bab i pendahuluan - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/46745/2/bab i.pdf · sedangkan istilah...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kitab undang-undang Hukum Pidana yang digunakan di Indonesia
merupakan warisan Belanda, yang sampai saat ini belum di ubah sama
sekali, padahal sudah tidak sesuai lagi dengan filosofis bangsa Indonesia.
Indonesia sendiri sudah melakukan beberapa kali pembaharuan
KUHP secara menyeluruh, usaha penyusunan KUHP baru dapat
dilakukan tahun 1964, menunggu 19 tahun Indonesia merdeka terlebih
dahulu baru dibentuk KUHP karena kondisi politik dan ketata
negaraan Indonesia yang belum stabil.1
Perubahan KUHP sendiri dianggap sebagai peninggalan penjajah
harus mengacu pada pengalaman penerapan hukum yang sering kali
dianggap tidak adil, karena ketidakjelasan materi yang diatur dalam
KUHP.Sehingga dengan demikian perlu adanya pembaharuan KUHP
Indonesia sehingga hal-hal yang di anggap tidak jelas serta anggapan
ketidak adilan dapat di minimalisir.2
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Secara literlijk, kata “straf” artinya
pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan.
“Moeljatno mengatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
1 Mokh Najih. 2014. Politik Hukum Pidana Konsepsi Pembahruan Hukum Pidana Dalam
Cita Negara Hukum. Malang, Setara Press. Hal. 2 2 Made Darma Weda. 2016. Tindak Pidana Makar Dalam Rancangan KUHP. Jakarta.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Hal 1.
2
aturan tersebut”.3Baik perbuatan yang disebut dalam KUHP maupun
dalam peraturan-peraturan diluar KUHP.
KUH Pidana Indonesia dalam bab kejahatan mengatur Tindak
pidana Makar yang terdiri dari makar yang dilakukan terhadap keamanan
negara dan makar terhadap negara sahabat. Makar disebutkan dalam
kamus hukum adalah perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk
membunuh atau mengambil kemerdekaan kepala negara atau untuk
membuatnya tidak mampu menjalankan pemerintahan.4
Sedangkan Istilah Makar adalah aanslag (Belanda) yang menurut
arti harafiah adalah penyerangan atau serangan,5 terdapat dalam
KUHP yakni pasal-pasal 87, 104, 105, 106, 107, 130, 139a, 139b,
140. Makar yang dimuat dalam pasal 139a, 139b, dan 140 tidak
masuk dalam bab mengenai kejahatan terhadap keamanan negara,
melainkan masuk dalam kejahatan terhadap negara sahabat dan
terhadap kepala negara sahabat dan wakilnya.6
Perbedaan pengertian antara kamus Hukum dan belanda
mengakibatkan banyaknya penafsiran-penafsiran mengenai makar,
sehingga diperlukan kajian untuk memfokuskan terkait bagaimana batasan
makar tersebut sehingga tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan
mendasar.
Penulisan ini lebih menfokuskan pada pasal 106 KUHP Indonesia
mengenai tindak pidana makar untuk memisahkan negara dibawah
kekuasaan asing, dan memisahkan negara dari NKRI dan perbuatan
3 Lani Sujiagnes Panjaitan. Juni 2016. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak
Pidana Makar Oleh Organisasi Papua Merdeka (Opm) Di Kabupaten Jayawijaya. USU Law
Jurnal. Vol.4.No.3. Hal. 91. 4 Charlie Rudyat, Kamus Hukum, Tim pustaka Mahardika. Hal 299 5 Adami Chazawi. 2002. Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara.
Jakarta. Rajagrafindo Persada. Hal. 7. 6Ibid.
3
permufakatan jahat terhadap pasal 106 yang diatur pada pasal 110 Kitab
Hukum pidana Indonesia.7 Selain itu pada section 113 pada ayat 3
criminal code Thailand mengatur tentang perbuatan memisahkan diri dari
kerajaan atau merebut kekuasaan administrasi kerajaan Thailand yang
disebut perbuatan pemberontakan dan section 114 criminal code yang
mengatur permufakatan jahat terhadap section 113 ayat 3 tersebut.
Pasal 106, 110 KUHP Indonesia dengan section 113, 114 Criminal
code Thailand tersebut menurut penulis terdapat persamaan dari tujuan
tindak pidananya yaitu perbuatan untuk memisahkan diri dari wilayah
negara atau disebut separatisme.
Dalam KUH pidana Indonesia perbuatan tertentu dapat
dikatakantindak pidana makar harus dilakukannya suatu permulaan
pelaksanaan oleh pelaku untuk menyelesaikan tindak pidana yang
ditimbulkannya.8 Seperti yang di sebutkan dalam Pasal 87 KUHP bahwa
:“Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat
untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti
dimaksud dalam pasal 53”.9Dapat dilihat bahwa makar yang disebutkan di
dalam KUHP yaitu apabila sudah termasuk ke dalam unsur-unsur
percobaan maka perbuatan tersebut masuk ke dalam tindak pidana makar.
Permasalahan makar, dalam Kasus Sehu Blesman Alias Melki
Bleskadit dalam Putusan MA No. 574 K/Pid/2012 didakwa
7Lihat pasal 106, 110 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Hukum
Pidana Indonesia 8Ibid. Hal 88 9 Lihat pasal 87 KUHP Indonesia Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang
Peraturan Hukum Pidana
4
melakukan “Makar” karena menjadi Ketua Panitia hari Perayaan
Kemerdekaan Papua Barat yang dianggap niat untuk memisahkan
diri dari Indonesia. Dalam dakwaannya, Jaksa sama sekali tidak
menjelaskan unsur “Aanslag” atau “serangan” sebagaimana
mestinya, dakwaan hanya menjabarkan niat dari terpidana untuk
memisahkan diri dari Indonesia. Terpidana dipidana dengan 5 Tahun
penjara.Selain itu Dalam Kasus Semuel Waileruny dalam Putusan
MA No. 1827 K/Pid/2007, didakwa dengan permufakatan Jahat
untuk melakukan “Makar” karena ingin mengibarkan bendera RMS
(Republik Maluku Selatan) yang dianggap niat untuk memisahkan
diri dari Indonesia. Dalam dakwaannya, Jaksa juga tidak
menguraikan unsur “Aanslag” atau “serangan” sebagaimana
mestinya, dakwaan hanya menjabarkan niat dari terpidana untuk
memisahkan diri dari Indonesia. Terpidana dipidana dengan 3 Tahun
Penjara.10
Penulis setuju dengan pendapat yang disampaikan oleh Aliansi
nasional Reformasi KUHP, dimana disebutkan kasus tersebut
menimbulkan permasalahan hukum yang mendasar yaitu seharusnya
dalam memberikan pemidanaan terhadap pelaku di uraikan unsur-unsur
perbuatannya sehingga dapat dikatakan sebagai tindak pidana makar akan
tetapi dalam kasus tersebut tidak menjelaskan unsur-unsurnya, bahwa
unsur perbuatan makar adalah “serangan” atau “attack”. Kemudian, tidak
jelas bagaimana batasan suatu perbuatan sehingga suatu perbuatan tertentu
dikatakan sebagai perbuatan makar. Selanjutnya hal yang palin penting
adalah putusan terhadap kedua kasus tersebut sangat berbahaya bagi
perkembangan hukum karena tidak memiliki kejelasan (syarat lex certa)
khususnya dalam pembaruan KUHP.11
10Melihat Potensi Ancaman Kebebasan Berekspresi Dalam Pasal-Pasal Makar
Rkuhp.2017. Aliansi nasional Reformasi KUHP. institute for criminal justice reform ICJR.
Yayasan Tifa. Jakarta. 2017. Hal 6-7. 11Ibid
5
Penulis menyadari bahwa anak merupakan generasi yang akan
menggantikan para pemimpin dimasa yang akan datang, namun berbeda
halnya jika seorang anak melakukan makar terhadap suatu pemerintahan
baik dalam kemanan negara maupun terhadap negara sahabat. Dalam
KUHP tidak dijelaskan secara khusus mengenai bagaimana jika seorang
anak dijatuhi pidana (hukuman) sebagai pelaku kejahatan makar. KUHP
menyebutkan dalam pasal 46 ketentuan-ketentuan penjatuhan sanksi
pidana terhadap anak.12
Anak merupakan harapan bangsa apabila sudah sampai saatnya akan
menggankan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan negara,
dengan demikian anak perlu dibina dengan baik agar mereka tidak
salah dalam hidupnya kelak. Baik pemerintah maupun non
pemerintahan memiliki kewajiban untuk secara serius memberi
perlindungan dan perhatian terhadap pertumbuhan perkembangan
seorang anak.13
Sehingga dibentuk undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang
perlindungan anak dimana dalam Pasal 1 angka 2 menentukan bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan
martabat kemanusiaan.”14
Melihat undang-undang tersebut bahwa anak harus tetap dilindungi baik
anak sebagai korban maupun sebagai pelaku.
Definisi batasan usia anak di dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia sangat bayak, dalam KUHP sendiri terdapat dalam pasal 45
12 Lihat pasal 46 KUHP Indonesia Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang
Peraturan Hukum Pidana 13 Maidin Gultom. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan,
Bandung. PT Refika Aditama. Hal 68. 14Ibid. Hal 70
6
menyebutkan batas usia anak adalah 16 tahun,15akan tetapi berbeda dengan
undang-undang nomor 23 tahun 2014 terdapat dalam pasal 1 angka 1
bahwa :
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.16
KUHP Thailand sendiri menyebutkan seorang anak adalah yang
berumur 17 tahun, hal ini tertuang dalam pasal 76 yaitu :17
Section 76 : “Any person out of seventeen years but not out of
twenty years of age commits an act as prescribed by the law to be an
offence, if the Court to deem expedient may reduce the scale of the
punishment as provided for such offence by one-third or a half.”(
Pasal 76: “Setiap orang yang berumur tujuh belas tahun tetapi tidak
diatas dua puluh tahun melakukan suatu tindakan yang ditetapkan
oleh undang-undang sebagai suatu pelanggaran, Pengadilan dapat
mengurangi skala hukuman yang diberikan untuk pelanggaran
tersebut, sepertiga atau setengahnya).
Akan tetapi jika suatu anak melakukan perbuatan Makar maka ini
adalah suatu yang tidak seharusnya dilakukan, akan sangat bahaya dan
merugikan negara karena seharusnya anak yang akan menjadi generasi
penerus untuk negara yang lebih baik justru melakukan tindakan makar.
Secara garisbesarnya makar yang dilakukan oleh anak sebagai
pelaku utama belum pernah terjadi di Indonesia. Akan tetapi dalam
putusan perkara Nomor 38/Pid.B/2011/PN.Wmn. di Pengadilan Negeri
Wamena. Terdapat kasus dimana salah seorang dari 6 pelaku adalah
seorang anak Nama lengkap Pdt. ALI YIKWA alias ALI WENDA dengan
usia 14 tahun sesuai dengan tanggal lahir yaitu 27 Februari 1996 dan
15 Lihat pasal 45 KUHP Indonesia Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang
Peraturan Hukum Pidana 16 Lihat pasal 1 angka 1 undang-undang nomor 23 tahun 2012 tentang perlindungan anak 17 Lihat pasal 76 Thailand Criminal Code 2549 (2003)
7
Terdakwa ditangkap pada tanggal 20 November 2010. YIKWA alias ALI
WENDA melakukan tindak pidana ”Makar” sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam pasal 106 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
dan dijatuhi sanksi sama dengan orang dewasa. Hal ini menjadi
permasalahan baru yang mengakibatkan hilangnya hak-hak dan
perlidungan kepada anak. Sehingga perlu adanya perbandingan dengan
negara lain guna melakukan pembaharuan hukum yang lebih baik.18
Dalam penulisan ini membahas mengenai perbandingan hukum
pidana KUHP Indonesia dan KUHP Thailand tentang tindak pidana makar,
“Barda Nawawi Arief berpendapat perbandingan hukum adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari secara sistematis hukum (pidana) dari dua
atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metode
perbandingan.”19Dalam hal ini sudah jelas ada dua bentuk sistem hukum
yang berbeda akan dibandingkan yaitu negara Thailand dengan sistem
pemerintahan monarki kostitusional dan Indonesia dengan sistem
pemerintahan presidensil.
Sistem Hukum Kontinental berkembang di Eropa Daratan sehingga
sering juga disebut Sistem Hukum Eropa Kontinental. Negara-
negara yang menganut sistem ini seperti Perancis (sebagai negara
terdahulu yang menganut) kemudian menyebar diluar itu, karena ada
jajahan Perancis seperti Afrika, Indo China dan Spanyol. Namun ada
juga negara yang menganut sistem ini, seperti Jepang dan Thailand,
walaupun tidak karena dijajah Perancis. Sementara Indonesia
sebagian besar sistem hukumnya menganut sistem ini karena bekas
Jajahan Belanda20
18Putusan perkara Nomor 38/Pid.B/2011/PN.Wmn. di Pengadilan Negeri Wamena 19Soerjono Soekanto. 1989.Perbandingan Hukum, Bandung. Melati. Hal.131. 20 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2013.Hal. 232.
8
Sehingga penulis sangat sependapat dengan thesis Putra dkk dengan
judul Perbandingan Pelaksanaan Ketentuan Pidana Mati Menurut Hukum
Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Thailand bahwa perbandingan
hukum dilakukan pada negara yang mempunyai dasar sistem hukum yang
sama, penerapan hukum yang akan diadopsi pun akan lebih mudah.21
Sedangkan Istilah “perbandingan hukum” (bukan “hukum
perbandingan”) itu sendiritelah jelas kiranya bahwa perbandingan hukum
bukanlah hukum seperti hukumperdata, hukum pidana, hukum tata negara
dan sebagainya22, melainkan merupakan kegiatan memperbaindingkan
sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain.Yang
dimaksudkan dengan memperbandingkan di sini ialah mencari dan
mensinyalir perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan dengan
memberi penjelasannya dan meneliti bagaimana berfungsinya hukum dan
bagaimana pemecahan yuridisnya di dalam praktek serta faktor-faktor non-
hukum yang mana saja yang mempengaruhinya.
“Dalam usaha penyusunan KUHP baru Indonesia, kita tidak dapat
mengisolasi diri dari pengaruh luar karena KUHP akan berlaku pula bagi
orang asing yang ada di Indonesia. Begitu juga dibutuhkan kerjasama antar
negara dalam pemberantas kejahatan lintas negara dan global.”23
Ketentuan dan pelaksanaan pidana makar di Indonesia perlu dilakukan
21Putra, Rezie Novian and Karo, Lidia Br. and Eryke, Herlita (2014) Perbandingan
Pelaksanaan Ketentuan Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana
Thailand. Undergraduated thesis, Universitas Bengkulu. 22Ibid 23 Jur. Andi Hamzah. 2009. Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara edisi ke 3
cetakan ke 2. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 3.
9
Kajian Komparatif antara Hukum Pidana Indonesia dan Thailand serta
untuk mengetahui bagaimana unsur-unsur dan pemidanaan tindak pidana
makar oleh anak sehinggga muncul suatu kepastian, keadilan maupun
kemanfaatan hukum sehingga dapat melihat kebaikan dan kelemahan
ketentuan mengenai pidana makar pada masing-masing negara. Ini perlu
dilakukan dalam rangka mencari suatu solusi yang lebih baik mengenai
metode pemidanaan dalam pelaksanaan pidana makar oleh anak serta
bagaimana seharusnya ketentuan dan pelaksanaan pidana makar oleh anak
Indonesia di masa yang akan datang.
Hal inilah yang menyebabkan penulis tertarik untuk
membandingkan sistem hukum pidana menurut KUHP Indonesia dan
KUHP Thailand yang nantinya penulis berharap dengan perbandingan ini
akan memunculkan suatu titik atau kesimpulan yang baik, sehingga
memunculkan suatu gagasan baru mengenai bagaimana seharusnya tindak
lanjut kasus makar terutama yang dilakukan oleh anak. Sehingga penulis
membuat judul penulisan “PERBANDINGAN UNSUR-UNSUR DAN
ANCAMAN PIDANA (HUKUMAN) DALAM TINDAK PIDANA
MAKAR TERHADAP KEUTUHAN WILAYAH NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA BAGI PELAKU ANAK (Studi
Perbandingan Pasal 106, 110 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
Tentang Peraturan Hukum Pidana dan Section 113, 114 Criminal Code
Thailand dan sistem peradilan pidana anak Indonesia dan Thailand).”
10
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perbandingan unsur-unsur pasal 106, 110 KUHP Indonesia
pada tindak pidana makar Terhadap Keutuhan Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan section 113, 114Criminal Code
Thailand pada tindakan pemberontakan terhadap keutuhan wilayah
kerajaan Thailand yang dilakukan oleh anak?
2. Bagaimanasistempemidanaananak pada pelanggaranpasal 106,110
KUHP dan section 113,114 Criminal Code menurutundang-undang
nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak dan
Juvenile and family court and procedure act 2553 (2010) Thailand
(sistem pemidanaan pada putusan)?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahuiperbandingan unsur-unsur tindak pidana makar
Terhadap Keutuhan Wilayah Negara yang dilakukan oleh anak
menurut KUHP Indonesia dan KUHP Thailand.
2. Untuk mengetahui sistem sanksi pidana tindak pidana makar menurut
undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana
anak di Indonesia dan Juvenile and family court and procedure act
2553 (2010) Thailand kepada anak sebagai pelaku terutama pada
bagian putusan.
11
D. Kegunaan Penulisan
1. Bagi akademik
Penulis berharap dengan adanya penulisan ini menjadi
pengembangan lebih lanjut dalam mengkaji mengenai tindak pidana
makar sehingga nantinya akan menjadi acuan para akademisi untuk
lebih menelaah mengenai tindak pidana ini terutama jika dilakukan
oleh anak.
2. Bagi penulis
Dengan adanya penulisan hukum ini, penulis dapat memperoleh
pengetahuan, wawasan baru dan penunjang ilmu pengetahuan
mengenai tindak pidana makar, sehingga penulis yang merupakan
calon sarjana hukum dapat mengaplikasikan hal tersebut di masyarakat
guna memasifkan peraturan perundang-undangan tentang makar oleh
anak tersebut.
3. Bagi masyarakat
Adanya Penulisan hukum tersebut penulis berharap dapat
memberikan informasi mengenai bagaimana tindak pidana makar
menurut KUHP Indonesia dengan KUHP Thailand yang pelakunya
adalah seorang anak. sehingga dapat mengantisipasi terjadinya Tindak
pidana tersebut dimasa yang akan datang.
E. Manfaat Penulisan
Dalam hal kasus makar sudah banyak terjadi Di Indonesia sehingga
penulis berharap dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis yaitu :
12
1. Penulis berharap hasil penulisan hukum ini dapat memberikan
kontribusi bagi ahli hukum dan para pembuat aturan perundang-
undangan.
2. Mengembangkan peraturan-peraturan yang sudah ada mengenai tindak
pidana Makar dengan cara membandingkan dengan negara lain
sehingga memperoleh undang-undang baru yang baik dan masif
sehingga dapat di aplikasikan di Indonesia.
3. Memperoleh pengetahuan, wawasan baru dan penunjang keilmuan
mengenai kejahatan makar yang dilakukan oleh anak dikemudian hari
sehingga menjadi acuan dalam memberikan pemidanaan yang sesuai
dengan tujuan hukum.
F. Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam penulisan ini
adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan ini penulis menggunakan jenis penelitian
dengan pendekatan yuridis normatif yakni pendekatan undang-undang
(statute Aprroach), pendekatan perbandingan (comparatif
aprroach)dan pendekatan konseptual (konceptual Aprroach), yaitu :
a. Pendekatan undang-undang (statute Aprroach)
Pada pendekatan ini menggunakan pendekatan regulasi dan
legislasi yaitu produk perundang-undangan Beshikking/ decree
yang merupakan suatu keputusan yang diterbitkan oleh pejabat
13
administrasi yang bersifat konkret dan khusus. Sehingga penulis
menggunakan pendekatan terhadap pasal 106 dan 110 KUHP
Indonesia undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan
Hukum Pidana, danUndang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang
peradilan anak dan ThailandCriminal CodeB.E. 2547 (2003).24
b. Pendekatan perbandingan (comparatif aprroach)
Pada pendekatan ini menggunakan studi perbandingan
hukum, dimana menurut Gutteridge perbandingan hukum
merupakan suatu metode studi dan penelitian Hukum. penulis
dalam pendekatan ini membandingkan hukum suatu negara dan
dengan negara lain yaitu hukum negara Indonesia dan hukum
negara Thailand. 25
c. Pendekatan konseptual (konceptual Aprroach)
Pendekatan ini dilakukan karena belum ada aturan Hukum
untuk permasalahan yang dihadapi dengan merujuk pada doktrin-
dontrin hukum yang berkaitan dengan penulisan.26
2. Jenis Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan oleh penulis yaitu bahan
hukum primer, sekunder dan tersier, yaitu sebagai berikut :
24Peter Mahmud Marzuki. 2016. Penelitian Hukum Edisis Revisi. Surabaya.
Prenadamedia Grup. Hal. 136 25Ibid. Hal, 172 26 Ibid. Hal, 177
14
a. Bahan Hukum Primer
Adalah bahan hukum yang diperoleh dari hukum positif/
peraturan perundang-undangan yang di komparatifkan yaitu :
1) KUHP Indonesia undang-undang Nomor 1 Tahun 1946
Tentang Peraturan Hukum Pidana;
2) Criminal CodeB.E. 2547(2003) Thailand;
3) Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan
pidana anak.
4) Juvenile and family court and prosedure act B.E. 2553 (2010)
b. Bahan hukum Sekunder
Adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder yang digunakan penulis adalah
berupa buku-buku yang berkaitan dengan topik penulisan, jurnal
yang berkaitan dengan topik penulisan dan hasil penelitian atau
hasil kegiatan Ilmiah dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang diperoleh
dari ensiklopedi, kamus hukum, Glossary dan lain-lain yang dapat
mendukung penulisan ini.
3. Tekhnik pengumpulan bahan Hukum :
Dalam tehnik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan ini
adalah Studi dokumen dan Studi pustaka, yang akan dikumpulkan
berdasarkan topik dan pembahasan penulisan ini. Bahan hukum yang
15
diperoleh dari studi dokumen ini berupa peraturan perundang-
undangan yaitu KUHP Indonesia dan Criminal Code Thailand dan
peraturan-peraturan lain yang mendukung dalam penlisan ini, selain itu
dan studi pustaka menggunakan hasil penulisan sebelumnya baik
berupa jurnal maupun skripsi, serta artikel ilmiah yang mendukung
dari penulisan ini. Guna menjawab setiap permasalahan penulisan
yang lebih baik dan sistematis
4. Tekhnik analisa Bahan Hukum :
Analisa bahan Hukum dalam penulisan Hukum yang normatif
adalah analisa isi, analisa perbandingan, analisa kesesuaian dan analisa
keselarasan. Adapun dalam penulisan ini penulis akan
mengkomparatifkan atau membandingkan kedua peraturan sesuai topik
pembahasan dengan sajian yang mudah di pahami, dibaca dan
dimengerti yaitu dengan metode deskriptif kualitatif dan menarik
kesimpulan secara indukti yaitu menyajikan secara khusus dan
menguraikan secara umum serta di bantu dengan penafsiran Hukum.
Diantaranya penafsiran pasal-pasal dan undang-undang dalam KUHP
seperti tindak pidana makar terhadap keutuhan wilayah negara
kesatuan Republik Indonesia, pemidanaan anak dan penafsiranyang
mendukung penulisan ini, seperti :27
27 Afif Khalid. 2014. Penafsiran Hukum Oleh Hakim Dalam Sistem Peradilan Di
Indonesia. Al’ Adl, Volume VI Nomor 11, Januari-Juni 2014. Hal
16
1. Teori penafsiran teleologis (what does the articles would like to
achieve by the formulated text)
Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau formulasi
kaidah-kaidah hukum menurut tujuan dan jangkauannya.
2. Penafsiran sistematis
Penafsiran sistematis merupakan penafsiran menurut sistem
yang ada dalam rumusan hukum itu sendiri (systematische
interpretative). Penafsiran sistematis juga dapat terjadi jika naskah
hukum yang satu dan naskah hukum yang lain, di mana keduanya
mengatur hal yang sama, dihubungkan dan dibandingkan satu sama
lain.
3. Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)
Penulis akan mencari arti kata dalam undang-undang dengan
cara membuka kamus bahasa atau pendapat-pendapat para ahli
bahasaarti kata atau istilah yang terdapat dalam KUHP baik
Indonesia maupun Thailand dan undang-undang yang mengatur
tentang pemidanaan anak.
4. Interpretasi Komparatif
Menafsirkan dengan cara membandingkan dengan berbagai
sistem hukum yang dibahas pada penulisan ini yaitu menafsirkan
perbandingan KUHP Thailand dan Indonesia sesuai topik
pembahasan.