bab i pengantar 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Pertautan antara ranah sastra dan sosiologis merupakan perbincangan penting
dalam kajian kesusastraan dunia. Secara spesifik, jika perhatian ditujukan terhadap
kesusastraan yang hidup di wilayah ex-koloni Inggris, yaitu Amerika, kajian-kajian
yang mempertalikan karya sastra dan aspek sosiologis pada ranah kesusastraan ini
bisa menjadi suatu hal yang sangat penting. Tentu saja, mengingat banyaknya nama-
nama sastrawan besar dan berpengaruh yang mampu dihadirkan berkaitan dengan
sejarah dan perkembangan kesusastraan Amerika hingga saat ini. Sebut saja Edgar
Allan Poe, Nathaniel Hawthorne, Mark Twain, T.S. Elliot, Robert Frost, dan lain
sebagainya. Nama-nama tersebut merupakan para sastrawan yang karya-karyanya
tidak hanya dikenal di Amerika, tetapi juga di dunia.
Merunut sejarahnya yang cukup panjang, kecenderungan perkembangan
kesusastraan Amerika ini sejalan dengan berkembangnya paradigma berpikir
masyarakat yang terjadi di wilayah Eropa di saat yang kurang lebih bersamaan.
Namun, sebagai Negara yang memiliki latar belakang sosio-budaya yang berbeda,
membuat sastra Amerika ini menjadi menarik untuk dikaji lebih jauh. Sebagai
contoh, di periode bersamaan pada pertengahan abad ke-19, pada saat novelis-novelis
Inggris kerap menceritakan sang tokoh utama miskin yang menghadapi permasalahan
2
keuangan dan strata sosial pada masyarakat tradisional dalam bentuk yang sangat
realistik, novelis-novelis Amerika justru cenderung menciptakan tokoh-tokoh yang
kebanyakan cenderung individualistik dengan permasalahan non-realistik, seperti
berhadapan dengan alam liar, suku kanibal, setan, binatang buas, dan lain sebagainya.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh latar belakang kedua negara yang
berbeda. Di satu sisi, pada periode tersebut Inggris merupakan negara yang memiliki
tatanan sosial yang bisa dikatakan lebih tertata dibandingkan dengan Amerika di sisi
lain (VanSpanckeren, 1994: 36). Inggris merupakan negara aristokrat yang memiliki
struktur sosial yang cenderung terpartisi (Borjuis dan Proletar) ketika di saat yang
sama Amerika merupakan negara yang cenderung cair dan secara relatif tidak
memiliki kelas sosial di dalam masyarakatnya yang demokratis. Ditambah lagi,
secara geografis pada saat itu Amerika juga memiliki kawasan alam liar yang begitu
luas yang membuat aktivitas masyarakat mau tidak mau harus berhubungan dengan
lingkungan alam di sekitarnya. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa alasan
terciptanya karakter-karakter individualistik dan motif-motif non-realistik di dalam
karya-karya sastra Amerika tentu dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan budaya-
nya pada pertengahan abad ke-19.
Hal ini tentu saja membuktikan bagaimana karya sastra berimplikasi dengan
kehidupan sosialnya masing-masing. Sebagaimana dinyatakan dalam kutipan berikut:
Sebagaimana lembaga-lembaga sosial lainnya, sastra merupakan aktivitas seni bahasa yang dibingkai oleh tingkat perkembangan
3
intelektual yang hidup pada zamannya. Hubungan antara sastra dengan lembaga-lembaga sosial yang lain dapat disebut homolog, yaitu sama-sama merepresentasikan tingkat perkembangan intelektual yang menjadi bingkai dari keseluruhan organisasi sosial yang melingkunginya (Faruk, 2012: 52).
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwasanya keberadaan
sastra sebagai lembaga sosial yang berupa aktivitas seni bahasa tidak terlepas dari
perkembangan intelektual di lingkungan sosial yang ada pada periodenya masing-
masing. Layaknya lembaga-lembaga sosial lain, sastra akan menunjukan taraf
perkembangan intelektual dari seluruh aspek sosial disekitarnya. Tentu saja hal
tersebut dapat dikaitkan dengan pembahasan mengenai karya-karya sastra Amerika
pada pertengahan abad ke-19 yang telah dibahas sebelumnya. Keberadaan aktivitas
sastra pada saat itu, dapat dikatakan berimplikasi dengan perkembangan intelektual
masyarakat dan lingkungannya, walaupun dalam hal ini tinjauan lebih jauh masih
sangat perlu dilakukan.
Dari sekian banyak novelis di era pertengahan abad ke-19, Nathaniel
Hawthorne adalah satu di antara novelis-novelis yang paling ternama pada zamannya.
Pada era-nya, Hawthorne lebih memilih istilah ‘roman’ dari pada novel untuk karya-
karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus
pada sesuatu yang lebih luas dari kehidupan itu sendiri, yaitu kondisi-kondisi fantastis
yang dihadapi oleh orang biasa (Graham, 2012: xvii). Lebih jauh, Graham
menyatakan dengan memberikan label roman pada karyanya, seorang penulis telah
memberikan kebebasan kepada dirinya sendiri. Dalam hal ini, ketika novel mencoba
4
mereka ulang pengalaman sebagaimana adanya, roman menawarkan para penulis di
abad ke-19 kesempatan untuk menjelajahi kebenaran-kebenaran yang esensial
mengenai sifat alami manusia dengan memadukan hal-hal fantastis dengan hal-hal
biasa.
Beberapa karya Hawthorne memiliki latar belakang cerita kaum Puritan di
New England, dan salah satu karya terbaiknya The Scarlet Letter (berikutnya
disingkat TSL), pertama kali terbit 1850, menjadi gambaran klasik kaum Puritan
Amerika. Roman ini menceritakan cinta terlarang yang emosional antara seorang
pendeta Arthur Dimmesdale dengan seorang wanita bernama Hester Prynne. Dalam
cerita ini, Hester dianggap sebagai pendosa karena telah hamil oleh orang yang bukan
suaminya, sementara itu Dimmesdale sebagai pria yang bertanggung jawab atas
kehamilan tersebut dirahasiakan aibnya hingga akhir cerita. Pada akhir cerita, Hester
yang pada mulanya menuai kecaman dan penghinaan, justru dimunculkan sebagai
sosok yang simpatik. Sementara itu, tokoh Dimmesdale yang pada awalnya
dimunculkan sebagai sosok yang dihormati, berangsur-angsur melemah karena beban
moral yang dipikulnya dan pada akhirnya meninggal dunia.
Berlatar belakang sosial di Boston sekitar pertengahan abad ke-17 selama
awal masa kolonisasi Puritan, karya ini menyoroti obsesi masyarakat terhadap
moralitas, menggambarkan permasalahan gender, hukuman terhadap pendosa, juga
rasa bersalah dan pengakuan dosa seorang individu. Dalam hal ini, TSL merupakan
karya yang subversif dan berani (VanSpanckeren, 1994: 37). Pernyatan itu ditegaskan
5
oleh VanSpanckeren karena menurutnya roman ini mengangkat isu-isu yang biasanya
disembunyikan pada abad ke-19 di Amerika, seperti isu mengenai dampak dari
pembebasan pengalaman demokratis pada perilaku individual, terutama pada
kebebasan seksual dan agama. Hal tersebut kemungkinan besar ada kaitan dengan
Nathaniel Hawthorne yang merupakan keturunan keluarga Puritan yang lahir dan
dibesarkan di Salem, Massachusetts (Punter & Byron, 2004: 123). Aspek religious
dan tempat tumbuh kembangnya bisa saja menginspirasinya dalam hal ini. Meskipun
pada dasarnya fakta itu belum mampu memberikan alasan konkrit perihal
kompleksitas isu yang dimunculkan di dalam roman ini.
Namun demikian, karya ini tetap saja berpotensi untuk menunjukan taraf
perkembangan intelektual pada lingkup sosial dan zamannya. Sebagaimana
pembahasan sebelumnya mengenai keberadaan sastra yang tidak akan terlepas dari
perkembangan intelektual di lingkungan sosial pada periodenya masing-masing.
Aspek intelektual itulah yang akan berkaitan secara langsung dengan kesadaran
tentang fenomena atau isu-isu sosial yang pada akhirnya ditanggapi melalui roman
TSL ini. Artinya, di dalam roman ini Hawthorne dengan kapasitas intelektualnya
tengah berupaya menanggapi fenomena dan isu-isu sosial pada zaman TSL
diciptakan. Dengan begitu, kemungkinan besar faktor lingkungan sosial merupakan
pemicu utama dari terciptanya roman tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, muncul sebuah problematika tersendiri yang
secara khusus datang dari keberadaan roman TSL yang memuat isu-isu pada abad ke-
6
19 di Amerika seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Penulisan roman ini sudah
tentu dipengaruhi oleh isu-isu sosial yang terjadi pada zaman karya ini ditulis. Oleh
karenanya, hal ini menunjukan bahwa keberadaan roman TSL sebagai sebuah karya
sastra tidak bisa dipisahkan dari latar belakang sosial tempat karya ini dilahirkan.
Struktur-struktur yang tercipta dan juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bisa
saja datang dari tanggapan sang penulis terhadap pengalaman empiris yang dilihat
atau dirasakannya.
Setiap respons yang dilakukan oleh setiap individu pada umumnya
dipengaruhi oleh latar belakang sosial tempat individu tersebut bernaung. Hal itu
disebabkan karena pengalaman atau ideologi kolektif yang dirasakan dan dianut oleh
kelompok sosialnya, akan sangat mempengaruhi sudut pandang seorang individu
dalam menyikapi setiap fenomena yang terjadi pada kehidupan sosialnya. Dalam taraf
inilah seseorang akan memiliki apa yang disebut sebagai pandangan dunia (world
view) (Lucien Goldman, 1967). Sebagai penulis TSL, Hawthorne tentu memiliki
ruang lingkup sosial tersendiri di mana ideal-idealnya sebagai seorang manusia
tumbuh dan berkembang. Oleh karenanya, jika roman ini adalah bentuk respons
terhadap pengalaman empiris sang penulis, tentu saja roman ini akan memuat
ideologi atau pandangan dunianya sebagai seorang individu yang hidup di dalam
kelompok sosial tertentu.
Dalam hal ini, suatu hal yang mengganjal adalah pandangan dunia seperti apa
yang terkandung di dalam TSL ini sehingga roman ini memiliki inti keseluruhan
7
cerita sedemikian rupa. Selain itu, persoalan ini menjadi semakin kompleks karena
kelompok sosial sang pengarangnya yang tidak dapat teridentifikasi dengan jelas jika
dikorelasikan secara langsung dengan karya ini. Hal tersebut disebabkan karena di
satu sisi roman ini memiliki alegori latar tempat dan sosial yang menggambarkan
masyarakat pada pertengahan abad ke-17, sementara di sisi lain karya ini justru
diciptakan pada pertengahan abad ke-19.
Keterangan mengenai latar belakang keluarga Hawthorne sebelumnya tentu
tidaklah memadai untuk menentukan lingkungan sosial penulis tersebut. Perlu
diadakan langkah analisis lebih jauh untuk mendapatkan pemahaman mengenai
kelompok sosial penulis roman TSL ini. Berdasarkan hal tersebut, investigasi lebih
lanjut dirasakan sangat perlu dilakukan untuk mengetahui fakta-fakta penting
mengenai lingkungan sosial yang telah mempengaruhi Hawthorne dalam penciptaan
karya tersebut. Di sini, hal yang mungkin bisa di dapat adalah fakta mengenai
kelompok sosial sang penulis akan diketahui jika pandangan dunianya telah
diketahui, karena pada umumnya pandangan dunia merupakan ciri dari kelompok
sosial tertentu.
Kalaupun hal itu ingin dicari, tentu saja penelusurannya tidak akan bisa
terlepas dari roman TSL itu sendiri sebagai buah karya dari penulisnya. Sebuah karya
sastra akan selalu terkait dengan aspek kebahasaan yang merupakan bagian dari
kesadaran kolektif penulisnya. Oleh karenanya, aspek non-empirik karya sastra
(dalam hal ini pandangan dunia termasuk) yang berupa makna tidak akan terlepas
8
dari aspek empiriknya yang merupakan teks tertulis atau citra bunyi, selayaknya
petanda dan penandanya. Dalam hal ini, makna merupakan kesadaran kolektif dan
dibentuk berdasarkan intensi penulis di dalam suatu karya (Faruk, 1988: 24). Struktur
yang terbentuk di dalam suatu karya, dalam hal ini merupakan sebuah kesadaran yang
mengandung intensi tertentu dari penulisnya, yang dengan kata lain ada kandungan
ideologis dari struktur suatu karya. Dengan begitu, timbul permasalahan lainnya yang
mana struktur roman ini pun menjadi hal yang patut dikaji lebih lanjut. Untuk
mencapai makna atau memahami pandangan dunia di dalam roman TSL ini, tentu saja
harus dimulai dari memahami struktur karyanya terlebih dahulu. Dimungkinkan,
ketika struktur roman ini telah terkupas, maka aspek-aspek lain seperti pandangan
dunia dan juga kelompok sosial Hawthorne bisa lebih mudah untuk ditemukan.
Berdasarkan hal tersebut, keberadaan roman TSL sebagai sebuah karya sastra
menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut guna memperoleh jawaban dari hal-hal
yang menjadi persoalan tersebut. Dalam hal ini, hubungan antara karya sastra sebagai
sesuatu yang seakan-akan otonom dan aspek sosiologis sebagai hal yang berada
diluar otonomi karya sastra itu sendiri seakan mendapatkan pertautan yang membuat
pengkajiannya tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Oleh karena itu, penelitian ini
akan melibatkan aspek tekstual karya sastra dan hal-hal yang bersifat kontekstual
seperti latar belakang sejarah dan sosial dari masyarakat tempat roman TSL
diciptakan
.
9
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, beberapa rumusan
masalah muncul dalam penelitian ini. Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah struktur roman TSL karya Nathaniel Hawthorne?
2. Pandangan dunia seperti apa yang diekspresikan di dalam roman TSL?
3. Kelompok sosial apa yang memiliki pandangan dunia yang ada di dalam roman
TSL?
1.3 Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka
tujuan penelitian ini diuraikan sebagai berikut:
1. Memaknai struktur dari roman “TSL” karya Nathaniel Hawthorne.
2. Mengetahui pandangan dunia yang diekspresikan dalam roman tersebut.
3. Mengungkapkan kelompok sosial yang memiliki pandangan dunia yang
diekspresikan dalam roman tersebut.
1.4 Manfaat Penelitian
Selain beberapa tujuan yang telah diungkapkan sebelumnya, penelitian ini
juga diproyeksikan untuk memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis di dalam
10
penelitian sastra, khususnya dalam bidang kajian sosiologi sastra. Secara teoritis,
penelitian ini bermanfaat dalam menambahkan perbendaharaan penelitian
berdasarkan teori yang akan digunakan sebagai landasan berpikir dalam penelitian
ini, yang sekaligus membuktikan signifikansi teori tersebut dalam kajian sastra.
Sementara itu, secara praktis penelitian ini diharapkan menghasilkan sebuah model
penelitian sastra dan dapat membantu memberikan rujukan bagi peneliti lain dalam
menerapkan teori serupa. Selain itu, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu
memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat yang tertarik pada kajian-kajian
sastra secara umum, dan sastra Inggris secara khusus, baik itu pengajar, mahasiswa,
dan lain sebagainya.
1.5 Tinjauan Pustaka
Sejauh penelusuran dan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, penulis tidak
menemukan satu pun penelitian yang dilakukan terhadap roman TSL dengan latar
belakang masalah serupa, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan
demikian, berdasarkan hal tersebut peneliti berasumsi bahwa penelitian terhadap
roman TSL yang terfokus pada pengkajian struktur karya yang dikorelasikan dengan
pandangan dunia kelompok sosial pengarangnya belum pernah dilakukan oleh
peneliti lain. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa dikemudian hari asumsi
tersebut dipertimbangkan kembali karena hal-hal tertentu, yang oleh karenanya
tindakan-tindakan yang diperlukan bisa dilakukan terhadap penelitian ini.
11
Berdasarkan tinjauan yang telah dilakukan, ditemukan beberapa penelitian
terhadap roman TSL, akan tetapi penelitian-penelitian tersebut tidak mengkaji
permasalahan struktur karya dan pandangan dunia yang diekspresikannya. Penelitian-
penelitian tersebut antara lain adalah “Citra Wanita Dalam TSL: Sebuah Tinjauan
Kritik Sastra Feminis” (2005) oleh Stephani Johana Sigarlaki dan “A Representative
of The New Female Image-Analyzing Hester Prynne’s Feminist Consciousness in
TSL” (2010) oleh Yamin Wang. Sebaliknya, ditemukan juga beberapa penelitian
yang mengkaji permasalahan struktur karya dan pandangan dunia, akan tetapi kajian-
kajian tersebut dilakukan terhadap objek material lain. Penelitian-penelitian yang
dimaksud antara lain adalah “Spiritualitas Postmodern Dalam Novel Stardust Karya
Neil Gaiman (Tinjauan Strukturalisme Genetik)” (2013) oleh Rahmawati Azi dan
“Pandangan Dunia Ali Ahmad Bakatsir Dalam Novel Sallamah Al-Qas, Analisis
Strukturalisme Genetik Lucien Goldman” (2012) oleh Lutfiyah Hakim.
Penelitian pertama memfokuskan kajiannya mengenai citra wanita di dalam
roman TSL yang memiliki latar belakang cerita dalam masyarakat Puritan (Sigarlaki,
2005). Di sini dibahas sekilas tentang nilai-nilai dan sejarah puritanisme di New
England termasuk di dalamnya keberadaan wanita sebagai bagian dari masyarakat.
Setelah membahas berbagai citra wanita di dalam karya ini, antara lain citra wanita
selaku individu, citra wanita dalam area domestik, dan citra wanita dalam area publik,
Sigarlaki berkesimpulan bahwa ada pergeseran citra wanita dari citra negatif menjadi
citra positif jika merunut alur cerita sedari awal hingga bagian akhir. Citra wanita
12
yang digambarkan sebagai yang lemah dan inferior di awal cerita, pada akhirnya citra
tersebut berubah menjadi citra wanita yang memiliki kepercayaan diri yang begitu
besar sehingga wanita melakukan segala sesuatu berdasarkan keyakinannya.
Sementara itu, penelitian berikutnya memfokuskan kajiannya tidak jauh
berbeda dari apa yang dilakukan Sigarlaki, hanya saja penelitian lebih terfokus pada
sosok karakter utama dalam roman TSL (Wang, 2010). Hasil dari penelitian ini
menemukan sosok Hester Prynne sebagai tokoh wanita yang memiliki kesadaran
feminis dan berani melawan aturan kolonial yang diberlakukan oleh gereja dan
negara. Menurut Wang, hal tersebut membuat tokoh Hester berbeda dari citra wanita
tradisional yang selalu patuh terhadap konstruksi yang diciptakan oleh kaum pria.
Dalam hal ini ia menambahkan bahwa sosok ini sebagai citra wanita baru, yang
mampu menampilkan citra wanita yang bisa disejajarkan dengan kaum pria.
Terlepas dari signifikansi hasil yang diberikan oleh dua penelitian yang
berlandaskan pendekatan feminis tersebut, peneliti tidak melihat suatu relevansi
berkaitan dengan permasalahan penelitian yang sedang dikembangkan di sini. Jika
ada, tentu saja bukan suatu hal yang bersifat menyeluruh dan identik. Di sisi lain,
seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, peneliti juga menemukan beberapa
penelitian yang memiliki permasalahan penelitian seperti yang sedang dikembangkan
di dalam penelitian ini, meskipun beberapa penelitian tersebut mengkaji objek
material yang berbeda.
Penelitian yang pertama terfokus dalam mengkaji sistem double coding yang
ditemukan di dalam struktur objek material yang diteliti, yaitu novel Stardust karya
13
Neil Gaiman yang menurutnya berhubungan dengan kelompok sosial yang disebut
dengan inklings dan mythopoeic society (Azi, 2013). Di dalam penelitian ini,
dinyatakan bahwa sistem double coding ini berhomologi dengan pandangan dunia
yang diekspresikan dalam karya yang ia teliti. Azi melihat sistem tersebut berupaya
membenturkan komponen-komponen yang saling bertolak belakang, seperti
transendensi Tuhan dan imanensi Tuhan, rasionalisme dan irasionalisme, nilai tukar
dan nilai kemanusiaan, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Pada akhirnya,
Azi menyimpulkan bahwa komponen-komponen tersebut digunakan untuk saling
melengkapi, berkenaan dengan novel Stardust yang dikategorisasikan sebagai novel
yang bergenre fantasi mythopoeic.
Misi-misi fantasi mythopoeic ini dijelaskan sebagai usaha melepaskan diri
dari paradigma materialis yang menjadi ciri faham modernisme, mengembalikan
nilai-nilai tradisional, dan mengenali efek buruk yang disebabkan oleh modernisme.
Dengan demikian, ada sebuah tendensi melalui karya ini untuk berkomitmen kepada
kembalinya pesona dunia, beserta komitmen yang kuat terhadap pandangan dunia
yang bersifat ekologis dan eukumenis yang berakar dari filsafat postmodernisme
Whitehead. Pada akhirnya , ia berkesimpulan bahwa kemampuan para individu yang
tergabung dalam kelompok sosial inklings dan mythopoeic society untuk mengenali
lingkungannya dan usaha untuk mendeformasi sistem modernisme dinyatakan
sebagai bentuk akomodasi dan strukturasi, yang mana strukturasi tersebut menjadi
sruktur imajiner dalam novel Stardust.
14
Sementara itu, penelitian berikutnya memfokuskan kajiannya untuk
mengungkapkan pandangan dunia novel Sallamah Al-Qas (1944) karya Ali Ahmad
Bakatsir (Hakim, 2012). Di sini, ekspresi pandangan dunia tersebut dianalisis melalui
struktur teks novel yang diteliti. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Hakim
menyimpulkan bahwa pandangan dunia yang terdapat dalam novel tersebut
merupakan bentuk kesadaran dan ikhtiar manusia untuk mencari nilai-nilai yang lebih
baik. Di sini, pandangan dunia yang dimaksud adalah faham Jabariyah yang
terqadariyahkan, yang merupakan bentuk gabungan dari faham Jabariyah dan
Qadariyah. Pandangan dunia ini menurut Hakim berupaya mengambil jalan tengah
antara kedua faham tersebut untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat, sehingga masing-masing kehidupan memiliki porsi yang
seimbang.
Selain itu, penelitian ini mendapatkan bahwa kelompok sosial yang
mempengaruhi Bakatsir selaku pengarang adalah kelompok Hasan Al-Banna yang
ada dan tengah berkembang pada masanya di tengah-tengah masyarakat. Kelompok
tersebut terdiri dari para petani, pelajar, guru, dokter, insinyur, dan pengacara.
Menurut Hakim, kelompok ini ingin membuka pandangan khalayak (khususnya umat
Islam) mengenai kesatuan umat Islam dan menghindari perdebatan yang sia-sia
antara sesama umat. Hal tersebut dikhawatirkan dapat mengakibatkan perpecahan
antara sesama saudara dan golongan.
Berdasarkan tinjauan yang telah dilakukan terhadap dua penelitian yang
dilakukan oleh Azi (2013) dan Hakim (2012) tersebut, peneliti mendapatkan beberapa
15
relevansi dengan permasalahan penelitian yang tengah dikembangkan. Hal pertama
yang menjadi pertimbangan adalah struktur karya dan pandangan dunia yang juga
menjadi permasalahan di dalam dua penelitian tersebut. Oleh karena itu, peneliti
berasumsi bahwa dalam hal ini Azi dan Hakim juga tengah menghadapi persoalan
yang sama dengan apa yang tengah dihadapi peneliti dalam penelitian ini, walaupun
permasalahan penelitian ini ditemukan dalam objek material yang berbeda. Hal yang
kedua adalah mengenai teori yang dipakai oleh Azi dan Hakim dalam mengkaji
permasalahan penelitian yang mereka hadapi.
Secara praktis keduanya menggunakan teori yang digagas oleh Lucien
Goldman, yaitu strukturalisme genetik sebagai landasan berpikir guna menemukan
jawaban atas persoalan penelitian yang dihadapi. Dengan begitu, keduanya mampu
mengungkapkan jawaban-jawaban atas masalah-masalah yang dikaji pada masing-
masing penelitian. Dalam hal ini, peneliti melihat sebuah implikasi dan signifikansi
dari teori tersebut dalam mengkaji persoalan-persoalan serupa, khususnya
permasalahan penelitian yang sedang dihadapi dan dikembangkan. Oleh karena itu,
peneliti memutuskan untuk menggunakan teori strukturalisme genetik seperti yang
telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu dalam mengkaji persoalan yang ada
dalam penelitian ini.
1.6 Landasan Teori
Dari berbagai tinjauan pustaka yang telah dilakukan terkait dengan penelitian
ini, telah diputuskan bahwa strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh sosiolog
16
Perancis Lucien Goldman merupakan sebuah teori yang relevan untuk menunjang
landasan berpikir guna memperoleh jawaban dari permasalahan-permasalahan yang
telah dijabarkan sebelumnya. Sebelum membahas lebih jauh, perlu diketahui bahwa
Lucien Goldman merupakan salah satu penggagas teori sosial sastra yang berhasil
menggabungkan model pendekatan strukturalisme dan gagasan teori sosial sastra
Marxis yang disebut sebagai Strukturalisme Genetik (Faruk, 2012: 159). Teori ini ia
kembangkan berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap karya-karya
filsafat Pascal, drama-drama Racine, dan novel-novel Malraux.
Selajutnya, dijelaskan juga bahwa layaknya strukturalisme, strukturalisme
genetik juga memandang karya sastra sebagai sebuah struktur (Faruk, 2012: 159).
Akan tetapi, teori ini melihat segala aktivitas dan hasil aktivitas manusia tidak hanya
mempunyai struktur, tetapi juga memiliki arti. Maka menurut strukturalisme genetik,
pemahaman terhadap karya sastra tidak dapat hanya berporos pada perolehan
pegetahuan mengenai strukturnya, akan tetapi juga harus dilanjutkan hingga
mencapai pengetahuan mengenai artinya. Usaha-usaha untuk memahami arti dari
struktur itu berarti usaha dalam menemukan alasan atau faktor-faktor yang
membentuk struktur yang sedemikian rupa, dan hal tersebut dapat ditemukan dengan
mendapatkan informasi-informasi yang ada di luar karya sastra itu sendiri. Oleh
karenanya, secara spesifik genetik dalam hal ini berarti karya sastra dapat dipahami
asalnya dan terjadinya dari latar belakang sosial tertentu. Dengan demikian gagasan
strukturalis Goldman (Teeuw, 2003: 127) disebut sebagai strukturalisme genetik,
17
yang menerangkan karya sastra dari pengertian homologi, yaitu persesuaiannya
dengan struktur sosial.
Di dalam gagasannya, Goldman menyatakan bahwa makna dari struktur yang
tercipta di dalam suatu karya sastra mewakili pandangan dunia (vision du monde)
sang pengarangnya, yang posisinya bukan sebagai individu, melainkan sebagai wakil
golongan atau kelompok sosial masyarakatnya. Menurut Goldman, sosiologi sastra
Marxis menyadari bahwa fenomena yang menjadi fakta sosial akan terekspresi dalam
karya sastra melalui relasi kesadaran kolektif yang dimiliki pengarang dari golongan
masyarakatnya (Anwar, 2010: 104-105). Dengan kata lain, pengarang sebuah karya
sastra dinilai dapat menghasilkan suatu karya sastra karena terdapat faktor-faktor
sosial yang melatar belakanginya. Menurut Goldman, karya sastra dinilai sebagai
genetika sosial, yang berarti setiap karya sastra diproduksi secara genetik melalui
mediasi berdasarkan pandangan dunia dan struktur mental-historis suatu kelompok
sosial, atau lingkungan pengarangnya. Berkaitan dengan hal tersebut, strukturalisme
genetik memiliki beberapa konsep penting, berkaitan dengan kajian sastra yang
dikembangkan oleh Goldman. Konsep-konsep tersebut adalah fakta kemanusiaan,
subjek kolektif, pandangan dunia, dan struktur karya sastra.
1.6.1 Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan
Berkaitan dengan penjelasan yang telah diawali sebelumnya, secara ontologis,
strukturalisme genetik memandang karya sastra sebagai sebuah fakta kemanusiaan
18
dan bukan fakta ilmiah (Faruk, 2012: 160). Dalam hal ini, jika fakta ilmiah cukup
dipahami hanya sampai pada batas strukturnya saja, untuk memahami fakta
kemanusiaan, harus sampai pada batas artinya. Adapun definisi dari fakta
kemanusiaan telah dikutip sebagai berikut:
Adapun yang dimaksudkan dengan fakta tersebut adalah segala aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial tertentu seperti sumbangan bencana alam, aktivitas politik tertentu seperti Pemilu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan seni sastra (Faruk, 2012: 57).
Namun, pada dasarnya sebuah karya sastra sebagai salah satu bentuk dari
fakta kemanusiaan tidaklah diciptakan begitu saja, akan tetapi diciptakan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu dari manusia yang menciptakannya. Hal tersebut dapat
diselaraskan dengan pernyataan berikut ini:
Genetic structuralism sets out from the hypothesis that all human behavior is an attempt to give a meaningful response to a particular situation and tends, therefore, to create a balance between the subject of action and the object on which it bears, the environment. [Strukturalisme genetik berangkat dari hipotesis bahwa setiap perilaku manusia merupakan sebuah upaya untuk memberikan respons bermakna untuk situasi dan kecenderungan tertentu, yang dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan antara subjek pelaku dan obyek yang ditujunya, yaitu lingkungan]
(Goldman, 1975: 156).
19
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa teori ini menjelaskan
setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia (fakta kemanusiaan) merupakan suatu
respons terhadap situasi atau kecenderungan tertentu di dalam lingkungan sosialnya,
baik lingkungan alamiahnya maupun lingkungan manusiawinya. Tindakan-tindakan
yang berupa fakta kemanusiaan (penulisan karya sastra) ini dilakukan untuk
menyeimbangkan posisi antara pelaku tindakan sebagai subjek dan lingkungan
sebagai objeknya. Berkaitan dengan penelitian yang tengah dikembangkan di sini,
dapat dipahami bahwasanya TSL merupakan fakta kemanusiaan sebagai bagian kreasi
kultural, yaitu seni sastra. Selain itu, dimungkinkan pula bahwa penulisan roman
merupakan upaya untuk menyeimbangkan posisi Hawthorne dan lingkungan
sosialnya.
Di sini, ditekankan pula bahwa penyesuaian lingkungan sekitar dengan skema
fikiran manusia yang biasa disebut dengan ‘asimilasi’, bisa mempengaruhi proses
tersebut. Namun, jika lingkungan tersebut menolak atau tidak dapat disesuaikan
dengan skema fikiran manusia itu sendiri, manusia akan menempuh jalan yang
sebaliknya, yaitu menyesuaikan skema fikirannya dengan lingkungan sekitarnya yang
disebut dengan ‘akomodasi’ (Faruk, 2012: 58-62). Kedua proses tersebut merupakan
faktor penting yang dinyatakan dalam teori strukturalisme genetik tentang konsep
fakta kemanusiaan, dan menegaskan bahwa manusia memang selalu berusaha
membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu,
penciptaan karya sastra sebagai fakta kemanusiaan (secara khusus roman TSL) tidak
akan terlepas dari kedua proses tersebut.
20
1.6.2 Karya Sastra dan Subjek Kolektif
Dalam hal ini, strukturalisme genetik membedakan tindakan individual dan
tindakan kolektif berkenaan dengan usaha manusia dalam membangun keseimbangan
dengan lingkungan sekitarnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Perbedaan
tersebut sesuai dengan perbedaan jenis fakta kemanusiaan, seperti yang telah dikutip
berikut ini:
Tindakan individual dimaksudkan hanya untuk pemenuhan kebutuhan individual yang cenderung libidinal, sedangkan tindakan kolektif diarahkan pada pemenuhan kebutuhan kolektif yang bersifat sosial. Subjek tindakan libidinal adalah individu, sedangkan tindakan kolektif adalah kelompok sosial (Faruk, 2012: 161).
Berdasarkan kutipan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa subjek individual adalah
subjek fakta individual, sementara subjek kolektif adalah subjek fakta sosial.
Berkenaan dengan hal ini, revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural
yang besar merupakan fakta sosial.
Menurut Goldman, yang dapat menciptakan hal-hal tersebut hanya subjek
trans-individual (inter-human relation) (Faruk, 2012: 63). Dalam hal ini, subjek
trans-individual bukanlah kumpulan individu-individu yang independen, melainkan
suatu hubungan jaringan inter-individual yang kompleks, yang pada akhirnya
membentuk suatu keunikan (yang membedakannya dengan jaringan kolektifitas lain)
dengan tindakan-tindakan yang dilakukan atas dasar kesadaran (Goldman, 1975:
21
158). Subjek yang demikianlah yang menurut Goldman juga merupakan subjek karya
sastra yang besar, sebab karya sastra semacam itu merupakan hasil aktivitas yang
objeknya sekaligus alam semesta dan kelompok manusia (Faruk, 2012: 63). Goldman
juga menyatakan bahwa karya sastra yang besar mengangkat hal-hal mengenai alam
semesta beserta hukum-hukumnya, juga persoalan-persoalan yang tumbuh darinya.
Selain itu, pada level historis (terkait dengan karya sastra sebagai produk masa lalu)
hanya subjek kolektif yang mampu menjabarkan rangkaian fenomena masa lalu, guna
mempertalikan antara teks dengan entitas yang lebih besar (bagian-keseluruhan),
yaitu aspek sosio-kulturalnya (Goldmann, 1977: 106).
Dalam perkembangannya, subjek kolektif atau trans-individual ini secara
spesifik dinyatakan dalam dua kategori yang berbeda. Kategori pertama adalah
subjek kolektif yang dipandang sebagai kelas sosial oleh Goldmann, sebagaimana
konsep yang ada dalam marxisme. Sebab, bagi Goldmann kelompok itulah yang telah
menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan
dan yang telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia sebagaimana
yang terbukti dari perkembangan tata kehidupan masyarakat primitif yang komunal
ke masyarakat yang feudal, kapitalis, dan kemudian sosialis (Faruk, 2012: 63-64).
Oleh karena itu karya-karya sastra yang besar merupakan tindakan yang bukan hanya
subjek kolektif, melainkan kelas sosial.
Akan tetapi, berikutnya Goldmann memberikan sebuah persepsi lain dari apa
yang disebut sebagai subjek kolektif sebagai kategori yang kedua. Jika sebelumnya ia
22
memandang subjek kolektif sebagai kelas sosial, dalam penelitiannya terhadap novel-
novel Malraux ia memandang subjek kolektif hanya sebagai kelompok menengah
yang berada di luar kelas sosial (Faruk, 2012: 95). Menurut Goldmann, teori yang
bersifat marxistis tidak lagi mampu memahami fenomena sastra yang tercipta melalui
karya-karya Malraux. Hal tersebut terjadi karena telah terintegrasinya kelas sosial
yang satu dengan sistem ekonomi dan sosial kelas sosial lainnya, yaitu kaum proletar
kedalam sistem kaum borjuis. Oleh karenanya, Goldmann mengklasifikasikan
kelompok menengah tersebut sebagai berikut:
These individuals include, above all, the creators, writers, artists, philosophers, theologians, men of action, etc., whose thought and behavior are governed above all by the quality of their work……. [Para individu ini mencakup, para kalangan pencipta, penulis, seniman, filsuf, teolog, aktivis, dll., yang setiap pemikiran dan aksinya ditentukan oleh kualitas pekerjaan mereka….]
(Goldmann, 1975: 11-12).
Menurut Goldmann, subjek karya sastra tertentu tidak bersumber dari kelas
sosial marxis, melainkan dari kelompok sosial yang lebih khusus dan berfikir dalam
kerangka nilai otentik demi mementingkan kualitas karya yang mereka ciptakan.
Subjek-subjek yang dimaksud antara lain adalah para penulis, seniman, filsuf, teolog,
dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam kerangka berfikir yang dikembangkan
oleh Goldmann, subjek kolektif yang ada di dalam konsep strukturalisme genetik
adalah dua kategori. Kategori pertama adalah subjek kolektif berdasarkan kelas sosial,
dan kategori yang kedua adalah kelompok sosial khusus yang bukan berdasarkan kelas
23
sosial, akan tetapi kelompok yang lebih kecil seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Berkaitan dengan roman TSL, posisi Hawthorne sebagai bagian dari
subjek kolektif dapat teridentifikasi berdasarkan salah satu dari dua kategori tersebut.
1.6.3 Karya Sastra dan Pandangan Dunia
Sebagai hasil dari tindakan kolektif yang telah dijelaskan sebelumnya, tentu
saja karya sastra mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan subjek kolektif yang
bersangkutan, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang terjalin dari hubungan antara kelas
sosial atau kelompok sosial tertentu dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai kelompok
manusia yang mempunyai latar belakang yang sama, anggota-anggota dari suatu
subjek kolektif memiliki pengalaman dan cara pemahaman yang sama mengenai
lingkungan sekitarnya dan sekaligus cara-cara pembangunan keseimbangan dalam
hubungan dengan lingkungan tersebut (Faruk, 2012: 162).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Goldmann juga menyatakan bahwa
cara pemahaman dan pengalaman yang sama itu akan menjadi pengikat yang
mempersatukan para anggota itu menjadi suatu kelompok yang sama dan sekaligus
membedakan mereka dari kelompok sosial yang lain. Pemahaman dan pengalaman
seperti itulah yang disebut sebagai pandangan dunia oleh teori strukturalisme genetik.
Dalam pengertian strukturalisme genetik (Faruk, 2012: 163), pandangan dunia
merupakan skema ideologis yang menentukan struktur atau menstrukturasikan
bangunan dunia imajiner karya sastra ataupun struktur konseptual karya filsafat yang
mengekspresikannya.
24
Bersamaan dengan teori di atas, Goldman percaya pada keberadaan homologi
(kesamaan asal-usul) antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, karena
keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Hal tersebut
dinyatakan dalam kutipan berikut:
Genetic structuralism has represented a total change of orientation – its basic hypothesis being precisely that the collective character of literary creation derives from the fact that the structures of the world of the work are homologous with the mental structures of certain social groups or is in intelligible relation with them.
[Strukturalisme genetik telah memberikan perubahan orientasi secara total - hipotesis dasarnya tepat, bahwa karakter kolektif dari penciptaan sastra berasal dari fakta bahwa struktur dunia sebuah karya bersifat homolog dengan struktur mental kelompok sosial tertentu atau memiliki kaitan yang jelas dengannya]
(Goldmann, 1975: 159)
Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami bagaimana Goldmann
memandang struktur dunia di dalam karya sastra demikian berhomologi atau dapat
dimengerti berdasarkan struktur mental dari kelompok sosial tertentu. Sebab hanya
dengan konsep homologi itu hubungan antara bangunan dunia imajiner dalam karya
sastra di satu pihak dan bangunan dunia nyata di lain pihak dapat ditemukan dan
dipahami (Faruk, 2012: 64-65). Homologi atau kesejajaran struktural antara karya
sastra dan masyarakat menurut strukturalisme genetik tidaklah bersifat langsung.
Homologi di sini tidak secara serta merta disejajarkan dengan struktur masyarakat
tertentu, akan tetapi disejajarkan dengan pandangan dunia yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat tersebut. Pada akhirnya, pandangan dunia itulah yang
akan menghubungkan dengan struktur masyarakatnya.
25
Hal tersebut dapat terjadi karena pada dasarnya kategori mental yang ada di
dalam suatu kelompok adalah berupa tendensi-tendensi yang mampu dipertalikan satu
sama lain (Goldmann, 1975: 160). Hal inilah yang kemudian menciptakan sebuah
world-view atau pandangan dunia. Sementara itu, definisi mengenai pandangan dunia
itu sendiri telah dikutip sebagai berikut:
Adapun yang dimaksud dengan pandangan dunia itu sendiri (Goldman, 1977: 17), tidak lain dari pada kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain (Faruk, 2012: 65-66).
Oleh karena itu, bagi strukturalisme genetik, pandangan dunia tidak hanya
sekumpulan gagasan-gagasan abstrak dari suatu kelas mengenai kehidupan manusia
dan lingkungan tempat manusia itu berada, melainkan juga merupakan semacam cara
pandang yang dapat mempersatukan anggota satu kelas dengan anggota yang lain
dalam kelas yang sama, dan membedakannya dari anggota-anggota dari kelas sosial
yang lain.
Dalam pandangan strukturalisme genetik, hubungan antara karya sastra
dengan struktur dasarnya tidaklah langsung, melainkan secara tidak langsung, yaitu
melalui pandangan dunia yang bersifat ideologis (Faruk, 2012: 163). Di sini karya
sastra tidak mencerminkan apa yang disebut sebagai perjuangan kelompok,
melainkan mengekspresikan suatu pandangan dunia yang strukturnya homolog
dengan struktur kehidupan manusia dalam kelompok sosial tertentu. Pada dasarnya,
26
tidak semua individu anggota di kelompok sosial tertentu menyadari pandangan dunia
mereka sendiri. Hanyalah individu tertentu yang mampu menyadari hal itu, sebagai
contoh adalah para sastrawan yang besar. Hal tersebut dinyatakan dalam kutipan
berikut:
The great writer (or artist) is precisely the exceptional individual who succeeds in creating in a given domain, that of the literary (or pictorial, conceptual, musical, etc.) work, an imaginary, coherent, or almost strictly coherent world, whose structure corresponds to that towards which the whole of the group is tending;….
[Penulis besar (atau seniman) merupakan individu luar biasa yang berhasil mencipta dalam ranah yang dimiliki, bahwa dari karya sastra (atau lukis, konseptual, musik, dsb.), sesuatu yang imajiner, adalah dunia yang koheren, atau hampir sangat koheren, yang mana strukturnya sesuai dengan arah kecenderungan kelompok ini secara keseluruhan;….]
(Goldmann, 1075: 160).
Di sini Goldmann menekankan bahwa karya-karya penulis besar berhasil
menangkap dan mengekspresikan pandangan dunia kelas sosialnya secara koheren
atau setidaknya hampir sampai pada titik koheren, di mana struktur yang
dimunculkan berkaitan dengan kecenderungan kelompoknya secara keseluruhan
(kesadaran kolektif). Pada akhirnya, hal inilah yang akan memperlihatkan salah satu
elemen terpenting dari kesadaran kolektif yang dimunculkan dalam karya-karya besar
tersebut, yaitu memicu kesadaran dari para anggota kelompok sosial sang penulis
tentang apa yang mereka fikirkan, rasakan, dan lakukan selama ini, yang mana hal-
hal tersebut tidak mereka sadari signifikansinya dalam kehidupan mereka
sebelumnya. Di dalam penelitian ini, konsep inilah yang menjadi salah satu fokus
27
kajian, yang pada gilirannya akan memunculkan pertautan roman TSL dengan
konteks sosio-kulturalnya.
1.6.4 Konsep Struktur Karya Sastra dalam Strukturalisme Genetik
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, strukturalisme genetik merupakan
gabungan antara strukturalisme dan marxisme. Oleh karena itu, tentu saja
strukturalisme genetik mengakui keberadaan karya sastra sebagai suatu struktur
sehingga perlu dipahami secara struktural. Akan tetapi, konsep strukturalisme genetik
mengenai struktur karya sastra cenderung bersifat semantik (Faruk, 2012: 164).
Selanjutnya, Faruk juga menyatakan bahwa konsep strukturalisme yang dekat dengan
strukturalisme genetik adalah strukturalisme Claude Levi’ Strauss. Dalam hal ini,
strukturalisme Strauss ini berpusat pada konsep oposisi biner atau oposisi
berpasangan. Menurut Faruk, Strauss melihat bangunan dunia sosial dan kultural
manusia sebagai sesuatu yang distrukturkan atas dasar prinsip binarisme, yang
terbangun dari seperangkat satuan yang saling beroposisi satu sama lain. Di antara
pasangan yang beroposisi itu, dimungkinkan pula adanya satuan-antara yang berada
di antara keduanya, yang bukan satuan yang satu, misalnya A, dan bukan pula satuan
yang lain, misalnya B. Satuan yang demikian disebut satuan –A dan –B sekaligus
(Faruk, 2012: 164). Berdasarkan penjelasan tersebut, di sini manusia berada antara
posisi menolak dan menerima dunia sekaligus, yang menurut strukturalisme genetik
struktur seperti itu mengekspresikan pandangan dunia tragis yang berfikir secara
28
dialektik, yaitu seni berfikir secara teratur, logis, dan teliti yang diawali dengan tesis,
antitesis, dan sintesis.
Dikarenakan konsep struktur sosial strukturalisme genetik ini didasarkan pada
teori sosial marxis, maka atas dasar teori sosial itu pula tampak jelas bahwa dunia
sosial dalam hal ini dipahami sebagai struktur yang terbangun atas dasar dua kelas
sosial yang saling bertentangan. Kesatuan dunia sosial terbangun karena adanya
dominasi dari satu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain. Dominasi itu bahkan
dipelihara dan dipertahankan, juga diperkuat dengan menggunakan berbagai kekuatan
ideologis yang beroperasi dalam berbagai lembaga sosial yang ada di dalam
masyarakat, termasuk karya sastra (Faruk, 2012: 165). Akan tetapi, akhirnya
dominasi tersebut tidak akan bisa menghilangkan peluang untuk terjadinya perubahan
sosial, karena pada dasarnya kelas-kelas yang dikuasainya juga akan tetap berusaha
melawan dan mengambil alih kekuasaan dari kelas yang berkuasa tersebut. Hal itu
juga bahkan dapat menciptakan suatu struktur sosial yang baru sesuai dengan
lingkungannya yang baru pula.
Jika dikorelasikan dalam konteks karya sastra atau roman TSL pada
khususnya, struktur bangunan imajiner sebuah novel atau roman tidak akan terlepas
dari sudut pandang pengarangnya dalam menciptakan problematika yang dihadapi
oleh masing-masing tokoh yang ada di dalamnya. Besar kemungkinan masalah yang
dialami satu tokoh disebabkan oleh eksistensi tokoh lainnya, karena the novel is the
story of a degraded search, a search for authentic values in a world itself degraded
29
[Novel merupakan bentuk penceritaan tentang pencarian yang terdegradasi untuk
menemukan nilai-nilai yang otentik di dalam dunia yang dengan sendirinya-pun
terdegradasi] (Goldmann, 1975: 1).
Selain itu, Goldmann juga menyatakan bahwa sebuah ciri penting karya sastra
novel adalah keberadaan hero problematik di dalamnya. Dalam hal ini, bisa
disimpulkan bahwa hero tersebutlah yang diceritakan tengah melakukan pencarian
akan nilai-nilai otentik yang dimaksud. Hal ini menegaskan bahwa hero atau tokoh
utama dalam sebuah cerita mengalami suatu problema karena berusaha
memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap ideal, dan oleh karenanya harus
mengahadapi tokoh-tokoh lain sebagai perwujudan kelompok sosial lainnya. Sejauh
ini dapat disimpulkan bahwa perjuangan tokoh utama dapat dikatakan sebagai sebuah
manifestasi dari perjuangan subjek kolektif atau kelompok sosial pengarang sebuah
novel.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, diharapkan teori strukturalisme
genetik ini mampu menunjang penelitian yang tengah dikembangkan di sini. Sama
halnya dengan konsep-konsep yang telah diuraikan sebelumnya, seperti konsep fakta
kemanusiaan di mana karya sastra termasuk di dalamnya, sosok pengarang sebagai
subjek kolektif, pandangan dunia yang terkandung di dalam karya sastra yang besar,
dan struktur karya sastra sebagai manifestasi dari kelompok sosial diyakini mampu
dijadikan landasan berfikir untuk menjawab persoalan-persoalan penelitian yang
sedang dihadapi. Oleh karena itu, langkah berikutnya adalah menyesuaikan kerangka
30
berfikir tersebut dengan dasar-dasar epistemologis dari teori strukturalisme genetik
itu sendiri dalam format metode penelitian.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kajian pustaka di mana sumber
utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah roman TSL karya Nathaniel
Hawthorne. Beberapa referensi dan buku yang relevan dengan analisis penelitian juga
dipakai dan sangat membantu dalam penelitian ini. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya, penelitian ini menggunakan teori strukturalisme genetik, maka sesuai
dengan teori tersebut, penelitian ini difokuskan pada asal-usul terciptanya struktur
dari karya sastra yang dikaji, yaitu pertautan antara struktur karya, pandangan dunia
yang diekspresikan, dan kelompok sosial pemilik pandangan dunia yang dimaksud.
Pada dasarnya, di dalam teori ini secara khusus kemudian Goldman
mengembangkan sebuah metode yang disebutkannya sebagai metode dialektik.
Menurut Goldmann, metode dialektik adalah metode yang paling efektif untuk
memahami fenomena yang kompleks seperti filsafat dan karya sastra masa lalu
(Cohen, 1994: 117). Dalam hal ini, metode dialektik memperhatikan teks sastra
bersamaan dengan koherensi kulturalnya. Prinsip dasar dari metode dialektik yang
membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi tersebut adalah pengetahuannya
mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat
konkret dengan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan (Goldman, 1977: 7
dalam Faruk, 2012: 77). Oleh karenanya, metode dialektik mengembangkan dua
31
pasang konsep, yaitu “keseluruhan-bagian” dan “pemahaman-penjelasan”. Dalam hal
ini, karya sastra harus dipahami sebagai suatu struktur yang menyeluruh. Pemahaman
sastra sebagai struktur menyeluruh akan mengarahkan pada penjelasan hubungan
sastra dengan sosio-budaya sehingga karya sastra memiliki arti. Sementara teks sastra
itu sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang membuatnya
menjadi struktur yang berarti.
Pada dasarnya setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya
hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat
dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau
yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu (Faruk, 2012: 77). Oleh
karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian juga tidak dapat
dimengerti tanpa keseluruhan, proses pencapaian pengetahuan dengan metode
dialektik menjadi semacam gerak melingkar secara terus menerus. Mengenai konsep
pemahaman-penjelasan, telah dikutip pernyataan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari (Goldman, 1970: 589), sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar (Goldman, 1970: 590). Dengan kata lain, pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna bagian itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar (Faruk, 2012: 78-79).
32
Oleh karena itu, Metode ini sebenarnya tidak hanya berlaku dalam analisis teks
sastra, tetapi juga struktur yang menempatkan teks sastra sebagai bagian, yaitu
struktur sosial.
Lebih jauh lagi, pemahaman dan penjelasan bukanlah dua proses intelektual
yang berbeda, akan tetapi proses yang secara bersamaan diaplikasikan terhadap dua
kerangka referensi yang berbeda (Goldmann, 1975: 163). Artinya, hasil dari analisis
terhadap struktur karya tertentu (katakanlah roman The Scarlet Letter) akan sangat
membantu dalam memahami pandangan dunia yang diekspresikan di dalam karya
tersebut, selain itu hasil dari pemahaman terhadap pandangan dunia tersebut dapat
membantu menjelaskan terbentuknya struktur di dalam karya tersebut. Berikutnya,
hasil dari pemahaman terhadap pandangan dunia akan membantu dalam memahami
kelompok sosial pengarang yang memiliki pandangan dunia tersebut (dalam hal ini
kelompok sosial Nathaniel Hawthorne menjadi fokus kajian), selain itu dari
pemahaman terhadap kelompok sosial tersebut dapat juga membantu dalam
menjelaskan terbentuknya pandangan dunia yang dimaksud di dalam karya sastra.
1.7.1 Sumber Data
Adapun sumber data utama penelitian ini adalah teks roman TSL karya
Nathaniel Hawthorne. Data utama tersebut meliputi; teks roman TSL yang
menggambarkan hubungan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain maupun
hubungan antara tokoh dengan lingkungan sekitarnya sehingga terlihat problematika
33
yang dihadapi oleh masing-masing tokoh. Selain sumber data utama tersebut,
penelitian ini juga didukung oleh data sekunder yang berupa sumber tertulis yang
mendeskripsikan latar kehidupan sosial pengarang dan peristiwa-peristiwa sosial di
Amerika yang menghasilkan karya tersebut. Data-data tersebut mencakup aspek
kehidupan sosial pengarang Nathaniel Hawthorne yang berhubungan dengan karya
ini, juga latar belakang sejarah atau peristiwa sosial yang mengkondisikan terciptanya
karya, dan juga pandangan Hawthorne tentang masyarakatnya.
1.7.2 Teknik Analisis Data
Teknik pelaksanaan metode dialektik yang melingkar serupa itu berlangsung
sebagai berikut. Pertama, peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya
memberikan tingkat probabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, ia melakukan
pengecekan terhadap model itu dengan membandingkannya dengan keseluruhan
dengan cara menentukan: sejauh mana setiap unit yang dianalisis tergabungkan dalam
hipotesis yang menyeluruh, daftar elemen-elemen dan hubungan-hubungan baru yang
tidak diperlengkapi dalam model semula, frekuensi elemen-elemen dan hubungan-
hubungan yang diperlengkapi dalam model yang sudah dicek tersebut (Goldman,
1970: 602-603 dalam Faruk, 2012: 79).
Secara garis besar, teknik tersebut dijabarkan sebagai berikut; pertama-tama,
penelitian ini menggunakan teknik menelaah satuan-satuan linguistik yang signifikan
yang ada dalam teks karya sastra yang menjadi sumbernya atas dasar konsep-konsep
34
teoritik yang digunakan. Data-data di dalam penelitian ini akan dihubungkan satu
sama lain dengan metode dialektik yang berlaku pada level karya sastra, yaitu dengan
menyelaraskan bagian dengan keseluruhan sampai terbentuk sebuah struktur dengan
koherensi maksimal, khususnya struktur yang berpola oposisi biner. Selain itu, teknik
yang dipakai dalam penelitian ini juga mengamati data sekunder yang berupa hasil-
hasil kajian sejarah dan sosial. Metode dialektik juga digunakan untuk menganalisa
hubungan hasil analisa yang akan dilakukan dengan menempatkannya di dalam
keseluruhan struktur sosial yang terkait.
1.8 Sistematika Penulisan
Secara garis besar, hasil dari penelitian ini ditulis dengan sistematika dan
secara berurutan sebagai berikut:
BAB I : Menyajikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, masalah
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II : Menjawab rumusan masalah pertama dengan menganalisis struktur roman
TSL.
BAB III : Menjawab rumusan masalah kedua dengan menganalisis pandangan dunia
yang diekspresikan di dalam roman TSL.
35
BAB IV : Menjawab rumusan masalah ketiga dengan mengungkapkan kelompok
sosial yang memiliki pandangan dunia yang diekspresikan di dalam roman
TSL.
BAB V : Menyajikan kesimpulan dan saran.