bab i pendahuluan - library.binus.ac.id i_2013_0014.pdf · 1.1.2 perilaku orangtua yang ... 1.1.3...

14
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Pengaruh Kemajuan Ekonomi Terhadap Pola Konsumsi Masyarakat Perubahan ekonomi Indonesia sejak tahun 2008 terus mengalami perbaikan terlihat dari GDP Indonesia yang naik sekitar 4,5% per tahun dan jumlah pengangguran terus menurun serta meningkatnya jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia. Perbaikan kondisi ekonomi berdampak pada perubahan standar hidup dan pola konsumsi masyarakat. Salah satu indikasinya adalah peningkatan jumlah pengeluaran belanja makanan jadi yang meningkat menjadi 13,73% di tahun 2011 dari 12,79% pada tahun 2010 (Data Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS, 2011). Market Analysis Report dari International Markets Bureau pada bulan Januari 2011 juga menunjukkan jumlah pengeluaran terbesar masyarakat Indonesia adalah pada makanan, yaitu mencapai 40% 60 % dari GDP (ats-sea.agr.gc.ca, 2011). 1

Upload: voduong

Post on 06-Feb-2018

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.1.1 Pengaruh Kemajuan Ekonomi Terhadap Pola Konsumsi Masyarakat

Perubahan ekonomi Indonesia sejak tahun 2008 terus mengalami perbaikan

terlihat dari GDP Indonesia yang naik sekitar 4,5% per tahun dan jumlah

pengangguran terus menurun serta meningkatnya jumlah penduduk kelas menengah

di Indonesia. Perbaikan kondisi ekonomi berdampak pada perubahan standar hidup

dan pola konsumsi masyarakat. Salah satu indikasinya adalah peningkatan jumlah

pengeluaran belanja makanan jadi yang meningkat menjadi 13,73% di tahun 2011

dari 12,79% pada tahun 2010 (Data Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS, 2011).

Market Analysis Report dari International Markets Bureau pada bulan Januari 2011

juga menunjukkan jumlah pengeluaran terbesar masyarakat Indonesia adalah pada

makanan, yaitu mencapai 40% — 60 % dari GDP (ats-sea.agr.gc.ca, 2011).

1

2

1.1.2 Perilaku Orangtua Yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Anak Sekolah

Terdapat dua pola konsumsi di masyarakat, pada satu sisi kebutuhan makanan

jadi dan makanan yang diawetkan meningkat namun di sisi lain permintaan akan

buah, sayur, dan ragam makanan organik juga meningkat. Pengetahuan masyarakat

mengenai kesehatan serta semakin banyaknya jumlah penderita penyakit degeneratif

membuat masyarakat mulai memperhatikan asupan nutrisi dan kalori yang

dikonsumsinya. Trend hidup sehat yang ditularkan dari luar negeri melalui media pun

menjadi pendorong bagi masyarakat untuk mengubah pola hidupnya, salah satunya

yang paling populer adalah konsumsi makanan organik. Gaya hidup sehat di

masyarakat menciptakan permintaan akan restoran, makanan kemasan, dan makanan

siap saji yang sehat seperti menggunakan bahan organik, tidak menggunakan MSG

maupun pewarna makanan terutama produk makanan sehat yang berbau western,

tidak terkecuali untuk anak-anak (www.euromonitor.com, 2011).

Pola hidup sehat juga diupayakan oleh orangtua untuk dijalankan oleh anak-

anak mereka. Orangtua semakin menyadari pentingnya nutrisi yang tepat dan

makanan yang aman bagi tumbuh kembang anak mereka sehingga lebih

memperhatikan nutrisi dan kalori yang dikonsumsi anak mereka.

Di wilayah urban dan sub-urban, kebanyakan ibu rumah tangga bekerja

sebagai wanita karir sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk dapat

memperhatikan nilai asupan gizi bagi anak mereka (female.kompas.com, 2011).

Terbatasnya waktu membuat para ibu kesulitan untuk terus membawakan bekal ke

3

sekolah dan lebih memilih makanan cepat saji sebagai menu bekal (sosis, kornet,

nugget). Para ibu sulit mengontrol makanan apa yang dibeli oleh anak-anak mereka di

sekolah dengan uang jajannya. Selain waktu, keterbatasan pengetahuan gizi pada ibu

rumah tangga juga menjadi faktor lain yang memicu ketidakseimbangan gizi pada

anak. Takaran gizi yang diberikan bisa kurang atau bahkan berlebihan. Menyajikan

makanan beku, kalengan, dan makanan berkadar gula dan lemak jenuh tinggi lebih

karena sangat disukai oleh anak-anak, dapat memberikan asupan gizi berlebih dari

angka kebutuhannya. Kekhawatiran bahwa anak kekurangan zat gizi malah dapat

menimbulkan potensi obesitas (health.detik.com, 2012).

1.1.3 Peranan Pemerintah Terhadap Perbaikan Mutu Pangan Jajan Anak

Sekolah

Makanan jajan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 942/MENKES/SK/VII/2003 Tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi

Makanan Jajanan Bab 1 Pasal 1 adalah makanan dan minuman yang diolah oleh

pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap

santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan atau

restoran, dan hotel. Penganan makanan jajanan adalah kegiatan yang meliputi

pengadaan, penerimaan bahan makanan, pencucian, peracikan, pembuatan,

pengubahan bentuk, pewadahan, penyimpanan, pengangkutan, dan penyajian

makanan atau minuman (Pedoman Persyaratan hygiene Sanitasi Makanan Jajanan,

DepKes RI, 2003).

4

Ragam jenis pangan jajan yang dijual di sekolah-sekolah antara lain adalah

nasi rames, mie ayam, siomay, hamburger, kue basah, makanan ringan, dan berbagai

jenis gorengan serta minuman ringan berupa teh, soda, jus, dan sirup

(health.kompasiana.com, 2012).

Pangan jajan sebagai bagian penting dari sumber asupan gizi dan energi

membuat pemerintah menetapkan aturan yang ketat dalam pengadaan makanan dalam

upaya memperbaiki mutu gizi pangan jajan. Pemerintah membuat standarisasi

melalui Kementerian Kesehatan melalui program penyuluhan Makanan Sehat Anak

Sekolah, yang disosialisasikan melalui Jejaring Informasi Pangan dan gizi

Kementerian Kesehatan RI tahun 2011.

Kegemaran anak-anak untuk jajan di sekolah sulit untuk dihentikan karena

berbagai faktor seperti lingkungan, contohnya saat melihat teman-temannya membeli

jajanan di kantin sekolah, anak akan terdorong untuk ikut jajan terlebih saat makanan

yang dijual gencar dipromosikan meskipun sudah dibawakan bekal dari rumah oleh

orangtuanya (nasional.kompas.com, 2007).

Menu yang disajikan di kantin sekolah harus dapat menyesuaikan dan

diperhatikan nilai gizinya. Asupan gizi yang cukup merupakan salah satu faktor

utama yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan kecerdasan anak,

mereka mendapatkannya dari makanan dan minuman yang mereka konsumsi.

Pentingnya masalah asupan gizi bagi tumbuh kembang anak juga telah mendapat

perhatian pemerintah Indonesia, pemerintah melalui Wakil Presiden RI

5

mencanangkan “Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman,

Bermutu, dan Bergizi” yang bertujuan untuk menjamin serta meningkatkan Pangan

Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang aman, bermutu, dan bergizi melalui

pemberdayaan komunitas sekolah (www.marketplus.co.id, 2011).

Upaya memperbaiki status gizi anak usia sekolah melalui program “Gerakan

Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu, dan Bergizi” ini

sejalan dengan usaha pemerintah melakukan diversifikasi pangan. Tahun 2011

pemerintah mencanangkan program diversifikasi pangan yang dilaksanakan oleh

Kementerian Perdagangan melalui menterinya Gita Wiryawan, untuk mengurangi

ketergantungan masyarakat terhadap beras sebagai sumber karbohidrat sehingga

dapat mengurangi impor beras Indonesia dan membangun ketahanan pangan (Bisnis

Keuangan, 2011).

1.1.4 Peranan Sekolah Terhadap Perbaikan Mutu Pangan Jajan Anak Sekolah

Anak usia sekolah dasar belum dapat menentukan pilihan makanan

berdasarkan kandungan gizinya, tetapi lebih kepada rasa dan harga sehingga

dibutuhkan peran orang dewasa dalam mengatur pola konsumsinya (tempo.co, 2012).

Menu makanan yang terdapat di kantin sekolah harus dapat menjadi bagian dari diet

sehat anak. Kandungan gizi dan energi dalam makanan maupun camilan sangat

penting karena pemilihan makanan yang dilakukan anak pada masa pertumbuhan

akan mempengaruhi kesehatan dan kebiasaan makannya di kemudian hari

6

(www.bbc.co.uk, 2011). Makanan yang dikonsumsi anak harus memiliki kombinasi

protein, serat, zat besi, folat, dan kalsium serta kadar gula, garam, minyak, dan lemak

yang dibatasi (www.hpb.gov.sg, 2011).

Di setiap sekolah terdapat anak yang mengalami obesitas yang perlu diatur

asupan kalorinya, anak-anak dengan berat normal yang perlu diperhatikan

keseimbangan gizinya serta anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus seperti

autis dan hiperaktif yang tidak dapat mengkonsumsi gluten, gula berlebih, dan

pantang terhadap pewarna serta penyedap rasa. Pengurangan konsumsi gula menjadi

salah satu kunci pencegahan obesitas pada anak, selain itu konsumsi gula berlebih

pada anak penderita autis dan hiperaktif juga dapat memperburuk kondisinya

(tempo.co, 2012).

Kondisi memprihatinkan yang terjadi di kota besar adalah jumlah anak yang

mengalami obesitas terus meningkat. Menurut Menteri Kesehatan, pada 2007 jumlah

anak obesitas meningkat sebesar 9,5% pada anak laki-laki dan 6,4% pada anak

perempuan, lebih dari empat persen dibandingkan tahun 1990. Masalah ini belum

mendapatkan perhatian cukup serius. Bahkan anak dengan berat badan berlebih masih

dianggap simbol kesuksesan orangtua (thejakartapost, 2010).

Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Bagian

Riset Medis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2010, 17,1% anak usia

sekolah dasar mengalami obesitas dan Jakarta merupakan provinsi dengan prevalensi

jumlah anak penderita obesitas terbesar (www.thejakartapost.com, 2011). Menurut

7

Rini Sekartini, Dokter Pediatrik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

salah satu penyebab utama obesitas pada anak adalah konsumsi gula buatan, pada

wawancaranya menyebutkan, “Banyak anak sekolah di Indonesia menderita obesitas

karena konsumsi gula tambahan yang berlebihan.”(Sekartini, 2011).

Kelebihan konsumsi gula yang tersembunyi dalam formula makanan selain

menyebabkan kelebihan kalori juga dapat menyebabkan anak resisten terhadap

insulin dan bahaya penyakit degeneratif. Selain itu kelebihan konsumsi gula juga

memperparah kondisi anak berkebutuhan khusus seperti autis dan hiperaktif. Selain

ancaman penyakit, anak dengan berat badan berlebih juga akan mengalami masalah

psikologis karena malu dengan kondisi fisiknya (www.thejakartapost.com, 2011).

1.1.5 Identifikasi Masalah

Orangtua memiliki kekhawatiran terhadap apa yang dikonsumsi oleh anak-

anak mereka di sekolah, terutama mereka yang memiliki anak usia sekolah dasar

karena mereka belum dapat memilih makanan yang tepat, aman, dan bergizi

seimbang bagi dirinya. Orangtua memiliki keinginan untuk dapat memantau dan

memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya terlebih dengan semakin maraknya berita

mengenai makanan jajanan yang mengandung bahan berbahaya. Tetapi orangtua

tidak dapat terus mengawasi anak-anak mereka selama berada di sekolah dan

memiliki keterbatasan waktu untuk dapat menyiapkan bekal makanan ke sekolah

yang sehat dan diolah segar setiap hari (Ayahbunda.co.id, 2011).

8

Anak-anak lebih menyukai jajan di sekolah meskipun telah membawa bekal

dari rumah karena pengaruh dari teman-temannya dan lebih tertarik makanan cepat

saji yang berwarna-warni serta berkadar gula tinggi. Anak-anak menghabiskan

sebagian besar waktunya di luar rumah. Kebutuhan nutrisi dan energinya didapat

dengan mengkonsumsi makanan yang tersedia di dalam kantin sekolah maupun di

sekitar sekolah. Berdasarkan studi IPB Bogor pada 2004, jajanan anak di sekolah

menyumbang 36 persen kebutuhan energi anak (Suara Merdeka, 2012).

Hal ini tentunya menjadi perhatian orangtua yang khawatir dengan jajanan di

sekolah, karena menu jajanan di sekolah tidak terjamin nilai gizinya serta

mengandung banyak gula dan bahan berbahaya lainnya. Faktanya masih terdapat

40—44 persen jajanan anak di sekolah yang tidak memenuhi standar karena kualitas

bahan makanan yang diolah menjadi jajanan tidak memenuhi standar kebutuhan gizi,

keamanan serta kebersihan (www.img21.com, 2011).

Pangan jajan yang seharusnya menjadi makanan selingan fungsinya beralih

menjadi makanan utama pemenuh kebutuhan nutrisi mereka, sehingga penting untuk

diperhatikan kandungan nutrisinya.

Berdasarkan observasi di lima sekolah di Jakarta Selatan, sekolah-sekolah

swasta bertaraf internasional di Indonesia mulai menerapkan standarisasi pengadaan

makanan di kantin sekolah mereka untuk menjamin siswanya mengkonsumsi

makanan yang aman dan bergizi.

9

Menurut Ibu Hani, salah satu pemilik kantin di SD Bina Nusantara, untuk

dapat membuka kedai di kantin SD Bina Nusantara, dirinya harus memenuhi standar

seperti dilarang menggunakan MSG dan pewarna makanan, menjaga kebersihan dan

higienis. Pihak SD Bina Nusantara pun secara rutin satu bulan sekali akan melakukan

inspeksi terhadap gerai-gerai di kantin sekolahnya.

Beberapa sekolah bahkan mulai menerapkan aturan yang lebih ketat, yaitu

melarang penjualan minuman ringan dan makanan ringan di kantin sekolahnya.

Harga makanan di kantin sekolah internasional ini pun lebih mahal dari sekolah-

sekolah negeri maupun swasta lain, kisaran harga yang ditawarkan antara Rp 8.000

— Rp 25.000 per porsi.

Pengadaan pangan jajan yang sehat dan aman memerlukan modal yang cukup

besar bila tidak disiasati dengan pemilihan bahan baku pangan yang tepat.

Diperlukan penggunaan bahan alternatif yang relatif lebih murah tetapi memberikan

nutrisi yang setara dan harus kreatif dalam pengolahannya agar digemari oleh anak-

anak. Ketatnya aturan dan standar dari sekolah serta kebutuhan modal yang tidak

sedikit membuat pengusaha makanan jajanan di kantin sekolah masih sedikit yang

memenuhi kebutuhan segmen ini.

Pengadaan pangan jajan sehat anak sekolah ini dapat menjadi peluang usaha

dengan memberikan solusi pangan jajan berkualitas dengan harga terjangkau.

Dengan penggunaan bahan baku alternatif yang biayanya lebih murah namun tetap

memenuhi standar gizi dan kesehatan serta kualitas penyajian yang baik, membuka

10

peluang untuk dapat masuk kriteria tenant yang dipilih oleh komite pengawas kantin

sekolah.

1.2 Business Plan Objectives

Tujuan dibuatnya business plan ini adalah :

1. Menangkap peluang kebutuhan pangan jajan sehat yang memperhatikan

kandungan gizi dan kalori bagi anak-anak di kantin-kantin sekolah dasar.

2. Membuat strategi dan gambaran tepat mengenai value proposition dari

produk, konsumen dan pasarnya, distribusi, pricing serta strategi promosi

untuk pangan jajan sehat bagi anak sekolah dasar melalui analisa 4P dan

STP. Sebagai action plan dan road map yang membantu bisnis untuk

tetap berada di jalurnya dan bergerak ke tujuan akhir.

3. Sebagai sarana untuk mengkomunikasikan bisnis dan menarik calon

investor.

1.3 Methodology And Tools

1.3.1 Preliminary Research

Supa Meal menggunakan data sekunder dalam preliminary research sebagai

data pendukung yang dapat memperkuat pemikiran dasar mengenai ide bisnis pangan

jajan anak sekolah, serta membantu untuk lebih memahami dan melihat potensi dari

ide bisnis yang dipilih.

11

1.3.2 In Depth Interview

Supa Meal melakukan wawancara dengan beberapa responden yang sesuai

dengan kriteria target market potensial. Kriterianya adalah sekolah-sekolah dasar

dengan uang pangkal ≥ Rp 30.000.000 yang memiliki perhatian terhadap kualitas

dan gizi makanan untuk anak yang dijual di kantin sekolah mereka. Adapun profil

responden dijelaskan pada Tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1 Profil Responden

Sumber : Penulis, 2012

No Nama Sekolah Biaya Masuk Biaya SPP Rata-Rata

Jumlah Uang

Saku Murid

1 Cikal Rp 58.000.000 Rp 2.750.000 per bulan Rp 25.000

2 Cita Buana Rp 50.000.000 Rp 2.500.000 per bulan Rp 20.000

3 Bina Nusantara

Simprug

Rp 40.000.000 Rp 15.000.000 per tiga

bulan

Rp 30.000

4 Al-Izhar Rp 31.500.000 Rp 2.000.000 per bulan Rp 15.000

5 High Scope Rp 40.000.000 Rp 2.400.000 per bulan Rp 25.000

12

1.3.3 Qualitative Research

Penulis melakukan qualitative research dengan dua metode yaitu observasi

dan structured interview untuk mendapatkan insight mengenai pengetahuan ibu

mengenai makanan sehat dan pola konsumsi anak di sekolah.

1. Observasi :

Observasi dilakukan terhadap lima orang siswa Sekolah Dasar Al-Izhar Pondok

Labu. Observasi ini bertujuan untuk mengetahui kebiasaan dan pola makan anak

di sekolah. Observasi ini menunjukkan hasil :

Tabel 1.2 Hasil Observasi

Sumber : Penulis, 2012

No. Action Jumlah Siswa

1 Membeli makanan di kantin 3

2 Membeli makanan dan membawa bekal 2

3 Membeli makanan di atas Rp 15.000 4

4 Tidak membeli/membawa makanan yang mengandung

sayur/buah

5

5 Melahap sayuran ketika diberikan sample Supa Meal

berupa sayuran

3

13

Dari hasil observasi dan wawancara ke lima siswa tersebut, disimpulkan bahwa :

1. Siswa yang membawa bekal memiliki kegiatan ekstrakulikuler, sehingga uang

jajan dipakai untuk makan siang di kantin.

2. Anak-anak terkadang tidak menyukai bekalnya karena sudah dalam keadaan

dingin.

3. Jenis makanan di kantin sekolah yang disukai oleh anak-anak adalah fried

chicken dengan kentang goreng, mie bakso, lasagna, dan pancake dengan es

krim.

4. Anak-anak membawa sosis, nugget, dan kentang goreng sebagai menu

bekalnya dan tidak terdapat serat atau sayuran di dalamnya.

5. Anak-anak mengetahui apa itu makanan sehat hanya tidak menerapkannya

pada pola makan sehari-hari.

6. Anak-anak pada umumnya menyukai sayuran meskipun terkadang pemilih.

Sayuran yang diolah dan disajikan dengan cara yang unik menjadi daya tarik

mereka untuk mulai menyukai sayuran.

2. Structured Interview :

Structured interview dilakukan terhadap 30 responden yang merupakan

orangtua murid, baik yang bekerja maupun ibu rumah tangga. Hasil wawancara

kepada 30 orang tua murid, menunjukkan bahwa orangtua murid lebih memilih

untuk membawakan bekal karena khawatir dengan makanan yang ditawarkan di

kantin mengandung MSG dan khawatir akan kebersihannya.

14

Tetapi keterbatasan waktu membuat orangtua sulit untuk terus membawakan

bekal dan makanan yang disajikan sebagai bekal pada akhirnya makanan beku seperti

nugget, sosis, dan kentang goreng.