bab i pendahuluan -...

26
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan berada pada 6 o LU hingga 11 o LS serta pada 95 o BT hingga 141 o BT. Berdasarkan data dari Badan Informasi Geospasial (BIG) pada tahun 2013, panjang garis pantai Indonesia sepanjang 99.093 km (belum termasuk garis pulau dan danau ) dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 pulau (by name by address). Konsekuensi dari panjangnya garis pantai tersebut adalah dibutuhkannya stasiun pasang surut yang lebih banyak di sepanjang garis pantai tersebut untuk memberikan gambaran kondisi pasang surut yang benar. Indonesia pada tahun 2013 baru memiliki 113 stasiun pasang surut dari target 400 stasiun dibawah koordinasi Badan Informasi Geospasial(BIG, 2013). Hal ini menyebabkan kebutuhan akan data pasang surut di pantai-pantai di Indonesia belum dapat terakomodasi. Data pasut sangat penting bagi kegiatan pembangunan dan pengembangan daerah pesisir.Dari data tersebut dapat diketahui informasi muka air laut dan perkiraan air laut tertinggi serta terendah untuk referensi pembangunan dermaga atau pelabuhan. Selain itu, dapat didefinisikan chart datum pada suatu perairan tertentu. Dengan pengembangan teknologi akuisisi data yaitu secara ekstraterestrial menggunakan satelit altimetri, data pasut memegang peranan sebagai koreksi SSH maupun SLA satelit altimetri. Namun karena ketersediaannya yang terbatas, informasi pasang surut pada suatu perairan tertentu belum dapat diketahui. Salah satu solusi dari keterbatasan data pasang surut dari stasiun pasang surut di sepanjang pantai di Indonesia adalah dengan menggunakan model pasang surut global. Model pasang surut global diantaranya dibentuk menggunakan data satelit altimetri seperti TOPEX/Poseidon, ERS-2, ENVISAT, Jason-1 atau Jason-2 pada periode tertentu menggunakan metode tertentu (Savcenko dan Bosch, 2011). Model pasang surut global diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yang pertama adalah model berdasarkan analisis data altimetri seperti model CSR (Center for Space Research) dan GOT (Goddard

Upload: vuongngoc

Post on 30-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan berada pada 6o LU

hingga 11oLS serta pada 95

oBT hingga 141

oBT. Berdasarkan data dari Badan Informasi

Geospasial (BIG) pada tahun 2013, panjang garis pantai Indonesia sepanjang 99.093 km

(belum termasuk garis pulau dan danau ) dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 pulau

(by name by address). Konsekuensi dari panjangnya garis pantai tersebut adalah

dibutuhkannya stasiun pasang surut yang lebih banyak di sepanjang garis pantai tersebut

untuk memberikan gambaran kondisi pasang surut yang benar. Indonesia pada tahun

2013 baru memiliki 113 stasiun pasang surut dari target 400 stasiun dibawah koordinasi

Badan Informasi Geospasial(BIG, 2013). Hal ini menyebabkan kebutuhan akan data

pasang surut di pantai-pantai di Indonesia belum dapat terakomodasi.

Data pasut sangat penting bagi kegiatan pembangunan dan pengembangan daerah

pesisir.Dari data tersebut dapat diketahui informasi muka air laut dan perkiraan air laut

tertinggi serta terendah untuk referensi pembangunan dermaga atau pelabuhan. Selain

itu, dapat didefinisikan chart datum pada suatu perairan tertentu. Dengan pengembangan

teknologi akuisisi data yaitu secara ekstraterestrial menggunakan satelit altimetri, data

pasut memegang peranan sebagai koreksi SSH maupun SLA satelit altimetri. Namun

karena ketersediaannya yang terbatas, informasi pasang surut pada suatu perairan

tertentu belum dapat diketahui.

Salah satu solusi dari keterbatasan data pasang surut dari stasiun pasang surut di

sepanjang pantai di Indonesia adalah dengan menggunakan model pasang surut global.

Model pasang surut global diantaranya dibentuk menggunakan data satelit altimetri

seperti TOPEX/Poseidon, ERS-2, ENVISAT, Jason-1 atau Jason-2 pada periode tertentu

menggunakan metode tertentu (Savcenko dan Bosch, 2011). Model pasang surut global

diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yang pertama adalah model berdasarkan analisis

data altimetri seperti model CSR (Center for Space Research) dan GOT (Goddard

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

2

Ocean Tide). Kategori kedua adalah model hidrodinamik murni seperti model FES95.2

serta kategori terakhir adalah model dinamis yang diasimilasikan dengan data pasut

observasi seperti model TPXO dan FES2004 (Basith, 2012). Namun, ketelitian dari

model pasang surut global tergantung pada lokasi perairan (region-dependent) dimana

ketelitiannya lebih rendah secara signifikan untuk daerah pesisir daripada di laut dalam

(Fok dkk., 2010).

Beberapa model pasang surut global (Global Tide Model) telah diasimilasi dan

divalidasi menggunakan data pasang surut perairan tertentu sehingga menghasilkan

model pasang surut regional. Model pasang surut ini meningkat ketelitiannya di perairan

tersebut dibandingkan model pasang surut global sehingga hanya cocok digunakan pada

perairan tersebut. Namun, belum diketahui model pasut yang paling sesuai, khususnya

untuk perairan pulau Jawa. Untuk itu, diperlukan identifikasi model pasut global dan

regional yang sesuai dengan cara (1) Nilai konstanta harmonik pasang surut suatu

perairan dari model pasut memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan nilai konstanta

harmonik pasang surut dari data lapangan (pengukuran pasang surut terestris) (Lyard

dkk., 2005), (2) Model pasut digunakan untuk aplikasi tertentu, misalnya koreksi data

satelit altimetri dapat meningkatkan ketelitian atau standar deviasi data satelit altimetri

(Fok dkk, 2010).

Pada penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap Regional Tide ModeldanGlobal

Tide Model untuk mengetahui model pasang surut yang paling sesuai dengan wilayah

perairan pulau Jawa. Model yang diuji yaitu model pasut regional buatan BIG (Badan

Informasi Geospasial) dan model global FES2012 dan TPXO7-Atlas. Pemilihan model

tersebut dikarenakan model BIG merupakan asimilasi model TPXO7-Atlas

menggunakan data pasang surut perairan Indonesia sedangkan model FES2012 dipilih

karena merupakan model terbaru dengan resolusi spasial yang baik dan ukuran grid yang

rapat. Semakin kecil perbedaan antara konstanta harmonik pasut model dengan data

pengamatan pasut maka makin baik model pasang surut tersebut untuk digunakan pada

suatu perairan (Fok dkk., 2010). Selain itu, ketelitian (STD) data satelit altimetri yang

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

3

meningkat setelah diberikan koreksi dari model pasut maka semakin baik model

tersebut.

I.2. Rumusan Masalah

Saat ini tersedia model pasang surut global serta model pasang surut regional hasil

asimilasi dengan data pasang surut terestris sebagai alternatif menyelesaikan

keterbatasan data pasang surut yang ada di lapangan. Namun demikian, belum diketahui

ketelitian dan kesesuaian model-model tersebut dengan perairan pulau Jawa. Oleh

karena itu perlu dilakukan evaluasi model pasut dengan data pengamatan pasut dan

satelit altimetri untuk mengetahui model yang paling sesuai di gunakan di perairan pulau

Jawa.

I.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan masalah yang diidentifikasi pada sub bab I.2 maka peneliti

merumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut :

1. Berapakah nilai konstanta harmonik pasang surut pada masing-masing Global

Tide Model (FES2012 dan TPXO-7 Atlas), model pasang surut regional buatan

BIG serta data stasiun pasang surut pada perairan pulau Jawa?

2. Bagaimanakah urutan model yang memiliki nilai Root Mean Square (RMS),

Root Sum of Squares (RSS), Root Sum of Squares of the In-phase and

Quadrature (RSSIQ), Discrepancy (D) dengan data tide gauges terkecil hingga

terbesar?

3. Bagaimanakah urutan model yang memberikan nilai standar deviasi (STD) SLA

data satelit altimetri terkoreksi pasang surut laut data model dari terkecil hingga

terbesar?

4. Model pasut apa yang paling sesuai digunakan pada perairan pulau Jawa?

I.4. Cakupan Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan evaluasi ketelitian model pasang surut global dan

regional pada perairan pulau Jawa. Data yang digunakan yaitu data pasang surut terestris

pada 4 stasiun pasut di pulau Jawa dan satelit altimetri yang melewati pulau Jawa selama

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

4

satu tahun. Model yang dievaluasi yaitu model pasut global FES2012 dan TPXO7-Atlas

serta model pasut regional BIG. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan nilai

amplitudo 4 konstanta utama dari model terhadap konstanta dari pengukuran terestris.

Selain itu, nilai konstanta harmonik dari model digunakan untuk koreksi SLA satelit

altimetri yang masih mengandung nilai pasut ekuilibrium periode panjang dan sinyal

musiman sehingga akan menghasilkan nilai standar deviasi yang lebih baik. Model pasut

yang paling sesuai digunakan di perairan pulau Jawa ditunjukkan dengan model yang

memiliki nilai perbandingan ketelitian dan standar deviasi yang paling kecil.

I.5. Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Memperoleh nilai konstanta harmonik pasut dari data stasiun pasut dan 3 (tiga)

model pasut.

2. Memperoleh nilai perbandingan ketelitian (RMS, RSS, RSSIQ dan D) antara

konstanta harmonik model pasut regional dan global terhadap konstanta

harmonik data pasut terestris/lokal.

3. Memperoleh nilai perbandingan ketelitian (STD) model pasut regional dan

global untuk aplikasi koreksi data satelit altimetri.

4. Memperoleh model pasut yang paling sesuai dengan perairan pulau Jawa.

I.6. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini yaitu dengan diketahui model pasut yang sesuai dengan

perairan pulau Jawa, maka dapat digunakan oleh pihak lain seperti instansi-instansi

terkait yang membutuhkan data pasang surut pada perairan pulau Jawa khususnya dan

perairan Indonesia lainnya yang jauh dari lokasi stasiun pasang surut. Oleh karena itu,

pembangunan dan pekerjaan lain yang memanfaatkan informasi pasut dapat dilakukan.

I.7. Tinjauan Pustaka

Cheng dkk (2010) melakukan validasi terhadap model pasut DTU10 dengan

pengukuran stasiun pasut pada wilayah Northwest European Shelf dan Eastern China

Sea. Perbandingan dengan model referensi FES2004 dan dengan model pasut global lain

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

5

seperti EOT08a dan GOT4.7 menunjukkan konstanta harmonik utama (M2, S2, K1 dan

O1) yang lebih baik pada wilayah perairan dangkal.

Carrere dkk (2012) mengadakan penelitian terhadap model pasut global FES2012.

Keakurasian model ini ditingkatkan dengan menggunakan data satelit altimetri selama

20 tahun namun masih memiliki errorpada perairan dangkal dan lintang tinggi. Model

ini masih harus meningkatkan koreksi pasang surut untuk semua misi satelit altimetri

dan misi SWOT pada tahun 2020. Nilai konstanta harmonik M2 lebih baik daripada

model DTU10 dan GOT4.8, khususnya pada wilayah pesisir dan shelf. Sedangkan nilai

K1 lebih baik pada wilayah pesisir/shelf daripada laut dalam.

European Space Agency (ESA) (2014) membandingkan model GOT4.8 dengan

FES2004 menggunakan data residu along-track 7,5 tahun dan data satelit Jason-2 dan

ENVISAT. Hasil menunjukkan bahwa model GOT4.8 mengurangi residu varian lebih

besar daripada FES2004 di perairan dangkal. Pengurangan varian tersebut lebih besar

dari 25 cm2.

Fok dkk (2010) melakukan penelitian dengan judul “evaluation of ocean tide

models used for Jason-2 Altimetry correction”. Pada penelitian ini, para peneliti

memperkirakan keakurasian koreksi pasut pada satelit altimetri Jason-2 menggunakan

model pasut FES2004 dan GOT00.2 dengan fokus pada wilayah pesisir tertentu. Model

pasut lain yang digunakan untuk memvalidasi di wilayah pesisir adalah EOT08a,

GOT4.7, NAO.99b, OSU06, TPXO6.2, TPXO7.1 dan TPX07.1. Metode yang

digunakan adalah dengan analisis data referensi di lapangan dan analisis variance-

reduction satelit altimetri. Wilayah perairan yang diteliti adalah pesisir pasifik barat laut,

atlantik barat laut, Gulf of Mexico, Patagonia Shelf, Cina Tenggara, Australia Selatan

dan Afrika Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan keakurasiannya tergantung pada

wilayah perairan tertentu pada tingkat RMS 2-3 cm.

Shum dkk (2012) melakukan evaluasi terhadap model pasang surut. Penelitian ini

menunjukkan perkiraan akurasi global dan regional menggunakan data stasiun pasut dan

data satelit altimetri. Stasiun pasut yang digunakan adalah stasiun pesisir dan pelagic.

Selain itu juga menggunakan database stasiun BODC acclaim, DART, gloup shelf,

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

6

rosame, SW 179, sonel dan gloup deep. Satelit altimetri yang digunakan adalah

TOPEX/Poseidon, GFO, Envisat, Jason-1 dan Jason-2. Wilayah yang diteliti adalah Gulf

Mexico dan Northwest Atlantic, Patagonia Shelf, Southeast Australia, Indonesia Sea,

Northeast Pasific dan Japanese Sea. Penelitian ini menunjukkan bahwa semua model

pasut ketelitiannya bergantung pada wilayah perairan.

Umam (2013) melakukan penelitian dengan melakukan evaluasi data hasil

prediksi elevasi dan ekstraksi konstanta pasut. Penelitian ini menggunakan model pasut

TPXO7.1 dan mengolahnya menggunakan perangkat lunak TMD. Hasil dari penelitian

ini adalah perbandingan konstanta pasut hasil prediksi elevasi dan ekstraksi konstanta

pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling kecil

dimiliki oleh komponen K1. Sedangkan untuk nilai RMSE amplitudo terbesar adalah

komponen S2 serta RMSE beda fase terbesar adalah komponen N2. Nilai rata-rata

RMSE amplitudo dan beda fase berturut-turut adalah sebesar 3,49336 dan 87,24757.

Pada penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap tiga buah model pasang surut yaitu

model pasang surut global (FES2012 dan TPXO7-Atlas) serta model pasang surut

regional yaitu model pasut BIG. Metode evaluasi model menggunakan metode

perbandingan nilai konstanta harmonik data model dengan konstanta harmonik dari data

pengamatan pasut di pulau Jawa yaitu stasiun Kolinlamil, Pelabuhan Ratu, Surabaya dan

Sadeng. Metode evaluasi lain yang digunakan adalah identifikasi nilai standar deviasi

pada SLA (Sea Level Anomaly) dari data satelit altimetri Jason-2 yang telah diberi

koreksi pasut laut dari model. Berdasarkan hasil studi pustaka, belum ditemukan

penelitian yang serupa untuk melakukan evaluasi model pasang surut. Pada penelitian

ini difokuskan untuk memperoleh model pasang surut yang cocok digunakan pada

perairan pulau Jawa.

I.8. Landasan Teori

I.8.1. Teori Pasang Surut Laut

Pasang surut adalah fenomena naik dan turunnya muka air laut secara periodik

yang disebabkan karena pergerakan bumi, bulan, matahari dan benda astronomi lainnya

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

7

serta gaya sentrifugal sebagai gaya penyeimbang yang menyebabkan perpindahan massa

air laut seluruhnya dari permukaan hingga dasar laut (Donkers, 1964).

Terdapat beberapa teori mengenai pasang surut air laut seperti yang dikemukakan

oleh Sir Isaac Newton (1642-1727) mengenai teori pasut setimbang (Equilibrium Tides).

Teori ini mengasumsikan bumi berbentuk bola sempurna yang diselimuti air dengan

kedalaman homogen. Bumi dan air yang menyelimutinya dianggap dalam keadaan diam

(bumi ideal) sampai terdapat gaya yang mempengaruhinya. Namun pada kenyataannya,

bumi tidak berada pada keadaan setimbang karena tidak seluruh permukaan bumi

diselimuti oleh air namun juga terdapat daratan pada bumi. Selain itu, dasar laut

memiliki topografi dengan kedalaman yang beragam (tidak homogen). Adanya gesekan

(Zahran dkk., 2006) antara massa air laut dengan dasar laut atau antar massa air laut itu

sendiri juga mempengaruhi kondisi pasang surut setimbang.

I.8.2. Teori Harmonik Pasang Surut

Matahari dan bulan merupakan dua benda astronomi utama yang gaya tariknya

terhadap bumi mempengaruhi pasang surut yang terjadi di bumi. Benda astronomi lain

kecil pengaruhnya sehingga diabaikan karena jaraknya yang terlalu jauh dari bumi atau

karena ukurannya yang kecil (Donkers, 1964). Meskipun massa matahari lebih besar

dibanding massa bulan, gaya pembangkit pasang surut karena gaya tarik bulan lebih

besar pengaruhnya.

Teori pasut setimbang yang pertama dikemukakan oleh Laplace kemudian

dikembangkan oleh beberapa peneliti seperti Darwin, Doodson dan Franco. Pada

pengembangannya, Darwin menghasilkan beberapa konstanta harmonik seperti Mf, O1,

K1, OO1, M2, K2, P1, K1, Q1, S2, K2 dan Ssa. Sedangkan Doodson menetapkan

bilangan Doodson untuk membeda-bedakan jenis pasut. Bilangan Doodson ini

menetapkan nilai 0 (nol) untuk komponen periode panjang, 1 (satu) untuk komponen

diurnal dan 2 (dua) untuk komponen semidiurnal. Pengembangan teori harmonik pasut

oleh Franco menghasilkan komponen periode panjang, diurnal dan semidiurnal (Basith,

2014).

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

8

I.8.3. Konstanta Harmonik Pasang Surut

Gerakan pembangkit pasut dapat direpresentasikan dalam bentuk kurva kosinus.

Sumbu horizontal merepresentasikan waktu sedangkan sumbu vertikal

merepresentasikan besarnya gaya pembangkit pasut. Puncak kurva menandakan waktu

maksimal saat gaya membangkitkan pasut sedangkan sebaliknya, lembah kurva

menandakan waktu minimal. Masing-masing gerakan pembangkit pasut tersebut

direpresentasikan menjadi kurva kosinus harmonik sederhana yang dikenal sebagai

komponen pasut, konstanta pasut dan konstanta harmonik.

Konstituen pasut disebut sebagai konstanta semidiurnal utama matahari (Principal

Solar semidiurnal constituent) yang disimbolkan S2 sedangkan konstanta semidiurnal

utama bulan (Principal Lunar semidiurnal constituent) disimbolkan M2. Angka dua

menandakan bahwa konstanta tersebut mengalami dua siklus sehingga konstanta S2 dan

M2 merupakan konstanta semidiurnal. Periode S2 adalah 12,00 jam matahari sedangkan

periode M2 adalah 12,42 jam matahari. Dalam fungsi kecepatan n, S2 berkecepatan n =

360˚/12,00 = 30˚/jam sedangkan untuk M2 n = 360˚/12,42 = 28,984˚/jam.

K1 sebagai Luni-solar Declinational diurnal constituent dan O1 sebagai Principal

Lunar Declinational diurnal constituent merepresentasikan siklus deklinasi maksimal ke

deklinasi maksimal dari bulan yang terjadi setiap 27.3216 hari (bulan tropikal) atau

655.72 jam matahari. Deklinasi utara ke selatan memiliki kecepatan 1.098˚/jam sehingga

:

Kecepatan K1 = (28,984˚ + 1,098˚) = 15,041˚/jam

Kecepatan O1 = (28,984˚ - 1,098˚) = 13,943˚/jam

Principal Solar Declinational diurnal constituent atau P1 dan K1 sebagai Luni-

solar Declinational diurnal constituent merepresentasikan siklus deklinasi maksimal ke

deklinasi maksimal dari matahari. Siklus ini memiliki waktu 4382.91 jam dari utara ke

selatan (juga dari selatan ke utara) dengan kecepatan 0,082˚/jam yang mempengaruhi

nilai S2 sehingga :

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

9

Kecepatan K1 = (30,000˚ + 0,082˚)/2 = 15,041˚/jam

Kecepatan P1 = (30,000˚ - 0,082˚)/2 = 14,959˚/jam

Tipe pasang surut dapat diketahui dari bilangan Formzahl dengan rumus (Ilahude,

1999) :

………………………………………………..(I.1)

dimana F adalah bilangan Formzahl, AK1 adalah amplitudo konstanta K1, AO1 adalah

amplitudo konstanta O1, AM2 adalah amplitudo konstanta M2 serta AS2 adalah

amplitudo konstanta S2. Klasifikasi tipe pasang surut berdasarkan nilai F yaitu :

a. 0 < F 0,25 : Tipe pasang surut harian ganda

b. 0,25 < F 1,50 : Tipe pasut campuran condong harian ganda

c. 1,50 < F 3,00 : Tipe pasut campuran condong harian tunggal

d. F > 3,0 : Tipe pasut harian tunggal

I.8.4. Analisis Harmonik Pasut dengan Metode Least-Square Adjustment

Analisis harmonik pasut merupakan suatu metode untuk mengetahui sifat dan

karakter pasut pada suatu perairan tertentu menggunakan hasil pengamatan pasut di

perairan tersebut selama kurun waktu tertentu. Nilai konstanta harmonik dihitung dalam

analisis harmonik ini yaitu nilai amplitudo dan beda fase dari unsur-unsur pembentuk

pasut dengan metode tertentu (Ali dkk., 1994) salah satunya yaitu metode hitung kuadrat

terkecil. Prinsip metode ini adalah meminimalkan perbedaan sinyal komposit dan sinyal

ukuran.

Persamaan analisis harmonik dengan kuadrat terkecil ditunjukkan pada persamaan

I.2.

( ) ( ) ∑ ( ) ……………………….………..(I.2)

dengan h(t) adalah tinggi muka air laut yang merupakan fungsi dari waktu, v(t) adalah

residu, hm adalah tinggi muka air rerata, Ai adalah amplitudo komponen ke-1, i yaitu

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

10

kecepatan sudut komponen ke-i serta gi yaitu beda fase komponen ke-i. Jika persamaan

I.2 diuraikan dan dimisalkan :

maka persamaannya menjadi :

( ) ( ) ∑ ∑

……….………..(I.3)

dimana Ar dan Br adalah konstanta harmonik ke-i, k adalah komponen pasut dan tn

adalah waktu pengamatan tiap jam.

Besarnya tinggi muka air rerata hasil hitungan persamaan I.3 mendekati elevasi

pasut pengamatan fungsi waktu jika memenuhi syarat hukum kuadrat terkecil yaitu

jumlah kuadrat residu minimum. Syarat ini kemudian diturunkan terhadap Ar dan Br.

Berdasarkan estimasi kuadrat terkecil maka penyelesaian analisis harmonik metode

kuadrat terkecil dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Persamaan observasi tinggi muka laut L=AX

2. Persamaan koreksi V=AX – L, sehingga

( ) ∑ ∑ ( )

…………….…..(I.4)

Amplitudo dan fase komponen pasut laut ditentukan dengan persamaan 1.5 dan I.6.

√ ………………………..…………………….…………(I.5)

…………………………………………………….…………..(I.6)

Desain matriks pengamatan pasut adalah sebagai berikut :

ttttt

ttttt

ttttt

A

nnnn

kn

k1k21

1k111k1211

1k111k1211

s in s in cos s in cos 1

s in s in cos s in cos 1

s in s in cos s in cos 1

1

nh

h

L

)()( 1 PLAPAAX TT

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

11

k

kk

B

B

A

A

h

X

1

1

0

1

I.8.5. Konsep Satelit Altimetri

Satelit altimetri yang diperkenalkan pertama kali pada 1970-an membawa

kemajuan pada ketersediaan data pasang surut. Satelit altimetri dengan kemampuannya

mampu mengobservasi topografi ketinggian permukaan laut secara global dengan

sampling temporal mingguan, resolusi cross-track 100 km dan akurasi yang lebih baik.

Pada tahun 1991, diluncurkan satelit ERS-1 disusul peluncuran satelit altimetri

TOPEX/Poseidon. TOPEX/Poseidon ini memiliki cakupan global dengan keakurasian

yang belum pernah ada sebelumnya, serta memiliki sampling orbital yang optimal yang

mengawali ilmu pasang surut dan satelit oseanografi menggunakan satelit altimetri

(Fudkk., 1994). Setelah saat itu, satelit altimetri lain diluncurkan seperti ER2-2, GFO,

Envisat, Jason-1, Jason-2 untuk berbagai keperluan geofisika dan oseanografi seperti

perubahan iklim, kenaikan muka air laut, perpindahan panas, sirkulasi laut dan lain

sebagainya (Fok dkk., 2010).

Satelit altimetri mengukur jarak vertikal antara satelit ke permukaan air laut

(range). Ketinggian air laut atau sea surface height (SSH) dari elipsoid referensi

diperoleh dari selisih antara tinggi satelit dari elipsoid referensi (altitude) dengan jarak

vertikal. Pada rumus I.7, h adalah jarak vertikal satelit dari elipsoid referensi global

diperoleh dari (Seeber,2003) :

h = H + N + a ……………..………………………………….(I.7)

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

12

dengan H adalah jarak vertikal MSS (Mean Sea Surface) terhadap geoid referensi, N

adalah undulasi geoid dan a adalah ketinggian orbit sebenarnya dari MSL. Komponen

dalam persamaan I.2 diatas dapat disajikan pada Gambar I. 1.

Gambar I.1. Konsep dasar satelit altimetri (Seeber, 2003)

I.8.6. Koreksi pada Pengukuran Satelit Altimetri

Kesalahan yang memerlukan koreksi pada pengukuran satelit altimetri dibagi

menjadi lima bagian (Moody dkk., 1996), yaitu kesalahan orbit, kesalahan satelit,

kesalahan media transmisi, kesalahan media pantul dan bias geofisika. Perlu diterapkan

koreksi pada bias geofisika untuk memperoleh nilai SSH yang akurat. Koreksi yang

diterapkan antara lain :

I.8.6.1. Koreksi instrumen

Biasanya, pengaruh kesalahan instrumen ini dapat ditentukan dengan melakukan

kalibrasi terhadap satelit altimetri dengam melakukan survey teliti di wilayah tertentu.

Kesalahan ini mencakup kesalahan Doppler-shift, bias antena, kesalahan nadir dan

beberapa kesalahan bias internal. Kesalahan Doppler-shiftakan mempengaruhi jarak

satelit altimetri ke permukaan laut dikarenakan adanya keterlambatan waktu

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

13

pengukuran. Hal ini disebabkan karena kecepatan radial satelit sehingga frekuensi

Doppler bergeser.

Offset pusat massa diperhitungkan untuk menentukan perbedaan pusat fase pada

antena satelit altimetri tempat menerima pulsa yang dipancarkan dan yang diterima

kembali dari permukaan laut. Selain itu, perhitungan orbit satelit juga didasarkan pada

pusat massa satelit ini. Pengukuran pada satelit altimetri dilakukan pada antenna satelit

altimetri yang letaknya tidak tepat berada di pusat massa satelit. Jarak antara pusat

massa satelit dengan antenna satelit disebut dengan bias antenna yang ditetapkan

sebelum satelit diluncurkan.

Penyimpangan pancaran sinyal arah vertikal karena garis proyeksi titik nadir

satelit ke permukaan bumi tidak selalu segaris dengan proyeksi tinggi satelit

menyebabkan kesalahan nadir. Hal ini mengakibatkan hasil pengukuran jarak yang

diperoleh adalah jarak miring terhadap titik offset dari nadir dan tidak persis pada posisi

yang terhitung.

I.8.6.2. Koreksi media transmisi

Koreksi media transmisi diterapkan dikarenakan pulsa menjalar melewati lapisan

atmosfer yaitu toposfer dan ionosfer. Koreksi ini meliputi koreksi ionosfer, troposfer

kering dan troposfer basah. Koreksi ionosfer bergantung pada frekuensi gelombang

altimetri dan tingkat ionisasi pada lapisan atmosfer. Nilai ionosfer ini diberikan oleh

instrumen yang terpasang pada satelit. Pada satelit bekerja dua buah sensor yang bekerja

secara simultan untuk mereduksi bias karena lapisan atmosfer.

Koreksi troposfer kering disebabkan karena komponen udara kering pada atmosfer

tidak dapat diukur langsung oleh sensor. Koreksi ini menggunakan model yang sudah

ada seperti model Saastamoinen tahun 1972. Koreksi toposfer basah karena kadar uap

air pada toposfer dapat dihitung dengan sensor microwave radiometer.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

14

I.8.6.3. Koreksi Sea State Bias (SSB)

Koreksi media pantul disebabkan karena tiga dampak yang saling berhubungan

yaitu tracker bias, electromagnetic bias dan skewness bias. Bias elektromagnetik yaitu

perbedaan antara muka laut rerata dengan muka pantulan rerata dikarenakan tingkat

kekasaran muka laut yang tidak homogen. Skewness bias adalah beda tinggi antara muka

pantulan rata-rata dengan muka pantulan rata-rata yang diukur oleh satellite tracker.

Bias ini disebabkan oleh distribusi tinggi muka laut yang tidak normal.

I.8.6.4. Koreksi geofisik

Koreksi geofisik terdiri dari pasang surut laut (ocean tide), pasut pembebanan

(loading tide), pasut bumi padat (solid earth tide), pasut kutub (pole tide) dan pasut

atmosfer. Pasut laut disebabkan karena adanya gaya tarik menarik matahari dan bulan

terhadap bumi.pasut laut memberikan pengaruh yang besar terhadap dinamika

perubahan muka laut. Terdapat model pasang surut laut yang tersedia saat ini seperti

model global FES (Finite Element Solution), GOT (Goddard Ocean Tide) dan

sebagainya.

Perubahan naik turunnya air permukaan bumi menyebabkan lapisan kerak bumi

juga mengalami pembebanan. Jika air pasang maka kerak bumi akan mengalami

pembebanan yang besar dan sebaliknya. Pasang surut tersebut disebut dengan pasang

surut pembebanan atau loading tide yang besarnya hanya 7% dari pasut laut

(Schwiderski, 1980). Pasut bumi padat disebabkan karena gaya gravitasi benda langit

terhadap bumi padat sedangkan pasut kutub disebabkan karena osilasi sumbu rotasi

bumi terhadap kerangka inersial periode 12 hingga 14 bulan.

Diatas permukaan laut terdapat atmosfer yang memiliki tekanan meningkat

maupun menurun. Hal ini berpengaruh pada permukaan laut dimana setiap tekanan

atmosfer bertambah 1 mbar maka akan menurunkan permukaan laut setinggi 1 cm.

Koreksi ini disebut inverse barometric yang dihitung dari koreksi troposfer kering

(Benada, 1996).

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

15

Dengan memperhitungkan semua koreksi tersebut maka akan diperoleh tinggi

permukaan laut (SSH) yang aktual. Persamaan I.8 menunjukkan rumus menentukan

SSH dengan memperhitungkan berbagai koreksi.

………………..……………………………………… (I.8)

dimana hinstr adalah koreksi instrumen, hiono adalah koreksi ionosfer, hdry adalah koreksi

troposfer kering, hwet adalah koreksi troposfer basah, hssb adalah koreksi sea state bias,

hoc adalah koreksi pasut laut, hol adalah koreksi pasut pembebanan, hsol adalah koreksi

pasut bumi padat, hpole adalah koreksi pasut kutub, hib adalah koreksi inverse barometric

dan e adalah noise dalam pengukuran.

I.8.7. Satelit Altimetri Jason-2

Misi satelit Jason-2 pertama kali diluncurkan pada 20 Juni 2008 oleh NOAA

(National Oceanic and Atmospheric Administration) Amerika, NASA (National

Aeronautics and Space Administration) Amerika, CNES (Centre National d’Etudes

Spatiales) Prancis dan EUMETSAT (the European Organization for the Exploitation of

Meteorological Satellites). Satelit Jason-2 disebut juga dengan OSTM (the Ocean

Surface Topography Mission) yang memiliki misi utama untuk memonitor tren kenaikan

kenaikan muka laut sebagai salah satu indikator perubahan iklim global. Jason-2

memecahkan rekor decadal global untuk pertama kalinya untuk memahami peran

penting laut dalam permasalahan perubahan iklim global. Oleh karena itu, data misi

satelit ini memungkinkan pemantauan perubahan sea level rise secara kontinyu (Dumont

dkk., 2011).

Pengukuran SSH (sea surface height) menggunakan misi satelit ini berada pada

ketelitian 3,4 cm atau lebih baik (pada 1 Hz). Koreksi pada alat dan lingkungan

diterapkan untuk mencapai ketelitian yang diinginkan. Selain itu, suatu sistem

pengukuran diterapkan berdasarkan dampak yang diantisipasi dari perbaikan pengolahan

offline ground. Perbaikan ini diharapkan mampu mengurangi kesalahan sea surface

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

16

height (SSH) hingga RMS 2,5 cm. Komponen dari OSTM/Jason-2 ini antara lain

(Dumont dkk., 2011) :

a. Altimeter (Poseidon-3) sebagai instrumen utama;

b. Advanced Microwave Radiometer (AMR) untuk mengoreksi pengukuran

altimeter untuk keterlambatan range atmosfer dikarenakan kelembaban air;

c. Sistem radio positioning DORIS, untuk penentuan kepresisian orbit

menggunakan stasiun referensi di bumi;

d. Laser Reflection Array, untuk kalibrasi sistem penentuan orbit;

e. GPS receiver presisi (GPSP), untuk menyediakan data posisi tambahan bagi

DORIS untuk mendukung fungsi POD dan meningkatkan pemodelan medan

magnetik;

f. CARMEN-2 Radiation Detectors, untuk mengukur partikel high-energy yang

dapat mengganggu osilator ultra-stable pada DORIS;

g. Light Particle Telescope (LPT) yang berfungsi menyediakan JAXA bagi

pengukuran radiasi yang diterima DORIS;

h. Detektor Time Transfer by Laser Link (T2L2), untuk memonitor jam pada

DORIS.

Gambar I.2 Komponen utama satelit Jason-2 (Dumont dkk.,2011)

Karakteristik satelit Jason-2 disebutkan dalam Tabel I.1 (Seeber, 2003).

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

17

Tabel I.1.Karakteristik satelit altimetri Jason-2 (Seeber, 2003)

Misi Satelit Altimetri Jason-2

Tahun awal peluncuran 2008

Ketinggian rata-rata 1336 km

Inklinasi 66˚

Cakupan lintang maksimum ± 66˚

Pengulangan cycle 10 hari

Jarak antar track 315 km

Radiometer/ frekuensi Ya/4

Penentu orbit SLR, GPS, DORIS, Laser tracking

OSTM/Jason-2 memiliki ascending passdari lintang -66.15 derajat hingga +66.15

derajat serta descending pass mulai dari lintang -66.15 derajat hingga +66.15 derajat.

Track atau pass diberi penomoran dari 1 hingga 254 sesuai dengan jumlah track Jason-2.

Ascending pass diberi nilai ganjil sedangkan descending pass diberi nomor genap.

Masing-masing track akan kembali pada titik pengamatan yang sama dengan ketelitian

±1 km dalam waktu 9,9 hari (Dumont dkk., 2011). Gambar I.3 menggambarkan track

satelit altimeter Jason-2 di atas peta dunia.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

18

Gambar I.3. Track satelit altimeter Jason-2 dengan resolusi spasial 10 hari (Dumont

dkk., 2011)

I.8.8. Geophysical Data Record (GDR) Jason-2

Satelit altimeter Jason-2 menghasilkan 3 (tiga) jenis kelompok produk yaitu

OGDR (Operational Geophysical Data Records), IGDR (Interim Geophysical Data

Records) dan Final GDR (Geophysical Data Records). Final GDR merupakan produk

akhir yang telah melewati 3 (tiga) tahap pemrosesan data, yaitu (Dumont dkk., 2011) :

a. Validasi data telemetri

b. Validasi data karena kesalahan sensor dan koreksi geofisik

c. Validasi menggunakan orbit presisi

Produk GDR tersedia tiap cycle yang didistribusikan melalui halaman web CNES

atau NOAA.Satu cycle satelit altimeter Jason-2 berisi data pengamatan 10 hari. Satelit

akan mengamat pada suatu titik dan akan kembali mengamat pada titik yang sama dalam

waktu 10 hari dengan ketelitian posisi kurang lebih 1 kilometer (Dumont dkk., 2011).

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

19

Masing-masing dari ketiga kelompok produk data satelit altimeter Jason-2

memiliki tiga tipe file dalam format NetCDF (*.nc), termasuk kelompok data final GDR

itu sendiri, yaitu :

a. GDR-SSHA. Tipe file ini berisi kumpulan data pengamatan menggunakan

frekuensi sensor 1 Hz terreduksi. Data yang dimuat adalah data Sea Surface

Height (SSH).

b. GDR. Data ini disebut juga dengan native GDR, berisi data pengamatan

menggunakan frekuensi sensor 1 Hz dan 20 Hz.

c. S-GDR. S-GDR berisi data penuh radar-echo waveform. Wavefrom merupakan

data yang berisi kekuatan radar yang dipantulkan permukaan laut dan diterima

kembali oleh sensor pada satelit altimeter.

Kelompok data GDR memiliki keakurasian yang paling baik. Sedangkan ukuran

dan kompleksitas tipe file GDR meningkat dari GDR-SSHA, GDR hingga S-GDR.

Kelompok data GDR satelit altimeter Jason-2 memiliki penamaan sesuai konvensi

sebagai berikut :

GDR-SSHA:

JA2_GP<R>_2P<v>P<ccc>_<ppp>_<yyyymmdd_hhnnss>_<yyyymmdd_hhnns

s>.nc

GDR:

JA2_GP<N>_2P<v>P<ccc>_<ppp>_<yyyymmdd_hhnnss>_<yyyymmdd_hhnns

s>.nc

S-GDR:

JA2_GP<S>_2P<v>P<ccc>_<ppp>_<yyyymmdd_hhnnss>_<yyyymmdd_hhnns

s>.nc

dimana,

<N/R/S> : tipe produk (N : native, R : terreduksi, S : sensor)

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

20

<v> : versi produk

<ccc> : nomor cycle

<ppp> : nomor pass atau track

<yyyymmdd_hhnnss> : tanggal awal dan akhir pengamatan pada satu cycle.

Data utama GDR adalah range atau jarak satelit altimetri ke permukaan target.

GDR menyediakan range yang diukur pada Ku band dan C band. Range harus dikoreksi

dikarenakan keterlambatan sinyal pada atmosfer ataupun dikarenakan pemantulan sinyal

di permukaan laut. Persamaan I.9 menunjukkan koreksi yang harus diberikan kepada

range (Dumont dkk., 2011).

Jarak terkoreksi = jarak – koreksi toposfer basah + koreksi troposfer kering +

koreksi ionosfer + koreksi sea state bias ……………...…………………(I.9)

I.8.9. Sea Surface Height (SSH) dan Sea Level Anomaly (SLA)

SSH merupakan ketinggian permukaan laut diatas elipsoid referensi. Nilai SSH

dapat dihitung dengan mengurangkan nilai altitude atau ketinggian terbang satelit dari

elipsoid referensi terhadap jarak terkoreksi. SLA didefinisikan sebagai SSH yang

dikurangkan terhadap nilai MSS (Mean Sea Surface) dan efek geofisik seperti pasang

surut dan inverse barometric. Persamaan I.10 merupakan expression pada perangkat

lunak BRAT yang menunjukkan efek geofisik yang perlu disertakan untuk memperoleh

nilai SLA.

SLA = alt – range – dry_topocorr–(hf_fluctuationscorr + inv_barcorr) –

solid_earth_tidecorr – pole_tidecorr – sea_state_biascorr – ionocorr – wet_tropocorr –

MSS………………………………………………………………….……….. (I.10)

Keterangan dari persamaan I.5 adalah :

alt : Altitude

range : Jarak satelit terhadap permukaan laut

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

21

dry_topocorr : Koreksi troposfer kering

hf_fluctuationscorr : Fluktuasi topografi permukaan laut

inv_barcorr : Koreksi inverse barometric

solid_earth_tidecorr : Koreksi pasang surut bumi padat

pole_tidecorr : Koreksi pasang surut kutub

sea_state_biascorr : Koreksi sea state bias

ionocorr : Koreksi ionosfer

wet_tropocorr : Koreksi troposfer basah

MSS : Mean Sea Surface

I.8.10. Koreksi Pasang Surut pada Satelit Altimeter Jason-2

Pasang surut berpengaruh secara signifikan terhadap Sea Surface Height (SSH)

observasi (Le Provost, 2001). Terdapat berbagai macam efek pasang surut yang

berpengaruh, yaitu pasang surut laut, pasang surut gaya berat (load tide), pasang surut

bumi padat serta pasang surut kutub. GDR Jason-2 menyediakan dua jenis nilai pasang

surut geosentris, yaitu ocean_tide_sol1 dan ocean_tide_sol2 sebagai salah satu koreksi

geofisik. Keduanya dihitung menggunakan jumlah nilai pasang surut laut tipe diurnal

dan semidiurnal serta nilai loading yang diprediksi menggunakan model GOT4.8 dan

FES2004.

Koreksi pasang surut ini digunakan untuk mengurangkan nilai Sea Surface Height

(SSH) sehingga menghasilkan nilai Sea Level Anomaly (SLA) (Dumont dkk., 2011).

Tide solution 1 dihasilkan menggunakan model GOT00.2 (GOT4.8) dan nilai pasang

surut laut S1 sedangkan nilai pasang surut pembebanan S1 diabaikan. Pada tide solution

2 menggunakan nilai dari model FES2004 serta nilai pasang surut laut S1 dan M4. Nilai

pasang surut pembebanan S1 dan M4 diabaikan pada solusi tersebut.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

22

I.8.11. Model Pasang Surut

Dilatarbelakangi karena tidak memadainya data pasut konvensional untuk perairan

tertentu, model pasang surut global menjadi salah satu solusinya. Global tide model

memberikan pemodelan pasang surut di seluruh laut di permukaan bumi, baik di lautan

luas maupun di lautan pesisir yang dibangun menggunakan data satelit altimetri periode

tertentu dan beberapa stasiun pasut di lapangan. Beberapa model pasut yang dikenal

dengan berbagai versi adalah TPXO, FES (Finite Element Solution), GOT, DTU, CSR,

EOT dan lain-lain. Keakurasian model pasut global ini bergantung pada wilayah

perairan tertentu (region-dependent) dimana keakurasiannya memburuk untuk daerah

pesisir atau perairan dangkal (Fu, dkk, 2010).

Model pasut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Zahran dkk., 2006) ,

yaitu:

a. Model berdasarkan analisis data altimetri untuk mengekstrak berbagai sinyal

pasut. Model ini pertama kali diikuti oleh satelit altimetri Geosat yang kemudian

dilanjutkan oleh TOPEX/Poseidon. Produk dari model ini adalah model CSR

(Center for Space Research) dan GOT (Goddard Ocean Tide).

b. Model hidrodinamik murni yang dihitung tanpa asimilasi data. Model yang

termasuk kategori ini adalah Finite Element Solution (FES 95.2) dan ICOM.

c. Model dinamis dengan asimilasi dari data pasut observasi (altimeter, stasiun

pasut pesisir dan pelagic). Model NAO, ORI, FES02 dan FES2004 termasuk

kategori model ini.

I.8.11.1. Finite Element Solution 2012 (FES2012)

Model pasang surut global FES (Finite Element Solution) 2012 merupakan salah

satu model hidrodinamik sebagai pengembangan dari versi sebelumnya yaitu

FES2004.FES2012 meningkatkan resolusi pada perairan global menggunakan data

pengamatan altimeter selama 20 tahun. Time series selama 20 tahun ini dianggap cukup

untuk menganalisa perairan dalam dengan lebih baik. Dari versi sebelumnya, FES2012

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

23

mengalami peningkatan kualitas pada data batimetri dan garis pesisir (Carrere dkk.,

2012).

FES2012 dibangun berdasarkan resolusi dari persamaan barotropik pasang surut

(model T-UGO) pada konfigurasi spektral. Sebanyak 32 konstanta pasang surut

(amplitudo dan fase) didistribusikan pada ukuran grid 1/16˚ x 1/16˚. Sebanyak kurang

lebih 1,5 juta titik node digunakan untuk meningkatkan keakurasian pada batimetri dua

kali lebih baik dibanding pendahulunya, FES2004. Keakurasian ini ditingkatkan kembali

dengan asimilasi data satelit altimeter jangka panjang (Topex/Poseidon, Jason-1, Jason-

2, ERS-1, ERS-2 dan ENVISAT) menggunakan metode asimilasi.FES2012 lebih baik

dibandingkan model FES2004 dan GOT4.8 khususnya pada area pesisir dan laut

dangkal.

I.8.11.2. TPXO7-Atlas

Wilayah pesisir dengan struktur topografi yang kompleks menyebabkan kualitas

penyelesaian global dan regional dibatasi oleh resolusinya. Dengan penyelesaian

menggunakan model Atlas dapat diperoleh resolusi yang lebih baik. Pada model Atlas

berhubungan dengan model dasar pada perairan dalam dan pada model lokal yang

diinterpolasi kepada grid yang lebih sempit pada wilayah pesisir.

TPXO7-Atlas menggabungkan semua model lokal kecuali laut Mediterania

ditambah dengan model Laut Baltik. Model Atlas akan sesuai dengan stasiun pasang

surut pesisir secara signifikan daripada model dasar namun masih lebih buruk jika

dibandingkan model lokal dikarenakan resolusi yang lebih kecil.

Selain model pasut global, beberapa model pasang surut regional diciptakan untuk

suatu wilyah perairan tertentu. Ketelitiannya meningkat di wilayah perairan tersebut jika

dibandingkan dengan model pasut global. Model pasut regional diperoleh dari beberapa

data altimetri dan dataset lain seperti data pengamatan pada stasiun pasang surut laut

yang diasimilasikan.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

24

I.8.12. Metode Evaluasi Model Pasang Surut

Salah satu metode evaluasi model pasut laut yaitu analisis data titik kontrol di

lapangan (coastal and pelagic tidal constants). Metode ini melibatkan interpolasi bilinier

pada model grid konstanta pasut untuk mengetahui posisi catatan pasut tersebut tersedia

untuk kemudian dievaluasi antar keduanya. Metode ini menggunakan perhitungan

deviasi RMS dari konstanta harmonik untuk setiap konstituen j yang diturunkan dari

model pasut dibandingkan data referensi di lapangan yang didefinisikan sebagai (Fok,

dkk, 2010) :

RMSj = √

∑ *,

( ) – ( )- ,

( ) – ( )- +

.....……(I.11)

dengan ,

, dan

merupakan amplitude in-phase and quadrature pasut

dengan titik kontrol di lapangan untuk setiap stasiun i dan konstituen j serta N adalah

jumlah lokasi dimana amplitude in-phase and quadrature dihitung. Selanjutnya, RSS

(Root Sum of Squares) merupakan jumlah efek dari n konstituen pasut untuk setiap

model dirumuskan :

RSS = √∑

………………………………………….……………(I.12)

Root Sum of Squares of the In-Phase and Quadrature (RSSIQ) merupakan formula

untuk memperkirakan seluruh kesalahan model pasut dengan data kontrol di lapangan

dari RSS yang dirumuskan :

RSSIQ = √

∑ ∑ *(

( )) (

( )) + ……….………(I.13)

Discrepancy (D) dalam prosentase dirumuskan :

D =

x 100% ………………………...……………………….…….(I.14)

Semakin kecil nilai D menunjukkan nilai error atau perbedaan yang semakin kecil

antara model pasut dengan data di lapangan. Sebaliknya, semakin besar nilai D

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

25

menunjukkan nilai perbedaan yang semakin besar antara model pasut dengan data di

lapangan.

Metode lain intuk melakukan evaluasi terhadap model pasang surut adalah dengan

memberikan koreksi pasang surut dari sinyal utama di laut terhadap nilai anomali SSH

dari data satelit altimetri. Diasumsikan bahwa model pasang surut yang baik akan

ditunjukkan dengan nilai variasi nilai residu SLA terkoreksi pasut model yang minimum

(King dkk., 1995). Standar deviasi dan residu SLA dari data satelit altimetri setelah nilai

koreksi pasut model dihilangkan dihitung untuk mengetahui variasi laut dapat

diminimalkan setelah koreksi pasut dihilangkan. Residu SLA dapat dihitung dengan

(Fok dkk., 2010) :

Residu SLA = SLA – (pasut diurnal + pasut semidiurnal) – LP – sinyal musiman

…………………………………………...……………………………….….(I.15)

dimana nilai pasut diurnal dan semidiurnal diperoleh dari model pasang surut. Pada

penelitian ini, nilai residu SLA yang dihasilkan masih mengandung nilai LP (pasut

ekuilibrium periode panjang) dan sinyal musiman.

I.9. Hipotesis

Selain dari metode pengamatan pasut terestris dan satelit altimetri, data pasut dapat

diperoleh dari model pasut global dan regional. Meskipun model pasut global divalidasi

dengan data pasut terestris untuk meningkatkan ketelitian pada perairan tersebut, namun

belum dapat dipastikan kesesuaiannya dengan wilayah perairan pulau Jawa. Untuk

mengetahuinya perlu dilakukan evaluasi terhadap model pasang surut global dan

regional dengan dua metode yaitu (1) Nilai konstanta harmonik pasang surut suatu

perairan dari model pasut memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan nilai konstanta

harmonik pasang surut dari data lapangan (pengukuran pasang surut terestris) (Lyard

dkk., 2005), (2) Model pasut digunakan untuk aplikasi tertentu, misalnya koreksi data

satelit altimetri dapat meningkatkan ketelitian atau standar deviasi data satelit altimetri

(Fok dkk., 2010).

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85416/potongan/S1-2015... · pasut dalam TMD menunjukkan nilai RMSE amplitudo dan beda fase paling

26

Pada penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap model pasang surut regional BIG

yang dibuat dari model TPXO7-Atlas. Model regional ini telah divalidasi dan diasimilasi

menggunakan data pasang surut perairan Indonesia sehingga mampu menggambarkan

karakteristik pasang surut Indonesia yang mendekati sebenarnya. Selain itu, model

FES2012 juga dievaluasi karena model ini memiliki ukuran grid yang rapat yakni 1/16⁰

x 1/16⁰ sehingga dapat memberikan hasil interpolasi yang lebih baik. Model dasar

pembuatan model BIG yaitu model TPXO7-Atlas juga dievaluasi pada penelitian ini.

Oleh karena itu hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fok dkk (2010), nilai

amplitudo konstanta harmonik pasut M2 berkisar antara 1,59 cm s.d. 42,03 cm,

1,48cm s.d.11,57 cm untuk S2, 1,47 cm s.d. 15,18 cm untuk K1 dan 1,26 cm

s.d.11,01 cm untuk O1.

2. Nilai perbandingan ketelitian (RMS, RSS, RSSIQ dan D) antara konstanta

harmonik pasut data model dengan data pasut terestris dari terkecil hingga

terbesar berturut-turut adalah model regional BIG, FES2012 dan TPXO7-Atlas.

3. Nilai perbandingan ketelitian (standar deviasi) model pasut regional dan global

untuk aplikasi koreksi data satelit altimetri terkecil dari terkecil hingga terbesar

adalah model regional BIG, FES2012 dan TPXO7-Atlas.

4. Model pasang surut yang paling sesuai digunakan pada wilayah perairan pulau

Jawa yaitu model regional BIG.