bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...

66
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Poligami dalam masyarakat muslim Indonesia tak pernah berhenti diperdebatkan melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik. Isu tersebut berawal dari publikasi media massa terhadap poligami sejumla h tokoh panutan agama yang popular saat itu seperti Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dengan Alfarini Eridani (Teh Rini), Rhoma Irama dengan Angel Lelga, Pujiono Cahyo Wicaksono (Syekh Puji) dengan Lutfiana Ulfa, Ustad Arifin Ilham dengan Oki, hingga poligami elit pemerintah, misalnya Hamzah Haz, Anis Matta, Zaenal Ma‟arif, Lutfi Hasan Ishaq dan Aceng Fikri. Selain itu, peredaran buku-buku provokatif dalam mengkampanyekan isu poligami, yang diterbitkan oleh tokoh-tokoh pro poligami seperti Puspo Wardoyo (Kiat Sukses Beristri Banyak ) 1 dan Aa Gym (Indahnya Poligami ) 2 semakin mempertajam polemik dalam 1 Puspo Wardoyo adalah penerima Poligami Award pertama di bulan Mei tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Forum Jurnalis Muslim /FJM yakni kumpulan wartawan dari berbagai media islamist seperti Amanah, Fikri, Hidayah, Pelita dan Annida. Pada awalnya, Award ini diadakan sebagai counter publisitas goyang ngebor Inul Daratista yang dimuat sejumlah media massa Indonesia. Untuk selanjutnya di bulan Juli 2003, Poligami Award dalam skala yang lebih besar diprakarsai Puspo Wardoyo. Tujuannya adalah mengkampanyekan poligami dan memperbaiki persepsi masyarakat tentang poligami (Nina Nurmila dalam Women, Islam and Everyday Life. Routledge. h.65-77). Melalui buku Kiat Sukses Beristri Banyak menceritakan pengalaman sehari-hari Puspo dengan keempat istrinya. 2 Aa Gym muncul sebagai seorang dai muda terkenal setelah berakhirnya kepemimpinan Soeharto di tahun 1998. Secara otomatis kondisi politik Indonesia dan penggunaan media massa mengalami perubahan sehingga memungkinkan bagi Aa Gym untuk bisa memanfaatkan peluang yang tersedia secara baik. Keterampilannya menggunakan media massa dalam menyampaikan pesan dakwah yang islami secara praktis mampu memukau sebagian besar jamaah Indonesia. Saran dan nasehat secara teratur juga diberikan kepada kepala negara beserta para menteri (Tempo, 2 November 2003.h.46-50). Alhasil Aa Gym menjadi figur muslim berpengaruh dan dikagumi oleh sebagian besar masyarakat muslim Indonesia. Bahkan menurut Majalah Time, Aa Gym menjadi acuan sebagai The Holy Man Indonesia . (C.W. Watson, „A Popular Indonesian Preacher: The Significance Aa Gymnastiar‟ dalam The Journal of The Royal Antropoligical Institute , Vol.11.

Upload: phamdang

Post on 06-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Poligami dalam masyarakat muslim Indonesia tak pernah berhenti

diperdebatkan melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik. Isu

tersebut berawal dari publikasi media massa terhadap poligami sejumlah tokoh

panutan agama yang popular saat itu seperti Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)

dengan Alfarini Eridani (Teh Rini), Rhoma Irama dengan Angel Lelga, Pujiono

Cahyo Wicaksono (Syekh Puji) dengan Lutfiana Ulfa, Ustad Arifin Ilham dengan

Oki, hingga poligami elit pemerintah, misalnya Hamzah Haz, Anis Matta, Zaenal

Ma‟arif, Lutfi Hasan Ishaq dan Aceng Fikri. Selain itu, peredaran buku-buku

provokatif dalam mengkampanyekan isu poligami, yang diterbitkan oleh

tokoh-tokoh pro poligami seperti Puspo Wardoyo (Kiat Sukses Beristri Banyak)1

dan Aa Gym (Indahnya Poligami) 2 semakin mempertajam polemik dalam

1Puspo Wardoyo adalah penerima Poligami Award pertama di bulan Mei tahun 2003

yang diselenggarakan oleh Forum Jurnalis Muslim /FJM yakni kumpulan wartawan dari berbagai

media islamist seperti Amanah, Fikri, Hidayah, Pelita dan Annida. Pada awalnya, Award ini

diadakan sebagai counter publisitas goyang ngebor Inul Daratista yang dimuat sejumlah media

massa Indonesia. Untuk selanjutnya di bulan Juli 2003, Poligami Award dalam skala yang lebih

besar diprakarsai Puspo Wardoyo. Tujuannya adalah mengkampanyekan poligami dan

memperbaiki persepsi masyarakat tentang poligami (Nina Nurmila dalam Women, Islam and

Everyday Life. Routledge. h.65-77). Melalui buku Kiat Sukses Beristri Banyak menceritakan

pengalaman sehari-hari Puspo dengan keempat istrinya. 2 Aa Gym muncul sebagai seorang dai muda terkenal setelah berakh irnya kepemimpinan

Soeharto di tahun 1998. Secara otomatis kondisi polit ik Indonesia dan penggunaan media massa

mengalami perubahan sehingga memungkinkan bagi Aa Gym untuk bisa memanfaatkan peluang

yang tersedia secara baik. Keterampilannya menggunakan media massa dalam menyampaikan

pesan dakwah yang islami secara prakt is mampu memukau sebagian besar jamaah Indonesia.

Saran dan nasehat secara teratur juga diberikan kepada kepala negara beserta para menteri (Tempo,

2 November 2003.h.46-50). Alhasil Aa Gym menjadi figur muslim berpengaruh dan dikagumi

oleh sebagian besar masyarakat muslim Indonesia. Bahkan menurut Majalah Time, Aa Gym

menjadi acuan sebagai The Holy Man Indonesia. (C.W. Watson, „A Popular Indonesian Preacher:

The Significance Aa Gymnastiar‟ dalam The Journal of The Royal Antropoligical Institute, Vol.11.

2

masyarakat hingga menjurus pada keresahan dan kekhawatiran perempuan akan

dampaknya bagi keharmonisan rumah tangga yang selama ini telah mereka bina

(Gatra, 28 Oktober 2009: 78; Tempo, Edisi 2-8 Mei 2011: 70; Nurani, Edisi 566

Desember 2011: 06-07, Brenner, 2006: 166; Gatra, 28 Oktober 2009: 78; Sabili

No.12 Th.XIV 28 Desember 2006/ 7 Dzulhijjah 1427; Forum Keadilan, No. 35,

15 Januari 2007; Reportase Sore, 2013. Trans Tv, 9 Juli, Jam 16.38; Indonesia

Lawyers Club, Selasa, 18 Desember 2012. Pukul 22.53).

Disadari atau pun tidak, poligami tokoh panutan dapat dikatakan telah

menstrukturkan persepsi dan mempengaruhi perilaku masyarakat. Misalnya,

popularitas yang dibangun Aa Gym sebagai pasangan ideal Teh Ninih dan

pendakwah unik dalam kehidupan muslim Indonesia masa kini, secara perlahan

ditinggalkan oleh penggemarnya terutama kaum perempuan. Dakwahnya seputar

ketulusan hati dan keluarga sakinah menuai kritik dari masyarakat karena tidak

sesuai dengan praktik poligami yang dilakukannya. Lebih jauh, sebagian besar

usaha bisnis yang dimilikinya seperti paket umrah, pelatihan kewirausahaan, dan

usaha kewiraswastaan mengalami pengurangan tenaga kerja dalam jumlah yang

cukup besar. Dalam keadaan yang demikian itu, sebagian masyarakat

menunjukkan simpati terhadap teh Ninih melalui sms, menulis di blog dan surat

pembaca, berhenti berkunjung ke Daarut Tauhid hingga berdemonstrasi menolak

poligami. Hal yang sama juga terjadi pada Rhoma Irama sebagai „Raja Dangdut‟

No.4 Desember 2005. h.773-792). Oleh karena itu, melalui buku Indahnya Poligami Aa Gym

menceritakan alasannya berpoligami. Salah satunya adalah usaha untuk menghilangkan

pengkultusan yang dilakukan jutaan umat Islam terhadap dirinya. Pemujaan ibu -ibu yang

berlebihan terhadap sosok kiai muda ini meresahkan diri Aa Gym. Oleh karena itu Aa Gym

memilih berpoligami untuk mementahkan kultus tersebut (Rachmat Ramadhana Al-Banjari dan

Anas Al-Djohan Yahya dalam Indahnya Poligami: Menangkap Hikmah Dibalik Tabir Poligami ,

Pustaka Al-Furqan).

3

setelah poligaminya diketahui masyarakat. Tidak berbeda dengan poligami Syech

Puji yang meresahkan masyarakat karena bersifat melanggar hak-hak anak dan

Undang-undang Perkawinan sehingga Komnas Perlindungan Anak meminta

secara legal agar pernikahan tersebut dibatalkan. Sedangkan elit pemerintah

berusaha untuk menolak pasal larangan poligami dimasukkan kedalam kode etik

DPR (Tempo, 17 Desember 2006, h. 112-113).

Sejumlah komunitas perempuan dalam institusi perkawinan dan

organisasi perempuan ikut serta menunjukkan pandangan yang berbeda-beda satu

sama lain. Seperti aksi damai atas prakarsa perempuan Hizbut Tahrir di

Yogyakarta dan Malang, demonstrasi dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

(PMII) di Malang, dialog interaktif dengan tema poligami di berbagai forum

diskusi dan media massa, kiriman pesan pendek (sms) dari sebagian besar

perempuan ke telepon seluler kepala negara, seruan penghentian kekerasan

terhadap perempuan oleh negara dari 18 organisasi perempuan, pembuatan film

bertemakan poligami hingga berdirinya klub Poligami Indonesia (Kompas, 21

Desember 2006:3; Kompas, 23 Oktober 2009:53; Kompas, 10 Juni 2011: 40).

Bahkan sebagai upaya mendapatkan empati perempuan terhadap wacana

poligami yang sedang berkembang, Asma Nadia3 melalui buku cerita non fiksi

berjudul Catatan Hati Seorang Istri mengungkapkan beragam upaya

perempuan dalam menyelesaikan prahara rumah tangga mereka. Buku tersebut

berhasil meraih National Best Seler di tahun 2007 dari Majalah Tempo dan

Harian Berita Kompas berdasarkan survey pada 27 toko buku Gramedia di tanah

3 Asma Nadia adalah seorang penulis novel yang telah banyak mendapat penghargaan

nasional dan regional, diantaranya tercatat sebagai pengarang fiski terbaik I di tahun 2008

4

air, hingga Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) menayangkannya menjadi

sinetron pada tahun 2014 dan itu pun berhasil mencapai posisi pertama dengan

rating 5,5 dan share 21 dibandingkan sinetron Ganteng-Ganteng Srigala yang

berada pada posisi kedua dengan rating 5,2 dan share 24,5 (Nadia, 2011:v;

Pandito Rayendra, “Catatan Hati Seorang Istri Ungguli Ganteng-Ganteng

Srigala” diakses dari http://www.tabloid bintang.com, pada tanggal 12 September

2015 pukul 15.00 WIB). Kesemuanya ini merupakan upaya segelintir perempuan

untuk menjelaskan resistensi mereka terhadap poligami yang sarat dengan

muatan-muatan kekerasan terhadap perempuan.

Berbeda halnya dengan sejumlah masyarakat yang sudah cukup lama

mempunyai tradisi poligami dalam sistem perkawinan mereka dan bersikap

fanatik dalam beragama seperti orang Minang, orang Aceh, ataupun orang Banjar

(Alim, 1986: 25; Efendi, 2014: 24). Dan ketika poligami dihadapkan dengan

perselingkuhan, mereka akan cendrung membenarkan poligami sebagai alternatif

untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perzinaan. Maka tidaklah

mengherankan apabila pengajian Aa Gym masih diminati publik di tengah

luasnya pemberitaan isu poligaminya, tidak pula mengurangi simpati penggemar

terhadap Rhoma sang „raja dangdut‟, dan melihat perkawinan Syech Puji-Ulfa

sebagai sebuah kewajaran. Bahkan poligami bisa dipandang sebagai pilihan yang

lebih positif dilakukan elit pemerintah daripada perselingkuhan. Kesemuanya itu

adalah cerminan dari perbedaan hasil pemahaman masyarakat terhadap agama

dan pengaruh perbedaan latar belakang sosial dan budaya.

5

Masalah ini tentunya sangat serius karena Presiden SBY, sebagai kepala

negara saat itu, memberikan perhatian yang cermat terhadap perkembangan kasus

poligami yang dikritisi kaum perempuan. Alhasil, peraturan negara yang selama

ini hanya diterapkan untuk mengontrol prilaku seksual PNS dan TNI/ABRI

diperluas jangkauannya untuk pejabat negara, pejabat pemerintahan dan anggota

DPR.4 Oleh karena itu, pemerintah berupaya mengatur ketentuan pidana bagi

pelaku nikah siri, mut‟ah, poligami, dan perkawinan berbeda kewarganegaraan

dalam rumusan Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Materil Peradilan

Agama Bidang Perkawinan.5 Akan tetapi, tidak adanya tersirat kesetaraan dalam

sanksi hukum pidana perkawinan, sejumlah kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir

Indonesia, Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia, Forum Ulama Umat

Indonesia maupun organisasi perempuan seperti Komnas Perempuan, Jaringan

Kerja Proglenas Pro Perempuan (JKP3), Rifka Annisa, dan Perempuan Kepala

Rumah Tangga (Pekka) memperdebatkan rencana legalisasi peraturan perkawinan

4 Presiden SBY meminta Peraturan Pemerintah (PP) No.10 Tahun 1983 (14 Bab dan 67

Pasal) tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS, yang telah direvisi menjadi Peraturan

Pemerintah (PP) No.45 Tahun 1990 tentang perubahan pemer intah mengenai izin perkawinan dan

perceraian bagi PNS untuk dapat direvisi kembali (Simak Tempo, 17 Desember 2006, h. 23;

108-110). 5

Draf Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Perad ilan Agama Bidang

Perkawinan yang memuat 24 Bab dan 156 Pasal, dimaksudkan untuk melengkapi UU No.1 Tahun

1974 tentang Perkawinan. RUU tersebut dibuat dengan mengacu pada Kompilasi Hukum Islam

(KHI) dan mengatur perkawinan secara detail khususnya untuk warga negara beragama Islam.

RUU tersebut meliputi syarat sah perkawinan, perceraian, perwalian anak, hak dan kewajiban

suami istri, rujuk, perkawinan campur dan ketentuan pidana (10 pasal) bagi pelanggar ketentuan

di dalamnya. Ketentuan pidana dalam RUU tersebut memunculkan perdebatan dalam masyarakat.

Hal itu dikarenakan dalam pasal 142 ayat 3 yang mengatur perkawinan beda kewarganegaraan

mengharuskan pria asing untuk memberikan jaminan 500 juta apabila menikah i perempuan WNI.

Selain itu, pasal 143 menyebutkan bahwa pelaku nikah siri atau yang tidak dicatat pejabat resmi

maupun pelaku poligami tanpa ijin isteri pertama yang disahkan pengadilan, bisa dikenakan

denda sejumlah 6 juta atau hukuman penjara 6 bulan. Pasal 144 ditujukan kepada pelaku nikah

mut‟ah atau kawin kontrak dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun dan pembatalan

perkawinannya demi hukum. Lihat Kompas 2006; Kompas 2006d:4; Kompas 2007:35; Kompas

2007:5; Kompas 2009:12; Kompas 2009:53; Kompas 2010:5:35

6

dan perceraian dalam kaitannya dengan asas perkawinan (Kompas, 27 Agustus

2007, h.35).

Peristiwa yang hampir sama juga terjadi pada masa kepemimpinan

Soeharto terutama pada saat dirumuskannya Rancangan Undang-undang

Perkawinan oleh pemerintah bersama DPR hingga diberlakukannya dalam bentuk

Undang-undang No.1 Tahun 1974. Secara menakjubkan, partai dan massa Islam

bereaksi melakukan penolakan atas Rancangan Undang-undang Perkawinan

karena dianggap bertentangan dengan asas poligami Islam (Amak F.Z, 1976;

Kompas, 1968: III kol 4). Sementara, sejumlah organisasi perempuan menuntut

adanya payung hukum yang seragam untuk melindungi perempuan dari upaya

poligami, kawin paksa, perkawinan anak/perkawinan dini (early marriage) dan

perceraian yang sewenang-wenang. Dalam hal ini, istri Presiden Soeharto

mengisyaratkan agar Undang-undang Perkawinan yang bersifat monogami dapat

diperjuangkan. (Simak Tempo, 14 Juni 1973, h.5). Pada akhirnya Undang-undang

Perkawinan berasaskan monogami bisa diterima masyarakat dan pemerintah

memperketat praktek poligami bagi Pegawai Negeri Sipil.

Praktik serupa memiliki kesamaan historis dengan masa kepemimpinan

Soekarno. Pada masa itu, pemerintah mulai membenahi sistem peradilan Belanda

yang cendrung memihak pada sistem peradilan waris tradisional daripada hukum

Islam. Hasilnya direalisasikan pemerintah dalam bentuk RUU Perkawinan Umum

dan RUU Perkawinan Umat Islam (Siegel, 2000:23). Salah satu konsep yang

dipersiapkan adalah izin khusus poligami, dengan catatan pasangan tersebut tidak

keberatan dan suami memiliki kemampuan secara fisik dan ekonomi. Meskipun

7

demikian, tetap saja poligami secara resmi dibiarkan oleh negara. Terlihat dari

pengumuman yang dikeluarkan pemerintah tanggal 1 Maret 1952 tentang

tunjangan pensiun dua kali lipat bagi janda-janda pegawai negeri yang tidak lebih

dari empat orang. Aspek inilah yang mendasari terjadinya demonstrasi pertama

setelah kemerdekaan oleh sejumlah organisasi seperti Persatuan Wanita Indonesia

(Perwari), Bhayangkari, dan beberapa organisasi perempuan lainnya kecuali

Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang tidak menunjukkan pembelaan dalam

memperjuangkan lahirnya undang-undang perkawinan. Pada akhirnya draf yang

telah ada tidak pernah terselesaikan disamping perebutan kekuasaan dari

kelompok yang menghendaki kesatuan hukum negara dan hukum agama dalam

kehidupan umum, juga poligami Sukarno yang secara cepat ditransfer ke arena

publik oleh partai politik (Darwin, 2004: 288; Van Der Kroef, 1953:124; 1957:

120; Kompas 01 Juni 2001:76).

Perbedaan pandangan yang muncul pada setiap zaman dalam perumusan

undang-undang perkawinan itu merupakan suatu tanda adanya ketidaksesuaian

faham dalam menafsirkan perkawinan khususnya poligami. Sebagaimana Dicky

Chandra, Ketua Masyarakat Poligami Indonesia, berpendapat bahwa perkawinan

mengalami reduksi makna pada saat poligami dibatasi ruang geraknya bahkan

dilarang. Sementara itu, solusi tidak diberikan bagi individu yang ingin

berpoligami di luar persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang

Perkawinan. Tidak heran apabila segelintir masyarakat melakukan nikah siri dan

mut‟ah untuk memperoleh istri simpanan atau tambahan karena sulitnya proses

berpoligami secara administrasi di pengadilan. Berbeda dengan Nasaruddin Umar,

8

Dirjen Bimas Islam, perkawinan menurutnya disamping berada pada wilayah

pribadi, juga menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi warga ketika

persoalan sosial muncul apalagi angka perceraian semakin meningkat dari 20.000

mencapai 200.000 setiap tahunnya. Dalam posisi ini pemerintah berhak

melindungi hak asasi perempuan agar tidak dilecehkan dan identitas anak-anak

dari perkawinan siri atau mut‟ah karena sistem hukum Indonesia tidak pernah

mengakui bentuk pernikahan tersebut (Metro Pagi, 2010:06.27).

Dapat disebutkan bahwa salah satu penyebab tertinggi angka perceraian

menurut Dirjen Bimas Islam tersebut adalah gugat cerai oleh istri karena suami

menikah lagi dengan diam-diam atau menikah siri. Berdasarkan data dari

Departemen Agama bahwa perceraian mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun, yaitu pada tahun 2004 terjadi 42.769 perceraian dan 813 perceraian

disebabkan oleh poligami, kemudian tahun 2005 terjadi 55.509 perceraian dan

879 karena poligami. Sedangkan tahun 2007 tidak disebutkan data perceraian

tetapi 983 perceraian disebabkan oleh poligami. (Kompas, 22 May 2009: 47).

Tahun 2012 terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Dari 2 juta orang yang

menikah, 280 ribu bercerai (TvOne, 2013:14:14). Di dalam proses ini, perempuan

menjadi sosok yang rentan diceraikan dalam perkawinan poligami apalagi tidak

ada nilai-nilai hukum yang melindungi mereka dalam perkawinan tersebut.

Dengan demikian, poligami disebutkan sebagai salah satu faktor

penyebab terjadinya perceraian meskipun ketidakkonsistenan pelaku poligami

mempraktekkan prinsip perkawinan merupakan faktor esensial terjadinya

perceraian. Memang, pelaku poligami disyaratkan untuk berlaku adil dalam

9

perkawinan walaupun keadilan itu sendiri tidak bersifat mutlak tetapi keadilan

yang memang masih berada dalam batas-batas kemampuan -sebagai manusia-

untuk mewujudkannya. Namun, semakin buruknya praktek poligami yang

ditunjukkan oleh pasangan berpoligami menyiratkan monogami sebagai bentuk

perkawinan yang ideal untuk menghindari kemungkinan seseorang terjebak pada

prilaku tidak adil baik secara materil dan non materil dalam perkawinan.

Gagasan dominan tentang kedua bentuk perkawinan tersebut sebagaimana

diuraikan di atas, seringkali diwacanakan media massa dengan sejumlah konotasi

seperti cara untuk „menghindari zina‟, sebagai „pintu darurat‟, „solusi sosial‟, pro

kumpul kebo dan menghujat syari‟at. Bahkan mitos-mitos misoginis bagi

perempuan seperti perawan tua, perempuan akan masuk surga jika dimadu,

jumlah perempuan lebih banyak daripada laki- laki, perbedaan tingkat nafsu,

acapkali digambarkan media massa sebagai penerimaan perempuan terhadap

poligami. Hal itu menunjukkan bahwa media massa turut serta mengkonstruksi

citra perempuan dalam perkawinan poligami dengan simbol dan ideologi tertentu

yang berakibat pada peneguhan dominasi laki-laki atas perempuan.

Cara pandang yang sama memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk

diprioritaskan sebagai isu utama bagi sejumlah media massa yang diterbitkan

jauh sebelum Kongres Perempuan I berlangsung. Dikarenakan media massa pada

saat itu lebih tertarik mengkritik poligami sebagai upaya menarik simpati

perempuan untuk berjuang menentang praktik poligami. Sebagaimana tercatat

dalam sejarah modern, Kartini adalah perempuan yang pertama kali berjuang

menentang poligami meski dikalahkan oleh poligami. Rohana Kudus (1912) juga

10

mengkritik praktik poligami meskipun harus berdebat dengan para ulama lewat

surat kabar yang dipimpinnya, Soenting Melayu. Termasuk kritik yang

disampaikan Ny. Abdoerachman tentang perkawinan dan pendidikan perempuan

dalam Putri Mardika (1914) (Savitri, 2006: 41; Setyowati, 2009: 21; Dahlia,

2013: 125). Siti Sundari sebagai redaktur media cetak Wanita Sworo (1913) juga

mengkritik poligami dengan keras meskipun artikel yang dipublikasikan lebih

fokus membahas persoalan domestik (Stures, 1960: 63-64). Sementara itu, media

cetak terbitan Sarekat Islam cabang Batavia bernama Pantjaran Warta (1913)

berkontribusi mengkritik perkawinan konkubinat (pergundikan) perempuan

Indonesia (yang disebut Nyai) dengan laki- laki Eropa atau Cina karena dianggap

merendahkan derajat perempuan dan bangsa Indonesia. Seharusnya konkubinat

ditiadakan dan dijadikan perkawinan yang resmi dan jelas sebagaimana

diberitakan oleh Kaum Muda di awal tahun 1915 (Korver, 1985: 45; 54). Dengan

demikian, media cetak yang diterbitkan sebelum Kongres Perempuan Indonesia I

tahun 1929 sudah mulai memperjuangkan isu poligami selain pendidikan, anak

dan kehidupan berumahtangga.

Media massa yang berkembang pesat saat ini tidak lagi seefektif periode

itu mengkritik persoalan poligami. Dikarenakan aspirasi penolakan perempuan

terhadap poligami telah diwujudkan pada masa kepemimpinan Suharto berupa

UU Perkawinan No.1 tahun 1974 dimana poligami tetap diperbolehkan tetapi

dengan syarat-syarat tertentu. Dalam penerbitan media massa sesudahnya, isu

poligami hanya akan dimuat apabila dipraktikkan tokoh masyarakat atau publik

figur disertai dengan kemasan yang menarik sebagai daya tarik untuk

11

meningkatkan popularitas media tersebut. Tema kekerasan dalam rumah tangga

baik fisik dan psikis terhadap perempuan dan anak selain kemampuan suami

bersikap adil seringkali diungkapkan media massa tanpa mengkritik kesesuaian

UUP tersebut dengan masa sekarang. Artinya, media massa tidak lagi

mengandalkan ideologi yang dominan semata tetapi telah menghubungkan diri

dengan selera pasar.

Situasi itu mendorong umat Islam berupaya memperoleh pemahaman

yang akurat perihal poligami dari berbagai perspektif termasuk perspektif Islam.

Meskipun media massa umum mampu menjelaskannya secara lebih baik, tetapi

umat Islam berkesempatan menyerap informasi itu dari media massa khusus yang

dimiliki umat Islam. Rahmat (1998: 54-55) melihat beragam defenisi tentang

media massa Islam yakni; Pertama, media massa yang pada tingkat simbol

menggunakan nama Islam, seperti Ummat, Panji Masyarakat dan Amanah.

Kedua, media massa itu tidak menggunakan simbol-simbol Islam tetapi secara

tersirat dipersepsikan orang bahwa dia memikul misi keagamaan, seperti

Republika dan Kompas. Ketiga, media massa yang tidak membawa

lambang- lambang Islam, juga tidak secara implisit membawa misi Islam, tetapi di

media massa itu banyak orang Islam yang berupaya memasukkan

gagasan-gagasan mereka, seperti Radio Ramako. Dengan kata lain, media massa

Islam adalah media komunikasi yang digunakan oleh dan untuk masyarakat Islam

dengan menekankan pada unsur-unsur isi, etika media dan komitmen terhadap

Islam sebagai pedoman kasar untuk bisa diindikasikan sebagai media Islam

(Abdullah, 2009: 259).

12

Media cetak Islam adalah bagian dari media massa Islam yang cenderung

diperuntukkan bagi pembaca yang sebagian besar orang Islam. Media cetak itu

boleh jadi berupa majalah, tabloid, buletin, jurnal, surat kabar, buku, maup un

risalah-risalah yang beridentitaskan Islam sebagai literatur pengimbang terhadap

beragam informasi media massa umum yang bertolak belakang dengan Islam dan

dunia Islam. Contoh-contoh dari media cetak ini dapat dijumpai pada media cetak

Islam berskala besar dan popular hingga selebaran-selebaran kecil yang

diedarkan tiap hari Jum‟at, yang dikelola oleh beragam perusahaan media massa

dalam rupa penerbitan yang sederhana hingga paling modern. Pasang surut

perkembangannya dipengaruhi oleh eskalasi politik, masyarakat pembaca, sisi

komersial dan ideal media.

Majalah Islam termasuk salah satu bagian dari media cetak Islam yang

cakupannya telah dipersempit dan disesuaikan dengan segmentasi pembacanya.

Umumnya, segmen pembaca majalah ini berasal dari kelompok menengah Islam

Indonesia yakni kalangan remaja, laki- laki dan perempuan dewasa, hingga

keluarga muslim yang memiliki ketertarikan lebih besar pada pengayaan spiritual

di tengah kesibukan kerja. Muatan isinya tidak lagi terbatas pada persoalan ritual

keagamaan, dakwah, dan politik seperti di awal perkembangannya tetapi sudah

mulai bersentuhan dengan budaya popular seperti fashion dan mistik sejak

berakhirnya kepemimpinan Soeharto di tahun 1999 (Irawanto, 2006: 307). Di

tengah kompetisi antar majalah yang semakin ketat dalam memperebutkan hati

pembaca maka majalah Islam juga meningkatkan kualitas dengan memperbaharui

tampilan dan isi. Bahkan beberapa majalah Islam seperti Hidayah menyiasati

13

persaingan itu dengan cara bersinergi dengan televisi dan radio (Majalah &

Tabloid, 2005: 35).

Keragaman corak majalah Islam yang ada tidak bisa dilepaskan dari

berbagai aliran pemikiran dan pemahaman yang diwakili oleh majalah tersebut

dengan tidak melupakan sisi komersial dan ideologisnya. Menurut Sudibyo

(2006), corak majalah Islam terdiri atas: pertama, majalah Islam yang

berorientasi keagamaan secara ekstrim. Seluruh proses komunikasi berjalan

secara monologal tanpa disediakannya ruang buat dialog secara rasional dan

interaksi pemikiran. Kedua, majalah Islam yang bercorak progresif liberal. Dalam

hal apapun, mereka lebih terbuka terhadap perbedaan pendapat dan lebih

apresiatif terhadap posisi atau sikap yang bertentangan dengan mereka. Ketiga,

majalah Islam yang bercorak moderat (Syafi‟i, 2005: 19). Moderat itu artinya

tidak ekstrim, melainkan cenderung ballance (seimbang) dan mengambil posisi di

tengah. Selain itu, bersifat inklusif, modern dan terbuka terhadap berbagai macam

mozaik pemikiran, serta peka terhadap berbagai aspirasi beragam kelompok yang

ada. Kelompok dengan corak ini berada di antara majalah Islam yang bercorak

ekstrim dan progresif liberal. Ketiga orientasi majalah Islam tersebut hanya

muncul pada saat reformasi sebab di masa kepemimpinan Suharto, aspirasi umat

Islam dan perbedaan-perbedaan pandangan tidak bisa diekspresikan secara bebas

karena dikontrol oleh rezim yang berkuasa.

Untuk ketiga kategori tersebut dipilih tiga majalah sebagai berikut:

Pertama, majalah Sabili yakni majalah Islam yang memiliki visi dan misi untuk

menegakkan syari‟at Islam serta menjadikan generasi muda Islam dan kalangan

14

terpelajar sebagai segementasi pembacanya. Majalah Sabili pernah mewakili

kategori majalah keagamaan yang berorientasi ekstrim, pernah menempati tiras

teratas sebanyak 380 ribu eksemplar pada tahun 2005 (Syir‟ah, 2006: 19).

Menurut Bagir dari segi ideologi majalah Sabili selain Hidayatullah adalah

majalah Islamis (Syafi‟i, 2006:52) dengan berita yang bombastis, kontroversial

dan sering menentang kebijakan pemerintah maka majalah Sabili termasuk

kategori majalah keagamaan yang berorientasi ekstrim.

Kedua, majalah Syir‟ah yakni majalah Islam yang mewakili kategori

majalah Islam yang progresif liberal. Pemahaman Islam yang toleran dan liberal

seringkali dimuat dalam isu- isu sosial keagamaan seperti terorisme, perdamaian,

perdagangan bebas, civil society, dan sebagainya. Majalah Syir‟ah menurut Bagir

(Syafi‟i, 2006: 54) termasuk majalah ideologi yang liberal (siap menerima

pandangan apapun yang berkembang termasuk yang tak disetujuinya), Majalah

ini cenderung memilih generasi Islam liberal sebagai tokoh narasumber dalam

menyampaikan pemikirannya karena menurut Qodir (2007:110) mereka bekerja

pada pijakan kemanusiaan untuk semua, bukan landasan teologi yang kaku dan

diskriminatif. Segmentasinya ditujukan untuk orang dewasa dan mahasiswa.

Ketiga, majalah NooR yakni majalah Islam yang memiliki visi dan misi

menjadikan muslimah dewasa bergaya hidup Islami dan menjadikan perempuan

muslimah sebagai generasi pembacanya. Majalah Noor mencapai tiras 30.000

bahkan mencapai 50.000 per edisi, lebih tinggi dari majalah sejenis seperti Paras,

Umi, Alya yang memiliki tiras rata-rata 20.000 per edisi. Majalah NooR

merupakan satu dari 14 majalah dan tabloid yang dikelola Pinpoint seperti audio

15

pro, PC Media, mobil motor, Noor, Perkawinan, Salon, Lisa yang masih eksis

hingga sekarang (Cakram Komunikasi, 2005:7). Bagi perempuan muslimah yang

akan menekuni agama atau memperdalam ilmu agama Islam akan membaca

majalah Noor dan Ummi (NBR, 2005:8). Namun pernyataan itu agaknya

berlebihan, sebab dilihat dari isi dan sebagaimana pendapat Jones (2010: 102),

Noor sebagai fashion magazine khususnya bagi kaum perempuan. Bahkan the

fashion pages from Noor portrait women modeling fashionble muslim dress: for

work, home, dinner and night out (Wicheken, 2010:57).

Pemilihan ketiga majalah tersebut tidak hanya didasarkan pada kategori

media Islam yang pada tingkat simbolik menggunakan nama Islam dan pers yang

menyatakan dirinya Islam dan menggunakan atribut-atribut formal Islam

(Rakhmat, 1998: 54; Sobur, 2004: 260) tetapi juga mewakili ketiga orientasi

majalah Islam sebagaimana penulis sebutkan di atas. Kekhasan tiga majalah

Islam yakni majalah Syir‟ah, majalah Sabili dan majalah NooR, dalam kajian

wacana poligami dapat saling mengisi karena masing-masing majalah memiliki

visi-misi, ideologi, serta segmentasi yang berbeda. Namun, pertentangan ideologi

serta keberpihakan masing-masing media juga dapat terlihat. Sehingga kajian ini

menjadi bagian penting dari riset wacana tentang poligami yang melibatkkan tiga

majalah Islam sekaligus sebagai wacana pertarungan antara kelompok Islam garis

keras dan Islam progresif liberal di Indonesia, sesungguhnya ada kelompok yang

lebih besar. Mereka cenderung apolitis, tidak ideologis dan acuh tak acuh atas

perdebatan pemikiran yang terjadi (Sudibyo, 2006).

16

1.2 Rumusan Masalah

Praktik poligami bukanlah menjadi cerita baru dalam Islam. Hanya saja

bagaimana praktek poligami dijalankan suatu masyarakat menjadi misi dari

masing-masing kelompok Islam yang diujung kelompok-kelompok itu telah ada

beragam majalah seperti Sabili, Syir‟ah atau NooR yang memberikan

sumbangan pemikiran dan memberikan penilaian atas setiap praktik poligami

yang dilakukan. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa tiap-tiap

majalah berhasrat meraup sebanyak mungkin pembaca tertentu sebagai bagian

dari sense of mission majalah tersebut.

Ketiga majalah Islam yakni Sabili, Syir ‟ah dan NooR menjelaskan isu-isu

poligami dengan cara yang beragam mulai dari bentuk cerita fiksi maupun non

fiksi. Akan tetapi, majalah-majalah Islam tersebut membuka isu poligami dengan

berbagai argumen yang berbeda. Argumen itu disusun dan diseleksi berdasarkan

sudut pandang yang sudah dipersiapkan untuk memperebutkan perhatian

masyarakat pembaca. Ini mengharuskan majalah Islam memproduksi makna

yang beragam mengenai perkawinan poligami seperti „menghindari zina‟,

sebagai „pintu darurat‟, atau „solusi sosial‟ untuk memberikan identitas dan

menampilkan penafsiran tentang poligami yang secara tidak langsung

mengarahkan masyarakat pembaca pada pengambilan keputusan. Memang

majalah-majalah Islam tersebut memiliki kemampuan dalam menampilkan

perkawinan poligami melalui gambaran yang mendukung atau pun menolak

sampai dengan menghadirkan majalah Islam dalam beragam perspektif.

17

Berdasarkan uraian di atas, mengkaji bermacam-macam majalah Islam

dalam caranya merepresentasikan persoalan poligami menarik untuk dicermati.

Dengan ini, penelitian diarahkan untuk memecahkan masalah pokok yakni:

bagaimana majalah-majalah Islam yakni Sabili, Syir’ah dan NooR

merepresentasikan isu poligami?

Pertanyaan umum ini selanjutnya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan

yang lebih rinci sebagai berikut:

1. Bagaimana wacana poligami dikonstruksi oleh majalah Sabili, Syir‟ah dan

NooR?

2. Bagaimana perempuan diwacanakan oleh majalah Sabili, Syir ‟ah dan NooR

dalam wacana poligami tersebut?

3. Identitas perempuan seperti apa yang direpresentasikan majalah Sabili,

Syir‟ah dan Noor dalam wacana poligami?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini pada hakekatnya bertujuan untuk mendeskripsikan,

menganalisa dan memahami secara mendalam:

1. Konstruksi wacana poligami oleh media cetak Islam melalui majalah Sabili,

Syir‟ah dan NooR

2. Keberadaan perempuan dalam wacana poligami pada majalah Sabili, Syir‟ah,

dan NooR

3. Identitas perempuan yang ditampilkan oleh majalah Sabili, Syir‟ah dan

NooR dalam isu poligami.

18

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan manfaat atau kontribusi teoritik terkait penerapan

kajian representasi terhadap wacana poligami yang dikonstruksi majalah Islam

yakni majalah Sabili, Syir‟ah dan NooR. Selain itu penelitian ini juga

memberikan kontribusi teoritik terkait identitas perempuan yang diwacanakan

oleh majalah Sabili, Syir ‟ah dan NooR sebagai bagian dari konstruksi poligami

secara keseluruhan.

Secara praktis, penelitian ini memberikan gambaran yang utuh tentang

dinamika wacana poligami yang berkembang di majalah Sabili, Syir‟ah dan

majalah NooR. Selain itu, penelitian ini juga penting untuk mengetahui pola pikir

(ideologi) dan keberpihakan majalah Islam berdasarkan sudut pandang yang

digunakan majalah Islam tersebut.

Dengan demikian, penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan

yang bermanfaat terhadap kalangan peneliti sosial yang meneliti tentang poligami,

peneliti media, praktisi media yang mengangkat wacana poligami sebagai isu

kajian. Bagi media cetak khususnya majalah Islam, kajian ini dapat menjadi

bahan telaah yang membawa pengaruh bagi kehidupan keluarga muslim maupun

kebijakan pemerintah tentang perkawinan poligami di Indonesia.

1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori

1.5.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka ini berupaya memetakan aspek kajian yang sudah diteliti

dan menemukan aspek yang belum banyak diteliti sehingga peneliti mengetahui

posisi penelitian ini di antara berbagai penelitian yang sudah dilakukan dan

19

menjadikannya sebagai studi dalam sebuah penelitian. Penelusuran yang

dilakukan tentang poligami menemukan beberapa kajian terdahulu yang meliputi

tinjauan poligami secara legal formal, praktek poligami, implikasi dari

perkawinan poligami, serta wacana (discource) poligami. Pada bagian akhir

paparan dari kajian pustaka ini, peneliti menyampaikan posisi studi ini di antara

studi-studi yang berhubungan dengan poligami.

Kajian tentang poligami yang dilihat secara legal formal baik berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maupun sumber hukum

Islam sebagai acuan umat Islam telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu.

Sebagaimana studi Abdul Qodir (2005) dalam Memilih Monogami: Pembacaan

Atas Al-Quran dan Hadist Nabi. Studi tersebut menjelaskan bahwa pilihan

monogami bukan soal pengharaman sesuatu yang telah dihalalkan dalam Islam,

bukan pula soal pembiaran terhadap nasib perempuan yang jumlahnya lebih

banyak daripada laki- laki, juga bukan soal ajaran Barat dan Timur, melainkan

soal implementasi perintah al-Qur‟an terhadap keharusan berlaku adil dan

larangan tindakan aniaya dalam perkawinan. Dalam studinya tersebut, Qadir

memperkuat argumentasi teologis terhadap pilihan monogami berdasarkan

teks-teks al-Qur‟an dan Hadis Nabi. Dengan begitu bagi mereka yang ingin dan

propoligami hendaknya mempertimbangkan segi hukum Islam dan hak-hak

perempuan dan kerelaan mereka.

Kajian berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilihat

dalam beberapa studi. Diantaranya studi Suzanna Eddyono (2015) dalam Narasi

Hak-hak dalam Perdebatan mengenai Poligami di Indonesia. Studi ini

20

menjelaskan respon negara dan kelompok-kelompok perempuan terkait dengan

judical review pasal-pasal yang mengatur tentang poligami. Hasil studi

menunjukkan bahwa Negara menolak tuntutan judical review tersebut karena

dipandang sebagai upaya menghapus instrumen perlindungan terhadap

perempuan dan anak-anak. Sementara itu kelompok-kelompok perempuan

berupaya untuk menegosiasikan hak-hak mereka sebagai warga negara dan

komunitas agamanya terlepas dari penekanan ulang negara yang mengakui dan

menempatkan perempuan dalam komunitas agamanya.

Ika Oktavianti (2006) dalam tesis berjudul Implementasi PP No. 45 tahun

1990 Jo.PP No.10 Tahun 1983 tentang Perkawinan Pegawai Negeri Sipil di

Kabupaten Kutai Kartanegara juga melihat aspek legal formal yang berkaitan

dengan poligami. Studi ini menfokuskan pada alasan poligami yang dilakukan

PNS di Kutai Kartanegara untuk menghindari Peraturan Pemerintah tersebut dan

cara yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hasil studi

menunjukkan bahwa pernikahan di bawah tangan, hidup bersama tanpa ikatan

perkawinan yang sah, atau PNS perempuan menjadi isteri yang kedua merupakan

solusi bagi PNS di Kabupaten Kutai Barat supaya tidak terjerat oleh ketentuan

negara yang mengatur perkawinan pegawai negeri sipil. Dengan demikian,

perkawinan yang dilakukan tidak sah berdasarkan aturan pemerintah, meskipun

sah secara agama, sehingga segala hal terhadap perkawinan tersebut dapat

terlepas dari ketentuan dalam peraturan tersebut.

Paralel dengan studi yang dilakukan Yeni Gusti (2010) di Kota Padang dalam

judul Tinjauan terhadap Putusan Pengadilan Agama tentang Perkawinan

21

Poligami (Studi Kasus di Pengadilan Agama di Kota Padang). Studi ini

menjelaskan penyebab poligami yang ditemukan di Pengadilan Kota Padang. Hal

itu terkait dengan ketidakmampuan istri memberikan keturunan, sakit menahun,

tidak bisa mensupport suami, lalai dalam menjalankan kewajiban, suami terlanjur

cinta pada calon istri keduanya tersebut sebagai penyebab terjadinya perceraian

dalam perkawinan. Hampir sama dengan studi Sadiansyah Sabara (2007) dalam

Pelaksanaan Poligami Ditinjau dari UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

di KUA Kota Makassar. Hasilnya menunjukkan bahwa 4 (empat) faktor yang

mempengaruhi terjadinya poligami, yaitu: faktor agama, faktor ekonomi, faktor

keturunan dan faktor hawa nafsu.

Berdasarkan kajian Eddyono (2015), Gusti (2010), Sabara (2007), Oktaviani

(2006), pada aspek legal formal dapat dilihat bahwa orientasi seksual biologis

sebagai faktor utama terjadinya poligami dalam rumah tangga. Meskipun negara

melalui pemerintah telah memberlakukan aturan tentang perkawinan ternyata

tidak menjadi jaminan untuk tidak menemukan celah membenarkan poligami

demi orientasi biologis dan meningkatkan status sosial di masyarakat. Padahal

Qadir (2005) sudah menyampaikan bahwa berdasarkan sumber hukum Islam,

poligami yang dicontohkan Nabi bukan dengan pertimbangan biologis tetapi

karena alasan perlindungan terhadap para janda dan anak yatim.

Kajian tentang praktek poligami paling banyak menjadi perhatian peneliti

dari berbagai sudut pandang. Salah satunya melihat keterkaitan praktek poligami

yang berlangsung dari masa lalu hingga poligami yang diaplikasikan pada masa

sekarang, sebagaimana dibahas Musfir Aj-Jahrani (1996) dalam studinya

22

Poligami dari Berbagai Persepsi. Studi ini menjelaskan perbedaan penerapan

praktik poligami di masa lalu oleh bangsa Cina, India, Persia, Mesir Kuno, Arab,

Yahudi dan termasuk bangsa-bangsa Eropa dengan poligami yang dpraktikkan

oleh Islam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada batasan yang jelas

mengenai jumlah istri yang dimiliki pada zaman sebelum kedatang Islam tetapi

setelah Islam hadir maka perempuan yang boleh dinikahi hanya empat orang.

Meskipun Jahrani mengutip beragam pendapat dari berbagai ulama Islam tetapi

tidak ditemukan argumentasi pribadinya kecuali berusaha menggiring pembaca

kepada pendapat yang cendrung berpihak terhadap poligami.

Praktik poligami dalam studi Khozin Abu Fakih (2007) dengan judul

Poligami Solusi atau Masalah? juga menunjukkan keberpihan terhadap poligami

secara jelas. Hasil studi ini menjelaskan bahwa poligami tidak dilakukan dengan

alasan kesenangan pribadi tetapi bertujuan untuk keselamatan dan terjaganya

sebuah keluarga. Serupa halnya dengan studi Ridha Salamah (2005) yang

berjudul Menjadi Suami Sejati jangan Menjadi Suami Gagal. Studi ini menjadi

menarik karena penulisnya adalah seorang perempuan yang secara persuasif

menggiring pembaca untuk berpoligami. Ridha Salamah (2005) menfokuskan

studinya pada perilaku baik suami terhadap istri. Perilaku baik suami dalam

kehidupan rumah tangga terlihat dari kemampuannya memuliakan para istri

dengan sebaik-baiknya sebagai bentuk kesuksesan suami memimpin rumah

tangga poligami. Bagian bab terakhir diberikan alternatif dengan bahasa yang

menganjurkan untuk menambah istri.

Studi Siti Musdah Mulia (1999) yang berjudul Pandangan Islam tentang

23

Poligami bertolak belakang dengan studi Jahrani (1996), Fakih (2007), dan

Salamah (2005). Studi tersebut lebih menitikberatkan pembahasannya pada

perubahan-perubahan yang radikal dalam pelaksanaan poligami berdasarkan

faktor sosio-historis. Pertama, membatasi bilangan istri hanya sampai empat

orang, itu pun hanya boleh kalau suami mampu berlaku adil. Syarat ini dirasakan

amat berat kalau tidak ingin dikatakan mustahil dapat terpenuhi. Perubahan kedua,

membatasi alasan poligami: poligami hanya dibolehkan semata-mata demi

menegakkan keadilan, bukan dalam kerangka memuaskan nafsu biologis. Ini pun

ternyata lebih sulit dipenuhi. Musdah juga menyampaikan bahwa faktor- faktor

yang mendorong timbulnya poligami berakar pada mentalitas dominasi (merasa

kuat) dan sifat depotis (semena-mena) kaum pria. Dan sebagian lagi berasal dari

perbedaan kecendrungan alami antara laki- laki dan perempuan dalam hal fungsi

reproduksi.

Jahrani (1996), Fakih (2007), Salamah (2005) dan Musdah (1999) memiliki

sudut pandang yang berbeda berkaitan dengan praktik poligami. Meskipun

Salamah (2005) dan Musdah (1999) sama-sama penulis perempuan tetapi

keduanya memiliki pemikiran yang bertolak belakangan tentang poligami.

Salamah (2005) justru memiliki pemikiran yang hampir sama dengan Jahrani

(1996) dan Fakih (2007) dalam hal menggiring pembaca untuk memilih poligami.

Sementara Musdah (1999) memiliki pendapat yang berbeda dengan mengajak

pembaca untuk bermonogami. Hal itu terlihat sekali dalam studinya dengan judul

Islam Menggugat Poligami (2004). Studi ini menjelaskan bahwa praktek

poligami di masyarat telah menimbulkan problem sosial yang meluas dan sudah

24

sangat memprihatinkan. Aspek negatif poligami lebih besar dari aspek positifnya.

Dalam istilah agama, lebih banyak mudharat ketimbang maslahatnya dan sesuai

kaidah fiqhiyah segala sesuatu yang lebih banyak mudharatnya harus dihilangkan.

Karena itu, perlu diusulkan pelarangan poligami secara mutlak sebab dipandang

sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan

pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Praktik poligami yang terjadi pada masa sekarang dapat dilihat dalam

beberapa tulisan. Diantaranya studi Mas‟udi (2008) yang berjudul Poligami di

Mata Laki-laki Madura (Studi Kasus Masyarakat Pakandangan Barat

Kecamatan Blutto Kabupaten Sumenep Madura). Studi ini menfokuskan pada

penyebab lain terjadinya poligami pada laki- laki Madura. Hal itu terkait dengan

motif ekonomi sebagai penyebab terjadinya praktek poligami. Masyarakat sekitar

melihat hal itu sebagai takdir Tuhan walaupun praktek poligami diyakini

menimbulkan keretakan keluarga. Lain halnya dengan Dono Baswardono (2006)

yang menemukan hal berbeda pada studinya dengan judul Poligami itu Selingkuh.

Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa poligami tidak terjadi begitu saja tetapi

diawali dengan proses orientasi terlebih dahulu. Secara psikologis, hal itu telah

terjadi semenjak si suami mengenal lebih dekat perempuan lain. Dikarenakan

manusia bukanlah robot maka sebelum memutuskan untuk berpoligami, laki- laki

tertentu mengucapkan perasan, isi hati dan niatnya kepada calon istri mudanya.

Bahkan dan ini yang banyak terjadi, niatnya itu tidak pernah diceritakan kepada

istri lamanya, karena disadari betul bahwa sang istri tidak akan merestui niatnya.

Studi Mas‟udi (2008) dan Baswardono (2006) merupakan dua studi yang

25

berbeda dalam melihat praktik poligami. Perbedaan itu juga terlihat dari realitas

dalam kehidupan rumah tangga keluarga poligami. Sebagaimana yang dtulis Ika

Qurrota A‟yun (2008), dalam Poligami dalam Perspektif Postfeminis (Analisis

Skenario Film Berbagi Suami). A‟yun (2008) menjelaskan secara sistematis

relasi-relasi yang terjadi dalam ruang kehidupan rumah tangga Salma, Siti dan

Ming. Hasilnya adalah lebih banyak konflik yang terjadi dalam rumah tangga

berpoligami antara istri-suami, istri- istri, orang tua – anak maupun dengan

masyarakat sekitar. Berbeda sekali dengan film Ayat-ayat Cinta karya

Habiburrahman El-Shirazy yang dibahas Zahro (2009) dalam Penerimaan

Perempuan terhadap Poligami dalam Film Ayat-Ayat Cinta. Menurut Zahro

(2009) kasus perkawinan Fahri yang telah memiliki istri, yakni Aisya dan Maria

merupakan salah satu contoh perkawinan poligami yang dapat diterima oleh

sebagian perempuan.

A‟yun (2009) dan Zahro (2009) setidaknya berusaha menyampaikan realitas

kehidupan yang dialami oleh istri- istri poligami dari sudut pandang yang berbeda.

Di satu sisi, menjalani kehidupan berpoligami memang menimbulkan banyak

konflik rumah tangga. Di sisi lain, paling tidak poligami dianggap sebagai pilihan

rasional untuk menyelamatkan kehidupan seorang anak manusia. Namun, pilihan

kedua itu hanya sampai pada realitas kehidupan awal keluarga poligami karena

salah satu tokoh perempuan sebagai istri kedua dalam film Ayat-ayat Cinta

tersebut meninggal dunia. Sebagai akibatnya Zahro sendiri kesulitan untuk

menjelaskan pesan secara keseluruhan dari proses penerimaan kehidupan

berpoligami tersebut.

26

Dari berbagai penelitian tentang praktek poligami yang telah dilakukan di

atas, terlihat ragam kajian poligami baik dari aspek legal formal, poligami dalam

praktik sehari-hari di keluarga, hingga melalui film, ternyata untuk mempraktek

poligami tidak mudah dilakukan. Akan selalu ada persoalan yang dialami

kehidupan keluarga poligami. Sehingga kajian-kajian yang beragam ini

menemukan titik fokus bahwa poligami meskipun ada dan berlangsung dalam

masyarakat, tetapi tidak mudah dijalankan.

Praktek perkawinan poligami yang telah dikaji peneliti-peneliti tersebut

membawa pada satu pembahasan lain, yakni tentang implikasi terhadap

perkawinan poligami. Tulisan Laila S.Shahd dalam “Cairo Papers in Social

Science” dengan judul An Investigation of the Phenomenon of Poligyny in Rural

Egypt (2001). Penelitiannya mengungkapkan bahwa poligini tidak hanya menjadi

sarana bagi laki- laki pedesaan Arab untuk memperbanyak tenaga kerja di

pertanian melainkan juga memperkuat kehidupan ekonomi dan kekuasaan politik

di desa tersebut. Faktor infertilitas dan ketidakmampuan istri melahirkan anak

laki- laki memberikan kesempatan bagi suami untuk beristri lagi. Hal itu

dikarenakan, anak laki- laki memiliki nilai yang lebih daripada anak perempuan

karena berfungsi sebagai pelanjut keturunan, pewaris kekayaan dan tenaga utama

pertanian mereka. Konflik istri dengan ipar yang mendiami rumah yang sama

sering terjadi dalam rumah tangga poligini. Hal itu tidak hanya dialami petani

pada kelas sosial ekonomi menengah ke bawah tetapi juga kelas sosial atas.

Namun, istri- istri tersebut lebih suka mempertahankan rumah tangga mereka

dengan alasan agama dan kenyamanan anak serta status sosial ekonominya.

27

Dari kajian Shahd (2001) dapat diketahui perkawinan poligami merupakan

upaya mengelola dan menambah sumber daya manusia untuk kekuatan ekonomi

dan politik pada level masyarakat desa sehingga dapat memperkuat status sosial.

Kajian berbeda dari Islah Gusmian (2007), dalam Mengapa Nabi Muhammad

Berpoligami, menjelaskan kisah kehidupan Nabi dengan 11 istrinya yang selama

ini dijadikan acuan laki- laki yang berpoligami. Menurut Gusmian, data sejarah

menunjukkan bahwa Nabi berpoligami bukan karena ketidakmampuannya

mengendalikan libido seksual seperti tuduhan para orientalis tetapi demi

melindungi para janda dari derita hidup dan pembebasan diri mereka dari status

budak. Dengan demikian, laki- laki yang berpoligami mesti berfikir ulang bila

mengabsahkan pilihannya itu pada sunnah Nabi sebab pada kenyataannya Nabi

tidak pernah menganjurkan umatnya untuk berpoligami tetapi justru

membencinya.

Implikas perkawinan poligami dilakukan Nabi Muhammad sebagaimana

kajian Gusmian (2007) bermaksud memberikan perlindungan pada kalangan

perempuan terutama para janda dan membebaskan perempuan dari perbudakan.

Hal berbeda terjadi dalam perkawinan poligami pada masyarakat biasa,

sebagaimana kajian Leli Nurohmah (2006) dalam Meretas Jihad Kesetaraan juga

membahas pengalaman perempuan yang menjalani praktik perkawinan poligami

dan realitas keadilan yang mereka lalui dalam perkawinan poligami. Menurut

Nurohmah (2006) perempuan yang dipoligami mengalami 3 (tiga) bentuk

kekerasan yaitu kekerasan fisik, ekonomi dan kekerasan multilapis. Ketiga

bentuk kekerasan itu dialami oleh istri pertama, kedua, ketiga dan keempat tanpa

28

perlawanan. Hal itu disebabkan oleh karena praktik poligami yang dilakukan

secara sirri sehingga para istri dapat dicerai tanpa proses hukum pengadilan.

Poligami dalam tinjauan aspek legal formal, praktek poligami, implikasi

poligami, sebenarnya tidak terlepas dari wacana poligami yang berkembang di

masyarakat dan pada giliran selanjutnya akan mempengaruhi pemikiran hingga

menentukan kecenderungan seseorang untuk memilih perkawinan monogami

atau perkawinan poligami. Kajian terhadap poligami baik praktek dari tokoh

hingga pemikiran tokoh menjadi dasar utama wacana poligami, sebagaimana

studi Abduttawab Haikal (1993) dalam membantah tuduhan Barat terhadap

poligami dalam Rahasia Perkawinan Rasulullah: Poligami dalam Islam vs

Monogami Barat. Haikal mengkomparasikan poligami Islam dengan sistem

monogami Barat sehingga mudah menunjukkan mana yang terbaik diantara

keduanya. Ia juga menjawab setiap tuduhan dan kecaman Barat tentang poligami

Islam, khususnya poligami Nabi secara cermat, kritis dan analitis.

Yusuf Wibisono (1980) dalam Monogami atau Poligami Masalah Sepanjang

Masa juga memuat bantahan terhadap opini negatif sarjana Barat mengenai

poligami dalam Islam. Wibisono membantah keras terhadap kritik sarjana Barat

terhadap poligami yang dilakukan Nabi Muhammad saw. serta praktek poligami

yang dilakukan umat Islam di Indonesia. Karya ini menarik untuk dicermati

karena Wibisono tidak saja menggunakan dalil al-Qur‟an dan hadis tetapi ia juga

mengemukakan pendapat pemikir Barat hingga filosof seperti Plato dan Socrates

yang memberikan ruang terhadap praktek poligami. Wibisono juga melihat carut

marut kehidupan berkeluarga di Eropa yang mengagung-agungkan praktek

29

monogami.

Praktek poligami yang dilakukan Nabi Muhammad menjadi wacana besar

yang dipertentangkan oleh pemikiran Barat dan pemikiran Islam, sebagaimana

studi Haikal (1993) dan Wibisono (1980) merupakan wacana tandingan yang

mengkritik wacana barat. Selain itu kajian tersebut memberikan pengertian

bahwa praktek poligami yang dilakukan seorang tokoh selalu mengundang

polemik di masyarakat terutama dalam wacana pro dan kontra poligami. Hal itu

dikarenakan para ulama memiliki intensitas yang tinggi untuk tampil di hadapan

publik dan pada kasus tertentu ulama pun hidup berpoligami seperti kasus

poligami Aa Gym.

Studi Sulaiman Al-Kuyami (2009) yang berjudul Aa Gym diantara

Pro-Kontra Poligami membahas tentang pro kontra Poligami Aa Gym. Hasil

studi ini lebih banyak membahas secara berimbang pendapat kelompok pro

kontra poligami dengan menggunakan gaya pelaporan (reporting style) yang

lazim dalam karya jurnalistik. Secara keseluruhan pendapat-pendapat ulama,

sarjana dan aktivis muslim dikutip di dalam buku tersebut sehingga pihak yang

mendukung atau menentang poligami Aa Gym dapat mengetahui dasar

pemahaman yang benar dan diharapkan tidak timbul sikap saling menyalahkan

apalagi memaki secara membabi buta. Berbeda sekali dengan studi Abu Umar

Basyir (tt) dengan judul Poligami Anugerah yang Terzalimi. Studi tersebut

menjelaskan masalah poligami (heboh poligami Aa Gym). Basyir mendudukkan

poligami secara spekulatif. Terlihat dari argumen yang ditulis tidak begitu kuat

dan terkesan menonjolkan dalil yang cenderung membenarkan pendapat penulis.

30

Kajian wacana terhadap praktek poligami tokoh juga dilakukan Sonja van

Wichelen dalam bukunya Religion, Politics and Gender in Indonesia sub bab

buku itu membahas tentang poligami yang dilakukan Puspo Wardoyo. Bagi

Wichelen, poligami di Indonesia sebagai hegemoni maskulinitas. Ia juga

membahas kajian media Islam yakni majalah NooR, tetapi sebatas pada kajian

mode pakaian muslim Indonesia (Lihat Wichelen, 2010). Meskipun membahas

poligami, sayangnya kajian Wichelen tidak secara fokus mengkaji poligami

tersebut sehingga peneliti hanya melihat kajian tersebut sebagai pelengkap dari

kajian yang lebih besar yakni tentang gender.

Selain wacana poligami yang muncul dari praktek poligami yang dilakukan

para tokoh agama, pemikiran para tokoh juga ikut mempengaruhi berlangsungnya

wacana poligami sebagaimana studi Khoiruddin Nasution (1996) yang berjudul

Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh. Studi

tersebut membahas pemikiran Muhammad Abduh secara sangat sederhana sekali

di bidang poligami dan riba. Sebagai ulama modern, Abduh sangat keras dalam

menetapkan pengharaman poligami. Hal itu terkait dengan ketidakmampuan

seorang suami melakukan keadilan di antara para istrinya. Tentu saja, Abduh

mengakui poligami yang dilakukan sahabat Nabi, tetapi kondisi saat itu yang

menghendaki poligami diungkapkan demikian selain konteks sejarah yang harus

dibaca secara cermat dan jernih. Namun, Nasution tidak menjelaskan pemahaman

Abduh secara mendalam karena lebih banyak mengadopsi pendapat para ulama

Islam klasik dan modern sehingga pembahasan tentang pemikiran Abduh tidak

terfokus pada satu tema utama.

31

Jika pemikir Islam seperti Abduh dengan keras menentang poligami, berbeda

dengan pemikir Islam lain seperti Muhammad Syahrur yang memberikan peluang

poligami secara bersyarat. Makmun, Muafiah, dan Amalia (2009) dalam studinya

tentang Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur membahas pemikiran

Muhammad Syahrur tentang poligami. Hasil studi ini menunjukkan bahwa

Muhammad Syahrur adalah pemikir Islam terkemuka yang dijuluki sebagai

„Immanuel Kant‟ dunia Arab dan „Martin Luther‟ nya dunia Islam. Ia

merumuskan poligami sebagai bantuan khusus untuk orang-orang yang mampu

berlaku adil terhadap anak yatim. Hal itu diperjelas Syahrur melalui Teori

Limitnya dengan menggunakan standar kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas,

seorang lelaki dapat beristri 1 sampai 4. Secara kualitas, istri pertama dapat

berstatus perawan atau janda tetapi istri kedua, ketiga dan keempat harus

perempuan janda yang memiliki anak. Makmun, Muafiah, dan Amalia

menawarkan konsep Syahrur sebagai tawaran alternatif bagi pemerintah

Indonesia untuk meningkatkan perlindungan anak melalui poligami.

Paralel dengan Disertasi Sulhan Chakim yang berjudul Persimpangan Kelas

Sosial dan Gender dalam Poligami; Studi Novel Ayat-ayat Cinta Karya

Habiburrahman El-Shirazy (2013). Studi ini menjelaskan bahwa poligami dalam

wacana yang berkembang masih dominan pada kepentingan sepihak sehingga

berimplikasi pada bentuk kekerasan yang merugikan perempuan dan anak-anak.

Ideologi kekerasan dan anti kekerasan yang direpresentasikan sebagai temuan

kontestasi pada wacana relasi keluarga dan sosial menggunakan dialog antar

agama untuk menarik rasa simpati sekaligus membingkai gagasan poligami.

32

Sebagaimana dilihat dari solidaritas pemeluk Islam dan Koptik untuk menolong

dan melindungi korban kekerasan seksual dan eksploitasi atas tubuh perempuan.

Begitu pula dengan kumpulan tulisan Wacana Poligami di Indonesia, (2005)

Rochayah Machali (ed) menghadirkan beragam perkembangan wacana poligami

di Indonesia secara lebih utuh. Diperkaya pula dengan data-data faktual seperti

polemik penghapusan PP 10/1983, kampanye propoligami oleh sebagian

kelompok, dan kasus poligami di sebagian kalangan buruh industri dan buruh

migrant (TKW). Namun buku tersebut hanya berbentuk bunga rampai sehingga

kajian poligami dibahas secara singkat dan hanya terfokus pada

fenomena-fenomena poligami yang sedang berkembang di Indonesia tanpa

membahas keterkaitannya dengan media Islam.

Dari studi terhadap kajian pustaka yang telah peneliti lakukan di atas, penulis

bermaksud melengkapi kajian tentang poligami dengan pendekatan wacana kritis.

Kajian terdahulu menfokuskan pada beberapa hal. Pertama, kajian poligami yang

penulis temukan lebih banyak menyoroti poligami ditinjau dari berbagai aspek

seperti aspek legal formal, praktik poligami, implikasi poligami dan wacana

(discourse) poligami. Kajian-kajian tersebut meskipun dilakukan dengan tema

beragam, tetapi lebih banyak berada pada kajian yang bersifat empiris. Kedua,

praktek poligami yang dilakukan tokoh agama menjadi salah satu penyebab

munculnya wacana poligami yang menghadirkan polemik pro dan kontra baik

dari kalangan umat Islam maupun menimbulkan pertentangan ideologis antara

Islam dan Barat. Ketiga, posisi penelitian ini dapat diketahui setelah mendapati

bahwa banyak kajian poligami yang bersifat empiris dan masih sedikit yang

33

mendalami kajian tentang wacana poligami. Selain itu, meskipun terdapat kajian

wacana poligami yang dilakukan peneliti terdahulu, tetapi belum ditemukan

obyek kajian pada majalah Islam. Sehingga penelitian ini mengisi celah kosong

dalam kajian wacana poligami di majalah Islam.

Keempat, keunggulan kajian ini adalah menekankan pada aspek aktualitas

wacana poligami yang diangkat oleh majalah Islam dan segenap polemik pro

kontra poligami dalam majalah Sabili, majalah Syir‟ah dan Majalah Noor. Selain

itu, menganalisa wacana poligami pada tiga majalah Islam sekaligus memiliki

tingkat kesulitan sendiri. Sebab pada umumnya kajian wacana dalam tema

apapun biasanya hanya mengkaji pada satu atau dua media massa tertentu saja.

1.5.2 Landasan Teori

1.5.2.1 Representasi

Secara etimologi, representasi berasal dari bahasa latin repraesentatio terkait

dengan praesens, berasal dari kata praeesse. Kata kerja ini berarti „mendahului‟

dengan sebuah pengertian ganda: yaitu secara spasial dan secara hierarkis. Kata

tersebut merujuk pada orang atau objek yang „mendahului‟ atau „di muka

seseorang atau sesuatu yang lain dalam ruang, atau merujuk pada orang atau

objek yang „menjadi superior‟ atas seseorang atau sesuatu yang lain dalam sebuah

sistem kekuasaan. Sementara itu representasi dalam Kamus Chamber

Twentieth-Century diartikan dengan tindakan, pernyataan atau kenyataan yang

merepresentasikan atau dipresentasikan: yang mewakili/ melambangkan: citra:

gambaran: penampilan dramatis: citra (image) mental: sebuah penyajian

pandangan atas berbagai fakta atau argumen: sebuah petisi, bantahan, peringatan:

34

penerimaan harta warisan oleh pewaris (Dani, 2001: 69). The Sorter Oxford

English Dictionary mengusulkan dua makna yang relevan dengan representasi.

Pertama, penjelasan atau penggambaran sesuatu dengan mengingatnya dalam

pikiran berdasarkan deskripsi, gambaran atau imajinasi; menempatkan sebuah

kemiripan dalam pikiran atau indra kita. Contoh, lukisan ini seperti

menggambarkan pembunuhan Abel karena keributan. Kedua, representasi juga

berarti melambangkan, berdiri untuk menjadi bagian kelompok atau keseluruhan.

Contoh, Dalam agama Kristen, salib menggambarkan penderitaan dan penyaliban

Kristus (Hall, 1997: 16).

Representasi secara terminologi adalah konsep yang mempunyai beberapa

pengertian. Lyotard (dalam Rahman, 2000:187), seorang filsuf pascamodern,

berpendapat bahwa representasi berkaitan dengan ide, gambaran, image, narasi,

visual dan produk-produk keilmuan yang diistilahkannya sebagai „teks‟. Jadi

representasi adalah teks itu sendiri. Goody (1997:31) mendefenisikan representasi

adalah sebuah penghadiran kembali, sebuah penyajian dari sesuatu yang tidak

dihadirkan, yang barangkali menggunakan linguistik sebaik sebuah bentuk visual.

Menurut Hall (1997:16) representasi berarti proses produksi makna dari

konsep-konsep yang ada dalam pikiran seseorang yang disampaikan kepada

orang lain melalui bahasa.

Dalam bidang retorika, representasi mengacu pada kemampuan untuk

membangkitkan sebuah impresi yang kuat melalui kata-kata dan figures of speech.

Hal tersebut dikaitkan dengan konsep pengulangan (repetition) yakni

menghadirkan kembali dalam berbagai konteks yang berbeda. Menurut penulis

35

Roman Quintilian, utamanya, „representasi‟ menunjukkan sebuah kepandaian

memilih dan menentukan guna membuat benda-benda bersifat cemerlang dan

menyolok sehingga merangsang imajinasi audiens (Dani,2001). Dengan demikian,

representasi erat kaitannya dengan strategi produksi makna untuk menampilkan

seseorang, kelompok, gagasan atau pendapat tertentu dalam suatu pemberitaan

melalui pilihan bahasa yang tepat sehingga menjadi kekuatan dalam pencitraan.

Representasi menurut Hall (1997:17), berlangsung dalam dua proses yang

saling berhubungan, yaitu representasi mental dan bahasa. Representasi mental

merupakan „sesuatu‟ yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual)

namun representasi ini masih bersifat abstrak. Ketika membayangkan tentang

Belanda, gambaran yang muncul adalah bangunan kuno, orang-orang jangkung

berkulit kemerahan, tulip atau kincir-kincir besar. Maka pada tahap ini hadirlah

konsep maupun kesan tentang apa yang disebut Belanda dalam pikiran kita.

Kesan yang didapatkan itu sangat tergantung pada subjek yang memaknai sebuah

obyek, serta relasi antara subyek dan obyek yang karenanya bersifat tidak

menetap. Representasi mental mengenai Belanda bagi yang pernah berkunjung

atau yang pernah tinggal akan sangat berbeda dengan orang yang hanya

mengenal Belanda dari penggambaran orang lain.

Representasi bahasa berperan penting dalam proses konstruksi makna.

Konsep abstrak yang ada dalam kepala diterjemahkan oleh „bahasa‟ yang lazim,

supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide- ide tentang „sesuatu‟ dengan

tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk

memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara

36

sesuatu dengan sistem „peta konseptual‟ kita. Dalam proses kedua, kita

mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara „peta konseptual‟

dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita

tentang sesuatu. Relasi antara „sesuatu‟, „peta konseptual‟ dan „tanda‟ adalah

jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga

elemen ini secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi.

Makna dikonstruksi oleh sistem representasi. Supaya proses sistem

representasi tersebut bisa sedemikian rupa maka digunakan kode untuk

menghubungkan keduanya. Kode memperbaiki hubungan antara konsep dan

tanda. Kode memantapkan makna dalam bahasa dan budaya yang berbeda. Kode

memberitahu kita bahasa yang digunakan untuk menyampaikan yang ide. Kode

juga mengatakan kepada kita yang mana konsep yang diacu untuk kemudian kita

dengar atau baca melalui tanda. Dengan berubah-ubanya perlengkapan yang

menghubungkan antara sistem konsep dan sistem bahasa, kode membuat hal itu

mungkin bagi kita untuk berbicara dan jelas didengar, dan kemampuan

menterjemahkan antara konsep dan bahasa kita yang memungkinkan makna

disampaikan dari pembicara ke pendengar dan secara efektif dikomunikasikan

kedalam sebuah budaya. Kemampuan menterjemah ini tidak diberikan alam atau

ditentukan Tuhan. Ini adalah hasil dari seperangkat persetujuan sosial (Hall, 1997:

21-22).

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja,

maka Hall (1997: 24-25) menggunakan tiga pendekatan. Pertama, pendekatan

reflektif, memandang fungsi bahasa sebagai cermin yang merefleksikan makna

37

yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada. Dalam pendekatan reflektif ini

istilah mimesis yang hadir dimaknai sebagai bahasa yang merefleksikan atau

menirukan kenyataan. Kedua, pendekatan intensional, yang memandang makna

sebagai bagian dari maksud pengarang (author). Makna berada dalam intensi

pengarang karena kata-kata bermakna sesuai dengan kehendak pengarang.

Pengarang bermaksud menunjukkan keunikannya ke dunia luar melalui bahasa.

Kata-kata menjadi bermakna manakala pengarang menguraikan apa yang mereka

maksudkan. Di sini pengarang yang didaulat sebagai pembuat representasi.

Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis, menyebut bahwa

makna terkontruksi dalam bahasa dan melalui bahasa. Dalam pendekatan ini

dipercaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai.

Pendekatan ini memperkenalkan kepada publik apa yang disebut sebagai karakter

sosial bahasa (social character of languange). Makna tidak hanya diperoleh

melalui intensi pengarang, namun didapatkan juga melalui sistem representasi.

Kitalah, sebagai pengguna bahasa, yang mengkonstruk makna dengan

mempergunakan sistem representasi berupa konsep-konsep dan tanda-tanda.

Dengan kata lain pendekatan konstruksionis berpendapat bahwa penggunaan

tanda-tanda yang diorganisir ke dalam berbagai bentuk bahasa untuk

menyampaikan sesuatu dengan sepenuh arti kepada orang lain. Pendekatan

terakhir inilah yang kemudian melahirkan meaning is constructed seperti yang

dikemukakan Stuart Hall. Makna tidak terkandung begitu saja dalam sebuah

tanda melainkan terbangun ketika makna tersebut ditafsirkan oleh penafsir yang

juga telah memiliki serangkaian konsep sesuai budaya yang telah dimiliki

38

sebelumnya (Hall, 1997:28).

Pendekatan konstruksionis sendiri pada dasarnya mempunyai dua varian

penting, yakni: pendekatan semiotik dan diskursif. Pendekatan semiotik

dipelopori oleh Ferdinand de Saussure yang dikenal sebagai Bapak linguistik

modern. Sumbangan pentingnya terletak pada kaitan yang diberikan oleh kode

antara bentuk ekspresi yang digunakan bahasa yang disebut dengan „penanda‟

(signifier) dan konsep mental yang berasosiasi dengannya yang disebut dengan

„petanda‟ (signified). Hubungan antara kedua sistem representasi ini

menghasilkan tanda (sign) yang digunakan untuk mengacu pada objek, manusia,

peristiwa di dunia „nyata‟. Sedangkan pendekatan diskursif, yang dirintis oleh

Michael Foucault, menaruh perhatian pada kuasa yang senantiasa hadir dalam

setiap wacana. Foucault tidak menganalisa teks dan representasi secara khusus

sebagaimana yang dilakukan kalangan semiotis tetapi ia lebih tertarik pada

formasi diskursif (discoursive formation) tempat teks berlangsung. Ia melihat

relasi pengetahuan-kuasa senantiasa berakar pada konteks dan sejarah tertentu;

ini merupakan perluasan terhadap jangkauan dari representasi (Budi, 2005).

Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana poligami, penting untuk

melihat apa yang disebut dengan kontrol oleh media. Pengontrolan itu dapat

dilakukan melalui dua cara pertama, pengontrolan terhadap konteks, yang secara

mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh berbicara, siapa yang bisa

mendengar dan mengiyakan serta sumber dan bagian mana yang perlu bahkan

dilarang untuk diberitakan. Kedua, pengontrolan terhadap struktur wacana,

diwujudkan oleh seseorang yang mempunyai lebih besar kekuasaan sehingga bisa

39

menentukan bagian mana yang harus atau tidak perlu ditampilkan (Eriyanto,

2006). Hal itu menurut Bourdieu hanya bisa dilakukan oleh kelompok dominan

karena mereka memiliki modal budaya yang tepat sebagai sesuatu yang

mempunyai makna simbolis seperti gengsi, status, otoritas, selera, tingkat

pendidikan dll. Maka untuk bisa selamat melewatinya seseorang diharuskan

memiliki posisi kemelekhurufan budaya (cultural literacy) yang kuat yakni

kemampuan rasa untuk menegosiasikan segala aturan budaya dan pengetahuan

akan medan budaya yang dihadapi misalnya arena politik, seni, ekonomi, agama,

juga filsafat dll. Melengkapi hal itu, Foucault melihat bahwa kekuasaan yang

diproduksi oleh kelompok dominan melalui prosedur tersebut, secara langsung

ataupun tidak langsung akan melahirkan kekuasaan berikut resistensinya

(Budianta, 2002).

Dalam kaitannya dengan konsep wacana poligami, representasi diibaratkan

sebagai „medan perang‟ kepentingan atau kekuasaan (Budianta, 2002). Di sana

wacana yang dominan (doxa)6 dengan wacana lain yang ingin menggugatnya

saling bertarung atau mendukung kepentingan tertentu untuk memperoleh

legitimasi simbolik. Wacana dominan akan terus berusaha untuk

mempertahankan keberadaannya, sedangkan wacana-wacana yang terpinggirkan

akan terus menerus berusaha untuk menghancurkan tatanan doxa dan bersiap-siap

untuk mengambil posisinya. Namun, penguasaan kelompok dominan atas kapital

6 Doxa adalah wacana yang diterima begitu saja sebagai kebenaran dan tidak pernah lagi

dipertanyakan kebenarannya dan tidak pernah lagi dipertanyakan sebab dan musababnya. Bentuk

doxa b isa berupa kebiasaan-kebiasaan sederhana seperti cara duduk atau cara makan sampai

wacana lain yang lebih luas. Doxa biasanya didukung oleh kelompok sosial yang dominan dan

berkuasa. Lihat Suma Riella Rusdiarti, „Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan” dalam

Basis, Nomor 11-12, 2003, hal 38

40

ekonomi, kapital budaya dan kapital sosial sangat jauh dari cukup untuk dapat

dilawan sehingga mereka dapat merepresentasikan wacana sesuai dengan logika

mereka untuk menciptakan „kebenaran‟ menurut versi mereka atau menciptakan

versi resmi dunia sosial.

Pagelaran berbagai macam kuasa pada wacana poligami tentunya akan

direpresentasikan melalui bahasa. Bahasa mampu melakukan semua itu karena ia

beroperasi sebagai sebuah sosial representasi yang berperan dalam membentuk

jenis-jenis subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di

dalamnya. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan atau gambar),

seseorang bisa mengungkapkan pikiran, konsep dan ide- ide tentang sesuatu.

Makna sesuatu tersebut sangat tergantung dari cara kita „merepresentasikannya‟.

Dengan mengamati kata-kata yang dipergunakan dan imej- imej yang diberikan

dalam merepresentasikan sesuatu, terlihat jelas nilai-nilai yang diberikan pada

sesuatu tersebut.

Namun, kerap kali penonjolan dan pemakaian kata-kata tertentu dalam

bahasa tidak digunakan secara sadar melainkan setengah sadar (semi-consciously)

atau bahkan tidak sadar (unconsciously) sehingga representasi yang tercipta

menjadi ternaturalkan (naturalized)-yakni statusnya sebagai konstruksi menjadi

terhapuskan. Hal itu menurut Bourdieu (dalam Budianta, 2002) berlangsung

melalui eufemisasi dan sensorisasi. Eufemisasi bekerja secara halus, tidak dapat

dikenali dan dipilih secara „tak sadar‟. Bentuknya berupa kepercayaan, kewajiban,

kesetiaan, sopan santun, pemberian, hutang, pahala atau belas kasihan. Sementara,

mekanisme sensorisasi menjadikannya tampak sebagai bentuk dari pelestarian

41

semua bentuk nilai yang dianggap sebagai „moral kehormatan‟ seperti kesantunan,

kesucian, kedermawanan dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan

„moral rendah‟ seperti kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan

dan lain- lain. Semua itu hanya dapat dicapai melalui penguasaan bahasa secara

canggih dan penuh strategi.

Dengan demikian, apa saja yang dikemukakan majalah Islam merupakan

representasi atas apa yang disampaikan oleh aktor sosial, baik redaktur majalah

maupun wartawan atau para penulis tetap maupun penulis yang bersifat freelance

dalam menyusun makna tentang poligami. Penggunaan kata-kata tertentu dalam

bahasa maupun bentuk visual yang ditampilkan tentang isu poligami

menunjukkan ragam pandangan majalah Islam tersebut karena masing-masing

majalah Islam menghadirkan berbagai kalangan yang berbeda sebagai

narasumber, serta beragam sudut pandang yang secara implisit sebenarnya

menunjukkan keberpihakan majalah Islam. Oleh karena itu, teks maupun

tampilan visual dari majalah Islam apabila berkaitan dengan poligami dianggap

sebagai representasi majalah Islam tersebut dalam wacana poligami.

1.5.2.2 Media sebagai Alat ideologi

Media massa merupakan ruang untuk merepresentasikan berbagai ideologi di

tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik dan fakta

yang kompleks dan beragam. Posisi ini menjadikan media massa tidak mungkin

berdiri statis di tengah-tengah tetapi akan bergerak dinamis diantara

pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Sehingga kemampuan media

sebagai mekanisme integrasi sosial dalam membentuk opini publik dikonstruksi

42

sesuai dengan kesepakatan atau tata nilai yang dipahami dan disepakati bersama

dalam komunitas. Akibatnya, kelompok yang berada di luar itu akan dipandang

sebagai penyimpang (deviant) dan dipinggirkan dalam pembicaraan. Proses

marjinalisasi ini berlangsung secara wajar, apa adanya, dihayati bersama bahkan

diterima sebagai kebenaran tanpa mempertanyakan motif politik-ideologis

tertentu yang bersembunyi dibalik teks-teks berita tersebut.

Istilah ideologi diperkenalkan oleh filsuf Perancis Destutt de Tracy untuk

menjelaskan ilmu tentang ide yaitu sebuah disiplin ilmu yang memungkinkan

orang untuk mengenali prasangka dan bias-bias mereka (Kaplan,2000; Cavallaro,

2004). Seringkali istilah ini hanya diartikan sebagai sebuah sistem ide seperti

ketika berbicara tentang ideologi liberal, konservatif atau sosialis. Ideologi di sini

tidaklah selalu harus dikaitkan dengan ide- ide besar akan tetapi ideologi juga bisa

bermakna politik penandaan atau pemaknaan. Ideologi itulah yang membuat

liputan media memihak satu pandangan, menempatkan pandangan satu lebih

penting ketimbang pandangan kelompok lain dan sebagainya (Sudibyo, 2001).

Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideologi

dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan memproduksi dan

melegitimasi dominasi mereka kedalam logika pasar hingga menempatkan

pembaca pada posisi dan hubungan sosial tertentu. Salah satu strategi utamanya

adalah dengan membuat „kesadaran palsu‟ pada khalayak bahwa dominasi itu

diterima secara taken for granted seperti konsepsi Marx. Dalam hal ini, kesadaran

pembaca dibentuk dan diproduksi melalui teks berita dengan menempatkan

mereka untuk mengikuti ideologi dominan yang lebih mengutamakan

43

terjaminnya kelangsungan ekonomi dan pasar. Ideologi dari kelompok dominan

hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk

yang didominasi mengganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran.

Sementara itu, Louis Althusser (2008: xvii), seorang pemikir Prancis dan

pelopor kajian ideologi mikro, berpendapat bahwa ideologi adalah suatu

kepercayaan yang tertanam tanpa disadari (profoundly unconcious). Ideologi

membawa kita bergerak dalam relasi yang tak nyata namun seolah nyata,

menerima yang semu seperti nyata. Tetapi oleh karena sifatnya yang tidak

disadari, manusia merespon seolah semua itu nyata, menanggapi ilusi sebagai

sebagai realitas yang sesungguhnya. Apalagi ketika ideologi itu terus

direproduksi maka mereka pun bersifat lebih efektif melayani kelas dominan.

Oleh karenanya, satu-satunya pengertian yang dapat kita raih tentang diri kita

sendiri, relasi sosial, dan pengalaman sosial, tak lain merupakan hasil praktik

ideologi dominan.

Ideologi sebagai sebuah praktik/ tindakan yang dikemukakan Althusser

(2008, 39-47; Thompson, 2007: 150) memiliki tiga tesa. Tesis pertama

menyatakan bahwa ideologi tidak mewakili realitas tapi kehidupan manusia

kaitannya dengan kondisi eksistensinya. Relasi ini adalah „imajinasi‟ dalam

pemahaman bahwa ia adalah bentuk dimana subjek „menghidupkan‟ relasinya

dengan dunia dan dirinya, hidup diandaikan dengan pembentukan dirinya sebagai

subjek. Tesis yang kedua menegaskan bahwa ideologi memiliki eksistensi

material: representasi yang membuat ideologi tertulis dalam tindakan sosial dan

diekspresikan dalam bentuk objektif. Jika seorang individu „mengimani‟ Tuhan,

44

misalnya, kemudian pergi kegereja secara teratur, sembahyang, mengakui

dosa-dosanya, demikian seterusnya;‟keyakinan direalisasikan dalam praktik

tertentu yang diatur oleh ritual-ritual yang berhubungan dengan aparatus

ideologis. Tesis ketiga Althusser diekspresikan dalam slogan yang selalu dikutip,

„ideologi menginterpelasi individu sebagai subyek‟. Sebagaimana dalam kasus

polisi yang berteriak pada seseorang yang meyakini bahwa teriakan itu

benar-benar dialamatkan kepadanya, demikian juga dalam ideologi, individu

dibentuk sebagai sebuah subjek melalui sebuah proses interpelasi di mana subjek

mengakui dirinya sebagai subjek, sekalipun subjek tidak mengakui bahwa

subjektifitasnya merupakan hasil produksi.

Dalam kekuasaan modern, individu- individu yang dahulunya diperintah,

diarahkan bahkan dimanipulasi maka sekarang ini justru dilibatkan sebagai

mekanisme kontrol dimana orang tidak merasa dikuasai. Melalui pengertiannya

mengenai „kelompok represif‟ dan „ideologi aparatus negara‟, Althusser

mengatakan bahwa kedua perangkat tersebut berfungsi sama yakni

melanggengkan penindasan yang tampak dalam relasi produksi masyarakat. Oleh

karena itu Althusser mengembangkan konsep perantara mengenai „interpelasi‟

untuk menempatkan individu dalam posisi dan hubungan sosial tertentu.

Interpelasi merupakan suatu tata cara dimana ideologi modern mengklaim

individu menjadi subjek ideologi. Manusia sebagai subjek identik dengan subjek

bagi struktur menurut Althusser (2006: 84; 2008: 45-46), dimana struktur tersebut

bukan ciptaannya melainkan ciptaan kelompok atau kelas tertentu. Karena

struktur itu diciptakan untuk dan identik dengan kelompok penciptanya,

45

individu- individu di sini dikatakan sebagai subjek bagi struktur tidak lain adalah

pelayanan kepentingan dari kelas tertentu yang menciptakan struktur tersebut.

Kendati seringkali merasakan diri sebagai subjek yang bebas, kebebasan atau

kesadaran hanyalah hasil interpelasi dan diciptakan oleh struktur atau

perangkat-perangkat (RSA maupun ISA). Dengan kata lain, ideologi atau

perangkat negara hanyalah suatu alat untuk membangkitkan ilusi dan

menciptakan manusia sebagai subjek kepentingan negara yang identik dengan

alat intervensi bagi perjuangan kelas.

Subjek yang dibentuk ideologi tersebut bersifat imajiner karena kekuasaan

hanya berpretensi menghargai ideologi dan tidak mempunyai perhatian yang

sungguh-sungguh terhadap kemampuan ideologi (Althusser, 2008: xi). Menurut

Lacan (dalam Budianta, 2002) konsep imajiner adalah suatu kondisi sebelum

subjektivitas seseorang (kemampuan seseorang mengenali dirinya sebagai subjek,

sebagai aku) terbentuk. Dalam wilayah imajiner ini tidak ada pemisahan antara

subjek dan objek, tidak ada waktu yang linear. Segala sesuatu bercampur aduk

dalam suatu kondisi yang penuh harmoni dan kenikmatan. Proses subjektivitas

terjadi melalui proses yang disebut fase cermin (mirror-stage), yaitu proses ketika

subjek dapat „bercermin‟ dan melihat dirinya sendiri. Proses ini sekaligus

merupakan proses meninggalkan wilayah imajiner untuk memasuki wilayah

simbolik yaitu wilayah bahasa. Dengan mendapatkan subjektivitas tersebut sang

aku pun sekaligus memasuki dunia aturan dan norma, dunia kebahasaan yang

linear.

Pada dasarnya, teks-teks di media merupakan representasi dari fungsi

46

ideologis media, yang lebih jauh memberikan kontribusi dan reproduksi

hubungan sosial dari dominasi dan eksploitasi. Representasi ideologi media

secara umum memang implisit daripada eksplisit dalam teks, dan ditanamkan

dengan cara penggunaan bahasa yang dinetralkan (Fairclough, 1995: 44-45).

Fairclough (1995) memahami ideologi sebagai proposisi-proposisi yang secara

umum membingkai asumsi-asumsi (yang diterima begitu saja) tersirat dalam teks,

yang menyumbang pada produksi dan reproduksi hubungan kekuasaan yang tidak

setara, hubungan dominasi, ideologi juga tersirat dalam cara menaturalisasikan

pengorganisasian jenis-jenis interaksi tertentu.

Fairclough melihat media sebagai publik politis yang efektif, yaitu ruang

untuk debat dan diskusi rasional mengenai isu politik. Mengacu pada Tolson

(1991) yang melihat ruang publik memiliki kontradiksi di dalam (inncer

contradiction); dan dapat berubah-ubah diantara tuntunan untuk informasi dan

untuk hiburan- Fairclough melihat adanya ketegangan antara tekanan untuk

meningkatkan rating melalui isu media yang menghibur dan tekanan untuk

menyediakan informasi dan layanan pendidikan publik. Berkaitang dengan hal

tersebut, ia berpendapat bahwa analisis media lebih diajukan pada aspek yang

berorientasi pada output (misalnya pemberitaan) yang dibentuk secara ideologis.

Selanjutnya, menurut Fairclough (1995), konsep ideologi sering mengandung

distorsi, „keadaan palsu‟, dan manipulasi kebenaran dalam mengejar kepentingan

tertentu. Satu-satunya cara untuk memperoleh akses pada kebenaran adalah

melalui representasi kebenaran dan sudut pandang, nilai, dan tujuan tertentu.

Karena kebenaran selalu problematik dalam pengertian yang absolut, maka

47

representasi kebenaran dapat dibandingkan dalam kerangka parsialitas,

kelengkapan dan ketertarikan (interstedness) dari posisi dan sudut pandang

tertentu. Namun kita dapat membandingkannya dalam kerangka sejauh mana

mereka memiliki semangat publik (public-sprited) atau mengandung kepentingan

sendiri (self-interested). Konklusi yang dapat diambil berada di sekitar relatifitas

ke(tidak)benaran representasi.

Representasi dalam teks media bisa berfungsi secara ideologis jika mereka

menyumbang pada reproduksi hubungan dominasi dan eksploitasi. Representasi

ideologis umumnya lebih implisit daripada eksplisit dalam teks; yang meliputi:

apa yang mereka masukkan (include) dan apa yang mereka keluarkan (exlude),

apa yang menjadi latar depan (foregroun) apa yang menjadi latar belakang

(background), darimana mereka berasal dan faktor/kepentingan apa yang

mempengaruhi formulasi dan proyeksi mereka. Representasi ini juga terkait

dengan naturalisasi dan komersialisasi cara-cara penggunaan bahasa bagi reporter,

khalayak, dan berbagai kategori pihak ketiga. Cara-cara seperti ini merupakan

postulat atau asumsi yang diterima begitu saja bagi koherensi wacana (Fairclough,

1995).

Dengan pandangan semacam ini, wacana poligami tidak dipahami sebagai

sesuatu yang netral dan berlangsung secara alamiah karena dalam setiap wacana

poligami selalu terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh.

Seperti ungkapan John Fiske (2012) bahwa kerja ideologi selalu mendukung

status quo, sistem ekonomi diorganisir sesuai dengan kepentingan mereka dan

sistem ideologi diambil dari kerja itu untuk menyebarkan gagasan mereka. Bagi

48

Fiske, semua teori ideologi sepakat bahwa ideologi bekerja untuk dominasi kelas,

perbedaannya hanya pada cara kerja dan tingkat kefektifannya.

1.5.2.3 Identitas Perempuan dalam Rumah Tangga

Identitas adalah sesuatu yang dipersembahkan, dikonstruksi, diperankan atau

diproduksi dari waktu ke waktu dalam setiap pembicaraan (Benwell dan Stokoe,

2006: 49). Proses pengulangan dalam setiap pembicaraan itu seakan-akan

merupakan proses tidak sadar. Padahal, sebenarnya yang dilakukan merupakan

sebuah kesadaran yang terakumulasi dan menjadi semacam tindakan terulang

karena dilakukan secara terus menerus dalam keseharian (Udasmoro, 2014: 36).

Tindakan berulang ini pun dapat membentuk struktur-struktur pengulangan dalam

kehidupan perempuan yang poligami, misalnya pendefinisan istri yang ideal

dalam konteks Islam yakni istri shaleha. Istri yang shaleha didefinisikan secara

sosial melalui proses yang panjang. Dari waktu ke waktu „yang shaleha‟ sebagai

yang taat pada suami, beriman, mampu merawat anak, diulang dalam wacana

sehari-hari sampai kemudian orang percaya bahwa istri yang shaleha adalah

memang yang memiliki kategori tersebut.

Identitas seseorang pada umumnya bersifat melekat dalam diri dan adapula

yang mengalami perubahan karena berbagai pengaruh dari luar. Menurut Jenkins

(2008:95) identitas personal tak ubahnya seperti sebuah sejarah atau biografi

yang di dalamnya terdapat seperangkat perbuatan yang konsisten terikat

keunikannya. Meskipun demikian, Burke and Stets (2009:130) mengingatkan

bahwa identitas tidak selalu bekerja dalam keterisolasian, tetapi terjadi interaksi

dengan identitas lain dalam situasi yang berbeda. Begitu pula identitas

49

perempuan yang dilekatkan sejak lahir, kemudian menjadi seorang gadis dan

menjalani pernikahan hingga menjadi seorang istri, ibu dari anak-anaknya dan

sebagai ibu rumah tangga dianggap sebagai sesuatu yang sudah lama terbentuk

dengan sendirinya dalam kehidupan.

Merujuk pada pendapat Jekins, Burke dan Stets di atas, sesungguhnya

identitas pada seorang perempuan adalah multiple identity berasal dari

pengalaman individu dan sosial yang terus bergerak (Udasmoro, dkk, 2014:32).

Ternyata identitas yang dianggap melekat sebenarnnya mengalami berbagai

perubahan. Ketika perempuan menginjak usia remaja atau menjadi seorang gadis,

identitasnya pun bersifat dinamis karena terjadi proses pencarian jati diri dan

imitasi terhadap berbagai atribut menarik baginya. Mereka mengalami proses

konstruksi baik yang berasal dari sosial tempat dia berada maupun dari dalam diri

remaja itu sendiri (Udasmoro, dkk, 2014:30). Kondisi demikian digambarkan

sebagai berikut.

An example of the first is a situation in which an adolescent, who is both a

friend and a daughter, is interacting in a situation that activates both of these identities at the same time, for example, when the daughter has friend visit and

her parent are present. In this situation, what it means to be a friend (perhaps by acting “sophisticated” with the friend) may be at odds with what it means to be a daughter (not acting “sophisticated”) (Burke and Stets, 2009:130).

Berdasarkan contoh di atas, seseorang anak perempuan mengalami dilema

ketika pada saat yang sama ia harus memilih menjadi seorang anak gadis dan

bersama orang tuanya atau pergi bersama temannya. Kenyataan tersebut

menunjukkan bahwa self-identity merupakan realitas yang berasal dari

pengalaman. Pengalaman tidak sebagai itself given (pembawaan sendiri) tetapi

50

identitas diri yang dikreasikan atau diolah dari realitas (Fergosun, 2009:81).

Begitu pula dongeng, cerita rakyat, hingga dalam berbagai tayangan di televisi

merupakan refleksi dari multiple identity. Ketika perempuan menjalani masa

transisi atau menginjak perkawinan, dalam berbagai dongeng, perempuan selalu

dilekatkan sebagai pihak yang menunggu kehadiran laki- laki sebagai sang

pangeran penyelamat. Dongeng putri Cinderella hingga kini terus memasyarakat

karena ditayangkan dalam film animasi dan terakhir diperankan secara langsung

oleh aktor dan aktris. Identitas Cinderella sebagai seorang perempuan yang hidup

dalam penderitaan akibat perlakuan kedua saudara tiri dan ibu tirinya, kemudian

hidupnya berubah menjadi seorang putri karena dipersunting oleh putera mahkota.

Oleh karena Cinderella adalah cerita dongeng, maka nasib baik seorang gadis

seperti Cinderella hanyalah angan-angan belaka. Apabila dalam kehidupan nyata

ditemukan seorang gadis menikah dengan pihak putera mahkota kerajaan, seperti

Kate Middleton yang dinikahi pangeran William, ataupun seorang perempuan

yang bekerja sebagai pegawai bank kemudian akan dinikahi oleh putera Presiden

Jokowi, mereka dianggap sebagai Cinderella dalam kehidupan nyata.

Kedudukan perempuan dalam cerita Cinderella dapat dilihat sebagai

kontestasi sesama perempuan yang memperebutkan lelaki pujaan hati, dan

posisinya akan terangkat apabila menemukan laki- laki dengan status sosial lebih

tinggi. Hal ini menunjukkan kedudukan perempuan lemah di hadapan laki- laki.

Cerita-cerita dari Barat tentang Cinderella, Putri Tidur atau Putri Salju masih pula

dibaca anak-anak. Cerita-cerita ini lebih mengisahkan putri yang pasif yang

menunggu datangnya pangeran penyelamat (Udasmoro, dkk, 2012:65). Hal

51

berbeda dalam dongeng Candi Prambanan, ketika seorang laki- laki ingin

menikahi Roro Jonggrang, ia pun meminta dibuatkan seribu candi dalam satu

malam. Permintaan mustahil tersebut menunjukkan tingginya posisi tawar

seorang perempuan dalam menempuh pernikahan, sekaligus sebagai seleksi

pilihan hidup yang berkualitas.

Identitas perempun akan bersifat ganda jika ia sudah mengarungi kehidupan

rumah tangga. Pada mulanya identitasnya adalah sebagai seorang istri, sehingga

dalam penyebutan atau panggilan nama resmi pada masyarakat patrilieal adalah

nama suami melekat dalam nyonya. Begitu juga jika suami memiliki jabatan

tertinggi dalam suatu institusi, misalnya kepala desa, maka seorang istri dipanggi

“ibu Kades”. Identitas tersebut dikonstruksi oleh ikatan sosial yang lebih tinggi

dalam kehidupan seorang perempuan. Itulah sebabnya, kita dengan mudah

membayangkan hubungan kita dengan nama yang melekat sebagai suatu cara

yang primordial (Fergosun, 2009:83). Namun kadangkala perempuan menolak

nama keluarga dari pihak suaminya sebagai „married name‟ sebagai upaya untuk

melekatkan nama keluarganya sendiri (Fergosun, 2009:91), lebih dari itu,

kedudukan perempuan lebih tinggi dari pada laki- laki sebab identitas tersebut

hanya melekat pada perempuan saja. Sebutan “ibu negara,” “ibu pertiwi,” dan

“ibu negara” tidak memiliki padanan istilah yang sama jika dikaitkan dengan

laki- laki. Istilah “ibu” menjadi kata sifat sebagai identitas feminim yang melekat

perempuan yang tidak bisa berubah atau diubah oleh keadaan apapun.

Identitas perempuan sebagai seorang ibu meskipun sedemikian kokoh tetapi

juga menjadi multitafsir, sebab nama menunjukkan posisi konseptual dan

52

kontekstual dan dari situlah arah untuk memahami sepenuhnya tentang identitas

diri (Fergosun, 2009:83). Istilah “ibu tiri” selalu dikonotasikan sebagai tokoh

antagonis dalam kehidupan rumah tangga terutama bagi seorang anak buah dari

perkawinan suaminya dengan perempuan lain. Gambaran ibu tiri bagi seorang

anak adalah sosok menyiksa ketika ayah kandung sedang tidak ada di rumah,

sebaliknya ibu tiri akan bersikap manusia jika sang ayah kembali berada di rumah.

Pada sisi lain, identitas perempuan menjadi sakral dalam hubungan ibu dan anak

kandungnya. Ibu kandung tidak boleh disakiti karena murka ibu kandung yang

disakiti akan membuat dampak buruk. Pesan ini dapat diketahui melalui dongeng

dari Sumatera Barat dalam cerita Malin Kundang, seorang anak yang durhaka dan

tidak mengakui ibu kandungnya. Ibu kandung Malin Kundang merasa kecewa

dan dipermalukan oleh sikap anaknya, kemudian Malin Kundang berubah

menjadi batu setelah dikutuk ibu kandungnya. Narasi tersebut bukan hanya

sekedar diperdengarkan ke anak cucu. Narasi tersebut mencakup di dalamnya

politik identitas, politik representasi, dan produksi dan reproduksi makna hadir

terus menerus (Udasmoro, dkk, 2012:51).

Jadi identitas perempuan sebagaimana teori identitas bahwa identitas

sesungguhnya selalu mengalami perubahan (Burke and Stets, 2009:175).

Perubahan identitas itu sendiri bersumber pada empat hal. Pertama, perubahan

situasi dari identitas standar kepada kondisi yang relevan. Kedua, identitas

konflik yang terjadi karena multiple identity berada pada level berbeda dalam

waktu bersamaan. Ketiga, perubahan identitas terjadinya konflik antara

pemaknaan sikap dan pemaknaan yang terkandung dalam identitas standar.

53

Keempat, perubahan identitas dapat terjadi sebagai bagian dari strategi adaptasi

yang disatukan dalam identitas yang dapat membantu mereka yang dinamakan

mutual verification context, bahwa suatu identitas tidak hanya bersifat personal

tetapi juga menjadi identitas partisipan (Lihat, Burke and Stets, 2009).

Pandangan yang demikian itu dapat membantu untuk menjelaskan bahwa

identitas perempuan yang direpresentasikan majalah Islam pada isu poligami

adalah sesuatu yang given dan telah didefenisikan secara berulang-ulang dalam

waktu yang panjang. Hal ini semakin meyakinkan ketika identitas perempuan

yang ideal secara sosial dikonstruksi sedemkian rupa untuk menegaskan

kenyataan yang sebenarnya dalam masyarakat tentang kodrat perempuan.

Perubahan identitas bisa saja terjadi sesuai dengan keinginan selama media

mampu melakukan pengontrolan terhadap identitas tersebut. Pada akhirnya

identitaslah yang menjadi alat membentuk dirinya dan bukan dirinya yang

membentuk identitas.

1.5.2.4 Konsep Poligami di Indonesia

Poligami berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas poli (banyak) dan gamy

(perkawinan). Hal itu mengacu pada pasangan yang berlainan jenis kelamin

memiliki lebih dari satu perkawinan di saat bersamaan (Nurmila, 2009: xix).

Istilah poligami meliputi poliandri dan poligini. Poliandri adalah perkawinan

antara satu orang perempuan dengan satu atau lebih laki- laki, sementara poligini

mengacu pada perkawinanan antara seorang laki- laki dengan dua orang atau lebih

perempuan. Di Indonesia, istilah poligami lebih dikenal dan sering

diperbincangkan masyarakat karena mengundang pandangan yang kontroversial.

54

Poligami dipahami sebagai ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini

lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Selain poligami, praktik lain bagi

istri yang memiliki suami lebih dari satu dalam waktu yang sama dikenal dengan

istilah poliandri (Mulia, 2004: 43-44). Penggunaaan istilah poligami dalam kajian

ini merujuk pada konsep poligini dikarenakan istilah poligami lebih umum

digunakan masyarat Indonesia.

Kebalikan dari poligami adalah monogami yaitu ikatan perkawinan yang

terdiri dari seorang suami dan seorang istri. Perkawinan monogami dinilai oleh

sebagian umat Islam sebagai implementasi atas keadilan yang paripurna dari

sebuah relasi dalam keluarga ideal yang lebih memungkinkan seseorang untuk

tidak terjebak pada prilaku tidak adil baik secara materil maupun non materil.

Kalangan ini melihat kehidupan perkawinan Nabi selama dua puluh delapan

tahun bermonogami dengan Khadijah sebagai simbol otentik dalam upaya

transformasi kultural menuju pembebasan manusia dari tiranik yang menindas.

Upaya ini sebagai suatu cara untuk mencari pemaknaan yang lebih berakar dari

bentuk perkawinan agar pesan transformasi sosial dari kedua bentuk perkawinan

tersebut tidak bisa mengangkangi prinsip dasar untuk berlaku adil, dengan tidak

membedakan laki-laki dan perempuan.

Monogami meskipun pilihan terbaik dalam sebuah perkawinan tetapi

poligami seringkali dianggap masyarakat sebagai solusi yang memiliki

pembenaran dalam pelaksanaan. Sebagaimana dikemukakan Ashabuni (1980) dan

Azzuhaili (1989) bahwa sebagian besar kalangan ahli hukum Islam berpandangan

atas kebolehan beristri lebih dari satu. Namun, praktik poligami secara historis

55

sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab pra Islam dengan jumlah tanpa

batas.Kemudian Islam hadir melalui Nabi Muhammad saw mereformasi dengan

pembatasan hanya empat orang istri, dengan persyaratan dapat berbuat adil. Jika

merasa tidak mampu berbuat adil di antara para isterinya, maka diwajibkan

beristri hanya satu atau menikahi budak yang dimilikinya. Praktik poligami ini

merujuk al-Qur‟an (4:2-3), para ulama (imam Malik, Hanafi, Hambali dan

as-Syafi‟i) membaca ayat tersebut sebagai kebolehan bagi laki- laki untuk

menikahi perempuan lebih dari satu.

Perkawinan poligami menurut Marcoes (2005:Ii) pada dasarnya terdiri atas

dua jenis pola yaitu pertama, romantic love marriage, penerimaan poligami ini

biasanya berlangsung sangat alot. Banyak dari perkawinan itu berakhir dengan

perceraian. Umumnya suami pertama-tama akan berkeras dan menolak opsi

perceraian dengan alasan masih mencintainya. Penolakan si istri dengan

mengajukan opsi “pilih saya atau cerai” akan menentukan ke mana bahtera itu

akan dikayuh, lanjut atau cerai. Akan tetapi jika si istri menerima perkawinan itu,

maka dalam pola romantic love marriage itu dipastikan di dalamnya akan

dipastikan terus menerus berlangsung perang terbuka atau perang dingin. Apabila

si istri berhasil mentransformasikan situasi itu dengan misalnya mengambil

manfaat untuk menyenangkan diri dan anak-anaknya sehingga si suami tak lebih

hanya sapi perahan maka perkawinan poligami itu bisa bertahan.

Dalam pola romantic love marriage, penerimaan si istri atas perkawinan

kedua dan seterusnya seringkali didasarkan atas pertimbangan untuk

mempertahankan sebuah keyakinan bahwa rumah tangganya telah dibangun

56

berdasarkan cinta. Perceraian bagi mereka hampir bukan pilihan karena

perceraian merupakan penghancuran atas seluruh bangunan keyakinan atas

keluarga yang selama ini telah dibangunnya dengan cinta dan kesetiaan. Tak

heran misalnya ada perempuan yang dengan sangat terpaksa menerima

perkawinan poligami itu, meskipun secara finansial mereka cukup mandiri.

Kedua, perkawinan poligami yang dasarnya adalah economic marriage.

Poligami tidak bisa lain harus diterima dan dirasionalisasikan karena untuk

memenuhi kebutuhan ekonomi. Bentuk poligami ditemui pada masyarakat agraris,

dalamkeluarga-keluarga petani pegunungan, atau para pedagang yang nomade.

Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap

sebagai strategi pertahanan hidup untuk pengehmatan pengelolaan sumber daya.

Tanpa sususah payah, lewat poligami diperoleh tenaga kerja ganda lewat upah.

Kultur ini dibawa migrasi ke kota, meskipun struktur masyarakatnya telah

berubah. Misalnya praktik poligami yang dilakukan seorang bakul ayam goreng

yang konon dapat melaksanakannya dengan harmonis. Sementara untuk kalangan

priyayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia

disepadankan dengan harta dan tahta yang berguna untuk mendukung

penyempurnaan derajat sosial laki-laki.

Dari cara pandang budaya, poligami merupakan proses dehumanisasi

perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam

konteks poligami terlihat manakala perempuan yang dipoligami mengalami self

depreciation. Mereka membenarkan bahkan bersetuju dengan tindakan poligami,

meskipun mengalami penderitaan lahir batin yang luar biasa. Tak sedikit di antara

57

mereka yang menganggap bahwa penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah

sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahan sendiri. Abduh

(dalam Marcoes, 2005: Iiii) menyatakan bahwa untuk memberi status hukum

poligami seharusnya dilakukan pengujian di lapangan dengan menanyai

perempuan sebagai pihak yang menerima akibat poligami. Jika ternyata lebih

banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Hal itu memperlihatkan

bahwa poligami sanggup membunuh karakter dan kepribadian perempuan.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Tipe dan Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cultural studies,

yaitu suatu pendekatan yang menganggap budaya bersifat politis dalam

pengertian yang sangat spesifik, yaitu sebagai ranah pergumulan dan konflik.

Artinya adanya proses pertarungan ideologis dengan menghadirkan makna ganda,

makna selalu merupakan akibat dari tindakan artikulasi, sebab makna harus

diekspresikan dalam konteks yang spesifik (Storey, 2007). Metode Analisis

Wacana Kritis (Critical Discourse Analisis) Norman Fairclough (Jorgensen dan

Phillips, 2007: 122-123) digunakan dalam penelitian ini karena Fairclough

mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang

lebih luas. Fairclough merasa bahwa analisis teks itu saja tidaklah memadai bagi

analisis wacana dan juga tidak bisa menjelaskan hubungan antara struktur dan

proses kultural serta kemasyarakatan. Oleh karena itu Fairclough mengkritik

pendekatan linguistik yang semata-mata hanya memusatkan perhatian pada teks

dan menggunakan pemahaman simpisitis tentang hubungan antara teks dan

58

masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh pengagas analisa wacana kritis

lainnya yakni Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Trew dalam

mengeksplorasi hubungan antara struktur gramatikal dan hubungan sosial.

Termasuk Van Dijk yang lebih menekankan pada kognisi sosial individu dengan

memproduksi pesan teks tersebut dan Sara Mills yang juga menekankan pada

analis struktur text ( Van Dijk, 1998: 263-264; Mills, 1997).

1.6.2 Sumber Data

Sumber primernya berupa teks pada majalah Sabili, Syir‟ah dan NooR yang

membahas isu poligami selama bulan Februari 2006 hingga Januari 2007. Alasan

pemilihan bulan Februari 2006-Januari 2007 antara lain: pertama, masyarakat

sudah sampai pada titik puncak kemuakan terhadap praktik poligami (Arivia,

2006: 40) meskipun mereka sudah sering kali menyaksikan sejumlah kaum pria-

mulai dari pejabat, ulama, hingga para selebriti memamerkan kuasa melalui

poligami. Kedua, terjadinya pertarungan wacana antara kelompok pro dan anti

poligami di berbagai media massa termasuk majalah Islam sebagai letupan

kemarahan serentak perempuan terhadap poligami tokoh panutan.

Sumber data yang digunakan penulis dari masing-masing majalah Syir‟ah,

majalah Sabili dan majalah Noor sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut

ini:

59

Tabel 1.1 Liputan Poligami di Majalah Syir'ah

No Edisi Kolom/Rubrik Judul Penulis Halaman

1 52/VI/April 2006

M - Rabiul Awwal

1427 H

Kisah Rasul Nabi Pisah Ranjang Fathuri SR

Redaktur

Majalah

60-61

2 55/VI/Juli 2006 M

- Jumadil Tsani

1427 H

Kisah Malaikat yang

Datang Pagi Hari

Teguh Winarso

AS

48-51

3 56/VI/Agustus

2006 M - Rajab

1427 H

Kisah Sebab Ibu

Perempuan...Sayan

g

Azzah Zain

alhasani

48-51

4 57/VI/September

2006 M- Sya’ban

1427 H

Kisah Rasul Suami Penyayang Fathuri 62-63

5 61/VI/Januari

2007 M- Zulhijah

1427H

Opini Redaksi Memilih Sebuah

Pernikahan

- 17

6 61/VI/Januari

2007 M- Zulhijah

1427H

Syir’ atuna Banyak Aral yang

Menghalang

Nasrul Umam

Syafi’iy

22-25

7 61/VI/Januari

2007 M- Zulhijah

1427H

Syir’ atuna Antara Akad dan

Hasrat

Nasrul Umam

Syafi’ iy

26-29

8 61/VI/Januari

2007 M- Zulhijah

1427H

Lembar Toleransi Poligami, Maslahat

atau Mudarat

Abdullah

Ubaid Matraji

50

9 61/VI/Januari

2007 M- Zulhijah

1427H

Selilit Poligami = Makan

Pete

AUM 87

60

Tabel 1.2 Liputan Poligami di Majalah Sabili

No Edisi Kolom/Rubrik Judul Penulis Halaman 1 No 16.Th.XIII 23

Februari 2006 M/24 Muharram 1427 H

Bimbingan Tauhid

Studi di Australia Jadi Anti-Poligami

- 82 - 83

2 No 17 Th.XIII 9 Maret 2006 M/9 Shafar 1427 H

Bimbingan Tauhid

Al-Kitab Melegalkan Poligami

- 100-101

3 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H

Rosail SBY & Poligami Ayu Hamzah 6

4 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H

Muhasabah Salah Faham tentang Islam (2) Poligami atau Zina

M.U. Salman 14-15

5 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H

Telaah Utama Anti Poligami Berkomplot Menentang Hukum Allah

Hepi Andi Bastoni (koordinator Liputan) Laporan: Diyah Kusumawati, Faris Khoirul Anam, Evan Hamzah, Ernie Arie Susanti, Chairul Akhmad Defi Ruspiandi

16-21

6 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H

Telaah Utama Sepuluh Subhat Menghujat Poligami

M. Nurkholas Ridwan, Evan Hamzah, Diyah Kusumawardhani, E. Sudarmaji

22-26

7 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H

Telaah Utama Bola Panas Aturan Perkawinan

Artawijaya Laporan: Diyah, Evan Hamzah, Kukuh Santoso

24-25

8 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H

Telaah Utama Selingkuh Disanjung, Poligami Dicerca

Dwi Hardianto Laporan: Depi Ruspiyanty, Evan Hamzah, Diyah Kusumawati

27-29

9 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H

Telaah Utama Yang Berbahagia di Poligami

Dwi Hardianto Laporan Deffi Ruspiyandi, Evan Hamzah, Diyah Kusumawati

30-31

10 No 12 Th.XIV 28 Desember 2006/7 Dzulhijjah 1427 H

Kolom Anti Poligami, Pro Kumpul Kebo

Hartanto Ahmad Jaiz (wartawan, penulis buku)

32-33

11 No13 Th.XIV 11 Januari 2007 M /21 Dzulhijjah 1427 H

Komentar Bolehnya Poligami, Perkara Niscaya

Fatimah al-Mundzir Bekasi Jakarta

10

61

Tabel 1.3 Liputan Poligami di Majalah NooR

No Edisi Kolom/Rubrik Judul Penulis Halaman

1 01/Th V/Januari

2007

M/Muharram

1427 H

Topik Kita Esensi

Beragama

Menyatukan

Aqidah &

Akhlak Syariah

Badriyah

Fayumi

14-16

2 01/Th V/Januari

2007

M/Muharram

1427 H

Topik Kita Indahnya

Memaknai

Hidup

Ade 18-20

3 01/Th V/Januari

2007

M/Muharram

1427 H

Topik Kita Fenomena

Skandal Seks

& Polemik

Agus/Foto

Rina

22-23

4 01/Th V/Januari

2007

M/Muharram

1427 H

Cerpen Antara Aku,

Istriku &

Poligami

Rijal Muttaqin 76-79

Data yang diambil dari tiga tabel di atas menunjukkan wacana poligami

ditampilkan dalam berbagai rubrik di masing-masing majalah. Majalah Syir‟ah

menampilkan wacana poligami sebanyak 9 judul dari berbagai macam rubrik,

tetapi yang dominan menampilkan wacana poligami melalui rubrik kisah,

termasuk kisah Rasul dan Syir‟ atuna sebanyak 5 judul. Majalah Sabili lebih

banyak menampilkan wacana poligami sebanyak 11 judul dari berbagai rubrik

dan yang mendominasi adalah rubrik telaah utama sebanyak 5 judul. Ini berarti

majalah Sabili menempatkan wacana poligami sebagai perhatian utama di antara

wacana lain. Majalah NooR paling sedikit menampilkan wacana poligami paling

sedikit. Koleksi majalah NooR yang dimiliki oleh peneliti dari Januari 2006

sampai Januari 2007 hanya menemukan satu edisi penerbitan tentang poligami

yakni edisi Januari 2007. Pada edisi Januari 2007, majalah NooR menampilkan 4

judul tentang poligami dan yang sebagian besar ditampilkan pada rubrik topik

62

kita.

1.6.3 Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisa wacana kritis Norman

Fairclough, analisis ini berusaha menghubungkan teks yang mikro dengan kontek

sosial makro yang dijembatani oleh analisis pada tataran meso. Fokus perhatian

analisa wacana kritis Fairclough ini adalah bahasa ditempatkan sebagai praktik

sosial. Untuk melihat ideologi pengarang digunakan analisis bahasa secara

menyeluruh, karena bahasa dalam konteks ini dipahami sebagai tindakan dalam

hubungannya dengan dialektika dan struktur bahasa. Oleh karena itu, pusat

perhatian analisis ini adalah bagaimana bahasa diproduksi dan direproduksi dari

relasi sosial dan konteks sosial.

Model yang dibangun oleh Fairclough (1992) dalam analisisnya disamping

dimensi linguistik, adalah ia mengintegrasikan pemikiran sosial, politik menjadi

bagian integral dari perubahan sosial. Pemakaian bahasa dalam wacana

merupakan bentuk praktik sosial yang memiliki implikasi, antara la in wacana

merupakan suatu bentuk tindakan dan bentuk representasi dalam memandang

realitas sosial, dan hubungan interaksional antara wacana dan struktur sosial.

Kemudian ia memperkenalkan tiga tahap untuk melakukan penelitian dengan

metode analsis wacana kritis. Tiga tahap tersebut adalah deskripsi, interpretasi

dan eksplanasi dalam menghubungkan teks pada level mikro dengan konteks

sosial yang lebih besar, yakni socio-cultural practice.

Tiga dimensi yang dilakukan Fairclough ( 1995: 57) dalam analisisnya yaitu

teks, praktik wacana, praktik sosiokultural, sebagai berikut:

63

a. Teks

Level pertama berupa teks dianalisis secara linguistik, atau deskripsi perhatiannya

pada beberapa aspek struktur bahasa, yaitu aspek kosa kata dan gramatika serta

struktur teks.

1. Kosa Kata

Kosa kata mencakup nilai-nilai ekprensial yang menjelaskan kata-kata

ideologis, kelebihan kata atau penyusunan kata kembali, hubungan makna yang

mencakup sinonim, hiponim atau antonim. Penekanan pada nilai-nilai relasional,

misalnya ungkapan eufemisme, ironi, formal atau informal, dan lain- lain. Kosa

kata ini, memberikan pilihan kata sebuah teks yang menciptakan hubungan sosial

antar partisipan yaitu pembuat teks dengan pembacanya.

Hal yang juga diperhatikan adalah kosa kata yang berhubungan dengan

nilai-nilai ekspresif. Kosa kata yang menunjukkan pada evaluasi positif atau

negatif sesuatu yang berhubungan dengan ideologi pengarang dalam bentuk

penggunaan metafora.

2. Gramatika

Aspek-aspek gramatika yang berhubungan dengan nilai-nilai eksperensial,

adalah tipe-tipe proses dan partisipan yang dominan, situasi agen tampak jelas

atau tidak, proses-proses situasi yang tampak, penggunaan kalimat aktif dan pasif,

dan kalimat positif atau negatif.

Aspek-aspek gramatika yang berkaitan dengan nilai-nilai relasional, adalah

model-model pertanyaan yang digunakan, relasi-relasi modalitas, dan

penggunaan kata ganti. Selanjutnya aspek-aspek gramatika yang berhubungan

64

dengan nilai ekspresif, misalnya aspek-aspek modalitas; memberikan petunjuk

tentang sebuah peristiwa.

Hubungan antar kalimat sederhana juga diperhatikan, misalnya penggunaan

jenis kata penghubung logis, penggunaan kalimat kompleks bersifat koordinasi

atau subordinasi, arti kata atau makna yang digunakan dalam menghubungkan

teks ataupun luar teks.

3. Struktur Teks

Struktur teks ini dikaji tiga unsur adalah, pertama kaida-kaidah interaksional.

Aspek yang diperhatikan dalam struktur teks berkaitan dengan penggunaan

kaidah-kaidah interaksional. Kedua, ukuran struktur yang dimiliki teks. Teks

dirumuskan atas dasar urutan kepentingannya, maka teks dapat menunjukkan

evaluasinya atas apa yang layak ditampilkan. Aspek kelayakan tampilan tersebut

harus mendapatkan perhatian dalam ranah deskripsi.

Ketiga aspek itu akan dianalisis pada teks-teks yang memuat isu poligami di

majalah Syir‟ah, Sabili dan NooR. Dalam menganalisis ketiga majalah itu akan

ditampilkan pilihan kata-kata atau teks-teks tertentu yang berhubungan dengan

aspek kata dengan unsur eksprensial kata, relasi kata, ekspresif kata dan metafora.

Selain itu dalam tataran luas ditampilkan juga aspek gramatikal baik secara

eksprensial, relasi dan ekspresi gramatikal. Bagian selanjutnya dalam tataran

yang lebih luas lagi yakni ditampilkan keterkaitan antar kalimat, terutama kalimat

yang mengandung unsur teks atau kata-kata yang berhubungan dengan praktik

wacana poligami.

65

b. Praktik Wacana

Level kedua berupa Praktik wacana atau interpretasi (Fairclough, 1995: 58)

berkaitan dengan produksi, dan konsumsi teks. Adapun yang dimaksud dengan

analisis intertekstual itu sendiri adalah analisis yang berfokus pada perbatasan

antara teks dengan praktik wacana. Analisis intertekstual melihat teks dari

perspektif praktik wacana, melihat jejak-jejak praktik wacana dalam teks.

Analisis ini mencoba mengungkapkan genre-genre dan wacana-wacana - yang

seringkali dalam wacana kreatif, bercampur dengan kompleks - yang

diartikulasikan di dalam teks. Pertanyaannya adalah genre-genre dan

wacana-wacana apa yang dijadikan sandaran dalam memproduksi teks, dan apa

saja yang menjadi jejaknya di dalam teks (Fairclough, 1995: 61; Faruk, 2007: 6).

Tahap kedua ini merupakan tataran meso dalam analisa wacana kritis

Norman Fairclough. Peneliti mencari sumber atau tokoh yang memproduksi teks

terkait dengan wacana perempuan yang dipoligami, setelah itu menghubungka n

produksi teks tersebut dengan interpretasi penulis teks atau penulis artikel yang

didasarkan pada hubungan antar tokoh atau partisipan. Sehingga analisa pada

bagian ini adalah hasil kombinasi dari apa yang terdapat dalam teks dan pada

penafsir baik penulis atau pun tokoh yang memproduksi teks berdasarkan

pengetahuan yang dimilikinya.

c. Praktik Sosio-kultural

Analisis dari dimensi praktik sosiokultural, suatu peristiwa komunikatif ada

pada level abstraksi yang berbeda dari peristiwa yang khusus. Ia dapat melibatkan

konteks situasionalnya yang lebih langsung, konteks praktik-praktik institusional

66

yang lebih luas, yang di dalamnya peristiwa itu melekat, atau bahkan bingkai

masyarakat dan kebudayaan yang lebih luas lagi. Konteks praktik sosio-kultural

ini dapat banyak aspek masyarakat. Setidaknya, ada tiga aspek yang penting,

yang perlu mendapat perhatian, yaitu ekonomi, politik (berkaitan dengan soal

kekuasaan dan ideologi), dan kultural (berkaitan dengan nilai dan identitas)

(Fairclough, 1995: 62; Faruk, 2007: 4).

Tahap akhir dari analisa Fairclough yakni tataran makro. Disini ditampilkan

praktis-praktis sosial yang terdapat dalam majalah Syir‟ah, Sabili dan NooR.

Untuk mengungkapkan praktik sosial tersebut, terlebih dahulu akan ditampilkan

tokoh atau sumber yang memproduksi teks, terkait dengan identitas perempuan

yang dipoligami. Pada bagian ini akan diketahui tokoh, sumber atau bahkan

penulis teks itu sendiri yang memproduksi teks tentang identitas perempuan

dipoligami. Kemudian peneliti mengkaitkan identitas perempuan tersebut dengan

ideologi yang dianut majalah Syir‟ah, Sabili dan NooR. Ideologi itu bisa pada

hal-hal yang sederhana tetapi menjadi latar belakang yang mendorong produksi

identitas perempuan tersebut berlangsung.