bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak masih sekolah dasar, saya tidak asing mendengar bahwa Yogyakarta
adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang
mempertanyakan Yogyakarta sebagai kota apa. Hal ini saya rasa benar karena ada
beberapa kampus negeri dan banyak kampus swasta di sini. Yang menjadi ikon
adalah Universitas Gadjah Mada karena tercatat sebagai kampus nomor satu
terbaik di Indonesia pada tahun 2015 versi webometrics1.
Branding ini tentu membuat masyarakat Indonesia maupun luar Indonesia
tertarik untuk melanjutkan studi di Yogyakarta. Setiap tahunnya, jumlah
pendatang yang bertujuan untuk melanjutkan pendidikan semakin bertambah.
Tahun 2013 tercatat sekitar 310.860 mahasiswa dari seluruh Indonesia yang
belajar di Yogyakarta. Dari jumlah tersebut, 244.739 orang atau 78,7% adalah
mahasiswa pendatang dari luar daerah (Kompas, 08/04/2013). Pada tahun 2014
tercatat 298.000 orang mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di D. I.
Yogyakarta. Dari sekian banyak mahasiswa hanya 10% sampai 15 % yang asli
Yogyakarta. Sisanya ada 85% atau sekitar 200.000 mahasiswa dari berbagai
daerah (Tribun Jogja, 15/01/2014). Kondisi ini berimplikasi pada bangunan
kampus, bangunan kos, dan bangunan penunjang kebutuhan mahasiswa pendatang
lainnya serta aktivitas mahasiswa pendatang masuk ke dalam kampung-kampung,
1 Webometrics adalah suatu sistem perangkingan dunia yang berbasis website dan peringkat, diperbaharui dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Januari dan Juli (http://www.ekonomi-holic.com/2015/01/daftar-peringkat-universitas-terbaik.html, diakses pada tanggal 21 Juni 2015).
2
kemudian menciptakan berbagai permasalahan. Tak terkecuali di Kampung
Babarsari.
“Babarsari akeh wong Papua. Lha wong golek kos wae enek sing ditolak
kok”. “Sekarang di kosku gak menerima anak dari Papua”. “Kosku enek cah
Papua tapi meh diusir nek entek kontrake. Pak kos wes wegah nerima cah Papua
neh”. Itulah beberapa penggalan cerita teman-teman saya terkait isu penolakan
anak kos dari Papua. Saya kaget setiap kali mendengar cerita mereka karena
selama di Yogyakarta (2013-2014) saya tidak peka akan hal ini. Dalam hati, saya
penasaran apa yang dilakukan oleh mahasiswa Papua sehingga ada warga
Yogyakarta yang tega menolak mereka untuk kos2, warga Jawa yang dulu
welcome terhadap orang lain menjadi ada yang tidak welcome.
Pada media online, saya memang sempat membaca berita tentang konflik
mahasiswa Papua di Yogyakarta. Konflik ini tidak jarang yang melibatkan warga
Yogyakarta. Salah satu contoh konflik yang pernah dimuat di media online adalah
penganiayaan yang dilakukan oleh organisasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
pada 6 Agustus 2014. Organisasi yang dipimpin oleh Jefrison Wenda menganiaya
dua warga lanjut usia (lansia) bernama Dardiman (63 tahun) yang berdomisili di
Prawirodirjan dan Mugijono (70 tahun) yang berdomisili di Bantul. Penganiayaan
terjadi di perempatan depan kantor pos besar Yogyakarta saat AMP melakukan
demonstrasi menuntut agar Papua diberi kemerdekaan melalui referendum. Kedua
lansia ini melintas di sekitar terjadinya demonstrasi dan tanpa diketahui sebabnya,
mereka dianiaya hingga dirawat di rumah sakit Lempuyanganwangi Danurejan
2Kos adalah tempat tinggal yang disewakan, baik kamar yang disewakan atau rumah yang dikontrakkan.
3
karena luka parah (http://suarapapua.org/2014/08/24/aliansi-mahasiswa-papua-
amp-yogyakarta-tak-berprikemanusiaan-menganiaya-orang-tua-sepuh/, diakses
pada tanggal 8 Oktober 2015). Saya masih ragu-ragu apakah konflik semacam
inilah yang menyebabkan warga Yogyakarta menolak mahasiswa Papua dalam
mencari kos atau ada hal-hal lain.
Respon negatif berupa penolakan kos terhadap mahasiswa Papua tidak
dilakukan oleh semua warga. Buktinya masih terdapat mahasiswa Papua yang
tinggal di Yogyakarta. Pada September 2014 saya menaiki sepeda motor
mengelilingi Babarsari. Di sana saya mendapati mahasiswa yang saya duga adalah
orang Papua karena ciri-ciri fisik yang saya lihat sesuai dengan lagunya Edo
Kondologit3. Hal itu sesuai juga dengan tulisan lfred Russel Walace yang dikutip
oleh Abbas (2014)4. Mereka sedang duduk-duduk di depan kampus STTNAS, di
warung makan, di depan kos, dan lalu lalang di jalan. Dugaan saya diperkuat
dengan cerita Pak RW bahwa Kampung Babarsari banyak dihuni oleh mahasiswa
dari berbagai daerah, termasuk Papua, juga mahasiswa dari Indonesia Timur
lainnya yang ciri-ciri fisiknya hampir mirip dengan orang Papua. Bahkan
sekarang ini (2014) di kos Pak RW ada juga mahasiswa yang berasal dari Papua.
Rupanya respon negatif terhadap mahasiswa Papua tidak hanya berhenti
pada penerimaan anak kos, namun juga pada penyewaan motor. Ketika iseng-
iseng bertanya mengapa ada tulisan “rental khusus mahasiswa” pada poster
3Edo Kondologit adalah penyanyi yang berasal dari Papua. Cuplikan lirik lagu yang ia nyanyikan adalah, “hitam kulit, keriting rambut, akulah Papua”. 4Etnis Papua memiliki penanda warna kulit sangat gelap, kecoklatan atau hitam, kadang-kadang hampir mendekati, tetapi tidak pernah sama dengan pekatnya warna kulit ras Negroid. Etnis Papua sangat berbeda dalam warna kulit yang melebihi Melayu, kadang-kadang agak hitam atau kecoklatan dengan rambut sangat kasar dan kering.
4
pemilik rental, ia malah bercerita melebar bahwa ada mahasiswa tertentu (Papua)
yang ditolak ketika mau menyewa motor. Saya semakin penasaran dengan
keputusan yang diambil oleh pemilik rental. Bukankah kos dan rental motor
adalah ladang yang menghasilkan untuk menunjang kebutuhan ekonomi?
Kos dan rental motor merupakan dua hal yang mewakili tempat tinggal
dan alat transportasi. Keduanya merupakan kebutuhan penting bagi mahasiswa
pendatang. Namun ada satu hal lain yang tidak kalah penting, yaitu terkait
kebutuhan makan. Meminjam istilah Malinowski (1944: 91) bahwa manusia
mempunyai kebutuhan dasar kesehatan, dalam hal ini menurut saya makan
merupakan salah satu perilaku yang dapat menunjang kesehatan. Mahasiswa
membutuhkan makan untuk menunjang kesehatannya. Pemilik warung makan
berbeda dalam merespon mahasiswa pendatang. Jika pemilik kos dan rental motor
selektif terhadap calon penyewa, pemilik warung makan cenderung menerima dan
mempersilakan semua orang yang akan membeli makanannya. Inilah fakta di
kampung yang saya sorot dari segi respon warga kampung berdasarkan tiga hal,
yaitu kos, rental motor, dan warung makan. Respon yang saya maksud berupa
penerimaan5 warga kampung terhadap mahasiswa pendatang terutama yang
berasal dari Papua.
Pembicaraan mengenai penerimaan mahasiswa pendatang yang saya awali
dengan cerita mahasiswa Papua adalah hanya sebagai pintu masuk karena
gambaran yang menunjukkan penolakan terjadi kepada mahasiswa Papua.
5Penerimaan warga kampung yang saya maksud bukan hanya menerima dalam konteks yang berhubungan dengan usahanya, tetapi bagaimana sikap dan perilaku warga ketika berhadapan dengan mahasiswa dari Papua dan mahasiswa lainnya di lingkungan yang lebih luas. Penerimaan bisa menerima mereka secara tulus, ada pertimbangan, atau bahkan menolaknya (tidak menerima yang berhubungan dengan usahanya).
5
Sebenarnya masih ada realitas lain seperti adanya simbol-simbol penolakan yang
tidak hanya tertuju pada mahasiswa Papua. Simbol itulah yang menambah
ketertarikan saya mengupas isu respon warga kampung terhadap mahasiswa
pendatang karena warga melakukan penolakan tentu mempunyai pertimbangan-
pertimbangan tertentu.
Sudah seharusnya warga tidak diskriminatif terhadap orang-orang dari
daerah, etnis, atau agama tertentu. Kampung Babarsari sebagaimana diceritakan
oleh Pak RW warganya heterogen, sehingga menghargai satu sama lain perlu
diterapkan. Bukan hanya mahasiswa pendatang saja yang dicita-citakan
menghargai warga kampung, namun sebaliknya warga kampung juga harus
menghargai mahasiswa pendatang. Pemahaman nilai budaya sendiri yang selama
ini menjadi prasyarat untuk memahami orang lain hendaknya bisa mencair
sehingga permasalahan tentang stereotip tidak lagi sampai pada tataran
diskriminasi.
Penelitian mengenai membaurnya pendatang dan warga “asli” dalam
ruang material dan ruang sosial banyak dijumpai, tetapi sejauh yang saya ketahui
ditekankan pada perspektif pendatang. Penelitian hanya melihat bagaimana etnis
pendatang beradaptasi dengan tuan rumah seperti penelitian yang dilakukan oleh
Hartiningsih (2007) tentang bagaimana etnis Jawa sebagai pendatang beradaptasi
dengan etnis Madura di Situbondo. Penelitian tentang stereotip juga hanya
berhenti pada bentuk-bentuknya, tidak berlanjut pada tindakan akibat adanya
stereotip. Penelitian yang saya lakukan ini tidak menekankan pada perspektif
pendatang, namun lebih menekankan pada perspektif host, yaitu bagaimana
6
bentuk-bentuk stereotip warga kampung terhadap mahasiswa pendatang dan
bagaimana pula stereotip tersebut berpengaruh terhadap respon sehingga muncul
respon yang berbeda di antara para warga kampung. Perlu digarisbawahi bahwa
dalam tulisan ini seringkali membahas mengenai pandangan warga kampung
terhadap mahasiswa pendatang yang oleh warga kampung sering disebut sebagai
“wong timur”, “wong timur” ataupun “wong ireng” terutama Papua karena yang
saya temukan di lapangan ada keunikan warga kampung dalam melihat
mahasiswa dari Papua dan mahasiswa lain yang ciri-ciri fisiknya hampir sama.
Dari uraian di atas berarti keberadaan mahasiswa pendatang dengan stereotip yang
melekat perlu diketahui apakah dapat berdampak pada hubungannya dengan
respon warga atau tidak. Sehubungan dengan itu, penelitian tentang stereotip dan
respon warga kampung terhadap mahasiswa pendatang menjadi perlu, penting,
dan menarik untuk diteliti.
B. Permasalahan
Yogyakarta selain terkenal dengan sebutan “Kota Pariwisata”, juga
terkenal sebagai “Kota Pelajar”. Citra Yogyakarta sebagai “Kota Pelajar” masih
melekat sampai sekarang. Sebutan ini berdialektis dengan kedatangan mahasiswa
pendatang dari berbagai daerah. Kedatangan mahasiswa di Yogyakarta adalah
sebagai migrasi silkuler, mereka hanya mondok atau menginap di kos (Mantra
dalam Tukiran, 2002: 57). Lama tidaknya mahasiswa yang mondok atau
menginap dalam kurun waktu beberapa tahun tergantung kelulusannya kecuali
ada yang memang tertarik bekerja di Yogyakarta.
7
Pembangunan kampus tersebar di lokasi yang ramai mendekati kota
sampai di kampung-kampung pelosok seperti di Kampung Babarsari. Keadaan
hidup bersama dengan mahasiswa pendatang dari berbagai daerah dari luar
kampung dirasakan sampai pada level kampung, bahkan kampung sekarang ini
tumbuh bangunan yang notabene dikomersilkan untuk tempat tinggal mahasiswa
pendatang (kos) dan bangunan-bangunan lain. Ruang fisik yang digunakan untuk
lahan pertanian sudah semakin langka meskipun ruang untuk pembauran warga
kampung masih tersedia. Masalah yang terjadi saat ini bukan langkanya ruang
fisik di kampung untuk lahan pertanian, namun respon mahasiswa pendatang
terkait adanya stereotip.
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk stereotip warga kampung terhadap mahasiswa
pendatang?
2. Bagaimana stereotip berpengaruh pada respon warga kampung terhadap
mahasiswa pendatang?
3. Bagaimana bentuk-bentuk respon dan pengaruhnya terhadap mahasiswa
dalam mendapatkan layanan warga?
C. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai kampung dan pertemuan warga “asli” dengan
pendatang dalam sebuah ruang material dan ruang sosial sudah pernah dilakukan
oleh beberapa peneliti sebelumnya.
8
Pranowo (1988) membahas mengenai orang kampus dan orang kampung
yaitu pada interaksi dan persepsi timbal balik keduanya. Orang kampus adalah
orang-orang baru yang berada di sekeliling kampus, sementara orang kampung
adalah orang-orang Aceh yang memang sebelum kampus berdiri sudah tinggal di
situ dan berada di kampung sekitar kampus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
interaksi yang terjalin diwarnai perkembangan yang menunjukkan semakin
mapannya kedudukan masyarakat kampus di satu pihak dan tergesernya
kepentingan masyarakat kampung di pihak lain. Keadaan demikian merupakan
salah satu faktor yang memudahkan timbulnya kesalahpahaman, yang pada
gilirannya cenderung menyebabkan kerenggangan hubungan sosial mereka.
Interaksi sosial antara masyarakat kampus dengan masyarakat kampung tidak
lebih dari interaksi yang terjadi karena tempat tinggal mereka yang bertetangga.
Bukan berkaitan dengan interaksi yang mengarah pada ekonomi pasar seperti
penelitian yang saya lakukan.
Adapun persepsi orang kampung terhadap orang kampus dapat
dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu positif, ganda, dan negatif. Positif yaitu
adanya anggapan serba positif terhadap kehadiran lembaga dan masyarakat
kampus ke tengah lingkungan mereka yang dinyatakan dengan mengungkapkan
keuntungan yang mereka rasakan. Persepsi ganda yaitu adanya anggapan bahwa
kehadiran lembaga dan masyarakat kampus telah mendatangkan keuntungan dan
kerugian. Dan persepsi negatif berupa anggapan orang kampung yang serba
negatif terhadap orang kampus seperti sombong, mementingkan orang sedaerah,
9
kurang menghormati adat, pergaulannya terlalu bebas, mau menang sendiri, dan
meremehkan orang.
Sementara persepsi orang kampus terhadap orang kampung adalah netral,
negatif, dan positif. Netral cenderung tidak memberi “cap” yang berkonotasi
positif atau negatif, namun memberi rasionalisasi atas aspek yang menyangkut
hubungan sosial orang kampus dan orang kampung. Negatif yaitu orang kampung
dinyatakan sebagai kolot, kasar, suka mengganggu, suka mencari-cari kesalahan,
dan malas. Sementara persepsi positif yaitu baik dan ramah.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Sadilah, dkk. (1998) di bawah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Daerah Istimewa (D.I) Yogyakarta
yang membahas mengenai tingkat integrasi dan disintegrasi yang terjadi, faktor
yang mempengaruhi tingkat integrasi dan disintegrasi, serta usaha-usaha yang
dilakukan dalam rangka meningkatkan integrasi antaretnik di Kota Yogyakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suku bangsa asal memandang positif atas
sifat-sifat kebersamaan dan taqwa serta memandang negatif atas sifat-sifat keras,
kasar, dan suka berkelahi. Adapun suku bangsa pendatang memberikan
pandangan positif atas sifat-sifat kebersamaan dan rukun serta memandang negatif
atas sifat kasar dan tidak mau mengalah terhadap suku bangsa lain. Pandangan ini
bisa melebur manakala baik suku bangsa pendatang maupun suku bangsa asli
sudah saling kenal dan lama kenal. Pandangan warga kampung terhadap suku
bangsa pendatang saya rasa tidak bisa digeneralisir karena setiap suku bangsa
memiliki perbedaan sifat, bahkan satu suku bangsa pun juga memiliki perbedaan
sifat pula.
10
Penelitian yang lebih baru yaitu dilakukan oleh Purwaningsih, dkk. (2004).
Purwaningsih, dkk. (2004) meneliti interaksi penghuni asrama mahasiswa dengan
masyarakat sekitar di D.I. Yogyakarta. Asrama yang diteliti ada lima yaitu yang
pertama asrama Rahadi Osman I, Kalimantan Barat di Jalan Bintaran Tengah
nomor 10, Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta.
Kedua, asrama Sriwijaya, Sumatera Selatan berada di Jalan Bausasran DN III
nomor 595 Kelurahan Bausasran, Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta.
Ketiga, asrama Bumi Gora, Nusa Tenggara Barat di Jalan Soga Celeban UH
III/543 Yogyakarta. Keempat asrama Bukit Barisan, Sumatera Utara yang berada
di Jalan Kaliurang Km 5 Gang Sitisonya Yogyakarta. Kelima adalah asrama
Lansirang Sulawesi Selatan di Nologaten Temuireng 27 A Yogyakarta.
Purwaningsih, dkk. (2014) ingin mengetahui bagaimana persepsi
mahasiswa terhadap budaya lain selain budaya yang dimilikinya dan interaksi
penghuni asrama mahasiswa dengan masyarakat sekitarnya. Peneliti
menggunakan konsep multikulturalisme dan konsep interaksi sebagai pisau
analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi penghuni asrama terhadap
orang Jawa ada yang positif dan ada yang negatif. Persepsi positif dikatakan
bahwa orang Jawa itu sopan santun, ramah-tamah, lemah lembut, terbuka bagi
pendatang. Sedangkan persepsi negatif dikatakan bahwa orang Jawa seenaknya
sendiri, etnosentris, penipu, dan membingungkan. Sementara interaksi yang
terjadi melibatkan penghuni asrama dan masyarakat sekitar. Mereka saling
berinteraksi ketika ada kegiatan-kegiatan tertentu seperti kerja bakti, peringatan
tujuh belasan, dan kegiatan serupa lainnya. Intensitas interaksi antara mahasiswa
11
pendatang dengan warga kampung akan berbeda hasilnya jika yang diteliti adalah
mahasiswa yang tidak tinggal di asrama karena mahasiswa yang tinggal di asrama
cenderung membaur dengan mahasiswa yang asal daerahnya sama.
Beberapa penelitian di atas menarik karena membahas secara tuntas kedua
belah pihak yaitu masyarakat “asli” dan masyarakat pendatang. Namun dalam
konteks ruang sosial budaya, penelitian ini kurang melihat simbol-simbol sebagai
penerimaan masyarakat kampung sehingga penelitian saya akan melengkapi
penelitian ini meskipun dari sisi masyarakat pendatang saya tidak membahas
secara detail.
Kawasan Babarsari yang sebenarnya merupakan wilayah kabupaten juga
seringkali dianggap sebagai perkotaan karena selain letaknya dekat dengan kota
juga mobilitas pendatang serta kemajuan wilayahnya tidak jauh beda dengan
perkotaan. Penelitian Budiharjo (2012) mengkaji keterkaitan antara gaya hidup
dengan tata ruang koridor Jalan Babarsari. Gaya hidup mahasiswa yang ada di
koridor Babarsari adalah gaya hidup perkotaan (urban lifestyle) yang mampu
menciptakan ruang-ruang baru terutama bangunan komersial, karena tingkat
konsumsi mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan dasar sangat tinggi. Hal itu
dipengaruhi oleh latar belakang mahasiswa, tingkat ekonomi, dan waktu luang
atau kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa disela-sela rutinitasnya di kampus.
Tata ruang koridor Jalan Babarsari merupakan wujud dari masyarakat yang hidup
di dalamnya, aktivitas, pola hidup, dan minatnya. Penataan massanya menjadi
seoptimal mungkin dan efisien, serta sebaran bangunan komersialnya mengambil
12
lokasi-lokasi strategis di koridor Jalan Babarsari, mengikuti aktivitas mahasiswa
terutama mahasiswa dengan tingkat ekonomi kelas menengah dan atas.
Penelitian Budiharjo ini lebih fokus pada wilayah sepanjang Jalan
Babarsari, yang secara hubungan sosial warganya berbeda dengan yang terjadi di
kampung. Secara komersial juga berbeda, tempat-tempat yang dikomersilkan
bukan mengarah pada kebutuhan dasar mahasiswa pendatang namun lebih kepada
pemenuhan kebutuhan tambahan yang konsumtif dan diminati oleh mahasiswa
menengah ke atas.
D. Kerangka Pemikiran
Keharmonisan suatu hubungan antara warga dengan mahasiswa pendatang
bisa saja terhambat karena adanya berbagai stereotip yang berkembang. Menurut
Allport (1985:187), “a stereotype is an exaggerated belief associated with a
category. Its function is to justify (rationalize) our conduct in relation to that
category”. Stereotip adalah menilai atau mempersepsikan, kemudian penilaian
atau persepsi tersebut mereka generalisasikan kepada orang-orang tertentu.
Stereotip suku Minahasa terhadap orang Papua berdasarkan penelitian yang
dilakukan Rumondor (2014) adalah bersifat positif dan negatif. Bentuk stereotip
yang bersifat positif yaitu memiliki rasa persatuan yang tinggi, bersifat memberi,
religius, setia kawan, dan sangat menghormati adat istiadat. Sementara bentuk
stereotip yang bersifat negatif yaitu sulit untuk diajak berkomunikasi, pemabuk,
suka berkelahi atau mencari masalah, lambat berpikir, dan memiliki sifat kasar.
Dalam kasus ini warga Kampung Babarsari bisa memberikan stereotip positif dan
13
negatif sekaligus seperti suku Minahasa, positif saja, atau negatif saja terhadap
mahasiswa pendatang. Seringkali stereotip melebur apabila terpengaruh oleh
perasaan emosi tertentu dengan orang lain yang telah kenal dekat (Aloliliweri,
2005:213).
Stereotip berhubungan dengan media. Media memang memediasi, yaitu
merekonstruksi materi sumber dengan pelbagai cara dan alasan supaya menarik
bagi audiens (Burton, 2012: 11). Riwayat konflik yang dimuat media bisa
dijadikan dasar persepsi warga terhadap mahasiswa dari daerah tertentu meskipun
ada beberapa pihak yang bisa menyelesaikan konflik. Menurut Liliweri (2005:
209) banyak di antara stereotip itu unik dan berasal dari pengalaman pribadi,
tetapi beberapa di antaranya merupakan hasil pengalaman dan pergaulan dengan
orang lain maupun dengan anggota kelompoknya sendiri. Merujuk dari pemikiran
Liliweri, pengalaman warga dalam kehidupan sehari-hari menghadapi pendatang
bisa menjadi penyebab berkembangnya persepsi kemudian merambah pada
stereotip. Ini seperti apa yang dikatakan Royce (Pelly, 1998: 1) bahwa corak
hubungan antarkelompok etnis dalam masyarakat majemuk ada tiga faktor yang
menentukan yaitu power, perception, dan purpose. Kekuasaan adalah yang
menjadi faktor utama dan faktor lainnya ditentukan oleh faktor utama ini. Jadi,
persepsi terhadap mahasiswa pendatang ditentukan oleh kekuasaan. Jika warga
menjadi bagian dalam kelompok dominan, maka persepsi dengan mudah
dimunculkan dan persepsi yang mengakar menjadi stereotip dapat dijadikan dasar
untuk merespon sekitar.
14
Dalam mempersepsikan, Ritser (2004: 274-275) mengatakan bahwa aktor
secara spontan menanggapi stimulus dari luar, namun dipikir sebentar lalu
dinilainya. Begitu juga dengan warga kampung yang memikirkan dan menilai
setiap stimulus yang ada. Adapunpersepsi menurut Renato (Pranowo, 1988:15)
adalah “in the person perception used here, the term perception is used in a very
loose way, most often meaning apperception and cognition”. Persepsi bisa positif
maupun negatif tergantung tolok ukur aktor yang mempersepsikannya.
Stereotip ini ternyata mempengaruhi respon warga kampung terhadap
mahasiswa pendatang. Melalui pintu masuk respon ekonomi, warga melanjutkan
respon dalam aspek sosial budaya yang meliputi adanya selektivitas terhadap
mahasiswa pendatang. Respon ekonomi merupakan tanggapan warga kampung
atas kedatangan berbagai mahasiswa dari berbagai daerah yang melakukan
migrasi dengan tujuan pendidikan di Yogyakarta. Menurut Ahimsa-Putra (2011:
637) respon ekonomi merupakan pola-pola perilaku atau aktivitas tertentu di
kalangan sejumlah warga masyarakat yang ditujukan untuk mendapatkan
penghasilan dan atau tambahan penghasilan yang muncul terutama sebagai
tanggapan atas aktivitas kepariwisataan di sekitar mereka. Respon yang saya
maksud jelas berbeda dengan yang diuraikan oleh Ahimsa-Putra. Jika respon yang
Ahimsa-Putra maksud adalah sebagai tanggapan atas aktivitas kepariwisataan,
maka respon yang saya maksud adalah respon ekonomi sebagai tanggapan atas
datangnya mahasiswa dari berbagai daerah di Kampung Babarsari.
Warga Kampung Babarsari sebagai tuan rumah merupakan aktor yang bisa
memanfaatkan situasi kondisi lingkungan sekitar. Seperti yang telah dituliskan
15
oleh Ahimsa-Putra (2011: 637), manusia diasumsikan memiliki kesadaran
mengenai hal di sekelilingnya. Hal ini dipandangnya sebagai “possible alternative
modes of behavior”, yang jika diikuti akan memberikan hasil-hasil tertentu.
Dalam konteks ini, manusia diasumsikan akan memilih alternatif yang dipandang
akan memberikan hasil paling menguntungkan.
Dalam kehidupan sebuah kampung, tentu warga kampung melakukan
interaksi sosial dengan sesama warga kampung maupun mahasiswa pendatang.
Hidup bersama dengan orang lain memerlukan interaksi karena sesungguhnya
manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan kehadiran orang lain.
Saya setuju dengan pemikiran Simmel (Jhonson dalam Liliweri, 2009:124-125)
bahwa kehidupan sosial merupakan pola interaksi yang kompleks antarindividu
dan untuk memahami kehidupan sosial harus memperhatikan interaksi sosial
karena interaksi sosial adalah proses. Setiap orang terlibat dalam proses dan itu
yang disebut relasi dengan orang lain. Sekarang ini, interaksi yang terjalin antara
warga kampung dengan mahasiswa pendatang lebih mengarah pada interaksi
ekonomi. Artinya hanya warga kampung yang mempunyai akses sumber daya
saja yang lebih terlibat dalam interaksi. Namun keadaan semacam ini bukan
berarti tidak ada interaksi antara warga kampung secara umum dengan mahasiswa
pendatang. Dalam situasi dan kondisi tertentu interaksi terlihat manakala mereka
membaur. Intensitas kurangnya interaksi ini salah satunya diperkuat oleh
segregasi yang diciptakan warga kampung maupun mahasiswa pendatang
(Iwansah, 2014:29).
16
Furnivall (2009: 471-475) dalam bukunya tentang ekonomi majemuk
mengatakan bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang kehidupan
sosialnya beragam latar belakang dan juga kebudayaan, mereka hidup dalam unit
politik yang sama, namun proses berdampingan yang beragam itu membentuk
komunitas-komunitasnya sendiri. Hubungan antarkomunitas yang berbeda adalah
hidup berdampingan dan hanya berinteraksi dalam urusan ekonomi. Pasar
merupakan tempat berbagai golongan dalam masyarakat majemuk bertemu.
Mereka boleh berasal dari agama, etnis, ras, daerah, agama, dan sekolah yang
berbeda, namun tujuannya di pasar sama yaitu memperoleh keuntungan dengan
proses tukar menukar. Dari situ dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri masyarakat
majemuk menurut Furnivall adalah: (i) meskipun tergabung dalam masyarakat
yang sistem politiknya sama namun mereka hidup sendiri-sendiri; (ii) interaksi
sosial antar kelompok kurang dan terjadi cenderung pada sektor ekonomi; dan (iii)
lemah dalam keinginan kebersamaan sosial. Apa yang ditulis Furnivall tentang
ekonomi majemuk kemungkinan dapat menggambarkan konteks Kampung
Babarsari. Interaksi terlihat jelas dalam urusan ekonomi dan pembauran terlihat
manakala di pasar karena pasar bisa mendamaikan kepentingan kedua belah
pihak.
Manusia diasumsikan akan berusaha mencari informasi-informasi yang
relevan, memproses informasi tersebut, menilai hasilnya, kemudian mengambil
keputusan (Long dalam Ahimsa-Putra, 2011: 637). Merujuk pada pemikiran ini,
maka penerimaan warga kampung terhadap mahasiswa pendatang berbeda.
Pengambilan keputusan penerimaan terhadap mahasiswa tertentu itu tergantung
17
pada stereotip yang meliputi pengetahuan dan pengalaman warga terhadap budaya
lain dan kenyamanannya dengan keputusan yang diambil. Sebagaimana yang
dijelaskan Johnson dan Haver (Rogers, 79) bahwa ada tahapan dalam
pengambilan keputusan, yaitu mengamati masalah terlebih dahulu,
menganalisisnya, menentukan arah untuk melakukan tindakan, mengambil
langkah, dan menerima semua keputusan yang telah dibuat. Pada dasarnya ketika
aktor berkecimpung di dunia bisnis, pertimbangan-pertimbangan ekonomi adalah
mempunyai peranan penting karena bisnis ini menuntut adanya pertimbangan
untung-rugi (Abdullah, 1988:26). Bagi beberapa warga kampung, pertimbangan
dalam penerimaan mahasiswa pendatang bisa beragam, tidak hanya pertimbangan
ekonomi.
Terselip peran media (pengetahuan dari media) juga dalam mempengaruhi
keputusan penerimaan warga kampung terhadap mahasiswa dari “wong timur”
terutama Papua. Melalui penggunaan bahasa dan gambar sebagai sistem simbol,
para pengelola media mampu menciptakan, memelihara, mengembangkan, dan
bahkan meruntuhkan realitas. Ketika menikmati suatu informasi dari media,
terkadang tanpa sadar penonton/pembaca tanpa sadar digiring oleh definisi yang
ditanamkan oleh media massa tersebut (Mulyana, 2008: 12). Peter Dahlgren
(Mulyana, 2008: 12) memperjelas bahwa realitas sosial sebagian merupakan
produksi manusia dan hasil proses budaya. Stereotip yang salah satunya
disebabkan karena adanya konflik kekerasan di kampung dan ditambah dengan
boomingnya media menjadi acuan warga kampung dalam merespon secara sosial
18
budaya segala dinamika kampung yang diakibatkan oleh efek kedatangan
mahasiswa yang berkonflik.
Penerimaan terhadap mahasiswa pendatang di Kampung Babarsari dapat
dikatakan sebagai bentuk segregasi. Segregasi merupakan gejala yang
menunjukkan tendensi (secara sadar atau tidak sadar) untuk memisahkan diri dan
mengadakan spesialisasi lebih lanjut dalam masyarakat. Ada segregasi
berdasarkan kesamaan keturunan, kebiasaan sosial, pembentukan daerah-daerah
perindustrian dan perdagangan khusus yang terpisah dari daerah-daerah kegiatan
manusia lainnya (Boskoff dan Sutherland dalam Susanto, 1985: 144). Adapun
segregasi sosial menurut Merry (Iwansah, 2014:29) tidak jauh beda, yaitu
pemisahan atau konsentrasi spasial yang ditampakkan dengan ciri/karakteristik
tertentu seperti: ras, etnisitas, status sosio-ekonomi, afiliasi politik, gender, agama,
status pekerjaan atau bahasa. Sementara yang nampak di Kampung Babarsari
adalah kecenderungan segregasi penerimaan mahasiswa berdasarkan fisik, daerah,
agama, ekonomi, dan bahasa, selain segregasi yang terjadi dalam aktivitas sosial
budaya warga kampung. Bahkan segregasi ini diakui secara fulgar dengan adanya
“nama” di kos yang dikomersilkan. Ada yang menamakan diri sebagai kos
muslim, kos eksklusif, dan kos bahasa Inggris.
Segregasi yang merupakan penyebab kurang intensnya interaksi antara
warga kampung dengan mahasiswa pendatang bisa menjadi alat untuk
mengekspresikan identitas mereka. Mulai dari identitas agama sampai pada status
sosial. Nama merupakan hal yang sederhana dan paling nyata dari simbol
identitas, meskipun rumit karena membuat nama membutuhkan penyelidikan arti
19
dan permainan bahasa. Singkat kata, menurut John Dewey memberi nama berarti
harus mengetahui nama itu sendiri (Isaacs, 1993: 91). Simbol yang menjadi
identitas ada yang dipilih secara sangat sadar dan ada yang tidak (Ahimsa-Putra,
2013:8). Pada kasus ini pemilihan nama dibuat sangat sadar melalui sejarah
pemikiran. Simbol-simbol yang dipajang menunjukkan bahwa di balik tujuan
ekonomi juga bentuk ekspresi menampilkan siapa mereka dan apa kelebihan
mereka dibandingkan yang lainnya. Menurut Peter Berger (Soeprapto, 2002: 227)
bahwa identitas merupakan definisi yang diberikan secara sosial, dijaga secara
sosial, dan ditransformasikan secara sosial karena tidak hanya diciptakan oleh diri
sendiri namun juga melibatkan orang lain untuk menilai.
Respon berupa penerimaan dan penolakan atau yang lebih mencolok
adalah segregasi bisa cenderung mengarah pada diskriminasi sesama warga
Indonesia. Stetler (Allport, 1988:51-52) menyebutkan bahwa “discrimination
comes about only when we deny to individuals or groups of people equality of
treatment which they may wish”. Sasaran diskriminasi adalah komunitas
minoritas. Minoritas bukan berarti hanya jumlahnya saja yang sedikit, namun
keberadaannya seringkali dijadikan objek prasangka (Danandjaja, 2003).
Diskriminasi ini jika tidak diterima oleh pihak yang didiskriminasikan akan dapat
menimbulkan perpecahan di antara warga Indonesia yang notabene heterogen dan
berkeinginan untuk bersatu sesuai yang terdapat dalam sila ke-3 Pancasila. Posisi
ini yang kemungkinan akan menyebabkan konflik selanjutnya. Pada titik inilah
sentimen pribumisme berhadapan dengan para pendatang muncul dan menjadi
persoalan lain dari migrasi (Abdilah, 2002:99). Papua dengan ciri fisik berbeda
20
dengan warga kampung telah mengalami penolakan baik tersirat maupun tersurat
oleh warga kampung. Mahasiswa Papua dinilai sebagai kaum Paria yang
berperilaku tidak terpuji (Barth, 1988:34).
Segregasi ini jika dilihat lebih jauh dekat dengan rasisme. Teori-teori rasis
menurut Douverger (Abdilah, 2002:61) mengatakan bahwa ras manusia yang
berbeda-beda, mempunyai bakat sosial dan intelektual yang tidak sama. Dari
sinilah muncul pandangan superioritas dan inferioritas serta orang dalam
(pribumi) dan orang luar (non pribumi) (Abdilah, 2002:61). David Theo Goldbeg
menganggap rasisme telah menjadi wacana dan membentuk cara pandang yang
tercermin dalam sikap dan perilaku seseorang serta cara-cara ekspresi. Ekspresi-
ekspresi rasis ini terbudayakan dalam berbagai macam cara dan media. Menurut
Goldbeg, rasisme telah termanifestasi dalam berbagai bidang seperti akademis,
ekonomi, atas nama ilmu pengetahuan, hukum, dan merasuk dalam bidang
birokrasi (Abdilah, 2002:62-63).
Untuk membingkai permasalahan stereotip, penelitian ini melihat
darimana munculnya dan bagaimana bentuk-bentuk stereotip. Stereotip bukan ada
begitu saja, namun mengalami sebuah proses standar berdasarkan pengetahuan
dan pengalaman warga. Bentuknya pun juga beragam, ada yang bersifat positif
dan ada yang bersifat negatif. Bentuk-bentuk stereotip ini ditentukan oleh aktor
sesuai dengan tolok ukur yang dimilikinya, tentunya berdasarkan pengetahuan dan
pengalamannya.
Stereotip yang dimiliki warga kampung merupakan bagian dari senjata
dalam merespon mahasiswa pendatang. Dijembatani oleh respon ekonomi, warga
21
mulai merespon mahasiswa pendatang dengan respon sosial budaya termasuk
segregasi penerimaan mahasiswa pendatang dan segregasi dalam penerimaan anak
kos dijadikan sebagai ekspresi identitas. Warga seakan-akan menjadi aktor
superior yang dapat berkuasa di lingkup kampung, responnya pun mengalami
perbedaan.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian ini mencakup penentuan lokasi penelitian, metode
pengumpulan data, dan teknik analisis data.
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini saya lakukan pada tahun 2014 sampai tahun 2015 di
Kampung Babarsari, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.
Pemilihan kampung ini berdasarkan pada fakta bahwa (i) Kampung Babarsari
terletak tidak jauh dari perguruan tinggi seperti Universitas Proklamasi, Sekolah
Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS), dan kampus ternama lainnya, bahkan
STTNAS berdiri di kampung ini; (ii) ada indikasi bahwa penerimaan warga
kampung terhadap anak kos dengan berdasarkan ciri fisik, asal daerah,
kemampuan berbahasa, ekonomi, dan agama adalah beragam, ada yang menerima
untuk tinggal di tempat kosnya dan ada yang menolaknya; (iii)sebagai kampung
yang dekat dengan perguruan tinggi, dihuni oleh mahasiswa yang berasal dari
berbagai daerah termasuk dari Papua dan bertempat tinggal di kos, kemudian
saling melakukan kontak dengan warga kampung; (iv) warga kampung membuka
usaha sebagai respon menghadapi mahasiswa pendatang.
22
2. Pemilihan Informan
Pemilihan informan saya lakukan dengan cara mengamati terlebih dahulu
keadaan Kampung Babarsari, kemudian bertanya pada ketua RW. Saya
menjelaskan bahwa saya menginginkan informan atas dasar pertimbangan tertentu
yaitu warga sebagai penyedia jasa dan barang yang erat kaitannya dengan
mahasiswa pendatang, yaitu pemilik kos, penjual makanan, pemilik rental motor.
Penyedia barang atau jasa yang berkaitan dengan mahasiswa pendatang sengaja
saya batasi pada pemilik/pengelola kos, penjual/penjaga warung makan, dan
pemilik/penjaga rental motor. Hal ini saya lakukan bukan berarti saya
mengesampingkan usaha foto kopi, salon, laundry, pulsa, dan usaha lainnya,
namun ketiga yang telah saya sebutkan sudah barang tentu menjadi hal terpenting
yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Kemudian dengan senang hati Pak RW
memberi gambaran siapa saja warga sebagaimana yang saya inginkan. Khusus
untuk pemilik kos, saya menginginkan kos yang menerima semua mahasiswa dari
manapun dan kos yang selektif terhadap mahasiswa tertentu. Saya juga
mewawancarai warga yang bukan penyedia barang dan jasa supaya dapat
mengetahui persepsi mereka terhadap adanya mahasiswa pendatang. Sebagai
usaha saya untuk melengkapi data, saya juga membutuhkan ketua RT untuk
memberi gambaran bagaimana keadaan kampung dan beberapa mahasiswa untuk
sekedar kroscek.
Saya memutuskan beberapa orang yang menjadi informan dalam
penelitian ini, yaitu ketua RW, ketua RT, pemilik/pengelola kos, pemilik/penjaga
warung makan, pemilik/penjaga rental motor, dan warga kampung yang tidak
23
mempunyai usaha kos, warung makan, dan rental motor serta mahasiswa untuk
memperkuat data.
3. Metode Pengumpulan Data
Data yang saya kumpulkan pada penelitian ini sebagian besar berupa data
kualitatif. Untuk memperlengkap data kualitatif, saya juga mengumpulkan data
kuantitatif yang saya peroleh dari profil kampung. Adapun data kuantitatif yang
saya kumpulkan berupa data kependudukan. Untuk mendapatkan data yang
relevan dengan penelitian ini, maka metode pengumpulan data dapat saya lakukan
dengan cara studi pustaka, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Masing-
masing metode akan saya uraikan sebagai berikut.
3.1 Studi Pustaka
Studi pustaka pada penelitian ini melibatkan penelitian-penelitian
terdahulu, pemaparan data-data statistik dan etnografi-etnografi yang relevan
dengan penelitian ini. Pustaka saya ambil dari perpustakaan antropologi,
perpustakaan fakultas, dan sumber-sumber online.
3.2 Observasi
Observasi dalam penelitian ini adalah observasi partisipan. Saya ikut serta
dalam kegiatan yang dilakukan oleh warga kampung, mencoba menjadi konsumen
pada berbagai usaha di Kampung Babarsari dan ikut serta berinteraksi dengan
warga kampung. Saya percaya bahwa untuk mendapatkan informasi yang lengkap
dan akurat tentang hal-hal relevan terkait penelitian seharusnya peneliti berada di
antara informan dalam waktu yang relatif lama. Saya mempraktikkan tinggal
menetap di rumah ketua RW yang notabene berada pada lingkungan komunitas
24
mahasiswa sehingga berbagai budaya yang ada bisa saya tangkap. Kesulitan saya
dalam melakukan observasi partisipasi ini adalah tidak bisa standby setiap hari di
dekat informan, sehingga data yang saya peroleh adalah hanya ketika saya
menjadi konsumen dan melihat konsumen lain serta pada saat mengikuti beberapa
dari berbagai kegiatan di kampung.
3.3 Wawancara
Metode untuk mengumpulkan data yang tidak kalah penting selain
observasi adalah wawancara. Wawancara yang saya lakukan berupa wawancara
mendalam tidak terstruktur. Pada mulanya saya melakukan wawancara biasa atau
sekedar ngobrol dengan masyarakat Babarsari. Untuk informan yang sesuai
dengan pertimbangan dan atas rekomendasi Pak RW, akan saya lakukan
wawancara mendalam tidak terstruktur, tentunya masih menggunakan panduan
pertanyaan supaya topik tidak melebar kemana-mana.
Penelitian ini kiranya juga perlu menggunakan wawancara sambil lalu
meskipun sudah menggunakan metode wawancara mendalam tak terstruktur.
Wawancara sambil lalu lebih mengarah seperti percakapan persahabatan. Saya
melakukan percakapan yang mungkin tidak disadari oleh informan, kemudian
dengan santai peneliti memasukkan pertanyaan-pertanyan etnografi di dalamnya
(Spradley, 2007:85). Wawancara sambil lalu ini saya rasa cukup unik karena
terselubung dan sudah mendapatkan data. Seperti halnya dengan observasi, saya
juga mempunyai kesulitan-kesulitan dalam melakukan wawancara. Kesulitan
yang paling saya rasakan adalah ketika saya akan mengunjungi rumah warga
(pemilik/pengelola kos) karena ada beberapa rumah yang pemiliknya sibuk kerja
25
dan ketika wawancara, warga suka “curhat” sehingga saya harus sabar sekaligus
berusaha mengembalikan pada topik.
3.4 Dokumentasi
Saya mencari data mengenai hal apapun untuk mengumpulkan data yang
bersumber dari arsip dan dokumen baik data dari kampung maupun di luar itu.
Selain arsip dan dokumen, foto yang saya peroleh melalui kamera juga menjadi
penunjang analisis data. Foto-foto yang relevan dengan tema penelitian akan saya
abadikan dan kemudian saya analisis.
F. Teknik Analisis Data
Semua informasi dari hasil studi pustaka, observasi partisipan, wawancara
mendalam, dan dokumentasi akan saya kumpulkan dan saya klasifikasikan ke
dalam tema-tema yang relevan dengan masalah penelitian. Kemudian informasi
yang saya anggap sebagai fakta-fakta akan saya abstraksikan untuk saya jadikan
sebagai data. Ketika data sudah tertata, maka langkah selanjutnya adalah
mengaitkan dengan kerangka konseptual supaya dapat saya analisis. Analisis data
menggunakan model interaktif, yaitu tidak fokus hanya pada data saja atau pisau
analisis saja, namun keduanya saling dikaitkan. Cara penulisanya pun tidak secara
kontinu, tetapi bisa maju mundur ke bab lain sesuai dengan kebutuhan.