bab i pendahuluan a. latar...

21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal akan keanekaragaman budayanya. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang memiliki beragam varian dalam praktek beragama. Masyarakat Jawa adalah salah satu contoh masyarakat tersebut. Sifat heteroterlihat dalam perilaku mereka yang dapat mengakomodifikasi sebuah “agama” menjadi praktek-praktek kebudayaan yang penuh dengan simbol magis yang sakral. Jika kita telusuri akar sejarah kebudayaan Islam berdasarkan bukti sejarah, pengaruh agama Islam mulai masuk Indonesia sejak abad ke 7 Masehi, akan tetapi baru benar-benar mengalami proses penyebaran yang meluas sepanjang abad ke 13-15 Masehi. Pengaruh agama Islam memperoleh tempat berpijak yang kokoh pada wilayah-wilayah yang mempunyai pengaruh agama yang bersifat „sinkretis‟, artinya masyarakat tidak sepenuhnya menjalankan ajaran murni agamanya pada saat itu. Hal ini karena sebagian besar masyarakat pada saat itu masih banyak yang menggunakan cara tradisi lama dengan corak kebudyaan Hindu-Budha. Daerah pesisir di Jawa Tengah sebelum agama Islam masuk menunjukkan bahwa di daerah tersebut pengaruh agama Hindu dan Budha telah tertanam cukup kuat, suatu kepercayaan agama yang bersifat sinkretis sudah sejak lama dianut oleh sejumlah besar penduduk di daerah tersebut, kepercayaan animisme-dinamisme

Upload: hathuy

Post on 03-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang terkenal akan keanekaragaman

budayanya. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang memiliki

beragam varian dalam praktek beragama. Masyarakat Jawa adalah salah satu

contoh masyarakat tersebut. Sifat „hetero‟ terlihat dalam perilaku mereka yang

dapat mengakomodifikasi sebuah “agama” menjadi praktek-praktek kebudayaan

yang penuh dengan simbol magis yang sakral. Jika kita telusuri akar sejarah

kebudayaan Islam berdasarkan bukti sejarah, pengaruh agama Islam mulai masuk

Indonesia sejak abad ke 7 Masehi, akan tetapi baru benar-benar mengalami proses

penyebaran yang meluas sepanjang abad ke 13-15 Masehi.

Pengaruh agama Islam memperoleh tempat berpijak yang kokoh pada

wilayah-wilayah yang mempunyai pengaruh agama yang bersifat „sinkretis‟,

artinya masyarakat tidak sepenuhnya menjalankan ajaran murni agamanya pada

saat itu. Hal ini karena sebagian besar masyarakat pada saat itu masih banyak

yang menggunakan cara tradisi lama dengan corak kebudyaan Hindu-Budha.

Daerah pesisir di Jawa Tengah sebelum agama Islam masuk menunjukkan bahwa

di daerah tersebut pengaruh agama Hindu dan Budha telah tertanam cukup kuat,

suatu kepercayaan agama yang bersifat sinkretis sudah sejak lama dianut oleh

sejumlah besar penduduk di daerah tersebut, kepercayaan animisme-dinamisme

2

bercampur dengan kepercayaan agama Hindu, Budha, digantikan oleh paham

Islam yang masuk (Nasikun, 2004:47).

Fenomena yang akan dibahas dalam penelitian penulis kali ini ialah

mengenai bentuk konstruksi magis kota Demak sebagai “kota wali” yang menjadi

salah satu isu menarik untuk dibahas. Konstruksi magis mengenai kota wali bisa

menjadi satu isu penting jika dikaitkan dalam upaya mendeskripsikan persoalan

simbol-simbol yang menjadi sebuah stereotype dalam satu lingkup kebudayaan

tersendiri. Oleh karena itu, sering kali terlihat sebuah fenomena kontestasi

identitas pada individu maupun masyarakat yang dewasa ini lebih menekankan

kepada ekspresi bentuk dari karakter-karakter yang melekat pada masyarakat

Demak.

Perwujudan kondisi fisik serta pola perilaku yang dimiliki oleh masyarakat

tentunya menjadi indikator akan proses kontestasi yang akan membentuk

konstruksi simbol tersebut. Hal ini terlihat pada kota Demak sebagai daerah yang

mempunyai julukan “kota wali”. Hal ini tentu menjadi satu persoalan yang

menarik untuk dilihat lebih dalam karena melibatkan latar belakang sejarah

geografis, sosial dan budayanya. Sebagai sebuah proses dinamika yang

berlangsung hingga saat ini, bentuk stereotype yang melekat pada suatu

kebudayaan masyarakat suatu wilayah terbentuk karena adanya konstruksi sosial

dari simbol-simbol yang diproduksi dan dimaknai secara terus-menerus.

Kabupaten Demak merupakan salah satu daerah yang terletak di kawasan

pantai Utara Jawa (pantura), dan merupakan salah satu wilayah yang memiliki

latar belakang sejarah kuat awal berdirinya kejayaan kerajaan Islam di Pulau Jawa

3

hingga meluas ke wilayah Nusantara. Proses masuknya Islam di Demak dimulai

ketika Raden Patah yang merupakan Raja pertama dari Kesultanan Demak telah

diwisuda menjadi Adipati Anom Bintoro pada tahun 1477 M/1400 S dan ikut

membantu ayahnya yang tidak lain adalah Raja Majapahit Prabu Brawijaya V

untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Prabu Girindrawardhana yang

sebelumnya melakukan pemberontakan dan mengambil alih kekuasaan di

Majapahit. Pada tahun 1481 M Raden Fattah mengumpulkan kekuatan pasukan

gabungan di bawah pimpinan Senopati perang yaitu Sunan Kudus dibantu Sunan

Mejagung, Sunan Giri, dan Sunan Gunung Jati untuk menyerang Majapahit

dengan siasat perang “Supit Urang” dan berhasil melumpuhkan kekuatan

pasukan Raja Girindrawardhana yang ditandai dengan candra

sengkala“Genimatisiniramjanmi”. Genimati sendiri dimaknai sebagai api yang

mati, bahwa pemberontak seperti Prabu Girindrawardhana yang merebut tahta

Prabu Brawijaya V dapat dikalahkan. Siniram yaitu pasukan Demak yang banyak

sekali jumlahnya dan janmi sendiri artinya sukar dibendung.

Seperti yang tersirat dalam sejarah awal mula berdirinya kerajaan Demak,

bahwa saluran Islamisasi di Nusantara secara literal terjadi melalui perkawinan

yang di jembatani melalui arus perdagangan oleh para ulama pada saat itu. Pada

fase awal penyebaran agama Islam di Nusantara, para mubaligh yang datang dari

Arab maupun Gujarat pasti melalui setiap proses Islamisasi yang berlangsung

yang tujuannya adalah memberikan dakwah kepada para penduduk pribumi

dengan mengutamakan harmonisasi dan integrasi, serta menghilangkan unsur

pemaksaan dalam syiar Islam yang dilakukan. Dari cara dakwah yang dilakukan

4

oleh para mubaligh yang ramah tersebut, akhirnya para penduduk pribumi dengan

sangat terbuka menerima ajaran agama Islam yang dibawa oleh para mubaligh

tersebut. Agama Islam sudah masuk ke Nusantara khususnya masyarakat Jawa

dimulai sejak jaman kerajaan Majapahit pada saat mangkatnya Raja Hayam

Wuruk ketika pusat pemerintahan Majapahit berada di daerah Trowulan dan di

beberapa wilayah kadipaten.

Islam mulai bersentuhan dengan para penguasa Majapahit ketika para

bangsawan Majapahit telah banyak yang menikahi putri-putri bangsawan dari

Campa yang mayoritas sudah memeluk agama Islam, dimana pada saat itu anak-

anak dari perkawinan yang terjadi pada akhirnya banyak yang memilih beragama

Islam dan membawa pengaruh yang cukup kuat untuk perkembangan Islam pada

masa akhir pemerintahan Majapahit. Pada masa dimana kerajaan Majapahit

mengalami suksesi (perebutan kekuasaan antar pewaris tahta) yang berujung

perang paregrek1, akhirnya disini muncullah peran dari Wali Songo

2.

Para Wali Songo ini merupakan mubaligh Jawa yang mayoritas berasal dari

daerah Timur Tengah, namun ada juga yang berasal dari darah campuran Jawa

yang membentuk ikatan religius dalam menyebarkan agama Islam dan

membangun kekuatan Islam di Jawa. Para Wali Songo ini ternyata ada yang

1 Perang paregrek adalah perang yang terjadi antara Majapahit Istana Barat melawan kubu dari

Istana Timur yang menandai kemunduran Majapahit. Paregrek artinya perang yang setahap demi

setahap dalam tempo lambat. 2 Wali Songo yang berarti „Wali Sembilan‟ merupakan dewan wali yang beranggotakan sembilan

orang, dan pada saat memasuki periode yang keempat namanya melejit dengan anggotanya yang

terkenal yaitu antara lain : Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel (Raden Rachmat), Sunan

Bonang (Machmud Ibrahim), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah),

Sunan Kudus (Dja‟far Siddiq), Sunan Muria (Raden Prawoto), Sunan Drajat (Sjarifuddin) dan

Sunan Kalijaga (Raden Sjahid).

5

merupakan keturunan pejabat Majapahit yang diberi kekuasaan untuk mengontrol

wilayah kadipaten di pantai utara Jawa (pantura). Pada fase awal membangun

kekuatan Islam di pantai utara Jawa, para wali ini memulai dari wilayah

Kadipaten Demak dan kemudian di susul di Kudus. Wilayah Kadipaten Demak

digunakan oleh para Wali Songo untuk membangun masjid sebagai basis

penyebaran agama Islam. Masjid yang dibangun ini di kemudian hari berubah

menjadi simbol kekuatan Islam yang nantinya menjadi basis dari pendirian

Kesultanan Demak hingga kerajaan-kerajaan besar seterusnya di tanah Jawa.

Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa dan berlokasi

di pusat Kota Demak tepatnya di Kabupaten Demak yang berjarak kurang lebih

26 km ke arah timur kota Semarang Provinsi Jawa Tengah. Masjid ciptaan Wali

Songo yang saat ini sudah berumur lebih dari lima abad masih tetap dipertahankan

kelestariannya sebagai warisan budaya bangsa Indonesia dan menjadi salah satu

benda cagar budaya bangsa Indonesia yang ditegaskan dengan UU No. 5/1992.

Kehadiran Masjid Agung Demak sebagai bangunan cagar budaya saat ini jika

dilihat tentu memiliki aspek secara historis maupun antropologis dalam proses

akulturasi budaya pada masanya.

Masjid Agung Demak merupakan salah satu bangunan Islam yang terbilang

mempunyai peran penting bagi perkembangan kaum muslim di wilayah Asia

Tenggara. Masjid religius ini mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai tempat

peribadatan dan ziarah. Keberadaannya yang eksis hingga saat ini masih bisa

dirasakan khususnya oleh masyarakat muslim di Indonesia, namun warga negara

6

asing yang datang pun ikut takjub karena wujudnya yang misterius, karismatik

dan berwibawa.

Melihat kota Demak dengan simbol yang dimilikinya, tentu memberikan

pengertian kepada kita bahwa simbol-simbol tersebut mempunyai nilai yang

kompleks dalam dinamika perkembangan kota Demak hingga Demak dapat

menampilkan keistimewaannya tersendiri sebagai „kota wali‟ di pesisir Utara

pulau Jawa. Untuk menjelaskan kota Demak sebagai sebuah kota, maka kita akan

mengacu pada sebuah fenomena dimana kota Demak dianggap sebagai kota

religius (Religious of City). Dengan fenomena ini, penulis bisa memperlihatkan

bagaimana proses terjadinya konstruksi simbol dari dikoding masyarakat

mengenai realitas terhadap proses terjadinya konstruksi simbol di Demak,

sehingga kota Demak mendapat julukan sebagai „kota wali‟.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, penelitian ini berupaya untuk mengungkapkan

lebih jauh tentang simbol utama yang dimiliki kota Demak yakni, Masjid Agung

Demak yang mencakup sejarah dan mitos dalam perkembangan Masjid Agung

Demak. Untuk Masjid Agung Demak sendiri, penulis akan memberikan batasan

terhadap apa yang akan dilihat dan dijelaskan dalam penelitian ini. Untuk melihat

Masjid Agung Demak sebagai salah satu simbol sakral yang dimiliki oleh kota

Demak, maka penulis mencoba memberikan batasan untuk melihat konstruksi

yang terbntuk dari ornamen-ornamen hasil kebudayaan yang ada. Untuk melihat

hal tersebut, penulis berusaha membatasi tulisannya ke dalam bentuk persoalan

7

yang menyangkut bagaimana sejarah terbentuknya Masjid Agung Demak sampai

pada konteks mengenai proses dikoding dan akulturasi budaya yang terjadi.

Unsur estetika dan simbolik pada bangunan Islam baik di mancanegara

maupun di Indonesia merupakan pencerminan dari nafas kebudayaan di suatu

daerah. Besar atau kecilnya peranan budaya lokal, berbobot atau tidaknya karya

seni rupa pra Isam, itulah yang mewarnai bentuk kesenirupaan Islam termasuk

perwujudan arsitekturnya. Pada fase pertama Islam melebarkan sayapnya, agama

ini bertemu dengan berbagai wilayah yang dunia kesenirupaannya telah mencapai

taraf yang cukup tinggi.

Unsur seni lokal yang sudah berakar sejak lama di suatu daerah, jika dapat

mendukung kebutuhan agama baru itu, akan terlihat peranannya. Agama Islam

menyebarkan pengaruh agama bukan pada wilayah yang peradabannya terbilang

masih sangat terbelakang dalam bidang seni rupa, melainkan ketempat yang

masyarakatnya sudah berpengalaman baik dalam pengenalan teknis maupun

estetis. Dibandingkan dengan tanah Arab, Siria, Turki, India, Indonesia yang telah

mempunyai tradisi kesenirupaan termasuk arsitektur yang telah berkar dengan

baik (Abay D. Subarna, 1985;1). Ada dua permasalahan yang akan menjadi fokus

dalam penulisan karya skripsi ini. Pertama, bagaimana melihat Demak sebagai

kota wali dengan bentuk konstruksi simbol magis yang diaktualisasikan ke dalam

ekspresi mitologi pada Masjid Agung Demak? Kedua, bagaimana memposisikan

Masjid Agung Demak sebagai ikon kota wali terhadap konteks perkembangan

masyarakatnya? Selain dua pertanyaan utama ini, penulis masih memecah

kembali ke beberapa pertanyaan pendukung seperti;

8

1. Bagaimana interpretasi simbolis masyarakat terhadap Masjid Agung

Demak ?

2. Bagaimana dikoding masyarakat Demak pada Masjid Agung Demak serta

tradisi yang muncul?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji bagaimana simbol utama yang

terkonstruksi mengenai setting Demak sebagai “kota wali” dapat diperoleh suatu

bentuk peta kognitif secara kultural dalam ruang lingkup penelitian yang

dilakukan. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kondisi sosial

budaya serta menganalisisnya dari dimensi dan dinamika kultural yang terjadi

dalam masyarakat Demak. Dengan melihat Demak sebagai sebuah “kota wali”

tentu tidak terlepas dari simbol yang dimilikinya yaitu Masjid Agung Demak

sebagai patron dari kota Demak. Untuk dapat mendeskripsikan bagaimana proses

kontruksi yang terjadi pada Masjid Agung Demak dari segi pemaknaan simbol-

simbolnya (dikoding), maka penulis akan mendeskripsikannya ke dalam sebuah

pemahaman mengenai esensi dari simbol-simbol kota Demak yang dimaknai

secara kognitif.

Dalam tujuan penelitian yang dilakukan, diharapkan studi ini akan

memberikan manfaat untuk pemikiran ulang bagi studi antropologi sendiri dan

bidang keilmuan sosial lainnya dalam mengkaji masyarakat dengan

menggunakan aspek-aspek secara antropologis. Bagi pihak-pihak yang

memerlukan untuk tujuan meningkatkan semangat apresiasi terhadap eksistensi

9

segi dimensi kepariwisataan, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai

refrensi keilmiahan.

D. Tinjauan Pustaka

Fenomena semakin berkembangnya orientasi pola pikir masyarakat saat ini

memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap perspektif dan perilaku

masyarakat Indonesia mengenai pemaknaan terhadap simbol yang terkonstruksi

sesuai dengan kebutuhan masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Kondisi

tersebut memberikan setting khusus yang dapat dilihat dari kota Demak yang

terkenal dengan sebutan „kota wali‟. Bentuk konstruksi simbol-simbol magis yang

berkembang di masyarakat Demak pada akhirnya merujuk pada kondisi

masyarakat yang sinkretis. Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan

studi kepustakaan untuk mengetahui apakah penelitian yang dilakukan penulis ini

sudah pernah diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

Dalam buku Victor Turner yang berjudul The Forest of Symbols and The

Ritual Process, ia membicarakan fungsi simbol dalam mengatur hehidupan sosial,

ia sungguh-sungguh menyadari bahwa ada dua segi yang harus dipertimbangkan:

penciptaan peranan-peranan dan aturan-aturan yang memungkinkan eksistensi

sosial sehari-hari, munculnya kelompok-kelompok komunal yang mempunyai

kemungkinan-kemungkinan serta mempunyai keyakinan-keyakinan dan hasrat-

hasrat bersama untuk menata dirinya dengan cara-cara yang berbeda dari cara-

cara masyarakat luas. Ada interaksi dialektis antara masyarakat keseluruhan dan

kelompok-kelompok khusus di dalammya.

Victor Turner membedakan antara simbol dan tanda seperti berikut:

10

“Dalam simbol-simbol ada semacam kemiripan (entah bersifat metafora

entah bersifat metonimia) antara hal yang ditandai dan maknanya,

sedangkan tanda-tanda tidak mempunyai kemiripan seperti itu”.

Tanda-tanda hampir selalu ditata dalam sistem-sistem “tertutup”, sedangkan

simbol-simbol yang dominan khususnya untuk dirinya sendiri pasti selalu bersifat

“terbuka” yaitu secara semantis. Makna simbol tidaklah sama sekali tetap. Makna-

makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolekif pada wahana-

wahana simbolis yang lama. Lagi pula individu-individu dapat menambahkan

makna pribadi pada makna umum dari sebuah simbol.

Simbol-simbol yang dominan memduduki tempat yang penting dalam

sistem sosial manapun, sebab makna simbol-simbol itu pada umumnya tidak

berubah dari zaman ke zaman dan dapat dikatakan merupakan kristalisasi pola

aliran tata cara yang dipimpinnya. Simbol-simbol yang lain membentuk satuan

perilaku ritual yang lebih kecil bukan sekedar embel-embel, tetapi sebagai simbol-

simbol yang mempengaruhi sistem-sistem sosial dan maknanya harus diturunkan

dari konteks dimana simbol-simbol itu muncul.

Pada dasarnya berbagai bentuk pemaknaan yang terjadi pada masyarakat

mencerminkan adanya upaya pencapaian suatu tujuan, dalam konteks ini

masyarakat selalu mengikuti kemajuan jaman dengan melihat berbagai macam

perspektif yang dirasa relevan pada proses pembentukan suatu simbol dalam

masyarakat. Melihat studi yang dilakukan oleh Geertz, ketika Geertz melihat

agama sebagai sebuah penanda dari kondisi masyarakat pemeluknya yang

digambarkan melalui pola makna-makna (pattern of meaning) atau ide-ide yang

termuat dalam simbol-simbol yang terkonstruksi menjadi pengetahuan dalam

11

masyarakat, yang kemudian diekspresikan melalui kehidupan mereka melalui

simbol-simbol tersebut.

Seperti definisi yang diberikan oleh Geertz mengenai agama, bahwa

“agama” hadir sebagai sebuah system budaya yang berawal dari kalimat tunggal

dan menjadi sebuah system simbol yang bertujuan membangun suasana hati dan

motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang, karena dapat

merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang umum dan faktual”.

Pada akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu realitas yang

unik dan menjadi karakteristik bagi kebudayaan masyarakat. Istilah lain yang

diperkenalkan oleh Weiss mengenai Cultural Representation juga dapat dilihat

pada tataran patuhnya umat beragama terhadap berbagai simbol yang mereka

yakini. Demak sebagai wilayah yang menjadi cikal bakal munculnya peradaban

Islam di Pulau Jawa, tentunya membawa gagasan mengenai bentuk perubahan

sosial sekaligus konstruksi baru yang tercipta melalui telaah sejarah yang

dibangun dari waktu ke waktu yang telah mengubah tatanan masyarakat terhadap

sistem simbol yang baru akibat adanya interaksi melalui hubungan superior-

inferioritas dalam masyarakat.

Seperti yang terjadi ketika kekuasaan Majapahit di Jawa yang mulai

tergantikan dengan Islam yang datang dengan menawarkan kegiatan

perdagangannya di daerah pesisir Pulau Jawa yaitu Demak. Merujuk pada Widji

Laksono dalam bukunya yang berjudul “Mengislamkan Tanah Jawa” (1995)

membahas mengenai sosok Sunan Giri sebagai seorang gembong dalam bidang

12

politik di Kerajaan Demak Bintoro. Beliau berani untuk menjadikan agama

sebagai dasar politik, peraturan dan pedoman dengan tata cara keraton.

Melihat skripsi yang ditulis oleh Ahmad Zaenal Kharis (2002) yang

membahas mengenai “Dimensi Estetis Bangunan Masjid Agung Demak”. Skripsi

yang ditulis Ahmad Zaenal Kharis itu menjelaskan mengenai bentuk bangunan

Masjid Agung Demak yang dilihat dari dimensi estetikia bangunan masjid secara

filosofis. Penlitian tersebut dapat memberikan gambaran bagi penulis untuk

mengembangkan lebih dalam untuk penelitian yang dilakukan mengenai

kompleksitas simbol bangunan Masjid Agung Demak.

E. Landasan Teori

Kebudayaan dalam konsepsi antropologi evolusionis mengandung tiga hal

utama, kebudayaan sebagai sistem (cultural system) yang berupa gagasan, pikiran,

konsep, nilai-nilai, norma, pandangan yang berbentuk abstrak yang dimiliki oleh

pemangku ide (ideas). Sedangkan untuk pelaku yang melakukan berbagai aktifitas

(activities) yang wujudnya konkret dan dapat diamati yang disebut system social

dan wujudnya berupa perilaku. Lalu yang ketiga adalah berwujud benda artefak,

baik dari hasil karya manusia maupun hasil tingkah lakunya yang berupa benda,

yang disebut material culture atau hasil karya dari perilaku manusia3.

Sebagai sebuah sistem, kebudayaan mempunyai isi atau disebut sebagai isi

kebudayaan yang disebut sebagai cultural universals sebagaimana digagas oleh C.

Kluckholn. Isi kebudayaan, menurutnya terdiri dari 7 unsur yakni 1) sistem

peralatan dan perlengkapan hidup, 2) sistem mata pencaharian hidup, 3) sistem

3 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad

XVIII-Medio Abad XX, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000), hlm. 40-41.

13

kemasyarakatan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem pengetahuan, dan 7) sistem

religi4

Kebudayaan dalam perspektif antropologi simbolik memiliki dua hal utama,

yaitu sebagai pola (model for) dan pola dari (model of) tindakan. Sebagai pola dari

tindakan, kebudayaan berisi seperangkat sistem nilai yang menjadi pedoman bagi

individu atau masyarakat di dalam kebudayaan. Sebagai pola dari tindakan,

kebudayaan berisi seperangkat sistem kognitif yang memungkinkan manusia

melakukan interpretasi terhadap sistem nilai tersebut. Untuk menghubungkan

antara sistem kognitif dengan sistem nilai, dibutuhkan sistem simbol yang terkait

dengan sistem makna. Dengan sistem simbollah manusia dapat memahami

pertautan antara sistem nilai dengan sistem kognitif yang membentuk tindakan di

dalam kebudayaan masyarakat (Nur Syam, 2007:12).

Melihat dua simbol penting yang dimiliki oleh kota Demak, yaitu Masjid

Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, penulis akan

memberikan pandangannya berdasarkan teori yang pernah digunakan dalam

melihat karakteristik masjid tradisional di Pulau Jawa. Masjid-masjid tradisional

di Jawa umumnya mempunyai denah empat persegi, serambi, pawestren, bedug,

atap tumpang, kolam wudhu yang menghadap ke Timur, makam, benteng dan

tidak bermenara. Contohnya masjid-masjid Jami yang biasanya terletak di sebelah

Barat alun-alun (Mundzirin Yusuf Elba, 1983; 16).

Mengacu pada konteks tersebut maka sesuai dengan pendapatnya Sutjipto

Wirjosuparto, yang menyatakan bahwa model masjid lebih mengacu kepada

4 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (jakarta: Dian Rakyat, 1985), hlm. 7.

14

bangunan tradisional Jawa yaitu pendopo yang berasal dari bahasa sansekerta

yang berarti suatu bagian dari kuil Hindu di India berbentuk persegi dan dibangun

langsung di atas tanah, sedangkan atap masjid mengacu kepada bentuk rumah

joglo, dengan alasan estetika yaitu untuk mengimbangi ukuran ruangan yang besar

(Anom, 1998; 16).

Dalam memahami masyarakat Jawa yang telah mengembangkan sebuah

budaya literer dan religius, dan diperintah oleh penguasa yang berpikiran sangat

maju sebelum Islam muncul sebagai pola kekuasaan baru untuk pertama kalinya

dalam masyarakat Jawa sekitar abad ke-13-14. Ketika kita membahas suatu tema

mengenai sejarah masuknya Islam di Jawa, maka peran yang dimainkan adalah

mengenai kekuasaan dari golongan elit (kerajaan). Sejarah Islam di Jawa

merupakan perubahan religius yang sifatnya dari bawah ke atas. Proses Islamisasi

meupakan proses yang diwarnai perbedaan dan kepelikan dalam mengakomodasi

dirinya sebagai suatu budaya hybrid, di mana menjadi orang Jawa dan Muslim

sekaligus tidak dipandang sebagai hal yang problematis.

Pada saat terjadinya Islamisasi di Pulau Jawa, ada dua hal yang tampaknya

terjadi pada waktu yang sama. Kaum Muslim asing yang datang untuk tujuan

berdagang dan menetap di suatu tempat dan akhirnya menjadi orang Jawa, lalu

masyarakat Jawa sendiri yang akhirnya memilih untuk memeluk Islam dan

menjadi „Muslim‟. Kondisi ini terjadi ketika kisah tentang wali sanga sebagai

kelompok yang pertama kali membawa Islam ke Jawa. Pada akhirnya sosok para

wali serta ajaran mereka hingga saat ini telah menjadi simbol dari proses

Islamisasi yang berlangsung pada masa lampau.

15

Mengacu pada teori Geertz yang melihat agama sebagai system kebudayaan,

maka saat Islam masuk sekitar abad 13 melalui hubungan dagang dengan

dimulainya era Kerajaan Islam di Pulau Jawa yaitu Kesultanan Demak Bintoro

terlihat akulturasi terhadap budaya Hindu-Budha dan Islam terjadi. Hubungan

yang terjadi ini bersifat permisif dengan mengembangkan cirinya yang fleksibel,

adaptif, menyerap, pragmatis dan gradualistik. Agama sebagai system kebudayaan

dilihat Geertz mempunyai dua unsur utama yaitu simbol dan makna. „Simbol‟

merupakan aspek kognitif yang berisi pengetahuan-pengetahuan yang diwujudkan

dalam bentuk pengakuan dari masyarakat (world view). Sedangkan „makna‟

merupakan aspek evaluatif yang berisi nilai-nilai seperti etos, moral, etik, dan

estetika dan diwujudkan melalui bentuk ritual. Korelasi yang terbentuk antara

simbol dan makna ini kemudian dilihat Geertz sebagai satu kesatuan yang

membentuk bagian dari system kebudayaan yang dinamakan „agama‟.

Terjadinya konstruksi berupa simbol-simbol yang dihadirkan oleh kota wali

menjadikan fokus kajian dalam penulisan ini lebih melihat Demak sebagai

representative dari simbol-simbol budaya yang secara antropologis menyangkut

karakteristik pembeda secara sosial sebagai suatu strategi sekelompok masyarakat

untuk mencari makna dalam kehidupan bersama (Berger dan Luckmann, 1979;

Govers dan Vermeulen, 1997). Identitas dari sebuah masyarakat lokal dalam

pembentukan dan perubahannya kemudian menjadi realitas historis dan

antropologis karena tekanan hidup manusia global memiliki dimensi yang

semakin kompleks secara spatial dan temporal (Ritzer dan Goodman, 2010).

16

Realitas historis identitas terbentuk dalam perspektif temporal yang dimulai

dari munculnya kesadaran bersama tentang asal usul dan cita-cita suatu kelompok

masyarakat dengan batas-batas fisik, sosial, dan simbolik tertentu (Anderson,

2001; Arnold, 2004). Hall menyebutkan bahwa identitas terdiri atas identitas diri

dan identitas sosial yang merupakan konstruksi individual dan terikat pada

struktur sosial (Hall, 1990). Melihat kota Demak sebagai „kota wali‟ sama seperti

melihat keutuhan sebuah tradisi yang dimiliki oleh Demak dengan simbol-simbol

magisnya dan menjadi jalan bagi masyarakatnya untuk dapat merumuskan dan

menanggapi persoalan-persoalan dasar dari keberadaannya. Terbentuknya sebuah

tradisi bagi masyarakat diyakini mampu menciptakan kesepakatan yang ingin

dicapai masyarakat mengenai soal hidup dan mati. Sebuah tradisi yang dihadirkan

tentunya harus bersifat luwes dan cair sehingga mampu secara terus menerus

berkembang seiring dengan konstruksi masyarakat yang membentukya.

F. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah field research (penelitian lapangan). Dalam

metode utama penelitian kali ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif,

yakni data disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka. Selain

menggunakan data primer, penulis juga menggunakan data sekunder sebagai

pendukung dalam penelitian. Metode utama yang digunakan dalam penelitian

adalah observasi partisipasi dan etnografi, dimana peneliti menggunakan

pendekatan secara sosiologis antropologis. Dengan pendekatan ini suatu fenomena

sosial dapat dianalisa dengan faktor-faktor pendorong yang mendasari terjadinya

fenomena yang ingin dilihat penulis.

17

Lokasi yang dipilih dalam penelitian tugas akhir penulis kali ini berada di

lokasi yang menjadi titik sentral dari simbol lokal wisdom yang dimiliki oleh

Kabupaten Demak. Lokasi tersebut diantaranya adalah Masjid Agung Demak

yang berada di Kecamatan Demak, Kabupaten Demak. Awal pemilihan lokasi

tersebut berangkat dari ketertarikan penulis untuk melihat Demak sebagai kota

kecil di tengah pulau Jawa bagian Utara yang mempunyai pesona magisnya

sebagai “kota wali”. Seperti yang sudah banyak dikenal luas oleh masyarakat

Muslim di Indonesia bahwa kota Demak memliki keistimewaan sebagai kota yang

mempunyai obyek wisata religinya.

Untuk pemilihan informan dalam penelitian tugas akhir ini, penulis

membagi menjadi tiga informan utama yaitu takmir Masjid Agung Demak yang

berasal dari wilayah asli Demak, lalu takmir yang berasal dari luar wilayah

Demak dan yang ketiga merupakan masyarakat yang berasal dari luar

(pengunjung). Sebagaimana yang dikatakan oleh Spradley bahwa untuk

mendapatkan data yang baik, pemilihan informan yang baik juga akan membantu

dalam mengetahui budaya mereka dengan baik tanpa harus memikirkannya

(Spradley, 2007: 69).

Ada sekitar 12 orang yang terdaftar sebagai takmir Masjid Agung Demak

yang masih aktif sebagai pengurus Masjid Agung Demak. Tidak semua takmir

Masjid Agung Demak dipilih menjadi informan utama dalam penelitian penulis

kali ini. Hal ini timbul dari beberapa pertimbangan penulis untuk dapat

mengetahui informasi secara lebih mendalam mengenai orang-orang yang bisa

dijadikan narasumber dalam proses pengumpulan data. Takmir masjid yang

18

dipilih menjadi informan utama penulis merupakan orang yang sudah lama

terlibat langsung dalam segala kegiatan kepengurusan masjid dan tentunya sudah

mengenal lebih mengenai kondisi dan dinamika yang terjadi di Masjid Agung

Demak.

Ada dua pengurus takmir Masjid Agung Demak yang dijadikan narasumber

utama untuk studi kasus penelitian penulis di Masjid Agung Demak. Alasan

penulis memilih dua orang pengurus takmir ini ialah masing-masing dari mereka

sudah dianggap mewakili untuk mendapatkan informasi secara mendetail dari

makna dibalik tindakan dari pengalaman mereka yang terkait dengan

permasalahan dalam penelitian penulis. Ada bentuk struktur keorganisasian dari

kepengurusan takmir Masjid Agung Demak yang terbagi ke dalam empat

kelompok kepengurusan diantaranya; bagian Imaroh untuk mengurusi segala

kegiatan peribadatan (ibadah), Idaroh untuk bagian keamanan dan kesejarahan,

Rirayah untuk bagian pelestarian dan pembangunan infrastuktur bangunan masjid,

mencakup perawatan untuk benda-benda cagar budaya yang masih disimpan di

dalam Masjid Agung Demak. Untuk bagian yang terakhir adalah kepengurusan

pemuda dan kewanitaan.

Melihat tiga informan utama penulis, masing-masing dari mereka

mempunyai bagian tersendiri dalam struktur kepengurusan, maka hal tersebut

akan memberikan variasi informasi yang bisa dikumpulkan oleh penulis, sehingga

data yang didapat oleh penulis tidak hanya terpaku kepada satu opini saja. Hal ini

memberikan pandangan untuk penulis untuk dapat lebih memahami data yang

ingin penulis kumpulkan dari permasalahan penelitian.

19

Untuk memperoleh data yang diinginkan, penulis menggunakan metode

wawancara mendalam (in dept interview) dimana pertanyaan yang diajukan tidak

terikat dengan struktur pertanyaan. Wawancara dilakukan dengan teknik random

yakni memilih secara acak pada populasi yang akan digali informasinya. Selain

itu, penulis juga menggunakan metode observasi partisipasi dengan terlibat

langsung dalam lingkungan yang diteliti. Setelah itu, data yang didapat dari hasil

observasi partisapasi tadi diolah ke dalam tulisan dengan bentuk cerita atau

deskripsi mengenai fenomena yang ditemukan di lapangan (etnografi).

Dalam melakukan observasi awal, peneliti melakukan perkenalan dengan

mendatangi salah satu pengurus takmir Masjid Agung Demak yaitu Mbah Kus

untuk meminta ijin kepada mereka perihal penelitian yang akan dilakukan. Lalu

peneliti mengamati aktifitas yang terjadi di sekitar kawasan komplek area Masjid

Agung Demak untuk pengamatan awal dan perkenalan lingkungan. Untuk

observasi awal, peneliti banyak mendokumentasikan hasil pengamatan dengan

menggunakan kamera digital sebagai alat mengumpulkan data. Setelah itu peniliti

melakukan wawancara terhadap informan di awal pertemuan dengan

menggunakan alat recorder untuk membantu memudahkan dalam proses

wawancara dengan informan yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan ini tidak

saja berfokus kepada jawaban berdasarkan hasil jawaban dari wawancara yang

dilakukan, namun aspek lainnya seperti hasil pengamatan yang dilakukan juga

dipertimbangkan dalam proses input data pada tulisan. Data dari hasil wawancara

dan observasi partispasi yang dilakukan akan menjadi data primer dalam

penelitian ini.

20

Metode dokumentasi atau data sekunder juga digunakan dalam penelitian

yang dilakukan penulis seperti hasil catatan transkrip, buku-buku, surat kabar,

informasi dari internet, majalah, jurnal ilmiah, laporan-laporan penelitian yang

relevan, dan foto-foto yang diambil ketika penulis melakukan penelitian di

lapangan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan deskriptif

analisis, yaitu dengan mendeskripsikan berbagai cerita yang dikumpulkan dari

hasil wawancara mendalam sesuai dengan tema penelitian yaitu konstruksi simbol

kota Demak sebagai “kota wali”.

G. Sistematika Penulisan

Untuk dapat memudahkan pembaca dalam mempelajari skripsi ini, maka

penulis akan menjelaskan mengenai sistematika dalam penelitian skripsi ini.

Penelitian dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, yang dibagi lagi kedalam sub-

sub bab yang ada. Bab I merupakan pendahuluan dimana pada bab ini dijelaskan

mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan

teori, dan metode penelitian yang digunakan. Bab II berisi mengenai gambaran

umum mengenai Kabupaten Demak sebagai kota wali di pesisir Utara Jawa yang

melingkupi letak geografis, keadaan social-budaya, keadaan ekonomi penduduk,

dan sejarah kota Demak.

Bab III merupakan pembahasan mengenai Masjid Agung Demak dengan

kompleksitas simbol yang telah terkonstruksi. Bab IV merupakan pengembangan

dari Bab III. Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai konstruksi magis Demak

yang dilihat dari proses munculnya tradisi Grebeg Besar yang masih berhubungan

dengan Masjid Agung Demak. Pada bab ini penulis memberikan analisis

21

deskriptifnya mengenai bentuk konstruksi dari bentuk cerita dan realita yang

terlihat. Bab V merupakan bab penutup yang berisi mengenai kesimpulan dan

saran-saran.