bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terkenal akan keanekaragaman
budayanya. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang memiliki
beragam varian dalam praktek beragama. Masyarakat Jawa adalah salah satu
contoh masyarakat tersebut. Sifat „hetero‟ terlihat dalam perilaku mereka yang
dapat mengakomodifikasi sebuah “agama” menjadi praktek-praktek kebudayaan
yang penuh dengan simbol magis yang sakral. Jika kita telusuri akar sejarah
kebudayaan Islam berdasarkan bukti sejarah, pengaruh agama Islam mulai masuk
Indonesia sejak abad ke 7 Masehi, akan tetapi baru benar-benar mengalami proses
penyebaran yang meluas sepanjang abad ke 13-15 Masehi.
Pengaruh agama Islam memperoleh tempat berpijak yang kokoh pada
wilayah-wilayah yang mempunyai pengaruh agama yang bersifat „sinkretis‟,
artinya masyarakat tidak sepenuhnya menjalankan ajaran murni agamanya pada
saat itu. Hal ini karena sebagian besar masyarakat pada saat itu masih banyak
yang menggunakan cara tradisi lama dengan corak kebudyaan Hindu-Budha.
Daerah pesisir di Jawa Tengah sebelum agama Islam masuk menunjukkan bahwa
di daerah tersebut pengaruh agama Hindu dan Budha telah tertanam cukup kuat,
suatu kepercayaan agama yang bersifat sinkretis sudah sejak lama dianut oleh
sejumlah besar penduduk di daerah tersebut, kepercayaan animisme-dinamisme
2
bercampur dengan kepercayaan agama Hindu, Budha, digantikan oleh paham
Islam yang masuk (Nasikun, 2004:47).
Fenomena yang akan dibahas dalam penelitian penulis kali ini ialah
mengenai bentuk konstruksi magis kota Demak sebagai “kota wali” yang menjadi
salah satu isu menarik untuk dibahas. Konstruksi magis mengenai kota wali bisa
menjadi satu isu penting jika dikaitkan dalam upaya mendeskripsikan persoalan
simbol-simbol yang menjadi sebuah stereotype dalam satu lingkup kebudayaan
tersendiri. Oleh karena itu, sering kali terlihat sebuah fenomena kontestasi
identitas pada individu maupun masyarakat yang dewasa ini lebih menekankan
kepada ekspresi bentuk dari karakter-karakter yang melekat pada masyarakat
Demak.
Perwujudan kondisi fisik serta pola perilaku yang dimiliki oleh masyarakat
tentunya menjadi indikator akan proses kontestasi yang akan membentuk
konstruksi simbol tersebut. Hal ini terlihat pada kota Demak sebagai daerah yang
mempunyai julukan “kota wali”. Hal ini tentu menjadi satu persoalan yang
menarik untuk dilihat lebih dalam karena melibatkan latar belakang sejarah
geografis, sosial dan budayanya. Sebagai sebuah proses dinamika yang
berlangsung hingga saat ini, bentuk stereotype yang melekat pada suatu
kebudayaan masyarakat suatu wilayah terbentuk karena adanya konstruksi sosial
dari simbol-simbol yang diproduksi dan dimaknai secara terus-menerus.
Kabupaten Demak merupakan salah satu daerah yang terletak di kawasan
pantai Utara Jawa (pantura), dan merupakan salah satu wilayah yang memiliki
latar belakang sejarah kuat awal berdirinya kejayaan kerajaan Islam di Pulau Jawa
3
hingga meluas ke wilayah Nusantara. Proses masuknya Islam di Demak dimulai
ketika Raden Patah yang merupakan Raja pertama dari Kesultanan Demak telah
diwisuda menjadi Adipati Anom Bintoro pada tahun 1477 M/1400 S dan ikut
membantu ayahnya yang tidak lain adalah Raja Majapahit Prabu Brawijaya V
untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Prabu Girindrawardhana yang
sebelumnya melakukan pemberontakan dan mengambil alih kekuasaan di
Majapahit. Pada tahun 1481 M Raden Fattah mengumpulkan kekuatan pasukan
gabungan di bawah pimpinan Senopati perang yaitu Sunan Kudus dibantu Sunan
Mejagung, Sunan Giri, dan Sunan Gunung Jati untuk menyerang Majapahit
dengan siasat perang “Supit Urang” dan berhasil melumpuhkan kekuatan
pasukan Raja Girindrawardhana yang ditandai dengan candra
sengkala“Genimatisiniramjanmi”. Genimati sendiri dimaknai sebagai api yang
mati, bahwa pemberontak seperti Prabu Girindrawardhana yang merebut tahta
Prabu Brawijaya V dapat dikalahkan. Siniram yaitu pasukan Demak yang banyak
sekali jumlahnya dan janmi sendiri artinya sukar dibendung.
Seperti yang tersirat dalam sejarah awal mula berdirinya kerajaan Demak,
bahwa saluran Islamisasi di Nusantara secara literal terjadi melalui perkawinan
yang di jembatani melalui arus perdagangan oleh para ulama pada saat itu. Pada
fase awal penyebaran agama Islam di Nusantara, para mubaligh yang datang dari
Arab maupun Gujarat pasti melalui setiap proses Islamisasi yang berlangsung
yang tujuannya adalah memberikan dakwah kepada para penduduk pribumi
dengan mengutamakan harmonisasi dan integrasi, serta menghilangkan unsur
pemaksaan dalam syiar Islam yang dilakukan. Dari cara dakwah yang dilakukan
4
oleh para mubaligh yang ramah tersebut, akhirnya para penduduk pribumi dengan
sangat terbuka menerima ajaran agama Islam yang dibawa oleh para mubaligh
tersebut. Agama Islam sudah masuk ke Nusantara khususnya masyarakat Jawa
dimulai sejak jaman kerajaan Majapahit pada saat mangkatnya Raja Hayam
Wuruk ketika pusat pemerintahan Majapahit berada di daerah Trowulan dan di
beberapa wilayah kadipaten.
Islam mulai bersentuhan dengan para penguasa Majapahit ketika para
bangsawan Majapahit telah banyak yang menikahi putri-putri bangsawan dari
Campa yang mayoritas sudah memeluk agama Islam, dimana pada saat itu anak-
anak dari perkawinan yang terjadi pada akhirnya banyak yang memilih beragama
Islam dan membawa pengaruh yang cukup kuat untuk perkembangan Islam pada
masa akhir pemerintahan Majapahit. Pada masa dimana kerajaan Majapahit
mengalami suksesi (perebutan kekuasaan antar pewaris tahta) yang berujung
perang paregrek1, akhirnya disini muncullah peran dari Wali Songo
2.
Para Wali Songo ini merupakan mubaligh Jawa yang mayoritas berasal dari
daerah Timur Tengah, namun ada juga yang berasal dari darah campuran Jawa
yang membentuk ikatan religius dalam menyebarkan agama Islam dan
membangun kekuatan Islam di Jawa. Para Wali Songo ini ternyata ada yang
1 Perang paregrek adalah perang yang terjadi antara Majapahit Istana Barat melawan kubu dari
Istana Timur yang menandai kemunduran Majapahit. Paregrek artinya perang yang setahap demi
setahap dalam tempo lambat. 2 Wali Songo yang berarti „Wali Sembilan‟ merupakan dewan wali yang beranggotakan sembilan
orang, dan pada saat memasuki periode yang keempat namanya melejit dengan anggotanya yang
terkenal yaitu antara lain : Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel (Raden Rachmat), Sunan
Bonang (Machmud Ibrahim), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah),
Sunan Kudus (Dja‟far Siddiq), Sunan Muria (Raden Prawoto), Sunan Drajat (Sjarifuddin) dan
Sunan Kalijaga (Raden Sjahid).
5
merupakan keturunan pejabat Majapahit yang diberi kekuasaan untuk mengontrol
wilayah kadipaten di pantai utara Jawa (pantura). Pada fase awal membangun
kekuatan Islam di pantai utara Jawa, para wali ini memulai dari wilayah
Kadipaten Demak dan kemudian di susul di Kudus. Wilayah Kadipaten Demak
digunakan oleh para Wali Songo untuk membangun masjid sebagai basis
penyebaran agama Islam. Masjid yang dibangun ini di kemudian hari berubah
menjadi simbol kekuatan Islam yang nantinya menjadi basis dari pendirian
Kesultanan Demak hingga kerajaan-kerajaan besar seterusnya di tanah Jawa.
Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa dan berlokasi
di pusat Kota Demak tepatnya di Kabupaten Demak yang berjarak kurang lebih
26 km ke arah timur kota Semarang Provinsi Jawa Tengah. Masjid ciptaan Wali
Songo yang saat ini sudah berumur lebih dari lima abad masih tetap dipertahankan
kelestariannya sebagai warisan budaya bangsa Indonesia dan menjadi salah satu
benda cagar budaya bangsa Indonesia yang ditegaskan dengan UU No. 5/1992.
Kehadiran Masjid Agung Demak sebagai bangunan cagar budaya saat ini jika
dilihat tentu memiliki aspek secara historis maupun antropologis dalam proses
akulturasi budaya pada masanya.
Masjid Agung Demak merupakan salah satu bangunan Islam yang terbilang
mempunyai peran penting bagi perkembangan kaum muslim di wilayah Asia
Tenggara. Masjid religius ini mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai tempat
peribadatan dan ziarah. Keberadaannya yang eksis hingga saat ini masih bisa
dirasakan khususnya oleh masyarakat muslim di Indonesia, namun warga negara
6
asing yang datang pun ikut takjub karena wujudnya yang misterius, karismatik
dan berwibawa.
Melihat kota Demak dengan simbol yang dimilikinya, tentu memberikan
pengertian kepada kita bahwa simbol-simbol tersebut mempunyai nilai yang
kompleks dalam dinamika perkembangan kota Demak hingga Demak dapat
menampilkan keistimewaannya tersendiri sebagai „kota wali‟ di pesisir Utara
pulau Jawa. Untuk menjelaskan kota Demak sebagai sebuah kota, maka kita akan
mengacu pada sebuah fenomena dimana kota Demak dianggap sebagai kota
religius (Religious of City). Dengan fenomena ini, penulis bisa memperlihatkan
bagaimana proses terjadinya konstruksi simbol dari dikoding masyarakat
mengenai realitas terhadap proses terjadinya konstruksi simbol di Demak,
sehingga kota Demak mendapat julukan sebagai „kota wali‟.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penelitian ini berupaya untuk mengungkapkan
lebih jauh tentang simbol utama yang dimiliki kota Demak yakni, Masjid Agung
Demak yang mencakup sejarah dan mitos dalam perkembangan Masjid Agung
Demak. Untuk Masjid Agung Demak sendiri, penulis akan memberikan batasan
terhadap apa yang akan dilihat dan dijelaskan dalam penelitian ini. Untuk melihat
Masjid Agung Demak sebagai salah satu simbol sakral yang dimiliki oleh kota
Demak, maka penulis mencoba memberikan batasan untuk melihat konstruksi
yang terbntuk dari ornamen-ornamen hasil kebudayaan yang ada. Untuk melihat
hal tersebut, penulis berusaha membatasi tulisannya ke dalam bentuk persoalan
7
yang menyangkut bagaimana sejarah terbentuknya Masjid Agung Demak sampai
pada konteks mengenai proses dikoding dan akulturasi budaya yang terjadi.
Unsur estetika dan simbolik pada bangunan Islam baik di mancanegara
maupun di Indonesia merupakan pencerminan dari nafas kebudayaan di suatu
daerah. Besar atau kecilnya peranan budaya lokal, berbobot atau tidaknya karya
seni rupa pra Isam, itulah yang mewarnai bentuk kesenirupaan Islam termasuk
perwujudan arsitekturnya. Pada fase pertama Islam melebarkan sayapnya, agama
ini bertemu dengan berbagai wilayah yang dunia kesenirupaannya telah mencapai
taraf yang cukup tinggi.
Unsur seni lokal yang sudah berakar sejak lama di suatu daerah, jika dapat
mendukung kebutuhan agama baru itu, akan terlihat peranannya. Agama Islam
menyebarkan pengaruh agama bukan pada wilayah yang peradabannya terbilang
masih sangat terbelakang dalam bidang seni rupa, melainkan ketempat yang
masyarakatnya sudah berpengalaman baik dalam pengenalan teknis maupun
estetis. Dibandingkan dengan tanah Arab, Siria, Turki, India, Indonesia yang telah
mempunyai tradisi kesenirupaan termasuk arsitektur yang telah berkar dengan
baik (Abay D. Subarna, 1985;1). Ada dua permasalahan yang akan menjadi fokus
dalam penulisan karya skripsi ini. Pertama, bagaimana melihat Demak sebagai
kota wali dengan bentuk konstruksi simbol magis yang diaktualisasikan ke dalam
ekspresi mitologi pada Masjid Agung Demak? Kedua, bagaimana memposisikan
Masjid Agung Demak sebagai ikon kota wali terhadap konteks perkembangan
masyarakatnya? Selain dua pertanyaan utama ini, penulis masih memecah
kembali ke beberapa pertanyaan pendukung seperti;
8
1. Bagaimana interpretasi simbolis masyarakat terhadap Masjid Agung
Demak ?
2. Bagaimana dikoding masyarakat Demak pada Masjid Agung Demak serta
tradisi yang muncul?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji bagaimana simbol utama yang
terkonstruksi mengenai setting Demak sebagai “kota wali” dapat diperoleh suatu
bentuk peta kognitif secara kultural dalam ruang lingkup penelitian yang
dilakukan. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kondisi sosial
budaya serta menganalisisnya dari dimensi dan dinamika kultural yang terjadi
dalam masyarakat Demak. Dengan melihat Demak sebagai sebuah “kota wali”
tentu tidak terlepas dari simbol yang dimilikinya yaitu Masjid Agung Demak
sebagai patron dari kota Demak. Untuk dapat mendeskripsikan bagaimana proses
kontruksi yang terjadi pada Masjid Agung Demak dari segi pemaknaan simbol-
simbolnya (dikoding), maka penulis akan mendeskripsikannya ke dalam sebuah
pemahaman mengenai esensi dari simbol-simbol kota Demak yang dimaknai
secara kognitif.
Dalam tujuan penelitian yang dilakukan, diharapkan studi ini akan
memberikan manfaat untuk pemikiran ulang bagi studi antropologi sendiri dan
bidang keilmuan sosial lainnya dalam mengkaji masyarakat dengan
menggunakan aspek-aspek secara antropologis. Bagi pihak-pihak yang
memerlukan untuk tujuan meningkatkan semangat apresiasi terhadap eksistensi
9
segi dimensi kepariwisataan, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai
refrensi keilmiahan.
D. Tinjauan Pustaka
Fenomena semakin berkembangnya orientasi pola pikir masyarakat saat ini
memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap perspektif dan perilaku
masyarakat Indonesia mengenai pemaknaan terhadap simbol yang terkonstruksi
sesuai dengan kebutuhan masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Kondisi
tersebut memberikan setting khusus yang dapat dilihat dari kota Demak yang
terkenal dengan sebutan „kota wali‟. Bentuk konstruksi simbol-simbol magis yang
berkembang di masyarakat Demak pada akhirnya merujuk pada kondisi
masyarakat yang sinkretis. Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan
studi kepustakaan untuk mengetahui apakah penelitian yang dilakukan penulis ini
sudah pernah diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
Dalam buku Victor Turner yang berjudul The Forest of Symbols and The
Ritual Process, ia membicarakan fungsi simbol dalam mengatur hehidupan sosial,
ia sungguh-sungguh menyadari bahwa ada dua segi yang harus dipertimbangkan:
penciptaan peranan-peranan dan aturan-aturan yang memungkinkan eksistensi
sosial sehari-hari, munculnya kelompok-kelompok komunal yang mempunyai
kemungkinan-kemungkinan serta mempunyai keyakinan-keyakinan dan hasrat-
hasrat bersama untuk menata dirinya dengan cara-cara yang berbeda dari cara-
cara masyarakat luas. Ada interaksi dialektis antara masyarakat keseluruhan dan
kelompok-kelompok khusus di dalammya.
Victor Turner membedakan antara simbol dan tanda seperti berikut:
10
“Dalam simbol-simbol ada semacam kemiripan (entah bersifat metafora
entah bersifat metonimia) antara hal yang ditandai dan maknanya,
sedangkan tanda-tanda tidak mempunyai kemiripan seperti itu”.
Tanda-tanda hampir selalu ditata dalam sistem-sistem “tertutup”, sedangkan
simbol-simbol yang dominan khususnya untuk dirinya sendiri pasti selalu bersifat
“terbuka” yaitu secara semantis. Makna simbol tidaklah sama sekali tetap. Makna-
makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolekif pada wahana-
wahana simbolis yang lama. Lagi pula individu-individu dapat menambahkan
makna pribadi pada makna umum dari sebuah simbol.
Simbol-simbol yang dominan memduduki tempat yang penting dalam
sistem sosial manapun, sebab makna simbol-simbol itu pada umumnya tidak
berubah dari zaman ke zaman dan dapat dikatakan merupakan kristalisasi pola
aliran tata cara yang dipimpinnya. Simbol-simbol yang lain membentuk satuan
perilaku ritual yang lebih kecil bukan sekedar embel-embel, tetapi sebagai simbol-
simbol yang mempengaruhi sistem-sistem sosial dan maknanya harus diturunkan
dari konteks dimana simbol-simbol itu muncul.
Pada dasarnya berbagai bentuk pemaknaan yang terjadi pada masyarakat
mencerminkan adanya upaya pencapaian suatu tujuan, dalam konteks ini
masyarakat selalu mengikuti kemajuan jaman dengan melihat berbagai macam
perspektif yang dirasa relevan pada proses pembentukan suatu simbol dalam
masyarakat. Melihat studi yang dilakukan oleh Geertz, ketika Geertz melihat
agama sebagai sebuah penanda dari kondisi masyarakat pemeluknya yang
digambarkan melalui pola makna-makna (pattern of meaning) atau ide-ide yang
termuat dalam simbol-simbol yang terkonstruksi menjadi pengetahuan dalam
11
masyarakat, yang kemudian diekspresikan melalui kehidupan mereka melalui
simbol-simbol tersebut.
Seperti definisi yang diberikan oleh Geertz mengenai agama, bahwa
“agama” hadir sebagai sebuah system budaya yang berawal dari kalimat tunggal
dan menjadi sebuah system simbol yang bertujuan membangun suasana hati dan
motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang, karena dapat
merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang umum dan faktual”.
Pada akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu realitas yang
unik dan menjadi karakteristik bagi kebudayaan masyarakat. Istilah lain yang
diperkenalkan oleh Weiss mengenai Cultural Representation juga dapat dilihat
pada tataran patuhnya umat beragama terhadap berbagai simbol yang mereka
yakini. Demak sebagai wilayah yang menjadi cikal bakal munculnya peradaban
Islam di Pulau Jawa, tentunya membawa gagasan mengenai bentuk perubahan
sosial sekaligus konstruksi baru yang tercipta melalui telaah sejarah yang
dibangun dari waktu ke waktu yang telah mengubah tatanan masyarakat terhadap
sistem simbol yang baru akibat adanya interaksi melalui hubungan superior-
inferioritas dalam masyarakat.
Seperti yang terjadi ketika kekuasaan Majapahit di Jawa yang mulai
tergantikan dengan Islam yang datang dengan menawarkan kegiatan
perdagangannya di daerah pesisir Pulau Jawa yaitu Demak. Merujuk pada Widji
Laksono dalam bukunya yang berjudul “Mengislamkan Tanah Jawa” (1995)
membahas mengenai sosok Sunan Giri sebagai seorang gembong dalam bidang
12
politik di Kerajaan Demak Bintoro. Beliau berani untuk menjadikan agama
sebagai dasar politik, peraturan dan pedoman dengan tata cara keraton.
Melihat skripsi yang ditulis oleh Ahmad Zaenal Kharis (2002) yang
membahas mengenai “Dimensi Estetis Bangunan Masjid Agung Demak”. Skripsi
yang ditulis Ahmad Zaenal Kharis itu menjelaskan mengenai bentuk bangunan
Masjid Agung Demak yang dilihat dari dimensi estetikia bangunan masjid secara
filosofis. Penlitian tersebut dapat memberikan gambaran bagi penulis untuk
mengembangkan lebih dalam untuk penelitian yang dilakukan mengenai
kompleksitas simbol bangunan Masjid Agung Demak.
E. Landasan Teori
Kebudayaan dalam konsepsi antropologi evolusionis mengandung tiga hal
utama, kebudayaan sebagai sistem (cultural system) yang berupa gagasan, pikiran,
konsep, nilai-nilai, norma, pandangan yang berbentuk abstrak yang dimiliki oleh
pemangku ide (ideas). Sedangkan untuk pelaku yang melakukan berbagai aktifitas
(activities) yang wujudnya konkret dan dapat diamati yang disebut system social
dan wujudnya berupa perilaku. Lalu yang ketiga adalah berwujud benda artefak,
baik dari hasil karya manusia maupun hasil tingkah lakunya yang berupa benda,
yang disebut material culture atau hasil karya dari perilaku manusia3.
Sebagai sebuah sistem, kebudayaan mempunyai isi atau disebut sebagai isi
kebudayaan yang disebut sebagai cultural universals sebagaimana digagas oleh C.
Kluckholn. Isi kebudayaan, menurutnya terdiri dari 7 unsur yakni 1) sistem
peralatan dan perlengkapan hidup, 2) sistem mata pencaharian hidup, 3) sistem
3 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad
XVIII-Medio Abad XX, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000), hlm. 40-41.
13
kemasyarakatan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem pengetahuan, dan 7) sistem
religi4
Kebudayaan dalam perspektif antropologi simbolik memiliki dua hal utama,
yaitu sebagai pola (model for) dan pola dari (model of) tindakan. Sebagai pola dari
tindakan, kebudayaan berisi seperangkat sistem nilai yang menjadi pedoman bagi
individu atau masyarakat di dalam kebudayaan. Sebagai pola dari tindakan,
kebudayaan berisi seperangkat sistem kognitif yang memungkinkan manusia
melakukan interpretasi terhadap sistem nilai tersebut. Untuk menghubungkan
antara sistem kognitif dengan sistem nilai, dibutuhkan sistem simbol yang terkait
dengan sistem makna. Dengan sistem simbollah manusia dapat memahami
pertautan antara sistem nilai dengan sistem kognitif yang membentuk tindakan di
dalam kebudayaan masyarakat (Nur Syam, 2007:12).
Melihat dua simbol penting yang dimiliki oleh kota Demak, yaitu Masjid
Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, penulis akan
memberikan pandangannya berdasarkan teori yang pernah digunakan dalam
melihat karakteristik masjid tradisional di Pulau Jawa. Masjid-masjid tradisional
di Jawa umumnya mempunyai denah empat persegi, serambi, pawestren, bedug,
atap tumpang, kolam wudhu yang menghadap ke Timur, makam, benteng dan
tidak bermenara. Contohnya masjid-masjid Jami yang biasanya terletak di sebelah
Barat alun-alun (Mundzirin Yusuf Elba, 1983; 16).
Mengacu pada konteks tersebut maka sesuai dengan pendapatnya Sutjipto
Wirjosuparto, yang menyatakan bahwa model masjid lebih mengacu kepada
4 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (jakarta: Dian Rakyat, 1985), hlm. 7.
14
bangunan tradisional Jawa yaitu pendopo yang berasal dari bahasa sansekerta
yang berarti suatu bagian dari kuil Hindu di India berbentuk persegi dan dibangun
langsung di atas tanah, sedangkan atap masjid mengacu kepada bentuk rumah
joglo, dengan alasan estetika yaitu untuk mengimbangi ukuran ruangan yang besar
(Anom, 1998; 16).
Dalam memahami masyarakat Jawa yang telah mengembangkan sebuah
budaya literer dan religius, dan diperintah oleh penguasa yang berpikiran sangat
maju sebelum Islam muncul sebagai pola kekuasaan baru untuk pertama kalinya
dalam masyarakat Jawa sekitar abad ke-13-14. Ketika kita membahas suatu tema
mengenai sejarah masuknya Islam di Jawa, maka peran yang dimainkan adalah
mengenai kekuasaan dari golongan elit (kerajaan). Sejarah Islam di Jawa
merupakan perubahan religius yang sifatnya dari bawah ke atas. Proses Islamisasi
meupakan proses yang diwarnai perbedaan dan kepelikan dalam mengakomodasi
dirinya sebagai suatu budaya hybrid, di mana menjadi orang Jawa dan Muslim
sekaligus tidak dipandang sebagai hal yang problematis.
Pada saat terjadinya Islamisasi di Pulau Jawa, ada dua hal yang tampaknya
terjadi pada waktu yang sama. Kaum Muslim asing yang datang untuk tujuan
berdagang dan menetap di suatu tempat dan akhirnya menjadi orang Jawa, lalu
masyarakat Jawa sendiri yang akhirnya memilih untuk memeluk Islam dan
menjadi „Muslim‟. Kondisi ini terjadi ketika kisah tentang wali sanga sebagai
kelompok yang pertama kali membawa Islam ke Jawa. Pada akhirnya sosok para
wali serta ajaran mereka hingga saat ini telah menjadi simbol dari proses
Islamisasi yang berlangsung pada masa lampau.
15
Mengacu pada teori Geertz yang melihat agama sebagai system kebudayaan,
maka saat Islam masuk sekitar abad 13 melalui hubungan dagang dengan
dimulainya era Kerajaan Islam di Pulau Jawa yaitu Kesultanan Demak Bintoro
terlihat akulturasi terhadap budaya Hindu-Budha dan Islam terjadi. Hubungan
yang terjadi ini bersifat permisif dengan mengembangkan cirinya yang fleksibel,
adaptif, menyerap, pragmatis dan gradualistik. Agama sebagai system kebudayaan
dilihat Geertz mempunyai dua unsur utama yaitu simbol dan makna. „Simbol‟
merupakan aspek kognitif yang berisi pengetahuan-pengetahuan yang diwujudkan
dalam bentuk pengakuan dari masyarakat (world view). Sedangkan „makna‟
merupakan aspek evaluatif yang berisi nilai-nilai seperti etos, moral, etik, dan
estetika dan diwujudkan melalui bentuk ritual. Korelasi yang terbentuk antara
simbol dan makna ini kemudian dilihat Geertz sebagai satu kesatuan yang
membentuk bagian dari system kebudayaan yang dinamakan „agama‟.
Terjadinya konstruksi berupa simbol-simbol yang dihadirkan oleh kota wali
menjadikan fokus kajian dalam penulisan ini lebih melihat Demak sebagai
representative dari simbol-simbol budaya yang secara antropologis menyangkut
karakteristik pembeda secara sosial sebagai suatu strategi sekelompok masyarakat
untuk mencari makna dalam kehidupan bersama (Berger dan Luckmann, 1979;
Govers dan Vermeulen, 1997). Identitas dari sebuah masyarakat lokal dalam
pembentukan dan perubahannya kemudian menjadi realitas historis dan
antropologis karena tekanan hidup manusia global memiliki dimensi yang
semakin kompleks secara spatial dan temporal (Ritzer dan Goodman, 2010).
16
Realitas historis identitas terbentuk dalam perspektif temporal yang dimulai
dari munculnya kesadaran bersama tentang asal usul dan cita-cita suatu kelompok
masyarakat dengan batas-batas fisik, sosial, dan simbolik tertentu (Anderson,
2001; Arnold, 2004). Hall menyebutkan bahwa identitas terdiri atas identitas diri
dan identitas sosial yang merupakan konstruksi individual dan terikat pada
struktur sosial (Hall, 1990). Melihat kota Demak sebagai „kota wali‟ sama seperti
melihat keutuhan sebuah tradisi yang dimiliki oleh Demak dengan simbol-simbol
magisnya dan menjadi jalan bagi masyarakatnya untuk dapat merumuskan dan
menanggapi persoalan-persoalan dasar dari keberadaannya. Terbentuknya sebuah
tradisi bagi masyarakat diyakini mampu menciptakan kesepakatan yang ingin
dicapai masyarakat mengenai soal hidup dan mati. Sebuah tradisi yang dihadirkan
tentunya harus bersifat luwes dan cair sehingga mampu secara terus menerus
berkembang seiring dengan konstruksi masyarakat yang membentukya.
F. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah field research (penelitian lapangan). Dalam
metode utama penelitian kali ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif,
yakni data disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka. Selain
menggunakan data primer, penulis juga menggunakan data sekunder sebagai
pendukung dalam penelitian. Metode utama yang digunakan dalam penelitian
adalah observasi partisipasi dan etnografi, dimana peneliti menggunakan
pendekatan secara sosiologis antropologis. Dengan pendekatan ini suatu fenomena
sosial dapat dianalisa dengan faktor-faktor pendorong yang mendasari terjadinya
fenomena yang ingin dilihat penulis.
17
Lokasi yang dipilih dalam penelitian tugas akhir penulis kali ini berada di
lokasi yang menjadi titik sentral dari simbol lokal wisdom yang dimiliki oleh
Kabupaten Demak. Lokasi tersebut diantaranya adalah Masjid Agung Demak
yang berada di Kecamatan Demak, Kabupaten Demak. Awal pemilihan lokasi
tersebut berangkat dari ketertarikan penulis untuk melihat Demak sebagai kota
kecil di tengah pulau Jawa bagian Utara yang mempunyai pesona magisnya
sebagai “kota wali”. Seperti yang sudah banyak dikenal luas oleh masyarakat
Muslim di Indonesia bahwa kota Demak memliki keistimewaan sebagai kota yang
mempunyai obyek wisata religinya.
Untuk pemilihan informan dalam penelitian tugas akhir ini, penulis
membagi menjadi tiga informan utama yaitu takmir Masjid Agung Demak yang
berasal dari wilayah asli Demak, lalu takmir yang berasal dari luar wilayah
Demak dan yang ketiga merupakan masyarakat yang berasal dari luar
(pengunjung). Sebagaimana yang dikatakan oleh Spradley bahwa untuk
mendapatkan data yang baik, pemilihan informan yang baik juga akan membantu
dalam mengetahui budaya mereka dengan baik tanpa harus memikirkannya
(Spradley, 2007: 69).
Ada sekitar 12 orang yang terdaftar sebagai takmir Masjid Agung Demak
yang masih aktif sebagai pengurus Masjid Agung Demak. Tidak semua takmir
Masjid Agung Demak dipilih menjadi informan utama dalam penelitian penulis
kali ini. Hal ini timbul dari beberapa pertimbangan penulis untuk dapat
mengetahui informasi secara lebih mendalam mengenai orang-orang yang bisa
dijadikan narasumber dalam proses pengumpulan data. Takmir masjid yang
18
dipilih menjadi informan utama penulis merupakan orang yang sudah lama
terlibat langsung dalam segala kegiatan kepengurusan masjid dan tentunya sudah
mengenal lebih mengenai kondisi dan dinamika yang terjadi di Masjid Agung
Demak.
Ada dua pengurus takmir Masjid Agung Demak yang dijadikan narasumber
utama untuk studi kasus penelitian penulis di Masjid Agung Demak. Alasan
penulis memilih dua orang pengurus takmir ini ialah masing-masing dari mereka
sudah dianggap mewakili untuk mendapatkan informasi secara mendetail dari
makna dibalik tindakan dari pengalaman mereka yang terkait dengan
permasalahan dalam penelitian penulis. Ada bentuk struktur keorganisasian dari
kepengurusan takmir Masjid Agung Demak yang terbagi ke dalam empat
kelompok kepengurusan diantaranya; bagian Imaroh untuk mengurusi segala
kegiatan peribadatan (ibadah), Idaroh untuk bagian keamanan dan kesejarahan,
Rirayah untuk bagian pelestarian dan pembangunan infrastuktur bangunan masjid,
mencakup perawatan untuk benda-benda cagar budaya yang masih disimpan di
dalam Masjid Agung Demak. Untuk bagian yang terakhir adalah kepengurusan
pemuda dan kewanitaan.
Melihat tiga informan utama penulis, masing-masing dari mereka
mempunyai bagian tersendiri dalam struktur kepengurusan, maka hal tersebut
akan memberikan variasi informasi yang bisa dikumpulkan oleh penulis, sehingga
data yang didapat oleh penulis tidak hanya terpaku kepada satu opini saja. Hal ini
memberikan pandangan untuk penulis untuk dapat lebih memahami data yang
ingin penulis kumpulkan dari permasalahan penelitian.
19
Untuk memperoleh data yang diinginkan, penulis menggunakan metode
wawancara mendalam (in dept interview) dimana pertanyaan yang diajukan tidak
terikat dengan struktur pertanyaan. Wawancara dilakukan dengan teknik random
yakni memilih secara acak pada populasi yang akan digali informasinya. Selain
itu, penulis juga menggunakan metode observasi partisipasi dengan terlibat
langsung dalam lingkungan yang diteliti. Setelah itu, data yang didapat dari hasil
observasi partisapasi tadi diolah ke dalam tulisan dengan bentuk cerita atau
deskripsi mengenai fenomena yang ditemukan di lapangan (etnografi).
Dalam melakukan observasi awal, peneliti melakukan perkenalan dengan
mendatangi salah satu pengurus takmir Masjid Agung Demak yaitu Mbah Kus
untuk meminta ijin kepada mereka perihal penelitian yang akan dilakukan. Lalu
peneliti mengamati aktifitas yang terjadi di sekitar kawasan komplek area Masjid
Agung Demak untuk pengamatan awal dan perkenalan lingkungan. Untuk
observasi awal, peneliti banyak mendokumentasikan hasil pengamatan dengan
menggunakan kamera digital sebagai alat mengumpulkan data. Setelah itu peniliti
melakukan wawancara terhadap informan di awal pertemuan dengan
menggunakan alat recorder untuk membantu memudahkan dalam proses
wawancara dengan informan yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan ini tidak
saja berfokus kepada jawaban berdasarkan hasil jawaban dari wawancara yang
dilakukan, namun aspek lainnya seperti hasil pengamatan yang dilakukan juga
dipertimbangkan dalam proses input data pada tulisan. Data dari hasil wawancara
dan observasi partispasi yang dilakukan akan menjadi data primer dalam
penelitian ini.
20
Metode dokumentasi atau data sekunder juga digunakan dalam penelitian
yang dilakukan penulis seperti hasil catatan transkrip, buku-buku, surat kabar,
informasi dari internet, majalah, jurnal ilmiah, laporan-laporan penelitian yang
relevan, dan foto-foto yang diambil ketika penulis melakukan penelitian di
lapangan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan deskriptif
analisis, yaitu dengan mendeskripsikan berbagai cerita yang dikumpulkan dari
hasil wawancara mendalam sesuai dengan tema penelitian yaitu konstruksi simbol
kota Demak sebagai “kota wali”.
G. Sistematika Penulisan
Untuk dapat memudahkan pembaca dalam mempelajari skripsi ini, maka
penulis akan menjelaskan mengenai sistematika dalam penelitian skripsi ini.
Penelitian dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, yang dibagi lagi kedalam sub-
sub bab yang ada. Bab I merupakan pendahuluan dimana pada bab ini dijelaskan
mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan
teori, dan metode penelitian yang digunakan. Bab II berisi mengenai gambaran
umum mengenai Kabupaten Demak sebagai kota wali di pesisir Utara Jawa yang
melingkupi letak geografis, keadaan social-budaya, keadaan ekonomi penduduk,
dan sejarah kota Demak.
Bab III merupakan pembahasan mengenai Masjid Agung Demak dengan
kompleksitas simbol yang telah terkonstruksi. Bab IV merupakan pengembangan
dari Bab III. Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai konstruksi magis Demak
yang dilihat dari proses munculnya tradisi Grebeg Besar yang masih berhubungan
dengan Masjid Agung Demak. Pada bab ini penulis memberikan analisis