bab i pendahuluan latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/s1-2013... ·...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di seluruh dunia penyakit gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan. Di Amerika serikat, insiden dan prevalensi gagal ginjal meningkat. Kurang lebih 26 juta orang dewasa di Amerika dan jutaan warga lain berisiko terkena gagal ginjal kronik (Lonkhorst dan Wish, 2010). Insiden penyakit GGK meningkat rata-rata 8% setiap tahunnya (Novoa dkk., 2010). Indonesia sendiri belum memiliki sistem registrasi yang lengkap dibidang penyakit ginjal, namun di Indonesia diperkiraan 100 per sejuta penduduk atau sekitar 20.000 kasus baru dalam setahun (Wahyuni, 2009 cit. Putra, 2012). Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif yang terjadi selama beberapa bulan hingga beberapa tahun (Wells dkk., 2009). Anemia merupakan salah satu komplikasi yang sering dijumpai hal ini terjadi pada sekitar 80-90% penderita gagal ginjal kronik (Lukito, 2008). Studi populasi yang dilakukan National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menyebutkan bahwa insidensi anemia pada GGK stadium 1 dan 2 kurang dari 10%, pada stadium 3 meningkat menjadi 20-40%, 50-60% pada stadium 4, dan menjadi lebih dari 70% pada stadium 5 (Lonkhorst dan Wish, 2010). Anemia yang berkepanjangan akan mempercepat proses memburuknya fungsi ginjal (Lukito, 2008). Anemia biasanya memberikan kontribusi yang buruk untuk

Upload: vothien

Post on 28-Apr-2018

227 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di seluruh dunia penyakit gagal ginjal kronik merupakan masalah

kesehatan. Di Amerika serikat, insiden dan prevalensi gagal ginjal meningkat.

Kurang lebih 26 juta orang dewasa di Amerika dan jutaan warga lain berisiko

terkena gagal ginjal kronik (Lonkhorst dan Wish, 2010). Insiden penyakit GGK

meningkat rata-rata 8% setiap tahunnya (Novoa dkk., 2010). Indonesia sendiri

belum memiliki sistem registrasi yang lengkap dibidang penyakit ginjal, namun di

Indonesia diperkiraan 100 per sejuta penduduk atau sekitar 20.000 kasus baru

dalam setahun (Wahyuni, 2009 cit. Putra, 2012).

Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif yang

terjadi selama beberapa bulan hingga beberapa tahun (Wells dkk., 2009). Anemia

merupakan salah satu komplikasi yang sering dijumpai hal ini terjadi pada sekitar

80-90% penderita gagal ginjal kronik (Lukito, 2008). Studi populasi yang

dilakukan National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)

menyebutkan bahwa insidensi anemia pada GGK stadium 1 dan 2 kurang dari

10%, pada stadium 3 meningkat menjadi 20-40%, 50-60% pada stadium 4, dan

menjadi lebih dari 70% pada stadium 5 (Lonkhorst dan Wish, 2010). Anemia

yang berkepanjangan akan mempercepat proses memburuknya fungsi ginjal

(Lukito, 2008). Anemia biasanya memberikan kontribusi yang buruk untuk

Page 2: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

2

kualitas hidup pada pasien gagal ginjal kronik (KDOQI, 2006) sehingga,

penanganan anemia yang tepat juga mengurangi progresifitas GGK.

Penyebab utama anemia adalah menurunnya kadar eritropoietin,

penanganan dengan eritropoietin memberikan outcome yang baik selain

peningkatan Hb, kualitas hidup juga membaik, namun obat ini relatif mahal

sehingga pemakaiannya terbatas sehingga dalam penanganan anemia masih

banyak digunakan transfusi darah karena cara yang paling cepat untuk

meningkatkan hematokrit pada pasien namun ada kemungkinan terjangkit

penyakit hepatitis B, C, dan juga HIV-AIDS (Lukito, 2008).

Biaya terapi yang dikeluarkan untuk penanganan GGK, berdasarkan

United Stated Renal Data System pada tahun 2010 total biaya ESRD (End-Stage

Renal Disease) 32,9 miliar dolar dan untuk biaya tiap orang per tahun sekitar

30,679 dolar (USRDS, 2012). Biaya langsung dalam penanganan penyakit GGK

ini menghabiskan sampai 2% dari anggaran sistem pelayanan kesehatan (Novoa

dkk., 2010) dan dilihat dari data yang dilaporkan United Stated Renal Data

System (USRDS) dari tahun ke tahun biaya yang dikeluarkan untuk penanganan

GGK semakin meningkat. Oleh karena itu, tidak bisa dielakkan dari tahun ke

tahun biaya pelayanan medis dan pelayanan kefarmasian semakin meningkat.

Disinilah peran farmasis sangat dibutuhkan, farmasis harus menjadi pemain

kunci dalam menjamin terapi obat dan pelayanan farmasi agar tidak hanya aman

dan efektif namun juga mempunyai nilai yang nyata dari sisi ekonomi dan

humanistic (Bootman dkk., 2005).

Page 3: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

3

Berdasarkan pertimbangan diatas peneliti merasa perlu melakukan

penelitian untuk mengetahui total biaya terapi dan outcome terapi pada

penggunaan transfusi darah dalam terapi anemia pada pasien gagal ginjal kronik.

Selain itu, perlu diketahui komponen yang mempengaruhi besarnya biaya terapi

yang digunakan untuk pengobatan anemia pada GGK serta faktor yang

mempengaruhi total biaya terapi.

Penelitian ini dilakukan di RSI Ibnu Sina. Rumah Sakit ini dipilih karena

merupakan RS dengan pelayanan lengkap dengan dokter-dokter spesialis dan

peralatan penunjang medis yang dibutuhkan, yang telah berkembang dan

mendapat kemajuan yang pesat, sehingga menjadi Rumah Sakit kebanggaan umat

islam di Provinsi Riau.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran pengobatan anemia dengan terapi transfusi darah pada

pasien gagal ginjal kronik ?

2. Berapa besar total biaya terapi yang dibutuhkan dalam terapi anemia dengan

transfusi darah, komponen biaya manakah yang memiliki kontribusi besar

dalam pembiayaan dan faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya total

biaya terapi anemia pada gagal ginjal kronik?

3. Bagaimana outcome terapi anemia menggunakan transfusi darah ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui gambaran pengobatan anemia dengan terapi transfusi

darah pada pasien gagal ginjal kronik.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

4

2. Untuk mengetahui total biaya terapi yang dibutuhkan dalam terapi anemia

dengan transfusi darah, komponen biaya yang memiliki kontribusi besar

dalam pembiayaan dan faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya total

biaya terapi anemia pada gagal ginjal kronik.

3. Untuk mengetahui outcome terapi anemia menggunakan transfusi darah.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi rumah sakit, salah satu sumber informasi tentang analisis total biaya

terapi pada terapi anemia dengan transfusi darah serta outcome terapinya.

2. Sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian selanjutnya.

3. Sebagai pendukung kemajuan ilmu kesehatan dalam bidang

farmakoekonomi.

E. Tinjauan Pustaka

1. Rumah Sakit Islam Ibnu Sina

Sebuah cita-cita untuk mendirikan Rumah Sakit Islam (YARSI) Riau

dimulai sejak tahun 1968. Rumah Sakit Islam Ibnu Sina merupakan suatu

bangunan monumental kebanggaan umat Islam baik di bumi Lancang Kuning

Riau. YARSI Riau didirikan pada tanggal 7 Januari 1980 dengan Akta

Pendirian No. 19/1980 dihadapan Notaris Syawal Sutan Diatas. Sejarah

dimulainya kegiatan pembangunan YARSI Riau diawali dengan lembaran

panjang sejarah sebuah gagasan. Pada mulanya, beberapa gagasan untuk

pendirian sebuah rumah sakit yang bernuansa Islami muncul dari keadaan

kebutuhan umat Islami akan pelayanan kesehatan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

5

YARSI Riau yang telah berganti badan hukum menjadi PT. SYIFA

UTAMA dengan salah satu unit bisnisnya, mengelola sebuah rumah sakit

dengan nama Rumah Sakit Islam (RSI) Ibnu Sina Pekanbaru telah

berkembang dan mendapatkan kemajuan yang pesat. Diawali dari sebuah

klinik yang mengontrak sebuah bangunan dengan satu dokter hingga kini

telah berkembang menjadi sebuah rumah sakit swasta dengan ciri

memberikan pelayanan secara islami lengkap dengan dokter-dokter spesialis

dan peralatan menunjang medis yang dibutuhkan.

Sekarang Rumah Sakit Ibnu Sina Pekanbaru terlah berumur 26 tahun

dengan kelebihan dan kekurangan tetap ada dalam melayani kesehatan

masyarakat dari berbagai penjuru Provinsi Riau maupun Provinsi tetangga.

2. Gagal Ginjal Kronik

a. Definisi GGK

Menurut K/DOQI gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal lebih dari 3

bulan, diperlihatkan dengan adanya abnormalitas struktur atau fungsional

ginjal, dengan atau tanpa penurunan glomerular filtration rate (GFR),

dengan manifestasi klinik yaitu abnormalitas patologi atau adanya marker

adanya kerusakan ginjal seperti abnormalitas komposisi darah atau urin, atau

abnormalitas pada imaging test (K/DOQI, 2002). Gagal ginjal kronik adalah

keadaan penurunan fungsi ginjal yang progresif selama beberapa bulan

sampai beberapa tahun (Wells dkk., 2009).

Page 6: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

6

b. Etiologi

Penyebab tersering penyakit gagal ginjal kronik antara lain, diabetes

mellitus, hipertensi, glomerulonephritis, penyakit ginjal polikistik, urologi,

dan lain-lain. Penyebab utama GGK adalah diabetes mellitus dan hipertensi

(O’Callaghan, 2006).

c. Patofisiologi

1. GGK karena hipertensi

Dampak primernya adalah kerusakan pada pembuluh darah ginjal akibat

tekanan meningkat. Pada dinding arteri interlobularis, otot digantikan oleh

jaringan skerolitik, dinding arteri aferen mengalami hialinisasi-deposit lipid

dan glikoprotein subintimia yang keluar dari plasma. Kerusakan pada

pembuluh resisten ini membuat endotel kapiler glomerulus terkena

hipertensi merusak hal ini menurunkan aliran darah dan filtrasi glomerulus,

dan memacu proteinuria (O’Callaghan, 2006).

2. GGK karena Diabetes

Hiperglikemia pada diabetes menyebabkan meningkatnya ekspresi NO

syntase (eNOS) di arteri aferen dan kapiler glomerulus. Hal ini memicu

vasodilatasi dan naiknya GFR, secara cepat menyebabkan disfungsi

endothelial dan perubahan hemodinamik, kehilangan glomerular basement

membrane (GBM) electric charge dan kekenyalan GBM, turunnya jumlah

podosyte yang menginisiasi luka pada glomerulus kemudian berkembang

menjadi glomerulosklerosis. Glomerulosklerosis ini terutama disebabkan

turunnya jumlah podosite (Novoa dkk., 2010).

Page 7: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

7

d. Faktor Risiko

Faktor risiko yang berkaitan dengan terjadinya gagal ginjal kronik antara

lain :

1. Susceptibility merupakan faktor yang meningkatkan resiko terjadinya

GGK. Meliputi usia lanjut, penurunan massa ginjal dan berat badan lahir

rendah, riwayat keluarga, tingkat pendidikan dan ekonomi rendah,

inflamasi sistemik, dan dyslipidemia.

2. Initiation merupakan faktor yang secara langsung menyebabkan

kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi dengan terapi obat, meliputi

diabetes, hipertensi, glomerulonephritis, autoimun, penyakit ginjal

polikistik, infeksi saluran kemih, bantu ginjal dan toksisitas obat.

3. Progression merupakan faktor risiko yang memperburuk kerusakan

ginjal. Meliputi glikemia, peningkatan tekanan darah, proteinuria,

obesitas dan merokok. (Wells dkk., 2009).

e. Manifestasi Klinik

Anemia, hiperparatiroidisme sekunder, penyakit kardiovaskular, malnutrisi,

abnormalitas cairan dan elektrolit, gejala uremia (lelah, sesak nafas,

kebingungan mental, mual muntah, pendarahan, anoreksia). Umumnya pada

pasien GGK stadium 5 mungkin juga mengalami gatal-gatal, intoleransi

dingin, berat badan menurun, dan perifer neuropati (Dipiro, 2008).

f. Klasifikasi GGK

GGK diklasifikasikan menjadi lima berdasarkan adanya kerusakan struktur

ginjal dan penurunan fungsi ginjal (kecepatan filtrasi ginjal/GFR).

Page 8: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

8

Tabel 1. Klasifikasi Gagal ginjal kronik

Stadium Deskripsi GFR

(mL/min/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan GFR

normal atau tinggi

≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan

penurunan GFR ringan

60-89

3 Penurunan GFR sedang 30-59

4 Penurunan GFR berat 15-29

5 Gagal ginjal <15

(KDOQI, 2006)

g. Diagnosis

Diagnosis GGK dapat diketahui dari hasil evaluasi laboratorium seperti :

1. Pemeriksaan serum kreatinin untuk estimasi GFR (Glomerular filtration

rate)

2. Rasio protein dengan kreatinin atau albumin dengan kreatinin pada

sampel urin di pagi hari

3. Pemeriksaan endapan urin

4. Melihat keadaan ginjal menggunakan USG

5. Elektrolit darah seperti natrium, kalium, klorida, bikarbonat (K/DOQI,

2002).

h. Komplikasi

Banyak komplikasi timbul seiring dengan penurunan fungsi ginjal antara

lain :

Page 9: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

9

1. Anemia pada penyakit gagal ginjal kronik disebabkan oleh produksi

eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal.

2. Dehidrasi, hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi

natrium dan air akibat hilangnya nefron. Namun demikian, beberapa

pasien tetap mempertahankan sebagian filtrasi, namun kehilangan fungsi

tubulus, sehingga mengeksresi urin sangan encer, yang dapat

menyebabkan dehidrasi.

3. Hiperparatiroidisme

4. Hyperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat

penurunan katabolisme trigliserida.

5. Uremia

6. Fungsi imumologis terganggu pada gagal ginjal kronik, uremia menekan

fungsi sebagian besar imun.

7. Malnutrisi

8. Penyakit jantung (O,Callaghan, 2006).

i. Komorbid

Pasien dengan GGK mengalami berbagai kondisi komorbid. Kormorbiditas

adalah keadaan lain selain penyakit utama (dalam hal ini GGK). Komplikasi

seperti hipertensi, anemia, malnutrisi, penyakit tulang dan neuropathy tidak

termasuk dalam komorbid. Ada tiga tipe komorbid yaitu penyakit yang

menyebabkan GGK (contoh : diabetes dan tekanan darah tinggi), penyakit

yang tidak berkaitan dengan GGK, dan penyakit kardiovaskuler (K/DOQI,

2002).

Page 10: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

10

j. Terapi

Terapi pada GGK lebih pada pengatasan gejala yang muncul.

1. Anemia

Diobati dengan eritropoietin, setelah dipastikan tidak ada pendarahan dari

saluran pencernaan atau menstruasi berlebihan serta kadar besi, folat dan

vitamin B12 adekuat (O’callaghan, 2006) atau pada kondisi mendesak

menggunakan transfusi darah.

2. Hipertensi

Tekanan darah target untuk pasien GGK 130/80mmHg. ACE inhibitor atau

ARB merupakan first line untuk pasien hipertensi dengan GGK (Carrol,

2006)

3. Diabetes

Target kadar HgbA1C < 7% (Carrol, 2006) dan target glukosa darah

prepandrial 70 -120 mg/dl dan postpandrial <180 mg/dL.

4. Proteinuria

Ditemukan sejumlah protein dalam urin. Hal ini biasa terjadi seiring

dengan meningkatnya keparahan penyakit GGK. Jika rasio albumin

dengan kreatinin > 0,3 sebaiknya diterapi dengan ACEI atau ARB (Carrol,

2006).

5. Dyslipidemia

Obat yang dianjurkan golongan statin tidak ada penyesuaian dosis

(Abboud, 2010).

6. Penyakit tulang

Page 11: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

11

Diobati dengan mengurangi asupan fosfat, mengonsumsi senyawa

pengikat fosfat bersama makanan, dan mengkonsumsi vitamin D3 atau

1,25-dihidroksi-vitamin D3 (O’callaghan, 2006).

3. Anemia pada Gagal Ginjal Kronik

a. Eritropoiesis

Eritropoiesis merupakan proses terbentuknya sel darah merah yang terjadi di

sumsum tulang. Eritropoiesis diatur oleh regulator humural eritropoietin

(EPO) (Notopoero, 2007). Eritropoietin merupakan protein retglikosilasi

tinggi yang mengandung 165 asam amino. Protein ini berinteraksi dengan

reseptor eritopoietin (EpoR) yang homolog dengan reseptor faktor

pertumbuhan lainnya. Ginjal merupakan sumber utama eritropoietin, yaitu

faktor pertumbuhan hematopoietic yang memacu pembentukan sel darah

merah, eritropietin meningkatkan produksi retikulosit dan pelepasan dini

retikulosit dari sumsum tulang (O’callaghan, 2006). Ketika ginjal mendeteksi

rendahnya kadar oksigen di darah maka ginjal akan melepaskan hormon yang

tersebut EPO yang akan menuju sumsum tulang merah untuk menstimulasi

pembentukan sel darah merah (Lankhorst dan Wish, 2010).

b. Definisi Anemia

Anemia adalah sekelompok gangguan yang dikarakterisasi dengan

penurunan hemoglobin atau sel merah (SDM), berakibat pada penurunan

kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah (Wells, 2009). Menurut

Guideline snemia KDOQI 2006, kadar hemoglobin (Hb) pada anemia adalah

<13.5 g/dL untuk laki-laki dan 12.0 g/dL untuk wanita. Target Hb yang

Page 12: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

12

diharapkan pada anemia karena GGK adalah ≥11g/dL dengan Tsat >20%

untuk terapi menggunakan ESAs (KDOQI, 2006; Hudson, 2008).

Anemia dapat terjadi pada semua stadium GGK, prevalensi dan

keparahannya berkorelasi dengan penurunan GFR. Prevalensi anemia

meningkatkan ketika GFR kurang dari < 60 mL/menit/173m2. Berdasarkan

survey yang dilakukan National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES). Adanya kenaikan prevalensi anemia 5% pada stadium 3 GGK

menjadi 44% pasien stadium 4, semua pasien stadium 5 akan menderita

anemia (Berns dkk., 2006).

c. Etiologi

Sebab-sebab terjadinya anemia adalah sebagai berikut :

a) Defisiensi

zat-zat tersebut antara lain, zat besi, vitamin B12, asam folat dan

pyridoxine.

b) Pusat

karena gangguan fungsi sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh

anemia penyakit kronik, anemia pada lansia dan kanker sumsum tulang.

c) Peripheral

1. Pendarahan (hemorrhage)

2. Hemodialisis (anemia hemodialisis)

d. Patofisiologi Anemia karena GGK

Faktor yang dianggap paling berperan adalah menurunnya produksi

eritropoietin, eritropoietin dihasilkan oleh ginjal dan sebagian kecil oleh

Page 13: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

13

hepar. Fungsi eritropoietin adalah merangsang sel progenitor eritroid untuk

berdiferensiasi dan maturasi sehingga menghasilkan eritroblas dan

mempercepat pelepasan retikulosit. Pada ginjal yang sehat bila terjadi

penurunan konsentrasi hemoglobin dan saturasi oksigen dalam darah, maka

hipoksia yang terjadi akan merangsang pembentukan eritropoietin sampai

100-1000 mU/ml. sedangkan pada gagal ginjal kronik, rangsangan

hipoksemia karena anemia akan menyebabkan ginjal tidak menghasilkan

eritropoietin, hal ini disebabkan oleh sel-sel yang memproduksi eritropoietin

sudah rusak, jadi pasien dengan gagal ginjal kronik mempunyai respon

eritropoietin yang submaksimal terhadap stimulus anemia (Lukito, 2008).

e. Manifestasi klinik

Tanda dan gejala tergantung pada onset, penyebab anemia dan individu.

Anemia onset akut dikarakterisasi dengan gejala kardiorespiratori seperti

takikardia, kepala terasa ringan, dan sesak napas. Anemia kronis

dikarakterisasi dengan rasa lelah, letih, vertigo, pusing, sensitif terhadap

dingin, pucat, dan hilang skin tone. Orang dewasa normal dapat mentoleransi

anemia lebih baik daripada orang yang sudah tua.

Anemia defisiensi besi dikarakterisasi dengan rasa tidak enak pada lidah,

penurunan aliran saliva, pagophagia (compulsive eating of ice). Anemia

defisiensi vitamin B12 dan asam folat dengan kulit pucat, icterus, dan atropi

mukosa gastrik (Sukandar dkk., 2009). Anemia yang terjadi dalam jangka

waktu yang lama akan berakibat pada banyak hal, diantaranya menyebabkan

kenaikan cardiac output untuk mengimbangi turunnya kapasitas oksigen

Page 14: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

14

yang dibawa darah yang akan menyebabkan naiknya stroke volume dan

denyut jantung, terjadinya penurunan fungsi kognitif, hiperprolaktinemia,

defisiensi hormon pertumbuhan, kerusakan pada hormon seks, dan terjadinya

pendarahan (Macdougall, 2011).

f. Diagnosis Anemia

Pada pasien GGK dengan GFR kurang dari 60 ml/menit/1.73 m2 harus

dievaluasi tejadinya anemia (Macdougall, 2011), kadar Hb pada anemia

adalah <13.5 g/dL untuk laki-laki dan <12.0 g/dL untuk wanita (KDIGO,

2012).

Tes laboratorium yang diperlukan dalam penegakan diagnosis anemia pada

GGK:

1. Pemeriksaan darah lengkap (Complete Blood Count/CBC)

Pemeriksaan ini meliputi konsentrasi Hb, indeks sel darah merah (mean

corpuscular hemoglobin, mean corpuscular volume, mean corpuscular

hemoglobin consentration).

2. Absolute reticulosyte count

Retikulosit dilepaskan ke sirkulasi darah kira-kira dua hari sebelum matang

menjadi sel darah merah. Reticulosyte count dapat memperkirakan jumlah

dan persentase retikulosit di sirkulasi darah. Normalnya, reticulosyte count

berkisar 1-2% dari sel darah merah di sirkulasi darah. Ketika terjadi anemia,

retikulosit dalam jumlah yang lebih besar dilepaskan ke darah sehingga

menaikkan jumlah dan persentasenya.

3. Level ferritin serum

Page 15: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

15

Feritin merupakan parameter untuk menilai cadangan besi tubuh. Jika

kurang dari 100 µg/L. menandakan butuh suplemen besi. Pada ACD

(anemia chronic disease) konsentrasinya normal atau meningkat.

4. Saturasi transferrin serum (TSAT)

Jika terjadi penurunan menjadi >20% maka menunjukkan adanya

kekurangan besi.

5. Kadar vitamin B12 level asam folat

Kadang tidak umum dilakukan pemeriksaan, tetapi penting untuk diterapi

pada kasus anemia khususnya yang terjadi sel darah merah makrositik.

6. TIBC (Total Iron Binding Capacity)

7. Kadar besi

Pada IDA (iron deficiency anemias/ anemia karena kekurangan besi) dan

pada ACD (anemia chronic disease/ anemia penyakit kronik)

konsentrasinya rendah (Ineck dkk., 2008; Lankhorst dan Wish, 2010;

KDIGO, 2012).

g. Jenis Anemia

Anemia diklasifikasikan berdasarkan ukuran sel darah merah yaitu anemia

makrositik berarti ukuran sel darah merah lebih besar dari normal, hal ini

terkait dengan defisiensi vitamin B12 atau asam folat, anemia mikrositik

yaitu ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal dan terjadi akibat

defisiensi zat besi, anomali genetik (sickle cell anemia, thalassemia,

hemoglobinopati lainnya ) dan anemia normositik yaitu ukuran sel darah

Page 16: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

16

merah tetap normal dan ini terjadi pada keadaan penyakit kronis dan

kehilangan darah (Wells dkk., 2009; Sukandar, 2009).

Anemia yang terjadi pada GGK merupakan anemia normokromik

normocytic karena anemia yang terjadi disebabkan oleh turunnya sintesis

eritropoietin (Macdougall, 2011).

h. Tatalaksana Terapi Anemia

1. Asam folat menstimulasi produksi sel darah merah, sel darah putih dan

platelet pada anemia megaloblastik (Sukandar dkk, 2009).

2. Vitamin B12, suplemen vitamin B12 oral sama efektifnya dengan parenteral

meskipun pada beberapa pasien dengan anemia pernisiosa, karena jalur

absorpsi vitamin B12 alternatif tidak dipengaruhi faktor intrinsik (Sukandar

dkk., 2009).

3. Hemodialisis

4. Eritropoietin Stimulating Agent (ESA)

ESA adalah semua agen yang menambah aksi eritropoesis pada reseptor

eritropoetin secara langsung maupun tidak langsung. ESA yang tersedia

saat ini seperti epoetin alfa, epoetin beta, dan darbepoetin (KDOQI, 2006).

5. Terapi besi

Keputusan untuk memberikan pasien dengan terapi besi harus didasarkan

pada pertimbangan kadar Hb yang diinginkan. Suplemen besi baik oral

atau IV telah dipertimbangkan dan tepat yang diharapkan menguntungkan

(KDIGO, 2012). Pasien seharusnya tetap diberikan suplemen besi

Page 17: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

17

meskipun sudah mendapatkan terapi ESAs karena secara farmakologi

induksi eritropoiesis dibatasi oleh ketersedian zat besi (Nukro, 2007).

6. Transfusi darah

Transfusi darah merupakan lini ketiga dalam terapi anemia pada GGK

(Ineck dkk., 2008). Penggunaan transfusi darah perlu dipertimbangkan

antara manfaat dan kerugiaannya. Manfaatnya menjaga ketersediaan

oksigen (KDIGO,2012). Transfusi darah kadang diperlukan, khususnya

dalam pengaturan perdarahan akut (KDOQI, 2006).

i. Transfusi Darah

Transfusi darah masih banyak digunakan dalam penanganan anemia karena

cara yang paling cepat untuk meningkatkan hemtokrit pada pasien namun ada

kemungkinan terjangkit penyakit hepatitis B, C, dan juga HIV-AIDS (Lukito,

2008). Risiko lain adalah terjadi overlood zat besi karena penggunaan

transfusi dalam jangka waktu berbulan-bulan hingga hitungan tahun akan

menyebabkan terjadinya ketergantungan terhadap supplay sel darah merah

dari luar (KDIGO, 2012). Karena itu transfusi darah hanya diberikan pada

keadaan khusus, yaitu :

1) Ketika kadar Hb <7g/dL atau ketika anemia kronik menunjukkan gejala

yang parah.

2) Tidak memungkinkan untuk dilakukan terapi menggunakan eritropoietin.

Transfusi darah diberikan ketika dengan pemberian ketika dengan

pemberian terapi ESA tidak efektif seperti pada keadaan

hemoglobinopathies, bone marrow failure, ESA resistence dan

Page 18: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

18

penggunakan ESA lebih banyak kerugian daripada keuntungan disebabkan

kondisi pasien (KDIGO, 2012).

3) Pengobatan anemia pada situasi klinik mendesak

Contoh : terjadi hemorragi (pendarahan akut), pada unstable coronary

artery disease dan pada tindakan dialysis. Transfusi darah dapat diberikan

secara bertahap bersamaan dengan waktu hemodialisis untuk menghindari

kelebihan cairan (Prodjosudjadi dan Lydia, 2001).

Dalam memutuskan penggunaan terapi anemia tidak hanya didasarkan pada

kadar Hb saja namun juga memperhatikan gejala yang muncul (KDIGO, 2012).

Berdasarkan PERNEFRI tahun 2012 menyebutkan transfusi darah dilakukan jika

kadar Hb < 7 g/dL. Target terapi transfusi darah menurut PERNEFRI tahun 2012

adalah 7 - 9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi ESA). Pada kadar Hb

≥ 7 g/dL diketahui pasien juga mendapatkan transfusi darah hal ini, dapat terjadi

jika gejala anemia yang ada menyebabkan pasien tidak bisa beraktivitas tanpa

diobati terlebih dahulu anemia yang diderita, sehingga harus ditransfusi (Sharma

dkk., 2011). Kadar Hb optimum (transport oksigen terbesar pada kondisi energi

kecil) adalah pada Hb 10 g/dL.

4. Evaluasi Farmakoekonomi

a. Pengertian Farmakoekonomi

Farmakoekonomi adalah deskripsi dan analisis biaya terapi menggunakan

obat untuk memelihara fungsi kesehatan dan sosial. Penelitian

farmakoekonomi adalah proses identifikasi, mengukur, dan membandingkan

harga (yang akan dikeluarkan konsumen) dengan konsekuensi (klinik,

Page 19: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

19

ekonomi, humanistic) dari produk dan pelayanan kefarmasian (Bootman,

2005).

b. Kategori Biaya

1) Biaya medis langsung (direct medical cost) adalah biaya yang harus

dibayarkan untuk pelayanan kesehatan. Biaya ini meliputi biaya pengobatan,

tenaga medis, biaya tes laboraturium, dan biaya pemantauan efektivitas dan

efek samping (Kulkarni dkk., 2009).

2) Biaya medis tidak langsung (direct non medical cost) adalah biaya yang

harus dikeluarkan secara langsung yang tidak terkait langsung dengan

pembelian produk atau jasa pelayanan kesehatan. Biaya yang termasuk

didalamnya adalah biaya transportasi dari dan ke rumah sakit, makanan untuk

keluarga pasien (Kulkarni dkk., 2009).

3) Biaya tidak langsung (indirect cost) adalah biaya yang dapat mengurangi

produktivitas pasien maupun keluarga, kehilangan pendapatan karena tidak

biasa bekerja akibat sakit, kehilangan waktu (Kulkarni dkk., 2009).

4) Biaya tidak teraba (intangible cost) adalah biaya yang berhubungan dengan

rasa sakit pasien dan penderitaannya, khawatir tertekan, efek nya pada

kualitas hidup. Kategori ini tidak bias diukur dalam matar uang, namun

sangat penting bagi pasien maupun dokter (Kulkarni dkk., 2009).

c. Perspektif Analisis

Perspektif adalah sudut pandang mana yang diambil peneliti dalam

melakukan evaluasi farmakoekonomi. Perspektif analisis terbagi menjadi

empat, yaitu :

Page 20: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

20

1) Perspektif pasien yaitu pasien mendapatkan pelayanan kesehatan dengan

biaya yang murah

2) Perspektif penyedia pelayanan kesehatan yaitu menyediakan pelayanan

kesehatan yang diperlukan masyarakat.

3) Perspektif pembayar (perusahaan asuransi) yaitu membayarkan biaya terkait

dengan pelayanan kesehatan yang digunakan peserta asuransi selama

pelayanan kesehatan yang digunakan peserta termasuk dalam tanggungan

perusahaan bersangkutan. Menyusun program pelayanan kesehatan yang

lebih efektif sehingga nantinya dapat memberikan keuntungan bagi

perusahaan.

4) Perspektif masyarakat yaitu masyarakat menggunakan pelayanan kesehatan

untuk mencegah terjangkitnya berbagai penyakit, seperti program

pencegahan penyakit dengan imunisasi (Vogenberg, 2001).

d. Metode Evaluasi Farmakoekonomi

Metode evaluasi farmakoekonomi yang sering digunakan :

1) Cost Analysis

Cost analysis sering disebut cost of illness (COI) atau biaya yang

dikeluarkan dalam pengobatan. COI merupakan gabungan 3 komponen

yaitu biaya medik, biaya non medik yang berhubungan dengan pengobatan,

dan biaya tak langsung. Kadang juga dilakukan perhitungan biaya yang tak

teraba. Metode ini dapat mengidentifikasi biaya total yang timbul akibat

penyakit atau biaya terapi namun, tidak membandingkan kemanjuran/

efficacy dari terapi atau penggunaan obat yang satu dengan obat yang

Page 21: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

21

lainnya. Meskipun demikian metode ini menunjukkan berapa biaya total

sesungguhnya dan dapat mengidentifikasi biaya-biaya tersembunyi (hidden

cost).

2) Cost Minimization Analysis (CMA)

Metode ini mmbandingkan biaya total penggunaan 2 obat atau 2

intervensi yang efikasi dan efek samping atau outcome di anggap

ekuivalen (Bootman, 2005).

3) Cost Effectiveness Analysis (CEA)

CEA membandingkan program atau alternatif perlakuan yang memiliki

profil keamanan dan efikasi yang berbeda. Dua atau lebih program yang

dibandingkan dengan CEA harus memiliki outcome klinik yang sama

dalam psysical unit (misal penurunan nilai HbA1c, tekanan darah). Biaya

dihitung dalam unit mata uang, sedangkan keluarannya dinyatakan dalam

unit natural atau unit selain mata uang. Yang terpilih adalah program yang

memiliki biaya rendah dengan efektifitas tinggi (Vogenberg, 2001).

4) Cost Benefit Analysis (CBA)

Cost Benefit analysis merupakan tipe analisis yang mengukur biaya dan

manfaat suatu intervensi dengan ukuran moneter dan pengaruhnya

terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat digunakan untuk

membandingkan perlakuan yang beda untuk kondisi yang berbeda

(Vogenberg, 2001).

5) Cost Utility Analysis (CUA)

Page 22: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

22

Cost utility analysis merupakan tipe analisis yang membandingkan

biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan

peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan. Metode ini

menggunakan satuan pengukuran Quality Adjusted Life Years (QALYs)

yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas hidup. Dianggap sub

kelompok CEA (cost effective analysis) karena pengukurannya

menggunakan efektivitas biaya dan menyesuaikan dengan nilai kualitas

hidup (Vogenberg, 2001).

Page 23: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

23

F. Kerangka Konsep

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

Terapi Transfusi Darah dalam

pengobatan anemia pada GGK Karakteristik Pasien:

1. Jenis Kelamin

2. Usia

3. Kelas Perawatan

4. Cara Bayar

5. Stadium GGK

6. Penyakit Penyerta

7. Lama Perawatan Biaya Terapi

Biaya Medis Langsung

1. Biaya Transfusi Darah

2. Biaya Alat Kesehatan

3. Biaya Obat Penyakit Lain

4. Biaya Anemia

5. Biaya Hemodialisis

6. Biaya Pemeriksaan

7. Biaya Layanan Rumah

Sakit

Total Biaya Terapi Analisis faktor yang mempengaruhi Total Biaya

Terapi

Outcome Terapi

transfusi darah

1. Pencapaian

target terapi

transfusi

darah

2. Peningkatan

Kadar Hb

Biaya Non

Medis

1. Biaya

Administrasi

2. Biaya Kamar

3. Biaya

Pendaftaran

Page 24: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... · 1. Untuk meng etahui gambaran pengobatan anemi a dengan terapi transfusi darah pada

24

G. Keterangan Empiris

Dengan dilakukannya penelitian ini dapat diketahui total biaya

terapi dalam menjalani terapi pada pasien anemia dengan transfusi darah

pada pasien gagal ginjal kronik rawat inap di RSI Ibnu Sina tahun 2012.

Penelitian ini juga dapat melihat gambaran terapi yang digunakan dalam

pengatasan anemia, dapat menentukan komponen biaya penyusun,

menghitung persentasenya sehingga diketahui komponen biaya manakah

yang memiliki kontribusi besar dalam pembiayaan dan melihat faktor

manakah yang mempengaruhi besarnya biaya terapi. Selain itu, dapat

melihat outcome terapi anemia menggunakan transfusi darah dengan

melihat persentase pasien yang mencapai target terapi dilihat dari kadar

Hb ≥ 7 g/dl dan kenaikan kadar Hb.