bab i pendahuluan -...

31
1 BAB I PENDAHULUAN " The successes of modern democratic government have to be considered the successes of government bureaucracies as well." (Douglas J. Amy) A. Problematika Birokrasi dan Tuntutan Agenda Reformasi Penelitian ini membahas mengenai bekerjanya faktor internal dan eksternal dalam mekanisme pengisian jabatan struktural berbasis kompetensi di lingkungan Sekretariat Daerah Propinsi Kalimantan Tengah. Pengisian jabatan struktural di dunia birokrasi bukanlah sebuah proses yang bekerja di ruang vakum dan imun dari berbagai pengaruhinstitusional normatif, sosio-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomibaik yang berasal dari lingkungan internal maupun eksternal.Sulit untuk dipungkiri bahwa terdapat banyak kemungkinan faktor yang berpotensi mempengaruhi terciptanya kondisi ideal birokrasi berbasis merit system, di antaranya adalah faktor legal-formal, faktor politis, faktor nepotisme, faktor primordialisme dan budaya patrimonial.Menempatkan birokrasi pada wilayah steril yang sepenuhnya terbebas dari pengaruh beragam faktor tersebut boleh dikatakan mustahil. Birokrasi adalah sebuah sistem terstruktur dari bangun kekuasaan berisi aktor-aktor yang terbagi menurut area dan jenjang hirarkis. Bangun kekuasaan tersebut, puncaknya ditempati oleh aktor penguasa tunggal (executive ascendancy) yang memposisikan diri sebagai super ordinat terhadap aktor lainnya, yakni para eksekutif karir. Penguasa tunggal dengan klaim “hak prerogatifnya” adalah satu-satunya aktor paling berkuasa dalam menentukan nasib jabatan birokrasi para eksekutif. Penguasa tunggal ini tentunya MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIAN DARI REFORMASI BIROKRASI RONALD APRIANTO Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: vuongtuyen

Post on 28-Jun-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

"The successes of modern democratic government have to be considered the

successes of government bureaucracies as well."(Douglas J. Amy)

A. Problematika Birokrasi dan Tuntutan Agenda Reformasi

Penelitian ini membahas mengenai bekerjanya faktor internal dan

eksternal dalam mekanisme pengisian jabatan struktural berbasis kompetensi

di lingkungan Sekretariat Daerah Propinsi Kalimantan Tengah.

Pengisian jabatan struktural di dunia birokrasi bukanlah sebuah proses

yang bekerja di ruang vakum dan imun dari berbagai pengaruhinstitusional

normatif, sosio-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomibaik yang berasal

dari lingkungan internal maupun eksternal.Sulit untuk dipungkiri bahwa

terdapat banyak kemungkinan faktor yang berpotensi mempengaruhi

terciptanya kondisi ideal birokrasi berbasis merit system, di antaranya adalah

faktor legal- formal, faktor politis, faktor nepotisme, faktor primordialisme dan

budaya patrimonial.Menempatkan birokrasi pada wilayah steril yang

sepenuhnya terbebas dari pengaruh beragam faktor tersebut boleh dikatakan

mustahil.

Birokrasi adalah sebuah sistem terstruktur dari bangun kekuasaan berisi

aktor-aktor yang terbagi menurut area dan jenjang hirarkis. Bangun kekuasaan

tersebut, puncaknya ditempati oleh aktor penguasa tunggal (executive

ascendancy) yang memposisikan diri sebagai super ordinat terhadap aktor

lainnya, yakni para eksekutif karir. Penguasa tunggal dengan klaim “hak

prerogatifnya” adalah satu-satunya aktor paling berkuasa dalam menentukan

nasib jabatan birokrasi para eksekutif. Penguasa tunggal ini tentunya

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2

merupakan pribadi humanistik dengan segala motif dan kepentingan

individualnya, pun ia adalah pribadi politik (homo politicus).

Birokrasi secara natural memang berwajah ganda, di satu sisi ia dituntut

untuk menjadi entitas netral mengatasi semua kepentingan partikular, namun

pada saat yang bersamaan ia dituntut pula untuk mampu menerjemahkan visi-

misi dan agenda dari sang penguasa tunggal. Birokrasi adalah tempat

berkumpulnya para eksekutor peraturan perundang-undangan yang notabene

merupakan produk dari sebuah proses politik.

Persoalan klasik birokrasi hingga saat ini adalah kebutuhan birokrasi

untuk berjuang keluar dari zona stigmatisasi negatif yang dialamatkan

kepadanya. Masyarakat menganggap bahwa birokrasi Indonesia pada

umumnya dan birokrasi daerah khususnya masih terkungkung dalam kondisi

patologis (bureau-pathology) seperti kecenderungan adanya inefisiensi,

penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan nepotisme.

Bila kita menengok ke belakang dan sekedar mengambil potongan

fragmentasi sejarah dengan memulai titik berangkat pengamatan dari birokrasi

orde baru, maka keburukan birokrasi itu pun sudah jelas terlihat. Bagaimana

tidak, birokrasi secara struktural dipakai untuk mendukung pemenangan partai

politik pemerintah melalui praktek diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas,

program maupun dana negara. Birokrasi adalah alat rejim status quo untuk

melakukan kooptasi kepada masyarakat dalam rangka mempertahankan dan

memperluas kekuasaan monolitik. Jati diri birokrasi sebagai lembaga publik

yang netral dan adil hanyalah sekedar harapan. Sejumlah kenyataan tersebut,

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3

sekali lagi memperlihatkan wajah buram birokrasi sebagai salah satu bagian

dari sistem yang turut menghambat berkembangnya keadilan dan demokrasi.

Kondisi kepegawaian yang ada di birokrasi sekarang memiliki pertalian

sejarah dengan kebijakan kepegawaian di masa lalu. Proses penataan

kepegawaian mulai dari rekrutmen, pembinaan, dan pensiun banyak diwarnai

aroma politik. Pemerintah saat itu membutuhkan pegawai karena didorong

oleh keinginan memperbanyak jumlah sehingga semakin banyak pegawai

yang bisa dibina untuk mendukung kekuatan golongan politik yang berkuasa.

Menurut Eko Prasojo, yang menjadi akar permasalahan buruknya

kondisi birokrasi di Indonesia hingga saat ini, di samping karena adanya

pengaruh perkembangan lingkungan eksternal juga disebabkan oleh persoalan

sistem internal kepegawaian terkait dengan fungsi dan profesionalismenya.

Persoalan itu meliputi: (a) rekrutmen pegawai, (b) penggajian dan reward, (c)

pengukuran kinerja, (d) promosi jabatan, (e) pengawasan. Kegagalan

pemerintah melakukan reformasi terhadap subsistem tersebut menyebabkan

terjadinya kesenjangan kemampuan birokrasi dalam melaksanakan tugas dan

tanggung jawabnya serta melahirkan para birokrat yang dicirikan oleh

kerusakan moral. (Prasojo, 2009 : 7)

Pendapat tentang adanya kerusakan moral para birokrat sebagaimana

tersebut di atas, dikuatkan dengan hasil survei PERC yang berbasis di

Hongkong tentang persepsi ekspatriat terhadap kinerja birokrasi publik di

Indonesia. Hasil survei PERC yang diterbitkan dalam jurnal Transparency

Internasional Indonesia (2010), menyatakan bahwa kondisi birokrasi

Indonesia termasuk salah satu yang terburuk di kawasan Asia Pasifik. Dari 16

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4

negara yang disurvei, Indonesia menempati peringkat terendah setelah

Kamboja, dengan skor 9.27 (0: terbersih; 10: terkorup). Bahkan di antara

negara ASEAN, Indonesia hampir selalu mendapatkan peringkat terkorup

sejak 1997 hingga 2010. (Dwiyanto, 2011 : 309)

Oleh karenanya, maka reformasi birokrasi menjadi kata kunci guna

mengatasi persoalan tersebut. Ada banyak hal yang perlu disikapi oleh

birokrasi terkait perubahan lingkungan eksternal dengan melaksanakan agenda

pembenahan internal. Setidaknya terdapat tiga area pembenahan internal

birokrasi yang diamanatkan melalui agenda reformasi birokrasi, yakni

pembenahan pada aspek kelembagaan, aspek ketatalaksanaan dan aspek

Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur.

Gagasan utama dalam rangka mengelola reformasi birokrasi adalah

terjadinya perbaikan yang sistematis, komprehensif dan cepat atas pelayanan

yang diberikan kepada publik sehingga publik merasa sangat puas terhadap

apa yang telah dan sedang birokrat berikan kepada mereka. Ini berarti, harus

terdapat perubahan (change) di tubuh birokrasi berkaitan dengan organisasi

maupun sumber daya manusia (Masdar, 2009 : 46-47). Walaupun rencana

perubahan sudah matang dan siap dengan prioritas kerja yang jelas, reformasi

birokrasi tetap tidak akan berjalan dengan baik tanpa didukung oleh

tersedianya SDM yang profesional dan handal.

SDM Aparatur yang berkualitas, terutama di level pejabat eselon sangat

diperlukan untuk memastikan bahwa mesin birokrasi bisa bekerja secara

optimal dalam rangka menjalankan misi utamanya dalam penyelenggaraan

urusan pemerintahan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat.

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5

Ketersediaaan SDM pejabat yang kompeten dan profesional tentu tidak

terlepas dari bagaimana kehandalan mekanisme rekrutmen jabatan yang

diberlakukan dalam internal birokrasi untuk memastikan penempatan pegawai

yang tepat pada posisi yang tepat.

Penyebaran pegawai untuk memenuhi tugas dari masing-masing

organisasi tidak memiliki Kejelasan. Berapa jumlah pegawai yang sebenarnya

dibutuhkan oleh masing-masing unit organisasi dalam departemen pemerintah

pusat dan pemerintah daerah, tidak jelas ukuran dan kriterianya. Upaya untuk

melakukan penataan kembali (rightsizing) merupakan kebutuhan yang amat

mendesak guna melihat seberapa jauh kepegawaian pemerintah ini bisa

berperan dalam menciptakan tata kepemerintahan yang baik. (Thoha, 2005:99)

Penempatan pegawai yang tepat berarti ada kesesuaian kompetensi

pegawai terhadap jabatan sebagai suatu kedudukan yang menunjukkan tugas,

tanggung jawab, wewenang dan hak-haknya dalam satuan organisasi negara

(Jeddawi, 2010 : 71). Jabatan yang dimaksud adalah jabatan karir pada

struktur organisasi birokrasi yang hanya dapat diduduki oleh para pegawai

yang sudah berstatus PNS.Kenyataan hingga saat ini, penempatan PNS dalam

jabatan struktural birokrasi, meskipun telah dijalankan menurut prosedur

normatif yang dirancang seideal mungkin, namun belum sepenuhnya mampu

memenuhi harapan akan ketersediaan sosok-sosok pejabat yang dapat

membawa birokrasi bergerak ke luar dari zona stigmatisasi negatif.

Sejalan dengan itu, dalam salah satu karya tulisannya, Cornelis Lay

mengatakan bahwa : “secara normatif birokrasi Indonesia didesain menurut

model merit system dengan mengandaikan proses pengangkatan birokrasi

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6

dilakukan menurut standar-standar profesional dan non politis. Akan tetapi

dalam praktiknya, kriteria pengangkatan birokrat terutama pada tingkat elite

birokrasi lebih dekat dengan praktek perkoncoan (patrimonialisme) dan kental

dengan pertimbangan politis.” (Lay, 2003 : 59).

Untuk menghindari terjadinya tendensi politis terus-menerus dalam

mekanisme pengisian jabatan, maka perlu adanya kajian ulang mengenai pola

serta sistem rekrutmen pejabat yang ada saat ini sehingga terdapat jaminan

bahwa unsur kompetensi dan prestasi kerja merupakan inti utama dari

kebijakan rekrutmen tersebut sembari memastikan bahwa setiap PNS yang

telah memenuhi persyaratan dan ketentuan, bisa memperoleh kesempatan

sama dalam hal pengangkatan sebagai pejabat struktural di birokrasi.

Gambaran riil mengenai kondisi dari mekanisme pengisian pos jabatan

struktural di lingkungan sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah, bisa

ditelusuri dari proses yang telah dijalankan selama ini, apakah sudah

memberikan ruang kondusif bagi terciptanya struktur peluang dan akses yang

sama kepada setiap PNS untuk bisa diangkat dalam jabatan struktural pada

level eselon tertentu. Struktur peluang dan kesamaan akses tersebut,

diharapkan dapat terlahir dari suatu mekanisme seleksi yang pelaksanaannya

didasarkan pada prinsip keadilan dan obyektivitas, bukan karena adanya

alasan-alasan yang subyektif yang bias kepentingan (interest), seperti faktor

nepotisme, primordialisme, patrimonialisme atau beragam motif politis

lainnya.

Sepengetahuan penulis, sebenarnya telah banyak karya tulis dan hasil

penelitian sebelumnya yang mengulas seputar permasalahan pengisian jabatan

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7

struktural di birokrasi daerah, di antaranya penelitian yang dilakukan oleh

Didimus D. (2004) yang meneliti pengaruh etnisitas dalam penempatan

pejabat di lingkungan pemerintah kota Kupang, temuan penelitian

menyebutkan bahwa birokrasi daerah yang tidak memiliki sikap netral dengan

menjadikan kesamaan etnik sebagai dasar bagi rekrutmen pegawai maupun

penempatan para pejabat, merupakan pemicu terjadinya konflik lokal.

Selanjutnya adalah penelitian oleh Belo (2008) yang membahas

mengenai Strategi Pengembangan Sumber Daya Aparatur Pemerintah di

Sekretariat Dewan Menteri Negara Republik Demokratik Timor-Leste. Hasil

studinya berhasil mengungkapkan kondisi di lokus penelitian bahwa

kompetensi dan profesionalisme para pejabat yang ada masih rendah,

tatakelola administrasi yang buruk serta belum diterapkannya sistem

manajemen data administrasi berbasis elektronik.

Berikutnya penelitian yang lebih spesifik mengenai rekrutmen pejabat

pernah dilakukan oleh Rustam (2011) tentang pelaksanaan prosedur

pengangkatan pejabat struktural di lingkungan sekretariat daerah propinsi

Sumatera Barat di tinjau dari peran instansi dan Individu terkait. Hasil

penelitiannya menemukan fakta bahwa pengangkatan pejabat struktural

dilaksanakan secara tertutup di setiap instansi tanpa adanya analisa jabatan

yang ideal.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini

difokuskan pada usaha memberikan pandangan sistematis dan menyeluruh,

mengenai mekanisme pengisian jabatan struktural di birokrasi sekretariat

daerah propinsi Kalimantan Tengah dan analisa terhadap bekerjanya faktor

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8

internal dan faktor eksternal yang bersumber dari klaim “hak prerogatif”

pejabat politik, dimana kedua faktor ini mempengaruhi hasil dan pelaksanaan

mekanisme tersebut. Dengan demikian, menurut hemat kami, kajian ini

memiliki signifikansi untuk diteliti lebih jauh.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi singkat pada latar belakang di atas, kami merasa

tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai rekrutmen jabatan tersebut dengan

mengajukan pertanyaan:

Bagaimana bekerjanya faktor internal dan eksternal dalam mempengaruhi

mekanisme pengisian jabatan struktural di lingkungan sekretariat daerah

propinsi (setdaprop) Kalimantan Tengah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, adalah :

1. Menganalisa bagaimana mekanisme pengisian jabatan struktural yang

dilaksanakan di sekretariat daerah propinsi (setdaprop) Kalimantan Tengah.

2. Memetakan sejumlah faktor baik internalmaupun eksternalsekaligus

menjelaskan bagaimana faktor- faktor tersebut bekerja dan potensial

mempengaruhi mekanisme pengisian jabatan struktural di sekretariat

daerah propinsi (setdaprop) Kalimantan Tengah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis, yakni memberikan kontribusi pemikiran bagi

pengembangan pengetahuan terkait implikasi nilai-nilai good governancedi

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9

level birokrasi daerah dalam rangka mewujudkan pelayanan prima kepada

publik.

2. Manfaat Praktis, yakni menjadi bahan masukan atau rekomendasi bagi

pemerintah guna perbaikan sistem rekrutmen jabatan karir birokrat daerah,

termasuk memperkaya perspektif sejumlah stakeholders lainnya untuk

dapat ambil bagian dalam mendorong terciptanya kualitas SDM pejabat

yang profesional dan kompeten.

E. Kerangka Dasar Teori

Penelitian ini didasarkan pada sejumlah pilihan teori yang masing-

masing kedudukannya berusaha diletakan secara konsisten dalam masalah

yang diteliti. Kerangka teori disusun sedemikian rupa yang memuat pokok-

pokok pemikiran terdahulu dari para ahli untuk menggambarkan dari sudut

mana masalah penelitian disoroti termasuk bagaimana membangun asumsi-

asumsi. (Nawawi, 1995 : 39-40).

Adapun teori-teori yang dipilih sebagai landasan berfikir peneliti dalam

menjelaskan dan membingkai argumen mengenai mekanisme pengisian

jabatan struktural beserta faktor- faktor yang mempengaruhinya, adalah

sebagaimana paparan berikut ini:

1. Konsepsi Birokrasi

Konsep birokrasi lahir sekitar abad 19 yang dicetuskan oleh Max

Weber. Definisi birokrasi, menurut bapak birokrasi ini, a clearly defined

hierarchy where office holders have very specific functions and apply

universalistic rules in a spirit of formalistic impersonality (Frinces, 2008 : 32).

Pengertian birokrasi sebagaimana tersebut, mengandung arti yang rasional

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10

dimana birokrasi merupakan struktur hirarkis bagi sejumlah pejabat yang

melaksanakan tugas serta fungsi khusus berdasarkan aturan-aturan formal

yang bersifat impersonalitas.

Dari berbagai konsep birokrasi yang banyak ditulis oleh para ahli,

setidaknya terminologi birokrasi dapat dikontraskan ke dalam dua kategori:

pertama, birokrasi dalam pengertian yang baik atau rasional (bureau

rationality) seperti terkandung dalam pengertian Hegelian Bureaucracy dan

Weberian Bureaucracy; Kedua, birokrasi dalam pengertian sebagai suatu

penyakit (bureau pathology) seperti terkandung dalam pengertian Marxian

Bureaucracy.

Birokrasi dalam pengertian bureau rationality terungkap dari pemikiran

Max Weber tentang konsep tipe ideal birokrasi. Tetapi kritikan tentang

seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau sebaliknya

pengaruh politik terhadap birokrasi, kurang dikenal dalam konsep birokrasi

Weberian yang hanya menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu

secara rasional dijalankan. Namun demikian, David Beetham melihatnya

secara berbeda, birokrasi Weberian dalam praktek masih memiliki titik

persinggungan dengan persoalan politis. (Ma’arif, 2013:109-111)

Tipe ideal birokrasi Weber sebagaimana dirangkum oleh Martin

Albrow, memiliki empat ciri utama, yaitu: (1) adanya suatu struktur hirarki,

termasuk pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi,

(2) adanya serangkaian posisi-posisi jabatan, dimana masing-masing memiliki

tugas dan tanggungjawab yang tegas, (3) adanya aturan-aturan, regulasi-

regulasi, serta standar-standar formal yang mengatur tata kerja organisasi dan

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11

tingkah laku para anggotanya, (4) adanya personel yang secara teknis

memenuhi syarat dan dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi

berdasarkan pada kualifikasi dan penampilan. (Santoso, 1997:18).

Konsep Weber tentang tipe ideal birokrasi dapat ditelusuri akarnya dari

pandangan filsafat Hegel yang melihat negara sebagai suatu elemen netral

yang seolah-olah terpisah dari kehidupan masing-masing individu warga

masyarakat. Menurut Hegel, kalau warga sebuah negara dibiarkan mengatur

dirinya sendiri, maka akan terjadi kekacauan karena masing-masing warga

akan memperjuangkan kepentingan subyektifnya melawan kepentingan

subyektif warga lainnya (homo homini lupus). Ini adalah tesa dan antitesa

yang sintesanya ditemui dalam perwujudan lembaga negara.

Negara bagi Hegel merupakan penjelmaan kepentingan umum

masyarakat. Kepentingan umum ini sebenarnya bukan sesuatu yang asing di

luar individu tiap-tiap warga negara, melainkan juga adalah kepentingan

“obyektif” warga itu sendiri. Dengan mengikuti kepentingan umum, berarti

warga patuh pada negara, meskipun sebenarnya warga ini sedang melawan

kepentingan personalnya yang subyektif.

Hegel mengatakan: “negara merupakan penjelmaan dari kebebasan

rasional yang menyatakan dan mengenali dirinya dalam bentuk yang kongkrit

dan obyektif”. Dengan demikian negara merupakan sebuah lembaga yang

mengatasi dan lebih sempurna dari masyarakat. Kesempurnaan dan kekuatan

negara terletak di dalam kesatuan dari tujuannya yang universal daripada

kepentingan khusus dari masing-masing warga. Di dalam kenyataan bahwa

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12

para warga punya kewajiban-kewajiban terhadap negara dengan hak-hak yang

mereka peroleh sebagai warga dari negara tersebut. (ibid :15)

Berdasarkan uraian di atas, nampaknya Hegel beranggapan bahwa

negara secara apriori melayani kepentingan umum, karena ia merupakan

sintesis dari pertentangan-pertentangan individu yang subyektif dan tidak

rasional. Pada tataran realitas, berbagai kebijaksanaan negara yang ada

seringkali hanya menguntungkan sekelompok orang dalam masyarakat. Oleh

karena itu perlu adanya struktur yang menjembatani antara the state yang

merefleksikan kepentingan umum dan civil society yang terdiri dari pelbagai

kepentingan khusus dalam masyarakat. Inilah inti dari konsep Hegelian

Bureaucracy.

Pendapat Hegel tersebut dibantah oleh Karl Marx. Bagi Marx, negara

hanyalah alat dari kelas yang berkuasa yakni kalangan bangsawan di negara

feodal dan kaum pemilik modal di negara kapitalis. Marx melontarkan kritik

terhadap pemikiran Hegel yang dianggap abstrak dan hanya bermain dengan

logika, namun kemudian ingin memaksakan kesimpulan-kesimpulan dari

logika-abstrak tersebut masuk ke dalam kenyataan empiris. Marx beranggapan

ada kesalahan metodologis yang dilakukan Hegel. Seharusnya ide diperoleh

dan diangkat dari kenyataan empiris, bukan sebaliknya. Karena itu bagi dia,

Hegel bukan melahirkan sebuah analisa tentang lembaga-lembaga tersebut.

Marx berpendapat, birokrasi adalah alat bagi kaum borjuis dan kapitalis

selaku kelas yang berkuasa untuk mengeksploitir kelas proletar. Birokrasi

adalah parasit yang eksistensinya menempel pada kelas yang berkuasa dan

dipergunakan untuk menghisap kelas proletar tadi. Karena eksistensi birokrasi

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13

terkait dengan “kelas”, maka setelah terjadi revolusi sosial yang memporak-

porandakan kelas-kelas sosial dan terciptanya classes society, bersamaan

dengan itu akan lenyaplah birokrasi. Pandangan Marx tentang birokrasi ini

melahirkan model birokrasi Marxian yang memandang birokrasi sebagai

bureau pathology.

Birokrasi dalam pengertian bureau pathology selalu dikaitkan dengan

kelambanan kerja dan beragam prosedur yang begitu berbelit-belit. Seringkali

birokrasi dianggap sebagai organisasi yang kejam dengan peraturan aneh-

aneh, sewenang-wenang dan menindas. Sejalan dengan Marx, setidaknya

Laski juga mencatat bahwa birokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan di

mana kekuasaan ada pada pejabat-pejabat negara yang diselenggarakan

sedemikian rupa sehingga merugikan atau membahayakan warga negara.

Sementara itu Robert Michels melihat birokrasi sebagai suatu struktur yang

mesti mengambil bentuk oligarki. Oleh karenanya, pandangan ini sering

disebut sebagai the iron law of oligarkhi. Pengertian lainnya tentang birokrasi

juga dicatat oleh Crocier dalam penelitiannya di Perancis, yakni birokrasi

sebagai organisasi birokratik merupakan suatu organisasi yang tidak dapat

mengoreksi tingkah lakunya dengan cara belajar dari kesalahan-kesalahannya.

(op. cit :18-19)

2. Model Birokrasi

Dalam terminologi ilmu politik, setidaknya dikenal empat model

birokrasi yang umum ditemui dalam praktik pembangunan di beberapa negara

di dunia. Model-model tersebut, yakni model Weberian, Parkinsonian,

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

14

Jacksonian, dan Orwellian. (Fatah, 1998: 192-195) yang secara lebih rinci

keempat model birokrasi tersebut sebagaimana diuraikan berikut ini:

Pertama, Model Weberian digagas oleh Max Weber, seorang tokoh

penting yang menjelaskan konsep birokrasi klasik. Model ini menunjuk pada

birokrasi sebagai sebuah organisasi yang ber-tipe ideal, yakni : 1) adanya

pembagian kerja yang jelas; 2) hierarki kewenangan yang jelas; 3) formalisasi

yang tinggi; 4) bersifat tidak pribadi (impersonal); 5) pengambilan keputusan

mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas kemampuan; 6) jejak

karir bagi para pegawai; dan 7) kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan

jelas dari kehidupan pribadi.

Kedua, Model Parkinsonian merupakan model birokrasi dengan

memperbesar sosok kuantitatif birokrasi melalui kebijakan penambahan

jumlah anggota (PNS) dan atau mengembangkan struktur organisasi birokrasi

untuk meningkatkan kapabilitasnya sebagai alat pembangunan. Di satu sisi,

model Parkinsonian dibutuhkan untuk mengakomodasikan perkembangan

masyarakat yang semakin maju dan kebutuhan mengatasi berbagai persoalan

pembangunan yang makin bertumpuk, namun di sisi lain juga dipakai sekedar

alat bagi kepentingan fragmatis penguasa untuk menampung para pejabat

yang dijadikan klien dalam pola hubungan patronase.

Ketiga, Model Jacksonian merupakan suatu model dengan menjadikan

birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan negara yang menyingkirkan

masyarakat di luar birokrasi dari ruang politik dan pemerintahan. Dalam

prakteknya, model ini menggambarkan pergantian rejim penguasa akan diikuti

dengan penggantian komposisi pejabat di lingkungan birokrasi yang

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

15

dipimpinnya dengan cara memasukan para pendukungnya dan menyingkirkan

orang –orang dari kubu lawan politiknya.

Keempat, Model Orwellian ini merupakan model yang menempatkan

birokrasi sebagai alat perpanjangan tangan negara dalam menjalankan kontrol

terhadap masyarakat. Ruang gerak masyarakat menjadi terbatas, segenap

aspek kehidupan masyarakat berada pada wilayah kontrol birokrasi.

Sebagaimana fakta yang terjadi selama ini bahwa dalam berbagai masalah di

banyak aspek, masyarakat harus meminta ijin kepada birokrasi.

3. Patologi Birokrasi dan Penyebabnya

Penyempurnaan birokrasi dalam pemerintahan memerlukan perubahan

sikap mendasar dari birokrasi itu sendiri. Sampai saat ini birokrasi mengalami

apa yang disebut dengan patologi birokrasi, terutama ditunjukan dengan

adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri, mempertahankan

status quo dan menghalangi adanya perubahan. Namun, di dalam praktek

transformasi birokrasi itu sendiri juga tidak mudah untuk dilaksanakan.

Pendekatan yang dipakai dalam pelaksanaan transformasi itu seringkali terlalu

bersifat struktural, yaitu sekedar menyasar kepada penataan organisasi dan

fungsi- fungsinya saja. Sebenarnya, satu hal yang tidak kalah penting adalah

bagaimana pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia

birokrat.

Birokrasi pemerintah dibentuk untuk menjalankan peran pada

penyelenggaraan tata pemerintahaan. Dalam mewujudkan fungsinya, birokrasi

menghadapi hadangan dan gangguan yang berasal dari lingkungan internal

maupun eksternal. Ibarat sebuah organisme hidup, birokrasi tumbuh dan

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

16

berkembang untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan jamannya. Dalam

berproses itulah, birokrasi seringkali menemui pengganggu yang berpotensi

menghambat kinerjanya yaitu penyakit birokrasi, atau yang sering diistilahkan

oleh para ahli sebagai patologi birokrasi.

Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang

bukan lagi hal baru bagi kita, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi

lebih menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk sehingga dipersepsikan

suatu penyakit (bureau patology) ketimbang citra yang baik atau rasional

(bureau rationality), seperti terkandung misalnya, dalam birokrasi Weberian

dan Hegelian. Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering

muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan

pejabat publik, yakni korupsi dalam aneka-ragam bentuknya, serta lambatnya

pelayanan karena prosedur berbelit-belit atau yang lebih dikenal sebagai efek

pita merah (red-tape). Keseluruhan kondisi empirik yang terjadi secara

akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian yang

memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses

pemerintahan secara ideal.

Apabila ditelusuri lebih jauh, bisa dipahami bahwa gejala patologi

dalam birokrasi bersumber dari masalah-masalah pokok, diantaranya:

Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang

menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi dan mewujud dalam tindakan

penyalahgunaan jabatan. Kedua, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat

disfungsional, seperti perilaku sewenang-wenang dan diskriminatif.

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

17

Dwiyanto menyatakan bahwa patologi birokrasi atau penyakit birokrasi

adalah “hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-

variabel lingkungan yang salah” (Dwiyanto, 2011: 63). Patologi birokrasi

muncul dikarenakan hubungan antar variabel pada struktur birokrasi yang

terlalu berlebihan, seperti rantai hierarki panjang, spesialisasi, formalisasi dan

kinerja birokrasi yang tidak linear.

Menurut Peter M. Blau dan Marshal W Meyer (2000) maupun

Taliziduhu Ndraha (2003), mereka menyebutkan bahwa penyebab patologi

birokrasi adalah lemahnya faktor moral, gaji rendah, sistem rekrutmen dan

promosi tidak baik, aturan dan mekanisme kerja belum jelas, lemahnya

pengawasan dan birokrasi berpotensi politis. Sedangkan menurut JW. Schoorl

(1984), patologi birokrasi disebabkan faktor kekurangan administrator yang

cakap, besarnya jumlah aparat birokrasi, luasnya tugas pemerintahan,

sentralisasi, besarnya kekuasaan birokrasi serta adanya anasir tradisional

seperti nepotisme, primordialisme dan patrimonialisme.

Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai faktor politis dan anasir

tradisional sebagai salah satu penyebab terjadinya patologi birokrasi yang

dianggap potensial mempengaruhi mekanisme pengisian jabatan struktural di

birokrasi daerah, yakni:

a. Faktor Politis

Birokrasi publik tidak pernah beroperasi dalam ruang hampa,

melainkan selalu beroperasi dalam suatu lingkungan sosial, budaya, politik,

dan pemerintahan yang kompleks (Dwiyanto, 2011 : 7). Lebih lanjut, menurut

Azhari bahwa Marx mengemukakan birokrasi merupakan instrumen yang

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

18

dipergunakan oleh kelas-kelas dominan untuk melaksanakan kekuasaan

dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. (Azhari, 2010 : 83)

Birokrasi dan politik ibarat dua sisi mata uang yang sulit untuk

dipisahkan (ibid : 1). Di satu sisi birokrasi dipimpin oleh pejabat politik

sebagai pemegang tampuk tertinggi kekuasaan yang selalu berganti secara

periodik melalui mekanisme pemilihan umum, sementara di lain sisi, birokrasi

dalam strukturnya terdapat pejabat birokrasi karir. Kondisi seperti ini rentan

memunculkan hubungan emosional dan personal antara pejabat karir dengan

pejabat politik dalam hal pertukaran atau transaksi politik demi kekuasaan.

Alhasil, seringkali nuansa politis begitu kental terjadi dalam proses

pengisian jabatan struktural di lingkup birokrasi. Keterkaitan ini dapat terlihat

jelas pada saat momen pemilukada dalam perebutan jabatan politik di tingkat

daerah yang melibatkan kontestasi calon incumbent. Kecenderungan untuk

mempertahankan kekuasaan dengan memenangi kontestasi, mendorong calon

incumbent selaku pejabat yang sedang berkuasa melirik birokrasi untuk

dijadikan mesin politiknya atau tim sukses yang mendukung pemenangannya.

Kesadaran penguasa akan pentingnya dukungan dari berbagai pihak

merupakan sesuatu yang saling terkait (mutual interest) dengan adanya

kenyataan bahwa para birokrat pemburu jabatan (job seeker) sangat menyadari

bahwa skenario peraturan perundang-undangan meletakan nasib dari karir

jabatan mereka berada pada genggaman pejabat politik yang memiliki kontrol

terhadap sumberdaya organisasi, termasuk lingkup hegemoni atas kewenangan

luas dan kuat dari pejabat politik melalui klaim “hak prerogatif”. Azhari

menyebut fenomena ini sebagai personal executive acendency (op.cit. : viii),

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

19

yakni suatu kondisi di mana karir birokrasi hanya diatur oleh satu orang

pejabat politik.

b. Faktor Nepotisme

Secara etimologis, istilah nepotisme berasal dari kata latin ‘nepos’ yang

berarti "keponakan" atau "cucu". Pengertian lengkapnya bisa merujuk pada

kata ‘nepotism’ dalam kamus Inggris, yang diartikan sebagai mendahulukan

sanak saudara sendiri. (Echols dan Sadily Hasan, 1985 : 21 ). Dalam dunia

birokrasi, nepotisme merupakan produk dari personalisasi kekuasaan oleh

pejabat politik yang menganggap bahwa kewenangan yang dimilikinya bisa

dipergunakan secara relatif bebas menurut kehendak diri pribadi. Pola

nepotisme biasanya teridentifikasi melalui praktek perlakuan khusus,

pemberian prioritas maupun fasilitas lebih berupa akses informasi penting,

properti, jabatan maupun proyek oleh penguasa kepada para kerabatnya.

Nepotisme merupakan tindakan subyektif penguasa yang mengabaikan

aspek“fairness” dengan tanpa mempertimbangan kualitas dan kemampuan

dari pihak penerima perlakuan khusus tersebut. Dalam sistem nepotis tidak

ada istilah kesamaan peluang dan iklim kompetisi sehat. Nepotisme

merupakan tindakan yang semata-mata berdasarkan pada naluri dan ikatan

emosional karena alasan pertalian darah atau hubungan kekerabatan.

c. Faktor Primordialisme

Primordialisme adalah suatu sikap sangat cintanya terhadap sesuatu,

atau dapat juga dimaknai sebagai suatu faham yang menunjukkan sikap

berpegang teguh kepada karakteristik individu yang dibawanya sejak lahir,

seperti agama, etnis, maupun golongan dan kebudayaan (bahasa, adat istiadat).

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

20

Faktor primordial merupakan suatu hubungan keterikatan berdasarkan pada

kesamaan unsur-unsur komunal yang dimiliki secara bersama oleh sejumlah

individu dalam suatu komunitas. Primordialisme tidak hanya menimbulkan

pola perilaku yang sama tetapi melahirkan pula persepsi yang sama tentang

masyarakat yang dicita-citakan. (Surbakti, 1992:44).

Perspektif primordialisme umumnya melihat bahwa kelompok-

kelompok sosial dikarakteristikan oleh gambaran seperti kewilayahan,

kebudayaan, bahasa, organisasi sosial dan agama yang memang disadari

sebagai hal yang ‘given’ dari sananya. Pendekatan ini terbukti mempunyai

pengaruh terhadap gambaran sosial masyarakat. Primordialisme muncul

disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : 1) Adanya sesuatu yang

dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau perkumpulan

sosial. 2) Adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan kelompok atau

kesatuan sosial terhadap ancaman dari luar. 3) Adanya nilai-nilai yang

berkaitan dengan sistem keyakinan, misal agama. (Abdilah S., 2002 : 76)

Clifford Geertz beranggapan bahwa primordialisme menyangkut

hubungan kesetiaan komunal yang adalah percampuran faktor politis,

psikologis, kultural dan demografis (Geertz, 1992 : 77). Dalam politik,

menguatnya primordialisme dapat mengakibatkan munculnya tindakan

diskriminasi sebagai upaya untuk membedakan golongan-golongan yang

berkaitan dengan kepentingan tertentu yang dilakukan dengan sengaja.

Primordialisme sekarang ini menjadi aspek penting dalam hubungan

antar kelompok yang menyangkut gagasan tentang pembedaan, dikotomi

antara “kami” dan “mereka.” Dikotomi ini menegaskan batas-batas komunal

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

21

yang melingkupi anggota yang terikat di dalamnya dan non anggota di

luarnya.

d. Faktor Patrimonialisme

Salah satu budaya yang menonjol di dalam tubuh birokrasi Indonesia

adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage. Hubungan ini

oleh James Scott (1972) disebut sebagai hubungan patron-client. Pola

hubungan dalam konteks ini terjadi antar dua individu, si patron dan si client

yang bersifat resiprokal atau timbal-balik dengan saling mempertukarkan

sumber daya (exchange of resources) oleh masing-masing pihak.

Si Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau

jabatan, harta kekayaan, perlindungan, perhatian dan rasa sayang. Sementara,

klien memiliki sumber daya berupa tenaga, dukungan, dan loyalitas. Pola

hubungan tersebut akan tetap terpelihara selama masing-masing pihak tetap

memiliki sumber daya tersebut. Kalau tidak demikian, maka masing-masing

pihak akan kembali mencari orang lain sebagai patron atau klien yang baru.

Menarik untuk diperhatikan, bahwa tidak jarang pula pola hubungan yang

bersifat clientilistic ini tumbuh dan berkembang, karena ada orang ketiga yang

menjadi perantara yang disebut sebagai brooker atau middleman. (Gaffar,

2006:109-110)

Pola hirarki yang bertemu dengan budaya paternalistik dalam birokrasi

telah menumbuhkan ketergantungan kuat para pejabat karir terhadap pejabat

politik sebagai atasan maupun pejabat karir lainnya dengan kedudukan eselon

lebih tinggi. Ketergantungan itu kemudian mendorong mereka untuk

memperlakukan atasan secara berlebihan, dengan menunjukkan loyalitas dan

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

22

pengabdian yang sangat tinggi kepada pimpinan dan mengabaikan

perhatiannya kepada para pengguna layanan yang seharusnya menjadi

perhatian utama. (Mulder dalam Dwiyanto, 2011: 65)

Selanjutnya, ketergantungan ini lebih diperkuat dengan posisi tawar

pejabat atasan selaku pemegang otoritas tunggal yang akan menentukan nasib

para pejabat karir bawahannya. Menyadari akan hal yang demikian seringkali

pejabat karir sedapat mungkin mencari citra baik dan simpati atasan dengan

menjual loyalitas dan dedikasi guna dipertukarkan dengan peluang

memperoleh kemudahan dari sang pejabat politik dalam memuluskan karir

birokrasinya.

Prinsif loyalitas yang dipahami secara keliru oleh aparat pelayanan

turut pula memberikan implikasi pada rendahnya kemampuan melakukan

tindakan diskresi. Prinsip loyalitas yang dipahami dalam konteks struktur

piramidal kekuasaan birokrasi menyebabkan persepsi yang berkembang dalam

birokrasi adalah loyal kepada pimpinan karena jabatannya, bukan loyalitas

yang dipahami sebagai ketaatan secara institusional dan profesional atas dasar

visi dan misi organisasi serta tujuan pelayanan. (Kausar, 2008 : 9)

Hubungan emosional yang terbangun dari pola paternalistik yang

mementingkan loyalitas, cenderung membuat pejabat politik mengabaikan

sejumlah unsur obyektifitas seperti prestasi kerja, kompetensi dan

profesionalisme yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan utama penilaian

kinerja dan keputusan promosi jabatan. Dengan demikian ada perbedaan

karakteristik tentang konsep jabatan, dimana birokrasi paternalistik melihat

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

23

jabatan sebagai fungsi dari kepercayaan atasan, sedangkan dalam birokrasi

rasional, jabatan merupakan fungsi dari kemampuan dan prestasi kerja.

F. Alur Pikir Penelitian

Untuk memberikan kejelasan mengenai mekanisme pengisian jabatan

struktural yang akan dijadikan obyek sekaligus fokus penelitian, maka dibuat

alur pikir yang mengkerangkai proses dan kerja riset di lapangan sebagaimana

berikut:

Skema I.1

Alur Pikir Penelitian

Internal Internal Internal Internal

BAPERJAKAT

( Proses Birokrasi )

GUBERNUR (Proses Politik)

Tahap Pengusulan

Tahap Verifikasi

Tahap Rekomendasi

Tahap

Penetapan Pejabat

Terpilih

Eksternal Eksternal Eksternal Eksternal

Proses rekrutmen pejabat struktural, dipengaruhi oleh sejumlah faktor,

baik internal maupun eksternal yang terjadi di setiap tahapan. Secara skematik

mekanisme pengisian jabatan struktural berlangsung dalam beberapa tahapan

sebagai sebuah sistem normatif, meliputi: tahap pengusulan, tahap verifikasi,

tahap rekomendasi dan tahap penetapan yang ditandai dengan adanya

keputusan gubernur. Proses yang bekerja dalam mekanisme ini mengalir mulai

dari satuan kerja/ instansi menuju institusi BAPERJAKAT sebagai tempat

dimana proses birokrasi berlangsung, dan selanjutnya berakhir dalam proses

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

24

politik di tangan gubernur sebagai pejabat tertinggi yang berhak membuat

penetapan final melalui penerbitan surat keputusan pengangkatan sekaligus

melantik pejabat terpilih.

Faktor internal merupakan seperangkat aturan normatif di dalam

birokrasi yang menjadi dasar acuan pada tahap pengusulan oleh pimpinan

instansionalmaupun dalam tahap verifikasi dan rekomendasi di

BAPERJAKAT untuk membuat daftar nominasi para calon pejabat yang layak

diusulkan pengangkatannya, sedangkan faktor eksternal adalahsejumlah faktor

dari luar birokrasi yang berpotensi “menyusup” melalui pertimbangan

personalistik gubernur dengan klaim “hak prerogatifnya”.

Peran strategis gubernur sebagai pimpinan tertinggi eksekutif yang

dianggap sangat menentukan arah perkembangan karir para PNS, sebenarnya

berangkat dari perspektif klasik yang memaknai konsep jabatan lebih kepada

fungsi kepercayaan atasan ketimbang hak pegawai yang bisa dituntut

berdasarkan kinerja dan prestasi. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan

fakta bahwa karir birokrasi terpusat pada pejabat politik selaku pemimpin

tertinggi eksekutif.

G. Definisi Konsepsional

Untuk memudahkan pemahaman sekaligus memberikan kepastian arah

dalam ruang lingkup studi, maka dilakukan penegasan definisi terhadap

sejumlah konsep yang dipakai. Definisi konsep sesuai permasalahan yang

terangkum pada pertanyaan penelitian, adalah sebagai berikut:

1. Mekanisme adalah totalitas alur kerja berisi tahapan-tahapan yang terdiri

dari : tahap pengusulan, tahap verifikasi, tahap rekomendasi, dan tahap

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

25

penetapan. Keseluruhan tahapan tersebut merupakan satu rangkaian proses

yang ditempuh dalam mekanisme pengisian pos jabatan struktural di

birokrasi daerah yang secara ideal dirancang untuk mampu menghasilkan

SDM Aparatur yang profesional dan kompeten dalam mengisi posisi

jabatan struktural di birokrasi daerah.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme pengisian jabatan struktural

di kelompokkan ke dalam kategori faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam birokrasi itu

sendiri terkait sejumlah pertimbangan formal yang diatur secara normatif

berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Adapun faktor eksternal

adalah faktor yang berasal dari lingkungan di luar birokrasi. Faktor

eksternal ini erat kaitannya dengan penggunaan klaim “Hak Prerogatif”

yang keberadaannya meskipun tidak diatur secara resmi dan tertulis, namun

dalam praktek kesehariannya tetap ikut andil dalam mempengaruhi hasil

keputusan pengangkatan para PNS dalam berbagai posisi jabatan struktural

di birokrasi daerah. Pertimbangan personalistik gubernur atas dasar klaim

“Hak Prerogatif” ini selanjutnya berpotensi menjadi pintu masuk bagi

sejumlah faktor eksternal, diantaranya faktor politis, nepotisme,

primordialisme dan paternalisme.

H. Definisi Operasional

Berdasarkan definisi konsepsional yang disebutkan di atas, maka

operasionalisasi terhadap konsep-konsep dalam penelitian mengenai

mekanisme pengisian jabatan struktural di sekretariat daerah propinsi

Kalimantan Tengah, dapat dilihat dengan menggunakan indikator- indikator:

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

26

1. Mekanisme Pengisian Jabatan Struktural

Mekanisme ini diketahui dari pelaksanaan setiap tahapan dalam proses

pengisian pos jabatan struktural yang berlangsung di sekretariat daerah

propinsi Kalimantan Tengah mulai dari tahap pengusulan, tahap verifikasi,

tahap rekomendasi dan tahap penetapan. Setiap tahapan dipaparkan masing-

masing untuk memberi gambaran apa adanya mengenai proses yang

berlangsung di dalamnya.

2. Faktor Internal dan Eksternal yang mempengaruhi mekanisme

pengisian Jabatan Struktural

a. Faktor Internal

Berlandaskan pada pertimbangan legal rasional yang berlaku secara

formal di internal birokrasi terkait unsur-unsur obyektif yang mewakili

kemampuan personal masing-masing PNS yang akan diusulkan

menjadi pejabat struktural, yakni:

a.1. Unsur Kecakapan Kerja (merit system)

− pengalaman rotasi jabatan dan prestasi kedinasan yang pernah diraih

selama ini;

− sertifikasi tertinggi dari diklat jabatan yang dimiliki;

− pendidikan tertinggi yang dimiliki;

− nilai rata-rata penilaian prestasi kerja dalam 2 (dua) tahun terakhir.

a.2. Unsur Senioritas (seniority system)

− pangkat terakhir pada saat pelantikan;

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

27

− masa kerja pada saat pengangkatan dibandingkan dengan para

pegawai lain dalam satu unit kerja atau instansi di sekretariat daerah

propinsi Kalimantan Tengah;

− pengalaman jabatan atau catatan mutasi yang dimiliki oleh pegawai

dari satu unit ke unit kerja yang lain. Hal ini menggambarkan berapa

luas lingkup tugas dan tanggung jawab yang pernah ditangani.

b. Faktor Eksternal

Faktor ini bertalian dengan keberadaan klaim “Hak Prerogatif”

gubernur yang meskipun tidak dirancang secara resmi dan juga tidak

tercantum secara tertulis di dalam ketentuan perundang-undangan,

namun dalam realitasnya ia memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan

dan ikut menentukan hasil dari mekanisme pengisian jabatan struktural

di birokrasi daerah.

Faktor eksternal ini berkesempatan masuk melalui adanya

personalisasi kekuasaan pejabat politik dengan klaim “Hak Prerogatif”

yang dianggap melekat dalam jabatannya selaku pembina kepegawaian

daerah. Adapun faktor informal ini berupa anasir tradisional, meliputi

faktor politis, faktor nepotisme, faktor primordialisme dan faktor

patrimonialisme, sebagaimana berikut ini:

b.1. Faktor Politis

− Proses pengisian jabatan yang memiliki indikasi dan tendensi

mewakili kepentingan pragmatis penguasa dan lingkarannya.

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

28

b.2. Faktor Nepotisme

− Ada tidaknya pejabat yang memiliki hubungan kekerabatan

dengan gubernur yang saat diangkat tidak memenuhi syarat legal-

formal.

b.3. Faktor Primordialisme

− Ada tidaknya pejabat struktural dengan ikatan primordialistik

terhadap gubernur yang diangkat namun tidak memenuhi syarat

legal-formal.

b.4. Faktor Patrimonialisme

− Intensitas dan akses komunikasi non formal terhadap pejabat

politik;

− Ketaatan terhadap instruksi atasan langsung dan pejabat politik

mengenai suatu kebijakan yang tidak berkaitan dengan tanggung

jawab jabatan.

I. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Studi ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode

deskriptif-analitis yakni menggunakan kata-kata tertulis (Moleong, 2013:4)

untuk memberikan gambaran secara sistematik, terperinci dan menyeluruh

mengenai mekanisme pengisian jabatan struktural di sekretariat daerah

propinsi Kalimantan Tengah dan bekerjanya faktor internal dan eksternal

yang keberadaannya potensial mempengaruhi pelaksanaan dan hasil dari

mekanisme rekrutmen jabatan di birokrasi sekretariat daerah propinsi

Kalimantan Tengah.

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

29

2. Fokus Penelitian

Pembatasan terhadap ruang lingkup penelitian diperlukan agar

pembahasan tidak terlalu meluas, sehingga penelitian ini hanya fokus pada

mekanisme pengisian pos jabatan struktural yang telah dilaksanakan di

lingkungan sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah, sekaligus pula

melihat bagaimana bekerjanya faktor- faktor, baik internal maupun eksternal

dalam mempengaruhi pelaksanaan dan hasil dari mekanisme tersebut.

3. Unit Analisa Data

Adalah unit darimana informasi dikumpulkan sekaligus sebagai

basis untuk melakukan analisis, yaitu para pejabat eselon yang tergabung

dalam tim BAPERJAKAT propinsi, termasuk jajaran birokrat yang ada di

sejumlah biro/ bagian di sekretariat daerah propinsi (setdaprop) Kalimantan

Tengah dan para ‘outsider’ terpilih, yakni anggota LSM, wartawan,

akademisi, dan pengurus partai politik yang dianggap memiliki wawasan

cukup mengenai kondisi birokrasi daerah dan peta perpolitikan lokal.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Penelitian Lapangan, dilaksanakan dengan terjun langsung ke lapangan

untuk mengumpulkan data primer melalui observasi dan wawancara

(interview) kepada para narasumber yang terdiri dari para pejabat terkait

dan sejumlah stake-holders seperti tersebut di unit analisa data.

b. Penelitian Kepustakaan, dilakukan dengan mempelajari bahan-bahan

literatur fisik maupun informasi digital. Data yang dikumpulkan adalah

data sekunder mencakup dokumen resmi, buku, hasil penelitian

berwujud laporan, karya akademik, artikel, jurnal.(Soekanto, 1998 : 12)

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

30

5. Metode Analisis Data

Data penelitian diolah menggunakan metode deskriptif-analitis,

dengan mendeskripsikan dan membuat analisis argumentatif terhadap data

primer hasil observasi dan wawancara maupun data sekunder dari

penelusuran pustaka dan dokumen relevan. Hasil analisis merupakan

jawaban atas rumusan masalah, sekaligus sebagai bahan dalam menyusun

kesimpulan dan saran.

Gambar I. 2

Skema Analisis Data

Data Hasil Observasi Data Hasil

Wawancara Data Hasil Studi Pustaka

Hasil Analisis

Kesimpulan dan Saran

J. Sistematika Bab

Hasil penelitian ini disajikan secara sistematis dan terstruktur yang

dituangkan ke dalam satuan bab. Secara keseluruhan terdapat total lima bab,

berisikan pokok bahasan berbeda yang saling terkait sebagai suatu kesatuan

gugus pemikiran. Tulisan dimulai dengan sekilas latar untuk mengantarkan

kita memasuki bab-bab berikutnya.

Bab kedua, memaparkan gambaran umum tentang struktur organisasi

birokrasi sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah beserta jalur hirarkis

kewenangan dan pola koordinasi yang saling terkoneksi antar bagian. Setting

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

31

birokrasi dilihat dalam hubungannya dengan konstelasi perpolitikan lokal

yang diwarnai oleh dominasi PDI-P yang berkiprah sekaligus di dua domain

kekuasaan pada level daerah, baik di ranah legislatif maupun di ranah

eksekutif dengan berposisi sebagai partai yang menjadi patron dari gubernur.

Bab ketiga, menampilkan mekanisme pengisian pos jabatan struktural

melalui empat tahapan, yakni tahap pengusulan, verifikasi, rekomendasi dan

penetapan yang diselenggarakan oleh BAPERJAKAT sebagai instrumen

normatif yang memberikan pertimbangan kepada pejabat politik dalam rangka

menetapkan keterpilihan pejabat karir di dalam struktur birokrasi daerah.

Bab keempat, mengulas tentang faktor internal dan eksternal yang

potensial mempengaruhi mekanisme dan hasil rekrutmen para pejabat di

lingkungan birokrasi daerah Kalimantan Tengah. Faktor internal adalah

kriteria legal-rasional pada pegawai terkait kelayakan normatif untuk diangkat

sebagai pejabat, . Adapun faktor eksternal meliputi pertimbangan politis,

nepotisme, primordialisme dan patrimonialisme yang merupakan unsur dari

lingkungan luar birokrasi yang dalam prakteknya seringkali menjadi dasar

pertimbangan pejabat politik dalam membuat keputusan sehingga turut

mempengaruhi hasil dari mekanisme rekrutmen tersebut.

Bab kelima, merupakan bagian akhir tulisan berisi ulasan singkat

mengenai intisari bahasan di tiap bab sebagai satu kesatuan penjelasan yang

merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian. Bagian ini juga menampilkan

refleksi dari teori yang dipakai dalam menganalisa sejumlah fenomena dan

data temuan lapangan, sekaligus beberapa ide dan saran perbaikan yang bisa

dipertimbangkan untuk dijadikan wilayah garap bagi riset selanjutnya.

MEKANISME PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI BAGIANDARI REFORMASI BIROKRASIRONALD APRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/