bab i pendahuluan latar belakang masalaheprints.umm.ac.id/38821/2/bab 1.pdf · memindahkan...

13
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya Sastra merupakan salah satu bentuk ekspresi jiwa yang didasari oleh berbagai persepsi, sikap, sudut pandang, serta tanggapan-tanggapan dari pemikiran seorang pengarang terhadap kejadian yang terjadi di sekitarnya. Terciptanya sebuah karya tidak lepas dari peran pengarang itu sendiri atas pengalaman pribadinya mengenai suatu peristiwa atau kejadian yang bersinggungan dengan batinnya. Seperti yang dikatakan Luxemburg (dalam Purba,2012:3) ciri tentang sastra salah satunya ialah merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah hasil imitasi. Karya sastra merupakan suatu hasil luapan emosi yang muncul secara spontan. Dapat disimpulkan proses penciptaan karya sastra terjadi dari hasil pemikiran, renungan, terhadap sebuah pandangan yang terjadi di kehidupan sekitar. Hasil dari perenungan tersebut akan dicampur adukkan dengan ilmu pengetahuan, dan dari proses itu terjadi sebuah hasil karya yang bisa disebut dengan karya sastra. Karya sastra ialah sebuah wujud keindahan. Menurut Sumardjo (1988:5) karya sastra bukan hanya mengejar bentuk ungkapan yang indah. Karya sastra juga menyangkut masalah isi ungkapan, bahasa ungkapannya, dan nilai ekspresinya. Wujud keindahan tersebut dilihat sebagai suatu nilai yang tinggi bagi para penikmatnya. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa karya sastra memiliki beberapa keunggulan seperti keaslian, maupun keartistikan di dalam isi maupun ungkapannya.

Upload: others

Post on 16-Jan-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya Sastra merupakan salah satu bentuk ekspresi jiwa yang didasari oleh

berbagai persepsi, sikap, sudut pandang, serta tanggapan-tanggapan dari

pemikiran seorang pengarang terhadap kejadian yang terjadi di sekitarnya.

Terciptanya sebuah karya tidak lepas dari peran pengarang itu sendiri atas

pengalaman pribadinya mengenai suatu peristiwa atau kejadian yang

bersinggungan dengan batinnya. Seperti yang dikatakan Luxemburg (dalam

Purba,2012:3) ciri tentang sastra salah satunya ialah merupakan sebuah ciptaan,

sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah hasil imitasi. Karya sastra merupakan

suatu hasil luapan emosi yang muncul secara spontan. Dapat disimpulkan proses

penciptaan karya sastra terjadi dari hasil pemikiran, renungan, terhadap sebuah

pandangan yang terjadi di kehidupan sekitar. Hasil dari perenungan tersebut akan

dicampur adukkan dengan ilmu pengetahuan, dan dari proses itu terjadi sebuah

hasil karya yang bisa disebut dengan karya sastra.

Karya sastra ialah sebuah wujud keindahan. Menurut Sumardjo (1988:5)

karya sastra bukan hanya mengejar bentuk ungkapan yang indah. Karya sastra

juga menyangkut masalah isi ungkapan, bahasa ungkapannya, dan nilai

ekspresinya. Wujud keindahan tersebut dilihat sebagai suatu nilai yang tinggi bagi

para penikmatnya. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa karya sastra memiliki

beberapa keunggulan seperti keaslian, maupun keartistikan di dalam isi maupun

ungkapannya.

2

Keindahan dapat diartikan dengan estetika. Sugiarti (2014:135)

mengatakan bahwa estetika itu pada dasarnya merupakan suatu kenyataan yang

telah diberi interpretasi oleh pengamatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa sastra

merupakan ilmu yang memiliki unsur keindahan pada cerita yang memiliki

sebuah pemaknaan dalam kata-katanya. Sastra terdiri dari dua jenis, yaitu fiksi

dan nonfiksi. Sastra fiksi terdiri dari karya prosa, puisi, naskah drama dan novel.

Sastra nonfiksi terdiri dari esai, kritik sastra, biografi, otobiografi. Objek

penelitian ini akan difokuskan pada novel.

Novel merupakan bentukan dari karya sastra fiksi berbentuk prosa.

Menurut The American College Dictionary (dalam Purba,2012:62) suatu cerita

berbentuk prosa yang fiktif dengan panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh,

gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu

keadaan yang agak kacau atau kusut. Jadi dapat disimpulkan bahwa novel

merupakan karya sastra prosa hasil peniruan terhadap kegiatan sekitar yang

berisikan suatu pesan maupun nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman dalam

hidup. Amanat dan nilai yang terkandung nantinya akan dikemas dengan alur

cerita dan koflik-konflik novel yang membuat cerita tersebut lebih berkesan dan

tidak monoton.

Pembaca memiliki peranan penting terhadap penilaian yang diberikan

kepada suatu novel. Novel yang memiliki alur cerita yang bagus yang akan

membuat pembaca merasa tertarik. Ketertarikan tersebut yang akan membuat

sebuah novel menjadi best seller. Salah satu contohnya dan menjadi objek

penelitian kali ini adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Ahmad Tohari adalah sastrawan Indonesia yang lahir di daerah Tianggarjaya,

Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah pada tanggal 13 Juni 1948. Beliau dikenal

sebagai penulis yang menggunakan gaya bahasa lugas, jernih dan sederhana selain

3

disamping kekuatannya yaitu metafora dan ironi. Kekuatan lain yang beliau miliki

ialah terletak pada penggambaran latar alam pedesaan yang lengkap dengan potret

dunia flora dan fauna.

Sastra disebarluaskan melalui bantuan berbagai media. Karya sastra

dipublikasikan di koran, majalah dan juga di dalam berbagai media elektronik.

Fungsi media sangat besar terhadap karya sastra. Nyoman (2014:205) berpendapat

bahwa karya sastra sebagai produk sebuah kebudayaan berkembang menjadi

kebudayaan massa karena diproduksi secara bersama-sama melalui media film,

baik itu radio dan televisi. Jadi dapat disimpulkan bahwa, seiring berjalannya

waktu pada era kali ini tidak hanya sastra tulis yang banyak digemari tetapi karya

sastra mulai sering untuk dikenalkan melalui film. Oleh karena itu, film dan sastra

sangat berhubungan baik dan erat karena banyak karya novel yang dialih

wahanakan menjadi cerita film.

Film merupakan gabungan dari berberapa macam jenis kesenian yaitu seni

musik, seni rupa, drama, sastra serta ditambah dengan sedikit unsur fotografi.

Salah satu media penyebarluasan karya sastra ialah melalui media film. Menurut

Eneste (1991:60) baik tidaknya suatu film akan sangat bergantung pada

keharmonisan kerja unit-unit yang ada di dalamnya (produser, penulis skenario,

sutradara, juru kamera, penata artistik, perekam suara, para pemain, dan lain-lain.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa suksesnya sebuah karya film

tergantung dari kekompakan hasil kerja sebuah tim.

Secara umum pembentuk film memiliki dua unsur, yaitu unsur naratif dan

unsur sinematik (Pratista,2008:1). Unsur naratif adalah bahan atau materi yang

akan diolah, unsur sinematik adalah gaya atau cara untuk mengolahnya. Unsur

sinematik terbagi menjadi empat elemen pokok yakni, mis-en-scene,

sinematografi, editing, dan suara. Sastra dengan film tidak akan berhenti sebagai

4

salah satu lembaga sosial, melainkan sekaligus juga sebagai sosialisasi tata nilai.

Sosialisasi tata nilai terjadi karena adanya campur tangan unsur pengetahuan dan

kemajuan teknologi dan informasi yang dikemas dengan baik dan apik melalui

industri kreatif yang mendukungnya.

Proses perubahan alih wahana dari novel ke film disebut dengan

Ekranisasi. Ekranisasi dapat diartikan lebih tajam dari pada istilah adaptasi. Hal

itu berarti sebuah adaptasi hanya mengangkat cerita atau tokoh novel, sedangkan

ekranisasi berarti pemindahan novel ke layar putih atau dengan kata lain,

memfilmkan novel (Eneste,1991:11). Proses pemindahan bukan hanya untuk

memindahkan kata-kata menjadi bentuk visualisasi yang bisa di lihat dalam

bentuk gambar bergerak dan berkelanjutan. Begitupun sebaliknya, kini bukan

hanya alih wahana dari sebuah novel menjadi film tetapi alih wahana dari film

diangkat menjadi suatu novel. Dalam karya film sutradara juga berhak memberi

interpretasi sendiri terhadap skenario, sehingga terjadilah resepsi atas sebuah

resepsi.

Sutradara juga dapat memberi interpretasi sendiri terhadap skenario,

sehingga terjadilah resepsi atas sebuah resepsi. Sebuah novel atau cerpen yang

ditransformasikan ke bentuk film akan mengalami perubahan. Pengalihan atau

perubahan bentuk karya seni tersebut adalah hal yang biasa (Istadiyantha,2015:4).

Proses perubahan yang terjadi dianggap wajar karena perbedaan sistem sastra

dengan sistem film. Oleh karena itu dapat disimpulkan, menganalisis mengenai

proses perbedaan dan proses penikmatan pada novel ke bentuk film bukan hanya

disebabkan oleh perbedaan sistem sastra dan sistem film, tetapi terpenting ialah

karya sastra yang menghasilkan sebuah karya baru dengan makna dan cara

penyampaian yang baru pula, serta menjadi konsumsi para penikmat karya sastra.

5

Dalam proses penikmatan tersebut terjadi pro dan kontra terhadap karya

yang diekranisasikan. Pada proses ini menghasilkan ketidakpuasaan dan

kekecewaan yang tidak hanya datang dari pihak pengarang, penonton film bahkan

sering kecewa menonton film yang didasarkan pada novel tertentu. Eneste

(1991:10) menyebutkan, penonton kecewa menyaksikan film Doctor Zhivago

yang disutradarai David Lean. Filmnya tidak sebagus novel Doctor Zhivago karya

Boris Pasternak. Dalam novel, pembaca dapat membaca bagian-bagian yang

sangat halus dan menyentuh sisi kemanusiaan, sedangkan dalam film tidak di

jumpai hal tersebut. Contoh lainnya, novel Cintaku di Kampus Biru karya

Ashandi Siregar difilmkan oleh Ami Prijono (1976). Jadi dapat disimpulkan,

Sebagian para penonton menyatakan bentuk rasa kecewa yang terjadi karena tidak

cocoknya jalan cerita film ataupun karakter tokoh dibandingkan dengan novel

aslinya.

Proses perubahan dalam ekranisasi mengalami bentuk penciutan,

penambahan dan perubahan bervariasi terutama pada unsur pembangun yaitu

unsur intrinsik jalan cerita/alur, penokohan, latar, suasana, gaya, dan tema/amanat

novel ke film. Eneste (1991:61) menyatakan ekranisasi berarti terjadinya

perubahan pada proses penikmatan, yakni dari kegiatan membaca menjadi

menonton; penikmatnya sendiri berubah dari pembaca menjadi penonton.

Proses perubahan ekranisasi terjadi dikarenakan beberapa hal. Pertama,

film mempunyai keterbatasan teknis dan mempunyai waktu putar yang sangat

terbatas. Oleh karena itu, tidak mungkin memindahkan cerita novel secara

keseluruhan ke dalam film. Dengan demikian, para sutradara dengan terpaksa

melakukan penciutan atau pemotongan atas bagian-bagian tertentu, dan akhirnya

film tersebut tidak “selengkap” novelnya. Kedua, karena pertimbangan tertentu,

sutradara sebagai pembuat film dengan terpaksa menambahi bagian-bagian

6

tertentu dalam film, walaupun bagian yang ditambahi itu tidak ditemui dalam

novel. Dengan adanya penambahan ini, mungkin penulis merasa “tersinggung”

karna karyanya yang sudah dirasa sempurna masih ditambah-tambahi oleh

pembuat film. Ketiga, dalam proses mengekranisasi pembuat film merasa perlu

untuk membuat variasi dalam film, sehingga kesan film yang didasarkan atas

novel tidak “seasli” novelnya.

Pada penelitian ini difokuskan pada Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk

yang diangkat menjadi sebuah film dengan judul Sang Penari. Ketiga novel

tersebut yaitu Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera

Bianglala. Menurut Sugiarti (2011:194) ketiga novel tersebut merupakan satu

kesatuan pemikiran besar yang dikemas secara terpadu dan menarik. Film tersebut

berlatar di sebuah pedesaan, garis besar cerita diangkat dari salah satu cerita

rakyat daerah Banyumas Jawa Tengah. Baik novel maupun film, keduanya

memiliki penggemar tersendiri dikarenakan antusiasme yang tinggi dari pembaca

dan penonton. Novel Ronggeng Dukuh Paruk dipilih sebagai objek kajian dalam

penelitian ini karena beberapa hal. Pertama, cerita pada novel Ronggeng Dukuh

Paruk diangkat menjadi karya film atau bisa disebut mengalami ekranisasi.

Kedua, dalam proses ekranisasi tersebut cerita pada novel mengalami proses

perubahan. Dengan demikian, cerita yang ada di novel ke film berbeda. Novel

Ronggeng Dukuh Paruk mengalami proses ekranisasi menjadi film Sang Penari.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang divisualisasikan

menjadi film Sang Penari oleh sutradara Ifa Isfansyah, novel tersebut

menceritakan mengenai seorang Ronggeng di desa bernama Dukuh Paruk yang

bernama Srintil. Semangat Dukuh Paruk kembali sejak Srintil dinobatkan menjadi

ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun lalu.

Bagi pedukuhan yang kecil, miskin, terpencil dan bersahaja itu, ronggeng adalah

7

perlambangan. Tanpanya, dukuh itu merasa kehilangan jati diri. Di tengah cerita,

Srintil sempat memutuskan untuk berhenti menjadi ronggeng, karena ia merasa

pujaan hatinya tidak menyukai profesinya tersebut. Rasus pergi meninggalkan

Srintil demi tugas sebagai seorang prajurit. Malapetaka politik tahun 1965

membuat Dukuh Paruk hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena

kebodohan warganya, mereka semua terbawa arus dan divonis sebagai manusia

yang telah mengguncangkan negara ini. Pengalaman pahit menjadi tahanan politik

membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Karena setelah bebas, ia

berniat memperbaiki citra dirinya. Di samping itu, Srintil kembali jatuh, kali ini

bahkan membuat jiwanya hancur berantakan, tanpa harkat secuil apapun, bahkan

cinta.

Sutradara film Sang Penari Ifa Isfansyah memvisualisasikan tokoh utama

Nyoman Oka Antara sebagai Rasus. Oka Antara, dapat dipercaya dapat

menggambarkan seorang pemuda yang terlihat tampan, tinggi, dan berwibawa

layaknya prajurit tapi rapuh dalam permasalahan cinta. Perubahan terjadi pada

tokoh tersebut, tidak hanya dari segi fisik namun perubahan dari karakter. Dalam

proses ekranisasi tersebut tidak dipungkiri bahwa akan terjadi berbagai perubahan.

Oleh karena itu, penggunaan sistem media yang berbeda yang menjadi alasan

kuat. Pada proses pembuatan film dibatasi dengan durasi waktu sehingga perlu

pertimbangan khususnya pada karakter tokoh utama.

Perubahan karakter tokoh utama yang terjadi pada film yang menjadi salah

satu latar belakang peneliti untuk mencoba meneliti novel Ronggeng Dukuh Paruk

dan film Sang Penari. Walaupun terdapat beberapa kesamaan antara novel dan

film dalam kisah yang disampaikan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa

novel dan film merupakan dua media yang berbeda, sehingga berbeda pula cara

penyajiannya. Dalam penelitian ini, peneliti mendeksripsikan perubahan karakter

8

tokoh utama yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad

Tohari tetapi tidak muncul pada film Sang Penari karya Ifa Isfansyah.

Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari penelitian-penelitian skripsi

terdahulu yang pernah dilakukan. Penelitian skripsi sebelumnya yang dilakukan

oleh Wulandari (2011) dengan judul Ekranisasi Novel Bidadari-Bidadari Surga

Karya Tere Liye Dan Film Bidadari-Bidadari Surga: Kajian Humaniora.

Penelitian tersebut meliputi alur, tokoh dan penokohan, setting dan konflik

sebagai sudut pandang pedoman dalam menganalisis. Secara umum penelitian

tersebut menganalisis perbedaan dari beberapa peristiwa yang ada di novel yang

tidak diwujudkan ke dalam film. penelitian ini juga mengkaitkan hasil perbedaan

analisis tersebut ke teori humaniora yang menjadi kajian lanjutan dari teori

struktural.

Terdapat penelitian skripsi lainnya yang dilakukan oleh Aderia (2013)

dengan judul Ekranisasi Novel ke Film Surat Kecil untuk Tuhan. Penelitian

tersebut menggunakan teori ekranisasi untuk mendeksripsikan perbandingan

episode cerita dari novel dan episode cerita dari film. Fokus penelitian tersebut

pada perubahan episode atau alur cerita yang terkandung. Selanjutnya, kedua hal

tersebut di jadikan kesimpulan. Secara umum, penelitian tersebut menganalisis

perbedaan dari beberapa peristiwa yang ada di novel yang tidak diwujudkan ke

dalam film.

Perbedaan yang mendasar dari penelitian yang sudah dilakukan

sebelumnya adalah sumber data yang diperoleh. Peneliti mengambil sumber data

melalui novel Ronggeng Dukuh Paruk dan film Sang Penari. Peneliti juga

mengambil fokus pada perbandingan perubahan karakter tokoh utama yang terjadi

9

pada novel dan film. Perubahan karakter dilakukan dengan menggunakan metode

langsung melalui penampilan tokoh sedangkan metode tidak langsung melalui

dialog, lokasi dan situasi percakapan, nada suara, tekanan, dialek dan kosa kata

serta tindakan para tokoh. Kedua hasil perbandingan tersebut akan menjadi

kesimpulan akhir dalam penelitian ini.

Analisis proses ekranisasi karakter tokoh utama dalam novel ke film

menarik untuk diteliti. Hal ini tidak terlepas dari permasalahan terpenting yang

terdapat dalam penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, peneliatan ini menjadi

perlu untuk dikaji dalam mengetahui deksripsi perbedaan bentuk karakter tokoh

utama dalam novel maupun film. Proses pencarian bentuk karakter tokoh utama

menggunakan metode langsung serta metode tidak langsung. Sehingga peneliti

melakukan penelitian dengan judul Ekranisasi Karakter Tokoh Utama Novel

Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari ke Film Sang Penari Karya

Sutradara Ifa Isfansyah.

1.2 Fokus Masalah

Fokus Masalah dalam sebuah penelitian diperlukan agar penelitian ini dapat

mengarah pada sasaran penelitian. Sebuah penelitian sangat perlu dibatasi ruang

lingkupnya agar wilayah kajiannya tidak terlalu meluas. Ekranisasi merupakan

pelayarputihan, pengangkatan, atau pemindahan cerita novel ke media film.

Sebuah cerita novel yang di alihwahanakan menjadi film akan mengalami proses

perubahan yaitu penciutan, penambahan, dan perubahan bervariasi.

Pada ekranisasi akan terdapat proses perubahan yang terjadi pada tokoh, alur,

latar/setting dan juga tema. Penelitian akan membatasi analisisnya pada aspek

karakterisasi tokoh utama dikarenakan karakter tokoh utama dalam film

10

divisualisasikan dengan hasil berbeda yang telah mengalami proses perubahan

unsur-unsur pendukungnya terhadap cerita asli pada novel. Hal ini menjadi faktor

penting dan menarik untuk diteliti.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan fokus masalah tersebut, maka rumusan masalah yang ada di

dalam penelitian ini, diantaranya:

1. Bagaimana penggambaran karakter tokoh utama pada Novel Ronggeng

Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?

2. Bagaimana penggambaran karakter tokoh utama pada film Sang Penari

karya Ifa Isfansyah?

3. Bagaimana perubahan karakterisasi tokoh utama antara Novel Ronggeng

Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dengan film Sang Penari karya Ifa

Isfansyah?

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk:

a) Mendeksripsikan penggambaran karakter tokoh utama pada Novel

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

b) Mendeksripsikan penggambaran karakter tokoh utama pada film Sang

Penari karya Ifa Isfansyah.

c) Mendeksripsikan perubahan karakterisasi tokoh utama antara Novel

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dengan film Sang Penari

karya Ifa Isfansyah.

11

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan dapat berhasil dengan baik, yaitu dapat

mencapai tujuan secara optimal, menghasilkan laporan yang sistematis secara

optimal dan dapat bermanfaat secara umum.

1) Manfaat Teoritis

Manfaat Teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

a) Mengumpulkan dan menyusun ilmu mengenai ekranisasi dari novel ke

film, yang merupakan hasil dari membaca beberapa refrensi yang di

peroleh oleh penulis.

b) Menjelaskan ilmu mengenai ekranisasi dari novel ke film, yang merupakan

hasil dari membaca beberapa refrensi yang di peroleh oleh penulis.

c) Menjelaskan bentuk perubahan karakter tokoh utama pada novel

Ronggeng Dukuh Paruk ke film Sang Penari dengan menggunakan

metode langsung (telling) dan tidak langsung (showing).

2) Manfaat Praktis

Manfaat Praktis yang dapat di peroleh dari penelitian ini adalah:

a) Hasil penelitian ini dapat memperluas cakrawala keilmuan mengenai

apresiasi dan penghargaan pembaca karya sastra terhadap aspek perubahan

yang terjadi dalam Novel Ronggeng Dukuh Parukke Film Sang Penari.

b) Hasil penelitian ini dapat menambah referensi penelitian karya sastra di

Indonesia dan dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti sastra selanjutnya.

1.6 Penegasan Istilah

1) Ekranisasi adalah pelayarputihan atau pengangkatan atau pemindahan yang

menghasilkan proses perubahan berupa bentuk penciutan, penambahan, dan

perubahan bervariasi yang terjadi pada tokoh, alur, latar/setting.

12

2) Karakterisasi tokoh adalah cara melukiskan watak para tokoh yang

terdapat dalam suatu karya fiksi. Proses ini memiliki dua metode yaitu

dengan metode langsung dan metode tidak langsung.

3) Film adalah gabungan dari berbagai ragam kesenian, yaitu musik, seni rupa, drama,

sastra ditambah dengan unsur fotografi. Film juga termasuk alat audio visual yang

menarik perhatian orang banyak, karena dalam film itu memuat adengan yang

terasa hidup dan di kombinasi dengan suara, tata warna, dan kostum.

4) Penciutan adalah suatu hal yang disempitkan atau dipotong. Penciutan

dalam ekranisasi ialah cerita novel yang di angkat menjadi sebuah scene

atau adegan dalam film yang dimana cerita tersebut tidak semuanya

ditampilkan menjadi adegan runtut. Dikarenakan perbedaan penikmatan

antara novel dan film berbeda, dan juga keperluan dari film agar ceritanya

tetap berkesinambungan. Penciutan tidak hanya terjadi pada alur cerita

tetapi unsur-unsur intrinsik lainnya.

5) Penambahan menurut KBBI adalah proses, atau cara menambahkan.

Penambahan dalam ekranisasi ialah proses menambahakan baik dari alur,

tokoh, latar dan suasana yang terjadi dalam adegan. Penambahan ini

sendiri merupakan penting dilihat dari sudut films atau penambahan itu

masih memiliki hubungan dengan cerita secara keseluruhan.

6) Perubahan bervariasi adalah munculnya ide-ide baru yang terjadi pada saat

cerita novel di angkat menjadi film. Perubahan yang dimaksud yaitusutradara

mencoba memberikan sentuhan yang berbeda terhadap film. Film yang

mengalami perubahan bervariasi terkadang lebih banyak diberikan pada bagian

jalan cerita di akhir cerita film. Sutradara tidak meninggalkan tema besar atau

jalan cerita yang dimiliki oleh novel tersebut.

13

7) Metode langsung (telling) adalah pemaparan yang dilakukan secara

langsung oleh si pengarang. Metode ini biasanya digunakan oleh kisah-

kisah rekaan zaman dahulu sehingga pembaca hanya mengandalkan

penjelasan yang dilakukan pengarang. Metode langsung terdiri dari

karakterisasi menggunakan nama tokoh, karakterisasi menggunakan

penampilan tokoh dan tuturan pengarang.

8) Metode tidak langsung (showing) adalah metode yang tidak langsung

dengan metode dramatik yang mengabaikan kehadiran pengarang,

sehingga para tokoh dalam karya sastra dapat menampilkan diri secara

langsung melalui tingkah laku mereka. Pada metode tidak langsung terdiri

dari karakterisasi melalui dialog, lokasi dan situasi percakapan, jatidiri

tokoh yang dituju oleh penutur, kualitas mental para tokoh, nada suara,

tekanan, dialek dan kosakata, dan karakterisasi melalui tindakan tokoh.