bab i pendahuluan -...

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, banyak wilayah yang mulai tumbuh menjadi wilayah yang lebih maju dengan munculnya infrastruktur serta fasilitas umum daerah. Bahkan selain bermunculan bangunan-bangunan baru, renovasi atau perbaikan bangunan lama menjadi jauh lebih besar juga sudah sering ditemukan di berbagai tempat. Tentunya akan membutuhkan lahan yang jauh lebih luas dari sebelumnya. Pembangunan tersebut menyebabkan permintaan lahan meningkat, sehingga lahan hijau yang terkadang belum diolah juga menjadi sasaran perubahan penggunaan lahan. Pembangunan beberapa wilayah di Indonesia menyebabkan banyaknya perubahan penggunaan lahan yang banyak dilakukan dalam kurun waktu yang relatif singkat. Perubahan penggunaan lahan tersebut banyak terjadi pada lahan yang semula merupakan ruang terbuka hijau yang kemudian berubah menjadi bangunan-bangunan infrastruktur daerah. Padahal, salah satu syarat dalam penataan kawasan perkotaan adalah tersedianya ruang terbuka hijau, sehingga ruang terbuka jadi kebutuhan penting dari suatu kota mengingat begitu banyak fungsi dari adanya ruang terbuka hijau itu sendiri. Kebutuhan ruang terbuka hijau di suatu wilayah adalah sedikitnya 30% dari keseluruhan luas total dan terdiri atas 20% ruang publik dan 10% ruang privat (UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Tata Ruang Wilayah Nasional). Kota sebagai salah satu lingkungan binaan tidak seharusnya dijejali dengan bangunan, jalan, jembatan, maupun bentukan keras seperti hutan beton. Namun, saat ini kota-kota seakan melupakan lingkungan alam, bahkan justru sering terjadi perusakan. Berbagai wilayah nyaris tidak terdapat ruang terbuka hijau yang tersisa (Joga dan Iwan, 2011). Penambahan bangunan juga terjadi di Kompleks Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali, dimana telah dilakukan pemindahan pusat

Upload: nguyenduong

Post on 24-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini, banyak wilayah yang mulai tumbuh menjadi wilayah yang

lebih maju dengan munculnya infrastruktur serta fasilitas umum daerah. Bahkan

selain bermunculan bangunan-bangunan baru, renovasi atau perbaikan bangunan

lama menjadi jauh lebih besar juga sudah sering ditemukan di berbagai tempat.

Tentunya akan membutuhkan lahan yang jauh lebih luas dari sebelumnya.

Pembangunan tersebut menyebabkan permintaan lahan meningkat, sehingga lahan

hijau yang terkadang belum diolah juga menjadi sasaran perubahan penggunaan

lahan.

Pembangunan beberapa wilayah di Indonesia menyebabkan banyaknya

perubahan penggunaan lahan yang banyak dilakukan dalam kurun waktu yang

relatif singkat. Perubahan penggunaan lahan tersebut banyak terjadi pada lahan

yang semula merupakan ruang terbuka hijau yang kemudian berubah menjadi

bangunan-bangunan infrastruktur daerah. Padahal, salah satu syarat dalam

penataan kawasan perkotaan adalah tersedianya ruang terbuka hijau, sehingga

ruang terbuka jadi kebutuhan penting dari suatu kota mengingat begitu banyak

fungsi dari adanya ruang terbuka hijau itu sendiri. Kebutuhan ruang terbuka hijau

di suatu wilayah adalah sedikitnya 30% dari keseluruhan luas total dan terdiri atas

20% ruang publik dan 10% ruang privat (UU No. 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Tata Ruang Wilayah Nasional).

Kota sebagai salah satu lingkungan binaan tidak seharusnya dijejali

dengan bangunan, jalan, jembatan, maupun bentukan keras seperti hutan beton.

Namun, saat ini kota-kota seakan melupakan lingkungan alam, bahkan justru

sering terjadi perusakan. Berbagai wilayah nyaris tidak terdapat ruang terbuka

hijau yang tersisa (Joga dan Iwan, 2011).

Penambahan bangunan juga terjadi di Kompleks Perkantoran Terpadu

Pemerintah Kabupaten Boyolali, dimana telah dilakukan pemindahan pusat

2

pemerintahan yang menyebabkan adanya bangunan baru guna menunjang

jalannya pemerintahan. Saat ini, memang banyak terjadi pembangunan di

Kabupaten Boyolali karena adanya permintaan terkait dengan fasilitas umum bagi

masyarakat. Pembangunan tersebut juga dilakukan di lahan yang awalnya

merupakan lahan hijau yang banyak berupa kebun atau ladang. Adanya

perpindahan pusat pemerintahan dengan munculnya bangunan baru menyebabkan

adanya pengurangan luas wilayah untuk ruang terbuka hijau. Hal tersebut dapat

dilihat di Gambar 1.1. yang menunjukkan perubahan penggunaan lahan menjadi

bangunan-bangunan perkantoran.

Sumber : Google Earth

Gambar 1.1. Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Kompleks Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali dari Tahun 2006-2015

Berdasarkan foto udara yang menunjukkan perubahan penggunaan lahan

tersebut, lahan hijau sebagai penutup lahan di kawasan yang menjadi sasaran

penelitian menjadi berkurang. Pengurangan luas lahan hijau menjadi masalah

apabila ruang terbuka hijau menjadi berkurang padahal ketersediaan ruang terbuka

hijau sudah ditentukan dan disesuaikan dengan ketersediaan vegetasi yang ada.

Keberadaan ruang terbuka hijau juga menjadi hal yang sangat penting

dalam kaitannya dengan pengaruhnya dengan aspek fisik seperti ketersedian

oksigen yang berguna bagi makhluk hidup yang ada di sekitarnya. Kapasitas

oksigen bagi makhluk hidup tentunya berkaitan langsung dengan jumlah

pepohonan yang ada di suatu kawasan.

3

Peranan vegetasi sangat diperlukan untuk menjaring CO2 dan melepas O2

kembali ke udara. Setiap tahun tumbuh-tumbuhan di bumi ini mempersenyawakan

sekitar 150.000 juta ton CO2 dan 25.000 juta ton hidrogen dengan membebaskan

400.000 juta ton O2 ke atmosfer, serta menghasilkan 450.000 juta ton zat-zat

organik. Setiap jam, 1 ha daun hijau menyerap 8 kg CO2 yang ekuivalen dengan

CO2 yang dihembuskan oleh napas sekitar 200 orang dalam waktu yang sama.

Setiap pohon yang ditanam mempunyai kapasitas mendinginkan udara sama

dengan rata-rata 5 mesin pendingin ruangan yang dioperasikan 20 jam terus

menerus setiap harinya. Setiap 1 ha pepohonan mampu menetralkan CO2 yang

dikeluarkan 20 kendaraan (Maimun, 2007).

Kebutuhan ruang terbuka hijau perlu diketahui agar tercipta keseimbangan

antara luas wilayah dengan jumlah penduduk yang mendiami kawasan tersebut.

Hal itu dikarenakan keberadaan ruang terbuka hijau mempengaruhi jalannya

kehidupan sosial kemasyarakatan. Maka dari itu, diperlukan adanya analisis

kebutuhan ruang terbuka hijau di suatu wilayah melalui perbandingan dengan

ruang terbuka hijau yang ada saat ini.

1.2. Perumusan Masalah

Kompleks perkantoran untuk pemerintahan di Kabupaten Boyolali baru

berdiri kurang dari 10 tahun. Kompleks perkantoran tersebut baru diresmikan

pada tahun 2013 dimana pada saat itu masih dilakukan penyempurnaan dan

pembangunan beberapa kantor. Hal tersebut menyebabkan masih belum

matangnya penataan ruang yang ada sehingga dapat terjadi ketidakseimbangan

antara lahan terbuka dan lahan terbangun.

Kebutuhan ruang terbuka hijau perlu diketahui agar tercipta keseimbangan

antara luas wilayah dengan jumlah penduduk. Hal tersebut dikarenakan

keberadaan ruang terbuka hijau mempengaruhi jalannya kehidupan sosial

kemasyarakatan. Adanya bangunan-bangunan baru menyebabkan adanya

pengurangan luas wilayah untuk ruang terbuka hijau.

4

Pengaruh ketersediaan udara dari adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di

Kompleks Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali dirasakan oleh

pegawai kantor yang sehari-harinya bekerja di kompleks tersebut. Dikarenakan

pengaruhnya hanya dapat dirasakan di siang hari, menjadikan penduduk yang

bekerja itulah sebagai objek adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Berdasarkan permasalahan tersebut, dapat dirumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut :

1. Berapa besar ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kompleks

Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali?

2. Berapa besar kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kompleks

Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Menganalisis ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kompleks

Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali.

2. Menganalisis kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kompleks

Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki beberapa manfaat yang terbagi atas

manfaat teoritis dan manfaat praktis dengan penjabaran sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat bemanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan geografi lingkungan, khususnya ilmu

geografi perkotaan tentang penataan kawasan perkotaan.

2. Manfaat praktis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan tentang pentingnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi suatu

perkotaan, memberikan informasi tentang besarnya ketersediaan serta

kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kompleks Perkantoran Terpadu

5

Pemerintah Kabupaten Boyolali serta dapat menjadi suatu masukan dalam

mengembangkan keberadaan Ruang Terbuka Hijau di perkotaan.

1.5. Tinjauan Pustaka

1.5.1. Kawasan Perkotaan

Kota merupakan sebuah sistem yaitu sistem terbuka, baik dilihat secara

fisik maupun dilihat dari sosial ekonomi yang bersifat tidak statis dan dinamis

atau disebut memiliki sifat sementara (Irwan, 2005). Adakalanya kota didirikan

sebagai pusat pemerintahan di wilayah setempat, namun kenyataannya terdapat

ragam masyarakat dan menjadi tempat berkegiatan sosial dari berbagai dimensi.

Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang disempurnakan

menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

“Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasaserta perubahan nama dan pemindahan ibukota pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.”

Dapat dikatakan bahwa suatu kawasan yang tidak terdapat lahan sawah yang

mendominasi didalamnya disebut kawasan perkotaan.

Kawasan perkotaan yang berkelanjutan ditandai oleh interaksi dan

hubungan timbal balik yang seimbang antara manusia dan alam yang hidup

berdampingan di dalamnya (Rahmy dkk, 2012). Ciri-ciri kawasan perkotaan yang

mudah ditemukenali apabila dilihat dari segi masyarakatnya adalah sifat modern

dan lebih berkembang serta cenderung memiliki sifat heterogen. Hal tersebut

disebabkan karena dalam suatu kawasan perkotaan, masyarakat berasal dari

berbagai wilayah dengan latar belakang yang berbeda-beda.

1.5.2. Ruang Terbuka

Ruang terbuka pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat

menampung kegiatan aktivitas tertentu dari warga lingkungan tersebut baik secara

6

individu maupun kelompok. Bentuk dari ruang terbuka ini sangat tergantung pada

pola serta susunan massa bangunan (Hakim, 1987)

Ruang terbuka menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan,

“Ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan.”

Menurut Pergub Jateng No. 60 tahun 2014 tentang Pengendalian Ruang

Terbuka Hijau,

“Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan gedung.”

1.5.3. Ruang Terbuka Hijau

Elemen-elemen iklim utama yang mendukung jalannya kehidupan adalah

cahaya matahari, suhu udara, angin, dan kelembaban (Irwan, 2005). Interaksi dari

keempat elemen ini menghasilkan kenyamanan, keselarasan, atau bahkan

kepanasan maupun kedinginan. Pepohonan, semak-belukar, serta rerumputan

dapat berperan sebagai pengendali suhu kota. Penghijauan yang dilakukan di

sepanjang jalan dan sungai, taman kota, taman lingkungan, penghijauan di sekitar

bangunan, seluruhnya merupakan suatu unsur hutan kota.

Ruang terbuka hijau kota merupakan pertemuan antara sistem alam dan

manusia dalam lingkungan perkotaan (urban). Berdasarkan Undang-Undang No.

26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

"Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam”.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan,

“Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan

7

perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.”

Fungsi utama ruang terbuka hijau adalah sebagai penunjang ekologis kota.

(Ganura dan Iwan, 2015). Menurut Santoso, dkk (2012), Ruang Terbuka Hijau

(RTH) adalah ruang tidak terbangun yang ada dalam suatu kawasan. Kawasan

dimaksud dapat merupakan kawasan perkampungan, kelurahan atau desa,

kecamatan, kabupaten, provinsi, dan seterusnya. RTH merupakan bagian dari

infrastruktur hijau berupa jaringan interkoneksi dengan fungsi melestarikan nilai

dan ekosistem serta memberi manfaat bagi manusia (Benedict dan McMahon,

2001).

Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga dijelaskan

bahwa suatu wilayah/kota wajib menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar

30% dari luas wilayahnya, dengan RTH publik 20% dan RTH privat 10%.

Keberadaan ruang terbuka hijau kota yang sangat dibutuhkan warga kota di

samping fungsinya sebagai areal perlindungan; sarana untuk menciptakan

kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan; sarana untuk

memperbaiki iklim mikro dan pengaturan tata air dan perkotaan, akhir-akhir ini

cukup banyak menghadapi masalah. Bahkan seringkali terjadi konflik penggunaan

lahan yang menyangkut keberadaan ruang terbuka hijau di kawasan padat

penduduk (Widjajanti, 2010).

Menurut Adillasintani (2013), ruang terbuka pada perkantoran maupun

pendidikan mempunyai kegunaan yang bermacam-macam, antara lain digunakan

sebagai areal bermain, berkumpul, olahraga, upacara, pertunjukan musik, serta

kegiatan lain yang biasa dilakukan. Ruang-ruang terbuka inilah yang seharusnya

dapat dimanfaatkan untuk pengembangan hutan kota. Gedung perkantoran dengan

lahan yang sempit pun bisa memiliki ruang terbuka hijau jika penanaman pohon

dan tanaman bunga lainnya diatur sedemikian rupa apabila memanfaatkan lahan

terbuka secara maksimal.

Ruang terbuka hijau dapat terbagi menjadi beberapa jenis, khususnya

untuk jenis kepemilikan ruang terbuka hijau itu sendiri. Jenis-jenis ruang terbuka

hijau menurut Permen PU No. 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan

8

Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan disajikan dalam tabel

1.1. berikut ini :

Tabel 1.1. Kepemilikan RTH

No Jenis RTH Publik

RTH Privat

1. RTH Pekarangan a. Pekarangan rumah tinggal b. Halaman perkantoran, pertokoan,

dan tempat usaha c. Taman atap bangunan

V V

V 2. RTH Taman dan Hutan Kota

a. Taman RT b. Taman RW c. Taman kelurahan d. Taman kecamatan e. Taman kota f. Hutan kota g. Sabuk hijau (green belt)

V V V V V V

V V V V

3. RTH Jalur Hijau Jalan a. Pulau jalan dan median jalan b. Jalur pejalan kaki c. Ruang dibawah jalan layang

V V V

V V

4. RTH Fungsi Tertentu a. RTH sempedan rel kereta api b. Jalur hijau tegangan listrik

tegangan tinggi c. RTH sempedan sungai d. RTH sempedan pantai e. RTH pengamanan sumber air

baku/mata air f. Pemakaman

V V

V V V

V

Sumber : Permen PU No. 5 Tahun 2008

Jenis ruang terbuka hijau menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan meliputi :

a. taman kota;

b. taman wisata alam;

9

c. taman rekreasi;

d. taman lingkungan perumahan dan permukiman;

e. taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial;

f. taman hutan raya;

g. hutan kota;

h. hutan lindung;

i. bentang alam seperti gunung, bukit, lereng, dan lembah;

j. cagar alam;

k. kebun raya;

l. kebun binatang;

m. pemakaman umum;

n. lapangan olah raga;

o. lapangan upacara;

p. parkir terbuka;

q. lahan pertanian perkotaan;

r. jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET);

s. sempadan sungai, pantai, bangunan, situ, dan rawa;

t. jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan

pedestrian;

u. kawasan dan jalur hijau;

v. daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara; dan

w. taman atap (roof garden).

Ruang terbuka hijau tentunya memiliki tujuan dalam pembangunannya.

Tujuan penyelenggaraan ruang terbuka hijau menurut Permen PU No. 5 Tahun

2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di

Kawasan Perkotaan, adalah :

a. Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air;

b. Menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara

lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk

kepentingan masyarakat;

10

c. Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana

pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan

bersih.

Ruang terbuka hijau yang dibangun di kawasan perkotaan memiliki fungsi

dari berbagai segi menurut Departemen PU (2006), meliputi :

a. Segi sosial, ekonomi, dan budaya, bahwa ruang terbuka hijau

merupakan tempat rekreasi, pendidikan, serta interaksi sosial

masyarakat.

b. Segi fisik, bahwa ruang terbuka hijau sebagai pengatur iklim,

penyerapan airtanah, produsen oksigen, peneduh, penghalang angin,

serta habitat satwa.

c. Segi ekosistem perkotaan, bahwa ruang terbuka hijau merupakan salah

satu bagian dari usaha pangan, produsen oksigen, tanaman berbunga.

d. Segi estetis, bahwa ruang terbuka hijau memiliki peran untuk

meningkatan nilai keindahan dan kenyaman kota. Selain itu dapat

menciptakan keseimbangan dan keserasian antara berbagai bangunan,

taman kota, jalur hijau jalan, jalur biru kali serta bantaran rel kereta

api.

Samsudi (2010) menyatakan manfaat yang diharapkan dari perencanaan

RTH di kawasan perkotaan antara lain sebagai sarana untuk mencerminkan

identitas daerah, sarana penelitian, pendidikan, dan penyuluhan, sarana rekreasi

serta interaksi sosial, meningkatkan nilai ekonomis lahan, sarana aktivitas sosial

bagi anak-anak, remaja, dewasa, dan manula, sarana evakuasi untuk keadaan

darurat, memperbaiki iklim mikro, serta meningkatkan cadangan oksigen di

perkotaan.

Selain menurut Samsudi, manfaat adanya ruang terbuka hijau menurut

Hakim dan Utomo (2004), terdiri dari :

a. menciptakan kenyamanan, kesehatan dan keindahan lingkungan

sebagai paru-paru kota;

b. menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat kota;

c. memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga, dan buah;

11

d. menjadi tempat tumbuh tumbuhan dan hidup satwa;

e. melalui area resapan air, dapat mengurangi aliran air, menangkap

dan menyimpan air, menjaga keseimbangan tanah untuk menjamin

kesuburan tanah serta sebagai area sirkulasi udara perkotaan;

f. menjadi tempat sarana dan prasarana untuk kegiatan rekreasi

perkotaan.

Ruang terbuka hijau sebagai area yang ditumbuhi oleh tumbuhan-

tumbuhan hijau. Dimana fotosintesis menjadi proses untuk sebuah tumbuhan hijau

dapat menghasilkan oksigen (O2). Tumbuhan merupakan penyerap karbon

dioksida (CO2) di udara. Beberapa tanaman-tanaman itu mempunyai kemampuan

besar untuk menyerap karbon dioksida (CO2). Sebagai contoh pohon trembesi

(Samanea saman), dan Cassia (Cassia sp) merupakan tumbuhan yang kemampuan

menyerap CO2nya sangat besar hingga mencapai ribuan kg/tahun lamanya.

(Adillasintani, 2013)

Selain ketersediaan tumbuhan sebagai penyedia oksigen dan penyerap

karbon dioksida yang dibutuhkan oleh manusia, keberadaan ruang terbuka hijau

juga menjadi salah satu sarana untuk menguraikan gas berbahaya hasil

pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor. Salah satu faktor yang

mempengaruhi kualitas udara adalah penambahan jumlah atau volume kendaraan

sebagai sarana transportasi, karena aktivitas transportasi merupakan sumber utama

pencemaran udara di daerah perkotaan (Mutia, 2013). Setiap kendaraan memiliki

kriteria tersendiri untuk kebutuhan oksigen sesuai dengan bahan bakar yang

digunakan.

Kebutuhan oksigen berdasarkan jenis kendaraan menurut Wisesa (1988)

dalam Ramadhan (2012) tersaji dalam Tabel 1.2. berikut :

Tabel 1.2. Kebutuhan Oksigen Berdasarkan Jenis Kendaraan

No Jenis

Kendaraan Bahan Bakar

Kebutuhan Bahan Bakar

(kg/PS jam)

Daya (PS)

Kebutuhan O2/kg Bahan

Bakar

Kebutuhan O2

(kg/jam)

1. Sepeda motor Bensin 0,21 1 2,77 0,5817

12

lanjutan Tabel 1.2.

No Jenis

Kendaraan Bahan Bakar

Kebutuhan Bahan Bakar

(kg/PS jam)

Daya (PS)

Kebutuhan O2/kg Bahan

Bakar

Kebutuhan O2

(kg/jam)

2. Kendaraan penumpang

Bensin 0,21 20 2,77 11,634

3. Kendaraan ringan

Solar 0,16 50 2,86 22,88

4. Kendaraan beban berat

Solar 0,16 200 2,86 91,52

5. Kendaraan bus Solar 0,16 100 2,77 44,32 Sumber : Wisesa (1988) dalam Ramadhan (2012)

Disamping menghasilkan oksigen, ruang terbuka hijau juga menyerap

karbondioksida hasil emisi. Menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999

tentang Pengendalian Pencemaran Udara,

“Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannnya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.”

Karbon dioksida (CO2) adalah suatu gas penting dan dalam kadar yang

normal sangat bermanfaat dalam melindungi kehidupan manusia di bumi.

Komposisi ideal dari CO2 dalam udara bersih seharusnya adalah 314 ppm

sehingga jumlah yang berlebihan di atmosfer bumi akan mencemari udara serta

menimbulkan efek gas rumah kaca (Dwi, 2008). Oleh karena itu, dapat diketahui

bahwa emisi karbon dioksida (CO2) berarti pemancaran atau pelepasan gas karbon

dioksida (CO2) ke udara.

Setiap jenis tanaman memang memiliki kadar penyerapan karbon dioksida

yang berbeda-beda. Banyak faktor dan sebab yang mempengaruhi hal ini, antara

lain berdasarkan mutu klorofil yang ada dalam daun. Daya serap karbon dioksida

sebuah pohon juga ditentukan oleh luas keseluruhan daun, umur daun, dan fase

pertumbuhan tanaman. Selain itu, pohon-pohon yang berbunga dan berbuah

memiliki kemampuan fotosintesis yang lebih tinggi sehingga mampu sebagai

penyerap karbon dioksida yang lebih baik. Faktor lainnya yang ikut menentukan

13

daya serap karbon dioksida adalah suhu, dan sinar matahari, ketersediaan air

(Adillasintani, 2013).

1.6. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang ketersedian dan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau sudah

banyak dilakukan oleh peneliti di berbagai wilayah perkotaan. Hal tersebut

disebabkan karena banyaknya wilayah memiliki kawasan perkotaan yang cukup

luas diiringi dengan pembangunan yang pesat pula. Penelitian tentang

ketersediaan serta kebutuhan ruang terbuka hijau juga penting untuk perencanaan

pengembangan suatu kawasan kota pada masa depan. Apalagi sudah mulai

banyak daerah dengan kawasan kota yang semakin luas, tentunya diiringi pula

dengan penambahan jumlah penduduk yang semakin padat.

Wijayanti (2003), telah melakukan penelitian tentang pengembangan

ruang terbuka hijau di Purwokerto. Tujuan penelitian tersebut adalah mempelajari

karakteristik dan manfaat ruang terbuka hijau serta memprediksikan luas dan

optimasi ruang terbuka hijau di Purwokerto sampai tahun 2017. Metode penelitian

yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif dan deskripsi kuantitatif. Hasil

penelitian berupa karakteristik ruang terbuka hijau di Purwokerto dan luas ruang

terbuka hijau sampai tahun 2017 dengan pendekatan metode Gerarkis, Standar

Inmendagri No. 14 Tahun 1988, dan Standar Perencanaan Lingkungan

Permukiman Kota.

Muis (2005), juga meneliti tentang kebutuhan ruang terbuka hijau menurut

kebutuhan oksigen dan air di Kota Depok dengan tujuan untuk menentukan luas

ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen dan ketersediaan air serta

menilai preferensi masyarakat terhadap prioritas bidang pengembangan

pembangunan di Kota Depok. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif

kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian yang diperoleh berupa luas

kebutuhan ruang terbuka hijau dengan metode Gerarkis di Kota Depok,

ketersediaan dan kebutuhan air di tahun 2005-2015, serta preferensi masyarakat

tentang pengembangan pembangunan Kota Depok

14

Adillasintani, dkk (2013), telah meneliti kebutuhan dan ketersediaan ruang

terbuka hijau di kawasan perkantoran yang berada di Kota Makassar. Tujuan

penelitian yang dilakukan adalah untuk menganalisis kebutuhan serta ketersediaan

ruang terbuka hijau yang ada. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut

adalah deskriptif untuk menggambarkan lokasi penelitian yaitu Kantor Gubernur,

Dinas Pendidikan, dan Dinas Kesehatan. Hasil penelitian yang telah dilakukan

berupa jumlah ketersediaan ruang terbuka hijau berdasarkan oksigen yang

dihasilkan oleh vegetasi dan jumlah kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan

kebutuhan oksigen dan karbon dioksida yang dihasilkan dari pegawai, kendaraan

yang ada pada kawasan perkantoran tersebut (dengan asumsi penggunaan

kendaraan 1 jam/hari), serta alat elektronik yang digunakan dalam kantor tersebut.

Sitorus, dkk (2013) telah meneliti ketersediaan ruang terbuka hijau dan

tingkat perkembangan wilayah di Kota Cimahi. Penelitian ini memiliki tujuan

untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan, mengetahui ketersediaan dan

kecukupan ruang terbuka hijau, mengetahui dinamika perkembangan wilayah,

serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan ruang terbuka

hijau. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif. Penelitian ini

menghasilkan perubahan penggunaan lahan tahun 2007-2011, ketersediaan ruang

terbuka hijau, dan dinamika tingkat perkembangan wilayah di Kota Cimahi.

Shani (2015), melakukan penelitian mengenai ketersediaan dan kebutuhan

ruang terbuka hijau di Kota Sukabumi dengan tujuan mengetahui ketersediaan dan

kebutuhan ruang terbuka hijau serta pola persebaran ruang terbuka hijau tersebut.

Metode yang digunakan oleh Shani adalah metode survei dengan teknik

analisisnya berupa interpretasi citra, regulasi undang-undang, jumlah penduduk,

serta analisis tetangga terdekat untuk pola persebarannya. Hasil penelitian tersebut

berupa luas ketersediaan dan kebutuhan ruang terbuka hijau yang ada

dibandingkan dengan kriteria menurut undang-undang sesuai dengan jenis ruang

terbuka hijaunya, serta pola persebaran ruang terbuka hijau secara kuantitatif.

Ma’arif dan Rulli (2016), pernah meneliti tentang kebutuhan ruang terbuka

hijau untuk menyerap emisi karbon dioksida (CO2) kendaraan bermotor di

Surabaya dengan tujuan untuk menganalisis kebutuhan penyediaan ruang terbuka

15

hijau untuk menyerap emisi CO2 kendaraan bermotor. Metode yang digunakan

adalah deskriptif kuantitatif dengan menghitung jumlah kendaraan bermotor di

Jalan Tandes – Benowo guna mengetahui emisi karbon dioksidanya. Hasil

penelitian tersebut berupa beban emisi karbon dioksida (CO2) dan kebutuhan

ruang terbuka hijau untuk menyerap emisi tersebut.

Roshintha dan Sarwoko (2016) meneliti tentang kecukupan ruang terbuka

hijau sebagai penyerap emisi karbon dioksida di kawasan Kampus ITS Sukolilo,

Surabaya. Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui luas ruang

terbuka hijau yang dapat menyerap emisi karbon dioksida. Analisis yang

dilakukan adalah melakukan perhitungan kendaraan bermotor dan vegetasi di

kawasan kampus ITS. Hasil yang diperoleh adalah beban emisi karbon dioksida

(CO2) di kawasan kampus dan zona-zona yang ruang terbuka hijau memenuhi dan

belum memenuhi kebutuhannya sebagai penyerap emisi karbon dioksida.

Penelitian yang akan dilakukan memiliki perbedaan pada lokasi kajian,

yaitu berupa kompleks perkantoran yang terdiri dari 23 kantor dan 5 fasilitas

umum peribadatan, dimana pegawai kantor serta kendaraan menjadi objek dalam

penelitian. Analisis yang digunakan berupa analisis deskriptif kuantitatif,

deskriptif kualitatif, normatif, dan spasial. Pengolahan data menggunakan

software ArcGis yang dapat menunjukkan besarnya luas ketersediaan ruang

terbuka hijau setelah dilakukan interpretasi foto udara. Untuk mengetahui

kebutuhan ruang terbuka hijau, dilakukan perhitungan dengan metode Gerarkis

(1974) yang telah disempurnakan oleh Wijayanti (2003), yang melibatkan data

jumlah pegawai serta jumlah kendaraan bermotor karena metode tersebut

menunjukkan kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen bagi

manusia, kendaraan, dan ternak, namun kebutuhan oksigen ternak diabaikan

karena tidak ditemukannya hewan ternak di kawasan perkantoran.

Berdasarkan uraian dari beberapa penelitian sebelumnya yang meneliti

tentang ketersediaan maupun kebutuhan ruang terbuka hijau, maka perbandingan

hasil penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan, tersaji dalam

tabel berikut :

16

Tabel 1.3. Perbandingan Hasil Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Akan Dilakukan

No. Penelitian Tujuan Metode yang Digunakan Hasil Penelitian

1. Meilina Wijayanti (2003), Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Purwokerto

Mempelajari karakteristik dan manfaat ruang terbuka hijau Memprediksi luas dan optimasi ruang terbuka hijau sampai tahun 2017

Metode deskriptif kualitatif Metode deskriptif kuantitatif

Karakteristik ruang terbuka hijau di Purwokerto Luas ruang terbuka hijau sampai tahun 2017 dengan pendekatan metode Gerarkis, Standar Inmendagri No. 14 Tahun 1988, dan Standar Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota.

2. Bos Ariadi Muis (2005), Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Kebutuhan Oksigen dan Air di Kota Depok Propinsi Jawa Barat

Menentukan luas ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen dan ketersediaan air Menilai preferensi masyarakat terhadap prioritas bidang pengembangan pembangunan di Kota Depok

Metode deskriptif kualitatif Metode deskriptif kuantitatif

Kebutuhan ruang terbuka hijau dengan metode Gerarkis di Kota Depok Ketersediaan dan kebutuhan air di tahun 2005-2015 Preferensi masyarakat tentang pengembangan pembangunan Kota Depok

17

lanjutan Tabel 1.3.

No. Penelitian Tujuan Metode yang Digunakan Hasil Penelitian

3. Adillasintani, Muh. Isran Ramli, Achmad Zubair (2013), Analisis Tingkat Kebutuhan dan Ketersediaan RTH pada Kawasan Perkantoran di Kota Makassar.

Menganalisis kebutuhan serta ketersediaan ruang terbuka hijau yang ada

Metode deskriptif kuantitatif

Jumlah ketersediaan ruang terbuka hijau berdasarkan oksigen yang dihasilkan oleh vegetasi Jumlah kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen dan kemampuan menyerap karbon dioksida

4. Santun Risma Pandapotan Sitorus, Mutiara Ashri, Dyah Retno Panuju (2013), Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau dan Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Mengetahui perubahan penggunaan lahan Mengetahui ketersediaan dan kecukupan RTH, dan faktor yang mempengaruhi Mengetahui dinamika perkembangan wilayah,

Metode deskriptif kuantitatif

Perubahan penggunaan lahan tahun 2007-2011 di Kota Cimahi Ketersediaan ruang terbuka hijau di Kota Cimahi Dinamika tingkat perkembangan wilayah di Kota Cimahi

18

lanjutan Tabel 1.3.

No. Penelitian Tujuan Metode yang Digunakan Hasil Penelitian

5. Fauzan Maulana Shani (2015), Kajian Ketersediaan dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan di Kota Sukabumi

Mengetahui ketersediaan ruang terbuka hijau Mengetahui kebutuhan ruang terbuka hijau Mengetahui pola persebaran ruang terbuka hijau

Metode survei Ketersediaan ruang terbuka hijau dengan teknik analisis interpretasi citra Kebutuhan ruang terbuka hijau perkotaan Pola persebaran ruang terbuka hijau

6. Afrizal Ma’arif dan Rulli Pratiwi Setiawan (2016), Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau untuk Menyerap Emisi CO2

Kendaraan Bermotor di Surabaya (Studi Kasus : Koridor Jalan Tandes Hingga Benowo)

Menganalisis penyediaan ruang terbuka hijau minimal untuk menyerap emisi karbon dioksida kendaraan bermotor

Metode deskriptif kuantitatif

Beban emisi karbon dioksida (CO2) Kebutuhan ruang terbuka hijau untuk menyerap emisi yang dihasilkan kendaraan bermotor

19

lanjutan Tabel 1.3.

No. Penelitian Tujuan Metode yang Digunakan Hasil Penelitian

7. Ribka Regina Roshintha dan Sarwoko Mangkoedihardjo (2016), Analisis Kecukupan Ruang Terbuka Hijau sebagai Penyerap Emisi Karbon Dioksida (CO2) pada Kawasan Kampus ITS Sukolilo, Surabaya

Mengetahui kecukupan ruang terbuka hijau yang ada dalam menyerap emisi karbon dioksida (CO2)

Metode deskriptif kuantitatif

Besarnya beban emisi karbon dioksida (CO2) di kawasan kampus Kecukupan ruang terbuka hijau di kampus ITS di beberapa zona

8. Fatma Nugrahaning Nastiti (2017), Kajian Ketersediaan dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kompleks Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali

Menganalisis ketersediaan ruang terbuka hijau Menganalisis kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen

Metode deskriptif kuantitatif Metode deskriptif kualitatif

Ketersediaan ruang terbuka hijau menurut jenis Ketersediaan ruang terbuka hijau dalam produksi oksigen dan penyerap karbon dioksida Kebutuhan ruang terbuka hijau menurut kebutuhan oksigen Kebutuhan ruang rerbuka hijau berdasarkan emisi karbon dioksida

20

1.7. Kerangka Pemikiran

Perkembangan di Kabupaten Boyolali diikuti dengan banyaknya

permintaan untuk lahan terbangun untuk mendukung infrastruktur yang ada.

Lahan terbangun tentunya mengurangi besarnya lahan terbuka yang menyediakan

kawasan hijau tanpa adanya bangunan yang menutupinya. Selain itu lahan yang

sebelumnya merupakan lahan hijau diubah fungsinya menjadi perkantoran.

Seiring dengan banyaknya perkembangan dan perubahan penggunaan

lahan, maka kebutuhan akan adanya ruang terbuka hijau juga semakin menurun

karena infrastruktur yang sangat pesat terbangun. Kebutuhan ruang terbuka hijau

terkadang tidak didukung oleh ketersediaan ruang terbuka hijau dari suatu

wilayah. Padahal kebutuhan ruang terbuka hijau berbeda-beda tergantung dengan

luas wilayah serta banyaknya penduduk yang menggunakan wilayahnya.

Ketersediaan ruang terbuka hijau memiliki hubungan langsung dengan

oksigen yang dihasilkan serta karbon dioksida yang dapat diserap. Ketersediaan

ruang terbuka hijau dianggap memenuhi apabila kebutuhan oksigen pegawai

perkantoran selaku pelaku aktivitas perkantoran serta kendaraan bermotor

tercukupi. Selain itu, besarnya karbon dioksida yang sanggup diserap ruang

terbuka hijau juga dikatakan memenuhi apabila dapat mencukupi besarnya karbon

dioksida yang dihasilkan pelaku aktivitas perkantoran serta kendaraan bermotor.

Secara skematis, kerangka pemikiran untuk penelitian ini berdasarkan latar

belakang serta rumusan masalah yang ada, disajikan dalam gambar berikut :

21

Gambar 1.2. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian

Penurunan proporsi lahan terbuka

Pola persebaran ruang terbuka hijau tidak merata

Analisis ketersediaan dan kebutuhan ruang terbuka hijau

Kebutuhan RTH berdasarkan

jumlah kebutuhan oksigen

Ketersediaan berdasarkan luasan lahan hijau, tipe ruang terbuka hijau, dan

jumlah pohon

Pemindahan pusat pemerintahan

Kebutuhan lahan terbangun meningkat