bab i pengantar 1.1 latar...

35
1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pertautan antara ranah sastra dan sosiologis merupakan perbincangan penting dalam kajian kesusastraan dunia. Secara spesifik, jika perhatian ditujukan terhadap kesusastraan yang hidup di wilayah ex-koloni Inggris, yaitu Amerika, kajian-kajian yang mempertalikan karya sastra dan aspek sosiologis pada ranah kesusastraan ini bisa menjadi suatu hal yang sangat penting. Tentu saja, mengingat banyaknya nama- nama sastrawan besar dan berpengaruh yang mampu dihadirkan berkaitan dengan sejarah dan perkembangan kesusastraan Amerika hingga saat ini. Sebut saja Edgar Allan Poe, Nathaniel Hawthorne, Mark Twain, T.S. Elliot, Robert Frost, dan lain sebagainya. Nama-nama tersebut merupakan para sastrawan yang karya-karyanya tidak hanya dikenal di Amerika, tetapi juga di dunia. Merunut sejarahnya yang cukup panjang, kecenderungan perkembangan kesusastraan Amerika ini sejalan dengan berkembangnya paradigma berpikir masyarakat yang terjadi di wilayah Eropa di saat yang kurang lebih bersamaan. Namun, sebagai Negara yang memiliki latar belakang sosio-budaya yang berbeda, membuat sastra Amerika ini menjadi menarik untuk dikaji lebih jauh. Sebagai contoh, di periode bersamaan pada pertengahan abad ke-19, pada saat novelis-novelis Inggris kerap menceritakan sang tokoh utama miskin yang menghadapi permasalahan

Upload: hadung

Post on 15-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

1

BAB I

PENGANTAR

1.1 Latar Belakang

Pertautan antara ranah sastra dan sosiologis merupakan perbincangan penting

dalam kajian kesusastraan dunia. Secara spesifik, jika perhatian ditujukan terhadap

kesusastraan yang hidup di wilayah ex-koloni Inggris, yaitu Amerika, kajian-kajian

yang mempertalikan karya sastra dan aspek sosiologis pada ranah kesusastraan ini

bisa menjadi suatu hal yang sangat penting. Tentu saja, mengingat banyaknya nama-

nama sastrawan besar dan berpengaruh yang mampu dihadirkan berkaitan dengan

sejarah dan perkembangan kesusastraan Amerika hingga saat ini. Sebut saja Edgar

Allan Poe, Nathaniel Hawthorne, Mark Twain, T.S. Elliot, Robert Frost, dan lain

sebagainya. Nama-nama tersebut merupakan para sastrawan yang karya-karyanya

tidak hanya dikenal di Amerika, tetapi juga di dunia.

Merunut sejarahnya yang cukup panjang, kecenderungan perkembangan

kesusastraan Amerika ini sejalan dengan berkembangnya paradigma berpikir

masyarakat yang terjadi di wilayah Eropa di saat yang kurang lebih bersamaan.

Namun, sebagai Negara yang memiliki latar belakang sosio-budaya yang berbeda,

membuat sastra Amerika ini menjadi menarik untuk dikaji lebih jauh. Sebagai

contoh, di periode bersamaan pada pertengahan abad ke-19, pada saat novelis-novelis

Inggris kerap menceritakan sang tokoh utama miskin yang menghadapi permasalahan

Page 2: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

2

keuangan dan strata sosial pada masyarakat tradisional dalam bentuk yang sangat

realistik, novelis-novelis Amerika justru cenderung menciptakan tokoh-tokoh yang

kebanyakan cenderung individualistik dengan permasalahan non-realistik, seperti

berhadapan dengan alam liar, suku kanibal, setan, binatang buas, dan lain sebagainya.

Perbedaan tersebut disebabkan oleh latar belakang kedua negara yang

berbeda. Di satu sisi, pada periode tersebut Inggris merupakan negara yang memiliki

tatanan sosial yang bisa dikatakan lebih tertata dibandingkan dengan Amerika di sisi

lain (VanSpanckeren, 1994: 36). Inggris merupakan negara aristokrat yang memiliki

struktur sosial yang cenderung terpartisi (Borjuis dan Proletar) ketika di saat yang

sama Amerika merupakan negara yang cenderung cair dan secara relatif tidak

memiliki kelas sosial di dalam masyarakatnya yang demokratis. Ditambah lagi,

secara geografis pada saat itu Amerika juga memiliki kawasan alam liar yang begitu

luas yang membuat aktivitas masyarakat mau tidak mau harus berhubungan dengan

lingkungan alam di sekitarnya. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa alasan

terciptanya karakter-karakter individualistik dan motif-motif non-realistik di dalam

karya-karya sastra Amerika tentu dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan budaya-

nya pada pertengahan abad ke-19.

Hal ini tentu saja membuktikan bagaimana karya sastra berimplikasi dengan

kehidupan sosialnya masing-masing. Sebagaimana dinyatakan dalam kutipan berikut:

Sebagaimana lembaga-lembaga sosial lainnya, sastra merupakan aktivitas seni bahasa yang dibingkai oleh tingkat perkembangan

Page 3: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

3

intelektual yang hidup pada zamannya. Hubungan antara sastra dengan lembaga-lembaga sosial yang lain dapat disebut homolog, yaitu sama-sama merepresentasikan tingkat perkembangan intelektual yang menjadi bingkai dari keseluruhan organisasi sosial yang melingkunginya (Faruk, 2012: 52).

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwasanya keberadaan

sastra sebagai lembaga sosial yang berupa aktivitas seni bahasa tidak terlepas dari

perkembangan intelektual di lingkungan sosial yang ada pada periodenya masing-

masing. Layaknya lembaga-lembaga sosial lain, sastra akan menunjukan taraf

perkembangan intelektual dari seluruh aspek sosial disekitarnya. Tentu saja hal

tersebut dapat dikaitkan dengan pembahasan mengenai karya-karya sastra Amerika

pada pertengahan abad ke-19 yang telah dibahas sebelumnya. Keberadaan aktivitas

sastra pada saat itu, dapat dikatakan berimplikasi dengan perkembangan intelektual

masyarakat dan lingkungannya, walaupun dalam hal ini tinjauan lebih jauh masih

sangat perlu dilakukan.

Dari sekian banyak novelis di era pertengahan abad ke-19, Nathaniel

Hawthorne adalah satu di antara novelis-novelis yang paling ternama pada zamannya.

Pada era-nya, Hawthorne lebih memilih istilah ‘roman’ dari pada novel untuk karya-

karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus

pada sesuatu yang lebih luas dari kehidupan itu sendiri, yaitu kondisi-kondisi fantastis

yang dihadapi oleh orang biasa (Graham, 2012: xvii). Lebih jauh, Graham

menyatakan dengan memberikan label roman pada karyanya, seorang penulis telah

memberikan kebebasan kepada dirinya sendiri. Dalam hal ini, ketika novel mencoba

Page 4: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

4

mereka ulang pengalaman sebagaimana adanya, roman menawarkan para penulis di

abad ke-19 kesempatan untuk menjelajahi kebenaran-kebenaran yang esensial

mengenai sifat alami manusia dengan memadukan hal-hal fantastis dengan hal-hal

biasa.

Beberapa karya Hawthorne memiliki latar belakang cerita kaum Puritan di

New England, dan salah satu karya terbaiknya The Scarlet Letter (berikutnya

disingkat TSL), pertama kali terbit 1850, menjadi gambaran klasik kaum Puritan

Amerika. Roman ini menceritakan cinta terlarang yang emosional antara seorang

pendeta Arthur Dimmesdale dengan seorang wanita bernama Hester Prynne. Dalam

cerita ini, Hester dianggap sebagai pendosa karena telah hamil oleh orang yang bukan

suaminya, sementara itu Dimmesdale sebagai pria yang bertanggung jawab atas

kehamilan tersebut dirahasiakan aibnya hingga akhir cerita. Pada akhir cerita, Hester

yang pada mulanya menuai kecaman dan penghinaan, justru dimunculkan sebagai

sosok yang simpatik. Sementara itu, tokoh Dimmesdale yang pada awalnya

dimunculkan sebagai sosok yang dihormati, berangsur-angsur melemah karena beban

moral yang dipikulnya dan pada akhirnya meninggal dunia.

Berlatar belakang sosial di Boston sekitar pertengahan abad ke-17 selama

awal masa kolonisasi Puritan, karya ini menyoroti obsesi masyarakat terhadap

moralitas, menggambarkan permasalahan gender, hukuman terhadap pendosa, juga

rasa bersalah dan pengakuan dosa seorang individu. Dalam hal ini, TSL merupakan

karya yang subversif dan berani (VanSpanckeren, 1994: 37). Pernyatan itu ditegaskan

Page 5: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

5

oleh VanSpanckeren karena menurutnya roman ini mengangkat isu-isu yang biasanya

disembunyikan pada abad ke-19 di Amerika, seperti isu mengenai dampak dari

pembebasan pengalaman demokratis pada perilaku individual, terutama pada

kebebasan seksual dan agama. Hal tersebut kemungkinan besar ada kaitan dengan

Nathaniel Hawthorne yang merupakan keturunan keluarga Puritan yang lahir dan

dibesarkan di Salem, Massachusetts (Punter & Byron, 2004: 123). Aspek religious

dan tempat tumbuh kembangnya bisa saja menginspirasinya dalam hal ini. Meskipun

pada dasarnya fakta itu belum mampu memberikan alasan konkrit perihal

kompleksitas isu yang dimunculkan di dalam roman ini.

Namun demikian, karya ini tetap saja berpotensi untuk menunjukan taraf

perkembangan intelektual pada lingkup sosial dan zamannya. Sebagaimana

pembahasan sebelumnya mengenai keberadaan sastra yang tidak akan terlepas dari

perkembangan intelektual di lingkungan sosial pada periodenya masing-masing.

Aspek intelektual itulah yang akan berkaitan secara langsung dengan kesadaran

tentang fenomena atau isu-isu sosial yang pada akhirnya ditanggapi melalui roman

TSL ini. Artinya, di dalam roman ini Hawthorne dengan kapasitas intelektualnya

tengah berupaya menanggapi fenomena dan isu-isu sosial pada zaman TSL

diciptakan. Dengan begitu, kemungkinan besar faktor lingkungan sosial merupakan

pemicu utama dari terciptanya roman tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, muncul sebuah problematika tersendiri yang

secara khusus datang dari keberadaan roman TSL yang memuat isu-isu pada abad ke-

Page 6: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

6

19 di Amerika seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Penulisan roman ini sudah

tentu dipengaruhi oleh isu-isu sosial yang terjadi pada zaman karya ini ditulis. Oleh

karenanya, hal ini menunjukan bahwa keberadaan roman TSL sebagai sebuah karya

sastra tidak bisa dipisahkan dari latar belakang sosial tempat karya ini dilahirkan.

Struktur-struktur yang tercipta dan juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bisa

saja datang dari tanggapan sang penulis terhadap pengalaman empiris yang dilihat

atau dirasakannya.

Setiap respons yang dilakukan oleh setiap individu pada umumnya

dipengaruhi oleh latar belakang sosial tempat individu tersebut bernaung. Hal itu

disebabkan karena pengalaman atau ideologi kolektif yang dirasakan dan dianut oleh

kelompok sosialnya, akan sangat mempengaruhi sudut pandang seorang individu

dalam menyikapi setiap fenomena yang terjadi pada kehidupan sosialnya. Dalam taraf

inilah seseorang akan memiliki apa yang disebut sebagai pandangan dunia (world

view) (Lucien Goldman, 1967). Sebagai penulis TSL, Hawthorne tentu memiliki

ruang lingkup sosial tersendiri di mana ideal-idealnya sebagai seorang manusia

tumbuh dan berkembang. Oleh karenanya, jika roman ini adalah bentuk respons

terhadap pengalaman empiris sang penulis, tentu saja roman ini akan memuat

ideologi atau pandangan dunianya sebagai seorang individu yang hidup di dalam

kelompok sosial tertentu.

Dalam hal ini, suatu hal yang mengganjal adalah pandangan dunia seperti apa

yang terkandung di dalam TSL ini sehingga roman ini memiliki inti keseluruhan

Page 7: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

7

cerita sedemikian rupa. Selain itu, persoalan ini menjadi semakin kompleks karena

kelompok sosial sang pengarangnya yang tidak dapat teridentifikasi dengan jelas jika

dikorelasikan secara langsung dengan karya ini. Hal tersebut disebabkan karena di

satu sisi roman ini memiliki alegori latar tempat dan sosial yang menggambarkan

masyarakat pada pertengahan abad ke-17, sementara di sisi lain karya ini justru

diciptakan pada pertengahan abad ke-19.

Keterangan mengenai latar belakang keluarga Hawthorne sebelumnya tentu

tidaklah memadai untuk menentukan lingkungan sosial penulis tersebut. Perlu

diadakan langkah analisis lebih jauh untuk mendapatkan pemahaman mengenai

kelompok sosial penulis roman TSL ini. Berdasarkan hal tersebut, investigasi lebih

lanjut dirasakan sangat perlu dilakukan untuk mengetahui fakta-fakta penting

mengenai lingkungan sosial yang telah mempengaruhi Hawthorne dalam penciptaan

karya tersebut. Di sini, hal yang mungkin bisa di dapat adalah fakta mengenai

kelompok sosial sang penulis akan diketahui jika pandangan dunianya telah

diketahui, karena pada umumnya pandangan dunia merupakan ciri dari kelompok

sosial tertentu.

Kalaupun hal itu ingin dicari, tentu saja penelusurannya tidak akan bisa

terlepas dari roman TSL itu sendiri sebagai buah karya dari penulisnya. Sebuah karya

sastra akan selalu terkait dengan aspek kebahasaan yang merupakan bagian dari

kesadaran kolektif penulisnya. Oleh karenanya, aspek non-empirik karya sastra

(dalam hal ini pandangan dunia termasuk) yang berupa makna tidak akan terlepas

Page 8: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

8

dari aspek empiriknya yang merupakan teks tertulis atau citra bunyi, selayaknya

petanda dan penandanya. Dalam hal ini, makna merupakan kesadaran kolektif dan

dibentuk berdasarkan intensi penulis di dalam suatu karya (Faruk, 1988: 24). Struktur

yang terbentuk di dalam suatu karya, dalam hal ini merupakan sebuah kesadaran yang

mengandung intensi tertentu dari penulisnya, yang dengan kata lain ada kandungan

ideologis dari struktur suatu karya. Dengan begitu, timbul permasalahan lainnya yang

mana struktur roman ini pun menjadi hal yang patut dikaji lebih lanjut. Untuk

mencapai makna atau memahami pandangan dunia di dalam roman TSL ini, tentu saja

harus dimulai dari memahami struktur karyanya terlebih dahulu. Dimungkinkan,

ketika struktur roman ini telah terkupas, maka aspek-aspek lain seperti pandangan

dunia dan juga kelompok sosial Hawthorne bisa lebih mudah untuk ditemukan.

Berdasarkan hal tersebut, keberadaan roman TSL sebagai sebuah karya sastra

menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut guna memperoleh jawaban dari hal-hal

yang menjadi persoalan tersebut. Dalam hal ini, hubungan antara karya sastra sebagai

sesuatu yang seakan-akan otonom dan aspek sosiologis sebagai hal yang berada

diluar otonomi karya sastra itu sendiri seakan mendapatkan pertautan yang membuat

pengkajiannya tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Oleh karena itu, penelitian ini

akan melibatkan aspek tekstual karya sastra dan hal-hal yang bersifat kontekstual

seperti latar belakang sejarah dan sosial dari masyarakat tempat roman TSL

diciptakan

.

Page 9: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

9

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, beberapa rumusan

masalah muncul dalam penelitian ini. Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah struktur roman TSL karya Nathaniel Hawthorne?

2. Pandangan dunia seperti apa yang diekspresikan di dalam roman TSL?

3. Kelompok sosial apa yang memiliki pandangan dunia yang ada di dalam roman

TSL?

1.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka

tujuan penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

1. Memaknai struktur dari roman “TSL” karya Nathaniel Hawthorne.

2. Mengetahui pandangan dunia yang diekspresikan dalam roman tersebut.

3. Mengungkapkan kelompok sosial yang memiliki pandangan dunia yang

diekspresikan dalam roman tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Selain beberapa tujuan yang telah diungkapkan sebelumnya, penelitian ini

juga diproyeksikan untuk memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis di dalam

Page 10: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

10

penelitian sastra, khususnya dalam bidang kajian sosiologi sastra. Secara teoritis,

penelitian ini bermanfaat dalam menambahkan perbendaharaan penelitian

berdasarkan teori yang akan digunakan sebagai landasan berpikir dalam penelitian

ini, yang sekaligus membuktikan signifikansi teori tersebut dalam kajian sastra.

Sementara itu, secara praktis penelitian ini diharapkan menghasilkan sebuah model

penelitian sastra dan dapat membantu memberikan rujukan bagi peneliti lain dalam

menerapkan teori serupa. Selain itu, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu

memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat yang tertarik pada kajian-kajian

sastra secara umum, dan sastra Inggris secara khusus, baik itu pengajar, mahasiswa,

dan lain sebagainya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Sejauh penelusuran dan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, penulis tidak

menemukan satu pun penelitian yang dilakukan terhadap roman TSL dengan latar

belakang masalah serupa, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan

demikian, berdasarkan hal tersebut peneliti berasumsi bahwa penelitian terhadap

roman TSL yang terfokus pada pengkajian struktur karya yang dikorelasikan dengan

pandangan dunia kelompok sosial pengarangnya belum pernah dilakukan oleh

peneliti lain. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa dikemudian hari asumsi

tersebut dipertimbangkan kembali karena hal-hal tertentu, yang oleh karenanya

tindakan-tindakan yang diperlukan bisa dilakukan terhadap penelitian ini.

Page 11: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

11

Berdasarkan tinjauan yang telah dilakukan, ditemukan beberapa penelitian

terhadap roman TSL, akan tetapi penelitian-penelitian tersebut tidak mengkaji

permasalahan struktur karya dan pandangan dunia yang diekspresikannya. Penelitian-

penelitian tersebut antara lain adalah “Citra Wanita Dalam TSL: Sebuah Tinjauan

Kritik Sastra Feminis” (2005) oleh Stephani Johana Sigarlaki dan “A Representative

of The New Female Image-Analyzing Hester Prynne’s Feminist Consciousness in

TSL” (2010) oleh Yamin Wang. Sebaliknya, ditemukan juga beberapa penelitian

yang mengkaji permasalahan struktur karya dan pandangan dunia, akan tetapi kajian-

kajian tersebut dilakukan terhadap objek material lain. Penelitian-penelitian yang

dimaksud antara lain adalah “Spiritualitas Postmodern Dalam Novel Stardust Karya

Neil Gaiman (Tinjauan Strukturalisme Genetik)” (2013) oleh Rahmawati Azi dan

“Pandangan Dunia Ali Ahmad Bakatsir Dalam Novel Sallamah Al-Qas, Analisis

Strukturalisme Genetik Lucien Goldman” (2012) oleh Lutfiyah Hakim.

Penelitian pertama memfokuskan kajiannya mengenai citra wanita di dalam

roman TSL yang memiliki latar belakang cerita dalam masyarakat Puritan (Sigarlaki,

2005). Di sini dibahas sekilas tentang nilai-nilai dan sejarah puritanisme di New

England termasuk di dalamnya keberadaan wanita sebagai bagian dari masyarakat.

Setelah membahas berbagai citra wanita di dalam karya ini, antara lain citra wanita

selaku individu, citra wanita dalam area domestik, dan citra wanita dalam area publik,

Sigarlaki berkesimpulan bahwa ada pergeseran citra wanita dari citra negatif menjadi

citra positif jika merunut alur cerita sedari awal hingga bagian akhir. Citra wanita

Page 12: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

12

yang digambarkan sebagai yang lemah dan inferior di awal cerita, pada akhirnya citra

tersebut berubah menjadi citra wanita yang memiliki kepercayaan diri yang begitu

besar sehingga wanita melakukan segala sesuatu berdasarkan keyakinannya.

Sementara itu, penelitian berikutnya memfokuskan kajiannya tidak jauh

berbeda dari apa yang dilakukan Sigarlaki, hanya saja penelitian lebih terfokus pada

sosok karakter utama dalam roman TSL (Wang, 2010). Hasil dari penelitian ini

menemukan sosok Hester Prynne sebagai tokoh wanita yang memiliki kesadaran

feminis dan berani melawan aturan kolonial yang diberlakukan oleh gereja dan

negara. Menurut Wang, hal tersebut membuat tokoh Hester berbeda dari citra wanita

tradisional yang selalu patuh terhadap konstruksi yang diciptakan oleh kaum pria.

Dalam hal ini ia menambahkan bahwa sosok ini sebagai citra wanita baru, yang

mampu menampilkan citra wanita yang bisa disejajarkan dengan kaum pria.

Terlepas dari signifikansi hasil yang diberikan oleh dua penelitian yang

berlandaskan pendekatan feminis tersebut, peneliti tidak melihat suatu relevansi

berkaitan dengan permasalahan penelitian yang sedang dikembangkan di sini. Jika

ada, tentu saja bukan suatu hal yang bersifat menyeluruh dan identik. Di sisi lain,

seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, peneliti juga menemukan beberapa

penelitian yang memiliki permasalahan penelitian seperti yang sedang dikembangkan

di dalam penelitian ini, meskipun beberapa penelitian tersebut mengkaji objek

material yang berbeda.

Penelitian yang pertama terfokus dalam mengkaji sistem double coding yang

ditemukan di dalam struktur objek material yang diteliti, yaitu novel Stardust karya

Page 13: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

13

Neil Gaiman yang menurutnya berhubungan dengan kelompok sosial yang disebut

dengan inklings dan mythopoeic society (Azi, 2013). Di dalam penelitian ini,

dinyatakan bahwa sistem double coding ini berhomologi dengan pandangan dunia

yang diekspresikan dalam karya yang ia teliti. Azi melihat sistem tersebut berupaya

membenturkan komponen-komponen yang saling bertolak belakang, seperti

transendensi Tuhan dan imanensi Tuhan, rasionalisme dan irasionalisme, nilai tukar

dan nilai kemanusiaan, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Pada akhirnya,

Azi menyimpulkan bahwa komponen-komponen tersebut digunakan untuk saling

melengkapi, berkenaan dengan novel Stardust yang dikategorisasikan sebagai novel

yang bergenre fantasi mythopoeic.

Misi-misi fantasi mythopoeic ini dijelaskan sebagai usaha melepaskan diri

dari paradigma materialis yang menjadi ciri faham modernisme, mengembalikan

nilai-nilai tradisional, dan mengenali efek buruk yang disebabkan oleh modernisme.

Dengan demikian, ada sebuah tendensi melalui karya ini untuk berkomitmen kepada

kembalinya pesona dunia, beserta komitmen yang kuat terhadap pandangan dunia

yang bersifat ekologis dan eukumenis yang berakar dari filsafat postmodernisme

Whitehead. Pada akhirnya , ia berkesimpulan bahwa kemampuan para individu yang

tergabung dalam kelompok sosial inklings dan mythopoeic society untuk mengenali

lingkungannya dan usaha untuk mendeformasi sistem modernisme dinyatakan

sebagai bentuk akomodasi dan strukturasi, yang mana strukturasi tersebut menjadi

sruktur imajiner dalam novel Stardust.

Page 14: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

14

Sementara itu, penelitian berikutnya memfokuskan kajiannya untuk

mengungkapkan pandangan dunia novel Sallamah Al-Qas (1944) karya Ali Ahmad

Bakatsir (Hakim, 2012). Di sini, ekspresi pandangan dunia tersebut dianalisis melalui

struktur teks novel yang diteliti. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Hakim

menyimpulkan bahwa pandangan dunia yang terdapat dalam novel tersebut

merupakan bentuk kesadaran dan ikhtiar manusia untuk mencari nilai-nilai yang lebih

baik. Di sini, pandangan dunia yang dimaksud adalah faham Jabariyah yang

terqadariyahkan, yang merupakan bentuk gabungan dari faham Jabariyah dan

Qadariyah. Pandangan dunia ini menurut Hakim berupaya mengambil jalan tengah

antara kedua faham tersebut untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan

kehidupan akhirat, sehingga masing-masing kehidupan memiliki porsi yang

seimbang.

Selain itu, penelitian ini mendapatkan bahwa kelompok sosial yang

mempengaruhi Bakatsir selaku pengarang adalah kelompok Hasan Al-Banna yang

ada dan tengah berkembang pada masanya di tengah-tengah masyarakat. Kelompok

tersebut terdiri dari para petani, pelajar, guru, dokter, insinyur, dan pengacara.

Menurut Hakim, kelompok ini ingin membuka pandangan khalayak (khususnya umat

Islam) mengenai kesatuan umat Islam dan menghindari perdebatan yang sia-sia

antara sesama umat. Hal tersebut dikhawatirkan dapat mengakibatkan perpecahan

antara sesama saudara dan golongan.

Berdasarkan tinjauan yang telah dilakukan terhadap dua penelitian yang

dilakukan oleh Azi (2013) dan Hakim (2012) tersebut, peneliti mendapatkan beberapa

Page 15: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

15

relevansi dengan permasalahan penelitian yang tengah dikembangkan. Hal pertama

yang menjadi pertimbangan adalah struktur karya dan pandangan dunia yang juga

menjadi permasalahan di dalam dua penelitian tersebut. Oleh karena itu, peneliti

berasumsi bahwa dalam hal ini Azi dan Hakim juga tengah menghadapi persoalan

yang sama dengan apa yang tengah dihadapi peneliti dalam penelitian ini, walaupun

permasalahan penelitian ini ditemukan dalam objek material yang berbeda. Hal yang

kedua adalah mengenai teori yang dipakai oleh Azi dan Hakim dalam mengkaji

permasalahan penelitian yang mereka hadapi.

Secara praktis keduanya menggunakan teori yang digagas oleh Lucien

Goldman, yaitu strukturalisme genetik sebagai landasan berpikir guna menemukan

jawaban atas persoalan penelitian yang dihadapi. Dengan begitu, keduanya mampu

mengungkapkan jawaban-jawaban atas masalah-masalah yang dikaji pada masing-

masing penelitian. Dalam hal ini, peneliti melihat sebuah implikasi dan signifikansi

dari teori tersebut dalam mengkaji persoalan-persoalan serupa, khususnya

permasalahan penelitian yang sedang dihadapi dan dikembangkan. Oleh karena itu,

peneliti memutuskan untuk menggunakan teori strukturalisme genetik seperti yang

telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu dalam mengkaji persoalan yang ada

dalam penelitian ini.

1.6 Landasan Teori

Dari berbagai tinjauan pustaka yang telah dilakukan terkait dengan penelitian

ini, telah diputuskan bahwa strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh sosiolog

Page 16: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

16

Perancis Lucien Goldman merupakan sebuah teori yang relevan untuk menunjang

landasan berpikir guna memperoleh jawaban dari permasalahan-permasalahan yang

telah dijabarkan sebelumnya. Sebelum membahas lebih jauh, perlu diketahui bahwa

Lucien Goldman merupakan salah satu penggagas teori sosial sastra yang berhasil

menggabungkan model pendekatan strukturalisme dan gagasan teori sosial sastra

Marxis yang disebut sebagai Strukturalisme Genetik (Faruk, 2012: 159). Teori ini ia

kembangkan berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap karya-karya

filsafat Pascal, drama-drama Racine, dan novel-novel Malraux.

Selajutnya, dijelaskan juga bahwa layaknya strukturalisme, strukturalisme

genetik juga memandang karya sastra sebagai sebuah struktur (Faruk, 2012: 159).

Akan tetapi, teori ini melihat segala aktivitas dan hasil aktivitas manusia tidak hanya

mempunyai struktur, tetapi juga memiliki arti. Maka menurut strukturalisme genetik,

pemahaman terhadap karya sastra tidak dapat hanya berporos pada perolehan

pegetahuan mengenai strukturnya, akan tetapi juga harus dilanjutkan hingga

mencapai pengetahuan mengenai artinya. Usaha-usaha untuk memahami arti dari

struktur itu berarti usaha dalam menemukan alasan atau faktor-faktor yang

membentuk struktur yang sedemikian rupa, dan hal tersebut dapat ditemukan dengan

mendapatkan informasi-informasi yang ada di luar karya sastra itu sendiri. Oleh

karenanya, secara spesifik genetik dalam hal ini berarti karya sastra dapat dipahami

asalnya dan terjadinya dari latar belakang sosial tertentu. Dengan demikian gagasan

strukturalis Goldman (Teeuw, 2003: 127) disebut sebagai strukturalisme genetik,

Page 17: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

17

yang menerangkan karya sastra dari pengertian homologi, yaitu persesuaiannya

dengan struktur sosial.

Di dalam gagasannya, Goldman menyatakan bahwa makna dari struktur yang

tercipta di dalam suatu karya sastra mewakili pandangan dunia (vision du monde)

sang pengarangnya, yang posisinya bukan sebagai individu, melainkan sebagai wakil

golongan atau kelompok sosial masyarakatnya. Menurut Goldman, sosiologi sastra

Marxis menyadari bahwa fenomena yang menjadi fakta sosial akan terekspresi dalam

karya sastra melalui relasi kesadaran kolektif yang dimiliki pengarang dari golongan

masyarakatnya (Anwar, 2010: 104-105). Dengan kata lain, pengarang sebuah karya

sastra dinilai dapat menghasilkan suatu karya sastra karena terdapat faktor-faktor

sosial yang melatar belakanginya. Menurut Goldman, karya sastra dinilai sebagai

genetika sosial, yang berarti setiap karya sastra diproduksi secara genetik melalui

mediasi berdasarkan pandangan dunia dan struktur mental-historis suatu kelompok

sosial, atau lingkungan pengarangnya. Berkaitan dengan hal tersebut, strukturalisme

genetik memiliki beberapa konsep penting, berkaitan dengan kajian sastra yang

dikembangkan oleh Goldman. Konsep-konsep tersebut adalah fakta kemanusiaan,

subjek kolektif, pandangan dunia, dan struktur karya sastra.

1.6.1 Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan

Berkaitan dengan penjelasan yang telah diawali sebelumnya, secara ontologis,

strukturalisme genetik memandang karya sastra sebagai sebuah fakta kemanusiaan

Page 18: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

18

dan bukan fakta ilmiah (Faruk, 2012: 160). Dalam hal ini, jika fakta ilmiah cukup

dipahami hanya sampai pada batas strukturnya saja, untuk memahami fakta

kemanusiaan, harus sampai pada batas artinya. Adapun definisi dari fakta

kemanusiaan telah dikutip sebagai berikut:

Adapun yang dimaksudkan dengan fakta tersebut adalah segala aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial tertentu seperti sumbangan bencana alam, aktivitas politik tertentu seperti Pemilu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan seni sastra (Faruk, 2012: 57).

Namun, pada dasarnya sebuah karya sastra sebagai salah satu bentuk dari

fakta kemanusiaan tidaklah diciptakan begitu saja, akan tetapi diciptakan untuk

memenuhi kebutuhan tertentu dari manusia yang menciptakannya. Hal tersebut dapat

diselaraskan dengan pernyataan berikut ini:

Genetic structuralism sets out from the hypothesis that all human behavior is an attempt to give a meaningful response to a particular situation and tends, therefore, to create a balance between the subject of action and the object on which it bears, the environment. [Strukturalisme genetik berangkat dari hipotesis bahwa setiap perilaku manusia merupakan sebuah upaya untuk memberikan respons bermakna untuk situasi dan kecenderungan tertentu, yang dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan antara subjek pelaku dan obyek yang ditujunya, yaitu lingkungan]

(Goldman, 1975: 156).

Page 19: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

19

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa teori ini menjelaskan

setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia (fakta kemanusiaan) merupakan suatu

respons terhadap situasi atau kecenderungan tertentu di dalam lingkungan sosialnya,

baik lingkungan alamiahnya maupun lingkungan manusiawinya. Tindakan-tindakan

yang berupa fakta kemanusiaan (penulisan karya sastra) ini dilakukan untuk

menyeimbangkan posisi antara pelaku tindakan sebagai subjek dan lingkungan

sebagai objeknya. Berkaitan dengan penelitian yang tengah dikembangkan di sini,

dapat dipahami bahwasanya TSL merupakan fakta kemanusiaan sebagai bagian kreasi

kultural, yaitu seni sastra. Selain itu, dimungkinkan pula bahwa penulisan roman

merupakan upaya untuk menyeimbangkan posisi Hawthorne dan lingkungan

sosialnya.

Di sini, ditekankan pula bahwa penyesuaian lingkungan sekitar dengan skema

fikiran manusia yang biasa disebut dengan ‘asimilasi’, bisa mempengaruhi proses

tersebut. Namun, jika lingkungan tersebut menolak atau tidak dapat disesuaikan

dengan skema fikiran manusia itu sendiri, manusia akan menempuh jalan yang

sebaliknya, yaitu menyesuaikan skema fikirannya dengan lingkungan sekitarnya yang

disebut dengan ‘akomodasi’ (Faruk, 2012: 58-62). Kedua proses tersebut merupakan

faktor penting yang dinyatakan dalam teori strukturalisme genetik tentang konsep

fakta kemanusiaan, dan menegaskan bahwa manusia memang selalu berusaha

membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu,

penciptaan karya sastra sebagai fakta kemanusiaan (secara khusus roman TSL) tidak

akan terlepas dari kedua proses tersebut.

Page 20: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

20

1.6.2 Karya Sastra dan Subjek Kolektif

Dalam hal ini, strukturalisme genetik membedakan tindakan individual dan

tindakan kolektif berkenaan dengan usaha manusia dalam membangun keseimbangan

dengan lingkungan sekitarnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Perbedaan

tersebut sesuai dengan perbedaan jenis fakta kemanusiaan, seperti yang telah dikutip

berikut ini:

Tindakan individual dimaksudkan hanya untuk pemenuhan kebutuhan individual yang cenderung libidinal, sedangkan tindakan kolektif diarahkan pada pemenuhan kebutuhan kolektif yang bersifat sosial. Subjek tindakan libidinal adalah individu, sedangkan tindakan kolektif adalah kelompok sosial (Faruk, 2012: 161).

Berdasarkan kutipan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa subjek individual adalah

subjek fakta individual, sementara subjek kolektif adalah subjek fakta sosial.

Berkenaan dengan hal ini, revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural

yang besar merupakan fakta sosial.

Menurut Goldman, yang dapat menciptakan hal-hal tersebut hanya subjek

trans-individual (inter-human relation) (Faruk, 2012: 63). Dalam hal ini, subjek

trans-individual bukanlah kumpulan individu-individu yang independen, melainkan

suatu hubungan jaringan inter-individual yang kompleks, yang pada akhirnya

membentuk suatu keunikan (yang membedakannya dengan jaringan kolektifitas lain)

dengan tindakan-tindakan yang dilakukan atas dasar kesadaran (Goldman, 1975:

Page 21: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

21

158). Subjek yang demikianlah yang menurut Goldman juga merupakan subjek karya

sastra yang besar, sebab karya sastra semacam itu merupakan hasil aktivitas yang

objeknya sekaligus alam semesta dan kelompok manusia (Faruk, 2012: 63). Goldman

juga menyatakan bahwa karya sastra yang besar mengangkat hal-hal mengenai alam

semesta beserta hukum-hukumnya, juga persoalan-persoalan yang tumbuh darinya.

Selain itu, pada level historis (terkait dengan karya sastra sebagai produk masa lalu)

hanya subjek kolektif yang mampu menjabarkan rangkaian fenomena masa lalu, guna

mempertalikan antara teks dengan entitas yang lebih besar (bagian-keseluruhan),

yaitu aspek sosio-kulturalnya (Goldmann, 1977: 106).

Dalam perkembangannya, subjek kolektif atau trans-individual ini secara

spesifik dinyatakan dalam dua kategori yang berbeda. Kategori pertama adalah

subjek kolektif yang dipandang sebagai kelas sosial oleh Goldmann, sebagaimana

konsep yang ada dalam marxisme. Sebab, bagi Goldmann kelompok itulah yang telah

menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan

dan yang telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia sebagaimana

yang terbukti dari perkembangan tata kehidupan masyarakat primitif yang komunal

ke masyarakat yang feudal, kapitalis, dan kemudian sosialis (Faruk, 2012: 63-64).

Oleh karena itu karya-karya sastra yang besar merupakan tindakan yang bukan hanya

subjek kolektif, melainkan kelas sosial.

Akan tetapi, berikutnya Goldmann memberikan sebuah persepsi lain dari apa

yang disebut sebagai subjek kolektif sebagai kategori yang kedua. Jika sebelumnya ia

Page 22: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

22

memandang subjek kolektif sebagai kelas sosial, dalam penelitiannya terhadap novel-

novel Malraux ia memandang subjek kolektif hanya sebagai kelompok menengah

yang berada di luar kelas sosial (Faruk, 2012: 95). Menurut Goldmann, teori yang

bersifat marxistis tidak lagi mampu memahami fenomena sastra yang tercipta melalui

karya-karya Malraux. Hal tersebut terjadi karena telah terintegrasinya kelas sosial

yang satu dengan sistem ekonomi dan sosial kelas sosial lainnya, yaitu kaum proletar

kedalam sistem kaum borjuis. Oleh karenanya, Goldmann mengklasifikasikan

kelompok menengah tersebut sebagai berikut:

These individuals include, above all, the creators, writers, artists, philosophers, theologians, men of action, etc., whose thought and behavior are governed above all by the quality of their work……. [Para individu ini mencakup, para kalangan pencipta, penulis, seniman, filsuf, teolog, aktivis, dll., yang setiap pemikiran dan aksinya ditentukan oleh kualitas pekerjaan mereka….]

(Goldmann, 1975: 11-12).

Menurut Goldmann, subjek karya sastra tertentu tidak bersumber dari kelas

sosial marxis, melainkan dari kelompok sosial yang lebih khusus dan berfikir dalam

kerangka nilai otentik demi mementingkan kualitas karya yang mereka ciptakan.

Subjek-subjek yang dimaksud antara lain adalah para penulis, seniman, filsuf, teolog,

dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam kerangka berfikir yang dikembangkan

oleh Goldmann, subjek kolektif yang ada di dalam konsep strukturalisme genetik

adalah dua kategori. Kategori pertama adalah subjek kolektif berdasarkan kelas sosial,

dan kategori yang kedua adalah kelompok sosial khusus yang bukan berdasarkan kelas

Page 23: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

23

sosial, akan tetapi kelompok yang lebih kecil seperti yang telah disebutkan

sebelumnya. Berkaitan dengan roman TSL, posisi Hawthorne sebagai bagian dari

subjek kolektif dapat teridentifikasi berdasarkan salah satu dari dua kategori tersebut.

1.6.3 Karya Sastra dan Pandangan Dunia

Sebagai hasil dari tindakan kolektif yang telah dijelaskan sebelumnya, tentu

saja karya sastra mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan subjek kolektif yang

bersangkutan, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang terjalin dari hubungan antara kelas

sosial atau kelompok sosial tertentu dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai kelompok

manusia yang mempunyai latar belakang yang sama, anggota-anggota dari suatu

subjek kolektif memiliki pengalaman dan cara pemahaman yang sama mengenai

lingkungan sekitarnya dan sekaligus cara-cara pembangunan keseimbangan dalam

hubungan dengan lingkungan tersebut (Faruk, 2012: 162).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Goldmann juga menyatakan bahwa

cara pemahaman dan pengalaman yang sama itu akan menjadi pengikat yang

mempersatukan para anggota itu menjadi suatu kelompok yang sama dan sekaligus

membedakan mereka dari kelompok sosial yang lain. Pemahaman dan pengalaman

seperti itulah yang disebut sebagai pandangan dunia oleh teori strukturalisme genetik.

Dalam pengertian strukturalisme genetik (Faruk, 2012: 163), pandangan dunia

merupakan skema ideologis yang menentukan struktur atau menstrukturasikan

bangunan dunia imajiner karya sastra ataupun struktur konseptual karya filsafat yang

mengekspresikannya.

Page 24: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

24

Bersamaan dengan teori di atas, Goldman percaya pada keberadaan homologi

(kesamaan asal-usul) antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, karena

keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Hal tersebut

dinyatakan dalam kutipan berikut:

Genetic structuralism has represented a total change of orientation – its basic hypothesis being precisely that the collective character of literary creation derives from the fact that the structures of the world of the work are homologous with the mental structures of certain social groups or is in intelligible relation with them.

[Strukturalisme genetik telah memberikan perubahan orientasi secara total - hipotesis dasarnya tepat, bahwa karakter kolektif dari penciptaan sastra berasal dari fakta bahwa struktur dunia sebuah karya bersifat homolog dengan struktur mental kelompok sosial tertentu atau memiliki kaitan yang jelas dengannya]

(Goldmann, 1975: 159)

Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami bagaimana Goldmann

memandang struktur dunia di dalam karya sastra demikian berhomologi atau dapat

dimengerti berdasarkan struktur mental dari kelompok sosial tertentu. Sebab hanya

dengan konsep homologi itu hubungan antara bangunan dunia imajiner dalam karya

sastra di satu pihak dan bangunan dunia nyata di lain pihak dapat ditemukan dan

dipahami (Faruk, 2012: 64-65). Homologi atau kesejajaran struktural antara karya

sastra dan masyarakat menurut strukturalisme genetik tidaklah bersifat langsung.

Homologi di sini tidak secara serta merta disejajarkan dengan struktur masyarakat

tertentu, akan tetapi disejajarkan dengan pandangan dunia yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat tersebut. Pada akhirnya, pandangan dunia itulah yang

akan menghubungkan dengan struktur masyarakatnya.

Page 25: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

25

Hal tersebut dapat terjadi karena pada dasarnya kategori mental yang ada di

dalam suatu kelompok adalah berupa tendensi-tendensi yang mampu dipertalikan satu

sama lain (Goldmann, 1975: 160). Hal inilah yang kemudian menciptakan sebuah

world-view atau pandangan dunia. Sementara itu, definisi mengenai pandangan dunia

itu sendiri telah dikutip sebagai berikut:

Adapun yang dimaksud dengan pandangan dunia itu sendiri (Goldman, 1977: 17), tidak lain dari pada kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain (Faruk, 2012: 65-66).

Oleh karena itu, bagi strukturalisme genetik, pandangan dunia tidak hanya

sekumpulan gagasan-gagasan abstrak dari suatu kelas mengenai kehidupan manusia

dan lingkungan tempat manusia itu berada, melainkan juga merupakan semacam cara

pandang yang dapat mempersatukan anggota satu kelas dengan anggota yang lain

dalam kelas yang sama, dan membedakannya dari anggota-anggota dari kelas sosial

yang lain.

Dalam pandangan strukturalisme genetik, hubungan antara karya sastra

dengan struktur dasarnya tidaklah langsung, melainkan secara tidak langsung, yaitu

melalui pandangan dunia yang bersifat ideologis (Faruk, 2012: 163). Di sini karya

sastra tidak mencerminkan apa yang disebut sebagai perjuangan kelompok,

melainkan mengekspresikan suatu pandangan dunia yang strukturnya homolog

dengan struktur kehidupan manusia dalam kelompok sosial tertentu. Pada dasarnya,

Page 26: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

26

tidak semua individu anggota di kelompok sosial tertentu menyadari pandangan dunia

mereka sendiri. Hanyalah individu tertentu yang mampu menyadari hal itu, sebagai

contoh adalah para sastrawan yang besar. Hal tersebut dinyatakan dalam kutipan

berikut:

The great writer (or artist) is precisely the exceptional individual who succeeds in creating in a given domain, that of the literary (or pictorial, conceptual, musical, etc.) work, an imaginary, coherent, or almost strictly coherent world, whose structure corresponds to that towards which the whole of the group is tending;….

[Penulis besar (atau seniman) merupakan individu luar biasa yang berhasil mencipta dalam ranah yang dimiliki, bahwa dari karya sastra (atau lukis, konseptual, musik, dsb.), sesuatu yang imajiner, adalah dunia yang koheren, atau hampir sangat koheren, yang mana strukturnya sesuai dengan arah kecenderungan kelompok ini secara keseluruhan;….]

(Goldmann, 1075: 160).

Di sini Goldmann menekankan bahwa karya-karya penulis besar berhasil

menangkap dan mengekspresikan pandangan dunia kelas sosialnya secara koheren

atau setidaknya hampir sampai pada titik koheren, di mana struktur yang

dimunculkan berkaitan dengan kecenderungan kelompoknya secara keseluruhan

(kesadaran kolektif). Pada akhirnya, hal inilah yang akan memperlihatkan salah satu

elemen terpenting dari kesadaran kolektif yang dimunculkan dalam karya-karya besar

tersebut, yaitu memicu kesadaran dari para anggota kelompok sosial sang penulis

tentang apa yang mereka fikirkan, rasakan, dan lakukan selama ini, yang mana hal-

hal tersebut tidak mereka sadari signifikansinya dalam kehidupan mereka

sebelumnya. Di dalam penelitian ini, konsep inilah yang menjadi salah satu fokus

Page 27: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

27

kajian, yang pada gilirannya akan memunculkan pertautan roman TSL dengan

konteks sosio-kulturalnya.

1.6.4 Konsep Struktur Karya Sastra dalam Strukturalisme Genetik

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, strukturalisme genetik merupakan

gabungan antara strukturalisme dan marxisme. Oleh karena itu, tentu saja

strukturalisme genetik mengakui keberadaan karya sastra sebagai suatu struktur

sehingga perlu dipahami secara struktural. Akan tetapi, konsep strukturalisme genetik

mengenai struktur karya sastra cenderung bersifat semantik (Faruk, 2012: 164).

Selanjutnya, Faruk juga menyatakan bahwa konsep strukturalisme yang dekat dengan

strukturalisme genetik adalah strukturalisme Claude Levi’ Strauss. Dalam hal ini,

strukturalisme Strauss ini berpusat pada konsep oposisi biner atau oposisi

berpasangan. Menurut Faruk, Strauss melihat bangunan dunia sosial dan kultural

manusia sebagai sesuatu yang distrukturkan atas dasar prinsip binarisme, yang

terbangun dari seperangkat satuan yang saling beroposisi satu sama lain. Di antara

pasangan yang beroposisi itu, dimungkinkan pula adanya satuan-antara yang berada

di antara keduanya, yang bukan satuan yang satu, misalnya A, dan bukan pula satuan

yang lain, misalnya B. Satuan yang demikian disebut satuan –A dan –B sekaligus

(Faruk, 2012: 164). Berdasarkan penjelasan tersebut, di sini manusia berada antara

posisi menolak dan menerima dunia sekaligus, yang menurut strukturalisme genetik

struktur seperti itu mengekspresikan pandangan dunia tragis yang berfikir secara

Page 28: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

28

dialektik, yaitu seni berfikir secara teratur, logis, dan teliti yang diawali dengan tesis,

antitesis, dan sintesis.

Dikarenakan konsep struktur sosial strukturalisme genetik ini didasarkan pada

teori sosial marxis, maka atas dasar teori sosial itu pula tampak jelas bahwa dunia

sosial dalam hal ini dipahami sebagai struktur yang terbangun atas dasar dua kelas

sosial yang saling bertentangan. Kesatuan dunia sosial terbangun karena adanya

dominasi dari satu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain. Dominasi itu bahkan

dipelihara dan dipertahankan, juga diperkuat dengan menggunakan berbagai kekuatan

ideologis yang beroperasi dalam berbagai lembaga sosial yang ada di dalam

masyarakat, termasuk karya sastra (Faruk, 2012: 165). Akan tetapi, akhirnya

dominasi tersebut tidak akan bisa menghilangkan peluang untuk terjadinya perubahan

sosial, karena pada dasarnya kelas-kelas yang dikuasainya juga akan tetap berusaha

melawan dan mengambil alih kekuasaan dari kelas yang berkuasa tersebut. Hal itu

juga bahkan dapat menciptakan suatu struktur sosial yang baru sesuai dengan

lingkungannya yang baru pula.

Jika dikorelasikan dalam konteks karya sastra atau roman TSL pada

khususnya, struktur bangunan imajiner sebuah novel atau roman tidak akan terlepas

dari sudut pandang pengarangnya dalam menciptakan problematika yang dihadapi

oleh masing-masing tokoh yang ada di dalamnya. Besar kemungkinan masalah yang

dialami satu tokoh disebabkan oleh eksistensi tokoh lainnya, karena the novel is the

story of a degraded search, a search for authentic values in a world itself degraded

Page 29: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

29

[Novel merupakan bentuk penceritaan tentang pencarian yang terdegradasi untuk

menemukan nilai-nilai yang otentik di dalam dunia yang dengan sendirinya-pun

terdegradasi] (Goldmann, 1975: 1).

Selain itu, Goldmann juga menyatakan bahwa sebuah ciri penting karya sastra

novel adalah keberadaan hero problematik di dalamnya. Dalam hal ini, bisa

disimpulkan bahwa hero tersebutlah yang diceritakan tengah melakukan pencarian

akan nilai-nilai otentik yang dimaksud. Hal ini menegaskan bahwa hero atau tokoh

utama dalam sebuah cerita mengalami suatu problema karena berusaha

memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap ideal, dan oleh karenanya harus

mengahadapi tokoh-tokoh lain sebagai perwujudan kelompok sosial lainnya. Sejauh

ini dapat disimpulkan bahwa perjuangan tokoh utama dapat dikatakan sebagai sebuah

manifestasi dari perjuangan subjek kolektif atau kelompok sosial pengarang sebuah

novel.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, diharapkan teori strukturalisme

genetik ini mampu menunjang penelitian yang tengah dikembangkan di sini. Sama

halnya dengan konsep-konsep yang telah diuraikan sebelumnya, seperti konsep fakta

kemanusiaan di mana karya sastra termasuk di dalamnya, sosok pengarang sebagai

subjek kolektif, pandangan dunia yang terkandung di dalam karya sastra yang besar,

dan struktur karya sastra sebagai manifestasi dari kelompok sosial diyakini mampu

dijadikan landasan berfikir untuk menjawab persoalan-persoalan penelitian yang

sedang dihadapi. Oleh karena itu, langkah berikutnya adalah menyesuaikan kerangka

Page 30: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

30

berfikir tersebut dengan dasar-dasar epistemologis dari teori strukturalisme genetik

itu sendiri dalam format metode penelitian.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kajian pustaka di mana sumber

utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah roman TSL karya Nathaniel

Hawthorne. Beberapa referensi dan buku yang relevan dengan analisis penelitian juga

dipakai dan sangat membantu dalam penelitian ini. Seperti yang telah dibahas

sebelumnya, penelitian ini menggunakan teori strukturalisme genetik, maka sesuai

dengan teori tersebut, penelitian ini difokuskan pada asal-usul terciptanya struktur

dari karya sastra yang dikaji, yaitu pertautan antara struktur karya, pandangan dunia

yang diekspresikan, dan kelompok sosial pemilik pandangan dunia yang dimaksud.

Pada dasarnya, di dalam teori ini secara khusus kemudian Goldman

mengembangkan sebuah metode yang disebutkannya sebagai metode dialektik.

Menurut Goldmann, metode dialektik adalah metode yang paling efektif untuk

memahami fenomena yang kompleks seperti filsafat dan karya sastra masa lalu

(Cohen, 1994: 117). Dalam hal ini, metode dialektik memperhatikan teks sastra

bersamaan dengan koherensi kulturalnya. Prinsip dasar dari metode dialektik yang

membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi tersebut adalah pengetahuannya

mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat

konkret dengan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan (Goldman, 1977: 7

dalam Faruk, 2012: 77). Oleh karenanya, metode dialektik mengembangkan dua

Page 31: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

31

pasang konsep, yaitu “keseluruhan-bagian” dan “pemahaman-penjelasan”. Dalam hal

ini, karya sastra harus dipahami sebagai suatu struktur yang menyeluruh. Pemahaman

sastra sebagai struktur menyeluruh akan mengarahkan pada penjelasan hubungan

sastra dengan sosio-budaya sehingga karya sastra memiliki arti. Sementara teks sastra

itu sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang membuatnya

menjadi struktur yang berarti.

Pada dasarnya setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya

hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat

dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau

yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu (Faruk, 2012: 77). Oleh

karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian juga tidak dapat

dimengerti tanpa keseluruhan, proses pencapaian pengetahuan dengan metode

dialektik menjadi semacam gerak melingkar secara terus menerus. Mengenai konsep

pemahaman-penjelasan, telah dikutip pernyataan sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari (Goldman, 1970: 589), sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar (Goldman, 1970: 590). Dengan kata lain, pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna bagian itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar (Faruk, 2012: 78-79).

Page 32: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

32

Oleh karena itu, Metode ini sebenarnya tidak hanya berlaku dalam analisis teks

sastra, tetapi juga struktur yang menempatkan teks sastra sebagai bagian, yaitu

struktur sosial.

Lebih jauh lagi, pemahaman dan penjelasan bukanlah dua proses intelektual

yang berbeda, akan tetapi proses yang secara bersamaan diaplikasikan terhadap dua

kerangka referensi yang berbeda (Goldmann, 1975: 163). Artinya, hasil dari analisis

terhadap struktur karya tertentu (katakanlah roman The Scarlet Letter) akan sangat

membantu dalam memahami pandangan dunia yang diekspresikan di dalam karya

tersebut, selain itu hasil dari pemahaman terhadap pandangan dunia tersebut dapat

membantu menjelaskan terbentuknya struktur di dalam karya tersebut. Berikutnya,

hasil dari pemahaman terhadap pandangan dunia akan membantu dalam memahami

kelompok sosial pengarang yang memiliki pandangan dunia tersebut (dalam hal ini

kelompok sosial Nathaniel Hawthorne menjadi fokus kajian), selain itu dari

pemahaman terhadap kelompok sosial tersebut dapat juga membantu dalam

menjelaskan terbentuknya pandangan dunia yang dimaksud di dalam karya sastra.

1.7.1 Sumber Data

Adapun sumber data utama penelitian ini adalah teks roman TSL karya

Nathaniel Hawthorne. Data utama tersebut meliputi; teks roman TSL yang

menggambarkan hubungan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain maupun

hubungan antara tokoh dengan lingkungan sekitarnya sehingga terlihat problematika

Page 33: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

33

yang dihadapi oleh masing-masing tokoh. Selain sumber data utama tersebut,

penelitian ini juga didukung oleh data sekunder yang berupa sumber tertulis yang

mendeskripsikan latar kehidupan sosial pengarang dan peristiwa-peristiwa sosial di

Amerika yang menghasilkan karya tersebut. Data-data tersebut mencakup aspek

kehidupan sosial pengarang Nathaniel Hawthorne yang berhubungan dengan karya

ini, juga latar belakang sejarah atau peristiwa sosial yang mengkondisikan terciptanya

karya, dan juga pandangan Hawthorne tentang masyarakatnya.

1.7.2 Teknik Analisis Data

Teknik pelaksanaan metode dialektik yang melingkar serupa itu berlangsung

sebagai berikut. Pertama, peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya

memberikan tingkat probabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, ia melakukan

pengecekan terhadap model itu dengan membandingkannya dengan keseluruhan

dengan cara menentukan: sejauh mana setiap unit yang dianalisis tergabungkan dalam

hipotesis yang menyeluruh, daftar elemen-elemen dan hubungan-hubungan baru yang

tidak diperlengkapi dalam model semula, frekuensi elemen-elemen dan hubungan-

hubungan yang diperlengkapi dalam model yang sudah dicek tersebut (Goldman,

1970: 602-603 dalam Faruk, 2012: 79).

Secara garis besar, teknik tersebut dijabarkan sebagai berikut; pertama-tama,

penelitian ini menggunakan teknik menelaah satuan-satuan linguistik yang signifikan

yang ada dalam teks karya sastra yang menjadi sumbernya atas dasar konsep-konsep

Page 34: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

34

teoritik yang digunakan. Data-data di dalam penelitian ini akan dihubungkan satu

sama lain dengan metode dialektik yang berlaku pada level karya sastra, yaitu dengan

menyelaraskan bagian dengan keseluruhan sampai terbentuk sebuah struktur dengan

koherensi maksimal, khususnya struktur yang berpola oposisi biner. Selain itu, teknik

yang dipakai dalam penelitian ini juga mengamati data sekunder yang berupa hasil-

hasil kajian sejarah dan sosial. Metode dialektik juga digunakan untuk menganalisa

hubungan hasil analisa yang akan dilakukan dengan menempatkannya di dalam

keseluruhan struktur sosial yang terkait.

1.8 Sistematika Penulisan

Secara garis besar, hasil dari penelitian ini ditulis dengan sistematika dan

secara berurutan sebagai berikut:

BAB I : Menyajikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, masalah

penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II : Menjawab rumusan masalah pertama dengan menganalisis struktur roman

TSL.

BAB III : Menjawab rumusan masalah kedua dengan menganalisis pandangan dunia

yang diekspresikan di dalam roman TSL.

Page 35: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73852/potongan/S2-2014...karyanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada

35

BAB IV : Menjawab rumusan masalah ketiga dengan mengungkapkan kelompok

sosial yang memiliki pandangan dunia yang diekspresikan di dalam roman

TSL.

BAB V : Menyajikan kesimpulan dan saran.