bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/t1_312005001_bab...

13
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 angka 15 UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengartikan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerja, upah dan perintah. Selanjutnya dalam Pasal 50 dinyatakan hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau buruh. Dari ketentuan-ketentuan tersebut jelas bahwa hubungan kerja adalah hubungan hukum yang berdasarkan perjanjian, yakni perjanjian kerja. Syarat-syarat suatu perjanjian kerja bersama ditentukan dalam UU no 13 tahun 2003 Pasal 52 ayat (1). Ketentuan tersebut mensyaratkan suatu perjanjian kerja harus dibuat atas dasar : a. Kesepakatan kedua belah pihak, b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, c. Adanya pekerjaan yang dijanjikan, d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila tidak terpenuhi salah satu syarat dari keempat unsur tersebut akan menyebabkan cacat dalam perjanjian. Perjanjian tersebut diancam batal, baik

Upload: truonghanh

Post on 08-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/T1_312005001_BAB I.pdf · hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 angka 15 UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengartikan

hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh

berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerja, upah dan perintah.

Selanjutnya dalam Pasal 50 dinyatakan hubungan kerja terjadi karena adanya

perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau buruh.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut jelas bahwa hubungan kerja adalah

hubungan hukum yang berdasarkan perjanjian, yakni perjanjian kerja.

Syarat-syarat suatu perjanjian kerja bersama ditentukan dalam UU no 13

tahun 2003 Pasal 52 ayat (1). Ketentuan tersebut mensyaratkan suatu perjanjian

kerja harus dibuat atas dasar :

a. Kesepakatan kedua belah pihak,

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum,

c. Adanya pekerjaan yang dijanjikan,

d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila tidak terpenuhi salah satu syarat dari keempat unsur tersebut akan

menyebabkan cacat dalam perjanjian. Perjanjian tersebut diancam batal, baik

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/T1_312005001_BAB I.pdf · hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

2

dalam bentuk kebatalan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif),

maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif)1.

Pengertian perjanjian yaitu perbuatan yang dilakukan dua orang atau lebih

yang isi perjanjian tersebut didasarkan atas kesepakatan atau persetujuan

bersama.2

Subekti mengatakan

“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melakukan

suatu hal.”3

Sedangkan menurut Pasal 1313 KUH Perdata, Perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lainnya atau lebih. Perjanjian adalah persetujuan yang dirumuskan secara

tertulis yang melahirkan bukti tentang adanya hak dan kewajiban.4

Berdasarkan syarat-syarat tersebut di atas, maka hubungan kerja antara

pekerja dengan pengusaha dapat terjadi karena adanya kesepakatan atas

pertukaran mengenai hak dan kewajiban antara pekerja dengan pengusaha.

Dalam hal ini pekerja bersedia bekerja untuk perusahaan berdasarkan syarat-

syarat kerja yang ditentukan atau disepakati dengan perusahaan, sementara

perusahaan bersedia memberikan upah atau imbalan. 1 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, hal 94 2 Abdul Kadir Muhamad, Hukum Perjanjian, Bandung, 1992, hal 5 3 Subekti R., Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993 4 Kusumo Hamidjojo, Budiono, Dasar-Dasar Merancang Kontrak, Gramedia Media Sarana, Jakarta 1998, hal 6

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/T1_312005001_BAB I.pdf · hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

3

Hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan

berdasarkan prestasi timbal balik pekerja di satu pihak dan pengusaha di pihak

sebaliknya.

Prestasi-prestasi seperti inilah yang kemudian dijadikan indikator atas

terjadinya atau berakhirnya hubungan kerja yang diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.5

Sebagai akibat dari sifat hubungan kerja, yang pada dasarnya ada perbedaan

kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha maka hubungan

kerja/hubungan industrial merupakan sisi rawan di dalam ketenaga kerjaan.

Perbedaan kepentingan antara pengusaha dengan pekerja/buruh sering

menimbulkan perselisihan yang berpotensi berkembang menjadi perselesihan

hubungan industrial.

Pasal 1 angka 22 Undang-Undang no 13 tahun 2003 dan pasal 1 Undang-

Undang no 2 tahun 2004 memberikan pengertian yang sama tentang perselesihan

hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar

serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

5 Pramono, Heru, Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan Low Performance, Varia Peradilan no 271, Juni 2008

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/T1_312005001_BAB I.pdf · hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

4

Setiap perusahaan yang sehat senantiasa mengharapkan kinerja operasional

perusahaannya selalu tinggi yang akan bermuara pada tingkat produktifitas yang

diharapkan. Faktor utama kinerja operasional perusahaan adalah para pekerjanya,

atau dengan kata lain kinerja operasional perusahaan ditentukan oleh tingginya

tingkat kinerja para pekerjanya.

Hukum positif yang mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja adalah

UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya dalam Bab XII, Pasal

150 sampai dengan Pasal 172. Sedangkan prosedur penyelesaian perselisihan

hubungan kerja diatur dalam UU no 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial.

UU no 2 tahun 2004 mengatur keberadaan berbagai kelembagaan

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang pada dasarnyan dibagi

menjadi 2 (dua). Lembaga yang dimaksud adalah Lembaga Penyelesaian

Perselesihan Hubungan Industrial yang dilakukan di dalam pengadilan yaitu,

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan Lembaga Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial bisa melalui mekanisme Bipartit (antara pengusaha dan

pekerja) atau bisa juga melalui pihak ke 3 (tiga) yaitu melalui Mediasi.

Dalam beberapa kasus Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja yang masuk

pada Dinas Sosial Tenaga Kerja Transmigrasi Kabupaten Pati yang diproses

melalui Mediasi menyebutkan bahwa alasan pemutusan hubungan kerja yang

dilakukan pengusaha terhadap pekerja/buruh adalah karena kinerja yang rendah

(low Performance).

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/T1_312005001_BAB I.pdf · hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

5

Beberapa kasus PHK yang diproses melalui Mediator dan Pengadilan

Hubungan Industrial yang terkait dengan alasan kinerja rendah ini adalah :

1) Perselisihan PHK anatara CV. Intan Karya Indah dengan pekerjanya

I’im Jajeri dan Romi Novianto.

Pekerja telah melakukan kesalahan, yaitu pekerja selama 2 (dua)

bulan bekerja tidak maksimal yaitu belum waktunya istirahat sudah

istirahat dan merokok di area bekerja, dan sama halnya dengan

pendapat dari mediator, bahwa PHK dikarenakan kinerja dari pekerja

dianggap tidak memenuhi syarat dan tidak maksimal.

2) Perselisihan PHK antara Pengusaha Hotel Graha Wisata dengan Co.

Serikat pekerja/serikat buruh dengan nama Pengurus Cabang Federasi

Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa dan Asuransi (PCNBA).

Mediator berpendapat bahwa PHK yang dilakukan karena kinerja

pekerja indisipliner dan tidak mampu melakukan pekerjaan yang

ditanganinya.

3) Perselisihan PHK antara PT BPR Juwana Artasurya dengan pekerjanya

bernama Anjar Novi Kristyowati, A.Md.

Mediator berpendapat bahwa perselisahan PHK dikarenakan pekerja

tidak mampu memenuhi target perusahaan yang ditetapkan oleh

pengusaha.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/T1_312005001_BAB I.pdf · hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

6

4) Perselisihan hubungan industrial antara PT. Bank Central Asia Tbk

cabang Pekalongan dengan Emma Meliyani.

Mediator berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 168 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan “ Pekerja

yang mangkir selama 5 (lima) hari berturut-turut tyanpa keterangan

tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh

pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan

kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”

5) Perselisihan hubungan industrial antara Sawab sebagai penggugat

yang bekerja sebagai Kepala Cabang Perum Pegadaian Blora (Jawa

Tengah) melawan Direksi Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian

sebagai tergugat.

Pertimbangan dari majelis hakim, bahwa kesalahan berat

sebagaimana ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf j dan Pasal 158 ayat

(2) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu melakukan perbuatan di lingkungan

perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan

telah dibuktikan dengan adanya pengakuan penggugat dan laporan

kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang di perusahaan serta

didukung oleh saksi-saksi

6) Perselisihan hubungan industrial antara Suyatno sebagai penggugat

yang bekerja sebagai Buruh PT. Sinar Pantja Djaja melawan PT. Sinar

Pantja Djaja sebagai tergugat.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/T1_312005001_BAB I.pdf · hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

7

Pertimbangan dari majelis hakim, bahwa tidurnya pada saat jam

kerja adalah bentuk kecerobohan dan kelalaian dari penggugat sebagai

karyawan/pekerja dan tidurnya penggugat pada waktu jam kerja

didasari adanya niatan untuk melakukan tidur, bahkan penggugat

sering melakukan pelanggaran-pelanggaran

7) Perselisihan hubungan industrial antara PT. Bank Rakyat Indonesia

(Persero) sebagai penggugat melawan Suratman yang bekerja sebagai

Karyawan BRI Banjarnegara sebagai tergugat.

8) Majelis Hakim berpendapat bahwa tergugat telah memenuhi kriteria

telah melakukan pelanggaran disiplin sesuai PKB dan peraturan disiplin

PT. BRI.

Hubungan kerja senantiasa terjadi di masyarakat. Di dalam hubungan kerja

memiliki potensi timbulnya perbedaan pendapat atau bahkan konflik, maka perlu

adanya pengaturan di dalam hubungan kerja

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh

berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan

perintah .6

Perjanjian kerja atau sekarang disebut kesepakatan kerja dibuat antara

pemberi dan penerima kerja, merupakan titik awal adanya hubungan kerja. Di

6 Undang-Undang Ketenaga Kerjaan 2003, Sinar Grafika, Hal 4

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/T1_312005001_BAB I.pdf · hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

8

dalamnya terkandung syarat-syarat kerja maupun beberapa hal mengenai

ketenagakerjaan.7

Berawal dari kasus-kasus tersebut di atas, kerja yang tidak maksimal dan

tidak disiplin menunjukkan sikap kerja yang tidak sesuai dengan standart yang

ditetapkan oleh perusahaan. Salah satu alasan yang sering dipakai oleh pengusaha

untuk melakukan PHK dengan pekerjanya adalah low performance dari pekerja.

Pengertian low performance secara bebas dapat diartikan dengan “kinerja rendah”

yang bertolak belakang dengan kinerja tinggi. Namun demikian Undang-undang

no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengenal istilah Low

Performance (kinerja rendah), akan tetapi terdapat istilah yang dapat digunakan

sebagai rujukan hukum mengenai kinerja rendah (low performace) adalah

“kompetensi”, yang berarti kemampuan kerja setiap individu yang mencakup

aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standart yang

ditetapkan (Pasal 1 butir 10 UU no 13 tahun 2003). Kerja yang tidak maksimal

dan tidak disiplin menunjukan sikap kerja yang tidak sesuai dengan standart yang

ditetapkan oleh perusahaan, sedangkan tidak mampu memenuhi target perusahaan

disebabkan oleh rendahnya kemampuan kerja, karena rendahnya pengetahuan dan

ketrampilan pekerja.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja rendah berarti melakukan

pekerjaan yang tidak memenuhi kompetensi. Dengan kata lain arti kinerja rendah

adalah tidak kompeten. Oleh karena itu kinerja rendah (low performance) dapat 7 Djumadi, Hukum Perburuhan (Perjanjian Kerja), Rajawali, Jakarta, cet. 1, 1992

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/T1_312005001_BAB I.pdf · hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

9

diartikan melakukan pekerjaan yang tidak memenuhi standart pengetahuan,

ketrampilan dan sikap kerja yang ditentukan oleh perusahaan.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kinerja adalah hasil kerja yang

dicapai seorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan

kepadanya8. Berkaitan dengan definisi tersebut maka alasan-alasan PHK dalam

kasus-kasus yang diteliti seperti kerja tidak maksimal, tidak disiplin, tidak dapat

memenuhi target perusahaan berarti tidak mampu melaksanakan tugas yang

dibebankan kepada pekerja sehingga pekerja memiliki kinerja yang rendah.

Meskipun demikian PHK harus dilakukan sesuai dengan mekanisme yang

telah ditetapkan dalam peraturan peundang-undangan. Dalam UU No. 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak mengatur tentang PHK yang dikarenakan

kerja tidak maksimal dan indisipliner, tetapi UU tidak memberikan batasan

kepada perusahaan untuk membuat peraturan perusahaan sendiri.

Dengan demikian tulisan ini akan memumpun pada konsep tentang kerja yang

tidak maksimal dan tidak disiplin menunjukan sikap kerja yang tidak sesuai

dengan standart yang ditetapkan oleh perusahaan, sedangkan tidak mampu

memenuhi target perusahaan disebabkan oleh rendahnya kemampuan kerja,

karena rendahnya pengetahuan dan ketrampilan pekerja.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan

menganalisa lebih jauh tentang “KINERJA RENDAH SEBAGAI ALASAN

PHK”. 8 Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, Halaman 60

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/T1_312005001_BAB I.pdf · hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

10

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka pemahaman yang

akan dibahas dalam penelitian ini adalah;

Apa yang dimaksudkan dengan konsep kinerja rendah sebagai alasan PHK

dalam hubungan industrial ?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini tujuan yang hendak dicapai adalah mengetahui apakah

yang dimaksud kinerja rendah/konsep kinerja rendah sebagai alasan PHK.

D. Metode Penelitian

Metode memegang peran penting dalammencapai suatu tujuan, termasuk

juga metode dalam suatu penelitian. Metode penelitian yang dimaksud adalah

cara-cara melaksanakan penelitian ( yaitu meliputi kegiatan mencari, mencatat,

merumuskan, menganalisis sampai menyusun laporan ) berdasarkan fakta-fakta

atau gejala-gejala secara ilmiah9. Dalam menyusun sekripsi ini, penulis

menggunakan penelitian sebagai berikut.

1. Metode Pendekatan

Penelitian dengan jenis yuridis normatif pada hakikatnya menunjukkan

pada suatu ketentuan, pendekatan penelitian dilakukan agar peneliti

mendapatkan informasi dari berbagai aspek untuk menemukan isu-isu yang

akan dicari jawabannya, adapun pendekatan dalam penelitian ini yaitu :

9 Kholid Narbukoi dan Abu Achmadi, Metode Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 2008

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/T1_312005001_BAB I.pdf · hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

11

a. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan

dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.10

Dalam penelitian normatif bertujuan untuk

mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang

dilakukan dalam praktik hukum. Jelas kasus-kasus yang telah

terjadi bermakna empiris, namun dalam penelitian normatif,

kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran

terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum

dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk

bahan masukan dalam eksplanasi hukum.11

b. Pendekatan Konseptual ( conceptual approach ) , pendekatan ini

dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk

masalah yang dihadapi, pendekatan koseptual ini beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkambang dalam ilmu

hukum, sehingga melahirkan pengertian hukum dan asas-asas hukum yang

relevan dengan permasalahan yang dihadapi.

c. Pendekatan Undang-Undang ( status approach) atau pendekatan yuridis,

yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum12. Pendekatan peraturan

10 http://www.scribd.com/doc/Pendekatan-Dlm-Penelitian-Hukum 11 Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal 105-106

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/T1_312005001_BAB I.pdf · hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

12

perundang-undangan ini dilakukan untuk menelaah semua undang-undang

dan regulasi yang berkaitan penelitian yang akan diteliti. Pendekatan

perundang-undangan ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk

mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian13 antara satu undang-

undang dengan undang-undang yang lain.

2. Sumber Hukum

Dalam pengumpulan bahan hukum, penulis mengambil sumber-sumber yang

berbentuk undang-undang, buku-buku yang terkait, artikel, dokumen-

dokumen serta karya ilmiah dari para sarjana.

Adapun bahan-bahan hukum dalam penelitian ini adalah :

1. Bahan-bahan hukum primer

Dalam penelitian ini yang termasuk bahan hukum primer adalah :

a. Putusan Pengadilan

1) Pertimbangan hakim/putusan hakim.

2) Dokumen Mediator, dalam hal ini penulis

mencantumkan/memasukkan anjuran mediator ke dalam bahan

hukum primer walaupun tidak tepat benar digolongkan sebagai

bahan hukum primer.

b. Peraturan Perundang-undangan :

12 Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008 13 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, cet 10

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2662/2/T1_312005001_BAB I.pdf · hubungan industrial, yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

13

1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

2) Undang-undang no.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial

3) Undang-undang no. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

2. Bahan-bahan hukum sekunder

Merupakan bahan hukum yang memberikan keterangan terhadap

bahan hukum primer dan diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya,

atau dengan kata lain dikumpulkan oleh pihak lain14, berupa buku jurnal

hukum, dokumen-dokumen resmi,penelitian yang berwujud laporan,

buku-buku hukum15 serta karya ilmiah lainnya yang terkait dengan topic

penelitian tersebut, dan opini-opini yang bersinggungan sekaligus dapat

mengantarkan peneliti pada maksud data yang diperlukan dalam penelitian

ini.

3. Bahan Hukum Tersier

Yakni bahan hukum bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan makna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,seperti

Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia, Internet,

dan lain-lain.

14 Ibid, Hal 36 15 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, cet 3.