pra sekolah (repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11578/2/t1_312011069_bab ii...dari bayi (0 - 1...
TRANSCRIPT
21
BAB II
KERANGKA TEORITIK, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Kerangka Teoritik
1. Pengertian Anak
Anak dalam keluarga merupakan pembawa bahagia, karena
anak memberikan arti bagi orang tuanya. Arti disini mengandung
maksud memberikan isi, nilai, kepuasan, kebanggaan, dan rasa
penyempurnaan diri yang disebabkan oleh keberhasilan orang
tuanya yang telah memiliki keturunan, yang akan melanjutkan
semua cita-cita harapan dan eksistensi hidupnya.
Pengertian anak secara umum dipahami masyarakat adalah
keturunan kedua setelah ayah dan ibu1. Mengenai definisi anak, ada
banyak pengertian dan definisi. Secara awam, anak dapat
diartikan sebagai seseorang yang dilahirkan akibat hubungan
antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu ikatan
perkawinan. Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang
perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa
anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai
dari bayi (0 - 1 tahun) usia bermain (1 - 2,5 tahun), pra sekolah (2,5
- 5), usia sekolah (5 - 11 tahun) hingga remaja (11 - 18 tahun). Rentang
ini berada antara anak satu dengan yang lain mengingat latar belakang
anak berbeda.
1 WJS. Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1992, h. 38-39.
22
2. Undang-Undang yang mengatur tentang perlindungan anak
a. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) yang mengatur tentang
perlindungan anak “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” dan
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.” Menurut pasal di atas, anak adalah siapa saja yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun dan termasuk anak yang masih di
dalam kandungan, yang berarti segala kepentingan akan pengupayaan
perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada
di dalam kandungan hingga berusia 18 (delapan belas) tahun. Dalam hal
menjamin seorang anak agar kehidupannya bisa berjalan dengan normal,
maka negara telah memberikan payung hukum yakni Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sedangkan dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
anak mengatakan bahwa “Penyelenggaraan perlindungan anak
berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-
Hak Anak meliputi :
a. Non diskriminasi;
23
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak “
Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak juga mengatakan bahwa “Perlindungan anak
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”
b. Menurut Pasal 1 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak
Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan
penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani,
jasmani maupun sosial.
Usaha Kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan
sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya
Kesejahteraan Anak terutama terpenuhinya kebutuhan
pokok anak.
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
24
Yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
Salah satu hak anak yang harus diupayakan adalah kesejahteraan,
karena anak merupakan tunas bangsa dan potensi serta penerus cita-
cita perjuangan bangsa yang rentang terhadap perkembangan zaman
dan perubahan lingkungan dimana hal tersebut bisa mempengaruhi
kondisi jiwa dan psiklologisnya. Pelaksanaan pengadaan kesejahteraan
bergantung pada partisipasi yang baik antara obyek dan subyek dalam
usaha pengadaan kesejahteraan anak tersebut, yang maksudnya adalah
bahwa setiap peserta bertanggungjawab atas pengadaan kesejahteraan
anak.2
c. Menurut Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1
ayat (5) tentang Hak Asasi Manusia.
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
3. Ketentuan Hukum Perlindungan Anak
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
mengatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, dan berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
2 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademia Pressindo, Jakarta, 2001, h. 213.
25
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan
sebagai segala upaya yang bertujuan mencegah, rehabilitasi, dan
memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child
abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamin
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar baik fisik,
mental, dan sosialnya3. Negara sebagai tempat berlindung bagi warganya
harus menjamin dan memberikan regulasi jaminan perlindungan bagi
anak4.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak serta
pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara dalam hal memberikan
perlindungan hukum terhadap anak. Meskipun demikian, dipandang
masih sangat diperlukan suatu undang-undang yang secara khusus
mengatur mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi
pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut5. Selanjutnya
perlindungan hak anak di Indonesia dapat dilihat dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang bersamaan
dengan penetapan tahun 1979 sebagai “Tahun Anak Internasional”.
Selanjutnya Indonesia aktif terlibat dalam pembahasan konvensi hak
3 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di
Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 34.
4 Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 1.
5 Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2008, h. 1.
26
anak tahun 1989 yang kemudian diratifikasi melalui Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 19906.
Mendapatkan perlindungan merupakan hak dari setiap anak, dan
diwujudkannya perlindungan bagi anak berarti terwujudnya keadilan
dalam suatu masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Age,
yang telah mengemukakan dengan tepat bahwa “melindungi anak pada
hakekatnya melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa
depan” 7. Dari ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya
perlindungan anak demi kelangsungan masa depan sebuah komunitas,
baik komunitas yang terkecil yaitu keluarga, maupun komunitas yang
terbesar yaitu negara. Artinya, dengan mengupayakan perlindungan bagi
anak komunitas-komunitas tersebut tidak hanya telah menegakkan hak-
hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk kehidupan
mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi
simbiosis mutualisme antara keduanya. Perlindungan anak adalah suatu
usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan
pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini
berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan
haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh
kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya
sendiri atau bersama para pelindungnya 8. Dalam menyiapkan generasi
penerus bangsa anak merupakan aset utama. Tumbuh kembang anak
6 Nasir Djamil,Op.cit. h. 28.
7 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademia Pressindo, Jakarta, 2001, h. 213.
8 Ibid.
27
sejak dini adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara.
Namun dalam proses tumbuh kembang anak banyak dipengaruhi oleh
berbagai faktor baik biologis, psikis, sosial, ekonomi maupun kultural
yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak–hak anak. Untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi anak telah disahkan Undang - Undang
Perlindungan Anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak–hak anak agar anak dapat
hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai
harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas berakhlak mulia dan sejahtera.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
menyepakati merubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Perubahan ini dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014. Namun dalam sudut pandang permasalahan pada
penelitian ini berdasar pada putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 30-
74/PUU-XII/2014 sehingga masih menggunakan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002. Menurut Pasal 1 Nomor 2 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan
bahwa:“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi”. Selanjutnya dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor
28
23 Tahun 2002 disebutkan pula bahwa setiap anak berhak untuk
beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak
sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri. Anak adalah pemimpin masa
depan siapapun yang berbicara tentang masa yang akan datang, harus
berbicara tentang anak-anak. Perihal yang terbaik bagi anak harus
didahulukan. Dalam hal ini yang dimaksud hak-hak anak adalah
berbagai kebutuhan dasar yang seharusnya diperoleh anak untuk
menjamin kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan dari
segala bentuk perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran terhadap
anak, baik yang mencakup hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak disebutkan 9:
1) Pasal 4 “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi”.
2) Pasal 8 “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan
dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental,
spiritual, dan sosial”.
3) Pasal 8 ayat (1) “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan
dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”.
9 Ibid.
29
Kepentingan terbaik bagi anak. Prinsip ini diletakkan sebagai
pertimbangan utama dalam semua tindakan untuk anak, baik oleh
institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik ataupun privat,
pengadilan, otoritas administratif, ataupun badan legislatif, negara dan
pemerintah serta badan–badan publik dan privat memastikan dampak
terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka yang tentunya
menjamin bahwa prinsip kepentingan terbaik bagi anak menjadi
pertimbangkan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-
anak dan membangun masyarakat yang ramah.
Dengan demikian, kepentingan kesejahteraan anak adalah tujuan
dan penikmat utama dalam setiap tindakan, kebijakan, dan atau hukum
yang dibuat oleh lembaga berwenang. Guna menjalankan kepentingan
terbaik bagi anak bahwa negara menjamin perlindungan anak dan
memberikan kepedulian pada anak. Negara mengambil peran untuk
memungkinkan orang tua bertanggungjawab terhadap anaknya,
demikian pula lembaga-lembaga hukum lainnya.
4. Hak-hak Anak
Hak anak adalah bagian dari Hak Asasi Manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara. Adapun undang-undang yang mengatur tentang
hak anak seperti Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahterahan Anak, Pasal 4 sampai Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23
30
Tahun 2002 Jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Secara garis besar hak anak sebagai berikut :
a. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan
bimbingan.
Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan
bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya
maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan
berkembang dengan wajar. Dimaksud dengan asuhan, adalah
berbagai upaya yang dilakukan kepada anak yang tidak
mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar dan anak
yang mengalami masalah kelainan yang bersifat sementara
sebagai pengganti orang tua atau keluarga agar dapat tumbuh
dan berkembang dengan wajar, baik secara rohani, jasmani
maupun sosial (Pasal 1 angka 32 PP Nomor 2 Tahun 1988
tentang Usaha Kesejahterahan Anak Bagi Anak Yang
Mempunyai Masalah).
b. Hak atas pelayanan
Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan
kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan
kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga
negara yang baik dan berguna (Pasal 2 ayat 2 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahterahan Anak). Hak atas
pemeliharaan dan perlindungan nnak berhak atas pemeliharaan
31
dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun
sesudah dilahirkan (Pasal 2 ayat Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahterahan Anak).
c. Hak memperoleh asuhan
Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh
asuhan oleh negara, atau orang, atau badan lain (Pasal 4 ayat 1
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahterahan
Anak). Dengan demikian anak yang tidak mempunyai orang
tua itu dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik
jasmani, rohani maupun sosial.
d. Hak memperoleh bantuan
Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan, agar
dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang
dengan wajar (Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahterahan Anak). Menurut Pasal 1 ayat (4)
PP Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahterahan Anak
Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah, bantuan itu bersifat
tidak tetap dan diberikan dalam jangka waktu tertentu kepada
anak yang tidak mampu.
Pada prinsipnya, negara melakukan upaya agar anak berada
dalam pengasuhan orangtuanya sendiri, dan tidak dipisahkan
dari orang tua secara bertentangan dengan keinginan anak. Jika
anak dan orang tua berada dalam negara yang lain, maka anak
32
berhak untuk bersatu kembali (family reunification) secara
cepat dan manusiawi. Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang pada
prinsipnya memuat norma hukum yang melarang pemisahan
anak dari orangtuanya. Ditegaskan bahwa anak berhak untuk
tidak dipisahkan dari orangtuanya secara bertentangan dengan
kehendak anak, kecuali apabila pemisahan dimaksud
mempunyai alasan hukum yang sah, dan dilakukan demi
kepentingan terbaik anak.
5. Hukum Perkawinan Indonesia
Dalam pengertian Hukum Perkawinan Indonesia, anak yang belum
mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan
ada di bawah kekuasaan orang tuanya. Selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaan10. Di Indonesia masalah perkawinan diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mulai
diundangkan pada tanggal 2 januari 1974. Undang-undang tersebut dibuat
dengan mempertimbangkan bahwa falsafah Negara Republik Indonesia
adalah Pancasila maka perlu dibuat Undang-Undang perkawinan yang
berlaku bagi semua warga negara .
Untuk kelancaran pelaksanaan Undang-Undang perkawinan
tersebut pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
10
Pasal 47, Undang-Undang Nomor .1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
33
Perkawinan. Peraturan pemerintah tersebut terdiri atas 10 bab dan 49 Pasal
yang ditetapkan di Jakarta pada April 1975. Dengan adanya Undang-
Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan,
diharapkan masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan di
Indonesia akan dapat teratasi.
Hukum negara yang mengatur mengenai masalah
perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu
hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak
jaman nenek moyang hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang
tidak tertulis.
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
memberikan devinisi perkawinan sebagai berikut: “Perkawinan adalah
Ikatan lahir bathin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai
Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”.
Perkawinan ialah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang
perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian Pasal 26
Burgerlijk Wetboek.
34
Pada prinsip perkawinan atau nikah adalah suatu akad untuk
menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong
menolong antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan
muhrim. Apabila ditinjau dari segi hukum tampak jelas bahwa
pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan
perempuan yang menjadi sahnya status sebagai suami istri dan di
halalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga
sakinah, penuh kasih sayang dan kebajikan serta saling menyantuni
antara keduanya.
Negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan
Pancasila, di mana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja
mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga
mempunyai peranan yang sangat penting 11. Para pakar hukum
perkawinan Indonesia juga memberikan definisi tentang perkawinan
antara lain menurut: Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah
Peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan, inilah yang
menimbulkan pengertian perkawinan 12
. Menurut Sajuti Thalib,
perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci dan luas dan kokoh untuk
hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih-
11
Rusli dan R. Tama. Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya. Shantika Dharma, Bandung,
1984, h. 10.
12 Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan Indonesia. Sumur, Bandung, 1974, h. 6.
35
mengasihi, tentram dan bahagia 13
. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah
menurut arti asli kata dapat juga berarti akad dengannya menjadi halal
kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti lain
bersetubuh14
.
a. Pengertian Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan KUH Perdata/BW
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974
tentang Perkawinan dirumuskan pengertian perkawinan yang di
dalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan
rumusan: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa”15. “Perkawinan
adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seorang
wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh
Negara”16.
13
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, h. 2.
14 Hosen Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk, Ihya Ulumudin,
Jakarta, 1971, h. 65.
15 Pasal 47 , Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
16 Prawiro Hamidjojo dan Safioedin, 1982, h. 31, dikutip dari Scholten, 1982.
36
b. Akibat Hukum Dari Perkawinan Terhadap Suami Istri
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KUH
Perdata/BW17
.
Pasal 30 sampai dengan 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, yang isinya:
1. Suami istri memikul kewajiban hukum untuk menegakan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
2. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat-
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir-batin yang
satu kepada yang lain.
3. kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
masyarakat.
4. Suami istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
5. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah
tangga. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan
kemampuannya dan istri wajib mengurus rumah tangga
dengan sebaik-baiknya.
17
Pasal 47 , Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
37
c. Akibat Lain Yang Timbul Dari Hubungan Suami Istri Yang
Terdapat Dalam KUHPerdata/BW 18
:
1. Suami istri wajib tinggal bersama dalam satu rumah. Istri
harus tunduk patuh kepada suaminya, ia wajib mengikuti
kemana suami memandang baik untuk bertempat tinggal.
2. Suami wajib menerima istrinya dalam satu rumah, yang ia
diami.
3. Suami juga wajib melindungi istrinya dan memberi padanya
segala apa yang perlu dan berpanutan dengan kedudukan
dan kemampuannya.
4. Suami istri saling mengikatkan diri secara timbal balik untuk
memelihara dan mendidik anak-anak.
Di Indonesia ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang khusus
berlaku bagi warga negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud
adalah dalam bentuk undang- undang yaitu Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya dalam
bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Perkawinan. Undang-undang ini merupakan hukum
materiil dari perkawinan, sedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan dari Undang-Undang Nomor 7
18
Ibid.
38
Tahun 1980 tentang Peradilan Agama. Yang dimaksud dengan Undang-
Undang Perkawinan adalah segala sesuatu dalam bentuk aturan yang dapat
dan dijadikan petunjuk dalam hal perkawinan dan dijadikan pedoman
hakim di lembaga Peradilan Agama dalam memeriksa dan memutuskan
perkara perkawinan, baik secara resmi dinyatakan sebagai peraturan
perundang-undangan negara atau tidak. Masalah perkawinan merupakan
perbuatan suci yang mempunyai hubungan erat sekali dengan
agama/kerohanian. Perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahiriah/jasmani tetapi juga unsur rohani yang mempunyai peranan penting.
Hal ini sesuai dengan undang-undang perkawinan “Tidak hanya sebagai
ikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan keagamaan”19 . Perkawinan
adalah suatu proses yang sudah melembaga, yang mana laki-laki dan
perempuan memulai dan memelihara hubungan timbal balik yang
merupakan dasar bagi suatu keluarga. Hal ini akan menimbulkan hak dan
kewajiban baik di antara laki-laki dan perempuan maupun dengan anak-
anak yang kemudian dilahirkan 20.
Dampak Perkawinan Anak Pada Kesehatan Ibu dan Bayi
Bahwa Perkawinan Anak dengan Kehamilan dini (di bawah umur
18 (delapan belas ) sangat berisiko tinggi bagi si Ibu, karena si Ibu sedang
dalam masa pertumbuhan yang masih memerlukan gizi, sementara janin
yang dikandungnya juga memerlukan gizi sehingga ada persainga
19
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, h. 7.
20 I Ketut Atardi, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Yurisprudensi, Cet. II,
Setia Lawan, Denpasar, 1987, h. 169.
39
perebutan nutrisi dan gizi antara ibu dan janin; dengan resiko lainnya,
adalah:
a. Potensi kelahiran premature;
b. Bayi lahir cacat;
c. Bayi lahir dengan berat badan rendah/kurang;
d. Ibu beresiko anemia (kurang darah);
e. Ibu mudah terjadi perdarahan pada proses persalinan;
f. Ibu mudah eklampsi (kejang pada perempuan hamil);
g. Meningkatnya angka kejadian depresi pada Ibu karena
perkembangan psikologis belum stabil;
h. Meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI);
i. Study epidemiologi kanker serviks menunjukan resiko
meningkat lebih dari 10x bila jumlah mitra sex 6/lebih atau
bila berhubungan seks pertama dibawah usia 15 tahun;
j. Semakin muda perempuan memiliki anak pertama, semakin
rentan terkena kanker serviks;
k. Resiko terkena penyakit menular seksual;
l. Organ reproduksi belum berkembang sempurna.
Dengan kondisi seperti ini maka perkawinan anak akan
mengancam hak hidup, hak mempertahankan hidup dan kehidupan dari
anak - anak kita (Pasal 28A UUD 1945) hak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang [Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945].
40
B. Hasil Penelitian
1. Kasus Posisi
Kasus ini berawal dari pengajuan pengujian Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan rumusan
sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun”, Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan
rumusan dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat
meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita,
menggunakan batu uji atau dasar pengujian Pasal 1 ayat (3) “Negara
Indonesia adalah negara hukum” Pasal 24 ayat (1) “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”
Pasal 28A “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”; Pasal 28B ayat (1) dan (2)
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah” dan “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” ; Pasal 28C ayat (1)
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia”; Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan,
41
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”; Pasal 28G ayat (1) “Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”; Pasal
28H ayat (1) dan (2) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” dan “Setiap
orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan” dan Pasal 28 I ayat (1) dan (2) “Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun” dan “Setiap orang berhak bebas
atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu” UUD 1945, yang diajukan oleh :
Perkara Nomor 30/PUU-XII/2014
Pemohon 1
1) Nama : Zumrotin
Pekerjaan : Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan
42
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 10 Desember
2013 memberi kuasa kepada Rita Serena Kolibonso, S.H., LLM. Dan
Tubagus Haryo Karbyanto, S.H. yang semuanya adalah Advokat yang
berkedudukan hukum di kantor pemberi kuasa, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Perkara Nomor 74/PUU-XII/2014
Pemohon I
2) Nama : Indry Oktaviani
Pekerjaan : Direktur Organisasi Semerlak Cerlang Nusantara (SCN)
Pemohon II
3) Nama : Fr. Yohana Tantria W.
Pekerjaan : Koordinator Eksekutif Masyarakat untuk Keadilan Gender
dan Antar Generasi (MAGENTA)
Pemohon III
4) Nama : Dini Anitasari Sa’baniah
Pekerjaan :Associate pada Organisasi SCN
Pemohon IV
5) Nama : Hadiyatut Thoyyibah
Pekerjaan : Staf Sistem Manajemen Informasi pada Sekretariat Nasional
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).
Pemohon V
6) Nama : Ramadhaniati
Pekerjaan : Staf pada Organisasi
43
Pemohon VI
7) Nama :Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), yang dalam hal ini diwakili
oleh Agus Hartono Pekerjaan : Ketua
Pemohon VII
8) Nama: Koalisi Perempuan Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh
Dian Kartika Sari
Pekerjaan : Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan
Untuk keterangan lebih lanjut mengenai kasus perkara Nomor 30 dan 74
dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini
Tabel 1. Kasus Perkara Nomor 30-74/ PUU-XII/2014
Unsur Kasus Perkara Nomor
30-74 /PUU-XII/2014
Pasal yang
diuji
Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dengan menggunakan batu uji atau dasar
pengujian Pasal 28A ; Pasal 28B ayat (1) dan (2) ;
Pasal 28C ayat (1) ; Pasal 28D ayat (1) ; 28G ayat (1) ;
28H ayat (1) dan (2) ; 28I ayat (1) dan (2).
Dalil pemohon
Para pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (2) sepanjang
kata “penyimpangan” dan frasa “pejabat lain” UU
Perkawinan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal
24 ayat (1), dan Pasal 28B ayat (1).
Saksi pemohon Musri Munawaroh
Ahli
dr. Julianto Witjaksono, dr. Kartono Mohamad ,
Saparina Sadli, Roichatul Aswidah Rasyid, Yuniyanti
Chuzaifah , Maria Ulfa Anshor, Muhadjir Darwin,
Ninuk Pambudi.
Sumber : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014, hal.11-21,
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
44
Kepada Makhamah Konstitusi Republik Indonesia dimana dalam
perkara pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 dengan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua
merangkap Anggota, Anwar Usman, Patrialis Akbar, Maria Farida
Indrati, Aswanto, Suhartoyo, I Dewa Gede Palguna, dan Manahan M.P
Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh
Wiwik Budi Wasito sebagai Panitera Pengganti, dihadiri para
Pemohondan/atau kuasanya, Presiden atau yang mewakili, Dewan
Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, serta Pihak Terkait dan/atau
kuasanya. Terhadap putusan Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Maria
Farida Indrati memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).
Munculnya Undang-Undang Nomo 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatur tentang batas usia perkawinan dimana batas usia menikah bagi
perempuan adalah 16 tahun dan bagi pria 19 tahun. Hal tersebut membuat
lembaga LSM mengajukan pengujian kembali Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkwainan dimana batas usia perkawinan anak
dinaikkan menjadi 18 tahun bagi perempuan dan 21 tahun bagi pria.
Namun Mahkamah Konstitusi menolak menaikkan batas usia perkawinan
perempuan dari 16 menjadi 18 tahun yang dimohonkan Yayasan
Kesehatan perempuan (YKP) dan Yayasan Pemantauan Hak Anak
(YPHA).
45
2. Isi Gugatan Pemohon Perkara Nomor 30-74/PUU-XII/2014
Pengajuan pengujian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menggunakan batu uji atau dasar pengujian Pasal
28A; Pasal 28B ayat (1) dan (2); Pasal 28C ayat (1); Pasal 28D ayat (1); Pasal
28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1) dan (2) dan Pasal 28 I ayat (1) dan (2) UUD
1945. Adapun isi gugatan adalah sebagai berikut :
a. Bahwa Perkawinan Anak masih marak terjadi di Indonesia. Faktor
ekonomi masih merupakan alasan utama orang tua menikahkan
anaknya. Hal lain yang turut mempengaruhi antara lain alasan social
budaya, seperti kebiasaan orang tua menjodohkan anaknya saat mereka
masih kecil, dan penilaian masyarakat yang negatif (dianggap perawan
tua) terhadap perempuan yang menikah di atas usia 18 tahun.
b. Bahwa berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI)
2007 menunjukkan 22% perempuan menikah sebelum usia 18 tahun,
di beberapa daerah didapatkan bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan
terdata dilakukan oleh pasangan usia di bawah 16 tahun.
c. Bahwa di sejumlah pedesaan, pernikahan seringkali dilakukan segera
setelah anak perempuan mendapat haid pertama. Hasil penelitian
UNICEF di Indonesia (2002), menemukan angka kejadian pernikahan
anak berusia 15 tahun berkisar 11%.
d. Plan Indonesia sebuah lembaga non pemerintah yang memberi
perhatian pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak
bekerja sama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
(PSKK) UGM membuat sebuah penelitian tentang Praktik Pernikahan
46
Dini di Indonesia di 8 wilayah: Indramayu, Grobogan, Rembang,
Tabanan, Dompu, Sikka, Lembata, dan Timur Tengah Selatan (TTS).
e. Bahwa Menurut data UNICEF perempuan yang melahirkan pada usia
15-19 tahun beresiko mengalami kematian dua kali lebih besar
dibandingkan dengan perempuan yang melahirkan pada usia di atas 20
tahun
Dampak Perkawinan Anak Pada Psikologis Keluarga Muda
a. Di usia 16 tahun anak belum mampu berperan sebagai orang tua
yang harus bertanggung jawab untuk mendidik anak, secara
psikologis anak masih ingin bermain bersama teman sebayanya
dan masih memerlukan pengembangan jiwa seusianya;
b. Dalam kondisi ini maka perkawinan anak akan mengancam hak
tumbuh, dan berkembang, hak atas perlindungan dari kekerasan
[Pasal 28B ayat (1)]; hak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia [Pasal 28C ayat (1)]; hak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D);
hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
47
merupakan hak asasi (Pasal 28G); hak hidup sejahtera lahir dan
batin [Pasal 28H ayat (1)];
3. Fakta-fakta dipersidangan dalam putusan Mahkamah
Konstitusi dan pertimbangan Hakim dalam putusan
Mahkamah konstitusi
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdapat 1 pemohon dalam
perkara Nomor 30/PUU-XII/2014 dan 7 pemohon pada perkara Nomor
74/PUU-XII/2014. Pada perkara pengujian Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 juga dihadiri oleh 8 orang saksi ahli
antara lain dr. Julianto W., dr. Kartono Mohamad, Saparina Sadli,
Roichatul Aswidah Rasyid, Yuniyanti C., Maria Ulfa A., Muhadjar
Darwin, dan Ninuk Pambudi yang memberikan komentar sepuatar
perkawinan anak di bawah umur dan batasan usia perkawinan anak. Dari
alasan pengujian pemohon, Hakim Konstitusi telah mempertimbangakan
bahwa batasan usia minimum merupakan kebijakan hukum terbuka
(Open Legal Policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh
pembentukan Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
perkembangan yang ada. Namun terdapat pandangan berbeda (Dissenting
Opinion) dari Hakim Maria Farida I. yang mengatakan bahwa Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
48
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa” telah
menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak-hak anak yang
diatur dalam pasal 1 ayat (3), Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1)
UUD 1945.
4. Dissenting Opinion
Menurut Hakim Konstitusi Maria Farida I. pada Disssenting
Opinion bahwa frasa “umur 16 (enam belas) tahun” dalam Pasal 1 ayat (1)
UU perkawinan telah menimbulkan ketidakpastian hokum dan melanggar
hak-hak anak yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28B ayat (2) dan
Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Selain itu dapat disimpulkan bahwa :
a. Perkawinan anak akan membahayakan kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang anak dan menempatkan anak dalam situasi rawan kekerasan dan
diskriminasi;
b. Perkawinan membutuhkan kesiapan fisik, psikis, social, ekonomi,
intelektual, budaya, dan spiritual;
c. Perkawinan anak tidak dapat memenuhi syarat perkawinan yang diatur
dalam pasal 6, yaitu adanya kemauan bebas dari calon mempelai oleh
karena mereka belum dewasa. Dengan demikian melaksanakan
perkawinan anak sebelum berusia (delapan belas) tahun adalah
pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
49
Perlindungan Anak yang merupakan peraturan lebih lanjut dari Pasal 28
UUD 1945.
Ketentuan mengenai batas umur minimal dalam Pasal 7 ayat (1)
UU No, 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa, “Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari hal tersebut ditafsirkan bahwa
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkwawinan tidak
mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur. Pembatasan
umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya
dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki
kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai.
Kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian
dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan
pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang
menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Pembatasan umur untuk melaksanakan perkawinan ini
dimaksudkan sebagai pencegahan terhadap perkawinan yang masih
dibawah umur. Selain itu juga dimaksudkan untuk menunjang
keberhasilan Program Nasional dalam bidang Keluarga Berencana. Hal
ini juga dikehendaki oleh masyarakat dengan adanya tendensi
pengunduran usia kawin. Akan tetapi pada kenyataannya perkawinan
yang masih dibawah umur itu masih sering terjadi ditengah-tengah
masyarakat kita. Padahal kalau dipikirkan lebih jauh lagi, perkawinan
yang masih dibawah umur itu akan menimbulkan berbagai akibat yang
50
kurang menguntungkan, seperti kurang dapatnya suami atau isteri dalam
mengatasi masalah yang timbul dalam keluarga yang dibentuknya itu,
disamping itu juga timbulnya angka fertilitas yang cukup tinggi dari
wanita kawin usia muda yang menimbulkan masalah peledakan
penduduk.
Pada tabel 2 berikut menunjukkan saksi-saksi, keterangan dari
saksi, dan pertimbangan hakim pada putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30-74/PUU-XII/2014.
51
Tabel 1: Ahli, Keterangan Saksi, Pertimbangan Hakim
No Ahli Keterangan Saksi Pertimbangan Hakim
1 dr. Julianto Witjaksono
Wanita di bawah usia 20 tahun memiliki risiko
tinggi untuk penyakit dan kematian ketika
melakukan fungsi reproduksinya. Wanita
memasuki usia 20 tahun secara medis, fisik,
biologis, endokrin, hormonal, serta psikologis,
dan emosional memiliki kematangan untuk dapat
menjalankan hak reproduksinya secara aman,
terutama dalam menjalankan fungsi
reproduksinya, menghasilkan generasi bangsa
Indonesia yang berkualitas. Pendewasaan usia
pernikahan dari 16 ke 18 tahun berdampak pada
berbagai macam hal-hal yang menguntungkan
Mahkamah Konstitusi telah mempertimbangkan
bahwa batasan usia minimum merupakan
kebijakan hukum terbuka (open legal policy)
yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh
pembentuk Undang-Undang sesuai dengan
tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal
tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan
pembentuk Undang-Undang yang apapun
pilihannya tidak dilarang dan selama tidak
bertentangan dengan UUD 1945, dalam perkara
a quo, UUD 1945 tidak mengatur secara jelas
perihal batasan usia seseorang disebut sebagai
52
bagi kesejahteraan wanita khususnya dan pada
bangsa Indonesia pada umumnya.
anak.
2 dr. Kartono Mohamad
Kematian remaja usia 15 sampai 19 tahun akibat
kehamilan dan melahirkan, merupakan penyebab
utama dari kematian mereka. Kehamilan pada
usia remaja, akan meningkatkanrisiko kematian
bagi ibu dan janinnya, terutama di Negara
berkembang. Bayi yang dilahirkan oleh ibu di
bawah usia 20 tahun punya risiko 50% lebih
tinggi untuk meninggal di saat lahir, juga mereka
akan cenderung lahir dengan berat badan rendah
dan risiko kesehatan lainnya yang berdampak
panjang. Kehamilan remaja juga berpengaruh
bagi ekonomi dan sosial remaja. Dari segi sosial
jelas bahwa sekolah akan terputus, dari segi
Menurut Mahkamah Konstitusi beragam
masalah yang dikhawatirkan para pemohon yang
akan timbul akibat perkawinan usia anak
merupkan masalah konkrit yang tidak murni
disebabkan dari aspek usia semata, kalaupun
memang dikehendaki adanya perubahan batas
usia kawin untuk wanita, hal tersebut bisa
dilakukan melalui proses legislatif review yang
berada pada ranah pembentuk Undang-Undang
untuk menetukan batas usia minimum ideal bagi
wanita untuk kawin.
53
sosial bahwa keterampilan remaja yang menikah
usia dini cenderung kurang karena tidak sempat
mengalami pendidikan yang memadai, sehingga
sulit mendapatkan pekerjaan dan ini akan
berdampak secara nasional pada ekonomi dan
produktivitas bangsa.
3 Saparina Sadli
Dari aspek psikologis, mengizinkan perkawinan
perempuan di bawah 18 tahun, berarti negara
mengizinkan anak melahirkan anak, suatu
keadaan yang bila dibiarkan terus telah diketahui
berujung pada berbagai risiko negatif sampai
dengan yang fatal bagi perempuan. Sehingga
menaikkan usia batas perkawinan bagi
perempuan menjadi 18 tahun, sebagaimana
diajukan oleh Pemohon yang juga telah
Terhadap Para pemohon yang mendalilkan
Pasal 7 ayat (2) sepanjang kata “penyimpangan”
UU Perkawinan harus dimaknai “penyimpangan
dengan alasan kehamilan diluar perkawinan”.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa frasa “
penyimpangan” a quo merupaka bentuk
pengecualian yang diperbolehkan oleh hukum
dan ketentuan a quo memang diperlukan sebagai
“pintu darurat” apabila aterdapat hal-hal yang
54
diperkuat dengan masukan tentang berbagai
risiko negatif bagi kehidupan perempuan yang
bersangkutan harus menjadi pilihan dalam
mewujudkan hak konstitusional setiap warga,
khususnya warga negara yang berjenis kelamin
perempuan.
bersifat memaksa atas permintaan orang tua
dan/atau wali. Penyimpangan tersebut
diperbolehkan berdasarkan dispensasi oleh
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk untuk
itu. Berdasarkan pertimbangan hukum diatas,
Pasal 7 ayat (2) sepanjang kata “penyimpangan”
dan frasa “pejabat lain” UU Perkawinan tidak
bertentangan dengan UUD 1945 dan dalil-dalil
yang dimohonkan para pemohon a quo tidak
beralasan menurut hukum, serta para pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo, dan
menyatakan menolak permohonan para pemohon
untuk seluruhnya
4 Roichatul Aswidah Rasyid Perkawinan dan membentuk keluarga adalah hak Mahkamah Konstitusi melihat bahwa terdapat
55
yang dijamin oleh konstitusi, serta berbagai
undang-undangnasional kita bahwa hak atas
perkawinan dan membentuk keluarga tersebut
memiliki prasyarat, yaitu dicapainya usia
perkawinan dan atas kehendak, dan persetujuan
yang bebas dari para pihak yang hendak
menikah. Bahwa dengan demikian hak atas
perkawinan dan membentuk keluarga tersebut
hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah
mencapai usia perkawinan sehingga dapat
menetapkan persetujuan yang bebas dan penuh.
Bahwa perkawinan tanpa dipenuhinya prasyarat
tersebut telah kemudian menyebabkan
terlanggarnya hak anak oleh karena anak yang
menikah secara hukum kemudian dianggap
beberapa pengaturan yang berbeda tentang
masalah usia perkawinan baik dalam masing-
masing agama maupun perbedaan budaya,
Kemudin MK juga melihat di beberapa negara
lain yang masih belum menaikkan batas usia
perkawinan anak perempuan.
56
dewasa dan kehilangan seluruh perlindungan
yang menjadi haknya sebagaimana dijamin oleh
konstitusi kita. Dengan demikian sekira
ketentuan usia minimum perkawinan hendaknya
dinaikkan menjadi 18 tahun.
5 Yuniyanti Chuzaifah
Komite merekomendasikan agar Indonesia
segera me-review Undang-Undang Perkawinan
dalam rentang waktu yang jelas agar segala
peraturan yang terkait kehidupan keluarga yang
mendiskriminasi perempuan diubah sehingga
undang-undang ini dapat sejalan dengan
konvensi termasuk memastikanbahwa undang-
undang perkawinan menetapkan batas usia
minimum bagi perempuan dan laki-laki adalah
18 tahun. Dalam hal ini, Undang-Undang
57
Perkawinan telah mengatur batas usia minimum
untuk melangsungkan perkawinan bagi anak
laki-laki adalah 19 tahun, batasan usia yang lebih
tinggi dari 18 tahun ini tidak perlu dikurangi.
Justru yang harus diubah adalah batas usia
minimum bagi perempuan yang semula 16 tahun
harus dinaikkan menjadi 18 tahun.
6 Maria Ulfa Anshor
Pernikahan di bawah usia 18 tahun, maka harus
diartikan tidak sah izin perkawinannya.
Karenanya jika dilaksanakan, maka
perkawinannya pun menjadi tidak sah. Jika
terjadi juga perkawinan tersebut, maka artinya
terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak
sebagaimana dijamin Undang-Undang Dasar
58
Tahun 1945 yang telah ditafsirkan ke dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak. Negara
berkewajiban untuk melindungi (to protect),
memenuhi (to fulfill), dan menghargai (to
respect) terhadap seluruh hak anak sebagimana
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28A,
Pasal 28B ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (1),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28H ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (1)
dan (2). Jika negara tidak melakukan
kewajibannya, maka kerugian yang langsung
dialami oleh anak akibat perkawinan anak adalah
kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan
perkembangan anak sebagaimana dijamin dalam
Pasal 28B ayat (2) terganggu, khususnya
59
Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 8, 9,
10 dan 11, dan seterusnya sebagaimana
disebutkan tadi terlanggar.
7 Muhadjir Darwin
Yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa kita
perlu menghentikan perkawinan anak, stop child
married, karena hanya dengan itu maka
kemudian anak-anak bisa tumbuh kembang
secara lebih baik dan hak untuk bertumbuh
kembang itu dijamin di dalam konstitusi kita
yang akan terhalang ketika mereka terpaksa
harus kawin pada usia yang tidak siap, usia dini.
Dan karena itu alasan dari Yayasan Kesehatan
Perempuan untuk mengajukan perubahan
terhadap Pasal Undang-Undang Perkawinan
yang mengatur mengenai batas usia anak untuk
60
kawin itu saya kira sangat tepat dan sangat
penting untuk kemajuan perempuan Indonesia
dan kemajuan masyarakat Indonesia.
8 Ninuk Pambudi
Pernikahan sebelum usia 18 tahun di Indonesia
umumnya terjadi pada perempuandaripada anak
laki-laki dan terjadi di daerah perdesaan
dibandingkan daerah perkotaan. Alasan ekonomi
lebih dominan daripada alasan budaya walaupun
beberapa mengatakan alasannya karena alasan
budaya. Menikahkan anak segera mungkin
adalah untuk mengurangi beban ekonomi
keluarga. Hal yang menarik adalah bahwa terjadi
tren untuk menikahkan dini karena pertumbuhan
ekonomi kita yang ditopang oleh ekonomi
konsumsi yang mendorong perilaku konsumtif
61
Sumber : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014, hal.11-21, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
masyarakat menyebabkan enggan melanjutkan
pendidikan. Perilaku konsumtif tersebut
menyebabkan naiknya tekanan ekonomi keluarga
yang pada ujungnya juga akan mendorong untuk
segera menikahkan anak.
62
C. Analisis
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Hal ini berarti bahwa perkawinan adalah sesuatu yang direncanakan
dengan berbagai pertimbangan salah satu contohya adalah
mempertimbangkan tentang batasan usia perkawinan dari pihak pria dan
wanita. Di Indonesia terdapat undang-undang yang mengatur tentang batas
usia perkawinan anak, namun undang-undang tersebut mendapat perhatian
beberapa pihak setelah Mahkamah Konstitusi membacakan putusan.
Putusan tersebut dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat
setelah meninjau gugatan Yayasan Kesehatan Perempuan dalam perkara
30/PUU-XII/2014 dan Yayasan Pemantauan Hak Anak dalam perkara
74/PUU-XII/2014. Para pemohon mengajukan permohonan tentang
pengujian kembali Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan sepanjang kata “penyimpangan” dan frasa “pejabat
lain” undang-undang perkawinan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 24 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), dan Pasal 28 D ayat (1). Menurut
para pemohon, Pasal 7 ayat (2) sepanjang kata “penyimpangan” UU
Perkawinan harus dimaknai “penyimpangan dengan alasan kehamilan
diluar pernikahan”.
Menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan a quo tetap dibutuhkan
karena juga dapat berfungsi sebagai pintu darurat apabila orang tua pihak
63
pria maupun pihak wanita dan / atau wali mereka mengalami kesulitan
atau keterbatasan akses untuk menjangkau dan meminta dispensasi kepada
Pengadilan. Bersadarkan pertimbangan hukum di atas, Pasal 7 ayat (2)
sepanjang kata “penyimpangan” dan frasa “pejabat lain” UU Perkawinan
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karenanya, dalil paraa
pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
Namun dalam putusan tersebut terdapat pendapat yang berbeda
(Dissenting Opinion) dari Hakim Maria Farida terkait putusan MK yang
menolak uji ulang Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
yang berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Menurut Hakim Maria Farida
perkawinan anak bagi bangsa Indonesia dalam praktiknya tidak dapat
dilepaskan dari kondisi sosial ekonomi, budaya, serta agama yang
berkembang dalam masyarakat.
Kajian Yuridis, Sosiologis, dan Filosofis dalam Dissenting Opinion yang
dikaitkan dengan Perlindungan Anak
a. Hak-hak anak
Dari kajian Yuridis
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 2 Tentang
Perlindungan Anak dikatakan bahwa “Penyelenggaraan perlindungan anak
berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta
prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
64
a) Nondiskriminasi;
b) Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d) Penghargaan terhadap pendapat anak.
Aspek yuridis melihat bahwa kaidah hukum harus merujuk pada
kaidah hukum yang lebih tingkatannya. Pada Pasal 24 disebutkan “ Negara
dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.”
Adanya Undang-Undang Perlindungan Anak diharapkan menjadi payung
yang memmberikan perlindungan atas hak anak khususnya dalam masalah
perkawinan. Menurut Hakim Farida dalam kasus putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 30-74//PUU-XII/2014 yang mengemukakan pendapat
berbeda (Dissenting Opinion) mengatakan bahwa Undang-Undang
perkawinan Pasal 7 ayat (1) terlihat jelas bahwa batas usia wanita untuk
menikah dalam Undang-Undang perkawinan sudah tidak sesuai lagi
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama dalam
rangka melindungi hak-hak anak, khususnya anak perempuan, karena frase
“umur 16 (anam belas) tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak-
hak anak yang diatur dalam pasal 1 ayat (3), Pasal 28B ayat (2), dan pasal
28C ayat (1) UUD 1945. Saat ini, pemahaman bangsa indonesia tentang
hak-hak asasi manusia juga sudah jauh lebih maju daripada Undang-
Undang Perkawinan tersebut disahkan dan diundangkan. Hal itu terlihat
dalam perubahan UUD 1945 yang secara tegas telah mencamtumkan
65
pasal-pasal tentang hak-hak asasi Manusia dalam Bab X mulai Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28J, sehingga terdapat kewajiban negara antara lain
untuk melindungi (to protect), memenuhi (to fullfill), dan menghargai (to
respect) hak-hak anak sesuai UUD 1945. Selain itu Indonesia juga
merupakan salah satu negara yang mengikatkan diri pada Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(Convention on the elimination of all forms of discrimination against
women), yang berkaitan erat dengan konvensi CEDAW.
Menurut penulis disini bahwa persetujuan untuk tidak menaikkan
pasal 7 ayat (1) undang-undang perkawinan oleh MK melanggar apa yang
menjadi hak-hak dari anak,dimana di dalam Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 Jo Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlidungan
Anak bahwa anak mempunyai hak yaitu:
a. Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 4).
b. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan
dan diasuh oleh orang tuanya, apabila orang tua tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anak atau anak tersebut terlantar
maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak
asuh oleh orang lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan (Pasal 7).
66
c. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual,
dan sosial (Pasal 8).
d. Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran, dan anak cacat pun mempunayi hak yang sama
dengan anak biasa dalam memperoleh pendidikan (Pasal 90).
e. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya,
menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya
sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).
f. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu
luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi,
dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi perkembangan diri (Pasal 11).
g. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan
diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual,
penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan,
ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13).
h. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri (Pasal
14).
Mengenai beberapa hak-hak anak yang telah dijelaskan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 diatas khusus mengenai hak-hak anak secara substantif norma
hukum Pasal 7 ayat (1) bertentangan atau tidak konsisten (inskonsistensi)
67
dengan sistem norma hukum Pasal 28A;Pasal 28b ayat (1) dan 2;Pasal
28c ayat (1);Pasal 28d ayat (1);Pasal 28g ayt 1;Pasal 28h ayat 1 dan 2;serta
Pasal 28i ayat 1 dan 2 UUD 1945 dengan demikian secara yuridis
menimbulkan ketidakpastian, ketidakserasian, dan ketidakseimbangan
hukum yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan sesuai dengan apa
yang sudah diatur di beberapa pasl dlam UUD 1945.
Dari kajian Filosofis
Hak anak menurut Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara
lain adalah hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasandan
diskriminasi.
Aspek filosofis melihat bahwa sesuatu yang bisa dijadikan
landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita, nilai-nilai
yang hakiki dan luhur di tengah-tengah masyarakat, misalnya etika, adat,
agama, dan lain-lain 21
. Pada putusan MK Nomor 30 - 74 / PUU – XII /
2014 mengatakan bahwa tidak ada jaminan dengan meningkatkan batas
perkawinan dapat mengurangi berbagai aspek yang menjadi landasan
pengujian para pemohon. Hal ini bertentangan dengan hak-hak anak di
atas, dikarenakan putusan MK tidak mempertimbangkan Pasal-Pasal yang
menjadi batu uji para pemohon khususnya Pasal 28A; Pasal 28B ayat (1)
21
Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar, (Jakarta : Teras, 2012) hlm. 113
68
dan (2); Pasal 28C ayat (1) ; Pasal 28 D ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal
28H ayat (1) dan (2) dan Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD 1945 tentang Hak
setiap orang.
Hakim Maria Farida Indrati mengatakan bahwa “Perkawinan anak
memiliki dampak terhadap fisik, intelektual, psikologis, dan emosional
yang mendalam termasuk dampak kesehatan terhadap terputusnya masa
sekolah terutama bagi anak perempuan dan mengakibatkan program wajib
belajar 12 tahun tidak terpenuhi.”. Hal ini akan menganggu bahkan
merebut hak anak khususnya dalam hal pendidikan, kesehatan, pergaulan.
Penulis melihat bahwa seharusnya masyarakat menyadari bahwa di
dalam suatu negara yang masyarakatnya sangat pluralistis seperti
Indonesia ini perlu ada semacam konsensus atau kompromi nasional
ketika kita (elit pemerintah baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif)
sebelum melakukan berbagai macam tindakan yang berisi nilai-nilai di
bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan budaya, yang akan dituangkan
ke dalam peraturan perundang-undangan. Pada kasus putusan MK yang
menolak uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan belum memperhatikan masyarakat di Indoensia yang
pluralisitis dimana terdiri dari beragam suku, budaya, agama, ras.
Dari kajian Sosiologis
Anak merupakan elemen penting dari masyarakat karena anak
menjadi generasi penerus bangsa. Dari kajian sosiologis terhadap putusan
MK tidak meninjau hak-hak anak, dimana MK seharusnya
69
mempertimbangkan berbagai dampak akibat dari perkawinan anak di
bawah umur. Salah satu contoh akibat dari hak anak yang dilanggar yaitu
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal
26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat dan minatnya dan;
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Pada poin (a) (b) dan (c) salah satu dampaknya yang akan
ditimbulkan jika dilanggar adalah dampak dari segi biologis Anak secara
biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan
sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan
jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan
justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan
membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak.
Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar
kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya
kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
Menurut Hakim Maria Farida I. resistensi terhadap pernikahan di
bawah umur bersinergi dengan upaya perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia yaitu hak asasi anak, namun mencegah pernikahan dibawah umur
dengan mengkriminalisasi pernikahan di bawah umur belum tepat karena
beberapa alasan yaitu ; 1) belum ada kekhawatiran kolektif (massal) akibat
buruk pernikahan dibawah umur; 2) akan menafikan norma agama; 3)
70
melawan beberapa budaya masyarakat Indonesia (seperti budaya
masyarakat Karo, Sumut), dan bertentang dengan tradisi; 4) serta dapat
bersifat resisten dengan perlindungan hak asasi manusia. Bahwa Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan menyatakan,
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun”;
Menurut penulis perkawinan anak menimbulkan berbagai
pelanggaran terjadap hak-hak anak diataranya:
a. Hak atas pendidikan
b. Hak untuk terlindungi dari segala bentuk kekerasan fisik dan
mental, termasuk kekerasan seksual, perkosaan dan exploitasi
seksual
c. Hak untuk menikmati dan mendapatkan standar kesehatan
tertinggi
d. Hak untuk istirahat dan menimati liburan, dan bebas
berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya
e. Hak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya diluar keinginan
anak
f. Hak untuk terlindungi dari segala bentuk elsploitasi yang
mempengaruhi segala aspek kesejahteraan anak
Dengan demikian dapat terlihat jelas bahwa terdapat alasan-alasan
yang kuat terhadap pelanggaran hak-hak anak khususnya anak perempuan.
Seharusnya dengan berbagai dampak yang dikhawatirkan akan timbul dari
71
praktek perkawinan anak MK harus bisa melihat bahwa perkawinan anak
akan sangat merugikan dan berdampak buruk bagi generasi bangsa,
dimana yang kita tahu bahwa anak merupakan penerus cita-cita bangsa
yang harus dilindungi. Penulis melihat dari berbagai penjelasan diatas
yang timbul akibat perkawinan anak membawa perempuan pada tidak
adanya perlakuan yang sama dihadapan hukum, dan menimbulkan
ketidakpastian hukum.
b. Usia anak
Dari kajian Yuridis
Dalam Keterangan tertulisnya, DPR memberikan keterangan yang
antara lain menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
yang mengatur mengenai batas usia minimal perkawinan dianggap sebagai
kesepakatan nasionalyang merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal
policy) pembentuk undang-undang yang melihat secara bijaksana dengan
berbagai macam pertimbangan dengan memperhatikan nilai-nilai yang ada
pada saat itu yaitu tahun 1974 Semua agama yang berlaku di Indonesia
memiliki aturan masing-masing dalam perkawinan dan hukum agama
tersebut mengikat semua pemeluknya, sedangkan negara memberikan
pelayanan dalam pelaksanaan perkawinan dengan aturan negara termasuk
pencatatan secara administrasi guna kepastian.
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati berpendapat bahwa
berdasarkan perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia
saat ini, khususnya yang mengatur batas usia anak, seperti dalam beberapa
72
contoh yang telah di utarakan para pemohon dalam gugatan pengujian
kembali undang-undang yang dimohonkan untuk diuji kembali.
Pembentuk undang-undang sudah seharusnya mempertimbangkan
kembali, apakah batasan usia dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan tersebut masih sesuai atau tidak dengan kondisi dan situasi
saat ini yang berbeda selama 41 (empat puluh satu) tahun lebih karena
undang-undang perkawinan disahkan dan diundangkan pada tanggal 2
Januari 1974.
Dengan demikian melaksanakan perkawinan anak sebelum berusia
18 (delapan belas) tahun adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang merupakan
peraturan lebih lanjut dari Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Berkaitan
dengan umur perkawinan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun. Namun penyimpangan terhadap batas usia
tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan
ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria
maupun pihak wanita. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan
menyatakan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai dan izin dari orangua diharuskan bagi mempelai yang
belum berusia 21 tahun. Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada Pasal 15,
menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti Pasal 7 Undang-
Undang Perkawinan, namun dengan tambahan alasan yaitu untuk
73
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Secara eksplisit tidak tercantum
jelas larangan untuk menikah di bawah umur. Penyimpangan terhadapnya
dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang
berkompeten. Dalam Undang-undang Perkawinan terkait dengan batas
usia telah dilakukan tujuan penetapan batas usia kawin, bahwa calon suami
isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik
dan sehat. Mengenai hak dan akibat pernikahan dini dan keterkaitan antara
undang-undang perkawinan dengan Undang-undang perlindungan anak
dapat dipastikan merupakan pemangkasan kebebasan hak anak dalam
memperoleh Hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh,
berkembang dan berpotensi secara positif sesuai apa yang digaris bawahi
agama. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan “Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan
keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.
Seharusnya didalam kondisi saat ini batas usia 16 tahun untuk perempuan
sudah tidak sesuai lagi. Maka dari itu agar pemerintah seharusnya merevisi
Undang-undang perkawinan. Agar anak-anak dibawah umur mendapatkan
hak yang seharusnya diperoleh oleh anak tersebut.
Menurut pendapat penulis bahwa sebaiknya pembuat Undang-
Undang yang mengatur tentang batas usia anak bisa melihat perkembangan
zaman ini. Batas usia perkawinan yang berlaku sudah tidak relevan lagi
dengan perkembangan sekarang dikarenakan perbandingan usia sejak
74
disetujuinya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
sangat berbeda jauh. Anak pada zaman sekarang khususunya perempuan
lebih cenderung memilih untuk fokus pada pendidikan.
Dari kajian Filosofis:
Mahkamah Konstitusi menolak penambahan usia nikah perempuan,
karena di masa depan kemungkinan batas minimal menikah perempuan di
usia 18 tahun bukanlah yang ideal. Sebagian besar hakim MK juga
berpendapat, di sejumlah negara batas usia bagi perempuan untuk menikah
beraneka, mulai 17, 19, dan 20 tahun. putusan itu berarti negara
membiarkan adanya potensi anak perempuan mengalami kematian dan
kecacatan sebagai risiko dari perkawinan dan melahirkan pada usia anak-
anak. Sangat banyak anak perempuan putus sekolah, kesehatan reproduksi
mereka sangat buruk, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi.
Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki tak akan pernah terjadi, kalau
anak-anak perempuan terjebak dalam aturan hukum yang membolehkan
mereka menjadi korban perkawinan anak-anak.
Pandangan modernis, percaya bahwa pengetahuan ilmiah dapat
dipakai untuk merancang suatu masyarakat yang lebih baik, seperti, untuk
meningkatkan produktivitas, demokrasi, dan keterbukaan (fairness) dalam
pola-pola organisasi sosial. Maria Farida berpendapat, perkawinan anak
bagi bangsa Indonesia dalam praktiknya tidak dapat dilepaskan dari kondisi
sosial ekonomi, budaya, serta agama yang berkembang dalam masyarakat.
75
Permasalahan tentang usia perkawinan sampai saat ini memang selalu
menimbulkan berbagai pendapat yang menimbulkan juga berbagai
penafsiran, khususnya usia perkawinan bagi seorang wanita. Berdasarkan
fakta dan berbagai penelitian yang telah dilakukan, praktik perkawinan anak
telah menimbulkan berbagai permasalahan, oleh karena dampak perkawinan
anak bagi seorang wanita adalah adanya kehamilan dalam usia dini yang
dapat menimbulkan risiko, antara lain sebagai berikut:
a) Potensi mengalami kesulitan dan kerentan an saat hamil dan
melahirkan anak yang prematur karena belum matangnya
pertumbuhan fisik.
b) Cenderung melahirkan anak yang kurang gizi, bayi lahir dengan
berat badan rendah/kurang atau bayi lahir cacat;
c) Ibu berisiko anemia (kurang darah), terjadi eklamsi (kejang pada
perempuan hamil), dan mudah terjadi perdarahan pada proses
persalinan;
d) Meningkatnya angka kejadian depresi pada ibu atau
meningkatnya angka kematian ibu karena perkembangan
psikologis belum stabil;
e) Semakin muda perempuan memiliki anak pertama, semakin
rentan terkena kanker serviks;
f) Terjadinya trauma dan kerentanan dalam perkawinan yang memicu
kekerasan dalam rumah tangga bahkan terjadi perceraian akibat
usia anak yang belum siap secara psikologis, ekonomis, sosial,
intelektual, dan spiritual;
76
g) Studi epidemiologi kanker serviks menunjukkan risiko
meningkat bila berhubungan seks pertama kali di bawah usia 15
(lima belas) tahun dan risiko terkena penyakit menular seksual
termasuk HIV/AIDS
Menurut pandangan berbeda dari Hakim Farida I. bahwa dalam
beberapa Undang-Undang yang dibentuk sebelum dan setelah Perubahan
UUD 1945 juga telah menetapkan bahwa “yang dimaksud anak adalah
setiap orang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan”, ketentuan tersebut ditetapkan antara
lain, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2008 tentang Porografi. Berdasarkan perkembangan
peraturan perundang-undangan di Indonesia saatini, khususnya yang
mengatur tentang bata usia anak , seperti dalam beberapa contoh tersebut,
terlihat jelas bahwa batas usia wanita untuk menikah dalam UU
perkawinan sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan perundang-undagan
yang berlaku, terutama dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya
anak perempuan. Bahkan dalam pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak dirumuskan sebagai berikut :
1. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. Mengasuh, memelihara,,mendidik, dan melindungi anak;
77
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya; dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Dengan demikian melaksanakan perkawinan anak sebelum berusia
18 (delapan belas) tahun adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang merupakan
peraturan lebih lanjut dari Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Menurut penulis, penulis sependapat dengan pendapat berbeda dari
Hakim Maria Farida I. dikarenakan Undang-Undang yang mengatur tentang
batas usia pekrwainan anak melanggar hak-hak anak seperti yang
dikemukan oleh Hakim Maria Farida sebelumnya.
Dari kajian Sosiologis:
Aspek sosiologis merujuk pada memahami dan menggambarkan
atau menjelaskan hubungan antar individu (manusia) dalam kelompok atau
masyarakatnya 22
. Pandangan modernisasi, percaya bahwa pengetahuan
ilmiah dapat dipakai untuk merancang suatu masyarakat yang lebih baik,
seperti, untuk meningkatkan produktivitas, demokrasi, dan keterbukaan
dalam pola-pola organisasi sosial. Mahkamah Konstitusi melihat bahwa
terdapat beberapa pengaturan yang berbeda tentang masalah usia
perkawinan baik dalam masing-masing agama maupun perbedaan budaya.
22
Ibid.
78
Kemudian MK juga melihat di beberapa negara lain yang masih belum
menaikkan batas usia perkawianan anak perempuan. Namun hal ini
menjadi salah satu faktor terjadinya ledakan pendudukan dimana
Indonesia memiliki pandangan dan kebudayaan yang berbeda dengan
negara lain tentang perkawinan.
c. Perkawinan anak
Dari kajian Yuridis
Dalam pelaksanaannya, perkawinan berkaitan erat dengan
keyakinan kaidah dan nilai-nilai suci agama yang tidak dapat diabaikan.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.” Pemahaman perkawinan yang
sah tersebut harus dilihat dari dua aspek yakni sah menurut hukum agama
dan sah menurut hukum negara; Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, “Sebagai Negara yang
berdasarkan Pancasila, di mana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang
penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan
keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan
pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.” hukum bagi
pasangansuami istri maupun keturunannya.
79
Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di
bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya” dengan demikian, bagi seseorang yang menikah sebelum
berusia 18 (delapan belas) tahun adalah termasuk dalam definisi pernikahan
anak, oleh karena pada usia tersebut seseorang belum siap secara fisik,
fisiologis, dan psikologis untuk memikul tanggung jawab perkawinan dan
pengasuhan anak. Menurut Hakim Maria Farifa I. bahwa masalah usia
perkawinan yang termuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan tersebut seharusnya juga dikaitkan dengan syarat
perkawinan yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan a quo yang
menentukan, (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai, dan (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang
tua. Dari ketentuan dua ayat tersebut menjadi jelas bahwa seseorang yang
akan menikah harus dapat membuat persetujuan secara bebas dan tanpa
tekanan serta telah berumur dewasa, yaitu 21 (dua puluh satu) tahun, oleh
karena sebelum calon mempelai mencapai usia tersebut mereka harus seizin
kedua orang tua. saya berpendapat bahwa frasa“umur 16 (enam belas)
tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan telah
menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak-hak anak yang
80
diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 28C ayat (1)
UUD 194. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa:
a. Perkawinan anak akan membahayakan kelangsungan hidup dan
tumbuh kembang anak dan menempatkan anak dalam situasi rawan
kekerasan dan diskriminasi.
b. Perkawinan membutuhkan kesiapan fisik, psikis, sosial, ekonomi,
intelektual, budaya, dan spiritual.
c. Perkawinan anak tidak dapat memenuhi syarat perkawinan yang
diatur dalam Pasal 6, yaitu adanya kemauan bebas dari calon
mempelai oleh karena mereka belum dewasa.
d. Pada kasus putusan MK Nomor 30-74//PUU-XII/2014 menyatakan
bahwa Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang mengatur mengenai batas usia minimal
perkawinan dianggap sebagai kesepakatan nasional yang merupakan
kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-
Undang.
Menurut penulis Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa tidak ada
jaminan dengan meningkatkan batas perkawinan dapat mengurangi berbagai
aspek yang menjadi landasan pengujian para pemohon. Namun didalam
Dissenting Opinion mengatakan bahwa berbagai aspek dapat terjadi akibat
dari perkawinan anak. Menurut penulis disini bahwa telah disebutkan
didalam salah satu pasal mengenai apa yang menjadi hak anak yakni Pasal 4
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
mengatakan setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang,
81
dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Terlihat jelas
dalam penjelasan Pasal diatas disebutkan ada kata diskriminasi dimana yang
kita ketahui bahwa diskriminasi merupakan tindakan dimana satu orang atau
kelompok diperlakukan secara tidak adil, disini penulis melihat bahwa
kesetaraan antara perempuan dan lelaki tidak akan pernah terjadi, karena
dengan keputusan MK yang menolak menaikkan batasan umur perkawinan
bagi anak perempuan berarti membuat anak perempuan terjebak dalam
aturan hukum yang membolehkan mereka menjadi korban perkawinan
anak-anak. Praktek perkawinan anak yang terjadi menimbulkan beragai
resiko terhadap anak perempuan dimana menikah di usia muda membuat
anak perempuan tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, selain itu perkawinan anak akan membahayakan kelangsungan hidup
dan tumbuh kembang anak dan menempatkan anak dalam situasi rawan
kekerasan.
Dari kajian Filosofis :
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.” dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan
menyatakan,“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”
82
Bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Hakim Maria
Farida Indrayati berpendapat, perkawinan anak bagi bangsa Indonesia
dalam praktiknya tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial ekonomi,
budaya, serta agama yang berkembang dalam masyarakat. Penetapan
batas usia kawin dan keterkaitan antara penetapan batas usia kawin dengan
upaya perlindungan terhadap hak anak adalah hal penting yang perlu
dibicarakan sebab menyangkut ke berbagai aspek. Perkawinan dan Undang-
undang Perlindungan Anak, yang mana bahwa usia perkawinan 16 tahun
untuk wanita sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman saat ini
dan banyak pelanggaran hak-hak anak jika batas usia tersebut tetap
diterapkan. Pendapat dari Maria Farida menjadi bukti bahwa perilaku yang
ada dalam masyarakat, mengawinkan anak pada usia yang masih dibawa
umur mengakibatkan tidak terbentuknya keluarga yang bahagia dan
sejahtera. Perbedaan pendapat hakim MK Maria Farida melihat bahwa
pengaturan mengenai usia minimal kawin dalam Undang-Undang
perkawinan tidak berlaku efektif dalam masyarakat. Sebab batasan Umur
minimal untuk kawin mendatangkan permasalahn dengan memberikan
batasan umur minimal untuk kawin dalam kondisi anak belum mengalami
masak jiwa dan raganya.
Menurut penulis Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, pengertian pernikahan adalah “Ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hakikat dari sebuah pernikahan ialah
83
kebutuhan. Pernikahan bukan hanya dipandang sebagai ikatan lahir dan
batin antara laki-laki dan perempuan. Di dalam sebuah pernikahan kita tidak
hanya mengedepankan aspek yang bersifat individual, akan tetapi juga
aspek sosial. Berarti secara tidak langsung kita juga ikut terlibat dalam
upaya pembentukan masyarakat madani dengan membentuk keluarga penuh
cinta kasih sehingga menghasilkan generasi yang menjadi agen perubahan
di masa mendatang.
Dari kajian sosiologis:
Pada dasarnya perkawinan merupakan fitrah manusia, yang
dianjurkan juga oleh setiap agama manapun untuk meneruskan proses
reproduksi dan kelangsungan hidup manusia. Akan tetapi, pernikahan yang
dilaksanakan sebelum waktunya, yang disebut dengan pernikahan di bawah
umur memiliki banyak kemudharatan (hal-hal keburukan), seperti
meningkatkan perceraian karena kurang dewasa secara biologis dan
psikologis pasangan nikah, buruk untuk kesehatan bagi perempuan yang
secara biologis belum dewasa, dan terputusnya peluang berekpresi,
berkreasi, memperoleh pendidikan layak serta ketrampilan.
Menurut Hakim Maria Farida bahwa dalam Penjelasan Umum
Undang-Undang Perkawinan Angka 4 (a) ditetapkan bahwa, “Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal. Untuk itu suami
isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
spirituil dan materiil”. Hal yang demikian tidak relevan karena pada usia
84
yang demikian anak belum mencapai masak jiwa raganya. Bahwa dari
makna, tujuan, dan prinsip perkawinan yang tersirat dan tersurat dalam
Pasal 1 dan Penjelasan Umum Angka 4 huruf a dan huruf d Undang-Undang
Perkawinan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa secara garis besar maksud
dan tujuan dari sebuah perkawinan adalah “ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, saling
membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, calon suami-
isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar dapat mewujudkan perkawinan yang baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu
harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di
bawah umur.
Menurut penulis perkawinan anak dibawah umur akan menghalangi
kesempatan mereka untuk mengembangkan potensinya untuk menjadi
seorang dewasa yang mandiri, berpengetahuan, dan berdayaguna. Bagi anak
perempuan yang kawin saat mereka masih usia anak-anak juga menjadi
mudh terekspos terhadap berbagai bentuk penindasan dan kekerasan
(seksual dan non seksual) dalam perkawinan. Dengan melihat dampak yang
terjadi karena adanya praktik perkawinan anak maka terlihat bahwa
pengaturan tentang batas usia perkawinan, khususnya bagi anak perempuan
85
dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
tersebut telah menimbulkan permasalahan dalam implementasinya.