bab i pendahuluan -...

8
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam pelaksanaan fungsi desentralisasi dan demokratisasi pada tingkat lokal (Otonomi Daerah), pemerintah melakukan upaya-upaya yang signifikan melalui penataan sistem perencanaan pembangunan nasional. Paskah Suzetta (2007) mengatakan bahwa, dalam rangka menata pembangunan nasional, pemerintah melakukan upaya-upaya yang terencana, terkoordinasi, konsisten, dan berkelanjutan, melalui peran pemerintah bersama masyarakat, dengan memperhatikan kondisi ekonomi, perubahan sosial-politik, perkembangan sosial- budaya yang ada, perkembangan ilmu dan teknologi, serta perkembangan dunia internasional atau globalisasi. Upaya ini didorong oleh perubahan mendasar dalam tata kelola pemerintahan, yang lebih menekankan pada interaksi antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, mengacu pada pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Tujuan dari penataan sistem perencanaan pembangunan nasional tersebut pada prinsipnya adalah agar penyelenggaraan pembangunan berbasis pada prinsip pelaksanaan otonomi daerah, yakni, pertama, demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan, kedua, usaha meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dan ketiga, terwujudnya pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik ( good governance), dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat (Suwondo, 2005: 21-22). Pembangunan secara sederhana diartikan sebagai suatu perubahan tingkat kesejahteraan yang terukur. Agar perubahan tingkat kesejahteraan dapat dilakukakn secara terukur, maka diperlukan perencanaan. Dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), pasal 1, telah termuat tentang hubungan antara pembangunan dan perencanaan, yakni; Ayat (1) Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia;

Upload: ngonga

Post on 06-Feb-2018

217 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8399/2/T1_352007002_BAB I… · Kedua, pada tingkatan praktis, kebijakan dan program yang tercantum

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam pelaksanaan fungsi desentralisasi dan demokratisasi pada tingkat

lokal (Otonomi Daerah), pemerintah melakukan upaya-upaya yang signifikan

melalui penataan sistem perencanaan pembangunan nasional. Paskah Suzetta

(2007) mengatakan bahwa, dalam rangka menata pembangunan nasional,

pemerintah melakukan upaya-upaya yang terencana, terkoordinasi, konsisten, dan

berkelanjutan, melalui peran pemerintah bersama masyarakat, dengan

memperhatikan kondisi ekonomi, perubahan sosial-politik, perkembangan sosial-

budaya yang ada, perkembangan ilmu dan teknologi, serta perkembangan dunia

internasional atau globalisasi. Upaya ini didorong oleh perubahan mendasar dalam

tata kelola pemerintahan, yang lebih menekankan pada interaksi antara

pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, mengacu pada pelaksanaan tata kelola

pemerintahan yang baik (good governance). Tujuan dari penataan sistem

perencanaan pembangunan nasional tersebut pada prinsipnya adalah agar

penyelenggaraan pembangunan berbasis pada prinsip pelaksanaan otonomi

daerah, yakni, pertama, demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan, kedua,

usaha meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dan ketiga,

terwujudnya pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance),

dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat (Suwondo, 2005: 21-22).

Pembangunan secara sederhana diartikan sebagai suatu perubahan tingkat

kesejahteraan yang terukur. Agar perubahan tingkat kesejahteraan dapat

dilakukakn secara terukur, maka diperlukan perencanaan. Dalam Undang-Undang

Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

(SPPN), pasal 1, telah termuat tentang hubungan antara pembangunan dan

perencanaan, yakni;

Ayat (1) Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa

depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber

daya yang tersedia;

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8399/2/T1_352007002_BAB I… · Kedua, pada tingkatan praktis, kebijakan dan program yang tercantum

2

Ayat (2) Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara;

Dan ayat (3) tertulis, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu

kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan

yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di

tingkat Pusat dan Daerah.

Dari peraturan tersebut, dapat dikatakan bahwa pembangunan yang terencana

merupakan sebuah kesatuan tata cara dan proses menentukan tindakan yang tepat,

berdasarkan jangka waktu tertentu, yang dilakukan oleh pemerintah dan

masyarakat dalam rangka mencapai tujuan bernegara.1

Sebuah proses perencanaan pembangunan akan bermuara pada proses

penentuan kebijakan-kebijakan maupun program-program pembangunan (Salam,

2002; 14). Jika pengertian ini dikontekskan pada pembangunan desa, maka setiap

perencanaan pembangunan desa merupakan proses penentuan kebijakan dan

program yang bertujuan untuk pembangunan desa. Menurut Peraturan Pemerintah

No. 72 Tahun 2005, Pasal 63 ayat 2, perencanaan pembangunan desa diwajibkan

agar dilakukan secara partisipatif oleh pemerintah desa sesuai dengan

kewenangannya. Hasil dari perencanaan pembangunan desa ini adalah dokumen

kebijakan perencanaan pembangunan jangka menengah di desa disebut dengan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). RPJMDes

merupakan dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun yang memuat

strategi dan arah kebijakan pembangunan desa, arah kebijakan keuangan desa dan

program prioritas kewilayahan, yang disertai dengan rencana kerja dan RPJMDes

tersebut merupakan dokumen perencanaan yang terintegrasi dengan perencanaan

pembangunan daerah kabupaten/kota, (Pasal 63 ayat 1 PP No 72/2005).

1 Tujuan bernegara seperti temuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945, pada alinea keempat, yakni; “Kemudian daripada itu, untuk

membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu

dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan

kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta

dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8399/2/T1_352007002_BAB I… · Kedua, pada tingkatan praktis, kebijakan dan program yang tercantum

3

Dalam konteks pembangunan wilayah, desa merupakan basis

pembangunan masyarakat terkecil. Jumlah penduduk desa hampir mencapai 60%

dari total penduduk Indonesia (Jayadinata dan Pramandika, 2006; 1), dan hal ini

berarti prioritas pembangunan mestinya dititik-beratkan pada pembangunan desa.

Namun kenyataannya, masalah pembangunan yang paling menunjukkan

ketimpangan adalah pada pembangunan desa. Jika menilik jumlah penduduk

miskin di Indonesia, jumlah penduduk miskin di desa lebih besar 18,935 juta jiwa

(15,59%), dibandingkan penduduk miskin di perkotaan yang berjumlah 10,954

juta jiwa (9,09%) (BPS, 2011). Data tersebut ingin menyatakan bahwa, desa

(dalam konteks pembangunan) sangat membutuhkan kebijakan-kebijakan

pembangunan yang terencana dan sistematis untuk menanggulangi persoalan-

persoalan pembangunan, dan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan

masyarakat secara menyeluruh. Kualitas pembangunan suatu daerah

(kabupaten/kota) sangat dipengaruhi oleh kuat atau lemahnya kualitas

pembangunan dari tingkat desa. Akan tetapi, menilik pada persoalan

pembangunan desa di atas, bahwa jumlah penduduk miskin masih banyak di desa,

mengartikan bahwa perencanaan pembangunan suatu daerah belum

memprioritaskan pada kualitas perencanaan yang dimulai dari perencanaan

pembangunan desa, atau dapat diasumsikan dalam logika terbalik bahwa, masalah

utamanya adalah adalah belum tuntasnya kualitas perencanaan pembangunan desa

itu sendiri, sehingga mempengaruhi perencanaan pembangunan daerah pada

umumnya.

Lemah atau kuatnya kualitas perencanaan pembangunan di tingkat desa

sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang merencanakan pembangunan

tersebut. Menurut Asmara, H. (2001), lemahnya kualitas perencanaan

pembangunan di tingkat desa disebabkan oleh faktor-faktor, yaitu; Pertama,

lemahnya kapasitas lembaga-lembaga yang secara fungsional menangani

perencanaan; Kedua, kelemahan identifikasi masalah pembangunan; Ketiga,

dukungan data dan informasi perencanaan yang lemah; Keempat, kualitas sumber

daya manusia, khususnya di desa yang lemah; Kelima, lemahnya dukungan

pendampingan dalam kegiatan perencanaan; dan Keenam, lemahnya dukungan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8399/2/T1_352007002_BAB I… · Kedua, pada tingkatan praktis, kebijakan dan program yang tercantum

4

pendanaan dalam pelaksanaan kegiatan perencanaan pembangunan di desa. Dari

kelima faktor tersebut, menunjukkan bahwa persoalan kualitas perencanaan

pembangunan desa terletak pada aktor-aktor perencananya yang belum memiliki

kapasitas perencana, sehingga hal ini pula mempengaruhi intitusi perencana di

tingkat desa untuk merumuskan kebijakan pembangunan di tingkat desa.

Secara sosiologis, penyusunan dan perumusan sebuah kebijakan dalam

skala apapun, peranan aktor sangat diperlukan. Jika dapat disederhanakan, peran

ini dapat diartikan sebagai “Siapa, melakukan apa, untuk memperoleh apa”, atau

dengan kata lain, kebijakan diartikan sebagai sekumpulan aktivitas yang terjadi

dalam sebuah proses yang dilahirkan dari berbagai kegiatan (tindakan/praktik)

aktor-aktor untuk mencapai tujuan tertentu (Kusumanegara, 2010; 53). Dalam

kaitannya dengan penyusunan kebijakan RPJMDes, peran-peran yang dilakukan

oleh aktor-aktor sangat berpengaruh pada hasil penyusunan dari RPJMDes itu

sendiri. Aktor-aktor ini biasanya mempunyai latar belakang yang berbeda,

sehingga motif dan tujuan ingin dicapai juga berbeda-beda. Aktor tersebut

diantaranya yaitu, aparatur desa, kelompok kepentingan, kelompok intelektual

kampus (akademisi), kelompok yang mewakili Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM), dan lain-lain. Peran aktor-aktor tersebut sangat menentukan dalam

perumusan, pelaksanaan maupun pada saat mempertimbangkan konsekuensi dari

kebijakan yang dibuat (Kusumanegara, 2010; 53).

Desa Polobogo merupakan salah satu dari 12 desa yang ada dalam wilayah

administrasi Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah.

Wilayah administrasi Desa Polobogo diapit oleh dua pemerintahan, yakni

Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga. Pada akhir tahun 2010, pemerintahan

Desa Polobogo melaksanakan salah satu tugas dan fungsinya secara administratif,

yaitu penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Polobogo

(selanjutnya disebut RPJMDes Polobogo) tahun 2010-2015.2

2 Tugas dan fungsi tersebut mengacu pada pelaksanaan penerjemahan dan penjabaran dari

peraturan daerah kabupaten Semarang Nomor 7 Tahun 2011 yang disahkan pada tanggal 13 Mei

2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Semarang

tahun 2011-2015.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8399/2/T1_352007002_BAB I… · Kedua, pada tingkatan praktis, kebijakan dan program yang tercantum

5

Pada pelaksanaannya, ditemui persoalan mendasar yaitu, Pertama,

RPJMDes Polobogo 2010-2015 belum diakomodir sebagai dokumen kebijakan

desa. Kedua, pada tingkatan praktis, kebijakan dan program yang tercantum dalam

RPJMDes Polobogo 2010-2015 belum memperoleh alokasi anggaran dari

Kabupaten Semarang karena RPJMDes Polobogo belum menjadi dokumen

kebijakan daerah (kabupaten). Berdasarkan kedua hal tersebut, pemerintah Desa

Polobogo kemudian melakukan komunikasi dengan pemerintah Kabupaten

Semarang untuk menyelesaikan benturan (persoalan) tersebut di atas. Sehingga

pada bulan Oktober 2011, melalui berbagai inisiasi dilakukan kembali upaya

untuk melakukan penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015 bekerja sama

dengan Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi

(FISKOM) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), bersama Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) Trukajaya.3 Atas kerjasama tersebut, dihasilkanlah

RPJMDes Polobogo 2010-2015 yang baru, yang kemudian disampaikan pada

“Lokakarya RPJMDes Polobogo” pada tanggal 7 Desember 2011.

Dalam kegiatan “Lokakarya RPJMDes Polobogo 2010-2015”4 itu,

berbagai masukan, harapan dan evaluasi yang diberikan oleh pemerintah

Kabupaten Semarang (BAPPEDA) terhadap RPJMDes Polobogo yang baru

diselesaikan itu. Tercatat dalam sambutan Kepala Desa Polobogo menyampaikan

harapan agar RPJMDes yang disampaikan ini, dapat memecahkan masalah dan

benturan-benturan pembangunan yang selama ini terjadi. Selanjutnya, evaluasi

yang disampaikan oleh BAPPEDA Kabupaten Semarang terhadap perubahan

RPJMDes Polobogo itu, yang adalah sebagai berikut: Pertama, penyusunan

RPJMDes sebelumnya belum melalui mekanisme yang seharusnya (meninjau

RPJMDes Polobogo yang diajukan sebelumnya). Kedua, peraturan desa tentang

RPJMDes yang disusun, belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketiga,

belum memuat perencanaan pembangunan tahunan. Keempat, visi desa (yang

3 Diskusi pertama antara Pemerintah Desa Polobogo (termasuk Tim Penyusun RPJMDes Polobogo

sebelumnya) bersama dengan mahasiswa dan dosen pengampu mata kuliah Perencanaan

Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (FISKOM UKSW) serta perwakilan dari LSM

Trukajaya. Kantor Desa Polobogo, 13 Oktober 2011. 4 Berdasarkan pada Notulensi “Lokakarya RPJMDes Polobogo 2010-2015” tanggal 7 Desember

2011.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8399/2/T1_352007002_BAB I… · Kedua, pada tingkatan praktis, kebijakan dan program yang tercantum

6

termuat dalam RPJMDes masih meniru visi kabupaten. Namun demikian,

berdasarkan lokakarya tersebut, RPJMDes Polobogo yang baru ini diterima (juga

diapresiasi) oleh pihak pemerintah kabupaten dan disarankan agar diajukan segera

menjadi masukan bagi dokumen pembangunan daerah dalam lingkup kerja

administratif desa Polobogo.

Menilik dinamika dan perkembangan dari penyusunan RPJMDes

Polobogo, terdapat beberapa pertanyaan mendasar, siapa sajakah aktor yang

berperan penting dalam penyusunan RPJMDes tersebut? Apakah peran yang

dilakukan oleh aktor-aktor dalam penyusunan RPJMDes Polobogo tersebut? Dan,

apakah tujuan yang ingin dicapai oleh para aktor tersebut dalam penyusunan

RPJMDes Polobogo? Ketiga pertanyaan sederhana ini tentu terlihat mudah untuk

dijawab. Namun demikian dalam konteks sosiologis, yang perlu dicermati lebih

jauh adalah apa dan bagaimanakah kegiatan (tindakan/praktik) dari pada aktor-

aktor dalam menyusun RPJMDes Polobogo, atau apakah motif yang

melatarbelakangi para aktor dalam menyusun RPJMDes Polobogo, yang tentu

menjadi pertanyaan yang mendasar.

Dalam pendekatan sosiologi, Pierre Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003;8)

mengemukakan bahwa fenomena sosial apa pun merupakan produk dari tindakan-

tindakan individual, oleh karena itu, logika tindakan harus dilihat (dicari) pada sisi

rasionalitas pelakunya. Pierre Bourdieu juga mengemukakan bahwa (dalam Adib,

2012) praktik (secara sosial) merupakan hubungan relasional yakni struktur

objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku, terjalin secara dialektik.

Dalam konteks penyusunan RPJMDes Polobogo, dapat diasumsikan bahwa

terdapat rasionalitas tindakan antar aktor-aktor dalam sebuah struktur obyektif,

yaitu proses penyusunan RPJMDes Polobogo itu sendiri.

Dari beberapa uraian di atas, peran aktor menjadi signifikan untuk diteliti

lebih lanjut. Jika proses perencanaan pembangunan (desa) adalah (1) untuk

mendorong partisipasi, (2) pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik (good

governance), dan (3) mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka menjadi

menarik untuk diteliti tentang peranan aktor-aktor dalam mencapai ketiga tujuan

prinsip tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini akan berupaya mencermati tentang

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8399/2/T1_352007002_BAB I… · Kedua, pada tingkatan praktis, kebijakan dan program yang tercantum

7

peran aktor dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

(RPJMDes).

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peran aktor dalam penyusunan Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Polobogo 2010-2015,

di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang?

1.3. Pokok Persoalan Penelitian

1. Bagaimanakah proses penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015?

2. Bagaimanakah peran aktor dalam penyusunan RPJMDes Polobogo

2010-2015?

1.4. Tujuan Penelitian

Dari persoalan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Menggambarkan proses penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015.

2. Menjelaskan peran aktor dalam penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-

2015.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

pengembangan konsep perencanaan pembangunan khususnya di tingkat

desa.

2. Hasil dari penelitian ini lebih diutamakan sebagai masukkan bagi

aparatur Pemerintahan Desa dan masyarakat di Desa Polobogo.

3. Bagi peneliti-peneliti selanjutnya di bidang perencanaan pembangunan

desa dan institusi perguruan tinggi yang memiliki tanggung jawab

pengabdian masyarakat.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8399/2/T1_352007002_BAB I… · Kedua, pada tingkatan praktis, kebijakan dan program yang tercantum

8

1.6. Konsep-Konsep Yang Digunakan

Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Peran Aktor

Peran aktor yang menjadi alat analisa teoritis terhadap hasil

penelitian ini menggunakan konsep tindakan aktor Pierre Bourdieu.

Dalam kaitannya dengan konsep Bourdieu, maka peran aktor yang ingin

dimaksudkan adalah sekumpulan tindakan individual atau kolektif antar

aktor atau individu berdasarkan rasionalitas atau pengalamannya yang

digunakan dalam mempengaruhi struktur obyektif (Bourdieu, 1977;

86), yakni arena kekuasaan/perjuangan, dengan memanfaatkan, atau

bahkan dengan maksud ingin merebut modal-modal yang ada dalam

struktur obyektif tersebut (Ritzer dan Goodman, 2010; 583).

2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes)

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes)

merupakan dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun yang

memuat strategi dan arah kebijakan pembangunan desa, arah kebijakan

keuangan desa dan program prioritas desa, yang disertai dengan rencana

kerja. RPJMDes disusun untuk menjadi panduan atau pedoman bagi

komunitas desa dan supradesa, untuk mengelola potensi maupun

persoalan di desa dalam rangka pembangunan di desa. (Hanapiah,

2011)