aspek yuridis penegakan hukum undang-undang …
TRANSCRIPT
ASPEK YURIDIS PENEGAKAN HUKUM UNDANG-UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
OLEH :
COK ISTRI ANOM PEMAYUN, SH.,MH.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
ii
ii
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat rahmat-Nya makalah yang berjudul “Aspek Yuridis
Penegakan Hukum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” ini dapat penulis
selesaikan tepat pada waktunya. Di dalam penyusunan makalah ini, penulis
merasa bahwa banyak hambatan yang penulis hadapi. Namun, berkat
dukungan dari berbagai pihak, hambatan-hambatan tersebut dapat penulis
atasi sedikit demi sedikit.
Di samping itu, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sebuah kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mohon maaf apabila ada
kesalahan-kesalahan di dalam penyusunan makalah ini. Demikian pula
halnya, penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
konstruktif demi penyempurnaan makalah ini untuk selanjutnya dapat
menjadi lebih baik dan mempunyai potensi untuk dikembangkan.
Sebagai akhir kata, dengan selesainya makalah ini, maka seluruh isi
makalah ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan penulis
harapkan mempunyai suatu manfaat bagi semua pihak yang membaca
maklah ini.
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.
Denpasar, 2 Desember 2016
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar belakang masalah ............................................................ 1
1.2 Rumusan masalah .................................................................... 3
1.3 Tinjauan pustaka ...................................................................... 3
1.4 Tujuan penulisan .................................................................... 6
1.4.1 Tujuan umum............................................................... 6
1.4.2 Tujuan khusus .............................................................. 6
1.5 Manfaat penulisan .................................................................... 7
1.5.1 Manfaat teoritis ............................................................ 7
1.5.2 Manfaat praktis ............................................................ 7
1.6 Metode penulisan .................................................................... 7
1.6.1 Pendekatan masalah ..................................................... 7
1.6.2 Sifat penelitian ............................................................. 7
1.6.3 Sumber data ................................................................. 8
1.6.4 Teknik pengumpulan data ........................................... 8
1.6.5 Teknik pengolahan dan analisis data ........................... 8
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 10
2.1 Penegakan Hukum Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga ........................................... 10
iv
2.2 Upaya Untuk Menanggulangi Terjadinya
Kekerasan Dalam Rumah Tangga ............................................ ...20
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 25
3.1 Kesimpulan .............................................................................. 25
3.2 Saran ........................................................................................ 26
DAFTAR BACAAN ...................................................................................... 27
v
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Sosiologi berasal dari kata latin socius yang berarti “kawan” dan
kata Yunani Logos yang berarti “kata” atau “bicara”. Jadi sosiologi berarti
bicara mengenai masyarakat, bagi Auguste Comte sosiologi merupakan
ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir
daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Comte berkata bahwa sosiologi
harus dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak kepada spekulasi-
spekulasi perihal keadaan masyarakat.1
Sedangkan sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan
yang mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala
sosial, dengan gejala-gejala sosial lain atau disebut juga sebagai ilmu yang
mempelajari bekerjanya hukum dalam masyarakat. Untuk memahami
bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum tersebut di dalam
masyarakat. Fungsi tersebut dapat diamati dari beberapa sudut pandang,
yaitu sebagai sosial kontrol,2 sebagai alat untuk mengubah masyarakat,
sebagai simbol, sebagai alat politik, maupun sebagai alat integrasi.
Rumah tangga merupakan salah satu bagian dari masyarakat. Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, Bab 1 Tentang Ketentuan Umum Pasal 2 disebutkan
1 Soerjono Soekanto, 2005, Sosiologi Suatu Pengantar Cet 38, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, hal. 3.
2 Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Bandung , Penerbit Angkasa, hal. 6.
2
bahwa lingkup rumah tangga meliputi suami, istri, anak, orang-orang yang
mempunyai hubungan dengan suami, istri, dan anak karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam
rumah tangga, dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut.
Berbicara mengenai rumah tangga, tidak akan bisa dihindari dari
pembahasan mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Tindakan kekerasan
dalam rumah tangga sebagai fakta sosial bukanlah hal yang baru dari
perspektif sosiologis masyarakat Indonesia. Persoalan bersifat universal,
sudah terjadi sejak lama dan masih berlanjut hingga kini. Kekerasan dalam
rumah tangga dapat terjadi pada rumah tangga siapapun tanpa pembedaan
budaya, agama, suku bangsa, dan umur pelaku maupun korbannya. Tindak
kekerasan dapat dilakukan oleh suami atau istri terhadap pasangan masing-
masing, atau terhadap anak-anak, anggota keluarga yang lain, dan terhadap
pembantu mereka secara berlainan maupun bersamaan.
Kekerasan dalam rumah tangga semakin meningkat dari tahun ke
tahun, kesadaran masyarakat dianggap semakin berkurang untuk
menghindari adanya kekerasan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor
pendorong dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang ini
bersifat menglobal tentang tuntutan perlunya penghapusan kekerasan
terhadap kaum perempuan dan anak, yang dipandang sebagai kelompok
yang paling rentan terhadap perilaku kekerasan.
3
Berdasarkan hal tersebut, untuk mengetahui bagaimana analisis
kekerasan rumah tangga dalam perspektif sosiologi hukum dan upaya untuk
menanggulangi adanya kekerasan dalam rumah tangga, penulis membuat
paper ini dengan judul ”Analisis Penegakan Hukum Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum”.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah penegakan hukum Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga?
2. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk menanggulangi
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga ?
1.3 Tinjauan pustaka
Menurut isi Pasal 1 angka (1) UU Nomor 23 Tahun 2004, kekerasan
dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dalam
angka (2) disebutkan bahwa penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
4
adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan isi Pasal 3
UU Nomor 23 Tahun 2004 dilaksanakan berdasarkan asas :
a. penghormatan hak asasi manusia ;
b. keadilan dan kesetaraan gender ;
c. nondiskriminasi ; dan
d. perlindungan korban.
Pada Pasal 4 diatur mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga bertujuan untuk :
a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga ;
b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga ;
c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga ; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Selanjutnya Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 bahwa tindak
kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dikatagorikan kedalam 4
(empat) macam yaitu :
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan
ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut
(menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai
5
dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak
seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah
penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan
harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-
nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari
kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa
selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
6
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini
adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.3
1.4 Tujuan penulisan
Dalam penulisan laporan ini tujuan yang ingin dicapai adalah :
1.4.1 Tujuan umum
Secara umum penulisan ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu
hukum, utamanya mengenai penegakan hukum penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga ditinjau dari perspektif sosiologi hukum.
1.4.2 Tujuan khusus
1. Untuk dapat mengetahui bagaimana penegakan hukum Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga ditinjau dari perspektif sosiologi hukum.
2. Untuk dapat mengetahui upaya apa yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
3 Kompas, 2006, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi.
Diambil pada tanggal 26 oktober 2006 dari http://kompas.com.
7
1.5 Manfaat penulisan
Adapun manfaat yang didapat dari penulisan laporan ini adalah :
1.5.1 Manfaat teoritis
Secara teoritis penulisan laporan ini bermanfaat untuk menambah
wawasan serta lebih mengerti dan memahami teori-teori yang didapat
selama mengikuti perkuliahan sosiologi hukum.
1.5.2 Manfaat praktis
Penulisan laporan ini dapat menambah referensi yang ada sehingga
dapat digunakan oleh semua pihak yang membutuhkan untuk memberikan
informasi tambahan yang berguna bagi pembaca dan dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang mempunyai permasalahan
mengenai kekerasan dalam rumah tangga.
1.6 Metode penulisan
1.6.1 Pendekatan masalah
Dalam penulisan laporan ini penulis mempergunakan pendekatan
secara yuridis. Pendekatan yuridis yaitu pendekatan yang berdasarkan atas
peraturan-peraturan hukum yang ada kaitannya dengan permasalahan yang
diangkat penulis.
1.6.2 Sifat penelitian
Sifat penelitian dalam laporan ini adalah Deskriptif secara umum
termasuk pula di dalamnya penelitian ilmu hukum yang bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau
8
kelompok tertentu untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu
gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.
1.6.3 Sumber data
Adapun sumber data yang digunakan dalam laporan ini adalah :
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung sebagai sumber
pertama dengan mengkaji peraturan perundang-undangan.
2. Data sekunder, yaitu suatu data yang bersumber dari penelitian
kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari
sumber pertamanya, melainkan dari data-data yang sudah
terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum.
1.6.4 Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis untuk
pembuatan laporan ini adalah teknik studi dokumen, yaitu teknik dalam
penelitian hukum yang menggunakan bahan-bahan hukum yang relevan
dengan permasalahan penelitian. 4
1.6.5 Teknik pengolahan dan analisis data
Pengolahan dan analisis data yang digunakan oleh penulis adalah
analisis data secara kualitatif dengan cara mengumpulkan data yang ada
dalam kenyataannya dengan menonjolkan permasalahan sehingga
memperoleh kesimpulan secara sistematis dari data tersebut. Analisis data
yang disajikan secara deskriptif analisis, yaitu menguraikan, menjelaskan
serta menggambarkan data yang didapat dan disajikan dengan
4 Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 181.
9
mengelompokkan data dan informasi yang sama menurut subaspek dan
selanjutnya melakukan interprestasi untuk memberi makna terhadap tiap
subaspek dan hubungannya satu sama lain
10
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penegakan Hukum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum
Jhon Galtung mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang
menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara
wajar.5 Hal itu tentu bertentangan dengan konsep HAM, terutama
menyangkut personal rights. KDRT merupakan pelanggaran terhadap
HAM, dalam hal ini hak asasi perempuan. Instrumen HAM Internasional
yang mengatur kedudukan perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan
masyarakat adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan disebut Konvensi Wanita atau Konvensi Cedaw yang
lahir pada tanggal 18 Desember 1979.
Selain melihat instrumen hukum Internasional, di Indonesia juga
terus berbenah memperbaiki sistem hukum agar lebih responsif gender,
salah satunya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Pengapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga selanjutnya
disebut UU PKDRT. KDRT yang selama ini dianggap hanya berada di
dalam wilayah privat, kini telah dijadikan sebagai suatu masalah publik.6
5 Abdullah Muzakkar, 2006, Media Massa dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Citra
Aditya Bhakti, Bandung, hal. 27.
6 Ester Lianawati, 2009, Tiada Keadilan Tanpa Kepedulian KDRT, Paradigma Indonesia,
Yogyakarta, hal. 2.
11
Perumusan norma atau kaidah di dalam UU PKDRT dituangkan
pada Pasal 5 sampai Pasal 9. Dalam Pasal 5 dinyatakan, setiap orang
dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lingkup
rumah tangganya dengan cara :
a. kekerasan fisik ;
b. Kekerasan psikis ;
c. kekerasan seksual ; atau
d. penelantaran rumah tangga.
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap
perempuan dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
a) Kekerasan fisik yaitu kekerasan fisik adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan
yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar,
memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang,
menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan
sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur,
muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
b) Kekerasan psikologis / emosional yaitu kekerasan psikologis atau
emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku
kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah
penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan
12
harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-
nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
c) Kekerasan seksual yaitu kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian
(menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan
hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak
memperhatikan kepuasan pihak istri.Kekerasan seksual berat, berupa
pertama, pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,
menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta
perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan
merasa dikendalikan. Kedua, pemaksaan hubungan seksual tanpa
persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki. Ketiga,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan
dan atau menyakitkan. Keempat, pemaksaan hubungan seksual dengan
orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu. Kelima,
terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi. Keenam, Tindakan
seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka,atau cedera. Selanjutnya kekerasan Seksual
Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar
verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non
verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan
lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban
bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan repitisi
13
kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan
seksual berat.
d) Kekerasan ekonomi yaitu Setiap orang dilarang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
1. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
2. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.7
Selanjutnya di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, kekerasan fisik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perubahan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Pasal 7 memuat
pernyataan bahwa, kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan
/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Sementara itu, dalam Pasal 8
dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c
meliputi : (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang
menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut ; (b) pemaksaan
7 Keumalahayati, ”Kekerasan Pada Istri Dalam Rumah Tangga Berdampak
Terhadap Kesehatan Reproduksi” makalah di akses tanggal 10 desember 2016, h. 14.
14
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu.
Dalam Pasal 9 dinyatakan, (1) Setiap orang dilarang menelantarkan
orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut ; (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Di dalam UU PKDRT juga dinyatakan bahwa tindak pidana
kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan
delik aduan (Pasal 51). Demikian juga, tindak pidana kekerasan psikis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan
(Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan (Pasal 53).
Melihat aturan hukum yang mengatur tentang PKDRT, maka secara
sosiologis, terjadinya KDRT disebabkan dari berbagai hal. Salah satunya
adalah domonasi pria dalam rumah tangga. Menurut Strauss A. Murray
mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan
keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
(marital violence) sebagai berikut:
15
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki yaitu bahwa Laki-laki dianggap
sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita,
sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi yaitu diskriminasi
dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja
mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan
ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan
kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak yaitu istri yang tidak bekerja,
menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika
terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan
menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak yaitu konsep wanita sebagai hak milik
bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki
untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban
wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan
sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar
menjadi tertib.
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki yaitu posisi wanita sebagai
istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga
16
penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang
lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi
hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam
konteks harmoni keluarga.
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa memperkenalkan hukum
ke dalam kehidupan sosial masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah
Undang-Undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah
Undang-Undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena
sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat
oleh masyarakat, yang disebut sebagai self regulation (Moore, 1983).
Moore juga mengatakan bahwa diantara aturan-aturan hukum yang
saling bertumpang tindih di dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut,
ada satu hukum yang sangat besar pengaruhnya yaitu hukum negara.
Namun, ini bukan berarti bahwa hukum negara menjadi satu-satunya hukum
yang paling ditaati. Dalam Socio-Legal Perspectives, sangat disadari bahwa
aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat sangat terkait erat dengan
budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat memberikan celah
terhadap banyaknya kasus tentang kekerasan terhadap perempuan, secara
khusus di dalam kehidupan rumah tangga dikarenakan himpitan hukum
negara dengan kentalnya budaya patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis
ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari
masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum
itu berada.
17
Hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang
yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut
oleh suatu masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-
rumusan hukum itu adalah budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan
apabila hukum yang dimunculkan adalah hukum yang tidak memberi
keadilan terhadap perempuan. Dalam hal ini, budaya menempatkan
perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan
hukum melegitimasinya.
Bila hukum sudah dibuat, maka berbagai persoalan dalam
masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah
dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai obyektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan
mempercayai bahwa hukum yang obyektif dan netral akan memberikan
keadilan bagi setiap warga masyarakat.
Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara
bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam
kenyataannya, terdapat hukum-hukum lain yang menjadi acuan berperilaku
yang justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan hukum itulah
yang mereka kenal, hidup dalam masyarakat, diwariskan secara turun-
temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sulit untuk
menjelaskan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada
hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu mengklaim diri
sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.
18
Frederich Von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan
tentang berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan
sepanjang waktu dan tempat. Menurut Savigny, masyarakat merupakan
kesatuan organis yang memiliki kesatuan keyakinan umum, yang disebutnya
jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian
dan keyakinan terhadap sesuatu. Menurut aliran ini, sumber hukum adalah
jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup
masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan
berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat. Undang-undang
dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak
masyarakat itu melalui negara.
Di dalam UU PKDRT, secara konseptual delik aduan merupakan
delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada
adanya inisiatif dari pihak korban. Dalam hal suatu tindak pidana
dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana aduan, maka pihak korban
atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk mempertimbangkan
apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada pihak
berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana.
Pengkualifikasian suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana
sebagai delik aduan, menunjukkan pendirian pembentuk undang-undang
Indonesia bahwa kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini lebih
bersifat pribadi dari pada publik.
Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam
rumah tangga sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak
19
aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu
urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah
publik, dan penegakan ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak
bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi sasaran
perlindungan hukum undang-undang ini.
Permasalahan yang muncul dari UU PKDRT adalah bahwa
keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan
kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat
yang muncul dari laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah
hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam.
Sebagian masyarakat masih menganggap kekerasan dalam rumah tangga
bukan perbuatan pidana, tetapi merupakan aib yang harus ditutupi. Dengan
demikian, baik korban sendiri maupun keluarga cenderung membiarkan
tindak kekerasan tersebut terjadi. Beberapa orang istri yang sudah tidak
tahan dengan keadaan tersebut memilih untuk bercerai, tetapi masih banyak
istri yang tetap bertahan meskipun selalu mengalami kekerasan.8
Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi
hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sangat sulit
untuk mencapai keberhasilan maksimal. Merujuk pada teori sistem
Friedman, faktor kesulitan penegakan hukum tersebut bersumber pada
komponen substansi hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di
dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan rumah tangga itu.
8 Wirjono Prodjodikoro, 1974, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco,
Jakarta, hal. 57.
20
Dengan perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
beserta permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan
tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru
akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap
tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri. Oleh karena itu, kembali
kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam
upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan
UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum
administrasi negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi
hukum administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah
upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah
yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti
kekerasan dalam rumah tangga.
2.2 Upaya Untuk Menanggulangi Terjadinya Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Konflik kekerasan dalam rumah tangga cenderung bersifat kontinu,
dimana bagi pelaku kekerasan sudah menjadi karakter dan dianggap sebagai
sesuatu yang wajar.9 Setiap perbuatan terhadap seorang perempuan dan
pihak yang tersubordinasi lainnya, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, ekonomi, dan atau psikologis,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
9 Fatahillah A. Syukur, 2011, Medisi Perkara KDRT Teori dan Praktek di Pengadilan
Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 1.
21
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup rumah
tangga.10
Upaya penanggulangan kekerasan haruslah dilakukan secara integral
karena kekerasan merupakan permasalahan kemanusiaan dan sosial.11
Upaya-upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga sangat
penting pelaksanaannya, dimana melibatkan berbagai pihak yaitu penegak
hukum dalam mengupayakan penanggulangan kekerasan dalam rumah
tangga, adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Upaya Penanggulangan secara Preventif
adalah upaya yang dilakukan secara dini melalui kegiatan edukatif
dengan sasaran mempunyai faktor-faktor penyebab pendorong dan
faktor peluang dari kejahatan kekerasan dalam rumah tangga, sehingga
terciptanya suatu kesadaran, kewaspadaan daya tangkal, serta terbina
dan terciptanya kondisi perilaku atau norma hidup anti kekerasan
terhadap perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan
suatu cerminan ketidakberhargaan perempuan dimata suaminya dan
penghinaan terhadap harkat dan marabat perempuan yang harus dijamin
hak-haknya. Maka dalam hal ini penegak hukum melakukan suatu
sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga agar dengan
diberikannya suatu sosialisasi ini masyarakat dapat mengetahui sejauh
mana kekerasan dalam rumah tangga tersebut dan bagaimana saksi
10
Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 19.
11 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 44.
22
hukum yang diberikan terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga
sesuai dengan pasal yang menagatur mengenai kekerasan dalam rumah
tangga tersebut.
2. Upaya Penanggulangan secara Kuratif
adalah tindakan yang dilakukan untuk menangani korban secara
terpadu. Sebenarnya ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh kedua
belah pihak dalam kekerasan dalam rumah tangga agar dapat terhindar
dari kekerasan yaitu :
Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang
teguh pada agamanya.
Mengetahui bahwa kekerasan dalam rumah tangga tersebut memiliki
suatu dampak buruk nantinya dalam rumah tangga.
Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar
tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis.
Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan
sebagainya antar anggota keluarga.
Untuk istri nantinya diharapkan dapat berbuat baik terhadap suami,
untuk Suami setidaknya berlaku lemah lembut terhadap istri.
Selain itu, adapun usaha yang dilakukan pemerintah untuk penyelenggaraan
pelayanan terhadap korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu sebagai
berikut :
a. Menyediakan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing
Rohani.
23
b. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama
program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diaskes oleh
korban.
c. Memberikan perlindungan bagi pendamping saksi, keluarga, dan teman
korban.
Upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga terutama dalam
pelaksanannya merupakan partisispasi, bantuan dan kerja sama yang baik
dari masyarakat luas.
Selain itu, terdapat beberapa upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dalam
upaya penanggulangan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sebagai
berikut :
1. Mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dikalangan akademisi,
praktisi hukum dan aparat penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim.
2. Membuat kebijakan-kebijakan atau program-program dan langkah-
langkah preventif dan memberikan pengetahuan atau kategori serta
larangan-larangan yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 sehingga dapat mengatasi tindak kekerasan dalam
rumah tangga dengan cara sebagai berikut :
a. memberikan sosialisasi baik lewat media elektronik seperti : televisi,
radio, program khusus dalam acara (interaktif) atau dalam bentuk
iklan serta media baca seperti surat kabar, penerbitan buku-buku,
pemasangan spanduk-spanduk.
24
b. memberikan sosialisasi atau ceramah-ceramah tentang kekerasan
dalam rumah tangga ke masyarakat melalui banjar-banjar, karang
taruna, PKK atau organisasi masyarakat lainnya.
c. mensosialisasikan atau memberikan ceramah-ceramah ke sekolah-
sekolah.
3. Melaksanakan penegakan hukum dengan cara melaporkan dan
memproses kepada pelaku yang melakukan perbuatan atau tindakan-
tindakan yang melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga khususnya Pasal
44 ayat (4) untuk membuat efek jera dan tidak mengulangi perbuatan
tersebut kembali.
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Penegakan hukum UU PKDRT dilihat dari segi sosiologi hukum akan
sulit ditegakkan karena banyak kendala dalam pelaksanaannya, terutama
kultur budaya masyarakat Indonesia yang patriakhi yakni mendudukan
laki-laki sebagai makhluk superior/kuat dan perempuan sebagai makhluk
inferior/lemah. Sebagian masyarakat masih menganggap kekerasan
dalam rumah tangga bukan perbuatan pidana, tetapi merupakan aib yang
harus ditutupi. Dengan demikian, baik korban sendiri maupun keluarga
cenderung membiarkan tindak kekerasan tersebut terjadi.
2. Upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan
secara terus-menerus oleh semua pihak. Baik pemerintah, penegak
hukum, organisasi masyarakat, dan organisasi agama karena kekerasan
dalam rumah tangga bertentangan dengan perikemanusiaan, serta
masyarakat tidak lupa pula upaya penanggulangan dapat dilaksanakan
dengan pemberdayaan korban itu sendiri agar jangan sampai kekerasan
itu terjadi ataupun terulang kembali dalam lingkup rumah tangga. Upaya
penanggulangan yang dilakukan ada 2 (dua) yaitu upaya penanggulangan
secara preventif dan upaya penanggulangan secara kuratif.
26
3.2 Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan berkaitan dengan
permasalahan dalam paper ini adalah sebagai berikut :
1. Diharapkan adanya peran aktif dari masyarakat untuk melapor ke
kepolisian jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga, agar si pelaku
kekerasan mendapatkan hukuman dan menimbulkan efek jera.
2. Diharapkan kepada pemerintah untuk lebih sering memberikan sosialisasi
mengenai keberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, agar kekerasan dalam
rumah tangga dapat ditanggulangi.
27
DAFTAR BACAAN
BUKU
Abdullah Muzakkar, 2006, Media Massa dan Kekerasan Terhadap
Perempuan, Bandung : Citra Aditya Bhakti.
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Ester Lianawati, 2009, Tiada Keadilan Tanpa Kepedulian KDRT,
Yogyakarta : Paradigma Indonesia.
Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Fatahillah A. Syukur, 2011, Medisi Perkara KDRT Teori dan Praktek di
Pengadilan Indonesia, Bandung : CV. Mandar Maju.
Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Bandung : Penerbit Angkasa.
Soerjono Soekanto, 2005, Sosiologi Suatu Pengantar Cet 38, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.
Wirjono Prodjodikoro, 1974, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,
Jakarta : Eresco.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga