaannya di lapangan, serta masih ada oknum pejabat dan elit politik pusat
yang kurang memahami perbedaan antara hukum jinayat yang besumber kepada
wahyu dan sunnah Rasul SAW. dengan hukum pidana umum warisan penjajah
Belanda. Sementara kedudukan syari’at Islam dalam sistem hukum nasional dari
segi substansi hukum, memiliki legalitas, konstitusionalitas, dan mendapat tempat
dalam susunan dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam
dataran praktis, pelaksanaan syari’at Islam secara struktural masih menemukan
beberapa hambatan yang meliputi: minimnya SDM yang mampu menyidik,
menyelidik dan melakukan penuntutan terhadap kasus syari’at di lembaga
kepolisian dan kejaksaan, Wilāyat al-Ḥisbah (WH) masih tergabung dalam Satuan
Pamong Praja, Mahkamah Syar’iyyah belum memiliki hukum acara jinayat dalam
menangani kasus jinayat, dan alokasi anggaran yang masih minim, sehingga
berdampak langsung terutama terhadap operasional lembaga WH dan eksekusi
cambuk.23
Di samping model penelitian deskriptif tentang Aceh, ditemukan juga
beberapa penelitian model preskriptif. Di antaranya adalah penelitian yang telah
dilakukan oleh Faisal A. Rani tentang Pembentukan Qanun Anti Korupsi:
Perspektif Prinsip dan Norma Syari’at. Penelitian Rani mengkaji tentang
bagaimana prinsip-prinsip dan norma syari’at dijadikan sumber pembentukan
hukum atau qanun anti korupsi. Prinsip yang ditawarkan Rani untuk dimasukkan
23Abdul Gani Isa, “Formalisasi Syari’at Islam dan Perwujudannya dalam Sistem Hukum
Indonesia”, Disertasi, (Banda Aceh: Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, 2012).
26
dalam qanun antara lain adalah prinsip amanah, larangan memakan harta secara
batil, larangan mengambil hak orang lain, saling menolong dalam berbuat baik
dan larangan menolong dalam berbuat jahat, menerima balasan ganjaran yang
sesuai dengan apa yang dikerjakan, dan larangan suap-menyuap. Karena
pembentukan qanun anti korupsi yang materi muatannya didasarkan pada prinsip-
prinsip syari’at, qanun tersebut mendapat tempat dalam sistem hukum nasional.
Dari penelitiannya Rani merekomendasikan bahwa penerapan sistem pemidanaan
terhadap tindakan korupsi perlu didasarkan pada prinsip syari’at yang diterapkan
bersamaan dengan hukuman yang telah diatur dalam sistem hukum nasional yaitu
undang-undang antikorupsi. Aceh perlu membentuk qanun antikorupsi, tetapi
tidak mengulang apa yang sudah diatur dalam hukum nasional tentang
antikorupsi.24 Persoalan yang belum dijawab adalah bagaimana menderivasikan
prinsip-prinsip di atas dalam peraturan perundang-undangan atau qanun yang akan
dirumuskan.
Jika Rani menjadikan prinsip dan norma syari’ah dalam pembentukan
qanun anti korupsi, maka Ridhwan Syah meneliti tentang Penghukuman dan
Perlindungan HAM dalam Hukum Pidana Islam. Penelitian ini memfokuskan diri
untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana penghukuman dan perlindungan
HAM dalam hukum pidana Islam. Dengan menggunakan pendekatan normatif-
filosofis dan normatif-komparatif tersebut ditemukan bahwa: pertama, HAM pada
hakikatnya adalah fitrah yang melekat pada setiap manusia, karena itu tidak bisa
24Faisal A. Rani, “Pembentukan Qanun Anti Korupsi Perspektif Prinsip dan Norma
Syari’ah”, hasil penelitian tidak dipublikasikan, (Banda Aceh: Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi NAD-Nias, 2006), h 15-25.
27
dicabut dan dikurangi. Hukum Islam menghendaki adanya perlindungan HAM
pelaku, korban, dan masyarakat secara seimbang. Terdapat 4 (empat) bentuk
ancaman hukuman dalam hukum pidana sekuler, yaitu penjara (bentuk hukuman
utama), mati, pencabutan hak, dan denda. Sedangkan dalam Hukum pidana Islam
dikenal 6 (enam) bentuk hukuman yaitu dera (bentuk hukuman utama), amputasi,
mati, qisas-diyat, penjara, dan denda atau kerja sosial. Kedua, jika dibandingkan
antara hukuman penjara dan dera, maka hukuman penjara lebih kejam dan lebih
tidak manusiawi. Dikatakan kejam karena mencabut hak yang paling esensial
terpidana yaitu kebebasan. Dikatakan tidak manusiawi, karena memisahkan
terpidana dari pekerjaan dan keluarganya. Dengan demikian, hukuman tersebut
bertentangan dengan HAM. Sementara pelaksanaan dera di depan umum
memberikan rasa malu bagi terpidana dan keluarganya sebagaimana hukuman
penjara. Ketiga, untuk melindungi HAM terpidana, maka dalam pelaksanaan
hukuman tidak boleh dilakukan sewenang-wenang, tidak melebihi kesalahan
terpidana, dan tidak boleh menimbulkan akibat fatal bagi orang lain. Wewenang
menjalankan hukuman dilaksanakan oleh negara setelah dokter menyatakan
bahwa yang bersangkutan sehat. Begitu juga dengan hukuman amputasi dan
hukuman mati, keduanya juga bertujuan untuk melindungi HAM. Oleh karena itu,
penghukuman dalam hukum pidana Islam bertujuan untuk memenuhi rasa
keadilan terhadap terpidana, korban dan masyarakat, menjadi sarana taubat bagi
pelaku kejahatan, bahkan dapat menghapus dosanya di akhirat. Penulis
membuktikan bahwa hukuman fisik dalam hukum pidana Islam bukan merupakan
hukuman yang kejam, manusiawi, dan tidak bertentangan dengan HAM.
28
Sebaliknya, melindungi HAM terpidana, seimbang dengan perlindungannya
terhadap HAM korban dan masyarakat. Sedangkan hukuman penjara dalam
hukum pidana sekuler lebih kejam, tidak manusiawi, dan melanggar HAM, serta
perlindungan terhadap HAM terpidana kurang seimbang dengan perlindungannya
terhadap HAM korban dan masyarakat. Dengan demikian, hukuman fisik dalam
hukum pidana Islam lebih layak diterapkan dalam konteks negara bangsa yang
demokratis. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka anggapan yang menyatakan
bahwa hukum pidana Islam kejam, tidak manusiawi, dan melanggar HAM telah
dilemahkan, sekaligus juga melemahkan anggapan bahwa hukuman penjara dalam
pidana sekuler lebih manusiawi dan melindungi HAM.25
Model penelitian preskriptif terbaru tentang hukum Islam yang ditemukan
peneliti adalah penelitian Ali tentang Hubungan al-Qur’an dan Hadis; Kajian
Metodologis terhadap Hukuman Rajam. Pertanyaan pokok yang diajukan dalam
disertasi Ali tersebut adalah bagaimana hubungan al-Qur’an dan Hadis dalam
konteks hukuman rajam. Obyek yang dikaji Ali adalah dalil fikih, yaitu ayat dan
hadis tentang rajam. Melalui pendekatan multidisipliner,26 Ali menemukan
bahwa: (1) rajam yang dilakukan Nabi adalah sunnah yang berlaku berbatas
wilayah dan waktu, tidak dimaksudkan berlaku sepanjang waktu dan tempat. (2)
Kedudukan hadis atau sunnah adalah sebagai praktik pertama al-Qur’an untuk
masyarakat Arab abad VII M. Karena itu, kesahihan hadis tentang rajam juga
berlaku berbatas waktu. Artinya, sanad dan matan hadis-hadis rajam adalah sahih
25Ridhwan Syah, “Penghukuman dan Perlindungan HAM dalam Hukum Pidana Islam”,
Disertasi, (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2012). 26Ali, “Hubungan Al-Qur’an dan Hadis; Kajian Metodologis terhadap Hukuman Rajam”,
Disertasi, (Banda Aceh: Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, 2014), h. 13 dan 30-31.
29
dan dipastikan berasal dari Nabi Muhammad. Namun demikian, jika ukurannya
adalah semangat umum al-Qur’an sebagai pembaru, termasuk terhadap berbagai
bentuk hukuman yang dinilai tidak layak untuk dipakai, maka hadis-hadis rajam
tidak sahih untuk diamalkan. Dengan demikian, harus dibedakan antara sahih
keberadaan dan sahih untuk hujjah.27
Berdasarkan telaah terhadap beberapa penelitian terdahulu yang disebut di
atas menunjukan bahwa kajian hukum Islam atau syari’at Islam di Aceh
didominasi oleh kecenderungan model penelitian deskriptif ketimbang model
penelitian preskriptif. Model penelitian preskriptif tentang syari’at Islam di Aceh
mengangkat isu pada dataran penggalian norma dan prinsip syari’at (hukum
Islam), hubungan al-Qur’an dan Hadis tentang hukuman rajam, serta kaitan salah
satu bentuk hukuman dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Selanjutnya, peneliti juga menemukan beberapa penelitian terdahulu
tentang Iran. Perhatian para peneliti tentang Iran lebih banyak kepada isu-isu
politik. Salah satunya adalah Islam and Democracy yang ditulis oleh John L.
Esposito dan John O. Voll. Tulisan tersebut fokus mengkaji keterkaitan antara
pemerintahan Iran pasca-revolusi dan demokrasi. Hasil kajian Esposito dan Voll
adalah bahwa Iran mewakili eksperimen penting dalam upaya menciptakan negara
agama yang modern dengan struktur politik yang berbeda dengan praktik
demokrasi di Barat. Dalam kaitan dengan isu-isu dasar demokrasi dan Republik
Islam, ada penegasan yang berkesinambungan atas pentingnya partisipasi rakyat,
konsensus, dan kebebasan. Meskipun praktik aktual republik ini terbuka bagi
27Ibid., h. 262-263.
30
kritik tajam, namun tingginya tingkat partisipasi rakyat di negara ini patut dicatat.
Di kawasan teluk Persia, dalam pengamatan para ahli, banyak orang percaya
bahwa pengalaman Iran membuktikan kesesuaian pemerintahan perwakilan
dengan nilai-nilai tradisional yang dihormati. Ironisnya, kerewelan Barat soal
hijab cenderung mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat Iran secara umum
lebih terbuka dan liberal dibandingkan para tetangga mereka di kawasan Teluk.
Pengalaman Iran tidak memberikan jawaban pasti bagi persoalan hubungan antara
Islam dan demokrasi. Karena bagi sebagian orang, pengalaman Iran menegaskan
kemungkinan untuk menciptakan suatu demokrasi Islam. Sementara bagi sebagian
lainnya, hanya menegaskan watak otoriter pranata-pranata dan praktik politik
Muslim.28
Dalam satu dekade terakhir, ditemukan beberapa peneliti yang menaruh
perhatian tentang isu hukum di Iran, baik model penelitian deskriptif maupun
preskriptif. Model penelitian deskriptif dengan pendekatan gender dan hukum
internasional serta isu hukum Iran dan diskriminasi terhadap perempuan di
antaranya adalah Muhammad Taqi Rafiei, dalam penelitiannya A Critical Study of
the Effect of Gender on Prohibition of Women Employment in Iranian Law. Rafiei
memfokuskan kajiannya pada diskriminasi terhadap pekerja perempuan dalam
beberapa produk hukum Iran dan mengkritik dominasi pendekatan fikih dalam
beberapa peraturan perundang-undangan Iran dengan menggunakan standar
hukum internasional. Hasil penelitian Rafiei menemukan bahwa undang-undang
Iran masih melarang perempuan untuk menjadi hakim dan memperoleh posisi
28John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and Democracy, terj. Rahmani Astuti,
(Bandung: Mizan, 1999).
31
penting dalam politik, pemerintahan, dan kemiliteran, kecuali bidang kesehatan
dan pengobatan. Demikian dengan undang-undang tenaga kerjapun masih
membatasi dan melarang perempuan untuk bekerja di luar rumah tanpa izin
suami. Larangan tersebut didasarkan pada ayat-ayat dan hadis yang melarang
perempuan berperan dan menduduki posisi atau profesi sebagaimana disebutkan.
Padahal ayat-ayat dan hadis yang dijadikan rujukan tidak dapat mengarah pada
kesimpulkan yang dimaksud. Hal tersebut berkaitan dengan pengaruh dan
pemahaman otoritas agama yang eksklusif dimana kepemimpinan dipandang
tersebut hanya kompenten untuk laki-laki. Di sisi lain, dapat ditemukan beberapa
ahli hukum Islam kontemporer yang berpendapat bahwa perempuan berhak
menduduki posisi di ranah politik pemerintahan, kehakiman, dan militer, tetapi
mereka hanya suara minoritas di Iran. Maka dari itu, berdasarkan otoritas agama
dan sistem tata negara Iran, perempuan tetap tidak memperoleh hak-haknya atau
mengalami diskriminasi yang berbasis gender. Kondisi demikian sebenarnya
bertentangan dengan standar hukum internasional yang sudah diratifikasi oleh
pemerintah Iran sendiri. Maka dari itu, untuk mengembalikan hak-hak perempuan
yang mengalami diskriminasi, penulis merekomendasikan untuk dilakukan
langkah-langkah reformasi terhadap sistem tata negara, peraturan perundang-
undangan, dan tafsir agama yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada
posisi setara, sebagaimana yang dipahami oleh ulama Iran kontemporer dan
hukum internasional. Dengan demikian, perempuan Iran berhak menjadi presiden,
hakim dan anggota wilāyat al-faqīh. Reformasi dimaksud juga meliputi hukum
keluarga Iran, yakni KUHPerdata Pasal 18 tahun 1974 tentang Undang-undang
32
Perlindungan Keluarga. Selain itu, juga terdapat berbagai hambatan lain seperti
dari aspek adat dan budaya. Maka dari itu, perlu dipersiapkan jalan bagi
penerapan peraturan perundang-undangan Iran dalam mengurangi diskriminasi
terhadap perempuan, yang di antaranya adalah melatih kaum perempuan tentang
peraturan dan hukum yang berkaitan dengan hak-hak mereka sebagai warga
negara. Pada intinya penelitian ini ingin mengevaluasi kesesuaian antara peraturan
perundang-undangan Iran dengan hukum internasional, termasuk beberapa
konvensi internasional yang berkaitkan dengan kesetaraan gender.29 Penelitian ini
memiliki kecenderungan untuk menelaah substansi (materi) hukum berbagai
produk perundang-undangan di Iran.
Model penelitian dengan isu penerapan atau penegakan hukum juga
dilakukan oleh Ciprian Masile Maftei dalam The Sanctions of the Islamic
Criminal Law Aspects Regarding Penalties of the Islamic Criminal Law of the
Islamic Republic of Iran: Religion and Tradition vs Observing Human Rights.
Maftei menemukan bahwa penerapan hukum pidana Islam sebagai sebuah sistem
hukum yang bersumber pada al-Qur’an dalam praktiknya terdapat beberapa
kejanggalan atau pertentangan dengan kondisi aktual dan demokrasi, yang di
antaranya berkaitan dengan pelestarian hidup manusia dan hartanya yang menjadi
prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang perlu diperhatikan. Maftei
merekomendasikan agar penerapan hukum pidana Islam di Iran hari ini dan ke
depan memungkinkan untuk diklasifikasikan dengan merujuk kepada hukum yang
aplikatif bagi perempuan dan kaum minoritas, sinergisasi antara hukum Islam dan
29Muhammad Taqi Rafiei, “A Critical study of The Effect of Gender on Prohibition of
Women Employment in Iranian Law”, dalam Eroupean Journal of Social Sciences, Vol. 25, No.
3, 2011.
33
sistem hukum demokrasi, penggalian hak asasi manusia dalam hukum Islam, dan
hubungan antara hukum Islam dan konteks demokrasi.30 Dalam penelitiannya,
Maftei cenderung mengangkat isu penerapan hukum pidana Islam dan demokrasi
dengan pendekatan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan hukum internasional.
Model penelitian yang sama dengan pendekatan yang berbeda dilakukan
oleh Nadernejad dan Mohsen dalam The Developments in the Legal System of the
Press in Iran from Beginning in 1906 to Domination of Reza-Khan in 1921.
Dengan menggunakan pendekatan sejarah, Nadernejad dan Mohsen mengkaji
tentang proses historis kodifikasi dan perkembangan historis yang berkaitan
dengan awal perumusan dan pelaksanaan hukum pers di Iran sejak tahun 1906-
1921 M. Kajian Nadernejad dan Mohsen difokuskan pada hak dan prosedur
penerbitan media massa, serta dinamika sosial, politik, dan sejarah kebudayaan
Iran. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebelum Iran melakukan perubahan
revolusioner terhadap konstitusi negara, Iran hanya memiliki 10 (sepuluh) media
cetak yang beredar di tengah masyarakat. Akan tetapi, belum 1 (satu) tahun pasca
perubahan konstitusi yang diikuti oleh diterbitkannya Undang-undang Pers tahun
1917, pertumbuhan dan perkembangan media massa di Iran sangat pesat. Lebih
dari 83 koran dan majalah diterbitkan, 30 di antaranya beredar di kota Taheran.
Fenomena ini menunjukkan bahwa konfigurasi politik dan dinamika sosial
mempengaruhi produk hukum sebuah negara, termasuk hukum tentang pers.
Semakin demokratis sebuah sistem politik dan kekuasaan, maka semakin
demokratis pula produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga negara, termasuk
30Ciprian Masile Maftei, “The Sanctions of The Islamic Criminal Law Aspects Regarding
Penalties of the Islamic Criminal Law of the Islamic Republic of Iran: Religion and Tradition vs
Observing Human Rights”, (t.t.: Carentu Juridic, 2010).
34
hukum pers berikut dinamika sosial-budaya masyarakatnya. Hukum yang
menjamin kebebasan pers merupakan hasil dari politik dan kehidupan sosial yang
demokratis. Dalam iklim yang demikian akan menumbuh-suburkan lahirnya
media massa. Sebaliknya, pada era di mana sistem politik yang otoriter akan
melahirkan produk hukum pers yang memperketat syarat dan prosedur penerbitan
pers, sehingga akan mematikan perkembangan pers baik secara kuantitatif
maupun kualitatif.31 Dengan demikian, penelitian Nadernejad dan Mohsen ini
menfokuskan diri pada isu sejarah hukum pers di Iran.
Karoubi dan Akhondi dalam How Does Iranian's Legal System Protect
Human Vulnerability and Personal Integrity in Medical Research mengangkat isu
perlindungan hukum terhadap kelompok rentan dan integritas pribadi dalam
penelitian kedokteran. Sementara data penelitian ini diperoleh dengan
mempelajari dokumen internasional yang dikeluarkan UNESCO. Tujuan
penelitian ini ialah untuk menguji signifikansi prinsip-prinsip respektif terhadap
kelompok rentan dan integritas pribadi dalam penelitian kedokteran. Maka dari
itu, penelitian yang dimaksud memfokuskan pada analisa ketegangan antara
prinsip menghormati kelompok rentan, integritas pribadi, dan kepentingan ilmu
pengetahuan medis. Hasil penelitian ini ialah menunjukkan bahwa dalam
menerapkan ilmu pengetahuan ilmiah dan praktik kedokteran yang meniscayakan
adanya perhitungan dan perhatian kepada individu dan kelompok yang rentan,
termasuk perlindungan dan penghormatan terhadap integritas pribadi. Sedangkan
analisis yang dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung di
31Ghafourian Nadernejad dan Muhammad Mohsen, “The Development in The Legal
System of The Press in Iran from Beginning in 1906 to Domination of Reza-Khan in 1921”, dalam
European Journal of Social Sciences, Vol. 23, No. 2, 2011.
35
dalam sistem hukum di Iran. Semua itu untuk melindungi subyek dan integritas
pribadi dari kekerasan. Maka dari itu, pemerintah Iran perlu memasukkan prinsip-
prinsip yang terdapat dalam hukum internasional ke dalam peraturan perundang-
undangan negara, karena prinsip-prinsip tersebut tidak bertentangan dengan
sumber hukum negara Iran.32 Dengan demikian, penting adanya regulasi negara
yang mengatur tentang eksperimen, penelitian, dan tindakan medis lainnya untuk
mencegah timbulnya bahaya epidemi yang akan menimpa pasien (subyek) dan
orang banyak. Isu penting yang harus menjadi perhatian adalah isu sosial dan
etika. Semua itu untuk melindungi subyek dan integritas pribadi dari kekerasan.
Selanjutnya, model penelitian deskriptif dengan perspektif DUHAM dan
isu penerapan asas legalitas hukum pidana Islam terhadap kejahatan di Iran
dilakukan oleh Mohammad Ja’far Habibzadeh dalam penelitiannya yang bertajuk
Legality Principles of Crime and Punishment in Iranian Legal System.
Habibzadeh memfokuskan penelitiannya tentang bagaimana prinsip legalitas
kejahatan dan hukuman dalam sistem hukum Iran. Hasil penelitian Habibzadeh
menyimpulkan bahwa prinsip legalitas kejahatan dan hukuman mengacu kepada
fakta bahwa seseorang tidak boleh dihukum terhadap kejahatan yang dilakukan
sebelum adanya peraturan perundang-undangan yang melarang dan menentukan
hukuman tindakan tersebut. Tujuan prinsip legalitas yakni untuk melindungi hak,
kebebasan individu, dan sosial dari kesewenang-wenangan antara masyarakat dan
pemerintah atau negara. Oleh karena itu, seorang hakim pidana tidak boleh
32Muhammad Taghi Karoubi, “How Does Iranian’s Legal System Protect Human
Vulnerability and Personal Integrity in Medical Research”, dalam Avicenna Journal of Medical
Biotechnology, Vol.3, No. 2, 2011.
36
memutuskan suatu perkara kejahatan atau menjatuhkan hukuman kepada pelaku
kecuali yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jika sebuah tindakan yang
dilakukan seseorang terkait dengan masalah moral atau tindakan tersebut tidak
diterima oleh masyarakat secara sosial, hakim juga tidak boleh menghukum
pelaku bila larangan itu tidak disebutkan dalam undang-undang karena yang
memiliki hak dan otoritas untuk menentukan sebuah tindakan adalah kejahatan
atau tidak bermoral serta menetapkan hukumannya adalah lembaga legislatif
(pembuat undang-undang atau hukum). Dalam sistem hukum Iran, sebelum dan
sesudah revolusi Islam, konstitusi atau produk hukum Iran menekankan secara
eksplisit tentang ketaatan terhadap prinsip legalitas tersebut. Apabila seorang
hakim menangani suatu kasus (terdakwa) dan tidak ditemukan teks hukum tentang
kasus terkait yang belum diatur dalam undang-undang, maka hakim pidana dalam
memutuskan ketetapan bahwa harus tidak bersalah kepada terdakwa. Hal
demikian terjadi akibat kesalahpahaman terhadap isi konstitusi yang mengatur
tentang hukum acara pidana.
Dalam beberapa tahun terakhir, hakim pengadilan agama, pengadilan
negeri dan pengadilan umum yang menangani suatu kasus pidana yang tidak
memiliki rujukannya dalam teks undang-undang atau undang-undang diam
tentang kasus itu, maka mereka merujuk kepada kitab-kitab fikih dan fatwa para
ulama untuk menetapkan bentuk tindak pidana dan hukuman yang akan
dijatuhkan kepada terdakwa. Persoalannya adalah apakah menghukum seseorang
yang melakukan tindak pidana yang tidak atau belum disebutkan dalam undang-
undang bertentangan dengan asas legalitas. Sedangkan, pada sisi lain,
37
membebaskan terdakwa atau pelaku kejahatan karena tidak atau belum ada
hukumnya, juga dapat melanggar hak asasi korban kejahatan dan mengacaukan
ketertiban umum. Untuk keluar dari problematika demikian, maka perlu reformasi
hukum material dan hukum formal (hukum acara pidana) agar konsisten dalam
menjalankan amanah konstitusi tentang prinsip legalitas dalam makna substantif,
bukan semata-mata formal legalistik. Meskipun demikian, tetap harus
memperhatikan tujuan nyata dari pembentukan kekuasaan kehakiman, yaitu
pembentukan prosedur terpadu antar lembaga pengadilan. Di samping itu, juga
harus sesuai dengan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang sudah
diratifikasi pemerintah Iran pada tahun 1957.33 Penelitian Mohammad Ja’far ini
merupakan model penelitian deskriptif dengan memilih isu asas legalitas sebagai
fokus kajian.
Penelitian hukum Islam model preskriptif adalah penelitian Ramin
Moschtaghi dalam Rule of Law in Iran, yang meneliti tentang dilema antara
signifikansi ilmu pengetahuan tentang prinsip pengaturan peraturan perundang-
undangan dan posisi wilāyat al-faqīh dalam konstitusi Iran. Hasil temuannya
menunjukkan bahwa peran dan posisi tokoh agama Islam yang tergabung dalam
lembaga wilāyat al-faqīh melebihi semua keputusan lembaga pemerintahan lain di
Iran, terutama dalam menentukan sesuai tidaknya segala sesuatu dengan syari’at
Islam. Karena itu, prinsip wilāyat al-faqīh dan penolakannya terhadap suatu kebijakan
atau peraturan memiliki dasar konstitusional serta dapat menggantikan semua temuan
dalam undang-undang yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Meskipun, penerapan
33Mohammad Ja’far Habibzadeh, “Legality Principles of Crime and Punishment in
Iranian Legal System”, Journal Educational Research and Review, Vol. 1, No. 3, 2006.
38
substansi hukum Islam mengalami defisit secara struktural, terutama keadilan antara
warga negara Iran dan perlindungan terhadap HAM.34
Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas, dapat dipetakan pada
beberapa persoalan, yakni bagaimana dinamika, kecenderungan, pendekatan, dan
wilayah penelitian yang sudah dilakukan oleh para sarjana terdahulu. Penelitian
tentang Aceh sebagaimana yang diuraikan di atas memiliki kecenderungan pada
model penelitian hukum deskriptif. Model penelitian ini mencoba untuk melihat
hukum Islam sebagai fenomena sosial yang berinteraksi dengan fenomena sosial
lainnya, baik politik, sosial-budaya, sistem pemerintahan, maupun sejarah.35 Pada
penelitian model ini dapat dilihat dari pendekatan yang digunakan, seperti Haedar
dengan pendekatan sosiologi, Nway dengan pendekatan sejarahnya, dan termasuk
Sirajuddin dengan pendekatan sosio-legal-historis. Sementara penelitian hukum
Islam model preskriptif sangat minim dilakukan. Penelitian model kedua ini
mencoba untuk menggali norma-norma hukum Islam yang dipandang ideal untuk
mengatur tingkah laku dan tatanan kehidupan masyarakat. Dalam penelitian
model ini dikaji tentang bagaimana seharusnya norma-norma hukum disusun dan
dirumuskan agar dapat mengatur dan menciptakan ketertiban dan kenyamanan
sosial masyarakat. Dilihat dari segi wilayah penelitian hukum, maka kebanyakan
penelitian tersebut cenderung memfokuskan diri pada penelitian pada level
penerapan hukum, ketimbang asas, filsafat, dan substansi hukum.
Selanjutnya penelitian tentang Iran dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)
tema, yaitu politik, Islam dan demokrasi, serta sistem hukum Islam di Iran. Tema
34Ramin Moschtaghi, “Role of Law in Iran”, dalam www.wiki.fu-
berlin.de/display/Sbprojectrole /Home, 2011, diakses tanggal 10 Maret 2012. 35Lebih lanjut baca Syamsul., Studi…, h. 36-37.
39
sistem hukum Islam ini dapat diderivasi lagi menjadi posisi wilāyat al-faqīh
dalam sistem hukum Iran (hukum tata negara), hukum pers, problem hukum dan
etika dalam penelitian medis, serta hukum pidana dan penerapannya di Iran.
Berkaitan dengan studi hukum pidana Islam di Iran, sejumlah penelitian terdahulu
memiliki kecenderungan pada model penelitian hukum deskriptif. Dari segi
wilayah kajian, penelitian hukum pidana Islam36 di atas memiliki kecenderungan
besar pada studi penerapan hukum yang meliputi: studi terhadap penerapan asas
hukum oleh lembaga hukum (Habib Zadeh) dan materi hukum atau formalisasi
fikih ke dalam peraturan perundang-undangan negara (Maftei dan Rafiei). Dalam
studi hukum pidana Islam Iran di atas, penerapan hukum pidana dan perumusan
substansi hukumnya dikaitkan dengan isu-isu kesetaraan gender, Hak Asasi
Manusia (HAM), kaum minoritas, hukum dan konvensi internasional, serta
demokrasi.
Dengan demikian, penelitian ini berbeda dengan beberapa kajian terdahulu
yakni dengan fokus mengkaji tentang asas keberlakuan hukum pidana, formulasi
delik, dan konsep pemidanaan. Secara spesifik konsep pemidanaan yang menjadi
fokus penelitian ini meliputi bentuk, kadar, batas, dan sifat pidana yang
terkandung dalam KUHP RII dan QAHJ. Selanjutnya dikaji pula apa kontribusi
yang dapat diberikan studi ini dalam upaya perbaikan QAHJ, khususnya dan
pembaruan hukum pidana Indonesia pada umumnya.
G. Metode dan Pendekatan Penelitian
36Lihat lebih rinci Cik Hasan Basri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata
Sosial, Cet. I, (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), h. 75-156. Lihat juga Cik Hasan Basri, Metode
Penelitian Fiqh I, Cet. I, (Jakarta: Grafindo Persada, 1999), bab I-III.
40
Penelitian ini merupakan studi normatif-yuridis tentang asas keberlakuan,
formulasi delik, dan konsep pemidanaan dalam KUHP RII dan QAHJ. Dalam
menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini
menggunakan 2 (dua) pendekatan yaitu statute approach (pendekatan peraturan
perundang-undangan) dan conceptual approach (pendekatan konseptual).37
Pendekatan peraturan perundang-undangan yang digunakan di dalam
penelitian ini diperlukan untuk mengkaji substansi atau materi hukum yang
terdapat dalam KUHP RII dan QAHJ serta kaitannya dengan hierarki peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Iran dan Indonesia untuk menemukan
sejauhmana asas keberlakuan hukum pidana dan konsep pemidanaan yang
terkandung di dalam kedua peraturan perundang-undangan pidana di atas
memiliki daya keberlakuan yuridis. Maka dari itu, untuk menemukannya perlu
menganalisa kesesuaian KUHP RII dan QAHJ dengan hierarki dan asas-asas
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Iran dan Indonesia.
Sementara pendekatan konseptual yang digunakan dalam penelitian
dimaksudkan untuk mengkaji konsep yang berkaitan dengan asas keberlakuan
hukum pidana, formulasi delik, dan konsep pemidanaan yang terkandung dalam
KUHP RII dan QAHJ.
1. Bahan Hukum
37Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. I, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h.
96-97 dan 136-137; Lihat juga Jonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Cet. II, (Malang: Bayu Media Publishing, 2006), Bab III.
41
Karena termasuk penelitian hukum normatif, maka bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah bahan hukum38 yang diperoleh melalui kajian pustaka,
yang dikelompokkan menjadi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer terdiri dari konstitusi kedua negara dan KUHP RII serta
QAHJ. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah literatur hukum atau laporan
ilmiah para ahli pidana, termasuk jurnal hukum (hukum Islam), laporan ilmiah
para ahli pidana Islam, tesis, disertasi, dan kamus hukum yang materinya
berkaitan dengan masalah penelitian.
Selain bahan hukum, penelitian ini juga membutuhkan bahan-bahan non-
hukum, yzitu al-Qur’an, kitab-kitab hadis, kitab tafsir, kitab fikih jinayat, filsafat
hukum Islam, kitab usul fikih, dan sebagainya yang masih relevan dan membantu
untuk memahami dan menganalisis masalah yang diteliti.
2. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum
Metode yang ditempuh untuk mengumpulkan bahan hukum dalam
penelitian ialah dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan
bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagaimana telah disebutkan di atas.
Semua bahan hukum yang berhasil dikumpulkan, diseleksi, diklasifikasi, dan
disistematisasikan sesuai dengan masalah dan ruang lingkup penelitian yang
sudah ditentukan, kemudian semua hasil pengolahan bahan hukum tersebut akan
dianalisis.
3. Metode Analisis Bahan Hukum
38Peter de Cruz, Comparative Law in The Changing World, Ed. II, (London: Cavendis
Publishing Limited, 1999), h. 28 dan 46.
42
Semua bahan hukum yang telah dikumpulkan dan diolah melalui tahap-
tahap sebagaimana disebutkan di atas kemudian dianalisis dengan menggunakan 3
(tiga) metode analisis, yaitu metode analisis dialektis, analisis deskriptif, dan
analisis komparatif. Metode analisis dialektis digunakan untuk menganalisis
konsep asas keberlakuan hukum pidana Islam di Iran dan Aceh. Metode ini
dioperasionalkan dengan mempertanyakan secara terus-menerus data dan analisis
sebelumnya sampai tidak bisa bertanya lagi dengan maksud agar menemukan
jawaban komprehensif. Selanjutnya, metode analisis deskriptif digunakan untuk
menganalisis kedua konsep pemidanaan dalam KUHP RII dan QAHJ dengan cara
memeriksa dan mengidentifikasi isi kedua peraturan perundang-undangan di atas
secara terperinci. Karena penelitian ini termasuk jenis studi komparatif, maka
digunakan metode analisis komparatif.39 Metode analisis terakhir ini digunakan
untuk membandingkan asas keberlakuan hukum pidana yang dianut kedua negara,
formulasi delik, konsep pemidanaan, dan untuk menemukan common core yang
terkandung dalam 2 (dua) peraturan perundang-undangan pidana Islam. Proses
analisis dilakukan melalui tahap deskripsi, identifikasi, dan eksplanasi.40 Pada
tahap deskripsi akan diuraikan secara rinci materi hukum yang terkandung dalam
2 (dua) peraturan perundang-undangan pidana Islam, khususnya berkaitan dengan
asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, dan konsep pemidanaannya.
Pada tahap identifikasi akan dikaji dan diklasifikasi perbedaan dan persamaan
kedua peraturan hukum yang berkaitan dengan aspek-aspek yang akan
diperbandingkan, yaitu asas keberlakuan, formulasi delik, dan konsep
39Ibid., h. 233-234. 40Ibid., h. 234. Baca juga penjelasan lebih rinci h., 235-238.
43
pemidanaan. Kemudian, pada tahap eksplanasi akan dilakukan untuk menjelaskan
kesamaan dan perbedaan antarkonsep yang terkandung di dalam kedua peraturan
perundang-undangan pidana yang menjadi bahan kajian dan fokus penelitian,
sehingga akan ditemukan common core antara kedua produk hukum tersebut.
Selain itu, dikaji pula apa kontribusi yang dapat diberikan bagi upaya pembaruan
QAHJ khususnya dan hukum pidana Indonesiapada umumnya, terutama yang
terkait dengan RUU KUHP. Setelah semua proses di atas dilakukan, kemudian
diambil kesimpulan sebagai hasil temuan penelitian ini.
H. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini terdiri dari enam bab, diawali dengan bab satu pendahuluan,
yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, keaslian
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode dan
pendekatan penelitian, serta sistematika pembahasan. Bab satu ini merupakan
landasan bagi pembahasan bab-bab berikutnya.
Pada bab kedua akan dibicarakan tentang landasan teori sebagai landasan
penelitian ini. Dalam bagian ini akan dikemukakan tentang teori-teori yang
berkaitan dengan asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik dan konsep
pemidanaan. Secara berurutan, uraian bab ini meliputi visi dan misi hukum Islam,
hakikat pemidanaan, asas hukum pidana, kaidah-kaidah pemidanaan, tujuan
pemidanaan, formulasi jenis delik dalam hukum pidana Islam, bentuk, kadar,
batas, dan sifat pidana, serta teknik pemberian pidana.
44
Pada bab ketiga akan dibahas tentang asas dan konsep pemidanaan dalam
KUHP RII dan QAHJ. Pembahasan tersebut terdiri dari deskripsi substansi atau
isi KUHP RII yang meliputi tentang asas keberlakuan hukum pidana, formulasi
delik, serta bentuk, kadar, batas, dan sifat pidana. Lalu, dilanjutkan dengan
deskripsi substansi atau isi QAHJ, yang meliputi penjelasan tentang asas
keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, serta bentuk, kadar, batas, sifat, dan
kesetaraan antarpidana.
Analisa dialektis dan komparatif tentang asas keberlakuan hukum pidana
dan konsep pemidanaan yang terdapat dalam KUHP RII dan QAHJ akan dikaji
dalam bab keempat. Hal-hal yang akan dianalisis dan dibandingkan dalam bagian
ini adalah asas keberlakuan hukum pidana, formulasi delik, konsep pemidanaan,
dan kesetaraan antar bentuk pidana.
Dalam pembahasan bab lima akan dijelaskan kontribusi hukum pidana
Islam tentang asas keberlakuan hukum pidana dan konsep pemidanaan dalam
upaya pembaruan hukum pidana Indonesia. Pembahasanya meliputi latar belakang
pembaruan, deskripsi substansi atau isi KUHP, RUU KUHP, dan kontribusi
kajian ini bagi pembaruan KUHP nasional.
Berdasarkan kajian dan diskusi dalam bab-bab sebelumnya, maka akan
dirumuskan kesimpulan dan rekomendasi dalam bab keenam yaitu pada bagian
penutup. Penutup akan memuat hasil temuan dan rekomendasi bagi penelitian
lebih lanjut.