bab i pendahuluan 1.1. latar belakang...

55
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mengalami perkembangan pesat dalam pembangunan nasional. Provinsi ini lahir 18 Maret 1964 dengan ibu kota Bandar Lampung. Provinsi ini menyimpan berbagai warisan kearifan lokal yang berharga dan perlu dilestarikan keberadaannya. Salah satu warisan kearifan lokal tersebut adalah bahasa daerah yang di dalamnya terdapat berbagai istilah sapaan yang bervariatif dan erat kaitannya dengan kebudayaan adat istiadat masyarakat Lampung. Munculnya berbagai istilah sapaan yang bervariatif dalam masyarakat Lampung, dapat dilihat pada berbagai latar belakang berikut ini. Menurut Hadikusuma (1996:31), bahwa nenek moyang suku Lampung berasal dari Pagaruyung (Sumatera Barat) keturunan putri Kayangan dan Kua Tunggal yang berdiam di daerah Sekala Be’rak, di kaki Gunung Pesagi, Kecamatan Kenali, Belalau, Lampung Barat. Di daerah ini keturunannya (cucunya), Umpu Serunting mendirikan Keratuan Pemanggilan. Karena Keratuan Pemanggilan diserang perompak laut, warganya terpecah meninggalkan Skala Be’rak menyebar ke daerah dataran rendah wilayah Lampung sekarang. Dalam perjalanan sejarahnya tersebut, suku Lampung mengalami pengaruh dalam bidang kebudayaan, keagamaan, dan pemerintahan sesuai dengan periode/jaman yang masuk dalam tatanan kehidupan masyarakat Lampung.

Upload: trinhdat

Post on 21-Aug-2018

226 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang

mengalami perkembangan pesat dalam pembangunan nasional. Provinsi ini lahir

18 Maret 1964 dengan ibu kota Bandar Lampung. Provinsi ini menyimpan

berbagai warisan kearifan lokal yang berharga dan perlu dilestarikan

keberadaannya. Salah satu warisan kearifan lokal tersebut adalah bahasa daerah

yang di dalamnya terdapat berbagai istilah sapaan yang bervariatif dan erat

kaitannya dengan kebudayaan adat istiadat masyarakat Lampung. Munculnya

berbagai istilah sapaan yang bervariatif dalam masyarakat Lampung, dapat dilihat

pada berbagai latar belakang berikut ini.

Menurut Hadikusuma (1996:31), bahwa nenek moyang suku Lampung

berasal dari Pagaruyung (Sumatera Barat) keturunan putri Kayangan dan Kua

Tunggal yang berdiam di daerah Sekala Be’rak, di kaki Gunung Pesagi,

Kecamatan Kenali, Belalau, Lampung Barat. Di daerah ini keturunannya

(cucunya), Umpu Serunting mendirikan Keratuan Pemanggilan. Karena Keratuan

Pemanggilan diserang perompak laut, warganya terpecah meninggalkan Skala

Be’rak menyebar ke daerah dataran rendah wilayah Lampung sekarang. Dalam

perjalanan sejarahnya tersebut, suku Lampung mengalami pengaruh dalam

bidang kebudayaan, keagamaan, dan pemerintahan sesuai dengan periode/jaman

yang masuk dalam tatanan kehidupan masyarakat Lampung.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

2

Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

kebudayaan Hindu Animisme yang berasal dari India, termasuk Budhiisme yang

unsur-unsur ajarannya masuk ke dalam adat budaya suku Lampung. Periode ini

dimulai sejak tahun pertama masehi sampai dengan permulaan abad ke-16. Selain

berasal dari India, ajaran Hindu Animisme juga datang dari kerajaan Majapahit

yang dibawa oleh armada Majapahit yang singgah ke Lampung dan dari kerajaan

Sriwijaya yang menyerang kerajaan Tulang Bawang pada abad ke-7.

Pengaruh ajaran Hinduisme yang masuk ke dalam kebudayaan Lampung

antara lain, adanya perbedaan tingkatan golongan masyarakat adat atau

perbedaan strata sosial yang menganggap golongan masyarakat satu lebih tinggi

daripada golongan masyarakat adat lainnya. Dengan adanya perbedaan tingkatan

golongan tersebut, mengakibatkan adanya perbedaan sapaan yang digunakan.

Contohnya, sapaan Suttan, Pengiran, Raja, dll.. Selain adanya perbedaan

tingkatan golongan, pengaruh lainnya adalah adanya kebiasaan memasang sesaji

pada waktu mendirikan rumah.

Selain mendapat pengaruh dari India, Majapahit, dan Sriwijaya, suku

Lampung juga mendapat pengaruh dari bangsa Belanda (VOC) dan Inggris.

Bangsa Belanda (VOC) dan Inggris datang ke Lampung pada awalnya untuk

tujuan berdagang (membeli) lada dan mendirikan benteng sebagai tempat

menampung hasil pembelian lada. Akan tetapi, selanjutnya kedua bangsa itu ikut

campur tangan dalam bidang pemerintahan di daerah Lampung. Contohnya, tahun

1808 Daendels mengangkat Raden Intan sebagai Prins Regent dengan pangkat

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

3

Kolonel untuk daerah Lampung, kemudian dilanjutkan oleh pengakuan Rafles

tahun 1816. Dengan adanya pengangkatan dan pengakuan tersebut, Raden Intan

merasa bangga sebagai pimpinan orang Lampung di Keratuan Darah Putih.

Dengan datangnya kedua bangsa itu pula, suku Lampung mendapat pengaruh

dalam bidang kebahasaan, termasuk dalam istilah-istilah sapaan.

Periode selanjutnya adalah Periode/Jaman Islam. Periode/jaman Islam

masuk ke Lampung sekitar abad ke-15. Pada periode ini ajaran dan kebudayaan

Islam masuk ke Lampung melalui tiga arah, yaitu dari arah barat (Minangkabau)

memasuki dataran tinggi Belalau, dari arah utara (Palembang) memasuki daerah

Komering, dan dari arah Banten memasuki daerah Labuhan Meringgai.

Pengaruh ajaran dan kebudayaan Islam sangat menonjol pada adat

kebudayaan Lampung. Pengaruh ini terlihat misalnya, pada acara kelahiran,

perkawinan, kematian, dan bidang kebahasaan. Pada acara kelahiran ada acara

akhikahan; pada acara perkawinan harus ada ijab kabul antara mempelai pria dan

wali mempelai wanita, pengantin pria harus memakai pakaian haji, dan pengantin

wanita harus berpakaian adat yang menutup aurat; pada acara kematian ada acara

peringatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari; pada bidang kebahasaan

contohnya, ada kata-kata Muhammad Isya, Siti Halimah, umi, siti, abi, buya,

ustad, imam.

Di samping adanya pengaruh dari berbagai ajaran dan kebudayaan suku

bangsa lain, Provinsi Lampung dihuni oleh dua golongan penduduk yang berbeda

asal usulnya dan berbeda adat istiadatnya. Golongan yang berbeda asal usulnya itu

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

4

terdiri dari golongan penduduk asli (suku Lampung) dan golongan penduduk

pendatang. Sementara itu, berdasarkan adat istiadatnya, suku Lampung dibedakan

menjadi kelompok masyarakat yang beradat Saibatin (Pesisir) dan masyarakat

yang beradat Pepadun. Berdasarkan kedua dasar itu, lambang daerah Provinsi

Lampung dikenal dengan sebutan Sang Bumi Ruwa Jurai, yang berarti bumi

kediaman mulia dari dua golongan masyarakat yang berbeda asal usulnya dan

berbeda adat istiadatnya.

Kelompok masyarakat Saibatin dan Pepadun mempunyai sifat watak

sebagai falsafah hidup yang dikenal dengan Pi-il Pesenggiri. Dalam Pi-il ini,

salah satunya tercermin ciri Juluk Adek (bernama bergelar). Pi-il ini

menunjukkan keinginan suku Lampung untuk dihormati. Untuk memenuhi

keinginannya tersebut, orang Lampung sekalipun masih kanak-kanak, mereka

memakai nama besar yang disebut Jejuluk/Juluk. Apabila sudah menikah atau

berumah tangga, mereka memakai nama tua atau gelar adat yang disebut

adok/adek/adoq. Jejuluk/Juluk dan adok/adek/adoq ini biasa digunakan sebagai

sapaan dalam bertutur sapa (Hadikusuma; 1996:22). Pi-il Juluk Adek inilah yang

erat hubungannya dengan sapaan bahasa Lampung.

Selain terdapat penduduk yang beraneka ragam, di Provinsi Lampung juga

terdapat bahasa yang beraneka macam, yaitu . bahasa Indonesia, bahasa daerah,

dan bahasa asing. Bahasa-bahasa daerah yang terdapat di Provinsi ini adalah

bahasa Lampung, Jawa, Sunda, Bali, Bugis, dan Ogan (Kantor Bahasa Provinsi

Lampung;2008:1). Akan tetapi, pada kenyataannya (menurut pengamatan penulis)

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

5

masih ada bahasa daerah lain misalnya, bahasa Betawi, Madura, Palembang,

Batak, Semendo, dan Minangkabau. Sementara itu, bahasa- bahasa asing yang

terdapat di provinsi ini antara lain, bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Korea,

Jepang, Arab, India, dan Cina.

Bahasa Lampung merupakan bahasa daerah yang masih hidup dan

dipelihara oleh masyarakat suku Lampung. Bahasa tersebut dipakai untuk

berkomunikasi dengan sesama etnis dalam lingkungan keluarga dan acara-acara

adat. Dengan kenyataan ini, sewajarnyalah jika bahasa Lampung juga mendapat

perhatian dari negara sesuai dengan pernyataan yang tercantum dalam

Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 pasal 36. Pernyataan itu

berbunyi bahwa di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang

dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda,

Madura, dsb.) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara.

Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang

hidup. Pernyataan ini dipertegas lagi oleh Moeliono (1984:35). Moeliono

menjelaskan bahwa bahasa-bahasa Nusantara yang masih befungsi sebagai alat

perhubungan antarwarga masyarakat, bahasa-bahasa itu pun masih dapat

memperkaya bahasa Indonesia, terutama dalam hal perluasan kosa kata dan

bentuk kata yang perlu diamati dan diteliti lebih lanjut.

Di samping mempunyai hak untuk dihormati dan dipelihara oleh negara,

bahasa Lampung juga mempunyai fungsi penting yaitu (1) lambang kebanggaan

daerah Lampung, (2) lambang identitas daerah Lampung, (3) alat komunikasi

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

6

dalam keluarga serta masyarakat Lampung, (4) sarana pendukung budaya

Lampung dan budaya Indonesia, serta (5) pendukung sastra Lampung dan sastra

Indonesia (Sanusi;2006:4). Di sisi lain, dalam hubungannya dengan fungsi bahasa

Indonesia, bahasa daerah Lampung berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa

nasional; (2) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat

permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran

lainnya; (3) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah (Halim;

1984:26).

Meskipun bahasa daerah Lampung mempunyai fungsi yang begitu

penting, keberadaan bahasa Lampung dalam perkembangannya banyak

dikhawatirkan kepunahannya oleh berbagai pihak. Hal ini terlihat pada

berkurangnya apresiasi masyarakat terhadap bahasa Lampung. Bahkan, penutur

asli bahasa Lampung, terutama anak-anak mudanya, khususnya yang berada di

kota-kota tidak mau lagi menggunakan bahasa daerahnya dan banyak yang tidak

mengetahui atau tidak bisa berbahasa daerah Lampung.. Mereka hanya memakai

bahasa Indonesia sebagai sarana berkomunikasi. Kenyataan ini dapat dilihat

dalam kehidupan sehari-hari di kampus, di sekolah, atau di pusat-pusat

keramaian.. Kenyataan tersebut memperkuat pendapat Gunarwan (1994:19) yang

menyebutkan bahwa bahasa Lampung akan punah dalam waktu kurang lebih 75

tahun lagi. Oleh karena itu, diperlukan upaya pemeliharaan dan pelestarian bahasa

tersebut.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

7

Untuk mengatasi kekhawatiran di atas, berbagai upaya dilakukan oleh

masyarakat, pemerintah daerah Lampung, dan pemerintah pusat. Upaya-upaya

tersebut antara lain melalui jalur pendidikan, pemasyarakatan bahasa dan sastra

kepada masyarakat, dan melalui penelitian.

Upaya melalui jalur pendidikan, sejak tahun 1994 telah ditetapkan bahwa

bahasa Lampung sebagai mata pelajaran mulok (muatan lokal) di jenjang SD dan

SMP di seluruh Provinsi Lampung. Melalui jalur pemasyarakatan kepada

masyarakat, telah dilaksanakan acara-acara khusus pengenalan kebudayaan daerah

Lampung melalui siaran televisi, radio, dan festival di daerah Lampung. Melalui

jalur penelitian, telah dihasilkan laporan penelitian antara lain, Morfologi dan

Sintaksis Bahasa Lampung (1983), Bentuk Ulang Bahasa Lampung Dialek

Peminggir (1984), Pronomina Bahasa Lampung Abung (1993), Persebaran

Bahasa-Bahasa di Provinsi Lampung (2008), Pemetaan Dialektal Bahasa

Lampung (2008).

Di samping mengatasi kekhawatiran tentang perkembangan bahasa

Lampung, penelitian-penelitian lainnya telah dilakukan oleh perorangan tentang

bahasa Lampung dalam bentuk tesis dan disertasi. Penelitian-penelitian itu, Een

Vergelijkende Woordenlijst van Lampongsche Tongvallen (Tuuk;1872), Versuch

einer grammatischen Auslegung des Kěměring-Dialektes der Lampong-Sprache

(Schőter; 1937), A Grammar of The Lampung Language: The Pesisir Dialect of

Way Lima (Walker; 1975), Geografi Dialek Bahasa Lampung Komering Ulu di

Wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan (Sudirman; 1999),

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

8

Sistem Sapaan Bahasa Lampung Dialek “O” Subdialek Menggala di Kecamatan

Menggala Kabupaten Tulangbawang (Akhyar; 2003), dan Geografi Dialek

Bahasa Lampung di Wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sudirman; 2006). Dari

beberapa penelitian tadi, hanya penelitian Akhyar (2003) yang mengkaji masalah

sapaan bahasa Lampung dan baru meneliti satu subdialek.

Sapaan merupakan kajian Sosiolinguistik. Wijana (2006:8) menyebutkan

bahwa Sosiolinguistik menggarap masalah-masalah kebahasaaan dalam

hubungannya dengan faktor-faktor sosial, situasional, dan kulturalnya. Dalam

Sosiolinguistik, kaitan antara bahasa, masyarakat, dan budaya tidak dapat

terpisahkan.

Selain Wijana, keeratan hubungan antara bahasa, masyarakat, dan budaya

juga dikemukakan oleh Kranch. Kramch (2000:3) menyebutkan terdapat tiga

hubungan antara bahasa dan budaya. Pertama, bahwa bahasa mengekspresikan

realitas budaya (language expresses cultural reality). Maksudnya, bahwa bahasa

atau kata-kata yang diungkapkan penuturnya merujuk pada pengalaman yang

pernah dialami penuturnya. Mereka mengekpresikan fakta- fakta, ide-ide,

perististiwa-peristiwa, sikap, keyakinan, dan pandangan hidupnya melalui bahasa

atau kata-kata. Kedua, bahasa merupakan penjelmaan realitas budaya (language

embodies cultural reality). Maksudnya, melalui bahasa baik aspek verbal maupun

nonverbal anggota masyarakat atau kelompok sosial dapat mengkreasikan

pengalamannya dan merealisasikan budayanya. Misalnya, pada waktu berbicara di

telepon atau bertatap muka, menulis surat atau mengirim e-mail, membaca surat

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

9

kabar atau menginterpretasi sebuah grafik atau chart. Contoh lainnya, cara-cara

yang digunakan untuk media berbicara, menulis, atau visual mereka

mengkreasikan makna-makna melalui nada suara pembicara, aksen, gaya

percakapan, gestur, dan ekspresi wajah. Ketiga, bahasa merupakan simbol

realitas budaya (language symbolizes cultural reality). Maksudnya, bahwa bahasa

adalah sistem tanda yang mencerminkan nilai budaya masyarakatnya. Identitas

pembicara dapat terlihat melalui bahasa yang mereka gunakan; mereka

memandang bahasanya sebagai simbol dari identitas sosial masyarakatnya.

Di samping pernyataan para ahli di atas, keeratan hubungan bahasa dan

budaya juga dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1990:203--204).

Koentjaraningrat mengemukakan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari

kebudayaan karena bahasa merupakan salah satu unsur dari unsur-unsur

kebudayaan universal (cultural universals). Unsur-unsur kebudayaan universal itu

terdiri dari (1) Bahasa, (2) Sistem pengetahuan, (3) Organisasi sosial, (4) Sistem

peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) Sistem

religi, dan (7) Kesenian. Untuk menurunkan kebudayaan kepada generasi muda

bisa melalui pendidikan. Dalam proses pendidikan, diperlukan bahasa sebagai

medianya. Dengan demikian, menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan

dari kebudayaan.

Berkaitan dengan keeratan hubungan antara bahasa dan kebudayaan, suku

Lampung juga mewujudkan ekspresi, kreativitas, realitas, dan simbol kebudayaan

masyarakatnya melalui bahasa Lampung. Melalui bahasa daerah tersebut

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

10

masyarakat Lampung mewujudkan salah satu kebudayaannya dalam budaya sapa

menyapa yang disebut tutor/tutur. Istilah Tutor/tutur ini sama dengan istilah

sapaan dalam bahasa Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah

“Bagaimanakah sapaan yang digunakan oleh penutur Bahasa Lampung?”

Dari rumusan masalah tersebut dapat diperinci permasalahan penelitian

dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.

a. Bentuk-bentuk dan jenis sapaaan apa saja yang digunakan oleh penutur

Bahasa Lampung?

b. Faktor-faktor sosial apa saja yang menentukan pemilihan sapaan yang

digunakan oleh penutur Bahasa Lampung?

c. Fungsi-fungsi sapaan apa saja yang digunakan oleh penutur Bahasa

Lampung?

d. Makna-makna sapaan apa saja yang digunakan oleh penutur Bahasa

Lampung?

1.3. Ruang Lingkup Penelitian

Agar penelitian ini terarah, permasalahan penelitian di atas dibatasi dalam

ruang lingkup penelitian sebagai berikut.

a. Bentuk dan jenis sapaan yang digunakan oleh penutur Bahasa Lampung.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

11

b. Faktor-faktor sosial yang menentukan pemilihan sapaan yang digunakan

oleh penutur Bahasa Lampung.

c. Fungsi-fungsi sapaan yang digunakan oleh penutur Bahasa Lampung.

d. Makna-makna sapaan yang digunakan oleh penutur Bahasa Lampung.

e. Penutur yang diteliti meliputi empat kelompok penutur dialek yang terdiri

dari kelompok penutur dialek Abung, Pesisir, Pubian, dan Komering yang

berdomisili di Kota Madya Bandar Lampung, Provinsi Lampung.

1.4. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah penelitian di atas, penelitian ini bertujuan

untuk:

a. mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk dan jenis sapaan yang

digunakan oleh penutur Bahasa Lampung;

b. mendeskripsikan dan menjelaskan faktor-faktor sosial yang menentukan

pemilihan sapaan yang digunakan oleh penutur Bahasa Lampung.

c. mendeskripsikan dan menjelaskan fungsi-fungsi sapaan yang

digunakan oleh penutur Bahasa Lampung;

d. mendeskripsikan dan menjelaskan makna-makna sapaan yang digunakan

oleh penutur Bahasa Lampung.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

12

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian sapaan bahasa Lampung ini diharapkan bermanfaat untuk

kajian teoretis dan praktis. Manfaat teoretis yang diharapkan adalah (1) pelengkap

kajian Sosiolinguistik, khususnya tentang teori sapaan baik dalam taraf nasional

maupun internasional; (2) sebagai teori yang dapat mengidentifikasi dan

menemukan sapaan pada suatu suku bangsa, terutama yang ada relasinya dengan

faktor sosial budaya masyarakat; (3) pelengkap data penelitian terdahulu tentang

istilah sapaan bahasa Lampung agar lebih komprehensif. Sementara itu, manfaat

praktis yang diharapkan adalah (1) sebagai masukan dalam upaya pemeliharaan,

pengembangan, dan pelestarian bahasa Lampung; (2) sebagai masukan dalam

upaya pemerkaya, pendukung, dan pengembangan bahasa Nasional; (3) sebagai

masukan untuk bahan ajar pelajaran Bahasa Lampung (Mulok) di SD dan SMP.

1.6. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang berkaitan dengan sapaan secara umum dan bahasa

Lampung telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Berikut ini disajikan

beberapa penelitian yang dimaksud.

Van der Tuuk (1872) mengadakan penelitian tentang bahasa Lampung.

Tuuk membicarakan tata bahasa Lampung secara umum. Di dalam penelitiannya

Tuuk menyebutkan bahwa bahasa Lampung terdiri dari dua dialek, yaitu dialek

Pubiyan dan dialek Pesisir. Dengan adanya pendapat Tuuk ini dikenal adanya

dialek Pubiyan dan dialek Pesisir dalam bahasa Lampung. Penggunaan kedua

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

13

istilah dialek ini sampai sekarang masih dipakai oleh masyarakat Lampung

meskipun pembagian dialek yang ada sekarang adalah dialek Abung, Pesisir,

Pubiyan, dan Komering. Dalam penelitian itu, Tuuk tidak menjelaskan kata-kata

sapaan yang biasa dipakai oleh masyarakat Lampung.

Schrőter (1937) mengadakan penelitian tentang tatabahasa bahasa

Lampung dialek Komering. Schrőter tidak membicarakan istilah sapaan secara

khusus, tetapi istilah ini terdapat dalam kelompok kata ganti personalia (Die

Pronomina personalia). Ia membagi kata ganti persona dalam kata ganti singular

dan plural. Kata ganti singular terbagi menjadi kata ganti persona pertama

tunggal, yaitu njak „ich” (aku) dan kata ganti persona kedua tunggal, yaitu nikoe

„du” (kamu), kata ganti persona ketiga tunggal ja „er” (ia). Kata ganti persona

pertama jamak (plural) sikam (kita), untuk orang kedua jamak kuti, Tiyan (Anda,

kalian). Kata-kata ganti singular dan plural tersebut ternyata biasa dipakai oleh

masyarakat Lampung sebagai kata sapaan.

Brown dan Gilman (1964) mengadakan penelitian tentang penggunaan

pronominal orang kedua dalam bahasa Perancis. Menurut mereka penggunaan

pronominal pada bahasa Perancis terdapat dua bentuk, yaitu bentuk T (Tu) ‘kamu’

dan bentuk V (Vous) ‘anda’. Penggunaan Tu dan Vous itu ditentukan oleh

kekuasaan (power) dan faktor solidaritas (solidarity). Pelaku yang mempunyai

kekuasaan atau berstatus lebih tinggi, lebih tua, atau lebih berkuasa akan

cenderung menggunakan sapaan ‘Tu’ kepada lawan tutur yang berstatus lebih

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

14

rendah, lebih muda, dan lebih tidak berkuasa. Sebaliknya, lawan tutur akan

menyapa penutur itu dengan menggunakan sapaan ‘Vous’.

Tahun 1979 Kridalaksana (dalam Kridalaksana;1985:14) meneliti Sistem

Tutur Sapa dalam Bahasa Indonesia. Kridalaksana menyebutkan bahwa semua

bahasa mempunyai sistem tutur sapa, yakni sistem yang mempertautkan

seperangkat kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan

memanggil para pelaku dalam peristiwa bahasa. Dalam bahasa Indonesia terdapat

sembilan jenis kata sapaan, yaitu (1) kata ganti (aku, engkau, kamu, ia, kami, kita,

mereka, beliau, dsb.); (2) nama diri (nama orang yang dipakai untuk semua

pelaku); (3) istilah kekerabatan (bapak, ibu, saudara, paman, adik, dsb.. Sebagai

kata sapaan istilah kekerabatan tidak hanya dipakai terbatas di antara orang-orang

yang berkerabat, tetapi juga dengan orang lain); (4) gelar dan pangkat ( dokter,

suster, guru, kolonel, jendral, dll.); (5) bentuk pe + V (erbal) atau kata pelaku

(pembaca, pendengar, penonton, penumpang, dll.); (6) bentuk N (ominal) + ku (

Tuhanku, kekasihku, Miraku, bangsaku, dsb.); (7) kata-kata deiksis atau penunjuk

(sini, situ, ini); (8) nominal (kata benda atau yang dibendakan) lain (tuan,

nyonya, nona, encik, Yang Mulia, dsb.); (9) ciri zero atau nol (orang yang

berkata:”Mau ke mana?”—kata sapaan’saudara’ itu tidak disebut tetapi

dimengerti orang. Tiadanya suatu bentuk, tetapi maknanya ada itu disebut ciri

zero). Kesembilan kata sapaan dapat dikombinasikan (saudara pembaca, bapak

guru, dll.).

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

15

Kridalaksana menambahkan bahwa sistem tutur sapa untuk pelaku kedua

itu harus memperhatikan status dan fungsi pelaku 2 dalam pembicaraan. Yang

dimaksud dengan status ialah posisi sosial dari orang yang diajak bicara (pelaku

2) dalam hubungan dengan pembicara (pelaku 1): apakah ia lebih tinggi/tua,

ataukah sama, ataukah lebih rendah/muda. Yang dimaksud dengan fungsi ialah

jenis kegiatan atau jabatan pelaku 2 dalam pembicaraan. Penggunaan tutur sapa

untuk pelaku kedua mempunyai dimensi resiprokal atau nonresiprokal. Misalnya,

kata bapak dipakai secara resiprokal di kalangan guru (para guru laki-laki

biasanya saling memanggil bapak); tetapi kita memanggil guru kita bapak, sedang

ia tidak (non-resiprokal).

Selanjutnya, Kridalaksana menuliskan bahwa keanekawarnaan kata sapaan

itu ditentukan oleh adanya dialek regional (asal daerah), dialek sosial (perbedaan

kelas sosial), variasi situasi (resmi dan tidak resmi), sifat hubungan di antara

pelaku (akrab, biasa, formal resiprokal, non-resiprokal), serta faktor

multilingualisme di Indonesia.

Danandjaja (1980) mengadakan penelitian Kebudayaan Petani Desa

Trunyan di Bali. Dalam peneltiannya Danandjaja tidak membahas secara khusus

tentang istilah sapaan. Akan tetapi, membahas istilah tersebut pada bagian Sistem

Istilah Kekerabatan. Dalam membahas istilah kekerabatan Danandjaja merujuk

pada teori yang digunakan oleh Koentjaraningrat (1967:137, 1980:137,

1984:269). Danandjaja (1980:135) menyebutkan bahwa orang Trunyan

membedakan istilah kekerabatan (kinship terminology) menjadi istilah menyebut

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

16

(terms of reference) dan istilah menyapa (terms of address). Istilah kekerabatan

orang Trunyan berjumlah 23 istilah yang terdiri dari: 8 buah untuk istilah

menyebut (nyama, misan, mindon, kurẽnan, ipa, panak, mantu, dan cucu), 7

istilah menyapa (tiang, bli, mbok, adi, nang/guru kemong, men kemong, tiang iwa,

atau disapa dengan nama bujang atau nama gadisnya), dan 8 istilah baik untuk

menyebut maupun menyapa (klakab, kumpi, kaki, yaya, nanang, iwa, mémé, dan

warang).

Tahun 1999 dan 2006 Sudirman telah melakukan penelitian. Tahun 1999

ia mengadakan penelitian Geografi Dialek Bahasa Lampung Komering Ulu di

Wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan. Hasil penelitiannya,

menemukan bahwa dialek bahasa Lampung Komering merupakan jenis dialek

yang terpisah dari dialek A dan dialek O yang ada dalam bahasa Lampung.

Penelitian ini tidak membicarakan istilah sapaan, tetapi mencantumkan contoh

kata-kata ini dalam kelompok kata kekerabatan. Kata-kata yang termasuk dalam

kata kekerabatan yang ditemukan adalah ombay (nenek); pak balak, pak tuha,

pak wa, bapak batin, bapak dalom, bapak lunik (kakak laki-laki dari ayah atau

ibu); mak wa, wak sak, uwa, ina balak, ina batin, ina dalom, ina lunik (kakak

perempuan dari ayah); kemaman, minan, mak bayan, mak su, mak ngah, ibu, adik

puadikan (istri adik laki-laki dari ayah); canggah, batin, aju, buyut, gunang,

puari, umpu, kiyai (cucu); induk, ina, umak, amak, mak (ibu); wo (kakak

perempuan); ading, adik (adik); matew (menantu).

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

17

Tahun 2006 Sudirman mengadakan penelitian Geografi Dialek Bahasa

Lampung di Wilayah Sumatera Bagian Selatan. Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa ada hubungan kontak bahasa Lampung dan bahasa Melayu sebagai bahasa

kerabat (language of a family); fonem dan leksikon bahasa Melayu banyak diserap

dan dipinjam oleh bahasa Lampung; bahasa Lampung lebih didominasi pengaruh

bahasa Melayu sehingga penutur bahasa Lampung lebih suka menggunakan

bahasa Melayu sebagai suatu prestise, akibatnya bahasa Lampung kurang dikenal

oleh masyarakat lainnya. Penelitian Sudirman tidak membicarakan kata sapaan

dalam bahasa Lampung, tetapi dia menemukan penutur bahasa Lampung di

daerah Sumatera Selatan yang masih menggunakan istilah-istilah sapaan bahasa

Lampung yaitu: (1) anak, buay, tuah (anak); (2) apak, ubak, ayah, amak, minak,

(bapak); (3) ondok, induk, induy, enduk, umak, mak, emak, ina (ibu); (4) ngoman,

angoman, inggoman, baybay, babay, sabay, bay, bey, kajong, maju (istri); (5)

laki, lakei, kiyai, kajong, ragah, mengian, inggoman (suami); (6) niyay, nyayik,

nyayei, embay, umbay, ombay, ambay, kajong, tamong (nenek); (7) mentuhe,

mantuha, mutuha, metuho (mertua); (8) nakon, nakan, naken (keponakan); (9)

onyak, enyak, nyak, sikam, sikamduwa, sikindiwa, sekenduwa, saya, pusekam,

sekam, ikam; (10) niku, nikeu, nikou, pusekam (engkau); (11) sekam, sikam,

hikam, sikamjou, sikinduwa, ekam, ikam, kite, ram (kami, kita); (12) honti, tian,

metei, meti (mereka).

Akhyar (2003) meneliti Sistem Sapaan dalam Bahasa Lampung Dialek

“O” Subdialek Menggala di Kecamatan Menggala, Kabupaten Tulang Bawang,

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

18

Provinsi Lampung. Ia membahas bentuk-bentuk sapaan, konteks penggunaan

sapaan, serta teknik penutur memilih bentuk sapaan dalam suatu konteks bertutur

sapa. Hasil penelitian Akhyar mengelompokkan sapaan dalam bahasa Lampung

Dialek “O” subdialek Menggala menjadi dua, yaitu sapaan kekerabatan dan

sapaan nonkekerabatan. Hubungan kekerabatan dapat membedakan bentuk

sapaan. Sapaan terhadap saudara laki-laki dari ibu berbeda dengan sapaan

terhadap saudara laki-laki dari bapak. Misalnya, ego akan menyapa Menak atau

Om kepada saudara laki-laki dari ibu, sedangkan saudara dari bapak akan disapa

Apak, Apak Hou, Apak Ngah, dan Pak Su. Sapaan nonkekerabatan dikelompokkan

menjadi lima, yaitu (1) kata sapaan bidang agama, (2) kata sapaan bidang adat, (3)

kata sapaan bidang pemerintahan dan masyarakat terpelajar, (4) kata sapaan kata

ganti, dan (5) kata sapaan nama diri.

Hasil penelitian Akhyar lainnya menyebutkan bahwa pemakaian sapaan

pada situasi formal ego akan menggunakan bentuk sapaan lengkap, misalnya apak

hou, apak pengeran, menak, tante, bik su, sedangkan pada situasi nonformal ego

akan menggunakan sapaan tidak lengkap, contohnya pak hou, pak eran, nak, tan,

su atau uncu. Terakhir, ditemukan bahwa sapaan adat dalam situasi resmi wajib

dipakai, misalnya pada musyawarah adat yang dihadiri oleh pemuka-pemuka adat.

Penelitian Akhyar baru meneliti satu subdialek dari dialek O (Abung), yakni

subdialek Menggala.

Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, terlihat belum ada yang meneliti

sapaan bahasa Lampung dari keempat kelompok penutur bahasa Lampung

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

19

(Abung, Pesisir, Pubian, dan Komering) yang dilaksanakan di Kota Madya

Bandar Lampung. Dengan demikian, dianggap perlu diadakan penelitian yang

komprehensif daripada penelitian-penelitian sebelumnya.

1.7. Landasan Teori

Kajian tentang sapaan merupakan salah satu kajian dalam bidang

sosiolinguistik. Menurut pendapat Wijana dan Rohmadi (2006:8), Sosiolinguistik

memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan

pemakai bahasa di dalam masyarakat. Oleh karena itu, segala sesuatu yang

dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan

kondisi di sekitarnya. Dengan demikian, teori-teori yang dibahas dalam disertasi

ini adalah teori-teori yang membahas sapaan, struktur masyarakat pemakai

bahasa yang bersangkutan, serta situasi pemakaian bahasa (sapaan) di sekitar

masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan.

1.7.1. Definisi Sapaan

Fenomena sapaan telah banyak dibahas oleh pakar Antropologi maupun

Linguistik. Koentjaraningrat (1980:137) dikutip Danandjaja (1980:135)

membicarakan istilah sapaan dalam pembahasan istilah kekerabatan.

Koentjaraningrat dan Danandjaja mengemukakan bahwa dalam istilah

kekerabatan pada umumnya, tiap bahasa mempunyai dua macam sistem istilah

yang disebut: a) istilah menyapa, atau term of address, dan b) istilah menyebut,

atau term of reference. Istilah menyapa dipakai Ego untuk memanggil seseorang

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

20

kerabat apabila ia berhadapan dengan kerabat dalam hubungan pembicaraan

langsung. Sebaliknya, istilah menyebut dipakai oleh Ego apabila ia berhadapan

dengan seseorang lain, berbicara tentang seorang kerabat sebagai orang ketiga.

Contoh dalam bahasa Indonesia istilah menyapa bagi ayah adalah bapak atau pak,

sedangkan istilah menyebut bagi ayah adalah orang tua.

Kridalaksana (1982:14) menuliskan bahwa sapaan (address) adalah

morfem, kata, atau frase yang dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi

pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan antara pembicara itu.

Dalam sapaan ada wujud bahasa yang digunakan. Wujud bahasa itu dapat berupa

morfem, kata, atau frase. Misalnya, Pak, Bapak, Bu, Ibu, Saudara Pemirsa, dsb.

Kata-kata tersebut digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku

tutur ketika mereka melakukan pembicaraan. Selanjutnya, Kridalaksana

(1985:14) menyebutkan bahwa sapaan merupakan seperangkat kata atau

ungkapan yang digunakan untuk menyapa, menyebut, dan memanggil para

pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Para pelaku itu meliputi pembicara atau

orang yang berbicara, selanjutnya disebut pelaku 1, lawan bicara (pelaku 2), dan

hal yang dibicarakan (pelaku 3).

Suhardi, dkk. (1984/1985:10) menyebutkan bahwa sapaan termasuk

kalimat minor bukan klausa biasanya dihubungkan dengan kalimat berklausa dan

hubungan di antaranya bersifat parataktis, artinya hubungan antara dua kalimat

yang mempunyai tataran sama dan hubungan itu tidak dinyatakan dengan kata

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

21

penghubung melainkan dengan jeda. Tanda jeda ini dinyatakan dengan tanda

koma.

Contoh penggunaan sapaan dalam kalimat:

1. Bu, tinggal di mana?

2. Anak-anak, jangan ramai!

Kartomihardjo (1988: 27) menuliskan bahwa salam dan sapaan sebagai

Phatic Communication adalah suatu ucapan, biasanya dengan sepatah dua patah

kata, yang tidak menyampaikan suatu pendapat atau gagasan, melainkan hanya

sebagai tanda adanya ikatan sosial.

Contoh: Selamat pagi, Saudara Baderi.

Kalimat di atas menunjukkan bahwa penutur (P1) mengucapkan salam,

“Selamat pagi” yang terdiri dari dua patah kata; dilanjutkan dengan sapaan,

“Saudara Baderi” (P2) terdiri dari dua patah kata; pernyataan ini untuk

menunjukkan adanya ikatan sosial (saling kenal) antara penutur (P1) dengan

lawan tutur (P2).

Istilah sapaan juga dikemukakan oleh Hadikusuma (pakar hukum adat

Lampung). Hadikusuma (1996:181) menyebut istilah sapaan dengan istilah

kekerabatan. Istilah kekerabatan di daerah Lampung disebut tutor atau tutur, yang

berarti panggilan, cara memanggil atau menyapa antara kerabat yang satu dengan

anggota kerabat yang lain. Contoh, suami memanggil isterinya dengan sapaan

gelar atau adik. Sebaliknya, seorang isteri memanggil suaminya dengan sapaan

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

22

gelar atau kiyai, adin, kakak, abang, atau menurut panggilan anak, misalnya apak,

ayah, buya, papah, papi.

Berdasarkan pendapat para pakar di atas, yang dimaksud dengan sapaan

dalam penelitian ini adalah seperangkat kata yang digunakan untuk menyapa,

memanggil, atau menyebut pelaku tutur bahasa Lampung baik kepada kerabat

maupun nonkerabat sesuai dengan konteks pembicaraan.

1.7.2. Faktor-Faktor Sosial yang Menentukan Pemilihan Sapaan

Dalam kegiatan bebahasa, termasuk dalam kegiatan bertutur sapa

terdapat berbagai faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan kegiatan

tersebut. Poedjosoedarmo (1979:16-19) menyebutkan faktor-faktor yang harus

diperhatikan dalam kegiatan bertutur sapa yaitu, tingkat formalitas hubungan

perseorangan antara O1 dan O2; tingkat status sosial yang dimiliki O2;

kehadiran orang ketiga (O3), situasi emosi O1; watak O1; tujuan tutur; materi

percakapan; dan jenis tuturan.

Tingkat formalitas hubungan perseorangan antara O1 dan O2 dibedakan

menjadi tingkat hubungan akrab dan biasa/tidak akrab. Tingkat formalitas

hubungan perseorangan juga ditentukan oleh tingkat keangkeran O2. Tingkat

keangkeran ditentukan oleh latar belakang status sosial O2 (bentuk tubuh dan

ekspresi wajahnya, cara berbahasanya, tinggi rendahnya jabatan dan pangkat,

kekuasaan ekonomi, aluran kekerabatan, jenis kelamin, dan usia. Seseorang yang

memiliki tingkah laku sopan, halus, berpangkat tinggi dalam kepegawaian atau

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

23

keagamaan, kaya, termasuk tua dalam kekerabatan, biasanya disegani orang

(dianggap angker). Tingkat formalitas hubungan juga ditentukan oleh faktor usia

O2. Misalnya, dalam budaya Jawa, faktor usia sangat dihormati, sehingga banyak

orang yang menggunakan sapaan krama (berbasa) kepada orang yang usianya

lanjut walaupun orang tersebut miskin atau tak berpangkat.

Tingkat sosial menentukan bentuk sapaan yang digunakan. Orang

bangsawan, memiliki tingkat ekonomi tinggi/kaya, berpangkat dalam

pamong/pemerintahan, keagamaan, berpendidikan tinggi, akan disapa dengan

bentuk sapaan krama (tingkat tinggi). Misalnya, Raden atau Den.

Faktor kehadiran orang ketiga menentukan pemilihan sapaan. Pada

umumnya orang akan menggunakan sapaan tingkat tinggi (krama) bila ada orang

lain hadir dalam suatu percakapan. Hal ini biasanya digunakan dengan maksud

untuk menunjukkan kesopanan atau menghormati lawan tutur.

Situasi emosi O1 turut menentukan pemilihan sapaan. Situasi emosi O1

yang sedang marah biasanya menggunakan bentuk sapaan biasa (ngoko) yang

bernada kasar, situasi emosi sedih akan menggunakan sapaan biasa atau halus

(krama) yang bernada sedih, situasi senang biasanya menggunakan sapaan

halus/sopan (krama) dengan nada senang atau bahagia.

Watak O1 juga menentukan pemilihan sapaan. Watak penutur

sombong/congkak biasanya akan menyapa lawan tutur dengan sapaan tingkat

biasa (ngoko) meskipun usia lawan tutur itu lebih tua daripada penutur.

Sebaliknya, watak orang alus ‘halus’ akan menyapa lawan tutur dengan sapaan

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

24

krama/sopan meskipun lawan tutur berstatus lebih muda, tidak kaya, tidak

berpangkat tinggi, atau tidak berpendidikan.

Tujuan tutur O1 menentukan pemilihan bentuk sapaan. Pada waktu

membujuk atau merayu biasanya menggunakan sapaan krama/sopan supaya

lawan tutur merasa senang dan dihargai sehingga tujuan penutur bisa tercapai.

Materi percakapan juga menentukan pemilihan sapaan. Materi keagaman

atau kebatinan pada umumnya menggunakan bentuk sapaan tingkat tinggi/krama.

Berbeda dengan Poedjosoedarmo, Koentjaraningrat (1980:138)

menuliskan bahwa untuk menganalisis sistem-sistem istilah kekerabatan para ahli

antropologi menggunakan 9 prinsip universel, yaitu (1) angkatan (ayah adalah

angkatan +1 ke atas dari ego), (2) percabangan keturunan (ayah adalah cabang 0,

paman adalah cabang +1), (3) umur (kakak dan adik), (4) sex dari para kerabat

(ayah dan ibu, kakek dan nenek), (5) sex dari para kerabat yang menghubungkan

(saudara laki-laki dari ayah atau dari ibu), (6) sex dari si pembicara, (7) perbedaan

antara kerabat “darah” dan kerabat “karena kawin” (orang- tua dari mertua;

saudara dari ipar), (8) keadaan hidup atau wafat dari kerabat yang

menghubungkan, (9) principle of polarity (dua orang saling menyebut dengan

sebutan yang berbeda). Misalnya, A menyebut saudara laki-laki ayahnya B

dengan istilah paman. Sebaliknya, B menyebut A, anak saudara laki-lakinya

dengan istilah kemenakan, dan (10) prinsip umur dari kerabat penghubung.

Berbeda dengan Koentjaraningrat, Kartomiharjo (1981:89) menuliskan

bahwa faktor-faktor sosial yang menentukan pemilihan sapaan adalah (1) situasi

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

25

(formal dan informal); (2) etnisitas; (3) hubungan kekerabatan dan

nonkekerabatan; (4) tingkat keintiman; (5) status; (6) umur; (7) jenis kelamin; (8)

status perkawinan; (9) asal.

Berbeda dengan pakar-pakar di atas, Kridalaksana (1985:15-16)

menyebutkan bahwa dalam menggunakan kata sapaan terdapat faktor dialek

regional (latar belakang asal daerah pelaku), dialek sosial (latar belakang tingkat

sosial pelaku), variasi siuasi (formal dan informal), sifat hubungan di antara

pelaku (akrab, biasa, formal, resiprokal, nonresiprokal), serta faktor

multilingualisme. Oleh karena itu, di Indonesia terdapat pemakaian kata-kata

sapaan seperti lu, gue, jij, you, mas, bung, kita (untuk tunggal maupun jamak),

awak, uda, emang, dan lain-lain.

Kridalaksana menambahkan bahwa sistem tutur sapa untuk pelaku kedua

harus memperhatikan status dan fungsi pelaku 2 dalam pembicaraan. Yang

dimaksud dengan status ialah posisi sosial dari orang yang diajak bicara (pelaku

2) dalam hubungan dengan pembicara (pelaku 1): apakah ia lebih tinggi/tua,

ataukah sama, ataukah lebih rendah/muda. Yang dimaksud dengan fungsi ialah

jenis kegiatan atau jabatan pelaku 2 dalam pembicaraan. Penggunaan tutur sapa

untuk pelaku kedua mempunyai dimensi lain, yakni dimensi resiprokal/non-

resiprokal. Misalnya, kata bapak dipakai secara resiprokal di kalangan guru (para

guru laki-laki biasanya saling memanggil bapak); tetapi kita memanggil guru kita

bapak, sedang ia tidak (non-resiprokal).

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

26

Berbeda dengan pakar-pakar di atas, Wardhaugh (1988:219) menyebutkan

bahwa faktor-faktor yang menentukan penggunaan bahasa, termasuk penggunaan

sapaan dalam sistem kekerabatan terdiri dari faktor jenis kelamin (sex), usia

(age), generasi (generation), hubungan darah (blood), perkawinan (marriage).

Lain halnya dengan Wardhaugh, Holmes (1992:6) menyebutkan bahwa

pada umumnya faktor-faktor yang relevan diperhatikan dalam istilah-istilah

sapaan adalah norma-norma keluarga antara anak dan orang tua pada jenjang yang

berbeda. Contoh, di Inggris kelompok kalangan atas menggunakan mummy,

mater, atau mama; kelompok menengah menggunakan nama pertama ibunya;

kelompok bawah kadang-kadang menggunakan ma; audiens (siapa yang

mendengar); konteks sosial (formal atau umum, atau sendiri dan pribadi).

Romaine (1994:69-95) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap penggunaan bahasa, termasuk penggunaan sapaan adalah

kelas sosial (pendidikan, jabatan, penghasilan), gaya (formal dan informal), jenis

kelamin (laki-laki, perempuan), umur (dewasa, anak-anak), jaringan sosial

masyarakat, dan standarisasi.

Dari beberapa pendapat para pakar di atas, dalam penelitian ini yang

termasuk faktor-faktor yang menentukan pemilihan sapaan adalah perbedaan

kerabat/nonkerabat, angkatan/tingkat generasi, jenis kelamin, status usia, status

pendidikan, status perkawinan, latar belakang asal keturunan, asal etnis, tingkat

hubungan, tujuan/fungsi pembicaraan, dan situasi pembicaraan.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

27

1.7.3. Bentuk-Bentuk Sapaan

Berdasarkan bentuknya, sapaan terdiri dari seperangkat kata yang dipakai

untuk menyapa, memanggil, dan menyebut pelaku tutur dalam peristiwa bahasa

(lihat definisi sapaan). Yang dimaksud dengan kata adalah satuan atau bentuk

“bebas” dalam tuturan. Bentuk “ bebas” secara morfemis adalah bentuk yang

dapat berdiri sendiri (Verhaar; 1996:97). Sapaan berbentuk kata dibedakan

menjadi kata dasar dan kata jadian atau kata turunan. Sementara itu, kata turunan

terdiri dari kata kata ulang dan kata majemuk.

Kata dasar adalah kata yang belum mengalami perubahan dari betuk

asalnya. Contoh sapaan bentuk kata dasar yaitu bapak, ibu, kakek. Berikut ini

adalah contoh kalimat penggunaan kata dasar.

1. Bapak: Bapak, apakah Bapak sudah sehat?

2. Ibu: Ibu, mau pergi mengajar?

3. Kakek: Kakek, mau makan bubur?

Selain berbentuk kata dasar, sapaan juga bisa berbentuk kata jadian atau

kata turunan. Kata turunan terdiri dari kata ulang (reduplikasi) dan kata majemuk.

Kata ulang adalah kata yang mengalami perulangan. Contoh sapaan yang

berbentuk kata ulang adalah bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, adik-adik. Berikut

ini adalah contoh kalimat yang menggunakan sapaan kata ulang.

1. Bapak-bapak: Bapak-bapak, silakan dinikmati hidangannya!

2. Ibu-ibu: Ibu-ibu, apakah mau ikut jalan-jalan?

3. Anak-anak: Anak-anak, ayo kita mulai belajar!

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

28

Di samping berbentuk kata dasar dan kata ulang, sapaan juga bisa

berbentuk kata majemuk. Kata majemuk adalah gabungan morfem dengan kata,

atau kata dengan kata yang menimbulkan arti baru. Contoh sapaan untuk

menyebut (sebutan) yang berbentuk kata majemuk adalah orang tua, anak angkat,

anak tiri. Berikut ini adalah contoh kalimat yang menggunakan kata majemuk.

1. Orang tua: Orang tua saya berasal dari Jawa tengah.

2. Anak angkat: Ayah saya mempunyai anak angkat dua orang.

1.7.4. Jenis-Jenis Sapaan

Dalam membahas jenis sapaan masing-masing linguis berbeda dalam

mengklasifikasikannya. Poedjosoedarmo, dkk. (1979:36) menuliskan sapaan

dengan istilah bentuk-bentuk sapaan. Bentuk-bentuk sapaan itu meliputi sapaan

kekeluargaan (pak, bu), istilah gelar kebangsawanan (den, den mas), istilah

pangkat keagamaan (kyahi, romo), istilah pangkat kepegawaian (pak carik,

lurahe, mas juru), istilah kemiliteran (sersan, kapten), istilah kesukuan (bah,

nyah, yuk), istilah akademis (prof, dokter), istilah pemesra ( le untuk anak laki-

laki, nduk atau nok untuk anak perempuan).

Kridalaksana (1982:14) mengelompokkan sapaan menjadi sembilan jenis

yaitu (1) kata ganti ( aku, engkau, kamu, ia, kami, kita, mereka, beliau, dsb.); (2)

nama diri (nama orang yang dipakai untuk semua pelaku); (3) istilah kekerabatan

(bapak, ibu, saudara, paman, adik, dsb.). Sebagai kata sapaan istilah kekerabatan

tidak hanya dipakai terbatas di antara orang-orang yang berkerabat, tetapi juga

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

29

dengan orang lain. (4) gelar dan pangkat ( dokter, suster, guru, kolonel, jenderal,

dll.); (5) bentuk pe + V (erbal) atau kata pelaku ( pembaca, pendengar, penonton,

penumpang, dll.); (6) bentuk N (ominal) + ku (Tuhanku, kekasihku, Miraku,

bangsaku, dsb.); (7) kata-kata deiksis atau penunjuk (sini, situ, ini); (8) nominal

(kata benda atau yang dibendakan) lain seperti tuan, nyonya, nona, encik, Yang

Mulia, dsb.); (9) ciri zero atau nol (misalnya: orang yang berkata:”Mau ke

mana?”....kata sapaan ‘saudara’ itu tidak disebut, tetapi dimengerti orang.

Kridalaksana menyebutkan bahwa tiadanya suatu bentuk, tetapi maknanya ada itu

disebut ciri zero). Kesembilan kata sapaan ini dapat dikombinasikan

penggunaannya. Misalnya: saudara pembaca, bapak guru, dll.

Antara Poedjosoedarmo dan Kridalaksana terdapat persamaan dan

perbedaan pendapat dalam mengelompokkan sapaan. Persamaan pendapat kedua

pakar tersebut terlihat pada contoh istilah sapaan yang digunakan, yakni pada

contoh kata pak, bu, bapak, ibu, dll. Poedjosoedarmo memberi contoh kata-kata

itu untuk kelompok istilah kekeluargaan, sedangkan Kridalaksana memberi

contoh untuk istilah kekerabatan. Di samping adanya persamaan dalam pemberian

contoh kata sapaan yang dipakai, terdapat perbedaan istilah pengelompokan kata

sapaan. Poedjosoedarmo mengelompokannya menjadi delapan bentuk, sedangkan

Kridalaksana menjadi sembilan jenis. Perbedaan lainnya terlihat pada istilah yang

digunakan. Poedjosoedarmo memisahkan istilah pangkat keagamaan (kyahi,

romo), istilah pangkat kepegawaian (pak carik, lurahe, mas juru), istilah

kemiliteran (sersan, kapten), dan istilah akademis (prof, dokter), sedangkan

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

30

Kridalaksana menyebutnya dengan istilah gelar dan pangkat (dokter, suster, guru,

kolonel, jendral, dll.). Poedjosoedarmo memasukkan istilah pemesra (le dan nduk

atau nok), sedangkan Kridalaksana tidak memasukkan istilah ini. Poedjosoedarmo

tidak memasukkan istilah kata ganti, nama diri, bentuk pe + V (erbal) atau kata

pelaku (pembaca, pendengar, dll), bentuk N (ominal) + ku, kata-kata deiksis atau

penunjuk, nominal lain, dan ciri zero atau nol, sedangkan Kridalaksana

memasukkan istilah-istilah tersebut.

Wijana (1991:4—5) menyebutkan bahwa sapaan dalam bahasa Indonesia

terdiri dari tujuh kategori, yaitu kata ganti (namely pronouns), contoh, kata kamu;

istilah kekerabatan (kinship terms), contoh, kata bapak; nama (names),contoh,

kata Ali; istilah pekerjaan (ocupation terms), contoh, kata becak untuk menyapa

tukang becak; istilah kata sifat ( transpotitional adjectives), contoh, kata sayang;

istilah pertemanan/persahabatan (friendship terms), contoh, kata teman-teman;

dan istilah keagamaan (religious terms), contoh, kata Tuhan.

Berdasarkan pendapat pakar-pakar di atas, dalam penelitian ini penulis

mengelompokkan jenis sapaan menjadi (1) sapaan kekerabatan (kinship terms),

(2) nonkekerabatan., (3) sapaan nama diri, (4) sapaan kata ganti, (5) sapaan

pekerjaan (ocupation terms), (6) sapaan kesukuan, (7) sapaan menyebut/sebutan

(terms of reference), (8) sapaan pemesra (endearment), (9) sapaan persahabatan

(friendship terms), dan (10) sapaan gelar. Sapaan gelar ini terdiri dari sapaan

kebangsawanan, keagamaan, akademis, jabatan pemerintahan, sapaan pangkat

kemiliteran, sapaan profesi, dan sapaan gelar adat.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

31

1.7.4.1. Sapaan Kekerabatan

Kridalaksana (1982:67) menyebut sapaan kekerabatan dengan istilah

kekerabatan (kindship terms, family terms). Yang dimaksud dengan istilah

kekerabatan adalah kata atau frase yang mengungkapkan anggota-anggota dari

suatu kelompok yang secara biologis berhubungan (berkerabat). Misalnya, kata

ayah, abang, ipar, mertua, dsb. Sapaan kekerabatan kadang-kadang juga dipakai

untuk menyapa anggota yang bukan kerabat. Misalnya, sapaan bapak yang

ditujukan untuk menyapa seorang laki-laki yang berusia dewasa; sapaan ibu yang

ditujukan untuk menyapa seorang perempuan berusia dewasa.

Poedjosoedarmo (1978:12) menyebutkan istilah kekerabatan (kin/kinship

terms) adalah sapaan yang digunakan untuk merujuk kata ‘saya’, ‘kamu’, ‘dia

laki-laki’, atau ‘dia perempuan’. Contoh lainnya, kata pak, bu, dik , kak, mas,

bang, oom, nak, mbak, paman, bibi, kakek atau kek, nenek atau nek. Istilah

kekerabatan dapat diikuti oleh nama diri (kak Mahmut), atau ia dapat berdiri

sendiri. sendiri.

Hadikusuma (1996:181) menyebut istilah kekerabatan dalam masyarakat

Lampung dengan istilah tutor atau tutur, yang berarti panggilan, cara memanggil

atau menyapa antara anggota kerabat yang satu dengan anggota kerabat yang lain.

Contoh, dahulu seorang suami memanggil istrinya dengan sapaan gelar, namun

sekarang dengan nama, “adik”. Kadang-kadang di desa masih ada yang

memanggilnya dengan sebutan “wa” atau “ui”. Sebaliknya, istri memanggil

suaminya dengan gelar, sedangkan kini dengan sebutan, kiyai, adin, batin, kakak,

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

32

atau abang. Kadang-kadang isteri memanggil suaminya juga dengan sebutan

“wa” atau “ui”, atau memanggil menurut panggilan anak, misalnya apak, ayah,

buya, papah, papi.

Yang dimaksud dengan sapaan kekerabatan dalam penelitian ini adalah

kata yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut para pelaku tutur

yang masih berkerabat atau hubungan keluarga. Seseorang disebut berkerabat

apabila ada pertalian darah atau tali perkawinan atau karena saudara akuan.

Contoh, bapak, ubak, apak, buya (bapak/ayah), ibu, ibeu, umak, siti (ibu), kiyai,

kaka, kakak, adin, kanjeng (kakak), anggoman (suami/isteri), sabai (besan),

mentuha, mentuho (mertua).

1.7.4.2. Sapaan Nonkekerabatan

Yang dimaksud dengan sapaan nonkekerabatan adalah sapaan yang

digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur yang tidak ada

hubungan kerabat.

1.7.4.3. Sapaan Nama Diri

Nama diri (proper name, proper noun) nama orang, tempat, atau benda

tertentu (dipertentangkan dengan nama jenis); misal Simon, Kalimantan, Monas

(Kridalaksana; 1972:112).

Di beberapa budaya, orang mempunyai nama yang hanya digunakan dalam

lingkungan keluarga dan mempunyai nama lain untuk di luar keluarga,

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

33

mempunyai nama yang digunakan hanya pada acara formal, dan kadang-kadang

status perkawinan relevan dipilih untuk bentuk sapaan: Miss vs Mrs (Holmes;

1992:4). Budaya demikian juga terjadi di Indonesia, misalnya dalam budaya

Lampung seseorang mempunyai nama Suttan Penegak Bumi yang dipakai dalam

acara formal atau dalam acara adat, sedangkan nama di luar acara formal nama

orang tersebut adalah Zaenuddin. Contoh lainnya, sapaan Duli Ratu dipakai

sebelum menikah; sapaan Tuan Rajo Sembai dipakai setelah menikah. Nama diri

dalam masyarakat Lampung biasa juga disebut gelar/gelakh.

Sapaan nama diri sering dipergunakan oleh penutur terhadap lawan tutur

yang mempunyai hubungan sudah akrab, atau yang berusia sebaya, atau yang

berusia lebih tua. Penggunaan sapaan nama diri biasanya dalam situasi nonformal.

Yang dimaksud dengan sapaan nama diri dalam penelitian ini adalah

sapaan yang dipakai untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur

yang berbentuk nama diri individu. Contohnya, Budi, Dita, Adi, Astri.

1.7.4.4. Sapaan Kata Ganti (Pronomina)

Kridalaksana (1982:138) menyebutkan yang dimaksud dengan kata ganti

/pronomina (pronoun) dalam bahasa Indonesia adalah kata yang menggantikan

nomina atau frase nominal. Kata ganti (pronomina) dalam bahasa Indonesia

dikelompokkan menjadi tiga, yakni kata ganti orang, kata ganti keterangan waktu,

dan kata ganti tempat. Bentuk kata ganti yang erat kaitannya dengan kegiatan

bertutur sapa adalah bentuk kata ganti orang atau kata ganti persona. Kata ganti

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

34

persona dibedakan menjadi tiga, yaitu kata ganti/pronomina orang pertama

(penutur), kata ganti orang/pronomina persona kedua (lawan tutur), dan kata ganti

orang/pronomina persona ketiga (orang yang disebut dalam tuturan). Masing-

masing bentuk kata ganti tersebut dibedakan lagi menjadi pronomina persona

tunggal dan pronomina persona jamak. Kata ganti /pronomina persona pertama

(fisrt person) adalah bentuk pronomina persona yang dipakai oleh pembicara

untuk mengacu pada diri pembicara itu sendiri; misal: aku, saya, beta, kami, kita.

Pronomina persona kedua (second person) adalah pronomina persona yang

mengacu pada orang yang diajak bicara/pendengar/pembaca sebagai partisipan

dalam situasi bahasa tertentu; kawan bicara (engkau, kamu, anda, kalian).

Pronomina persona ketiga (third person) adalah pronomina persona yang dipakai

pembicara untuk menunjuk/ mengacu pada orang yang dibicarakan atau pihak lain

di luar pembicara dan kawan bicara; misal ia, dia, mereka, beliau

Kata ganti dalam istilah pragmatik disebut dengan istilah deiksis (Lyons,

1977:636; Levinson, 1983:62; Yule, 1996:15; Fatimah, 1999:43; Nadar, 2009:55;

Wijana, 2010:81--82). Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa. Bentuk

linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut ungkapan

deiksis. Ungkapan-ungkapan deiksis dibedakan menjadi tiga yaitu deiksis untuk

menunjuk orang (deiksis persona: saya, kamu, aku, ku, kamu, mu, bapak, ibu,

dll.), deiksis untuk menunjuk waktu (deiksis temporal: sekarang, kemudian), dan

deiksis untuk menunjuk tempat (deiksis spasial/lokatif: di sini, di sana).

Ungkapan deiksis yang berkaitan dengan partisipan (orang) dalam suatu situasi

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

35

bahasa disebut persona (person). Bentuk deiksis persona (person) ini biasa

digunakan dalam bertutur sapa.

Dalam bahasa Lampung juga dikenal kata ganti (pronomina). Nazaruddin,

dkk. (1992:40—43) menyebutkan bahwa pronomina adalah kata yang dipakai

untuk mengacu ke nomina lain. Pronomina yang berkaitan dengan sapaan adalah

pronomina persona. Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk

mengacu kepada orang. Pronomina persona terdiri dari tiga, yaitu pronomina

persona pertama, pronomina persona kedua, dan pronomina persona ketiga.

Contoh, nyak, saya, sikinduwa, sikamduwa (saya), sikam (kami), gham (kita),

niku, pusikam (kamu, anda), ia (dia), beliau (beliau).

Yang dimaksud dengan sapaan kata ganti dalam penelitian ini adalah

sapaan yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut lawan tutur

dengan menggunakan kata ganti /pronomina persona ke-1, pronomina persona ke-

2, atau pronomina persona ke-3.

1.7.4.5. Sapaan Pekerjaan atau Aktivitas

Yang dimaksud dengan sapaan pekerjaan atau aktivitas adalah sapaan

yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur dengan

menggunakan jenis pekerjaan atau aktivitas pelaku tutur. Contoh: sayur (penjual

sayur), jamu (penjual jamu), cak/becak (tukang becak), taksi (sopir taksi), Ojek

(tukang ojek), sate (penjual sate), somay (penjual siomay), pendengar,

pemirsa/penonton.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

36

1.7.4.6. Sapaan Kesukuan (Etnis)

Yang dimaksud dengan sapaan kesukuan adalah sapaan yang digunakan

untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur dengan menggunakan

kata atau istilah asal suku (etnis) pelaku tutur. Contoh, bah/babah (etnis Cina),

Mas (etnis Jawa), Neng/Eneng (etnis Sunda), Uda (etnis Minangkabau).

1.7.4.7. Sapaan Menyebut /Sebutan (Term of Reference)

Yang dimaksud dengan sapaan menyebut (Sebutan) adalah sapaan yang

dipakai Ego apabila berhadapan dengan seseorang lain, berbicara tentang seorang

kerabat sebagai orang ketiga. Contoh, anak menyebut ayahnya adalah orang tua,

cucu menyebut orang tua ayah dan ibunya adalah kakek-nenek (Koentjaraningrat;

1980:137).

1.7.4.8. Sapaan Kesayangan/Pemesra (Endearments)

Yang dimaksud dengan sapaan kesayangan/pemesra (endearments) adalah

sapaan yang digunakan untuk menyapa atau memanggil pelaku tutur yang sangat

disayangi atau telah dikenal baik untuk menyatakan rasa sayang yang sangat

dalam. Contohnya, momin’sweetheart, hello love (Holmes; 1992:3); cucunda,

adinda, kakanda, dsb. (Poedjosoedarmo; 1983:13).

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

37

1.7.4.9. Sapaan Persahabatan (Friendship Terms)

Yang dimaksud dengan sapaan persahabatan atau pertemanan adalah

sapaan yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut lawan tutur

yang mempunyai tingkatan atau status yang sama yang sudah dikenal dekat/akrab.

Contohnya, kawan, teman, sahabat, rekan (Wijana; 1991:32).

1.7.4.10. Sapaan Gelar

Badudu dan Zain (1994:438) menyebutkan yang dimaksud dengan gelar

berarti (1) kata yang ditambahkan kepada nama untuk menunjukkan kasta atau

martabat orang, misal tengku, raden, andi; (2) kata yang ditambahkan di depan

nama seseorang yang menyelesaikan studi di perguruan tinggi; titel: Ir., Drs.,

Dra., Dr.; (3) nama besar atau alias, lawan nama kecil: Osman – Sutan

Makhudum, Rajamin – Mangaraja Bungsu; (4) nama yang diberikan orang

berhubungan dengan keadaan badan atau tabiat seseorang: si jangkung, si bopeng,

si gendut, si mulut besar.

Definisi lain menyebutkan bahwa gelar adalah (1) sebutan kehormatan,

kebangsawanan, atau kesarjanaan yang biasanya ditambahkan pada nama orang

seperti: raden, tengku, doktor, sarjana ekonomi (S.E.); (2) nama tambahan sesudah

seseorang menikah /setelah tua (sebagai kehoramatan). Contoh: ia diberi gelar

Sutan; (3) sebutan/julukan yang berhubungan dengan keadaan atau tabiat orang.

Contoh: Si Gendut, Sri Kandi, dsb. (Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI]

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

38

diunduh dari laman web badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php 18 Maret

2015 pukul 21.00 wib.).

Berdasarkan kedua pendapat di atas, yang dimaksud dengan sapaan gelar

adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku

tutur dengan mengggunakan kata, nama, atau sebutan yang menunjukkan

kehormatan, kebangsawanan, kesarjanaan/akademik, setelah menikah, atau

julukan yang berhubungan dengan keadaan/tabiat orang.

Sapaan gelar dibedakan berdasarkan sapaan gelar kebangsawanan,

keagamaan, kesarjanaan/akademik, jabatan pemerintahan, pangkat kemiliteran,

profesi, dan gelar adat.

a. Sapaan Gelar Kebangsawan

Yang dimaksud sapaan gelar kebangsawan dalam penelitian ini adalah

sapaan yang dipakai untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur

dengan menggunakan kata atau istilah yang menunjukkan keturunan orang mulia

(terutama raja dan kerabatnya; ningrat; orang berbangsa), tingkatan, kasta, atau

martabat seseorang. Contoh: Sultan, Ratu, Pangeran, Permaisuri, Maharaja,

Gusti, Tumenggung.

b. Sapaan Gelar Keagamaan

Yang dimaksud dengan sapaan keagamaan adalah sapaan yang dipakai

untuk menyapa atau memanggil pelaku tutur yang terlibat dalam bidang

keagamaan, yang biasa memberi pelajaran (guru) agama, yang mempunyai tugas

khusus dalam bidang agama, atau orang yang sudah melaksanakan ibadah haji.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

39

Sapaan keagamaan biasanya disesuaikan dengan jenis agama masing-masing.

Misalnya, Tuhan, Allah, ustad, ustazah, imam, haji, hajah, penghulu, pendeta,

romo, dan pastur,

c. Sapaan Gelar Kesarjanaan/Akademik

Yang dimaksud dengan sapaan gelar akademik dalam penelitian ini adalah

sapaan yang dipakai untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur

yang sudah menyelesaikan studi di perguruan tinggi; titel. Contoh, Prof., Dr.,

Ph.D., Ir., Drs., Dra., dr.

d. Sapaan Gelar Jabatan Pemerintahan

Yang dimaksud dengan sapaan gelar jabatan adalah sapaan yang

digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur yang

menduduki/memangku/menjabat jabatan dalam suatu lembaga. Contoh, presiden,

menteri, gubernur, bupati, camat, lurah.

e. Sapaan Gelar Pangkat Kemiliteran

Yang dimaksud dengan sapaan gelar pangkat kemiliteran adalah sapaan

yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur yang

menduduki/memangku/menjabat jabatan/status/pangkat dalam bidang militer.

Contoh: jenderal, mayor jenderal (mayjen), brigadir jenderal (brigjen), kapten,

mayor, sersan, komandan, briptu, bripda.

f. Sapaan Gelar Profesi

Yang dimaksud dengan sapaan gelar profesi adalah sapaan yang

digunakan untuk menyapa, memanggil, dan menyebut pelaku tutur yang

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

40

mempunyai profesi dalam bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian

(keterampilan, kejuruan) tertentu. Contoh: dokter, dosen, guru, hakim, jaksa.

g. Sapaan Gelar Adat

Yang dimaksud dengan sapaan gelar adat adalah sapaan yang digunakan

untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur dengan menggunakan

gelar/sebutan/julukan yang diberikan oleh lembaga adat.

Dalam masyarakat Lampung sapaan gelar adat terdiri dari dua, yaitu

gelar adat berdasarkan status perkawinan dan gelar adat berdasarkan tingkatan

atau jenjang dalam adat. Gelar adat berdasarkan status perkawinan dibedakan

atas jejuluk/Juluk dan adek/adok/adoq. Gelar jejuluk/Juluk adalah sapaan gelar

adat yang diberikan kepada anak yang baru lahir dan digunakan/berlaku sampai

status anak itu belum menikah. Pemberian gelar jejuluk/Juluk dilaksanakan pada

acara syukuran pemberian nama yang disebut akikahan/marhabanan. Pada acara

tersebut dilaksanakan, orang tua anak harus menyembelih kambing dua ekor

untuk anak laki-laki atau kambing satu ekor untuk anak perempuan. Juluk/jejuluk

merupakan gelar kecil dan bersifat sementara sebelum anak itu menikah. Apabila

anak itu sudah menikah, jejuluk/Juluknya tidak akan dipakai lagi. Orang yang

berhak memberi Jejuluk/Juluk untuk seorang anak adalah orang tua (bapak dan

ibu) anak yang bersangkutan, kakek dan nenek dari bapak dan ibu, dan saudara

laki-laki tertua dari bapak dan ibu. Jejuluk/Juluk untuk seorang anak bisa lebih

dari satu. Dalam memilih jejuluk/Juluk dipakai nama-nama yang mengandung

makna indah dan baik. Menurut keyakinan mereka, nama itu merupakan doa atau

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

41

harapan, sehingga setiap kali menyebut nama anak itu, berarti orang tua atau

kerabat itu mendoakan dan mengharapkan suatu kebaikan atau keindahan yang

akan terjadi atau dialami dalam kehidupan anak tersebut. Contoh gelar

Jejuluk/Juluk, Mahkota, Intan Baiduri, Putri Anggunan, Sri Maha Raja, Raja

Marga, dll. Gelar adėk/adok/adoq adalah sapaan gelar adat yang diberikan oleh

kerabat atau lembaga adat kepada seseorang yang berstatus sudah menikah

dilaksanakan pada waktu acara pernikahan.

Gelar adek/Adok/Adoq juga digunakan dalam istilah sapaan yang

menunjukkan gelar adat berdasarkan perbedaan jenjang atau tingkatan dalam adat.

Yang dimaksud dengan gelar adat berdasarkan jenjang atau tingkatan dalam adat

adalah gelar adat yang diberikan oleh lembaga adat kepada seseorang berdasarkan

jenjang atau tingkatan adat yang menunjukkan stratifikasi sosial/status/kedudukan

seseorang dalam adat. Gelar adek/adok/adoq diperoleh dengan cara mengadakan

upacara adat khusus yang disebut dengan istilah begawi/begawei atau

dilaksanakan bersamaan dengan upacara perkawinan. Pada masyarakat adat

Saibatin, pemberian gelar adek/adok/adoq bersifat keturunan/menurun,

disesuaikan dengan tingkatan keturunan orang tuanya dari garis bapak. Contoh,

Radin Inten I, Radin Inten 2. Pada masyarakat adat Pepadun, pemberian gelar

adėk/adok/adoq disesuaikan dengan asal usul orang tua (bapak), kemampuan

ekonomi si penerima gelar tersebut, atau status jabatan, fungsi, dan peran

seseorang dalam lembaga adat. Contoh gelar adek/adok/adoq, Suttan Junjungan

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

42

Mergo, Suttan Rajo Sangun Ratu, Pengiran Asli, Ratu Bangsawan, Raja Singa

Barata, dll.

1.7.5. Konteks Pemakaian Sapaan

Kegiatan bertutur sapa termasuk dalam kegiatan adegan tutur. Dalam

membicarakan konteks pemakaian sapaan tidak bisa terlepas dari konteks

pemakaian bahasa ujaran atau tuturan dalam adegan tutur. Menurut

Poedjosoedarmo (1976:4) konteks yang selalu dipakai sebagai patokan di dalam

sosiolinguistik adalah konteks pemakaiannya. Konteks pemakaian dalam kegiatan

bertutur, yang dianggap sebagai konteks sosial atau faktor ekstralinguistik yang

banyak mempengaruhi wujud wacana yang dituturkan seseorang dalam adegan

tutur dikenal dengan Speech Component (komponen tutur). Speech Component

(John Gumperz and Dell Hymes;1972:6-7, Poedjosoedarmo;1986:4) atau

Components of Speech (Hymes; 1974:53--62), The Ethnography of

Communication (Hymes;1974 dalam Wardhaugh 1988: 238—240). Speech

Component (komponen tutur) ini dikenal dengan formulasi mnemonik

SPEAKING (Inggris) atau PARLANT (Perancis). SPEAKING (Poedjosoedarmo;

1976:4), (Wijana; 2006:9) terdiri dari S= settings, merujuk ke tempat dan waktu

terjadinya pertuturan; P= participants, merujuk ke peserta tutur; E = Ends,

merujuk ke tujuan tutur; A = Acts of sequence, merujuk ke urutan tutur; K = keys,

merujuk ke cara bertutur; I = instrumentalities, merujuk ke saluran dan bentuk

tutur yang dipakai dalam bertutur; N = norm, merujuk ke norma atau aturan

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

43

dalam bertutur baik norma bahasa maupun norma masyarakat; G = genre,

merujuk ke jenis tuturan. PARLANT: Participants, Actes, Raison (resultat),

Locale, Agents (instrumentalities), Norms, to (key), Types (genres).

Selanjutnya, Poedjosoedarmo (1986:6—7) dalam Nadar (2009:8—10)

mengembangkan formulasi komponen tutur SPEAKING ini menjadi memoteknik

O,O,E,MAU BICARA. O1= Orang ke-1= Pribadi si penutur. O2= Orang ke-2=

lawan tutur. E= Warna Emosi O1 waktu berbicara. M= Maksud dan kehendak si

penutur. A= Adanya O3 yang hadir di dalam pembicaraan. U= Urutan bicara. B=

Bab atau pokok pembicaraan. I= Instrumen atau sarana tutur. C= Citarasa tutur.

A= Adegan tutur = peristiwa tutur. R= Register= tipe wacana. A= Aturan atau

norma kebahasaan.

Komponen tutur di atas, menurut Poedjosoedarmo (1986:4) dapat

dijadikan acuan untuk menentukan faktor penentu adanya variasi tutur yang

berbeda. Komponen tutur ini menjadi konteks dan sekaligus penentu terbentuknya

berbagai variasi tutur. Dengan demikian, komponen-komponen tutur dapat juga

dijadikan unsur pembeda di dalam menentukan pilihan sapaan yang akan

digunakan oleh pelaku tutur.

1.7.6. Fungsi Sapaan

Berbicara mengenai fungsi sapaan tidak bisa terlepas dari pembicaraan

tentang fungsi bahasa. Adapun fungsi bahasa menurut Nida (1975:24) adalah (1)

expressive (ekspresif), (2) informative (informatif), dan (3) imperative (imperatif).

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

44

Fungsi ekpresif adalah fungsi bahasa untuk mengekpresikan pendapat atau

perasaan; fungsi informatif adalah untuk memberikan informasi; fungsi imperatif

untuk menyatakan permintaan.

Holmes (1992:286) membicarakan dua fungsi bahasa dalam ujaran yang

dipakai dalam interaksi sehari-hari. Fungsi bahasa terdiri dari fungsi afektif atau

sosial dan fungsi referensial. Holmes memberikan contoh percakapan antara

penutur (O1) dengan lawan tutur (O2) yang belum saling kenal bertemu di stasiun

kereta. Mengucapkan salam dan menyampaikan pendapat mengenai cuaca

merupakan penggunaan fungsi sosial yang digunakan untuk membangun kontak

di antara dua partisipan (pelaku tutur); fungsi referensial lebih berorientasi pada

menyampaikan informasi kepada lawan tutur.

Poedjosoedarmo ( 1979:6) menyebut tradisi bertegur sapa dengan istilah

phatic communion. Melalui sapaan akan menentukan tingkat kesopanan dan

tingkat sosial para pelaku tutur dalam tindak tutur. Melalui penggunaan sapaan

pula, ikut menentukan tingkat tutur dalam berbahasa, khususnya dalam berbahasa

Jawa. Dalam tingkat tutur yang berbeda, maka akan berbeda pula menggunakan

bentuk sapaannya. Misalnya, penggunaan sapaan kowe sebagai kata ganti lawan

tutur (O2) menyatakan tingkat kesopanan ngoko (biasa); sampeyan sebagai

sapaan kata ganti lawan tutur (O2) menunjukkan tingkat tutur madya (tingkat

kesopanan sedang), panjenengan sebagai sapaan kata ganti lawan tutur (O2)

menunjukan tingkat tutur krama (tingkat kesopanan tinggi/sopan).

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

45

Suhardi, dkk. (1984/1985:10) merujuk pendapat Lyons (1978:575)

menyebutkan bahwa sapaan berfungsi mengundang orang lain tertentu untuk

menerima peran sebagai lawan bicara atau memberikan reaksi verbal atau

nonverbal. Fungsi itu disebut sebagai fungsi vokatif.

Berbeda dengan pendapat Suhardi, dkk., Hadikusuma (1988:81)

menyebutkan bahwa sapaan dapat digunakan untuk menunjukan sopan santun dan

dapat menentukan peran seseorang baik sebagai penyapa maupun sebagai pesapa.

Misal, Sapaan Kuti ghumpok digunakan untuk menghormati atau menunjukkan

sopan santun; sapaan Niay digunakan oleh penutur berusia lebih muda (adik)

kepada kakak kandung perempuan. sapaan Kanjeng menunjukkan bahwa pemilik

sapaan yang bersangkutan berperan sebagai anak pertama (laki-laki/perempuan).

Penggunaan sapaan memegang peranan penting dalam adat istiadat masyarakat

Lampung. Bila penggunaan sapaan tidak tepat, seseorang dapat dikatakan tidak

tahu adat istiadat. Di samping itu juga, akan dapat mengganggu kelancaran

komunikasi antara penyapa dan pesapa. Bahkan, suatu komunikasi antara penyapa

dan pesapa dapat terhenti sama sekali atau terputus. Bahkan, lebih fatal lagi, akan

dapat mengakibatkan kemarahan atau merasa terhina atau tersinggung pelaku

tutur. Contohnya, lawan tutur yang bergelar Suttan (gelar untuk jenjang pertama)

disapa dengan sapaan Pengiran (gelar untuk jenjang ketiga). Dengan sapaan yang

salah tersebut, lawan tutur menjadi turun derajat/status, peran, dan hak-haknya.

Kartomihardjo (1988:27) menyebutkan bahwa salam dan sapaan memiliki

makna sosial yang penting. Bila kita lupa menggunakannya, kita bisa dicap

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

46

sebagai orang yang sombong, lupa diri, dsb. Salam dan sapaan memiliki dua

fungsi, yaitu (1) sebagai tanda bahwa kita memperhatikan orang yang kita sapa

dan (2) sebagai alat yang mengontrol interaksi.

1.7.7. Makna Sapaan

Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam tiap-tiap sapaan, tidak

dapat terlepas dari pembicaraan makna secara umum. Yang dimaksud dengan

makna adalah hubungan antara kata dan objek-objek yang ditunjuknya (Wijana;

2010:24).

Di samping untuk menunjuk sesuatu, makna kata dalam bahasa juga

digunakan untuk mengungkapkan berbagai macam sikap atau perasaan

penuturnya sehingga di samping memiliki makna denotatif, dimungkinkan pula

leksem-leksem yang diungkapkan oleh seseorang mengandung makna konotatif

(Wijana; 2010:25). Makna denotatif adalah makna sauan-satuan kebahasaan yang

dapat diidentifikasikan tanpa satuan itu bergabung dengan satuan lingual yang

lain. Misalnya, kata ayah memiliki makna ‘orang tua laki-laki’, ibu ‘orang tua

perempuan’. Sementara itu, yang dimaksud dengan makna konotatif adalah makna

emotif yang dapat dibangkitkan oleh sebuah kata. Contoh, kata suami adalah

seorang laki-laki yang sudah menikah dan bermakna sopan (konotasi positif),

sedangkan kata laki adalah seorang laki-laki yang sudah menikah dan bermakna

tidak sopan/biasa (berkonotasi negatif).

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

47

Selain Wijana, pakar lain yang membicarakan makna adalah

Poedjosoedarmo. Poedjosoedarmo (2000:5) membicarakan tentang makna yang

dipakai dalam kajian Sosiolinguistik. Makna dalam kajian Sosiolinguistik

berhubungan dengan makna dalam variasi tutur atau variasi bahasa. Makna dalam

variasi tutur mempunyai makna variasional. Makna variasional mengacu pada

latar belakang si penutur, suasana (santai atau formal), hubungan antarpelaku tutur

(akrab atau berjarak), perasaan (sopan atau biasa), dan sebangsanya. Di samping

itu, variasi tutur juga mempunyai makna umum dan makna rincian. Makna umum

mencerminkan perbedaannya dengan makna kata atau kode yang lain, sedangkan

makna rincian timbul sebagai akibat dijalinnya kata (kode) itu dengan konteksnya.

Makna umum mengandung beberapa raut semantik (semantic features). Adapun

jumlah raut semantik ini sama dengan jumlah jenis konteks yang biasa

menjalinnya.

Berbeda dengan pakar sebelumnya, Fatimah (2008;1) mengemukakan

bahwa makna dapat ditinjau dari pendekatan analitik atau referensial, yakni

pendekatan yang mencari esensi makna dengan cara menguraikannya atas unsur-

unsur utama. Dalam pendekatan analitik makna kata dapat dirinci, seperti pada

kata gadis, secara analitik dapat dirinci sebagai berikut:

gadis -- + bernyawa + manusia

+ dewasa + belum kawin

+ perempuan + berambut panjang.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

48

Untuk mengetahui makna-makna sapaan yang biasa dipakai dalam istilah

kekerabatan dipergunakan analisis komponensial (Componential Analysis of

Meaning) berdasarkan teori Nida (1975). Nida (1975:33) mencontohkan makna

kata bapak (father) adalah nama dari leluhur/nenek moyang pertama, berjenis

kelamin laki-laki, satu generasi di atas ego, dan garis langsung dari keturunan ego.

Makna kata dalam istilah kekerabatan bisa dibedakan berdasarkan komponen sex

(jenis kelamin), generation (generasi), dan lineality (garis keturunan) (Nida;

1975:34). Gambaran tentang makna kekerabatan dapat dilihat pada bagan di

bawah ini.

Lin. 1 Lin. 2 Lin.3

M F M F M or F

(Nida; 1975:34)

Keterangan:

Makna kata Ego merujuk pada generasi 0 (gen 0), seorang laki-laki atau

perempuan (M/F), garis keturunan 1 (lin. 1). Father (ayah) merujuk pada seorang

laki-laki (M), generasi I di atas ego ( gen. +1), dan garis keturunan 1 (Lin. 1).

Mother (ibu) merujuk pada seorang perempuan (F), generasi 1 di atas ego ( gen.

+1), dan garis keturunan 1 ( Lin. 1). Son (anak, laki-laki) merujuk pada seseorang

yang termasuk generasi 1 di bawah ego (gen -1), dan garis keturunan 1 ( Lin. 1),

dst.

Generation +1

Father

Mother Uncle Aunt

cousin

Generation 0

Ego Brother Sister

Generation -1

Son

Daughter Nephew Niece

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

49

Berdasarkan beberapa pendapat pakar di atas, yang dimaksud dengan

makna sapaan dalam penelitian ini adalah makna variasional yang mengacu pada

latar belakang pelaku tutur berdasarkan jenis kelamin, tingkat generasi, usia,

urutan lahir, jenjang/tingkatan adat, status perkawinan, asal garis keturunan,

situasi pembicaraan, tingkat hubungan, jenis sapaan, dan tujuan pembicaraan.

1.8. Metode Penelitian

Secara umum metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

deskriptif. Metode ini digunakan karena data yang disajikan dalam penelitian ini

adalah data secara akurat (apa adanya) sesuai dengan sifat alamiah. Hal ini sesuai

dengan pendapat Fatimah (1993:15), sedangkan metode penelitian yang

digunakan secara khusus, yang berkaitan dengan kajian Sosiolinguistik adalah

metode simak (pengamatan/observasi) dan metode cakap (wawancara) menurut

Mahsun (2009:242—250). Metode simak digunakan pada waktu penulis

mengamati dan mengobservasi tuturan yang digunakan oleh penutur (informan)

pada waktu mereka berkomunikasi, sedangkan metode cakap (wawancara)

digunakan untuk mewawancarai informan ketika menanyakan hal ihwal yang

berkaitan dengan sapaan (istilah-istilah sapaan, faktor-faktor yang harus

diperhatikan dalam menentukan dan menggunakan sapaan, dan adat istiadat

pemberian serta penggunaan sapaan).

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

50

1.9. Sumber Data

Yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer berupa bahasa lisan atau berupa tuturan lisan yang

dipergunakan dalam komunikasi sehari-hari oleh penutur asli bahasa Lampung.

Penetapan bahasa lisan sebagai data penelitian karena (1) bahasa lisan merupakan

bentuk bahasa yang aktual (berupa parole) sebagai realisasi sistem secara

individual; (2) bahasa lisan dapat memenuhi perian bahasa secara deskriptif atau

empiris masih hidup; (3) bahasa lisan Bahasa Lampung masih digunakan sebagai

alat komunikasi dan interaksi sehari-hari masyarakat asli Lampung. Sementara itu,

data sekunder dalam penelitian in adalah berupa buku-buku yang berkaitan

dengan Bahasa Lampung baik berupa kamus maupun buku pelajaran/materi

perkualiahan Bahasa Lampung, dan hasil-hasil penelitian tentang Bahasa

Lampung.

1.10. Informan

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, data diperoleh dari informan

penutur asli bahasa Lampung. Sebagaimana yang disebutkan oleh Samarin

(1988:34) bahwa informan sebagai sumber data primer dapat memberikan data

satuan lingual yang diketahui dan diteliti bagaimana bahasa itu dituturkan, apa

artinya, dan bagaimana bahasa tersebut digunakan. Sementara itu, informan yang

dijadikan sasaran penelitian adalah informan yang mempunyai kriteria (1) penutur

yang berusia dewasa ke atas sampai taraf belum pikun; (2) penutur asli bahasa

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

51

Lampung; (3) penutur bahasa tersebut yang memiliki pengetahuan berbahasa

dengan baik; (4) penutur bahasa tersebut tidak cacat alat bicaranya.

Informan yang dipilih terdiri dari dua kelompok, yakni kelompok tokoh

adat dan kelompok masyarakat biasa yang menggunakan bahasa Lampung.

Kelompok tokoh adat Lampung dipilih berdasarkan asumsi bahwa mereka

mempunyai wawasan luas dan mengetahui hal ihwal sapaan, adat istiadat bertutur

sapa, dan budaya pemberian dan penggunaan sapaan bahasa Lampung. Kelompok

masyarakat pemakai bahasa Lampung diasumsikan bahwa mereka benar-benar

yang masih biasa menggunakan istilah-istilah sapaan bahasa Lampung dalam

berkomunikasi sehari-harinya. Adapun jumlah informan yang diwawancarai

berjumlah seratus (100) orang. Dasar penentuan informan tersebut berdasarkan

pendapat Samarin (1988:152) yang menyebutkan bahwa dalam menentukan

informan hendaknya ditentukan jumlah sebanyak-banyaknya sampai ditemukan

istilah-istilah yang dipakainya dianggap cukup jenuh. Dari seratus (100) informan

tersebut penulis sudah dapat menemukan istilah-istilah sapaan yang sejenis.

Sapaan sejenis ini penulis anggap sudah cukup jenuh.

1.11. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data tentang sapaan yang biasa dipakai oleh suku

Lampung, penelitian ini dilaksanakan di lingkungan penutur bahasa Lampung

Abung, Pubiyan, Pesisir, dan Komering yang bertempat tinggal di wilayah Kota

Madya Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Daerah ini merupakan wilayah ibu

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

52

kota Provinsi Lampung. Daerah ini dianggap refresentatif untuk penelitian karena

wilayah ini merupakan wilayah miniatur Provinsi Lampung yang dihuni oleh

berbagai suku bangsa, termasuk keempat kelompok penutur bahasa Lampung.

Wilayah penelitian meliputi enam kecamatan dari tiga belas kecamatan yang

terdapat di Bandar Lampung. Wilayah-wilayah penelitian tersebut meliputi

Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kemiling, Kedaton, Sukarame, Sukabumi, dan

Rajabasa.

1.12. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Penelitian sapaan bahasa Lampung ini menggunakan (1) Teknik Observasi

Partisipan dengan Cara Catat dan Rekam. Teknik ini digunakan dalam rangka

mengobservasi partisipan (informan) pada waktu informan berkomunikasi; (2)

Teknik Wawancara. Teknik ini digunakan pada waktu mewawancarai informan

menanyakan hal ihwal tentang sapaan.

Alat bantu yang digunakan untuk penelitian berupa tape recorder, hand

phone (hp), dan daftar pertanyaan (questioner). Tape Recorder dan hp digunakan

untuk merekam suara informan pada waktu peneliti mewawancarai informan.

Kegiatan ini dilakukan untuk mengantisipasi bila peneliti lupa atau terlewati

mencatat data yang diperoleh dari informan. Daftar pertanyaan digunakan untuk

mengumpulkan data dengan cara mengajukan daftar pertanyaan tentang istilah-

istilah sapaan yang biasa digunakan oleh informan. Daftar pertanyaan ini

digunakan bila informan tidak bisa langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

53

peneliti atau bila informan tidak bisa ditemui langsung oleh peneliti karena

keterbatasan waktu informan. Daftar pertanyaan tersebut diberikan kepada

informan atau dititipkan kepada anggota keluarga informan lebih dahulu,

kemudian diambil oleh peneliti setelah diisi oleh informan.

1.13. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam analisis data penelitian ini adalah metode

analisis komponensial menurut Nida (1975) dan Poedjosoedarmo (1979). Data

sapaan yang sudah terkumpul dibandingkan satu sama lain, dan hasil

perbandingan itulah merupakan fitur semantik pembeda (distinctive feature). Fitur

semantik pembeda itu berupa komponen tutur yang menjadi faktor eksternal atau

sosial yang melatari munculnya berbagai istilah sapaan. Faktor-faktor eksternal

yang melatari munculnya berbagai istilah sapaan itu pula menjadi unsur pembeda

masing-masing makna sapaan yang dipakai oleh penutur. Faktor-faktor tersebut

disesuaikan dengan faktor-faktor penentu yang terdapat dalam budaya masyarakat

Lampung. Faktor-faktor yang dimaksud adalah faktor jenis kelamin (laki-

laki/perempuan), tingkat generasi, usia (lebih tua/di atas, lebih muda/di bawah, di

tengah, sebaya (1,2,3,4, dst.), gelar adat (kelembagaan adat, status perkawinan),

urutan kelahiran, asal lingkungan/keturunan keluarga (keluarga biasa/umum,

agamis, bangsawan, atau bukan bangsawan), tingkat formalitas hubungan (akrab

atau biasa), situasi pembicaraan (formal atau nonformal), tujuan pembicaraan,

jenis sapaan (pemesra, keagamaan).

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

54

1.14. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data dalam penelitian Linguistik terdiri

dari dua, yaitu metode formal dan metode informal. Metode formal adalah metode

penyajian hasil dengan menggunakan simbol-simbol (simbol-simbol linguistik),

sedangkan metode informal adalah metode penyajian hasil analisis data dengan

menggunakan kata-kata biasa bukan dengan rumus-rumus (Sudaryanto; 1993).

Penelitian ini menggunakan metode penyajian data informal (menggunakan kata-

kata biasa yang berupa data lingual yang digunakan oleh informan).

1.15. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hasil penelitian ini disusun dengan urutan: Bab I

(Pendahuluan) meliputi latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah,

ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka

(penelitian terdahulu), landasan teori, sumber data, informan, lokasi penelitian,

metode penelitian, teknik dan alat pengumpulan data, metode analisis data,

metode penyajian hasil analisis data, dan sistematika penyajian hasil penelitian.

Bab II: Deskripsi Daerah Penelitian meliputi, wilayah Kotamadya Bandar

Lampung dan wilayah-wilayah penelitian. Bab III: Penyajian Hasil Penelitian

meliputi, bentuk-bentuk dan jenis-jenis sapaan Bahasa Lampung. Bab IV: Faktor-

Faktor Sosial yang Menentukan Pemilihan Sapaan Bahasa Lampung. Bab V:

Fungsi-Fungsi Sapaan Bahasa Lampung. Bab VI Makna-Makna Sapaan Bahasa

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100144/potongan/S3-2016... · 2 Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem

55

Lampung. Bab VII: Penutup, berisi Kesimpulan. Daftar Pustaka dan Lampiran-

Lampiran.