bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/t1_312011069_bab...

20
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, hal ini dikarenakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) saling berkaitan satu dengan yang lain. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal mengenai perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Negara Indonesia sedang giat dalam membenahi permasalahan yang sangat penting tentang HAM pada segala aspek kehidupan khususnya pada perlindungan terhadap anak di Indonesia 1 . Di semua negara termasuk Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa. Oleh karena itu, setiap anak harus mendapatkan pembinaan sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluas- luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial 2 . Pengertian anak menurut Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (1) tentang perlindungan anak “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan 3 . 1 Pinasalo,M. Pelaksanaan penyelidikan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak (studi kasus di Polres Pasaman Barat). Skripsi, Universitas Andalas Padang . 2011. 2 Razi,F. Tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak di bawah umur ditinjau dari aspek perlindungan terhadap anak (studi analisis putusan pengadilan negeri Lhokseumawe No.60/Pid.B/2013/PN-LSm dan No 117/Pid.B/2013/PN-LSM). Skripsi, Universitas Sumatera Utara . 2014. 3 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Upload: phamhanh

Post on 06-Apr-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi

Manusia, hal ini dikarenakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)

saling berkaitan satu dengan yang lain. Hukum merupakan wadah yang

mengatur segala hal mengenai perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.

Negara Indonesia sedang giat dalam membenahi permasalahan yang

sangat penting tentang HAM pada segala aspek kehidupan khususnya pada

perlindungan terhadap anak di Indonesia 1.

Di semua negara termasuk Indonesia, anak adalah penerus cita-cita

perjuangan suatu bangsa. Oleh karena itu, setiap anak harus mendapatkan

pembinaan sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang

seluas- luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal,

baik fisik, mental maupun sosial 2. Pengertian anak menurut Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (1) tentang perlindungan

anak “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan ” 3.

1 Pinasalo,M. Pelaksanaan penyelidikan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak

(studi kasus di Polres Pasaman Barat). Skripsi, Universitas Andalas Padang . 2011.

2 Razi,F. Tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak di bawah umur ditinjau dari aspek

perlindungan terhadap anak (studi analisis putusan pengadilan negeri Lhokseumawe

No.60/Pid.B/2013/PN-LSm dan No 117/Pid.B/2013/PN-LSM). Skripsi, Universitas Sumatera

Utara . 2014.

3 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

2

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 3

tentang Perlindungan Anak “Perlindungan anak bertujuan untuk

menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,

berakhlak mulia, dan sejahtera” 4. Pada dasarnya perlindungan anak

bertujuan untuk menjamin terpenuhinya dua hal yaitu hak-hak anak dan

kesejahteraan anak. Apapun perbuatan yang dilakukan oleh orang tua atau

para pihak yang terlibat dengan anak harus memperhatikan dua tujuan

tersebut. Kepentingan terbaik bagi anak harus didahulukan. Dalam hal ini

yang dimaksud hak-hak anak adalah berbagai kebutuhan dasar yang

seharusnya diperoleh anak untuk menjamin kelangsungan hidup, tumbuh

kembang dan perlindungan dari segala bentuk perlakuan salah, eksploitasi

dan penelantaran terhadap anak, baik yang mencakup hak sipil, ekonomi,

sosial dan budaya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak disebutkan 5:

a. Pasal 4 “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”.

4 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

5 Ibid.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

3

b. Pasal 8 “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan

jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan

sosial”.

c. Pasal 8 ayat (1) “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan

pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat

kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”.

d. Pasal 13 “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali,

atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas

pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :

a. Diskriminasi;

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c. Penelantaran;

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

e. Ketidakadilan; dan

f. Perlakuan salah lainnya

Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala

bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 80 ayat (1), maka pelaku dikenakan

pemberatan hukuman” .

c. Pasal 80 ayat (1) “Setiap orang yang melakukan kekejaman,

kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

4

anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6

(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00

(tujuh puluh dua juta rupiah)”.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman, disamping Mahkamah Agung dan badan-badan

peradilan yang berada di bawahnya 6. Sebagai sebuah lembaga peradilan,

Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran strategis dalam mengawal

dan menjamin terlaksananya prinsip-prinsip dan norma yang

terkandung dalam konstitusi sebagai norma tertinggi

penyelenggaraan hidup bernegara (the supreme law of the land). Karena

itu, Mahkamah Konstitusi disebut juga sebagai the guardian of the

constitution 7. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki 4

(empat) kewenangan dan satu kewajiban, adapun kewenangan tersebut

yaitu (i) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, (ii) menguji

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, (iii) memutus

sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan

oleh Undang-Undang Dasar, (iv) memutus pembubaran partai politik,

dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

6 Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1994.

7 Hamdan Zoelva, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Constitutional Complaint dan

Constitutional Question,(Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia), hal. 4. Makalah disampaikan

pada acara Dialog Akademik Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 8

November 2010.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

5

Berkenaan dengan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi diatas,

terdapat satu perselisihan dimana dengan disetujuinya Pasal 7 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan oleh

Mahkamah Konstitusi yang berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika

pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak

wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Hal tersebut

menimbulkan pro dan kontra pada beberapa pihak dengan alasan

mempertimbangkan hak anak karena dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “Anak adalah seseorang yang

belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam

kandungan”.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyetujui Pasal 7 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga mendapat

pro dan kontra yang berkaitan dengan hak anak yang terdapat dalam

“Konvensi Hak-Hak Anak”. Indonesia merupakan salah satu dari 192

negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the

Right of the Children) yang disahkan melalui Keppres Nomor 36 Tahun

1990 dimana Pasal 1 konvensi ini menyatakan bahwa anak adalah setiap

manusia yang berada dibawah 18 tahun kecuali, berdasarkan Undang-

Undang yang berlaku untunk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih

cepat. Pada dasarnya instrumen hak asasi manusia, yang bersifat

internasional (Internasional Human Rights Law) ataupun yang sudah

diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, tidak menyebutkan secara

eksplisit tentang batas usia perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

6

on the Rights of the Child 1989 yang telah diratifikasi melalui Keppres

Nomor 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan usia minimal perkawinan

selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusia

di bawah 18 tahun. Namun hal tersebut secara jelas memiliki kaitan

dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (1) tentang

Perlindungan Anak.

Isi dari Konvensi Hak Anak adalah sebagai berikut 8:

a. Pasal 5 “Negara-negara peserta akan menghormati tanggungjawab,

hak dan kewajiban para orangtua atau, dimana dapat diterapkan,

para anggota keluarga besar atau masyarakat sebagaimana yang

ditentukan oleh adat istiadat setempat, wali yang sah atau orang-

orang lain yang secara hukum bertanggungjawab atas anak yang

bersangkutan, untuk memberi arahan dan bimbingan yang layak

kepada anak mengenai penerapan hak-haknya yang diakui dalam

Konvensi ini, dengan cara yang sesuai dengan kemampuan anak”.

b. Pasal 6 ayat (2) “Negara-negara peserta semaksimal mungkin

akan menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak”.

c. Pasal 12 ayat (1) “Negara-negara peserta akan menjamin anak-

anak, yang mampu membentuk pandangannya sendiri, bahwa

mereka mempunyai hak untuk menyatakan pandangannya secara

bebas dalam semua hal yang menyangkut anak, dan bahwa

8 Ibid.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

7

pandangan anak diberi bobot sesuai dengan usia dan kematangan

anak”.

d. Pasal 14 ayat (2) “Negara-negara peserta akan menghormati hak

dan kewajiban kedua orang tua dan apabila sesuai hak dan

kewajiban wali yang sah, untuk memberi pengarahan kepada anak

dalam menetapkan haknya dengan cara yang sesuai dengan

perkembangan kemampuan anak”.

e. Pasal 18 ayat (1) “Negara-negara peserta akan membuat upaya

yang terbaik guna menjamin pengakuan atas prinsip bahwa kedua

orangtua memikul tanggungjawab bersama untuk membesarkan

dan menumbuh kembangkan anak. Orang tua, atau kemungkinan,

wali yang sah memikul tanggungjawab utama untuk membesarkan

dan menumbuh kembangkan anak yang bersangkutan.

Kepentingan terbaik dan anak akan menjadi perhatian utama

orangtua atau wali”.

f. Pasal 19 ayat (1) “Negara-negara peserta akan mengambil langkah

langkah legislatif, administnatif, sosial dan pendidikan yang layak

guna melindungi anak dan semua bentuk kekerasan fisik atau

mental, cedera atau penyalahgunaan, pengabaian atau tindakan

penelantaran, perlakuan salah, atau eksploitasi, termasuk

penyalahgunaan seksual, sementara mereka berada dalam

pengasuhan orang tua, wali yang sah atau setiap orang lain yang

merawat anak”.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

8

g. Pasal 24 ayat (2) a, b, dan f “Negara-negara peserta akan

mengupayakan pelaksanaan sepenuhnya hak ini dan, khususnya,

akan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk:

Mengurangi kematian bayi dan anak;

Menjamin pengadaan bantuan medis dan perawatan

kesehatan yang diperlukan untuk semua anak dengan menitik

beratkan pada pengembangan pelayanan kesehatan dasar;

h. Mengembangkan perawatan kesehatan preventif, bimbingan untuk

para orang tua dan pendidikan serta pelayanan tentang keluarga

berencana.

i. Pasal 27 ayat (1) dan (2) “(1) Negara-negara peserta mengakui

hak setiap anak atas taraf hidup yang layak bagi pengembangan

fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak”, (2) Orang tua atau

orang lain yang bertanggungjawab atas anak memikul

tanggungjawab utama untuk menjamin, dalam batas kemampuan

dan kapasitas keuangan mereka, kondisi kehidupan yang

diperlukan bagi pengembangan anak”.

j. Pasal 28 ayat (1) e “Mengambil langkah-langkah untuk

mendorong kehadiran anak secara teratur di sekolah dan penurunan

tingkat putus sekolah”.

Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia memiliki kewajiban

untuk memenuhi hak-hak anak bagi semua anak tanpa kecuali. Salah satu

hak anak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan adalah hak-hak

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

9

anak yang mengalami permasalahan dalam hal usia perkawinan. Negara-

negara yang meratifikasi konvensi internasional ini terikat untuk

menjalankannya sesuai dengan hukum internasional. Tahun 1990

Negara Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak kedalam

Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan

Convention On The Rights Of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak

Anak). Setelah peratifikasian dilakukan, maka secara hukum

menimbulkan kewajiban kepada negara Indonesia untuk

mengimplementasikan hak-hak anak tersebut 9. Perlindungan anak

merupakan segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi

agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi

perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental,

dan sosial10

.

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang

belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Dilanjutkan pada Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, ”orang tua berkewajiban dan

bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia

anak-anak”. Ada kaitannya dengan Konvensi Hak Anak pada Pasal 27

ayat (2), dimana setiap orang tua bertanggungjawab kepada kehidupan

9 Muhammad Joni dan Zulchaina Z.Tanamas, Aspek Hukum perlindungan Anak, PT.Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1999, h. 68.

10 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 33.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

10

tumbuh kembang anak salah satunya adalah tentang kehidupan perkawinan

anak. Bagian ini pun kurang dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi

sehingga hal tersebut juga melanggar Konvensi Hak Anak.

Tidak dapat dipungkiri, ternyata batasan umur yang rendah bagi

seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi dan

berakibat pula pada kematian ibu hamil yang cukup tinggi pula. Pengaruh

buruk lainnya adalah kesehatan reproduksi wanita menjadi terganggu11

.

Penting untuk diketahui dampak dari pernikahan di bawah umur saat

perkembangan fisik dan psikis yang belum sempurna dapat memicu

beberapa hal yang tidak dinginkan. Peramasalahan dalam lingkup pribadi,

asa adolesensi atau remaja yakni wanita yang memasuki usia akhir

pubertas antara 17-19 atau 17-21 tahun12

, mengalami gejolak-gejolak

secara psikis yang menjadikan dirinya belum stabil sepenuhmya sehingga

pada usia ini gadis remaja perlu pemantauan dan pendidikan lebih dari

orang tuanya sebagai pengimbang masa transisi dai pubertas

keadolesensi13

.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014

“Menolak uji materi atas Undang-Undang perkawinan dengan alasan

ketentuan itu merupakan kebijakan hukum terbuka (Open Legal Policy )

yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai

dengan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut merupakan

11

Wila Chandrawila Supriadi, Perempuan dan Kekerasan dalam Perkawinan, Mandar Maju,

Bandung, 2001, h. 75.

12 Kartini Kartono, Psikologi Wanita Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa. Jilid 1,

Mandar Maju, Bandung, 2006, h. 66.

13 Ibid.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

11

kewenangan pembentuk undang-undang yang apapun pilihannya tidak

dilarang dan selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam perkara

a quo, UUD 1945 tidak mengatur secara jelas perihal batasan usia seorang

disebut sebagai anak. Mahkamah Konstitusi juga mempertimbangkan

bahwa semua masalah terkait akibat perkawinan anak (kesehatan,

pendidikan, perceraian, dan beban sosial) tidak menjamin dapat

diselesaikan dengan ditingkatkannya batas minimum usia perkawinan anak

perempuan. Sebab masalah-masalah kongkrit terkait perkawinan anak

tidak murni disebabkan aspek usia semata. Kemudian ketentuan pasal 7

ayat (2) mengenai dispendasi perkawinan Mahkamah Konstitusi

berpendapat bahwa “frase penyimpangan” masih dibutuhkan sebagai

“pintu darurat” apabila terdapat hal-hal memaksa atas orang tua untuk

kawin. Dengan berbagai pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang

diuraikan seperti diatas Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa para

pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan

permohonan a quo dan pokok permohonan para pemohon tidak beralasan

menurut hukum.

Mahkamah Konstitusi menyetujui Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berdasarkan putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014 “Menolak permohonan para

pemohon (Lembaga Swadaya Masyarakat dari perlindungan anak dan

perempuan) Untuk seluruhnya” diantaranya:

1. Zumrotin ( Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan).

2. Indry Oktaviani ( Direktur Organisasi Semerlak Cerlang Nusantara).

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

12

3. Fr. Yohana Tantria W. (Koordinator Eksekutif Masyarakat untuk

Keadilan Gender dan Antar Generasi).

4. Dini Anitasari Sa’baniah ( Associate pada Organisasi SCN).

5. Hadiyatut Thoyyibah (Staf Sistem Manajemen Informasi Pada

Sekertariat Koalisi Perempuan Indonesia).

6. Ramadhaniati ( Staf pada Organisasi KPI).

7. Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) dalam hal ini diwakili oleh

Agus Hartono (ketua YPHA).

8. Koalisi Perempuan Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Kartika

Sari (Sekertaris Jendral Koalisi Permpuan Indonesia).

Para pemohon (LSM) mengajukan permohonan tentang pengujian

kembali Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan sepanjang frasa 16 (enam belas) tahun dan Pasal 7 ayat (2)

undang-undang Perkawinan adalah demi pengakuan, perlindungan hak-

hak asasi anak, khususnya anak perempuan Indonesia, serta memberikan

kepastian hukum yang adil bagi warga negara sebagaimana diamandatkan

oleh UUD 1945. Permohonan pengujian kembali undang-undang

perkawinan dilandasi bahwa dalam ketentuan pasal 7 ayat (1) sepanjang

frasa “16 (enam belas) tahun” undang-undang perkawinan telah

menciptakan situasi ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Alasan inilah yang

menjadi salah satu alasan permohonan dilakukannya pengujian kembali

Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

13

Adapun terhadap frasa “pejabat lain” dalam pasal 7 ayat (2)

Undang-Undang perkawinan tersebut, menurut mahkamah, ketentuan a

quo tetap dibutuhkan karena juga dapat berfungsi sebagai “pintu darurat”

apabila orang tua pihak pria maupun wanita dan/atau wali mereka

mengalami kesulitan atau keterbatasan askes untuk menjangkau dan

meminta dispensasi kepada pengadilan. Sebagai contoh, wewenang untuk

memberikan dispensasi untuk melaukan penyimpangan tersebut dapat saja

diberikan oleh pejabat dari Kantor Urusan Agama (KUA) atau bahkan

pejabat dari kantor desa/kelurahan hingga kecamatan setempat karena

alasan kemudahan akses bagi orang tua calon mempelai maupun karena

pejabat tersebut memiliki kecakapan atau kompetensi untuk memberikan

pertimbangan dan keputusan perihal dapat atau tidak dapatnya orang tua

calon mempelai tersebut melalukan penyimpangan terhadap usia anaknya

untuk melangsungkan pernikahan.

Pandangan masyarakat tentang pututsan Mahakamah Konstitusi

“Bila Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak ada jaminan yang dapat

memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk

perempuan dari 16 ke 18 tahun akan kian mengurangi angka perceraian,

menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalkan

permasalahan sosial lain, maka dapat pula ditanyakan balik apa salahnya

jika batas usia itu dinaikkan dari 16 dan 19 ke 18 dan 20?. Apakah

melanggar moral, etika, agama atau hukum mana yang dilanggar?

Apakah perkembangan yang demikian masih di dunia pendidikan,

kesehatan, serta perlindungan anak dan kesejahteraan sosial tak cukup

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

14

menjadi bukti bahwa perkawinan yang dilakukan terlalu dini secara

kualitatif dan prediktif telah dan akan melahirkan kualitas generasi yang

lemah karena kenyataannya pada usia itu mereka belum matang

sebagaimana filosofi sebuah perkawinan. Menurut Prof. Suteki Mahkamah

Konstitusi secara khusus dalam putusan tersebut peka dan tidak progresif

14.

Menurut Hilman Hadikusuma, usia perkawinan perlu dibatasi

dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pernikahan anak yang

masih asyik dengan dunia bermain. Jadi, supaya dapat membentuk

keluarga yang kekal dan bahagia, maka calon mempelai laki-laki dan

perempuan harus benar-benar telah siap jiwa dan raganya, serta mampu

berfikir dan bersikap dewasa. Selain itu, batasan usia nikah ini juga

untuk menghindari terjadinya perceraian dini, supaya melahirkan

keturunan yang baik dan sehat, dan tidak mempercepat pertambahan

penduduk15

.

Pada putusan Mahakamah Konstitusi yang menyetujui Pasal 7 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

menimbulkan pro dan kontra dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang perlindungan anak. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan

lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

14

Prof. Suteki, "Usia Perkawinan Progresif,” Kompas, 24 Juni, 2015, h. 6.

15 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan (Hukum Adat

dan Hukum Agama), Mandar Maju, Bandung, 2007, h. 48.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

15

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”.

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Pasal 1 ditetapkan bahwa “tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga

bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan

melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya

membantu dan mencapai kesejahterah spiritual dan materill”. Selain itu,

dalam undang-undang tersebut ditetapkan “ undang-undang ini menganut

prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk

melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan

perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat

keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya

perkawinan antar calon suami isteri “yang masih di bawah umur”.

Berdasarkan perkembangan peraturan perundang-undangan di

Indonesia saat ini, khususnya yang mengatur tentang perlindungan anak

saat ini sudah mengalami perubahan dari Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, tetapi dalam item perkaranya

masih menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirumuskan sebagai berikut :

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :

a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak;

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

16

b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan,

bakat, dan minatnya; dan

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Berdasarkan uraian di atas, penulis melihat bahwa terjadi

disharmonisasi putusan Mahkamah Konstitusi antara Undang-Undang

perlindungan anak dengan Undang-Undang perkawinan dimana dalam

Undang-Undang Perlindungan Anak di atur mengenai anak adalah seorang

yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau masih dalam

kandungan sedangkan dalam Undang-Undang perkawinan diatur batas

usia minimal perkawinan anak adalah 19 (Sembilan belas) tahun untuk

anak laki-laki dan 16 (enam belas) tahun untuk anak perempuan, hal

tersebut yang mendorong penulis dalam mengangkat topik tentang

“DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 30-74//PUU-XII/2014 MENGENAI BATAS

MINIMAL USIA PERKAWINAN DIKAITKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 JO UNDANG-UNDANG

NO 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK .”

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagaimana kajian yuridis, filosofis, sosiologis dalam Dissenting Opinion

dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014

dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

17

C. Tujuan Penulisan

Dari uraian masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini yaitu :

Untuk mengetahui dan menganalisis aspek pertimbangan Mahkamah

Konstitusi yang dikaitkan dengan hak-hak anak dari perspektif Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo Undang-Undang 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak .

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritis berupa

sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum yang

berkaitan dengan apakah pertimbangan Mahkamah Konstitusi sudah

tepat apabila dikaitkan dengan hak-hak anak dari perspektif Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo Undang-Undang 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengamati sejauh

mana efektifitas dan efisiensi pertimbangan Mahkamah Konstitusi

jika dikaitkan dengan hak-hak anak dari perspektif Undang-Undang

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

18

Nomor 23 Tahun 2002 Jo Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis

penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif hanya melibatkan satu

variabel (univariat)”, di mana penelitian deskriptif seperti ini tetap

terbatas pada kemampuannya untuk menjelaskan realitas seperti apa

adanya16

. Penelitian deskriptif bermaksud untuk memberikan uraian

mengenai gejala sosial yang diteliti. Dalam penelitian ini bertujuan

mendeskripsikan apakah pertimbangan Mahkamah Konstitusi sudah

tepat apabila dikaitkan dengan hak-hak anak dari perspektif Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif yakni

mengkaji peraturan perundang-undangan, kebijakan dan asas-asas

hukum. Penelitian ini mengkaji hak-hak anak perempuan serta

bentuk perlindungan hukum bagi anak.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kasus (Case

Approach) dimana dilakukan kajian terhadap kasus-kasus yang

berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan

pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

16

Prasetya Irawan, Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta:

Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006,

h. 101.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

19

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis yaitu:

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan

atau dokumen pustaka untuk memperoleh wacana atau pengetahuan

terkait dengan data yang dikaji.

3. Sumber Data

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah data yang digunakan sebagai

bahan utama dalam penelitian ini dimana dalam hal ini adalah

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Jo UU 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan anak dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 30-74/PUU-XII/2014.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil

penelitian, hasil karya kalangan hukum dan sebagainya 17

. Bahan

hukum sekunder adalah data yang dipergunakan sebagai bahan

pendukung dalam penelitian ini dalam hal ini data sekunder

17

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, h. 7-8.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/1/T1_312011069_BAB I.pdfperlindungan terhadap anak di Indonesia 1. Di semua negara termasuk Indonesia,

20

berupa buku literature, tesis, arsip yang sesuai dengan tema yang

dikaji.

F. Sistimatika Penulisan

a. BAB I : Pada Bab ini berisikan uraian orientasi tentang penelitian

yang akan dilakukan. Meliputi :

a. Latar Belakang Masalah

b. Rumusan Masalah

c. Tujuan Penelitian

d. Manfaat penelitian

e. Metode Penelitian

b. BAB II : Bab ini berisikan uraian pembahasan atau analisis

terhadap permasalahan penelitian. Penulis akan menguraikan hasil

dari analisa tentang kasus yang dipelajari, yaitu tentang Dissenting

Opinion dalam kasus putusan Makhamah Konstitusi Nomor 30-

74/PUU-XII/2014 mengenai batas usia perkawinan yang dikaitkan

dengan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 Jo Undang-

Undang Nomor. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.

c. BAB III : Bab ini berisikan tentang Kesimpulan dan Saran penulis.