bab i pendahuluan - sinta.unud.ac.id i.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya...

13
1 BAB I PENDAHULUAN “…the supreme moment of the subject’s freedom is to set free its object. (Žižek) 1.1 Latar Belakang Perdebatan mengenai posisi manusia dalam ranah sosial muncul sebagai proses berpikir tentang “yang ada”. Pemikiran corak filsafat yang mengangkat posisi manusia merujuk pada pergerakan pemikiran filsafat dari masa Yunani Kuno hingga masa filsafat kontemporer. Pada perkembangannya, para pemikir filsafat memiliki berbagai konsepsi tentang manusia melalui suatu sudut pandang khusus, misalnya manusia sebagai makhluk yang suka bermain (homo ludens), manusia adalah makhluk yang berpikir (animal rationale), manusia sebagai makhluk yang suka mencipta (homo faber), manusia sebagai makhluk yang suka bekerja (homo laborans), manusia sebagai makhluk yang tertawa (homo ridens), bahkan ada yang menyebut manusia sebagai makhluk pendoa (homo orans/homo religious). 1 Konsepsi di atas tentunya memiliki tujuan untuk membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya dalam peneguhan kedudukan mereka sebagai makhluk yang otentik dan memiliki tempat khusus di dalam kehidupan. Lebih lanjut, pembenaran tersebut ditegaskan Socrates sebagai berikut, 2 1 Fransiskus Borgias, Manusia Pengembara: Refleksi Filososfis tentang Manusia, Jalasutra, Yogyakarta, 2013, h. 73-74. 2 Louis Leahy, Siapakah Manusia?, Kanisisus, Yogyakarta, 2001, h. 16.

Upload: dangbao

Post on 10-Apr-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang ... sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan

1

BAB I

PENDAHULUAN

“…the supreme moment of the subject’s freedom is to set free its object.”

(Žižek)

1.1 Latar Belakang

Perdebatan mengenai posisi manusia dalam ranah sosial muncul sebagai

proses berpikir tentang “yang ada”. Pemikiran corak filsafat yang mengangkat

posisi manusia merujuk pada pergerakan pemikiran filsafat dari masa Yunani Kuno

hingga masa filsafat kontemporer. Pada perkembangannya, para pemikir filsafat

memiliki berbagai konsepsi tentang manusia melalui suatu sudut pandang khusus,

misalnya manusia sebagai makhluk yang suka bermain (homo ludens), manusia

adalah makhluk yang berpikir (animal rationale), manusia sebagai makhluk yang

suka mencipta (homo faber), manusia sebagai makhluk yang suka bekerja (homo

laborans), manusia sebagai makhluk yang tertawa (homo ridens), bahkan ada yang

menyebut manusia sebagai makhluk pendoa (homo orans/homo religious).1

Konsepsi di atas tentunya memiliki tujuan untuk membedakan manusia dengan

makhluk-makhluk lainnya dalam peneguhan kedudukan mereka sebagai makhluk

yang otentik dan memiliki tempat khusus di dalam kehidupan. Lebih lanjut,

pembenaran tersebut ditegaskan Socrates sebagai berikut, 2

1 Fransiskus Borgias, Manusia Pengembara: Refleksi Filososfis tentang Manusia,

Jalasutra, Yogyakarta, 2013, h. 73-74. 2 Louis Leahy, Siapakah Manusia?, Kanisisus, Yogyakarta, 2001, h. 16.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang ... sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan

2

Ia memikirkan dan bertanya tentang segala hal. Maka, tidak heran bahwa ia cenderung

secara spontan untuk bertanya: Apakah artinya menjadi manusia?. Kerapkali, sejak usia

remaja, manusia merasa dalam dirinya sendiri yang paling pribadi suatu dorongan yang ada

di bawah langit Delphi: Kenalilah dirimu sendiri!.

Penjelasan Socrates di atas mencoba untuk menegaskan posisi manusia

sebagai makhluk yang berpikir. Konsepsi manusia Socrates kemudian

mempengaruhi corak berpikir para filsuf setelahnya yang lebih memiliki ranah

perdebatan mengenai posisi subyek3 (individu/manusia) dalam masyarakat.

Perbedaan pandangan posisi subyek dalam masyarakat dimulai oleh pencetus

idealisme yakni Plato yang secara tegas menyebut manusia sebagai makhluk sosial

dan menolak konsepsi kaum sofis yang menyatakan masyarakat sebagai bentukan

individu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang

mendefinisikan manusia sebagai makhluk individual dan tujuan utamanya di dunia

adalah untuk mencari kebahagiaan sebesar-besarnya.4

Pada perkembangannya kemudian, muncul filsuf Rene Descartes yang

disebut pula sebagai bapak filsafat modern dengan diktumnya yang terkenal cogito

ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Secara etimologis, Descartes membedakan

subyek (cogito, kepala, pikiran) dan dunia (sum, hidup, ada). Antara kepala dan

dunia dihubungkan oleh media ilmu pengetahuan (sebagai ergo) melalui aktivitas

3 Subyek tidak selalu hadir (baca: ada) meskipun secara umum subyek selalu diartikan

sebagai manusia atau individu. Hal tersebut memungkinkan adanya berbagai definisi baik diartikan sebagai subyek aktif atau pasif oleh para teoritisi. Subyek aktif adalah subyek yang bergerak dan memiliki substansi, sedangkan subyek pasif adalah subyek yang diartikan sebagai pengguna atau repesentasi dari yang mempengaruhinya. Kehadiran subyek dikatakan “ada” apabila manusia atau individu memenuhi syarat-syarat untuk menjadi subyek otonom.

4 Wahyu Budi Nugroho, Orang Lain adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, h. 20-21.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang ... sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan

3

berpikir.5 Melalui pemikiran Descartes inilah kemudian subyek yang otonom

dihasilkan, subyek yang bebas akan pengembangan diri subyek itu sendiri. Lebih

jauh, pemikiran Descartes berkembang menjadi rumusan klasik atau adagium yang

kemudian melahirkan rumusan yang baru dan lain. Misalnya, muncul rumusan

eligo ergo sum yang diartikan dengan, “Aku memilih, maka aku ada”.6 Hal tersebut

menandakan dalam kegiatan memilih atau berpikir, manusia (individu, subyek)

mengukuhkan eksistensinya. Selain itu, dengan kegiatan memilih atau berpikir

(cogito maupun eligo), semakin menunjukkan posisi manusia sebagai subyek

otonom yang melakukan tindakan memilih atau berpikir untuk menunjukkan bahwa

dia ada.

Pergerakan ranah intelektual di Abad Pencerahan mendorong upaya

sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan diri dari

pengaruh filsafat serta psikologi. Pemikiran awal sosiologi yang diusung oleh

Auguste Comte sekaligus Herbert Spencer dianggap cenderung menonjolkan dunia

ide. Dunia ide yang dibawa oleh kedua pemikir tersebut pun lebih mengutamakan

dimensi keteraturan sosial (social order) daripada dunia empiris, sehingga dapat

dikatakan secara tegas jika warna filsafat masih membayangi pemikiran Comte dan

Spencer. Proyek peneguhan keilmuan sosiologi pun dimulai dari peletakkan dunia

empiris oleh Emile Durkheim. Durkheim berusaha memisahkan sosiologi dari alam

filsafat positif Auguste Comte serta Herbert Spencer melalui dua karya

monumentalnya Suicide (1897) dan The Rule of Sociological Method (1895).

5 Ahmad Faridl Ma’aruf, Diskursus dan Metode: Rene Descartes, IRCiSoD, Yogyakarta,

2012, h. 9. 6 Fransiskus Borgias, op. cit., h. 77.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang ... sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan

4

Durkheim dengan pemikiran fakta sosial hadir dalam upayanya menemukan obyek

studi sosiologi untuk menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan

memenuhi unsur ilmiah. Pandangan fakta sosial menolak adanya dunia ide yang

cenderung mengedepankan proses pemikiran spekulatif, sehingga fakta sosial

mendorong terbentuknya proses pemikiran yang empiris (dapat diukur dan dapat

dipastikan kebenarannya). Secara terperinci, pandangan fakta sosial terdiri atas;

kelompok, kesatuan masyarakat tertentu (societis), sistem sosial, posisi, peranan,

nilai-nilai, keluarga, dan pemerintahan.7 Fakta sosial kemudian secara tegas dan

jelas meletakkan dimensi struktur sosial dan pranata sosial sebagai barang yang ada

sekaligus membawa ranah empiris dalam mempengaruhi subyek, sehingga

pengaruh pemikiran Durkheim berkembang menjadi sebuah kebenaran umum, di

mana realitas sosial menjadi aspek yang tak terpisah dari manusia, sehingga dapat

dipastikan bahwa manusia adalah produk masyarakat.8

Penolakan dalam bentuk perbedaan pandangan mengenai posisi subyek

sebagaimana dijelaskan oleh pemikir fakta sosial ditentang oleh pemikir definisi

sosial yang dipelopori oleh Max Weber. Weber dalam pemikirannya menuangkan

posisi subyek (individu) sebagai pelopor pembentuk realitas sosial. Penolakan

Weber terhadap fakta sosial ditunjukkan oleh pernyataan “mempelajari

perkembangan suatu pranata secara khusus dari luar tanpa memperhatikan tindakan

manusianya sendiri, berarti mengabaikan segi-segi prinsipal dari kehidupan

sosial”.9 Secara eksternal, norma dan nilai sosial menjadi hambatan bagi

7 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Rajawali Pers,

Jakarta, 2011, h. 18-19. 8 Peter L. Berger, Langit Suci Agama sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Jakarta, 1991, h. 3. 9 George Ritzer, op. cit., h. 37.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang ... sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan

5

pengembangan diri subyek dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Hal inilah

yang kemudian menjadi kelemahan pemikiran fakta sosial dibandingkan pemikiran

definisi sosial yang mengedepankan segi aktif dan kreatif subyek untuk

menentukan posisi di dalam pemaknaan realitas sosial, sekaligus mempertegas

posisi subyek di dalam masyarakat dengan menggunakan metode interpretasi

(verstehen).

Posisi subyek menentukan aktivitas baik secara tindakan dan pikiran

merupakan bagian di dalam sejarah masyarakat yang sudah ada sebelumnya dan

akan terus berlanjut sesudahnya sebagai wujud biografi atas tiap individu. Terkait

hal tersebut, Peter L. Berger dalam posisi perdebatan mengenai subyek dalam

masyarakat mengemukakan pendapat sebagai berikut, 10

Masyarakat sudah ada sebelum individu ada

Masyarakat pun ada ketika individu tidak ada.

Pandangan Berger di atas memberikan gambaran tidak ada suatu hal yang

berlawanan di antara keduanya. Baik subyek (individu) dan masyarakat memiliki

hubungan causa reality ‘realitas yang saling mempengaruhi’ yang menghasilkan

sebuah penilaian akan hubungan tersebut. Nilai-nilai subyektif yang ada akan

mengalami ketegangan menuju proses dialektis dengan kegiatan obyektif.

Pemikiran Berger pun sarat dengan upaya menjembatani mikro-makro sosiologi.

Beralih pada ranah sosiologi modern, perkembangan teori klasik menuju

ranah modern tak luput dari persoalan subyek. Pemikir sosiologi modern seperti

10 Peter L. Berger, op. cit., h. 4.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang ... sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan

6

Talcot Parsons serta muridnya, Robert K. Merton mengusung pemikiran fungsional

struktural yang menggiring peleburan subyek dalam masyarakat sekaligus

menguatkan pondasi makrososiologi. Pemikiran keduanya mengenai peleburan

subyek secara lugas terdapat dalam pendapat Parsons dan Merton sebagai berikut,

Sistem sosial terdiri dari sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam

situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik. Aktor-aktor

mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk ‘mengoptimalkan

kepuasan’, yang hubungannya dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam

term sistem simbol bersama yang terstruktur secara struktural.11

Perhatian analisis struktur fungsional mestinya lebih dipusatkan pada fungsi sosial

ketimbang pada motif individual.12

Pendapat Parsons dan Merton didukung oleh pemikiran Kingsley Davis

serta Wilbert Moore yang menjelaskan cara masyarakat memotivasi dan

menempatkan individu pada posisi mereka yang “tepat”.13 Dengan demikian,

gambaran posisi subyek dalam pandangan fungsional struktural merupakan dorman

dari masyarakat dan subyek pun tidak memiliki otoritas dalam pembentukan sebuah

realitas sosial.

Pola makrososiologi yang didengungkan para pemikir fungsional struktural

tentunya tidak memperoleh kedudukan absolut dalam perkembangan teori sosial.

11 George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2006,

h. 124. 12 Ibid., h. 139. 13 Ibid., h. 118.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang ... sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan

7

Kritik terhadap pandangan kaum fungsional struktural (makrososiologi) ditentang

oleh para pemikir interaksionisme simbolik seperti George Herbert Mead, C.H.

Cooley, dan Hebert Blumer. Ketiganya memiliki pandangan bahwa subyek

memiliki peran atau potensi dalam membentuk bahkan merombak masyarakat.

Pemikiran terpenting interaksionisme simbolik dalam upaya menguatkan posisi

subyek dalam ranah mikrososiologi, antara lain: (1) Memusatkan perhatian pada

interaksi dunia nyata; (2) Memandang baik aktor maupun dunia nyata sebagai

proses dinamis dan bukannya sebagai struktur yang statis; serta (3) Arti penting

yang dihubungkan kepada kemampuan aktor untuk menafsirkan kehidupan sosial.

Lebih jauh, penjelasan lain mengenai posisi subyek dipertegas oleh Blumer melalui

premisnya di bawah ini,14

Masyarakat itu terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri (yakni

membuat indikasi untuk diri mereka sendiri); tindakan individu itu merupakan suatu

konstruksi dan bukan sesuatu yang lepas begitu saja, yakni keberadaannya dibangun oleh

individu melalui catatan dan penafisiran situasi di mana dia bertindak; sehingga kelompok

atau tindakan kolektif itu terdiri dari beberapa susunan tindakan beberapa individu, yang

disebabkan oleh penafsiran individu atau pertimbangan individu terhadap setiap tindakan

yang lainnya.

Jelas kemudian melalui pemaknaan Blumer mengenai posisi subyek

mengindikasikan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang berdiri

atas kepentingan dan kesadaran diri. Menilik perkembangan teori sosiologi modern

yang hendak menciptakan teori absolut tentunya telah mengalami kegagalan dalam

14 Irving M.Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi: Kritik terhadap Teori Sosiologi

Kontemporer, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, h. 332.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang ... sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan

8

menjalankan fungsinya. Di samping itu, integrasi makro-mikro15 pun seolah tak

berdaya sekaligus menandai kemunculan kembali perdebatan posisi subyek dalam

menentukan posisinya. Penguatan kembali posisi masyarakat dalam mempengaruhi

subyek pun semakin berkembang ke dalam ranah bahasa, ideologi, dan tak lupa

stuktur sosial kembali sebagai faktor yang melenyapkan posisi subyek dalam

realitas sosial.

Hal tersebut sekaligus menandai kemunculan pemikir posmodern dan

strukturalis dalam upayanya mengkritik maupun merevisi pemikiran filsafat

Descartes ataupun para penganutnya―cartesian―karena pemikiran Descartes

dianggap sebagai pencetus utama dan paling berpengaruh dalam terjadinya

perdebatan posisi subyek hingga masa sosiologi modern, sekaligus menghidupkan

kembali diktum individu sebagai budak masyarakat.

Pemikir posmodern dan strukturalis berteori bahwa subyek merupakan

sumber kekacauan serta konflik.16 Subyek dalam hal ini diwakili oleh manusia

dalam pengertian pasif sebagai pengguna atau dalam pengertian aktif sebagai

pencipta bahasa, simbol, atau ideologi. Sejalan dengan pendapat sebelumnya,

Dennis McCallum pun berpendapat tidak ditemukannya manusia sebagai subyek,

akan tetapi subyek (manusia) merupakan hasil dari pabrikasi sosial atau konstruksi

15 Istilah “makro” diartikan sebagai penggambaran yang mewakili masyarakat. Area

makrososiologi adalah menganalisis interaksi sebagai pengaruh struktur sosial. Sedangkan istilah “mikro” mewakili subyek (baca: manusia atau individu). Area kajian mikrososiologi ini pun membedah secara internal yang mendasari terjadinya interaksi sosial, di mana individu diletakkan sebagai dimensi terpenting dalam mempengaruhi dan penciptaan realitas sosial.

16 Steinar Kvale, Psikologi dan Posmodern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, h. 168.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang ... sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan

9

sosial yang di dalamnya aktor sebagai subyek tidak memiliki peran yang

signifikan.17

Proyek kematian subyek dimulai oleh perayaan Ferdinand de Saussure

dengan bahasa sebagai pengendali. Saussure menyatakan bahwa realitas antara

subyek dibentuk oleh bahasa. Pun, sama halnya dengan konsep dekonstruksi

Jacques Derrida yang meletakkan bahasa sebagai perantara proses ketertundaan

kehadiran. Michel Foucault hadir semakin menisbikan posisi subyek di arena

struktur sosial. Dalam arena struktur sosial, jaringan kuasa muncul sebagai pencipta

obyek yang menyatakan bahwa tidak pernah ada subyek yang utuh. Akan tetapi,

membahas kematian subyek tidak lengkap jika tidak mengikutsertakan Louis

Althusser yang menyatakan subyek ada sebagai bentukan sejarah dan ideologi.

Dengan analisis lain, subyek dalam pandangan cartesian memiliki posisi sebagai

realitas otonom pun seolah tidak menyadari kehadiran obyek yang mampu

menciptakan anti-ketidakhadiran subyek. Pemikiran ini pun dapat didasari ketika

Descartes mencetuskan subyek cogito, ia masih hidup pada momen ketika udara di

bumi belum dipenuhi oleh obyek (baca: media). Berbeda dengan para penganut

subyek cartesian yang hidup di era kenyataan maya (virtual reality) yang kemudian

dengan mudah diserang para pemikir posmodern dan strukturalis sekaligus

menandai kematian subyek sebagai subyek otonom.

Mengingat berbagai uraian dan penjabaran singkat di atas, kiranya dapat

memberikan gambaran konkret sebagai sebuah pengantar untuk memahami pokok

17 Yasraf Amir Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, Jalasutra,

Yogyakarta, 2005, h. 397-398.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang ... sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan

10

permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Penjelasan di atas perlu dilakukan

mengingat pentingnya uraian komprehensif dari tiap penggolongan masa pemikiran

mengenai perubahan posisi subyek (individu) di dalam masyarakat, yakni apakah

masyarakat menciptakan dan mempengaruhi individu, ataukah individu yang

memiliki pengaruh membentuk dan merombak masyarakat. Begitu pula, uraian di

atas sekaligus memberikan gambaran bahwa perdebatan antara makrososiologi dan

mikrososiologi tanpa disadari masih berlanjut hingga saat ini. Perkembangan pola

pemikiran kemudian diharapkan dapat memberikan sumbangsih serta dapat

memberikan rumusan baru mengenai kemana arah pemikiran sosiologi

berkembang. Kiranya, dalam posisi perdebatan tersebut terdapat konsep pemikiran

“redefinisi subyek” yang kemudian dapat mendorong perkembangan pemikiran

sosiologi. Dengan kata lain, konsep pemikiran ini akan menjelaskan relevansi

perdebatan posisi dominan-dorman individu dalam ruang lingkup disiplin

sosiologi.

Redefinisi subyek yang disebut sebagai pemikiran paling kontemporer

dewasa ini dicetuskan oleh pemikir Slovenia sekaligus seorang marxis progresif

bernama “Slavoj Žižek”. Pemikiran Žižek terbilang komprehensif terlebih

dikarenakan Žižek masih hidup di era sosiologi kontemporer di mana perubahan-

perubahan sedari bahasan kapitalis hingga paham “Jalan Ketiga” masih dapat

diikuti. Žižek telah menghasilkan banyak buku dengan satu bukunya yang cukup

revolusioner, The Sublime Object of Ideology (1989) sekaligus menjadi karya

monumental Žižek, dan pengukuhan dirinya sebagai seorang filsuf yang

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang ... sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan

11

“berbahaya” serta patut diperhitungkan di era kontemporer dengan dengung “masih

adanya subyek radikal”.

Relevansi pemikiran Žižek kemudian dijelaskan dalam beberapa tema

pokok. Pertama, secara ontologis pemikiran Žižek adalah sebuah upaya pembelaan

atas kategori subyek dalam teori kontemporer. Kedua, penggunaan kembali

kategori ideologi. Ketiga, melalui penggunaan subyek dan ideologi lacanian, Žižek

mengupayakan pemahaman baru mengenai realitas kontemporer, yakni masyarakat

global-liberal-kapitalis.18 Gambaran masyarakat kontemporer dalam sosiologi

seiring perkembangannya juga disebut sebagai risk society (masyarakat beresiko).

Namun, pemikiran Žižek yang cenderung meloncat dan tidak memberikan cetusan

teori menjadi tantangan tersendiri dalam upaya membangun kembali subyek.

Terlebih yang menjadi persoalan di sini adalah Žižek sama sekali tidak

memperkenalkan arah atau isi perubahan masyarakat yang diharapkannya. Hal

tersebut kemudian menghasilkan asumsi bahwa Žižek pun tidak mempertegas

konsep subyek yang dimaksudkan dalam berbagai eksemplar pemikirannya

terutama konsep relevansi subyek dalam kajian sosiologi.

Merujuk pada persoalan keilmuan sosial dan humaniora di atas, yaitu

kurang ditemuinya pembahasan mengenai konsep relevansi subyek menurut Žižek

dalam kerangka kajian sosiologi yang sistematis serta kurangnya bahan-bahan

kajian Slavoj Žižek di Indonesia, kiranya menjadi sebuah tantangan tersendiri dan

terbilang orisinal untuk mengkaji pemikiran redefinisi subyek Žižek dalam tinjauan

18 Robertus Robet, Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era

Kapitalisme Global menurut Slavoj Žižek, Marjin Kiri, Jakarta, 2010, h. 18-19.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang ... sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan

12

metasosiologi. Diharapkan, hasil pengkajian ini nantinya dapat memberikan

sumbangsih pemikiran dalam memperkaya kazanah keilmuan sosial-humaniora

pada umumnya, dan disiplin sosiologi khususnya.

1.2 Rumusan Masalah

Mengacu berbagai uraian dan penjelasan dalam latar belakang

permasalahan di atas maka beberapa permasalahan pokok yang akan dikaji lebih

mendalam pada pembahasan (penelitian) ini dapat dirumuskan sebagai berikut,

1. Bagaimanakah konsep redefinisi subyek Slavoj Žižek dalam tinjauan

metasosiologi?

2. Di manakah letak posisi subyek Slavoj Žižek dalam berbagai paradigma

yang ada dalam sosiologi?

3. Bagaimanakah praksis dan relevansi konsep subyek Slavoj Žižek dewasa

ini?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian atas tinjauan metasosiologi redefinisi subyek Slavoj Žižek ini

dilakukan dengan beberapa tujuan sebagai berikut,

1. Memaparkan konsep pemikiran Slavoj Žižek mengenai redefinisi subyek

dalam kerangka tinjauan metasosiologi.

2. Melacak letak posisi subyek Slavoj Žižek dalam berbagai paradigma

pemikiran sosiologi.

3. Menjelaskan relevansi konsep subyek Slavoj Žižek dewasa ini.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfindividu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang ... sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan

13

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih

bagi pemahaman konsep redefinisi subyek menurut Slavoj Žižek dalam tinjauan

metasosiologi. Di sisi lain, penelitian ini ditujukan dalam rangka menambah

literatur terkait konsep subyek dan relevansinya di era kontemporer bagi mahasiswa

sosiologi pada khususnya, maupun akademisi atau pengamat sosial-politik yang

meminati isu terkait mengingat sumber literatur mengenai berbagai konsep

pemikiran Slavoj Žižek di tanah air masih dikatakan jarang dan sulit didapatkan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagaimana penulis sebutkan bahwa pemikiran Slavoj Žižek yang

membahas mengenai redefinisi subyek merupakan upaya pengembalian posisi

subyek yang seakan dihilangkan oleh para pemikir posmodern, strukturalis, hingga

postrukturalis di era kontemporer. Upaya ini tentunya memiliki manfaat dalam

peneguhan kembali identitas individu sebagai subyek baik di ranah sosial maupun

politik. Sekaligus memberikan tawaran jalan keluar terhadap kungkungan era masa

kini yang kita kenal sebagai era “masyarakat cair” maupun era masyarakat beresiko

(risk society).